Anda di halaman 1dari 25

Referat

HIPERGLIKEMIA PADA ANAK DAN REMAJA

Oleh:

Mega Utami Mulyadi 1710311034


Zul’afiyati Huwaida 1710312015
M. Tsani Mudzakir 2040312147
Adiatma Arli 2040312011
Vinta Nuranisyah 2040312053

Preseptor:
dr. Khairunnisa, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-
Nya serta kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan referat yang berjudul “Hiperglikemia pada Anak dan Remaja”. Shalawat
dan salam kita panjatkan untuk junjungan mulia Rasulullah SAW dan para sahabat
beliau.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Khairunnisa, Sp.A
selaku preseptor yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari bahawa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu sangat
diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1LatarBelakang....................................................................................................................... 1

1.2BatasanMasalah .................................................................................................................... 2

1.3TujuanPenulisan ................................................................................................................... 2

1.4Metode Penulisan ................................................................................................................. 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 3

2.1 Definisi ................................................................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi ....................................................................................................................... 3

2.3 Klasifikasi ............................................................................................................................ 4

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko .................................................................................................. 5

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi .............................................................................................. 6

2.6 Manifestasi Klinis ................................................................................................................ 8

2.7 Diagnosis ........................................................................................................................... 10

2.8 Tatalaksana ........................................................................................................................ 14

2.9 Komplikasi ........................................................................................................................ 17

2.10 Prognosis ......................................................................................................................... 18

BAB 3 KESIMPULAN ........................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 21

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik yaitu terjadinya peningkatan kadar glukosa
darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit
diabetes melitus, walaupun begitu kondisi hiperglikemia bukan hanya disebabkan oleh
diabetes mellitus saja. Hiperglikemia jugadapat muncul dalam kondisi stres, seperti infeksi
akut, trauma, pembedahan, gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi, ataupun stres lainnya
yang mungkin bersifat sementara dan memerlukan pengobatan. Selain itu, hiperglikemia juga
dapat dicetuskan oleh penyakit endokrin, obat atau bahan kimia dan beberapa sindrom
genetik.Istilah diabetes mellitus menggambarkan gangguan metabolisme kompleks yang
dikarakteristikan oleh hiperglikemia kronis akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin,
ataupun keduanya. Sekresi insulin yang tidak adekuat dan/atau berkurangnya respons
jaringan terhadap insulin dalam jalur kompleks aksi hormon mengakibatkan defisiensi aksi
insulin pada jaringan target, yang menyebabkan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein.1,2,3 Penyakit DM dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat dan
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia serta berdampak pada peningkatan biaya
kesehatan yang cukup besar.Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang
jumlah kasusnya terus meningkat setiap tahun. Prevalensi DM tipe 1 yaitu sekitar 10% dari
semua kasus diabetes yang menyerang sekitar 20 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi DM
tipe 1 di Indonesia yaitu sebanyak 1.220 kasus berdasarkan data Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) tahun 2018. Insiden DM tipe 1 pada anak dan remaja meningkat sekitar
tujuh kali lipat pada tahun 2000 dan 2010 dengan proporsi jenis kelamin perempuan (60%)
lebih tinggi dibandingkan laki-laki (28,6%).Meskipun kasus DM tipe 1 adalah yang paling
banyak ditemukan pada anak, akan tetapi akhir-akhir ini terdapat kecenderungan peningkatan
kasus DM tipe 2 pada anak dengan faktor risiko obesitas, genetik dan etnik, serta riwayat DM
tipe 2 di keluarga.4,5 Untuk dapat mengurangi angka penderita diabetes melitus, maka
diperlukan adanya diagnosis dini dan tatalaksana yang komprehensif yang mencakup
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Bagi dokter layanan primer, diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 merupakan kompetensi 4A yang artinya dokter harus dapat mendiagnosis,
melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu sangat penting untuk
mengetahui dan menambah peamahaman tentangdiabetes melitus pada anak dan remaja pada
makalah ini.

1
1.2 BatasanMasalah
Referatini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor resiko,
patogenesis dan patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis hiperglikemia
pada anak dan remaja.

1.3 TujuanPenulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan


mengenaihiperglikemia pada anak dan remaja.
1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada


berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik yaitu terjadinya peningkatan kadar glukosa
darah melebihi batas normal. Hiperglikemia dapat muncul dalam kondisi stres, seperti infeksi
akut, trauma, pembedahan, gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi, ataupun stres lainnya
yang mungkin bersifat sementara dan memerlukan pengobatan. Selain itu, hiperglikemia juga
dapat dicetuskan oleh penyakit endokrin, obat atau bahan kimia dan beberapa sindrom
genetik.Kadar glukosa darah puasa (plasma) normal pada anak yaitu <126 mg/dl (7 mmol/L),
sedangkan kadar glukosa darah sewaktu normal yaitu < 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit diabetes melitus. Diabetes mellitus
ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat gangguan produksi insulin, gangguan
kerja insulin, atau keduanya. Berdasarkan penyebabnya, DM dikelompokkan menjadi DM
tipe 1 dan DM tipe 2. Pada anak, jenis DM tersering adalah DM tipe 1. DM tipe 1 adalah
kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh
hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel pankreas baik oleh proses
autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sedangkan
DM tipe 2 adalah suatu penyakit dengan karakteristik hiperglikemia dengan dasar penyebab
adalah peningkatan resistensi insulin dan atau peningkatan disfungsi sel beta pankreas.1,2,3

2.2 Epidemiologi
Prevalensi DM tipe 1 yaitu sekitar 10% dari semua kasus diabetes yang menyerang
sekitar 20 juta orang di seluruh dunia. Walaupun DM tipe 1 dapat menyerang semua
kelompok usia, akan tetapi insidensi terbanyak ditemukan pada usia remaja dan dewasa awal.
Di Eropa, insiden DM tipe 1 dilaporkan meningkat setiap tahunnya, dengan rata-rata
peningkatan tahunan dalam kejadian anak di bawah 15 tahun adalah 3,4%, dan insidensi
tertinggi terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun.4 Prevalensi DM tipe 1 di Indonesia pada
tahun 2018, berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yaitu sebanyak 1.220
kasus. Insiden DM tipe-1 pada anak dan remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat pada tahun
2000 dan 2010 dengan proporsi jenis kelamin perempuan (60%) lebih tinggi dibandingkan
laki-laki (28,6%).5 Meskipun kasus DM tipe 1 adalah yang paling banyak ditemukan pada
anak, akan tetapi akhir-akhir ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus DM tipe 2 pada

