Anda di halaman 1dari 24

2.

2 Reaksi Transufsi

2.2.1 Definisi

Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi sebagai akibat
pemberian transfusi. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak
sesuai dengan keuntungannya.1 Pembagian reaksi transfusi ada beberapa,yaitu: Reaksi
transfusi imun, berupa reaksi transfusi cepat atau lambat; Reaksi transfusi non imun
seperti: cemaran bakteri, kelebihan zat besi,hipervolume.

2.2.2 Epidemiologi

WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi dunia
berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang aman,
sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya 20%
memakai darah donor yang aman.2 Studi oleh Wahidiyat, dkk. di RSUPN Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa reaksi transfusi terjadi pada 0,5% pasien baik
rawat jalan maupun rawat inap. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang
bertujuan untuk mengetahui proporsi RTA di unit transfusi rawat jalan pasien dewasa
di RS tersier berdasar pada besarnya jumlah prosedur transfusi darah yang dilakukan
tiap bulan (>300 transfusi darah) yang berasal dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Bedah, Obstetri dan Ginekologi, Radioterapi, dan Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok.3 Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang tidak
diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien, dimana sebagian besar (55%) berupa
demam. Gejala lain adalah menggigil tanpa demam sebnayak 14%, reaksi alergi
(terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%, reaksi hemolitik 4%, dan
overload sirkulasi 1%. 4

2.2.3 Klasifikasi Reaksi Transfusi

I. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah
transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat
dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya
pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas
ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus,
palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan
adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi
sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang- berat, demam akibat
reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.5
Pada awalnya, gejala klinis hemolitik akut seringkali tidak spesifik. Jika reaksi
terjadi pada pasien dengan kondisi sadar, maka tubuh pasien menggigil, pasien akan
merasakan panas di area infus, nyeri di bagian dada, perut atau punggung, kepala
pusing, mual dan muntah. Gejala lainnya yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
sadarkan diri, seperti, demam (peningkatan suhu tubuh > 10C), perubahan kondisi
kulit (seperti pembengkakan/oedem, pucat), takikardia (detak jantung di atas normal),
tekanan darah di bawah nilai normal (hipotensi), dan perubahan warna urin menjadi
kemerahan karena adanya Hemoglobin (Hb) pada urin. Pasien dapat mengalami reaksi
koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation/DIC)
karena adanya perdarahan cukup luas yang dapat memicu faktor koagulasi pasien
bekerja ekstra sehingga terbentuk bekuan dan menutup pembuluh darah. Selain itu
pasien dapat mengalami anuria karena ginjal tidak dapat memproduksi urin (gagal
ginjal). Kondisi ini dapat menyebabkan kematian pasien.Gejala klinis reaksi hemolitik
akut intravaskular lebih berat dibandingkan hemolisis ekstravaskular.6

A. Hemolisis ekstravaskular
Hemolisis ekstravaskular merupakan lisis sel darah merah yang
terjadi karena reaksi Ag donor yang disensitisasi/dilekati oleh Ab dan atau komplemen
pasien. Kompleks Ag, Ab dan atau komplemen tersebut dikenali dan disingkirkan ke
luar pembuluh darah oleh sel makrofag menuju ke hati atau limpa untuk dihancurkan.
Pada saat makrofag menempel dan terikat pada sel darah merah, maka proses
fagositosis dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu :(i) sel darah merah difagositosis dan
dihancurkan di dalam makrofag, (ii) sel darah merah difagositosis dan dihancurkan
sebagian, sedangkan sisanya dapat tidak terfagositosis dan beredar di sirkulasi sebagai
sel sferosit yang mempunyai masa hidup pendek, (iii) sel darah merah berada di luar
makrofag dan dilisiskan melalui mekanisme antibody-dependent cell-mediated
cytotoxicity (ADCC), yaitu makrofag mengeluarkan substan yang bersifat toksik,
sehingga sel darah merah yang menempel pada makrofag dapat lisis, tanpa melisiskan
makrofag.6
Pada saat sel darah merah dihancurkan didalam makrofag , maka akan melepaskan
molekul Hb dari sel darah merah yang kemudian dipecah menjadi bagian heme dan
globin. Protein globin akan dimanfaatkan kembali oleh tubuh, sedangkan molekul
heme diubah menjadi biliverdin yang pada proses berikutnya akan diubah menjadi
bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan dibawa ke hepatosit untuk dirubah menjadi
bilirubin direk (larut dalam air). Pada hemolisis ekstravaskular, umumnya konsentrasi
bilirubin indirek meningkat, karena terlalu banyak molekul heme yang diubah menjadi
bilirubin, sampai hepatosit tidak mampu memproses kelebihan bilirubin.Bilirubin
direk kemudian dieksresikan ke dalam sistem gastrointestinal yang kemudian diubah
menjadi urobilinogen dan dieksresikan melalui feses dalam bentuk sterkobilinogen.6

B. Hemolisis intravaskular akut


Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas
sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel.

Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka
akan semakin meningkatkan risiko.5,6
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat
kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung
yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung
danketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab
lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan
darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti
sistem Idd, Kell atau Duffy.5,6,7,8

C. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma
merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien
tertentu. Reaksi anafilaktik sendiri merupakan bagian dari reaksi alergi. Komplikasi
ini jarang terjadi, namun dapat membahayakan jiwa pasien. Reaksi dapat terjadi pada
individu dengan defisiensi/kekurangan terhadap jenis Ab / immunoglobulin / protein
tertentu, dalam hal ini adalah defisiensi terhadap immunoglobulin A (IgA), sehingga
terdapat Ab terhadap IgA karena adanya riwayat paparan dengan IgA sebelumnya.
Gejala klinis pasien akan terjadi setelah Alergen yang dapat memicu reaksi alergi, bisa
berasal dari darah donor ataupun pasien yang akan bereaksi dengan Ab yang berasal
dari darah pasien maupun komponen darah donor.
Reaksi anafilaktik, yaitu reaksi terhadap individu dengan defisiensi IgA, sehingga
mempunyai anti-IgA dari paparan sebelumnya. Gejala klinis reaksi anafilaktik
berupa : batuk, sesak napas, mual, muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, bisa
menyebabkan shock, hilang kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Reaksi
anaphylactoid terjadipada pasien dengan konsentrasi IgA normal, tetapi mempunyai
beberapa jenis IgA yang dapat bereaksi dengan bagian rantai ringan (light chain) IgA
donor. Reaksi anaphylactoid, biasanya tidak separah reaksi anafilaktik, dengan gejala
klinis berupa : urtikaria, sesak napas.5,6,7,8

D. Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury =


TRALI)
TRALI merupakan reaksi transfusi yang dapat membahayakan jiwa pasien, hal ini
disebabkan karena organ yang diserang adalah paru-paru, sehingga pasien mengalami
sulit napas. Gejala klinis, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam selama proses
transfusi.TRALI disebabkan oleh Ab terhadap lekosit (anti-HLA) atau Ab terhadap sel
netrofil (anti-HNA) pada plasma donor. Ab yang berasal dari donor diperoleh dari
riwayat paparan Ag sebelumnya pada donor, yang disebabkan, donor pernah transfusi
darah sebelumnya atau donor mempunyai riwayat melahirkan beberapa kali (wanita
multipara).Ab yang terdapat di plasma dapat mengaktivasi netrofil pasien pada saat
ditransfusikan. Sel netrofil bermigrasi ke paru-paru dan menempel pada bagian kapiler
paru, serta melepaskan berbagai macam substan, seperti enzim proteolitik, oksigen
yang bersifat radikal bebas. Pelepasan berbagai macam substan tersebut akan merusak
sel endotel kapiler paru, yang berakibat pada kebocoran kapiler, sehingga cairan dan
protein akan keluar menuju alveoli dan berakibat pembengkakan pada paru-paru.
Gejala klinis yang timbul pada pasien berupa demam, hipotensi, sesak napas,
penurunan tekanan oksigen di dalam tubuh. Pada kondisi ini, pasien membutuhkan
suplai oksigen.6

Gambar 1.
Mekanisme TRALI
II. Reaksi Lambat
A. Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda
demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik tunda disebabkan
karena respon imun sekunder terhadap Ag pada sel darah merah donor. Hal ini terjadi
karena pasien sudah pernah terpapar dengan jenis Ag yang sama sebelumnya sehingga
pasien sudah mempunyai Antibody terhadap Ag tersebut. Jenis antibody pada respon
imun sekunder, biasanya adalah jenis IgG yang berada pada jumlah maksimal selama
3 –7 hari setelah paparan dengan allergen yang sesuai. Pada kisaran hari tersebut, sel
darah merah donor masih berada di aliran darah pasien, dan dapat dihancurkan secara
cepat karena bereaksi dengan antibodi yang sesuai.

Antibody yang dapat menyebabkan reaksi hemolitik tunda , adalah antibody yang
berasal dari sistem Rh, Kidd, Duffy, Kell dan MNSs. Jenis antibody tersebut adalah
anti-c, anti-E, anti-Jka, anti-K, anti-Fya, anti-Jkb, anti-M, anti-s, anti-Fyb, anti-Fy3,
anti-Kpa, anti-N dan anti-U.Gejala klinis pada pasien dengan reaksi transfusi tunda
lebih ringan dibandingkan reaksi transfusi akut. Gejalanya antara lain : demam dan
gejala anemia. Adanya penurunan Hb dan ikterus dapat terjadi1 minggu setelah
transfusi, terkadang dapat terjadi hemoglobinuria, namun tidak sampai terjadi gagal
ginjal.5,6,7,8

B. Aloimunisasi

Reaksi komplikasi jangka panjang karena transfusi, salah satunya adalah reaksi
aloimunisasi yaitu terbentuknya Ab terhadap paparan dengan Ag sel darah merah,
lekosit maupun trombosit sebelumnya. Reaksi aloimunisasi biasanya terjadi pada
pasien yang mendapat beberapa kali transfusi darah. Gejala klinis yang timbul,
umumnya tidak terlalu parah, seperti demam dan penurunan konsentrasi Hb. Namun
demikian, reaksi aloimunisasi dapat mempunyai gejala klinis yang berat jika terjadi
perdarahan, sebagai contoh : pada transfusi trombosit terjadi reaksi antara Ab
trombosit pada pasien dengan trombosit yang ditransfusikan, sehingga terjadi
penurunan trombosit yang signifikan (trombositopenia), jika reaksi berlanjut dapat
menyebabkan perdarahan. Jika allo Ab yang terbentuk mempunyai reaksi yang kuat,
efeknya dapat sulit untuk menemukan komponen darah yang sesuai pada transfusi
berikutnya.Untuk deteksi ada tidaknya reaksi aloimunisasi, dapat
dilakukanpemeriksaanCoomb’s test maupunskrining dan identifikasi Ab.6
C. Purpura pasca transfusi

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial


membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan
adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien.
Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan
dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya
terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila
hitung trombosi≤t 50.000/uL dan perdarahan ya ng tidak terlihat dengan hitung
trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang
kompatibel dengan antibodi pasien.5,6
D. Penyakit graft-versus-host
Reaksi ini cukup jarang terjadi pada transfusi, namun dapat bersifat fatal. Reaksi yang
terjadi adalah limfosit T donor yang memicu sistem imun pasien. Sel limfosit donor dikenali
sebagai substan asing oleh sistem imun pasien, sehingga sel limfosit yang ditransfusikan
dihancurkan di dalam tubuh pasien.Terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi reaksi
ini, yaitu; status imun pasien, kecocokan HLA antara donor dan pasien, dan berapa banyak
sel T yang teraktifkan karena proses transfusi.Jika darah yang mengandung limfosit
ditransfusikan pada pasien dengan gangguan sistem imun, seperti pasien AIDS atau pada
pasien yang sedang terapi penyakit kanker, maka reaksi TA-GVHD tidak terjadi. Namun
demikian, pada kondisi tersebut, sel limfosit dapat berproliferasi dan menimbulkan penyakit
yang lebih serius. Sel limfosit donor juga tidak dihancurkan di tubuh pasien, jika HLA donor
dan pasien mempunyai haplotypeyang sama. Reaksi TA-GVHD seringkali tidak dikenali dan
salah diagnosis dengan reaksi sepsis atau reaksi pengobatan. Gejala klinis terjadi 1 –6
minggu setelah transfusi, yaitu berupa : diare, sakit pada bagian perut, mual dan muntah.
Jika organ hati terkena, maka terjadi peningkatankonsentrasi bilirubin. Warna kulit
kemerahan jika reaksi mempengaruhi kulit. Reaksi yang paling fatal terjadi, jika melibatkan

