Oleh:
Preseptor:
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pneumonia merupakan suatu peradangan pada paru yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, maupun parasit. Sedangkan
peradangan pada paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.1 Pneumonia
menyerang manusia dan sekitar 450 juta kasus tiap tahunnya. Pneumonia dibagi menjadi
3 yaitu community acquired pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas, hospital
acquired pneumonia (HAP) dan ventilator associated pneumonia (VAP). Pneumonia yang
sering terjadi dan bersifat serius adalah pneumonia komunitas, berkaitan dengan penyebab
kematian dan kesakitan terbayak di dunia.2
Angka kematian sekitar 1.4 juta pertahunnya secara global (7% penyebab kematian
didunia). Angka kematian terbanyak pada usia anak-anak dan orang tua (> 75 tahun).
Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi negara berkembang dibandingkan negara
maju. Di Indonesia pada tahun 2010, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit dengan proporsi kasus 53.95% untuk laki-laki dan 46.05% untuk
perempuan, dengan crude fatality rate (CFR) 7.6%, paling tinggi bila dibandingkan
penyakit lainnya. Berdasarkan data RISKESDAS 2018 prevalensi pneumonia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (nakes) adalah sekitar 2,0% sedangkan pada tahun 2013 adalah
1.8%.
CAP (community acquired pneumonia). didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi
pada pasien yang tidak mendapatkan perawatan inap di rumah sakit atau fasilitas
perawatan inap jangka panjang (panti) setidaknya lebih dari 14 hari sebelum mulai
munculnya tanda dan gejala tersebut. Diagnosis CAP yaitu berdasarkan adanya gejala
klinik dan didukung gambaran radiologis paru (radiografi thoraks). 3
Mengingat prevalensi CAP dan potensinya untuk menyebabkan penyakit parah,
penyedia layanan gawat darurat harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang kondisi
multifaset ini dan dapat mengambil pendekatan yang berbeda untuk manajemen. Dokter
darurat perlu mengenali gejala sugestif CAP, memilih tes diagnostik yang sesuai, pilih
antibiotik empiris yang direkomendasikan, dan stratifikasi risiko pasien untuk disposisi
yang tepat.4
2
1.2 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini ialah untuk menambah wawasan serta pengetahuan pembaca
dan penulis mengenai tatalaksana CAP (community acquired pneumonia).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Definisi CAP menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) adalah infeksi
akut parenkim paru yang ditandai dengan terdapatnya infiltrat baru pada foto toraks atau
ditemukannya perubahan suara napas dan atau ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik
paru yang konsisten dengan pneumonia pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah
sakit atau tempat perawatan lain dalam waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.
Definisi yang lebih lengkap diberikan oleh BTS yaitu timbulnya gejala infeksi
saluran napas bawah yaitu: batuk ditambah minimal satu gejala infeksi saluran napas
bawah lain; perubahan hasil pemeriksaan fisik paru; paling kurang satu dari tanda sistemik
(berkeringat,demam, menggigil,dan atau suhu ≥380C); respons setelah pemberian
antibiotik. 5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam setahun adalah 12 kasus
setiap 1000 orang. Mortalitas pada penderita CAP yang membutuhkan perawatan rumah
sakit diperkirakan sekitar 7 - 14%, dan meningkat pada populasi tertentu seperti pada
penderita CAP dengan bakterimi, dan penderita yang memerlukan perawatan di intensive
care unit (ICU).6 Angka mortalitas juga lebih tinggi ditemukan pada Negara berkembang,
pada usia muda, dan pada usia lanjut, bervariasi dari 10 – 4 orang tiap 1000 penduduk di
negara-negara barat.7
4
2. Alkoholisme
Efek samping alkohol berpengaruh pada beberapa system pertahanan dalam saluran
pernafasan. Alkohol menyebabkan kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring,
mengganggu refleks batuk, merubah gerak menelan, dan transport mukosiliar. Alkohol juga
mengganggu fungsi limfosit, neutrofil, monosit, dan makrofag alveolar. Faktor-faktor
tersebut menyebabkan penurunan bersihan bakteri dari jalan nafas pasien.7
3. Nutrisi
Kerentanan terhadap infeksi meningkat dengan adanya fenomena akibat malnutrisi
seperti penurunan kadar sekresi IgA, suatu kegagalan pengerahan makrofag, dan perubahan
