2 Reaksi Transufsi
2.2.1 Definisi
Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi sebagai akibat
pemberian transfusi. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak
sesuai dengan keuntungannya.1 Pembagian reaksi transfusi ada beberapa,yaitu: Reaksi
transfusi imun, berupa reaksi transfusi cepat atau lambat; Reaksi transfusi non imun
seperti: cemaran bakteri, kelebihan zat besi,hipervolume.
2.2.2 Epidemiologi
WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi dunia
berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang aman,
sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya 20%
memakai darah donor yang aman.2 Studi oleh Wahidiyat, dkk. di RSUPN Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa reaksi transfusi terjadi pada 0,5% pasien baik
rawat jalan maupun rawat inap. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang
bertujuan untuk mengetahui proporsi RTA di unit transfusi rawat jalan pasien dewasa
di RS tersier berdasar pada besarnya jumlah prosedur transfusi darah yang dilakukan
tiap bulan (>300 transfusi darah) yang berasal dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Bedah, Obstetri dan Ginekologi, Radioterapi, dan Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok.3 Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang tidak
diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien, dimana sebagian besar (55%) berupa
demam. Gejala lain adalah menggigil tanpa demam sebnayak 14%, reaksi alergi
(terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%, reaksi hemolitik 4%, dan
overload sirkulasi 1%. 4
I. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah
transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat
dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya
pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas
ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus,
palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan
adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi
sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang- berat, demam akibat
reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.5
Pada awalnya, gejala klinis hemolitik akut seringkali tidak spesifik. Jika reaksi
terjadi pada pasien dengan kondisi sadar, maka tubuh pasien menggigil, pasien akan
merasakan panas di area infus, nyeri di bagian dada, perut atau punggung, kepala
pusing, mual dan muntah. Gejala lainnya yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
sadarkan diri, seperti, demam (peningkatan suhu tubuh > 10C), perubahan kondisi
kulit (seperti pembengkakan/oedem, pucat), takikardia (detak jantung di atas normal),
tekanan darah di bawah nilai normal (hipotensi), dan perubahan warna urin menjadi
kemerahan karena adanya Hemoglobin (Hb) pada urin. Pasien dapat mengalami reaksi
koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation/DIC)
karena adanya perdarahan cukup luas yang dapat memicu faktor koagulasi pasien
bekerja ekstra sehingga terbentuk bekuan dan menutup pembuluh darah. Selain itu
pasien dapat mengalami anuria karena ginjal tidak dapat memproduksi urin (gagal
ginjal). Kondisi ini dapat menyebabkan kematian pasien.Gejala klinis reaksi hemolitik
akut intravaskular lebih berat dibandingkan hemolisis ekstravaskular.6
A. Hemolisis ekstravaskular
Hemolisis ekstravaskular merupakan lisis sel darah merah yang
terjadi karena reaksi Ag donor yang disensitisasi/dilekati oleh Ab dan atau komplemen
pasien. Kompleks Ag, Ab dan atau komplemen tersebut dikenali dan disingkirkan ke
luar pembuluh darah oleh sel makrofag menuju ke hati atau limpa untuk dihancurkan.
Pada saat makrofag menempel dan terikat pada sel darah merah, maka proses
fagositosis dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu :(i) sel darah merah difagositosis dan
dihancurkan di dalam makrofag, (ii) sel darah merah difagositosis dan dihancurkan
sebagian, sedangkan sisanya dapat tidak terfagositosis dan beredar di sirkulasi sebagai
sel sferosit yang mempunyai masa hidup pendek, (iii) sel darah merah berada di luar
makrofag dan dilisiskan melalui mekanisme antibody-dependent cell-mediated
cytotoxicity (ADCC), yaitu makrofag mengeluarkan substan yang bersifat toksik,
sehingga sel darah merah yang menempel pada makrofag dapat lisis, tanpa melisiskan
makrofag.6
Pada saat sel darah merah dihancurkan didalam makrofag , maka akan melepaskan
molekul Hb dari sel darah merah yang kemudian dipecah menjadi bagian heme dan
globin. Protein globin akan dimanfaatkan kembali oleh tubuh, sedangkan molekul
heme diubah menjadi biliverdin yang pada proses berikutnya akan diubah menjadi
bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan dibawa ke hepatosit untuk dirubah menjadi
bilirubin direk (larut dalam air). Pada hemolisis ekstravaskular, umumnya konsentrasi
bilirubin indirek meningkat, karena terlalu banyak molekul heme yang diubah menjadi
bilirubin, sampai hepatosit tidak mampu memproses kelebihan bilirubin.Bilirubin
direk kemudian dieksresikan ke dalam sistem gastrointestinal yang kemudian diubah
menjadi urobilinogen dan dieksresikan melalui feses dalam bentuk sterkobilinogen.6
Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka
akan semakin meningkatkan risiko.5,6
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat
kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung
yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung
danketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab
lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan
darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti
sistem Idd, Kell atau Duffy.5,6,7,8
C. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma
merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien
tertentu. Reaksi anafilaktik sendiri merupakan bagian dari reaksi alergi. Komplikasi
ini jarang terjadi, namun dapat membahayakan jiwa pasien. Reaksi dapat terjadi pada
individu dengan defisiensi/kekurangan terhadap jenis Ab / immunoglobulin / protein
tertentu, dalam hal ini adalah defisiensi terhadap immunoglobulin A (IgA), sehingga
terdapat Ab terhadap IgA karena adanya riwayat paparan dengan IgA sebelumnya.