sumsum tulang.5,6

E. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan
mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai
dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan
untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin
<2.000 mg/l.5,6

III. Penularan Infeksi

Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada


berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang
digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini
dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain
untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell
lymphotropic (HTLV). Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit
terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana
darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).9
 Transmisi HIV
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir tahun
1982 dan awal 1983. Pada tahun 1983 Public Health Service (Amerika Serikat)
merekomendasikan orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV untuk tidak
menyumbangkan darah. Bank darah juga mulai menanyakan kepada donor mengenai
berbagai perilaku berisiko tinggi, bahkan sebelum skrining antibodi HIV
dilaksanakan, hal tersebut ternyata telah mampu mengurangi jumlah infeksi HIV
yang ditularkan melalui transfusi.9
Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
selama 5 tahun pengamatan, hanya mendapatkan 5 kasus HIV/tahun yang menular
melalui transfusi setelah dilakukannya skrining antibodi HIV pada pertengahan maret
1985 dibandingkan dengan 714 kasus pada 1984. Pengenalan pemeriksaan antibodi
HIV tipe 2 ternyata hanya sedikit berpengaruh di Amerika Serikat, yaitu didapatkan
3 positif dari 74 juta donor yang diperiksa. Perhatian terhadap kemungkinan serotipe
HIV tipe 1 kelompok O terlewatkan dengan skrining yang ada sekarang ini, timbul
setelah terdapat 1 kasus di Amerika Serikat, sedangkan sebagian besar kasus seperti
ini terjadi di Afrika Barat dan Perancis. Di Amerika Serikat, dari 1.072 sampel serum
yang disimpan tidak ada yang positif menderita HIV tipe 1 kelompok O. Untuk
mengurangi risiko penularan HIV melalui transfusi, bank darah mulai menggunakan
tes antigen p24 pada tahun 1995. Setelah kurang lebih 1 tahun skrining, dari 6 juta
donor hanya 2 yang positif (keduanya positif terhadap antigen p24 tetapi negatif
terhadap antibodi HIV).9
 Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C
Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun 1975
menyebabkan penurunan infeksi hepatitis B yang ditularkan melalui transfusi,
sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang menderita hepatitis pasca transfusi. Makin
meluasnya vaksinasi hepatitis B diharapkan mampu lebih menurunkan angka
penularan virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang yang
terinfeksi, tetapi hanya 1-10% yang menjadi kronik.10
Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah penemuan
virus hepatitis C dan dilakukannya skrining anti-HCV. Risiko penularan hepatitis C
melalui transfusi darah adalah 1:103.000 transfusi. Infeksi virus hepatitis C penting
karena adanya fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi kronik, 20% menjadi
sirosis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis dan
karsinoma hepatoselular adalah 14,5% dalam kurun waktu 21-28 tahun.10 Prevalensi
hepatitis B di Indonesia adalah 3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu dilakukan
skrining hepatitis B dan C yang cukup adekuat.7
 Transmisi virus lain
Di Amerika Serikat prevalensi hepatitis G di antara darah donor adalah 1-2%. 10
Banyak orang yang secara serologik positif virus hepatitis G juga terinfeksi hepatitis
C. Meskipun infeksi hepatitis G dapat menimbulkan karier kronik akan tetapi tidak
ada bukti yang menyatakan bahwa infeksi hepatitis G dapat menyebabkan hepatitis
kronis maupun akut.11
Infeksi yang disebabkan kontaminasi komponen darah oleh organisme lain seperti
hepatitis A dan parvovirus B19, untuk darah donor yang tidak dilakukan skrining
serologis, telah dicatat tetapi perkiraan angka infeksi melalui transfusi tidak ada.
Infeksi karena parvovirus B19 tidak menimbulkan gejala klinis yang bermakna
kecuali pada wanita hamil, pasien anemia hemolitik dan imunokompromais. Di
Amerika Serikat, penularan virus hepatitis A melalui transfusi darah hanya terjadi
pada 1: 1 juta kasus.9
Di Kanada 35-50% darah donor seropositif terhadap sitomegalovirus (CMV). 12 Di
Irlandia didapatkan angka 30%, tetapi hanya sebagian kecil dari yang seropositif
menularkan virus melalui transfusi.6 Risiko penularan CMV melalui transfusi
terutama terjadi pada bayi dengan berat badan sangat rendah (<1200 g), pasien
imunokompromais terutama yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan wanita
hamil pada trimester awal yang dapat menularkan infeksi terhadap janin. Penularan
CMV terjadi melalui leukosit yang terinfeksi; oleh sebab itu teknik untuk
mengurangi jumlah leukosit dalam produk darah yang akan ditransfusikan akan
mengurangi risiko infeksi CMV. Komponen darah segar mempunyai risiko infeksi
CMV yang lebih tinggi daripada produk darah yang disimpan beberapa hari.11
HTLV-I dapat menyebabkan penyakit neurologis dan leukemia sel T pada dewasa.
Biasanya penyakit timbul beberapa tahun setelah infeksi dan hanya sedikit yang pada
akhirnya menderita penyakit tersebut. HTLV-I dapat ditularkan melalui transfusi
komponen sel darah. Prevalensi tertinggi ada di Jepang dan Kepulauan Karibia. 6
Sedangkan hubungan antara HTLV- II dengan timbulnya penyakit masih belum
jelas, tetapi infeksi dapat ditemukan pada pengguna narkotika intravena. Dikatakan
bahwa infeksi akan timbul pada 20-60% resipien darah yang terinfeksi HTLV-I dan
II. Transmisi dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan darah dan jumlah sel darah
merah dalam unit tersebut. Darah yang telah disimpan selama 14 hari dan komponen
darah nonselular seperti kriopresipitat dan plasma beku segar ternyata tidak
infeksius.9
 Kontaminasi bakteri
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2%
konsentrat trombosit.5 Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai
hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat
dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat
pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang tidak
diketahui.11
Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel
darah merah atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar
meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa organisme, seperti
Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi
dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila
disimpan pada suhu 4°C. Stafilokok tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan
berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena itu risiko
meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.5,10
Gejala klinis akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta
unit transfusi. Risiko kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit
transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat selama tahun 1986-1991, kontaminasi
bakteri pada komponen darah sebanyak 16%; 28% di antaranya berhubungan dengan
transfusi sel darah merah. Risiko kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan
penggunaan transfusi darah autolog. Penularan sifilis di Kanada telah berhasil
dihilangkan dengan penyeleksian donor yang cukup hati-hati dan penggunaan tes
serologis terhadap penanda sifilis.11
 Kontaminasi parasit
Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada saat
pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir,
tempat tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan
pengumpulan darah dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit Chagas
atau leismaniasis. Di Kanada dan Amerika Serikat penularan penyakit Chagas
melalui transfusi sangat jarang.12 Risiko penularan malaria di Kanada diperkirakan
1:400.000 unit konsentrat sel darah merah, di Amerika Serikat 1:4 juta unit darah,
sedangkan di Irlandia saat ini tidak ada laporan mengenai penularan malaria melalui
transfusi darah.
 Penyakit Creutzfeldt-Jacob
Pasien yang berisiko terinfeksi penyakit Creutzfeldt-Jacob seperti pasien dengan
riwayat graft durameter atau kornea, injeksi hormon pertumbuhan atau gonadotropin
yang berasal dari otak manusia atau ada riwayat keluarga kandung garis keturunan
pertama yang menderita penyakit Creutzfeldt-Jacob secara permanen tidak boleh
menyumbangkan darah. Hal ini dilakukan meskipun penularan penyakit Creutzfeld-
Jacobs melalui transfusi belum pernah dilaporkan. Riwayat transfusi darah telah
dilaporkan pada 16 dari 202 pasien dengan penyakit Creutzfeldt-Jacob, angka ini
sama dengan yang terdapat pada kelompok kontrol.6,11