pada imunitas seluler. Sehingga frekuensi kolonisasi saluran nafas oleh bakteri gram negatif
meningkat pada pasien dengan malnutrisi, dan kejadian pneumonia berat meningkat. 7
4. Merokok
Merokok mempengaruhi transport mukosilier, pertahanan humoral dan seluler, dan
fungsi sel epitel dan meningkatkan perlekatan Streptococcus pneumoniae dan Haemophylus
influenzae kepada epitel orofaring. Lebih dari itu merokok merupakan predisposisi
terjadinya infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophylus
influenzae, dan Legionella pneumophilla.7
5. Penyakit komorbid
Insidensi CAP meningkat pada orang dengan penyakit komorbid. Penyakit-penyakit
tersebut diantaranya Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), diabetes mellitus,
insufisiensi renal, Congestive Heart Failure (CHF), penyakit jantung koroner, keganasan,
penyakit neurologic kronik, penyakit hati kronik.3 Pada penyakit kardiopulmoner beresiko
terjadinya infeksi oleh bakteri gram negatif. Pseudomonas aeruginosa berisiko terjadi pada
penyakit-penyakit paru strukutral seperti bronkiektasis.3
2.4 ETIOLOGI
Etiologi CAP bervariasi menurut tingkat keparahan penyakitnya, meliputi bakteria,
fungi, virus, protozoa, dan lain-lain. Namun sebagian besar kasus CAP etiologinya adalah
kuman atau bakteri patogen. Beberapa studi di Negara barat mengidentifikasi Streptococcus
pneumoniae sebagai patogen etiologi yang paling sering teridentifikasi. Patogen etiologi
lain yang juga banyak teridentifikasi adalah Mycoplasma pneumoniae, Haemophylus
influenzae, agen viral, dan lain-lain.8
5
Tabel 1. Etiologi CAP menurut ATS 2007
Data Survelans sentinel SARI (Severe Acute Respiratory Infection) 2010 yang
dilakukanoleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI mendapatkan hasil dari
biakan sputum pasien CAP yaitu K.pneumoniae(29%), A.baumanii(27%), S.aureus(16%),
S.pneumoniae(12%), A.calcoaticus(8%), P.aeruginosa(6%) dan E.coli(2%). Pada penyakit
paru kronik seperti bronkiektasis, fibrosis kistik dan PPOK biasanya bila terdapat infeksi
biasanya berhubungan dengan kuman gram negatif seperti P.aeruginosa
6
keluhan maupun tanda kliniknya timbul mendadak. Keluhannya antara lain : malaise,
demam tinggi, dan symptom pulmonal yang mencolok (sesak nafas, rasa tidak enak di dada,
nyeri pleuritik, batuk produktif dengan sputum berdarah atau purulen). Tanda klinik :
demam tinggi, takipneu, takikardi, sianosis, dan kesadaran menurun (bila berat). Kelainan
fisik paru : terjadi konsolidasi paru (tergantung bagian paru mana yang terkena), stem
fremitus mengeras, perkusi pekak, ronki basah (tergantung stadiumnya), suara nafas
vesikuler diperkeras atau bronkial, dan lain-lain.11
7
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosa dari CAP ditegakkkan berdasarkan data klinis, laboratorium, dan radiologi.
Selain melihat gejala klinis (batuk, demam, nyeri dada pleuritik), pemeriksaan fisik dilakukan
untuk mencari adanya rales atau suara bronki yang tidak sensitif ataupun spesifik untuk
mendiagnosa pneumonia.3 Oleh karena itu, pemeriksaan radiographi thoraks dibutuhkan untuk
mendapatkan diagnosis pasti (adanya infiltrat) juga untuk membuat diagnosis banding seperti
efusi parapneumonia, abses paru, dan keterlibatan multilobuler. Walaupun Computed
Tomography(CT) scan adalah pemeriksaan yang lebih sensitif untuk mendeteksi adanya
infiltrat pada paru-paru, tetapi tidak direkomendasikan oleh IDSA ataupunATS sebagai
pemeriksaan rutin.3
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru
atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, ureum serta fungsi hati dilakukan untuk
menetukan derajat keparahan CAP. Uji mikrobiologi dari sputum harus dilakukan pada pasien
CAP sedang dan berat, sedangkan pada pasien CAP ringan sebaiknya pemeriksaan
mikrobiologis harus berdasarkan faktor-faktor klinis seperti usia, penyakit komorbid dan
indikator-indikator beratnya CAP serta faktor epidemiologi dan riwayat antibiotik yang
digunakan sebelumnya. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologis menemukan kuman penyebab
maka antibitiok yang diberikan harus diganti ke antibiotik yang lebih spesifik terhadap kuman
penyebab.3
8
Pedoman IDSA / ATS mencantumkan seperangkat kriteria mayor dan minor terpisah
untuk mendefinisikan “pneumonia severe” untuk menentukan pasien dengan dugaan CAP
yang mendapat perawatan intensif.14 Setidaknya 1 dari kriteria mayor atau setidaknya 3 dari
kriteria minor diperlukan untuk diagnosis pneumonia berat.