3
anak dengan faktor risiko obesitas, genetik dan etnik, serta riwayat DM tipe 2 di keluarga.
DM tipe 2 pada anak dan remaja paling sering ditemukan pada dekade kedua kehidupan
dengan usia rerata 13,5 tahun dan jarang terjadi sebelum usia pubertas. DM tipe 2 pada anak
dan remaja terjadi terutama pada anak dengan riwayat keluarga DM tipe 2 sebelumnya. DM
tipe 2 dapat terjadi pada semua ras, akan tetapi pada keturunan Eropa non kulit putih,
misalnya pada keturunan kulit hitam Afrika, Amerika Utara, Hispanik-Amerika, Asia, Asia
Selatan dan penduduk pulau Pasifik, diketahui prevalensi DM tipe 2 lebih besar. Di Amerika
Serikat dan Eropa hampir semua anak dan remaja dengan DM tipe-2 memiliki status gizi
lebih ataupun obesitas. Di Indonesia, peningkatan kasus DM tipe-2 juga dikaitkan dengan
terjadinya peningkatan kasus anak dengan gizi lebih dan obesitas. Hal tersebut didukung oleh
penelitian Madarina pada tahun 1999 - 2004 di Yogyakarta, yang menunjukkan adanya
peningkatan kasus gizi lebih dan obesitas pada anak yaitu dari 4,2% menjadi 8,8%.6

2.3 Klasifikasi
Hiperglikemia diklasifikasikan menjadi Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan tipe
lain.Pada diabetes tipe lain, terdapat beberapa bentuk seperti bentuk umum diabetes
monogenik, defek genetik pada mekanisme kerja insulin, hiperglikemia yang disebabkan oleh
penyakit di luar pankreas, penyakit endokrin, hiperglikemia yang dicetuskan oleh obat atau
bahan kimia, infeksi, dan kelainan genetik yang berhubungan dengan diabetes.1
Pada bentuk umum diabetes monogenik, dibagi menjadi Maturity-Onset-Diabetes of
the Young (MODY) dan Diabetes Neonatal. Hiperglikemia yang disebabkan oleh penyakit di
luar organ pankreas seperti Pankreatitis, trauma atau pasca tindakan pankreatektomi,
Neoplasia, diabetes yang berhubungan dengan Kistik Fibrosis, Hemokromatosis, dan kondisi
kelebihan zat besi yang berhubungan dengan transfusi. Sementara pada hiperglikemia yang
disebabkan oleh penyakit endokrin, seperti Akromegali, Sindrom Cushing, Hipertiroidisme,
Feokromositoma, Glukagonoma, dan Somatostatinoma. Hiperglikemia juga dapat dicetuskan
oleh obat atau bahan kimia, seperti glukokortikoid, asam nikotinik, antipsikotik, protease
inhibitor, dan statin. Beberapa sindrom genetik seperti Sindrom Down, Sindrom Klinefelter,
Sindrom Turner, Ataksia Friedreich, Distrofi Miotonik, Porfiria, dan Sindrom Prader-Willi
juga berhubungan dengan kejadian diabetes.1
Diabetes Monogenik terjadi karena adanya kelainan genetik dari fungsi sel beta
pankreas atau dari aksi insulin. Sementara pada diabetes neonatal didefinisikan sebagai
kondisi ketika anak mendapatkan insulin sebagai terapi hiperglikemia pada 3 bulan pertama

4
kehidupan.2 Tabel 1 merupakan karakteristik klinik diabetes mellitus tipe 1, tipe 2, dan
monogenik pada anak dan remaja.1

Tabel 1. Karakteristik klinik diabetes tipe 1, tipe 2, dan monogenik pada anak dan remaja1
Karakteristik Tipe 1 Tipe 2 Monogenik
Genetik Poligenik Poligenik Monogenik
Onset >6-12 bulan Pubertas Sering setelah
pubertas kecuali
glukokinase dan
diabetes neonatal
Gambaran Klinik Sering akut, cepat Bervariasi: dari Bervariasi:
perlahan, sedang, insidensial pada
hingga berat glukokinase
Berhubungan dengan:
Autoimun Ya Tidak Tidak
Ketosis Sering Tidak Sering pada
Diabetes Neonatal
Obesitas Banyak Meningkat pada Banyak pada
Populasi Populasi
Akantosis Nigrikans Tidak Ya Tidak
Angka Kejadian >90% Beberapa negara: 1-6%
(pada anak) <10%
Jepang: 60-80%
Orang Tua Diabetes 2-4% 80% 90%

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko


Diabetes tipe 1 disebabkan oleh terdapatnya kerusakan sel beta pankreas yang
diperantarai imun yang berlangsung kronik, sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi
insulin yang absolut. Etiologi diabetes tipe 1 memiliki banyak faktor, dengan peran terhadap
kerentanan genetik, faktor lingkungan yang mendasari terjadinya diabetes tipe 1 ini masih
belum jelas. Beberapa autoantibodi terkait diabetes tipe 1 yang menjadi penanda serologi
seperti GAD, IA2, IAA, dan ZnT8. Autoantibodi terjadi di awal kehidupan dan

5
kemunculannya berhubungan dengan genotip HLA-DR-DQ.1 Faktor lingkungan yang dapat
memicu seperti infeksi, nutrisi, dan bahan kimia yang dapat menginisiasi destruksi sel beta
pankreas masih belum diketahui, namun biasanya proses dimulai dalam hitungan bulan
sampai tahun hingga munculnya manifestasi klinis.1
Hiperglikemia pada diabetes tipe 2 disebabkan oleh adanya resistensi insulin, dan
gangguan relatif dalam sekresi insulin karena terjadinya disfungsi sel beta pankreas yang
disebabkan oleh defek genetik kongenital atau berasal dari toksisitas glukosa, lipotoksisitas,
atau mekanisme lainnya. Etiologi dari diabetes tipe 2 merupakan gabungan dari faktor
genetik dan faktor lingkungan, seperti asupan nutrisi berlebihan, aktivitas fisik yang kurang,
dan perilaku sedentari.1