IV. Efek transfusi terhadap komponen darah simpan


Komponen darah yang disimpan dalam jangka waktu tertentu, akan memberikan
reaksi transfusi terhadap pasien. Faktor fisik sel darah maupun faktor kimia dari
komponen darah dapat mempengaruhi kualitas komponen darah simpan. Faktor fisik
diantaranya adalah : kerusakan sel darah terutama sel darah merah (hemolisis) pada
proses pengolahan komponen darah dan penyimpanan. Faktor kimia terkait dengan
unsur kimia yang teraktivasi pada proses pengolahan maupun komponen darah,
sebagai contoh, kalium yang keluar dari dalam sel darah ke plasma selama proses
penyimpanan darah. Selama penyimpanankomponen darah, perubahan-perubahan
metabolik terjadi baik di dalam sel darah maupun di plasma.Perubahan yang terjadi
dapat mempengaruhi efek terapi dan pengobatan yang diberikan.Pada proses
penyimpanankomponen darahtidak ada keseimbangan antara produksi dan destruksi,
sintesis dan pemecahan protein, hanya ada destruksi tanpa ada produksi sehingga hasil
produk metabolisme dan penghancuran sel darah merah terakumulasi pada larutan di
dalam kantong darah.Beberapa perubahan tersebut dapat mempengaruhi fungsi sel
darah yang ditransfusikan.Sel darah merah pada komponen darah simpan dapat lisis,
kondisi ini biasanya ditunjukkan oleh Hb bebas di dalam plasma/medium komponen
darah.Lisis sel darah merah pada komponen darah sebelum ditransfusikan disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya : (i) stress mekanik pada sel yang terjadi selama
proses pengolahan darah, seperti sentrifugasi, homogenisasi, (ii) kontaminasi bakteri,
(iii) variasi sel darah merah donor seperti donor dengan sferositosis herediter, donor
dengan defisiensi glukosa 6 phosphat dehydrogenase. Kondisi lisis sel darah merah
menyebabkan komponen darah tersebut tidak mempunyai efek terapi yang diinginkan,
bahkan pada kadar tertentu adanya Hb bebas di dalam darah pasien dapat
meningkatkan kadar bilirubin dalam darah.Bertambahnya waktu penyimpanan
komponen darah, menyebabkan terjadinya beberapa reaksi oksidatif yang dapat
menyebabkan sel darah merah dilisiskan oleh sistemimun pasien. Penghancuran sel
darah merah yang ditransfusikan di sirkulasi mengurangi efek terapi dari transfusi,
mengaktifkan sistem retikuloendotelial sistem (RES) pasien dan terakumulasinya Fe
di dalam tubuh pasien.Berkurang/hilangnya fungsi pompa kation dalam sel darah
merah pada komponen darah simpan menghasilkanketidakseimbangan kadar natrium
(Na)dan kalium (K). Kalium yang berada di dalam sel darah akan keluar ke plasma,
sedangkan Na yang berada di luar sel akan masuk ke dalam sel darah.Pompa
Na+/K+inaktif pada suhu 40C.Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi kalium
darah (hiperkalemia) pada pasien paska transfusi. Penurunan konsentrasi kalium di
dalam seldan peningkatan kalium di luar sel sekitar 1 mEq/L/hari. Peningkatan kalium
dalam plasma dapat menyebabkan komplikasi jantung dan bisa berakhir kematian
pasien. Biasanya komplikasi hiperkalemia karena transfusi terjadi pada bayi baru
lahir, pasien gagal ginjal, pasien dengan kondisi hipotermia dan asidosis.Mikroagregat
yang terdiri atas sel lekosit, trombosit dan benang fibrin yang terbentuk selama
penyimpanan komponen darah dapat menyebabkan reaksi transfusi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa mikroagregat dapat menimbulkan komplikasi di organ paru-
paru.6
V. Efek transfusi dalam jumlah dan volume besar
Jika transfusi dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan parah dan harus
ditransfusi dengan jumlah darah yang cukup banyak (6 unit kantong darah dewasa)
dalam waktu kurang dari 24 jam, maka berbagai macam reaksi transfusi non imun
dapat terjadi. Reaksi hipotermi dapat terjadi paska transfusi, yaitu pasien yang
ditransfusi secara cepat dengan komponen darah yang disimpan pada suhu 4±2OC.
Kondisi ini dapat menurunkan suhu di dalam tubuh, yang dapat mempengaruhi
hemostasis tubuh pasien. Kondisi hipotermia menurunkan metabolisme sitrat dan
laktat serta meningkatkan derajat hipokalsemia, dan menurunkan tingkat pelepasan Hb
ke jaringan. Efek samping lainnya berupa penurunan fungsi trombosit dan faktor
koagulasi, sehingga akan lebih meningkatkan resiko perdarahan.Keracunan sitrat juga