9
terjadinya efusi pleura (pada 36 - 57% penderita ). Sedangkan kuman lain yang dapat
menyebabkan efusi pleura termasuk Haemophylus influenzae, Mycoplasma pneumoniae,
Legionella sp, dan Mycobacterium tuberculosis.13
10
direkomendasikan untuk dilakukan pengecatan gram dan kultur bila tersedia sampel yang
adekuat (kurang dari 25 sel epitel skuamus, pemeriksaan dilakukan dalam 1-2 jam setelah
sampel didapat, pemeriksa yang terlatih untuk menginterpretasi hasil). Pada pasien yang
dirawat ICU, direkomendasikan untuk memeriksa sekret dari saluran napas bawah karena
pasien dalam pengawasan dan mungkin diintubasi maka sampel lebih mudah diperoleh. 13
Kultur darah dilakukan bila ada indikasi CAP berat dan sebaiknya diambil sebelum
pemberian antibiotik karena hasil nya yang kurang optimal setelah pemberian antibiotik. 3
IDSA dan ATS memiliki rekomendasi yang berbeda dalam pemeriksaan mikrobiologi untuk
mencari etiologi dari CAP. IDSA merekomendasikan pemeriksaan sputum rutin dengan
pengecatan gram untuk mengoptimalkan terapi antibiotik pada masing-masing pasien dan
memonitor adanya resistensi patogen terhadap obat. Sedangkan ATS, tidak merekomendasikan
pengecatan gram pada pemeriksaan sputum (tidak adanya kecurigaan resistensi obat) karena
studi menunjukkan bahwa patogen tidak teridentifikasi pada 40-50% pasien. Lebih lanjut, tes-
tes ini tidak dapat mendeteksi patogen atipikal yang terjadi pada 3% to 40% dari kasus CAP.
Organisme atipikal ini didentifikasi dengan tes serologi terhadap Mycoplasmaspecies dan
Chlamydiaspecies, atau dengan antigen pada urin terhadap Legionellaspecies.
Skoring derajat keparahan pneumonia seperti CURB-65 atau skor prediksi seperti
PSI, bermanfaat untuk memprediksi risiko mortalitas pasien CAP. Skor-skor ini juga
digunakan sebagai panduan pemilihan terapi antibiotik dan mengidentifikasi pasien yang
11
memerlukan perawatan di ICU. Penggunaan skor/kriteria yang objektif ini dapat menurunkan
angka rawat inap pada pasienCAP dengan risiko mortalitas rendah juga penting dalam
mengidentifikasi pasien CAP risiko mortalitas tinggi yang membutuhkan perawatan. Namun
penggunaan kriteria yang objektif juga harus diimbangi oleh penilaian subjektif dari dokter,
termasuk kemampuan dan keamanan pasien dalam mengonsumsi obat secara oral dan
ketersediaan sarana dan prasarana bagi out patient tersebut.3
2.9.1 CURB-65
Merupakan model skor yang direkomendasikan oleh British Thoracic Society(BTS)
berdasar pada lima gambaran klinik utama yang sangat praktis, mudah diingat dan dinilai.
Skor ini juga telah divalidasi walaupun dengan jumlah sample yang lebih sedikit
dibandingkan dengan PSI.15 Kelebihan skor CURB-65 adalah penggunaannya yang mudah
dan dirancang untuk lebih menilai keparahan penyakit dibandingkan dengan PSI yang
menilai risiko mortalitas.3
12
dari kelengkapan lembar penilaian, sehingga sulit diterapkan pada situasi pelayanan gawat
darurat yang sibuk. Akan tetapi, skor ini sangat baik untuk mengkaji penderita dengan risiko
mortalitas rendah yang sesuai untuk mendapat penanganan rawat jalan daripada penderita
dengan pneumonia berat yang membutuhkan perawatan rumah sakit. 16 Berdasarkan tingkat
mortalitasnya maka pasien dibagi menjadi: kelas risiko I dan II dirawat jalan(outpatients) ,
pasien kelas risiko III dirawat inap singkat atau dalam unit pengawasan, dan pasien kelas
risiko IV dan V dirawat inap (inpatients).16Berdasarkan pedoman ATS, pasien dengan kelas
risiko III mungkin untuk dirawat jalan atau dirawat inap singkat. 16
13
Modifikasi dari skor PSI dibutuhkan dalam memutuskan tempat perawatan pasien.