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Pada Diabetes Mellitus tipe 1, faktor predisposisi genetik dan faktor lingkungan
menyebabkan terjadinya defek sel beta pankreas. Pada pasien dengan histocompability
leukocyte antigen (HLA) kelas II alel HLA-DQ dan HLA-DR, keterkaitan genetik terlihat
paling kuat, di mana marker HLA-DR berhubungan dengan kelainan autoimun seperti Grave
Disease, Celiac Disease, Hashimoto Disease, dan Addison Disease. Sementara faktor
lingkugan seperti makanan, infeksi virus, dan obat-obatan juga berperan dalam terjadinya
diabetes mellitus tipe 1. Adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan tersebut
menyebabkan terbentuknya autoantigen yang diekspresikan di permukaan sel beta pankreas,
selanjutnya akan beredar di aliran darah dan limfe. Teraktivasinya makrofag dan sel T
sitotoksik serta autoantibodi karena terstimulasi akan menyebabkan defek atau kerusakan
serta apoptosis sel beta pankreas. Kerusakan sel beta pankreas akan menyebabkan sekresi
insulin berkurang, sehingga terjadilah kondisi hiperglikemia.7

6
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 17

Pada diabetes mellitus tipe 2, resistensi insulin sampai dengan terjadinya kerusakan
sel beta pankreas terjadi disebabkan oleh adanya kombinasi antara resistensi insulin dan
sekresi insulin yang tidak adekuat, sehingga kerusakan sel beta bukan merupakan proses
autoimun.3 Resistensi insulin merupakan adanya penurunan respons jaringan yang sensitif
terhadap insulin, yaitu terutama pada organ hepar, otot, dan jaringan lemak. Kejadian
resistensi insulin ini sering berkaitan dengan obesitas. Adipokin yang terdiri dari leptin dan
adiponektin merupakan hormon yang disekresikan oleh jaringan lemak. Pada kondisi
obesitas, kadar leptin akan meningkat dan kadar adiponektin akan menurun, hal ini berkaitan
dengan proses inflamasi yang dapat menurunkan kepekaan terhadap insulin.8
Demi mencegah terjadinya diabetes bertahun-tahun, akan terjadi hiperinsulinemia,
dikarenakan adanya peningkatan sintesis insulin.9 Penurunan massa dan fungsi sel beta
pankreas akan menyebabkan terjadinya disfungsi sel beta pankreas, sehingga agar tetap
terpenuhinya kebutuhan insulin, sel yang masih tersisa harus bekerja lebih keras dan dapat
mengalami kelelahan.10 Selain itu, sel alfa dapat menjadi kurang responsif karena adanya
hambatan oleh glukosa, sehingga akan terjadi peningkatan konsentrasi glukagon. Adanya
kondisi peningkatan glukagon akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah melalui proses
glikogenolisis dan glukoneogenesis.11

7
Gambar 2. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 27,9,10,11

2.6 Manifestasi Klinis


Karakteristik klinis saat diagnosis ditegakkan 3
• Tidak terdapat kegawatan
- Enuresis (mengompol) pada anak yang sudah tidak mengompol dapat menyebabkan
kesalahan diagnosis dengan infeksi saluran kemih.
-Kandidiasis vaginal, terutama pada anak perempuan prapubertas.
- Penurunan berat badan kronis atau gagal tumbuh.
-Iritabilitas dan penurunan prestasi di sekolah.
- Infeksi kulit berulang.
• Terdapat kegawatan (Ketoasidosis diabetik atau hiperglikemia hiperosmolar)
- Dehidrasi sedang hingga berat.
- Muntah berulang dan pada beberapa kasus bisa disertai nyeri perut (menyebabkan
kesalahan diagnosis sebagai gastroenteritis).

8
-Tetap terjadi poliuri walaupun pasien sudah dalam keadaan dehidrasi.
-Kehilangan berat badan oleh karena kehilangan cairan dan otot serta lemak.
-Pipi kemerahan karena ketoasidosis.
- Bau pernapasan aseton.
-Hiperventilasi pada ketoasidosis diabetik (pernapasan Kussmaul).
- Gangguan sensorik (disorientasi, apatis sampai dengan koma)
-Syok (nadi cepat, sirkulasi perifer memburuk dengan sianosis perifer).
- Hipotensi (tanda paling terlambat dan jarang pada anak ketoasidosis diabetik).
• Kondisi yang menyebabkan keterlambatan diagnosis
- Pada anak dengan usia sangat muda dapat terjadi ketoasidosis yang berat karena defisiensi
insulin terjadi secara cepat dan diagnosis tidak ditegakkan segera.
- Hiperventilasi pada ketoasidosis salah diagnosis sebagai pneumonia atau asma.
- Nyeri perut berhubungan dengan ketoasidosis dapat menyebabkan akut abdomen sehingga
pasien dirujuk ke bedah.
- Poliuria dan enuresis salah diagnosis sebagai infeksi saluran kemih.
- Polidipsia diduga sebagai psikogenik.
- Muntah salah diagnosis sebagai gastroenteritis atau sepsis.

Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya periode remisi


(parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Periode ini terjadi akibat
berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas mensekresikan kembali
sisa insulin. Periode ini akan berakhir apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa
insulin. Secara klinis ada tidaknya periode ini harus dicurigai apabila seorang penderita baru
DM tipe-1 sering mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus
dikurangi untuk menghindari hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah
mencapai <0,5 U/kg/hari dan HbA1c <7% maka dapat dikatakan penderita berada pada
periode “remisi parsial”. Periode ini dimulai dalam beberapa hari atau minggu saat mulai
terapi insulin dan berakhir selama beberapa minggu sampai tahun. Selama periode ini, kadar
glukosa darah stabil dalam kisaran normal, meskipun pengaturan makanan dan olahraganya
sangat berfluktuasi.
Di negara berkembang yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, periode ini
perlu dijelaskan kepada penderita sehingga anggapan bahwa penderita telah “sembuh” dapat
dihindari. Ingat, bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis, penderita akan membutuhkan

9
kembali insulin dan apabila tidak segera mendapat insulin, penderita akan jatuh kembali ke
keadaan ketoasidosis dengan segala konsekuensinya.3

2.7 Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk semua jenis diabetes pada anak dan remaja didasarkan pada
pengukuran laboratorium kadar glukosa darah plasma (BGL) dan ada tidaknya gejala . Tes
glukosa darah tusukan jari tidak boleh digunakan untuk mendiagnosis diabetes.1
Peningkatan yang nyata dari BGL menegaskan diagnosis diabetes, termasuk
konsentrasi glukosa plasma acak 11,1 mmol/L (200 mg/dL) atau glukosa plasma puasa 7,0
mmol/L (≥126 mg/dL) dengan adanya gejala.
• Jika keton yang signifikan terdapat dalam darah atau urin, pengobatan mendesak, dan anak
harus dirujuk ke spesialis diabetes pada hari yang sama untuk menghindari perkembangan
ketoasidosis .
• Diagnosis diabetes tidak boleh didasarkan pada BGL plasma tunggal tanpa adanya gejala
yang jelas. Jika diagnosis diragukan, observasi lanjutan dengan puasa dan/atau BGL 2 jam
postprandial dan/atau tes toleransi glukosa oral (OGTT) mungkin diperlukan . Namun, OGTT
tidak diperlukan dan tidak boleh dilakukan jika diabetes dapat didiagnosis menggunakan
kriteria puasa, acak, atau postprandial karena dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berlebihan .
• Hiperglikemia yang terdeteksi dalam kondisi stres, seperti infeksi akut, trauma,
pembedahan, gangguan pernapasan, peredaran darah, atau stres lainnya mungkin bersifat
sementara dan memerlukan pengobatan tetapi tidak dengan sendirinya dianggap sebagai
diagnostik diabetes.
• Kemungkinan jenis diabetes lainnya harus dipertimbangkan pada anak yang memiliki
autoantibodi terkait diabetes negatif dan
• Riwayat diabetes keluarga dominan autosomal (diabetes onset maturitas pada usia muda
[MODY]
• Usia kurang dari 12 bulan dan terutama dalam 6 bulan pertama kehidupan (NDM [diabetes
mellitus neonatus])
• Hiperglikemia puasa ringan (5,5-8,5 mmol [100-150 mg/dL]), terutama jika muda, non-
obesitas, dan tanpa gejala
• Periode bulan madu yang berkepanjangan lebih dari 1 tahun atau sangat rendah kebutuhan
insulin 0,5 U/kg/hari setelah 1 tahun diabetes
• Kondisi terkait seperti tuli, atrofi optik, atau gejala sindrom (penyakit mitokondria)

10
• Riwayat pajanan terhadap obat-obatan yang diketahui toksik terhadap sel atau
menyebabkan resistensi insulin (misalnya, obat imunosupresif seperti tacrolimus atau
siklosporin; gluokortikoid atau beberapa antidepresan).
• Diferensiasi antara diabetes tipe 1, tipe 2, monogenik, dan bentuk lain memiliki implikasi
penting untuk pengobatan dan pendidikan . Alat diagnostik, yang dapat membantu dalam
memastikan tipe diabetes jika diagnosis tidak jelas, meliputi:
• Autoantibodi terkait diabetes: asam glutamat dekarboksilase 65 autoantibodi (GAD);
Tirosin fosfatase seperti insulinoma antigen 2 (IA2); autoantibodi insulin (IAA); dan
autoantibodi pengangkut seng spesifik sel 8 (ZnT8).
Kehadiran salah satu dari lebih dari antibodi ini menegaskan diagnosis diabetes tipe 1 .
• Tes genetik molekuler dapat membantu menentukan diagnosis dan pengobatan anak-anak
dengan dugaan diabetes monogenik dan harus dibatasi pada mereka yang secara klinis
cenderung positif (E)
Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada pengukuran glukosa darah dan ada
tidaknya gejala. Metode yang berbeda dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes dan
dengan tidak adanya hiperglikemia tegas, diagnosis harus dikonfirmasi dengan pengujian
ulang.2
• Diabetes pada orang muda biasanya muncul dengan gejala khas seperti poliuria, polidipsia,
nokturia, enuresis, penurunan berat badan —yang mungkin disertai polifagia, gangguan
perilaku termasuk penurunan kinerja sekolah, dan penglihatan kabur. Gangguan pertumbuhan
dan kerentanan terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai hiperglikemia kronis.1
• Dalam bentuknya yang paling parah, ketoasidosis atau (jarang) sindrom hiperosmolar non-
ketotik dapat berkembang dan menyebabkan pingsan, koma dan jika tidak ada pengobatan
yang efektif, kematian.
• Jika ada gejala, pengukuran glukosa dan keton menggunakan glukometer samping tempat
tidur, atau tes "dipstick" urin untuk likosuria dan ketonuria (jika yang pertama tidak tersedia)
merupakan alat skrining yang sederhana dan sensitif. Jika BGL meningkat, maka rujukan
segera ke pusat atau fasilitas dengan pengalaman dalam mengelola anak-anak dengan
diabetes sangat penting. Menunggu hari lain secara khusus untuk memastikan hiperglikemia
tidak diperlukan dan jika keton ada dalam darah atau urin, pengobatan sangat mendesak,
karena ketoasidosis dapat berkembang dengan cepat.
• Pengukuran glukosa plasma formal diperlukan untuk memastikan diagnosis; ini harus
didasarkan pada estimasi glukosa oksidase laboratorium daripada monitor glukosa darah
kapiler. untuk titik potong diagnostik glukosa darah puasa vs tidak puasa.