dapat terjadi ketika sejumlah besar volume komponen plasma yang mengandung
antikoagulan sitrat ditransfusikan ke pasien. Transfusi komponen plasma dalam
jumlah besar dapat mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit tubuh pasien, yaitu
menurunnya kalsium darah (hipokalsemia), menurunnya kadar magnesium darah
(hipomagnesemia), dan jenis elektrolit lainnya. Hipokalsemia merupakan ciri utama
dari keracunan sitrat. Hal ini dikarenakan, ketika antikoagulan sitrat yang berasal dari
komponen darah ditransfusikan, maka sitrat akan mengikat ion kalsium. Jenis kation
lainnya, seperti magnesium dan zinc juga dapat diikat oleh sitrat jika jumlah sitrat
yang masuk ke dalam tubuh pasien berasal dari 6 atau lebih kantong darah donor.
Pada saat sitrat masuk ke dalam tubuh pasien, biasanya langsung dimetabolisme
menjadi bikarbonat di jaringan yang kaya akan mitokondria, seperti : organ hati, otot
rangka dan ginjal. Oleh karena itu, pasien dengan kelainan organ hati, gagal ginjal,
disfungsi paratiroid merupakan pasien dengan resiko tinggi terjadi keracunan sitrat
pada transfusi komponen darah yang mengandung plasma atau komponen plasma.
Jumlah sitrat pada satu kantong darah tidak akan mempengaruhi konsentrasi kalsium
darah.Gejala klinis yang terjadi pada pasien dengan keracunan sitrat adalah : kejang
otot, kram, mual, muntah, detak jantung yang tidak teratur dan lebih lambat dari
normal, hipotensi, jika kondisi pasien makin parah, maka dapat terjadi tetani.Pada
transfusi dalam jumlah besar, ada kemungkinan terjadinya mikroagregat trombosit,
fibrin dan lekosit. Mikroagregat tersebut tidak bisa disingkirkan dengan filter darah
biasa dengan ukuran 170 μm.Kalium (K) merupakan jenis elektrolit utama yang
mempunyai fungsi pada otot. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan
peningkatan kalium (hiperkalemia) maupun penurunan kalium (hipokalemia).
Hiperkalemia terjadi karena efek darah simpan yang menyebabkan kalium dapat ke
luar sel darah merah. Hiperkalemia terjadi jika pasien mendapat transfusi dengan 6
atau lebih kantong darah dewasa.
Penurunan konsentrasi kalium darah (hipokalemia) juga dapat terjadi pada pasien
yang mendapattransfusi darah dalam jumlah banyak. Komponen darah simpan
merupakan sel darah merah dengan konsentrasi kalium di dalam sel yang berkurang
pada proses penyimpanan. Pada saat ditransfusikan, kalium yang berada pada plasma
pasien akan pindah secara osmosis ke dalam sel darah merah untuk memenuhi
kebutuhan kalium di dalam sel darah yang ditransfusikan. Reaksi transfusi berikutnya
adalah oversirkulasi yang terjadi jika volume darah pasien meningkat di atas kapasitas
sistem kardiopulmonari tubuh pasien. Hal ini terjadi ketika terlalu banyak volume
darah yang ditransfusikan tidak sebanding dengan volume darah yang hilang.
Biasanya, kondisi ini terjadi pada pasien bayi atau anak kecil, jika komponen darah
yang ditransfusikan tidak seimbang dengan berat badan dan total volume darah pasien.
Selain itu, pasien lansia maupun penderita anemia berat dengan kadar hemoglobin < 5
g/dL juga bisa menderita oversirkulasi paska transfusi.Gejala klinis yang terjadi
berupa : susah napas, denyut jantung yang lebih dari normal(takikardia), hipotensi dan
kondisi menjadi parah jika terjadi pembengkakan paru-paru. Gejala, biasanya terjadi
pada kisaran 6 jam pada saat transfuse.6

2.2.4 Penatalaksanaan

Peningkatan suhu > 1,5 o C dari suhu tubuh normal atau dijumpai urtikaria,
maka harus dilakukan pemeriksaan ulang darah yang sedang ditransfusikan,
berikan parasetamol dan anti- histamin, dan transfusi dengan tetesan yang
lebih lambat dan amati kondisi pasien lebih sering. Sementara demam atau
kaku yang tidak biasa sebagai respons terhadap transfusi mungkin
merupakan suatu reaksi demam non-hemolitik, dapat juga merupakan tanda
pertama dari reaksi transfusi.
 Dimana reaksi ini lebih berat:

o Hentikan transfusi dan memanggil dokter untuk segera meninjau pasien.

o Pemeriksaan Tanda-tanda vital (Temp, BP, denyut nadi, laju pernafasan,


atau gas darah) dan status pernafasan (dispnea, takipnea, bersin dan
sianosis) harus diperiksa dan dicatat.
o Periksa identitas pasien dan recheck pada lebel kantong darah.