Pasien dengan kelas risiko I-III dirawat inap apabila saturasi oksigen arteri 16<90% atau
tekanan oksigen arteri (PaO2) <60 mmHg. Selain karena hipoksemia, kelas risiko rendah
kriteria PSI I-III dirawat inap apabila didapatkan syok, penyakit penyerta, efusi pleura,
ketidakmampuan mempertahankan konsumsi obat secara oral, masalah sosial( tidak ada
keluarga/orang yang dapat menjaga), dan respon yang inadekuat terhadap terapi antibiotik
empirik sebelumnya. Alasan medik dan psikososial lain untuk pasien dirawat inap adalah
vomitus, penyalahgunaan obat injeksi, gangguan jiwa berat, tuna wisma, status fungsional yang
buruk dan disfungsi kognitif.17 Namun pasien dengan kelas risiko V dan umur yang sangat tua
dan disertai berbagai penyakit kronik dapat dikelola sebagai outpatient. 14
Sementara CURB-65 mungkin lebih baik dalam pengaturan klinis yang sibuk, karena
ini adalah skala stratifikasi risiko yang lebih pendek untuk CAP, Indeks Keparahan
Pneumonia lebih disukai oleh pedoman IDSA / ATS 2019 karena telah dipelajari dan
divalidasi secara lebih ekstensif. 14
2.10 TATALAKSANA
Antibiotik merupakan pilihan utama untuk terapi farmakologis pneumonia komunitas.
Hal ini dikarenakan data epidemiologis pada penelitian - penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa bakteri merupakan patogen yang sering ditemukan, dan menjadi penyebab utama
pneumonia komunitas. Terapi antibiotik pada pneumonia komunitas dapat diberikan secara
empiris maupun menyesuaikan berdasarkan patogen penyebabnya. Pada salah satu studi
prospektif, tidak ada perbedaan signifikan antara inisiasi pemberian terapi empirik dengan
pemberian terapi sesuai dengan patogen penyebabnya. 1,3,8, 19
14
Tabel 3. Rekomendasi Pengobatan Empiris
Infectious Disease Society Association / Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan
American Thoracic Society (IDSA/ATS) Pneumonia Komunitas
Rawat Jalan
• Kondisi sehat dan tidak menggunakan • Tanpa faktor modifikasi : Beta laktam
antibiotik selama 3 bulan : atau beta laktam + anti beta laktamase
• Dengan faktor modifikasi : beta laktam +
- Makrolide
anti beta laktamase atau florokuinolon
- Doxycycline respirasi
• Adanya komorbiditas atau penggunaan • Curiga pneumonia atipikal : makrolid
baru (roksitromisin, klaritromisin)
antibiotik 3 bulan sebelumnya :
- Florokuinolon respirasi
- Beta laktam + makrolide atau doxycyline
sebagai pengganti makrolide apabila
ditemukan adanya resistensi
Rawat Inap non ICU
• Floroquinolone respirasi • Tanpa faktor modifikasi : beta laktam +
• Beta laktam + makrolide dengan anti betalaktamase IV, atau Sefalosporin
doxycyline sebagai alternatif dari G2, G3 IV, atau florokuinolon respirasi
makrolide IV
• Dengan faktor modifikasi : Sefalosporin
G2, G3 IV, atau florokuinolon respirasi
IV
• Curiga infeksi atipikal ditambah makrolid
baru
Rawat Inap ICU
• Beta laktam ditambah antara azithromycin • Tidak ada faktor resiko pseudomonas :
atau florokuinolone Sefalosporin G3 IV non pseudomonas +
• Curiga infeksi Pseudomonas : makrolid baru atau florokuinolon respirasi
- Antipneumococcus antipseudomonal beta IV
laktam (piperaciliin – tazobactam, cefepime, • Ada faktor resiko pseudomonas :
imipenem, atau meropenem) ditambah Sefalosporin anti pseudomonas IV atau
antara ciprofloxacin atau levofloxacin, atau karbapenem IV + florokuinolon anti
- Beta laktam + aminoglikosida dan pseudomonas (siprofloksasin) IV atau
azithromycin, atau aminoglikosida IV
- Beta laktam + aminoglikosida dan • Curiga infeksi atipikal : sefalosporin anti
antipneumococcus florokuinolone pseudomonas IV atau karbapenem IV +
aminoglikosida IV + makrolid baru atau
florokuinolon respirasi IV
15
berat dan memiliki resiko mortalitas yang tinggi. Pemberian kortikosteroid tidak
direkomendasikan pada pasien pneumonia komunitas, dan di sebuah penelitan menunjukkan
bahwa pemberian prednisolone selama satu minggu tidak mempengaruhi hasil terapi secara
signifikan, namun pemberiannya dapat dipertimbangkan pada pasien dengan syok septik
refrakter3
Sedangkan menurut pedoman BTS, terapi antibiotik empirik ditentukan bukan
berdasarkan tempat perawatan melainkan derajat keparahan berdasarkan kriteria CURB-65.