11
• Skenario di mana diagnosis diabetes mungkin tidak jelas meliputi:
• Tidak adanya gejala, misalnya, hiperglikemia terdeteksi kebetulan atau pada anak-anak
yang berpartisipasi dalam studi skrining
• Adanya gejala diabetes ringan/atipikal
• Hiperglikemia terdeteksi dalam kondisi infeksi akut, trauma, peredaran darah, atau stres
lainnya, yang mungkin bersifat sementara dan tidak boleh dianggap sebagai diagnostik
diabetes.
Dalam situasi ini, diagnosis diabetes tidak boleh didasarkan pada konsentrasi glukosa
plasma tunggal dan pengamatan lanjutan dengan puasa dan BGL 2 jam postprandial dan /
atau tes toleransi glukosa oral (OGTT) mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
• OGTT tidak diperlukan dan tidak boleh dilakukan jika diabetes dapat didiagnosis
menggunakan kriteria puasa, acak, atau postprandial, karena hiperglikemia yang berlebihan
dapat dihasilkan dari tes tersebut. Hal ini jarang diindikasikan dalam membuat diagnosis
diabetes tipe 1 pada masa kanak-kanak dan remaja tetapi mungkin berguna dalam
mendiagnosis bentuk lain seperti diabetes tipe 2, diabetes monogenik, atau cystic fibrosis
related diabetes (CFRD). Jika keraguan tetap ada, pengujian ulang OGTT berkala harus
dilakukan sampai diagnosis ditegakkan. Glycated hemoglobin (HbA1c) dapat digunakan
sebagai tes diagnostik untuk diabetes asalkan tes jaminan kualitas yang ketat ada dan tes
distandarisasi dengan kriteria yang selaras dengan nilai referensi internasional, dan tidak ada
kondisi yang menghalangi pengukuran yang akurat. Selain itu, validitas HbA1c sebagai
ukuran glukosa rata-rata rumit dalam konteks hemoglobinopati, bentuk anemia tertentu, atau
kondisi lain yang mempengaruhi pergantian sel darah merah normal. Kondisi ini dapat
mengikuti distribusi etnis dan geografis tertentu dan dengan demikian merupakan
pertimbangan penting di daerah kekurangan zat besi dan anemia seperti Cina, di mana
perkiraan prevalensi diabetes menggunakan HbA1c dapat mengakibatkan perkiraan yang
terlalu rendah di antara wanita dengan defisiensi zat besi dan perkiraan yang terlalu tinggi
pada pria dengan anemia. Untuk kondisi dengan pergantian sel darah merah yang abnormal,
seperti anemia akibat hemolisis dan defisiensi besi, serta fibrosis kistik, diagnosis diabetes
harus menggunakan kriteria glukosa secara eksklusif. Namun, dalam studi kohort berisiko,
peningkatan HbA1c dalam kisaran normal sering diamati di antara individu yang kemudian
berkembang menjadi diabetes tipe 1.
Individu yang memenuhi kriteria untuk IGT atau IFG mungkin euglikemik dalam
kehidupan sehari-hari mereka seperti yang ditunjukkan oleh HbA1c normal atau mendekati

12
normal, dan mereka dengan IGT dapat bermanifestasi hiperglikemia hanya ketika ditantang
dengan OGTT. Kategori FPG didefinisikan sebagai berikut:
•FPG <5,6 mmol/L (100 mg/dL) = glukosa puasa normal
•FPG 5,6-6,9 mmol/L (100-125 mg/dL) = IFG
•FPG 7.0 mmol/L (126 mg/dL) = diagnosis sementara diabetes
Kategori yang sesuai untuk IGT ketika OGTT digunakan adalah sebagai berikut:
• Glukosa plasma pasca-beban 2 jam <7,8 mmol/L (140 mg/dL) = toleransi glukosa normal
•2 jam pasca beban glukosa plasma 7,8 hingga <11,1 mmol/L (140-200 mg/dL) = IGT
• Glukosa plasma 2 jam pasca-beban 11,1 mmol/L (200 mg/dL) =diagnosis sementara
diabetes (diagnosis harus dikonfirmasi, seperti dijelaskan di atas).
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah plasma <126 mg/dL
(7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan glukosa darah.3
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Gejala klasik diabetes atau krisis hiperglikemi dengan kadar plasma glukosa ≥200 mg/dL
(11.1 mmol/L. Atau,
2. Kadar plasma glukosa puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa adalah tidak ada asupan
kalori selama 8 jam terakhir. Atau,
3. Kadar glukosa 2 jam postprandial ≥200 mg/dL 11.1 mmol/L) dengan Uji Toleransi
Glukosa Oral. Uji Toleransi Glukosa Oral dilakukan dengan pemberian beban glukosa setara
dengan 75g anhydrous glukosa di larutkan dalam air atau 1.75g/kgBB dengan maksimum
75g. atau
4. HbA1c > 6.5% Petanda ini harus dilakukan sesuai standar National Glycohemoglobin
Standardization Program (NGSP) pada laboratorium yang tersertifikasi
dan terstandar dengan assay Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). Pada kasus
kasus yang meragukan seperti penderita yang asimtomatis dengan hiperglikemia (>200
mg/dL) harus dikonfirmasi untuk menentukan ada tidaknya diabetes. Konfirmasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan HbA1c, kadar glukosa plasma puasa dan
2 jam postprandial atau uji toleransi glukosa oral. Konfirmasi tidak boleh dilakukan dengan
pemeriksaan darah glukosa kapiler. Konfirmasi harus segera dilakukan dengan sampel darah
yang baru. Apabila HbA1C adalah 7% dan konfirmasi menghasilkan 6,8% maka diagnosis
diabetes dapat ditegakkan. Apabila menggunakan dua jenis pemeriksaan dan keduanya
menghasilkan data yang lebih tinggi dari standar normal maka diagnosis diabetes terbukti.