Gejala klinis pasien akan terjadi setelah Alergen yang dapat memicu reaksi alergi, bisa
berasal dari darah donor ataupun pasien yang akan bereaksi dengan Ab yang berasal
dari darah pasien maupun komponen darah donor.
Reaksi anafilaktik, yaitu reaksi terhadap individu dengan defisiensi IgA, sehingga
mempunyai anti-IgA dari paparan sebelumnya. Gejala klinis reaksi anafilaktik
berupa : batuk, sesak napas, mual, muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, bisa
menyebabkan shock, hilang kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Reaksi
anaphylactoid terjadipada pasien dengan konsentrasi IgA normal, tetapi mempunyai
beberapa jenis IgA yang dapat bereaksi dengan bagian rantai ringan (light chain) IgA
donor. Reaksi anaphylactoid, biasanya tidak separah reaksi anafilaktik, dengan gejala
klinis berupa : urtikaria, sesak napas.5,6,7,8
Gambar 1.
Mekanisme TRALI
II. Reaksi Lambat
A. Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda
demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik tunda disebabkan
karena respon imun sekunder terhadap Ag pada sel darah merah donor. Hal ini terjadi
karena pasien sudah pernah terpapar dengan jenis Ag yang sama sebelumnya sehingga
pasien sudah mempunyai Antibody terhadap Ag tersebut. Jenis antibody pada respon
imun sekunder, biasanya adalah jenis IgG yang berada pada jumlah maksimal selama
3 –7 hari setelah paparan dengan allergen yang sesuai. Pada kisaran hari tersebut, sel
darah merah donor masih berada di aliran darah pasien, dan dapat dihancurkan secara
cepat karena bereaksi dengan antibodi yang sesuai.
Antibody yang dapat menyebabkan reaksi hemolitik tunda , adalah antibody yang
berasal dari sistem Rh, Kidd, Duffy, Kell dan MNSs. Jenis antibody tersebut adalah
anti-c, anti-E, anti-Jka, anti-K, anti-Fya, anti-Jkb, anti-M, anti-s, anti-Fyb, anti-Fy3,
anti-Kpa, anti-N dan anti-U.Gejala klinis pada pasien dengan reaksi transfusi tunda
lebih ringan dibandingkan reaksi transfusi akut. Gejalanya antara lain : demam dan
gejala anemia. Adanya penurunan Hb dan ikterus dapat terjadi1 minggu setelah
transfusi, terkadang dapat terjadi hemoglobinuria, namun tidak sampai terjadi gagal
ginjal.5,6,7,8
B. Aloimunisasi
Reaksi komplikasi jangka panjang karena transfusi, salah satunya adalah reaksi
aloimunisasi yaitu terbentuknya Ab terhadap paparan dengan Ag sel darah merah,
lekosit maupun trombosit sebelumnya. Reaksi aloimunisasi biasanya terjadi pada
pasien yang mendapat beberapa kali transfusi darah. Gejala klinis yang timbul,
umumnya tidak terlalu parah, seperti demam dan penurunan konsentrasi Hb. Namun
demikian, reaksi aloimunisasi dapat mempunyai gejala klinis yang berat jika terjadi
perdarahan, sebagai contoh : pada transfusi trombosit terjadi reaksi antara Ab
trombosit pada pasien dengan trombosit yang ditransfusikan, sehingga terjadi
penurunan trombosit yang signifikan (trombositopenia), jika reaksi berlanjut dapat
menyebabkan perdarahan. Jika allo Ab yang terbentuk mempunyai reaksi yang kuat,
efeknya dapat sulit untuk menemukan komponen darah yang sesuai pada transfusi
berikutnya.Untuk deteksi ada tidaknya reaksi aloimunisasi, dapat
dilakukanpemeriksaanCoomb’s test maupunskrining dan identifikasi Ab.6
C. Purpura pasca transfusi
sumsum tulang.5,6
E. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan
mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai
dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk
menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan
untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin
<2.000 mg/l.5,6
2.2.4 Penatalaksanaan
Peningkatan suhu > 1,5 o C dari suhu tubuh normal atau dijumpai urtikaria,
maka harus dilakukan pemeriksaan ulang darah yang sedang ditransfusikan,
berikan parasetamol dan anti- histamin, dan transfusi dengan tetesan yang
lebih lambat dan amati kondisi pasien lebih sering. Sementara demam atau
kaku yang tidak biasa sebagai respons terhadap transfusi mungkin
merupakan suatu reaksi demam non-hemolitik, dapat juga merupakan tanda
pertama dari reaksi transfusi.
Dimana reaksi ini lebih berat:
o Hentikan Transfusi.
o Mulai dengan antibiotik spektrum luas jika terjadi infeksi bakteri. Jika
diagnostic tidak tersedia dapat dilakukan protokol penatalaksanaan sepsis.
o Lakukan perawatan intensif pada tahap awal.