Pasien CAP dengan derajat keparahan rendah (CURB 65=0–1) diberikan amoxicillin oral.
Pasien dengan derajat sedang (CURB 65=2) diberikan terapi kombinasi amoxicillin dan
macrolide oral. Terapi oral diberikan selama tidak ada kontraindikasi. Pasien yang memiliki
respon kurang baik terhadap amoxicillin dapat diberikan monotherapy macrolide. Pasien CAP
derajat tinggi (CURB 65=3–5) diberikan antibiotic parenteral yang terdiri dari β-lactam broad
spectrum seperti co-amoxiclav ditambah macrolide seperti clarithromycin.8
Pada pasien yang sudah membaik dapat dilakukan alih terapi dari terapi secara intravena ke
oral.19
Terapi Sulih (Switching Therapy)1
Keputusan untuk beralih dari terapi antibiotik intravena ke oral didasarkan pada penilaian
respon klinis, evaluasi gejala batuk, produksi sputum, dispnea, demam, dan leukositosis.
Setelah pasien stabil secara klinis, peralihan ke terapi oral dapat dilakukan. Direkomendasikan
pasien dapat dialihkan ke terapi oral jika memenuhi empat kriteria: perbaikan pada batuk dan
dispnea, afebris (<100 ° F/ 37,8oC) pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 8 jam, jumlah sel
darah putih menurun, saluran gastrointestinal berfungsi dengan asupan oral yang memadai.
Perubahan obat suntik ke oral juga harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang
diberikan secara intravena dan antibiotik oral yang efektivitasnya mampu mengimbangi
efektivitas antibiotik intravena yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara
sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down
(obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).1,3,8
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah
diberikan dan bakteri penyebabnya.1,18
16
2.11 KOMPLIKASI
2.12 PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif
sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian
penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan, sedangkan penderita
yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.1
Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian pneumonia
komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada
rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan
bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan
risiko kelas.3
17
Penelitian di Amerika Serikat, sekitar 10% dari pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan diagnosis CAP memerlukan perawatan ICU. Kematian yang terkait dengan CAP sangat
tergantung pada pengaturan klinis di mana ia dirawat. Kematian ini hanya kurang dari 3% pada
pasien rawat jalan, sekitar 5-10% pada pasien rawat inap yang tidak membutuhkan perawatan
ICU, setinggi 25% pada pasien yang diintubasi, dan hampir 50% pada pasien ICU yang
membutuhkan vasopressor.2,3,4 Sedangkan di Indonesia, di RS Persahabatan pneumonia rawat
inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD
Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.1,3,19,20
2.13 PENCEGAHAN
• Menjaga daya tahan tubuh dengan menerapkan pola hidup sehat
• Menjaga kebersihan dan menerapkan etika batuk dan bersin
• Tidak merokok
•
Vaksinasi1,3,20
- Vaksin Influenza. Semua orang yang berusia ≥50 tahun, orang lain yang berisiko
terkena komplikasi influenza, kontak rumah tangga dengan orang berisiko tinggi,
dan petugas kesehatan harus menerima vaksin influenza yang tidak aktif seperti
yang direkomendasikan oleh Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP)
- Vaksin polisakarida pneumokokus direkomendasikan untuk orang berusia ≥65
tahun dan untuk mereka yang menderita penyakit berisiko tinggi menurut
pedoman ACIP saat ini.
- Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitasnya.
Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia
lanjut, penyakit kronik. diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi
yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitivitas tipe 3
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia) merupakan penyakit infeksi
yang paling sering ditemukan pada pasien dewasa, dan insidensinya meningkat pada kelompok
lansia. Faktor risiko termasuk usia ≥65 tahun, penyakit penyerta kronis, infeksi virus
pernapasan yang terjadi bersamaan atau sebelumnya, gangguan perlindungan saluran napas,
merokok, penyalahgunaan alkohol, dan faktor gaya hidup lainnya (misalnya, kondisi tempat
tinggal yang padat).
Penyebab CAP yang paling umum adalah virus pernapasan, bakteri tipikal (misalnya,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis) dan bakteri
atipikal (misalnya, Legionella spp, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae).
Pseudomonas dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah penyebab yang
lebih jarang yang sebagian besar terjadi pada pasien dengan faktor risiko spesifik
Selain diagnosis, diperlukan pula keputusan apakah penderita akan diterapi di rawat
inap atau rawat jalan. Skoring sederhana seperti CURB-65 dan PSI dapat membantu dalam
membuat keputusan tersebut. Pemberian antibioika inisial yang tepat sesuai profil pasien
membantu memperkecil angka mortalitas maupun morbiditas.
3.2 Saran
Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia) terus berkontribusi pada
morbiditas dan mortalitas pasien serta biaya perawatan kesehatan sehingga penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menjelaskan strategi yang tepat untuk menurunkan antibiotik tanpa
adanya organisme penyebab, menentukan dosis dan durasi penggunaan steroid tambahan, dan
mengklarifikasi tindak lanjut pasien setelah keluar dari rumah sakit
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Baum’s Textbook of Pulmonary Disease. Seventh Ed. Lippincot Williams and
Wilkins. 2004; 22:425-453.
13. Mandell LA, Marrie TJ, Grossman RF, Chow AW, Hyland RH. Summary of
Canadian Guideline for the Initial Management of Community- cquired Pneumonia :
An evidence-based update by the Canadian Infectious Disease Society and the
Canadian Thoracic Society. Can J Infect Dis. 2000 Sep-Oct; 11(5): 237–248.
14. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, et al. Diagnosis and treatment of adults with
community-acquired pneumo-nia. An offi cial clinical practice guideline of the
Ameri-can Thoracic Society and Infectious Diseases Society of America. Am J Respir
Crit Care Med 2019; 200(7):e45–e67. doi:10.1164/rccm.201908-1581ST
15. Armitage K, Woodhead M; Lippincott Williams & Wilkins.New guidelines for the
management of adult community-acquired pneumonia. Curr Opin Infect Dis 2007;
20:170–176.
16. Lim WS, Van der Eerden MM, Laing R, Boersma WG, Karalus N, Town GI, et al.
Defining community acquired pneumonia severity on presentation to hospital: an
international derivation and validation study. Thorax 2003; 58:377–382.
17. Marrie TJ, Wu L. Factors influencing in-hospital mortality in community-acquired
pneumonia: a prospective study of patients not initially admitted to the ICU. Chest
2005; 127:1260–70.
18. Angus DC, Marrie TJ, Obrosky DS, et al. Severe community-acquired pneumonia:
use of intensive care services and evaluation of American and British Thoracic
Society diagnostic criteria. Am J Respir Crit Care Med. 2002; 166:717–723.
[PubMed: 12204871]
19. Rodriguez A, Mendia A, Sirvent JM, et al. Combination antibiotic therapy improves
survival in patients with community-acquired pneumonia and shock. Crit Care Med.
2007; 35:1493–1498. [PubMed: 17452932]
20. Restrepoa, M ,Faverioa. P, Anzuetoa. A, et al. Long-term prognosis in community-
acquired pneumonia. National Insitutes of Health. Curr Opin Infect Dis. 2013 April ;
26(2): 151–158
21. Fink MP, Snydman DR, Niederman MS, Leeper KV, Johnson RH, Heard SO, Wunde
rink RG, Caldwell JW, Schentag JJ, Siami GA, et al. Treatment of severe pneumonia
in hospitalized patients: results of a multicenter, randomized, double-blind trial
21
comparing intravenous ciprofloxacin with imipenem-cilastatin. Antimicrob Agents
Chemother381994547557
22