13
Tetapi, apabila kedua pemeriksaan hasilnya tidak sesuai maka yang diulang cukup yang
menghasilkan data yang diatas standar.
Diagnosis diabetes ditentukan berdasar hasil konfirmasi tersebut.
Penilaian glukosa plasma
Puasa:
• Normal: < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
• Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired Fasting Glucose = IFG): 100–125 mg/dL (5.6
6.9mmol/L)
• Diabetes: ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Penilaian tes toleransi glukosa oral:
• Normal: <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
• Gangguan glukosa toleransi (Impaired Glucose Tolerance =IGT): 140–200 mg/dL (7.8–
<11.1 mmol/L)
• Diabetes: ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada diabetes memiliki beberapa pendekatan, diantaranya adanya
edukasi, modifikasi gaya hidup, rekomendasi diet, edukasi aktivitas fisik dan terapi medika
mentosa. Edukasi pada anak dengan diabetes adalah difokuskan kepada perubahan gaya
hidup, dimana sebaiknya danya perubahan pada pola diet dan digabungkan dengan adanya
aktivitas fisik. Edukasi ini sebaiknya diberikan langsung oleh orang para ahli di bidang
tersebut, dimana diharapkan dengan begitu akan lebih membuat pasien dan keluarga psaien
paham, dan didapatkan hasil yang maksimal dari edukasi tersebut.
Modifikasi gaya hidup tentunya juga sangat diperlukan pada pasien dengan diabetes.
Dimana butuhnya juga dukungan moral dan pendekatan multidisiplin pada penderita,
terutama terhadap penderita anak dan remaja yang tentunya butuh pemahan khusus terkait
modifikasi gaya hidup yang bertahap dan terpantau agar didapatkannya keberhasilan dalam
pengobatan. 3,6
Rekomendasi diet dilakukan dengan memodifikasi pola maka sesuai dengan
kemampuan keuangan keluarga dimana dengan menghindari minuman yang mengandung
gula, meningkatkan asupan buah dan sayur, mengurangi asupan makan dalam kemasan,
mengurangi makan di luar rumah, dan mengganti makanan yang berasal dari beras putih atau
tepung terigu dengan sumber karbohidrat yag mempunya indeks glikemik yang lebih
rendah.3,6

14
Edukasi mengenai aktivitas fisik juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Dimana olahraga terbukti dapat membantu memperbaiki kendali dari kadar gula darah.
Aktivitas fisik dengan olehraga dapat dilakukan secara bertahap. Dimana setidaknya 60 menit
setiap harinya dengan dua kali hingga empat kali periode sesuai kesanggupan anak tersebut..
aktivitas fisik yang dilaukan, dapat dimulai dengan hal-hal aktivotas rutin yang biasa
dilakukan seperti dengan menggukan alat-alat yang telah ada disekitar. Dengan meningkatkn
aktivitas fisik, diharapkan para penderota diabetes mellitus ini dapat mengurangi aktivitas
fisik sedenteri.3,6
Selain hal-hal yang sudah dipaparkan sebelumnya, terapi pada penderita diabetes
mellitus juga membutuhkan adanya komponen lain. Seperti pada diabetes tipe 1, salah satu
elemen utama terapi pada dm tipe ini adalah dengan insulin. Dimana insulin inipun
memeiliki beberapa sedian dean juga memiliki beberapa cara kerjanya, yaitu dibagi menjadi
insulin kerja cepat , insulin kerja pendek, insulin kerja menengah, insulin kerja panjang,
insulin basal analog, dan insulin kerja campuran.3
Untuk dosis insulin harian yang dapat diberikan pada penderita diabetes mellitus tipe
1 tergantung pada umur, berat badan, status pubertas, lama dan fase dari diabetes, asupan
makanan, pola olahrga, aktifitas harian, hasil dari monitoring glukosa darah HbA1c dan ada
atau tidaknya penyakit penyerta pada pasien tersebut. Dosis yang tepat dapat memberikan
kontrol glikemik yang baik tanpa menyebabkan masalah hipoglikemia, juga pertumbuhan
berat dan tinggi badan sesuai bagan pertumbuhan anak. Selama fase remisi parsial, total
dosis harian insulin sering <0.5 IU/kg/hari. Prepubertas (diluar fase remisi parsial) biasanya
membutuhkan 0.7–1.0 IU/kg/hari. Selama pubertas kebutuhan akan meningkat 1.2–2
IU/kg/hari.3
Sedangkan pada diabetes tipe 2 dibutuhkan adanya terapi medika mentosa. Medika
mentosa ini berperan penting pada pasien dengan penyakit ini. Dimana tujuan terapi medika
mentosa adalah untuk memperbaiki resistensi insulin, meningkatkan sekresi endogen dan
memberikan insulin eksogen. Terapi medika mentosa pada anak dengan dm tipe dua dimulai
dengan terapi inisial. Terapi inisial DM tipe-2 meliputi metformin dan/ atau insulin,
tergantung gejala, beratnya hiperglikemia, dan ada tidaknya ketosis/ ketoasidosis. 6
Pada pasien yang secara metabolik stabil (tanpa ketosis/ ketoasidosis), HbA1c < 9%
(atau gula darah sewaktu < 250mg/dL) Pada kondisi ini, mengingat rendahnya keberhasilan
manajemen diet dan aktivitas fisik saja, metformin dapat segera dimulai bersamaan dengan
usaha memodifikasi gaya hidup. Metformin dimulai dengan dosis 500 mg/ 24 jam, yang
dapat diberikan dengan dosis terbagi 250 mg/ 12 jam, selama 7 hari. Bila tidak ada efek

15
samping, dosis bisa dinaikkan 500 mg per minggu selama 3-4 minggu sampai mencapai dosis
1000 mg/ 12 jam, atau menggunakan metformin lepas lambat 2000 mg/ 24 jam.
Meningkatkan dosis lebih dari 2000 mg per hari tidak meningkatkan manfaat. 6

Pada pasien yang secara metabolik tidak stabil (dengan ketosis/ ketoasidosis), HbA1c
≥ 9% (atau gula darah sewaktu ≥ 250 mg/dL). Insulin basal diberikan mulai dengan dosis
0,25 -0,5 unit/ kg/ 24 jam. Pada saat ini metformin juga bisa dimulai kecuali bila ada asidosis.
Perpindahan dari kombinasi insulin dan metformin ke metformin saja dapat dilakukan dalam
waktu 2-6 minggu, dengan menurunkan bertahap dosis insulin 30-50% sambil menaikkan
dosis metformin. Namun insulin juga harus diberikan bila belum jelas apakah DM tipe-1 atau
tipe-2. 6

Tujuan terapi inisial adalah mencapai HbA1c <6,5%. Bila hal ini tidak dapat dicapai
dengan metformin atau kombinasi metformin dan insulin, diagnosis DM tipe-2 perlu
dipertimbangkan lagi, atau manajemen perlu ditingkatkan sesuai pedoman terapi lanjut. Efek
samping metformin, seperti nyeri abdomen, kembung dan diare biasanya hanya terjadi pada
awal pemberian metformin, bersifat transien, dan dapat hilang dengan sempurna bila
pengobatan dihentikan. Setelah gejala efek samping membaik, metformin dapat dicoba lagi
mulai dengan dosis yang lebih rendah. Efek samping lebih sering terjadi bila memulai dengan
dosis metformin yang terlalu tinggi atau metformin diminum pada saat perut dalam keadaan
kosong. Penggunaan metformin lepas lambat juga dapat menurunkan risiko komplikasi.