4. Korticosteroids
2.2.5 Pencegahan
a.Mengurangi Kesalahan Transfusi
Mengenal protokol transfusi darah di rumah sakit.
Pelatihan untuk semua staf yang terlibat dalam administrasi darah /
pengambilan sampel untuk pencocokan silang.
Pemahaman tentang transfusi harus menjadi komponen inti dari semua
dokter dalam kurikulum pelatihan itu.
Peningkatan teknologi informasi - menggunakan barcode unik pada
gelang pasien / sampel darah dan darah disiapkan.
2.2.6 Prognosis
Reaksi hemolitik akut (antibody) : Sebagian besar buruk dan fatal pada
reaksi transfusi sengaja dari golongan AB atau golongan A untuk golongan
penerima O.
Reaksi hemolitik akut (non-antibodi) biasanya baik.
Reaksi non hemolytic biasanya tidak menyenangkan tetapi biasanya prognosis baik.
Reaksi alergi biasannya memiliki prognosis yang baik tetapi mengganggu resipien.
Reaksi anafilaksis berpotensi mengganggu, tapi jarang, dan biasanya berakibat fatal
TRALI: Beberapa kasus dengan prognosis yang buruk. Penatalaksanaan
awal dan intensif terhadap paru mengurangi risiko yang lebih buruk.
Overload : Hasilnya bervariasi pada keseluruhan pasien.
Kontaminasi bakteri / endotoksemia secara potensial fatal dan dapat
disebabkan oleh bakteri gram positif atau gram-negatif. Diagnosis dini,
inisiasi antibiotik spektrum luas, dan tindakan lain yang mendukung intensif
dapat membalikkan hasil dari komplikasi dinyatakan fatal karena transfusi.15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Transfusi darah adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu
individu ke individu lainnya. Indikasi tepat transfusi darah dan
komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara
lain. Maka dari itu diharapkan pemberian transfusi hanya dilaksanakan
dengan indikasi dan pemilihan komponen yang tepat.
Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi sebagai
akibat pemberian transfusi. Pembagian reaksi transfusi ada beberapa,yaitu:
Reaksi transfusi imun, berupa reaksi transfusi cepat atau lambat; Reaksi
transfusi non imun seperti: cemaran bakteri, kelebihan zat besi,hipervolume.
Reaksi transfusi dapat muncul segera setelah transfusi dimulai, ataupun
beberapa jam hingga beberapa hari setelah transfusi dilaksanakan.
1. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah: Sudoyo Aru, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.p672.
2. Raharjo E, Sunatrio A, Mustafa I, Mz M, Gatot D, Sungkar A, et al. Transfusi komponen
darah indikasi dan skrining. Available from: HTA Indonesia_2003_Transfusi Komponen
Darah: Indikasi dan Skrining_hlm 36/36.
3. Wahidiyat PA, Marpaung E, Iskandar SD. Characteristics of acute transfusion reactions and
its related factors in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia. Health Sci J
Indones. 2019;10(1):15-20.
4. Sudoyo,dkk.2006.BukuAjarIlmuPenyakitDalam.Jakarta.DepartemenIlmuPenyakit
Dalam.FK-UI
5. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL:
http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/Handbook.p
df.
6. Immunohematologi dan bank darah: Eva Ayu Maharani. Handbook. Jakarta, 2018.
Didapatkan dari Url: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Imunohematologi-dan-Bank-Darah_SC.pdf
7. Panitia Medik Transfusi RSUP Dr. Soetomo. Pedoman pelaksanaan transfusi darah dan
komponen darah. Edisi 3. Surabaya: RSUP Dr. Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; 2001. h. 18-31.
8. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Perioperative blood transfusion for elective
surgery: a national clinical guideline. Skotlandia, Oktober 2001. Didapat dari URL:
http://www.sign.ac.uk
9. Carson JL, Duff A, Berlin JA, Lawrence VA, Poses RM, Huber EC, dkk. Perioperative
blood transfusion and postoperative mortality. JAMA 1998;279:199-205.
10. Moore FA, Moore EE, Sauaia A. Blood transfusion. An independent risk factor for
postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620-4; discussion 624-5.
11. Canadian Medical Association. Guidelines for red blood cell and plasma transfusion for
adults and children. Can Med Assoc J 1997;156:S1-24.
12. Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, dkk. Age of
transfused blood is an independent risk factor for postinjury multiple organ failure. Am
J Surg 1999;178:570-2.
13. Canadian Medical Association. Guidelines for red blood cell and plasma
transfusion for adults and children. Can Med Assoc J 1997;156:S1-24.
14. Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, dkk. Age of
transfused blood is an independent risk factor for postinjury multiple
organ failure. Am J Surg 1999;178:570-2.
15. A.Harryanto Reksodiputro, Karma L. Tambunan, Aru W. Sudoyo. 2004.
Beberapa Masalah mengenai Transfusi Darah. Sub bagian Hematologi -
Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Cermin Dunia
Kedokteran No. 95, 2004: Jakarta