 Manajemen awal dimana dicurigai terjadinya Ketidakcocokan ABO adalah :

o Hentikan Transfusi.

o Berikan oksigen dan cairan.

o Monitor urine output, dengan kateterisasi. Dan pertahankan urin output


lebih dari 100 ml / jam, dan bila urin tidak cukup dapat diberikan obat obat
diuretic.
o Pertimbangkan pemberian inotropik jika terjadi hipotensi.

 Jika diduga terjadi Reaksi Hemolitik atau Infeksi Bakteri :

o Kirim darah untuk dilakukan pemeriksaan hematologi dan mikrobiologi

o Manajemen secara umum sama seperti manajemen ketidakcocokan ABO

o Mulai dengan antibiotik spektrum luas jika terjadi infeksi bakteri. Jika
diagnostic tidak tersedia dapat dilakukan protokol penatalaksanaan sepsis.
o Lakukan perawatan intensif pada tahap awal.

 Jika diduga terjadi Reaksi anafilaksis atau Reaksi alergi :

o Berikan oksigen dan berikan Nebulizer salbutamol dengan sungkup.

o Berikan chlorpheniramine 10-20 mg secara injeksi IV lambat.

o Jika terjadi hipotensi, berikan adrenalin 0.5-1 mg IM dan ulangi setiap 10


menit sampai terjadi perbaikan.
o Hubungi dokter anestesi jika kesulitan menjaga jalan napas.

 Jika diduga terjadi TRALI:


o Segera Mencari bantuan ahli.

o Berikan oksigen konsentrasi tinggi, cairan IV dan inotropik (seperti


untuk sindrom gangguan pernapasan akut).
o Monitor gas darah, foto thorax serial dan CVP / tekanan kapiler paru.

o Ventilasi mungkin sangat diperlukan – dan mungkin harus dirawat di ICU.

 Jika diduga terjadi overload cairan :

o Berikan furosemid IV dan oksigen konsentrasi tinggi.


Dalam reaksi transfusi hemolitik, pengobatan farmakologi ditujukan untuk
meningkatkan aliran darah ginjal dan melancarkan output urin. Pada
anafilaksis, tujuan terapi adalah untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik dan mengobati proses yang mendasari.
1. Diuretik

Agen ini digunakan untuk meningkatkan aliran darah ginjal dan


melestarikan output urin dalam reaksi transfusi hemolitik. juga dapat
digunakan dalam volume overload terkait transfusi.
a. Furosemide (Lasix)

Meningkatkan ekskresi air dengan mengganggu pengikatan sistem


transport klorida, yang menghambat reabsorpsi sodium dan klorida di
ascending loop henle dan tubulus distal ginjal. Dosis tergantung pada respon
individu, sebesar 20-40 mg, tidak lebih cepat dari 6 - 8 jam setelah dosis
sebelumnya, sampai diuresis diinginkan terjadi.
Dewasa: 20-40 mg/d IV/IM 20-40 mg/ d IV / IM Pediatric
Bayi : Titrasi dengan 1 mg / kg / dosis IV bertahap sampai mencapai efek
yang memuaskan
Anak-anak : 1-2 mg / kg / dosis PO / IV / IM, tidak melebihi 6 mg / kg
2. Vasopresor

Agen ini digunakan untuk meningkatkan aliran darah ginjal dan


meningkatkan urin output dalam reaksi transfusi hemolitik. Pada reaksi
alergi yang parah, epinefrin digunakan untuk sifat inotropik dan
kemampuan untuk mempertahankan perfusi organ vital.
a. Dopamin (Intropin)

Merangsang kedua reseptor adrenergik dan dopaminergik. Efek


hemodinamik tergantung pada dosis obat. Dosis rendah merangsang
reseptor dopaminergik terutama menyebabkan vasodilatasi ginjal dan
mesenterika. Stimulasi jantung dan vasodilatasi ginjal dikarenakan dosis
yang lebih tinggi.
Dewasa: 1-5 mcg / kg / min IV; setelah memulai terapi, dosis dapat
ditingkatkan dengan 1-4 mcg / kg / min IV 10-30 menit sampai respon yang
memuaskan dicapai; dosis pemeliharaan < 20 mcg / kg / menit biasanya
memuaskan bagi 50% pasien yang diobati Pediatric: Sama seperti pada
orang dewasa
3. Antihistamin

Digunakan untuk mengobati reaksi alergi ringan dan anafilaksis.


Diphenhydramine dapat digunakan untuk profilaksis pasien dengan
riwayat reaksi alergi ringan.
a. Diphenhydramine (Benadryl, Benylin, Bydramine)

Digunakan untuk mengurangi gejala-gejala gejala alergi yang disebabkan


oleh histamin dilepaskan dalam menanggapi alergen.
Dewasa

25-50 mg PO 6-8 jam, tidak melebihi 400 mg / hari

10-50 mg IV/IM 6-8 jam, tidak melebihi 400 mg / hari Pediatric


12,5-25 mg PO atau 5 mg / kg / hari PO atau 150 mg / m2 / hari PO dibagi 3 – 4 dosis

; tidak melebihi 300 mg / hari

5 mg / kg / hari atau 150 mg / m 2 / hari IV / IM dibagi 4 dosis ; tidak melebihi 300


mg/ hari.