Selanjutnya dilakukan terapi lanjutan. Bila setelah penggunaan monoterapi dengan


metformin selama 3-4 bulan gagal mencapai target HbA1c < 6,5%, penambahan insulin basal
sangat dianjurkan. Bila setelah penggunaan metformin dan insulin basal sampai dosis 1,2
unit/ kg belum mencapai target HbA1c, maka bolus insulin kerja pendek sebelum makan bisa
ditambahkan dengan dosis titrasi sampai mencapai target HbA1c. 6

Sedangkan pada penatalaksanaan Maturity Onset Diabetes Of the Young (MODY)


penatalksanaan glikemia. Namun, pada beberapa pasien dengan MODY, hiperglikemia dapat
12
dikontrol dengan meresepkan OADs sulfonilurea, tanpa menggunakan insulin.
Sulfonylurea biasanya memberikan kontrol glukosa darah lebih baik daripada insulin
terutama pada anak dan dewasa muda. Dosis awal rendah (seperempat dosis awal normal
pada dewasa) untuk mencegah hipoglikemia. Selama pasien tidak mengalami hipoglikemia,
mereka dapat mengonsumsi rutin sulfonylurea dosis rendah (misalnya 20 – 40 mg gliclazide

16
tiap hari) selama puluhan tahun. Jika terjadi hipoglikemia, di samping titrasi dosis
sulfonylurea 1 - 2 kali sehari, perlu dipertimbangkan pemberian preparat lepas lambat atau
dosis saat makan dengan agen kerja cepat seperti nateglinide 13

Untuk penatalaksanaan pada diabetes neonatal, langkah pertama adalah menilai GIR
(Glucose Infusion Rate) yaitu dengan GIR = laju infus IV (mL/kg/hari) x Konsentrasi
dekstrosa (%) / 144. GIR diturunkan dengan mengurangi konsentrasi dekstrosa IV atau laju
infus. GIR dapat diturunkan 1 sampai 2 mg/kg/menit setiap 2 jam, dengan pemantauan
glukosa yang sering sampai GIR mencapai 4 mg/kg/menit. Dalam kasus hiperglikemia
persisten, penyebab mendasar seperti sepsis, stres, obat-obatan perlu dieksplorasi dan diobati
dengan tepat.14
Hiperglikemia yang menetap pada GIR rendah (4 mg/kg/menit) dapat
mengindikasikan defisiensi insulin relatif atau resistensi insulin. Peran terapi insulin dalam
mengobati hiperglikemia pada neonatus masih kontroversial. Pertimbangkan insulin jika
kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dl, dan jika glukosa urin lebih dari 2+ dalam dua
sampel terpisah yang diperoleh dengan selang waktu empat jam. Terapi insulin bolus
memiliki risiko tinggi menyebabkan hipoglikemia. Jadi, terapi insulin bolus biasanya jarang
digunakan dalam mengobati hiperglikemia neonatus. Namun jika diperlukan penggunaan
insulin.14
Pada penggunaan insulin terdapat dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah
menambahkan insulin ke cairan pemeliharaan. Pendekatan lain adalah menjalankan insulin
secara mandiri. Keuntungan pendekatan ini adalah bahwa tingkat insulin dapat disesuaikan
tanpa mengubah jumlah cairan IV total. Untuk Dosis insulin,dosis awal untuk infus insulin
adalah 0,01 hingga 0,05 U/kg/jam. Targetnya adalah menjaga kadar glukosa darah antara 100
mg/dL dan 150 mg/dL. Ukur kadar glukosa darah setengah jam setelah setiap perubahan
infus insulin Jika terjadi hipoglikemia, hentikan infus insulin dan berikan 2 ml/kg D10 IV
bolus. Setelah menghentikan insulin, pantau adanya hiperglikemia rebound.
Ketidakseimbangan elektrolit karena diuresis osmotik harus dikoreksi. Ketidakseimbangan
natrium dan kalium sangat umum terjadi.14

2.9 Komplikasi
Hiperglikemia yang persisten pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan beberapa komplikasi, baik akut maupun kronis. Diabetes melitus tipe satu dan
dua dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Hipertensi terjadi dikaikan dengan fungsi

17
endothelial. Pada hipertensi dengan dm terjadi ekspansi volume dan peningkatan resistensi
vaskuler yang nantinya dapat menyebabkan berkurangnya vasodilatasi. Selain hipertensi
retinopati, nefropati dan neuropati, dislipidemia, atheroskelrosis dan disfungsi vaskuler,
inflamasi sitemik merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi pada pasoen diabetes.3,6
Pada Diabetes Neonatal. Hiperglikemia terjadi peningkatan risiko kematian di antara
bayi prematur dan BBLR. Pada neonatus dengan hiperglikemia yang berkepanjangan
memiliki peningkatan risiko terjadinya perdarahan intracranial. Dimana hiperglikemia dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial dengan menyebabkan hiperosmolaritas dengan
pergeseran osmotik. Setiap kenaikan 18 mg/dL konsentrasi glukosa darah menyumbang
kenaikan 1 mOsm/L dalam osmolaritas serum. Jika osmolaritas serum melebihi 300
mOsm/L, air yang berpindah dengan cepat dapat menyebabkan perdarahan otak.
Dehidrasi karena diuresis osmotic juga dapat terjadi pada Diabetes Neonatal.
Hiperglikemia. Ketidakseimbangan elektrolit terjadi karena diuresis osmotik. Glikosuria juga
meningkatkan ekskresi natrium. Selain itu juga dapat terjadi Retinopati prematuritas,
penyakit bronkopulmoner, gangguan kekebalan dan peningkatan risiko sepsis.14
Makadari itu diperlukan adalanya pemeriksaan awal dan pemantauan lebih lanjut
mengenai kemungkinan komplikasi yang dapat menyerang penderita diabetes.

2.10 Prognosis
Diabetes tipe 1 memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Harapan hidup
berkurang 10-20 tahun bagi banyak individu. Gangguan ini dikaitkan dengan berbagai
komplikasi termasuk hipoglikemia dan ketoasidosis diabetikum. Untuk anak-anak, mengelola
diabetes dapat menyebabkan stres yang luar biasa dan depresi adalah hal biasa. Angka
kematian anak meningkat dikarenakan sering terjadinya keterlambatan diagnosis.15
Secara keseluruhan, morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan diabetes tipe 2
terkait dengan komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Dimana diabetes tipe 2 onset
muda dikaitkan dengan peningkatan insiden penyakit ginjal stadium akhir secara substansial
dan kematian pada usia paruh baya. 16
Dalam sebuah studi perbandingan antara penderita diabetes tipe 1 dan tipe 2, insiden
kumulatif nefropati di antara pasien dengan diabetes tipe 2 lebih tinggi daripada mereka
dengan diabetes tipe 1. Nefropati juga muncul lebih awal pada diabetes tipe 2 daripada pada
diabetes tipe 1.17
Hiperglikemia neonatus, terutama pada neonatus prematur, biasanya dikaitkan dengan
peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas. Tingkat keparahan dampak meningkat dengan

18
hiperglikemia berkepanjangan. Evaluasi yang cepat dan manajemen hiperglikemia neonatus
mengurangi dampaknya.14

19
BAB 3
KESIMPULAN

• Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik yaitu terjadinya peningkatan kadar glukosa
darah melebihi batas normal.
• Walaupun hiperglikemiamerupakan salah satu tanda khas penyakit diabetes mellitus,
hiperglikemia juga dicetuskan oleh kondisi lain seperti penyakit endokrin, obat atau
bahan kimia dan beberapa sindrom genetik.
• Diabetes melitus tipe 1 adalah jenis diabetes melitus yang paling banyak ditemukan
pada anak
• Kasus DM tipe 2 pada anak dan remaja dikaitkan dengan faktor risiko obesitas,
genetik dan etnik, serta riwayat DM tipe 2 di keluarga dan jarang terjadi sebelum usia
pubertas.
• Faktor risiko diabetes mellitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
• Keluhan klasik yang sering ditemukan pada penderita DM adalah poliuria, polifagia
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Diagnosis DM
ditegakkan atas dasar pemeriksaan glukosa darah. Kriteria diagnosis adalah
pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl atau glukosa plasma ≥00 mg/dl 2 jam
setelah TTGO, atau glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik atau
pemeriksaan HbA1c ≥6,5%.
• Tatalaksana diabetes memiliki beberapa pendekatan, diantaranya adanya edukasi,
modifikasi gaya hidup, rekomendasi diet, edukasi aktivitas fisik dan terapi
medikamentosa.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Mayer-Davis EJ, Kahkoska AR, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Gong CX, et al.
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Definition, epidemiology, and
classification of diabetes in children and adolescents. Pediatr Diabetes. 2018;19:7-19.
2. Skyler JS, Bakris GL, Bonifacio E, Darsow T, Eckel RH, Groop L. Differentiation of
diabetes by pathophysiology, natural history, and prognosis. Diabetes 2017;66:241-55.
3. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015
4. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The pathogenesis and
pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Academic Journal 2013; 4(4):
46-57
5. Pulungan A, Annisa D, Imad S, Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak : Situasi di
Indonesia dan Tata Laksana. Sari Pediatri. 2019;20(6)
6. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe-2 Pada Anak dan Remaja. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2015
7. Atkinson MA, Eisenbarth GS, Michels AW. Type 1 diabetes. Lancet. 2014 Jan
4;383(9911):69-82
8. Rustama DS, Subardja D, Oentario C, Yati NP, Satriono, Harjantien N, et al. Buku
Ajar Endokrinologi Anak. Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. 125–194.
9. Kahn SE, Cooper ME, Del Prato S. Pathophysiology and treatment of type 2 diabetes:
perspectives on the past, present, and future. Lancet. 2014 Mar 22;383(9922):1068-
83.
10. Vetere A, Choudhary A, Burns SM, Wagner BK. Targeting the pancreatic β-cell to
treat diabetes. Nat Rev Drug Discov. 2014 Apr;13(4):278-89.

11. Huether SE, McCance KL. Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesia ed vol 1.
Singapore: Elsevier; 2019.
12. Urakami T. Maturity-onset diabetes of the young (MODY): current perspectives on
diagnosis and treatment. Diabetes Metab Syndr Obes. 2019;12:1047-1056. Published
2019 Jul 8. doi:10.2147/DMSO.S179793
13. Rubio-Cabezas O, Hattersley AT, Njølstad PR, Mlynarski W, Ellard S, White N, et al.
The diagnosis and management of monogenic diabetes in children and adolescents.

21
Pediatric Diabetes 2014;15(Suppl.20):47–64.

14. Los E, Wilt AS. Diabetes Mellitus Type 1 In Children. [Updated 2021 Aug 5]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
15. Balasundaram P, Dumpa V. Neonatal Hyperglycemia. [Updated 2021 Jun 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
16. Pavkov ME, Bennett PH, Knowler WC, Krakoff J, Sievers ML, Nelson RG. Effect of
youth-onset type 2 diabetes mellitus on incidence of end-stage renal disease and
mortality in young and middle-aged Pima Indians. JAMA. 2006 Jul 26. 296(4):421-6
17. okoyama H, Okudaira M, Otani T, et al. Higher incidence of diabetic nephropathy in
type 2 than in type 1 diabetes in early-onset diabetes in Japan. Kidney Int. 2000 Jul.
58(1):302-11.

22

Anda mungkin juga menyukai