4. Korticosteroids

Agen ini memiliki keterbatasan manfaat dalam pengobatan akut dengan


cepat memburuk pada pasien anafilaksis. Namun, mereka mungkin
bermanfaat bagi pasien dengan bronkospasme persisten atau hipotensi.
Onset kerja sekitar 4-6 jam setelah pemberiannya.
a. Methylprednisolone (Solu-Medrol)

Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi leukosit


polymorphonuclear dan membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler.
Berguna dalam perawatan reaksi inflamasi dan alergi. Dengan membalikkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN, dapat
menurunkan peradangan.
Dewasa: 125-250 mg IV dosis loading; diikuti dengan 0.5-1 mg / kg / dosis
per 6 jam hingga 5 hari
Pediatric: 2 mg / kg IV awalnya; diikuti dengan 0.5-1 mg / kg / dosis per 6
jam hingga 5 hari.

Pengobatan Reaksi Transfusi


Jenis Reaksi Pengobatan – Dewasa Pediatric Tindak lanjut
Acute Terapi Diuretik : Awalnya, berikan Pediatric dose : 1-2 Tatalaksana
Hemolytic 40- 80 mg Furosemide (Lasix) mg/kg/dose. Dapat shock dan DIC
Reactions intravena. Dosis ini dapat ulangi sekali dengan jika ini terjadi
diulang sekali. dosis 2-4 mg / kg.
Kurangnya respon terhadap furosemid
dalam 2-3 jam menunjukkan adanya
gagal ginjal akut.
Cairan Loading : Pasien harus Pasien anak yang
diberikan cairan untuk harus menerima
mempertahankan output urin minimal volume loading lebih
100 / jam mL sampai urin bebas dari kecil sesuai luas
hemoglobin. permukaan tubuh
mereka.
Infus dosis loading natrium klorida
0,9% atau dekstrosa 5% dalam
natrium
klorida 0,45%. Mempertahankan
output urine dengan pemberian cairan
intravena pada 100 / jam mL sampai
urin bebas dari hemoglobin. Jika urin
output pasien tidak meningkat, dengan
hidrasi ini harus diresapi dengan hati-
hati.
Delayed Pengobatan khusus umumnya tidak Tambahan
Hemolytic Diperlukan transfusi darah
Transfusion yang tidak
Reactions memiliki antigen
yang bereaksi
dengan antibody
mungkin
diperlukan untuk
mengkompensasi
sel yang telah
ditransfusikan
Allergic Antihistamin (misalnya,Benadryl).. Pediatric dosis: 1-2 Penggunaan
Transfusion Berikan 50-100 mg oral atau intravena. mg / kg rutin Benadryl
Reactions Jika urtikaria berkembang perlahan- intramuskular atau sebagai
lahan, antihistamin dapat diberikan intravena untuk 25- premedikasi
secara oral. untuk semua
50 mg per dosis rata- transfusi,
rata. terlepas dari
adanya riwayat
reaksi alergi,
tidak disarankan.
Aminofilin untuk wheezing, dengan Pediatric Dosis: 3 mg
dosis 125-250 mg secara intravena / kg / dosis di drip
perlahan-lahan selama jangka waktu intravena selama 20
sekitar lima menit menit.
Epinefrin untuk kasus berat, reaksi Pediatric Dosis: 0,03
akut termasuk edema laring atau ml/M2 (0,03 mg/m2
bronkospasme Berikan 0,1 - 0,5 mg larutan 1:1000) yang
(0,1-0,5 mL larutan 1:1000) secara diberikan secara
subkutan. Dosis dapat diulang pada subkutan. Dosis
interval 10 – 15 menit selama 24 jam. tunggal pediatrik
harus tidak melebihi
0.3 mg.
Febrile Premedikasi pada pasien dapat Aspirin akan
Transfusion diberikan acetaminophen atau agen mempengaruhi
Reactions antipiretik lainnya ketika reaksi fungsi platelet
sebelumnya telah muncul. Pediatric pasien. Sehingga
dosis : 10 mg / kg sampai maksimal agen anti piretik
600 mg. non aspirin lebih
disukai.
Severe shaking (Kaku) dapat dikendalikan dengan Catatan:
chills efek penenang dari Benadryl atau Demerol dapat
Demerol (25-50 mg diberikan menyebabkan
intramuskular atau intravena pernapasan akut.
Sebuah
antagonis opiat
(Narcan) harus
segera tersedia.
Sepsis Due to Pengobatan syok septik meliputi :
Bacterial Segera akhiri transfusi, dan berikan
Contamination bantuan napas, cairan dan bantuan
of Donor Blood kardiovasculer, kultur darah pasien,
dan pemberian antibiotik spektrum
luas termasuk cakupan anti-
pseudomonas jika komponen darah
yang terlibat adalah Red Blood Cells.

2.2.5 Pencegahan
a.Mengurangi Kesalahan Transfusi
 Mengenal protokol transfusi darah di rumah sakit.
 Pelatihan untuk semua staf yang terlibat dalam administrasi darah /
pengambilan sampel untuk pencocokan silang.
 Pemahaman tentang transfusi harus menjadi komponen inti dari semua
dokter dalam kurikulum pelatihan itu.
 Peningkatan teknologi informasi - menggunakan barcode unik pada
gelang pasien / sampel darah dan darah disiapkan.

b. Mengurangi Transfusi Yang Tidak Perlu


 Risiko terkait transfusi dengan penggunaan darah alogenik bisa
dihilangkan dengan menggunakan darah autologous (di mana pasien
mengumpulkan dan menyimpan darah mereka sendiri untuk digunakan
dalam operasi direncanakan). Namun ini juga tidak bebas dari resiko
 Demikian pula, 'diarahkan sumbangan' (dari keluarga atau teman-teman)
tidak disarankan karena tidak ada bukti bahwa tindakan ini lebih aman baik
dari risiko infeksi. Bahkan ada insiden yang lebih tinggi komplikasi seperti
GVHD transfusi terkait pada individu terkait.
 Memastikan bahwa produk darah hanya digunakan ketika dinilai lebih
banyak manfaatnya dari pada efek samping transfusi.

 Kebutuhan transfusi dapat dikurangi dengan merangsang produksi sel


darah merah dengan eritropoietin , mengurangi perdarahan bedah dengan
obat-obatan seperti aprotinin atau teknik bedah seperti pembedahan
hipotensi, penggunaan senjata fibrin dan sealant.
 Mengubah prosedur seperti memeriksa dan memperbaiki anemia sebelum
operasi elektif, menghentikan anti-koagulan dan obat antiplatelet sebelum
operasi, meminimalkan jumlah darah diambil untuk sampel laboratorium dan
menggunakan protokol sederhana untuk panduan ketika hemoglobin harus
diperiksa dan ketika sel- sel merah harus ditransfusikan.
 Menerima transfusi dalam jumlah yang lebih kecil untuk hanya membawa
kadar hemoglobin di atas tingkat batas.

2.2.6 Prognosis
 Reaksi hemolitik akut (antibody) : Sebagian besar buruk dan fatal pada
reaksi transfusi sengaja dari golongan AB atau golongan A untuk golongan
penerima O.
 Reaksi hemolitik akut (non-antibodi) biasanya baik.
 Reaksi non hemolytic biasanya tidak menyenangkan tetapi biasanya prognosis baik.
 Reaksi alergi biasannya memiliki prognosis yang baik tetapi mengganggu resipien.
 Reaksi anafilaksis berpotensi mengganggu, tapi jarang, dan biasanya berakibat fatal
 TRALI: Beberapa kasus dengan prognosis yang buruk. Penatalaksanaan
awal dan intensif terhadap paru mengurangi risiko yang lebih buruk.
 Overload : Hasilnya bervariasi pada keseluruhan pasien.
 Kontaminasi bakteri / endotoksemia secara potensial fatal dan dapat
disebabkan oleh bakteri gram positif atau gram-negatif. Diagnosis dini,
inisiasi antibiotik spektrum luas, dan tindakan lain yang mendukung intensif
dapat membalikkan hasil dari komplikasi dinyatakan fatal karena transfusi.15

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Transfusi darah adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu
individu ke individu lainnya. Indikasi tepat transfusi darah dan
komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara
lain. Maka dari itu diharapkan pemberian transfusi hanya dilaksanakan
dengan indikasi dan pemilihan komponen yang tepat.

Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi sebagai
akibat pemberian transfusi. Pembagian reaksi transfusi ada beberapa,yaitu:
Reaksi transfusi imun, berupa reaksi transfusi cepat atau lambat; Reaksi
transfusi non imun seperti: cemaran bakteri, kelebihan zat besi,hipervolume.
Reaksi transfusi dapat muncul segera setelah transfusi dimulai, ataupun
beberapa jam hingga beberapa hari setelah transfusi dilaksanakan.

Tatalaksana terhadap reaksi transfusi prinsipnya pertama hentikan proses


transfusi, lalu evaluasi vital dan cari kemungkinan penyebab yang
menyebabkan timbulnya reaksi transfusi pada pasien. Tatalaksana lanjutan
diberikan sesuai kemungkinan penyebab. Pencegahan reaksi transfusi
dilakukan dengan mengurangi tindakan transfusi yang tidak perlu, dan
meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi pada prosedur pelaksanaan
transfusi. Prognosis bervariasi tergantung pada jenis reaksi transfusi yang
terjadi.
Daftar Pustaka

1. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah: Sudoyo Aru, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.p672.
2. Raharjo E, Sunatrio A, Mustafa I, Mz M, Gatot D, Sungkar A, et al. Transfusi komponen
darah indikasi dan skrining. Available from: HTA Indonesia_2003_Transfusi Komponen
Darah: Indikasi dan Skrining_hlm 36/36.
3. Wahidiyat PA, Marpaung E, Iskandar SD. Characteristics of acute transfusion reactions and
its related factors in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia. Health Sci J
Indones. 2019;10(1):15-20.
4. Sudoyo,dkk.2006.BukuAjarIlmuPenyakitDalam.Jakarta.DepartemenIlmuPenyakit
Dalam.FK-UI

5. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL:
http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/Handbook.p
df.
6. Immunohematologi dan bank darah: Eva Ayu Maharani. Handbook. Jakarta, 2018.
Didapatkan dari Url: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Imunohematologi-dan-Bank-Darah_SC.pdf

7. Panitia Medik Transfusi RSUP Dr. Soetomo. Pedoman pelaksanaan transfusi darah dan
komponen darah. Edisi 3. Surabaya: RSUP Dr. Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; 2001. h. 18-31.
8. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Perioperative blood transfusion for elective
surgery: a national clinical guideline. Skotlandia, Oktober 2001. Didapat dari URL:
http://www.sign.ac.uk
9. Carson JL, Duff A, Berlin JA, Lawrence VA, Poses RM, Huber EC, dkk. Perioperative
blood transfusion and postoperative mortality. JAMA 1998;279:199-205.
10. Moore FA, Moore EE, Sauaia A. Blood transfusion. An independent risk factor for
postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620-4; discussion 624-5.
11. Canadian Medical Association. Guidelines for red blood cell and plasma transfusion for
adults and children. Can Med Assoc J 1997;156:S1-24.
12. Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, dkk. Age of
transfused blood is an independent risk factor for postinjury multiple organ failure. Am
J Surg 1999;178:570-2.
13. Canadian Medical Association. Guidelines for red blood cell and plasma
transfusion for adults and children. Can Med Assoc J 1997;156:S1-24.
14. Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, dkk. Age of
transfused blood is an independent risk factor for postinjury multiple
organ failure. Am J Surg 1999;178:570-2.
15. A.Harryanto Reksodiputro, Karma L. Tambunan, Aru W. Sudoyo. 2004.
Beberapa Masalah mengenai Transfusi Darah. Sub bagian Hematologi -
Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Cermin Dunia
Kedokteran No. 95, 2004: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai