Anda di halaman 1dari 37

Case Report Session

MENINGITIS

Oleh:

Vinta Nuranisyah
2040312053

Preseptor :
dr. Iskandar Syarif, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR.
M. DJAMIL PADANG 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-
Nya serta kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan case report session yang berjudul “Meningitis”. Shalawat dan salam
kita panjatkan untuk junjungan mulia Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Iskandar Syarif,
Sp.A(K) selaku preseptor yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam
penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahawa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu
sangat diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN 6
PUSTAKA 6
2.1 Anatomi Selaput Meningen 7
2.1.1 Sawar Darah Otak 8
2.1.2 Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal 9
2.2 Definisi Meningitis Bakterialis 9
2.3 Epidemiologi 9
2.4 Etiologi 10
2.5 Patogenesis 10
2.6 Patofisiologi 12
2.7 Manifestasi Klinis 16
2.8 Diagnosis 17
2.9 Tatalaksana 19
2.10 Pencegahan 21
2.11 Komplikasi 21
2.12 Prognosis 21
BAB III LAPORAN KASUS 23
BAB IV DISKUSI 32
DAFTAR PUSTAKA 36

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis bakterial merupakan infeksi SSP, terutama menyerang anak usia <2 tahun,
1
dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan. Meningitis bakterial adalah inflamasi
meningen, terutama araknoid dan piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang
subaraknoid. Pada meningitis bakterialis terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan
serebrospinal (CSS). Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga
mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar
ke medula spinalis.
Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus influenzae tipe B (Hib)
dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD). Di Indonesia, kasus
suspek meningitis bakterialis sekitar 158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000
dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju.
Tanda dan gambaran meningitis bakterialis pada anak sangat bervariasi. Semakin muda umur
pasien, klinis semakin tidak spesifik sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis
bakterialis pada anak yang dapat berakibat keterlambatan dalam pemberian pengobatan
2
sehingga angka kematian dan kecatatan tetap tinggi.
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan meningitis bakterialis yang tidak
sempurna ataupun pengobatan yang terlambat. Komplikasi meningitis bakterialis yang
mungkin dapat ditemukan adalah ventrikulitis, efusi subdural, gangguan elektorlit, meningitis
berulang, abses otak, kelainan neurologis berupa paresis atau paralisis, gangguan
pendengaran, hidrosefalus dan pada jangka panjang mungkin dapat ditemukan retardasi

mental dan epilepsi.3 Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman mengenai meningitis
bakterialis sehingga dapat dilakukan diagnosis dini dan tatalaksana sehingga angka kematian
dan resiko kecacatan pada pasien dapat diturunkan.

1.2 Batasan Masalah

Case Report Session ini membahas mengenai anatomi meningen, definisi,


epidemiologi, etiologi dan faktor resiko, patogenesis, patofisiologi, diagnosis, dan
tatalaksana, komplikasi, dan prognosis meningitis bakterialis serta laporan kasus meningitis
bakterialis.

4
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah Case Report Session ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman mengenai meningitis.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah Case Report Session ini menggunakan tinjauan kepustakaan


yang merujuk pada berbagai literatur serta studi kasus.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Selaput Meningen


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang
melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan
serebrospinal / CSS) dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan,

yaitu durameter, araknoid dan piameter.4

8
Gambar 2.1 Anatomi meningen; duramater, araknoid, piamater

1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medulla spinalis. Sifat dari durameter yaitu
tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu. Bagian putih dura falk
serebri yang memisahkan kedua hemisfer di bagian longitudinal dan tentorium, yang
merupakan lipatn dari dura yang membentuk jaring-jaring membran yang kuat. Jaring
ini mendukung hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa

superior).4,5,6
2. Araknoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan lembut yang
menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut araknoid. Membran ini berwarna
putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding araknoid terdapat plexus koroid yang
bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai

6
bentuk seperti jari tangan yang disebut araknoid vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada
4,5,6
usia dewasa normal CSS diproduksi 500 cc dan diabsorbsi vili 150 cc.
3. Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan, yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan darah otak. Piameter berhubungan dengan
araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trabekula. Piameter merupakan
selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti setiap lekukan-
lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura, juga melekat pada permukaan batang
otak dan medulla spinalis, terus ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi
korpus vertebra. Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut
leptomeninges. Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh
4,5,6
darah yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meningen.

2.1.1 Sawar Darah Otak

Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah masuknya beberapa
substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan toksin bakteri dari darah ke jaringan syaraf.
Sawar darah otak ini terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah
jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini secara sempurna
merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan
terlihat sangat sedikit vesikel pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang

melingkari kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya.7


Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan otak. Sawar juga
terdapat pada plexus koroidalis dan membran kapiler jaringan, pada dasarnya di seluruh
parenkim otak kecuali di beberapa daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema,
tempat zat berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah otak pada
umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida, oksigen, dan sebagian besar zat
larut lipid, seperti alkohol dan zat anestesi; sedikit permeabel terhadap elektrolit, seperti
natrium, klorida, dan kalium; dan hampir tidak permeabel terhadap protein plasma dan
7
banyak molekul organik berukuran besar yang tidak larut lipid.

7
7
Gambar 2.2 Potongan Melintang Sawar Darah Otak

Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa lumen kapiler


7
darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh:
a. Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell), disatukan oleh tight
juction.
b. Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit
c. Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding kapiler.

2.1.2 Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal

Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari piamater yang menyusup ke
bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan keempat dan
sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan struktur vaskular yang
terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar
dari piamater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik
sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel,
kanal sentral dari medula spinalis, ruang subarachnoid, dan ruang perivasikular. Penting
untuk metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan
dalam ruang subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml),
dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua
7
sampai lima limfosit per milliliter.

8
Gambar 2.3 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki ruang


subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk absorbsi CSS ke dalam
sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran
keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang
mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan
7
kelemahan otot.

2.2 Definisi Meningitis Bakterialis


Meningitis bakterial adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan piamater, yang
3
terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada meningitis bakterialis terjadi
rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses inflamasi tidak
terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel
(ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada
struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab potensial defisit neuropsikologik persisten
8
pada pasien yang sembuh dari meningitis bakterial.

2.3 Epidemiologi
Kasus meningitis bakterialis terdistribusi di seluruh belahan dunia. Di negara dengan
empat musim, meningitis bakterialis lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim

9
semi. Meningitis bakterialis lebih banyak terjadi pada pria. Insiden meningitis bakterialis
adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan
lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000) meningitis bakterialis sesuai patogennya adalah
sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, 1,1; Neisseria meningitidis, 0,6; Streptococcus,

0,3; Listeria monocytogenes, 0,2; dan Haemophilus influenza, 0,2.8

2.4 Etiologi

Tabel 1. Penyebab umum MB berdasarkan usia dan faktor risiko8

2.5 Patogenesis
Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melewati
perlindungan yang dibuat oleh tubuh dan memiliki virulensi poten. Faktor host yang rentan
3
dan lingkungan yang mendukung memiliki peranan besar dalam patogenesis infeksi. Infeksi
dapat mencapai selaput otak melalui:
1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis,
endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan kuman yang
positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam biakan cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatutm) yang disebabkan oleh infeksi
langsung dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus kavernosus.
3. Implantasi langsung: trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena:
- Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman yang normal ada pada jalan lahir

10
- Infeksi bakterial secara transplasental terutama listeria.
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port de entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Proses terjainya meningitis bakterialis melalui jalur hematogen mempunyai tahap tahap
3
sebagai berikut:
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring
2. Bakteri menembus barrier mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah dan menimbulkan
bakteremia
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak
Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melalui semua tahap dan
masing masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda,. Terjadinya
meningitis bakterialis dipengaruhi oleh interaksi bebrapa faktor, yaitu: host yang rentan,
bakteri penyebab dan lingkungan ynag menunjang.

Faktor Host

Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:3


1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan
perempuan. Pada neonatus, sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan perempuan
berbanding 1,7:1
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan prematur lebih mudah menderita meningitis
dibandingkan bayi cukup bulan.
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan, adanya
infeksi pada ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan meningitis.
4. Pada bayi dengan kekurangan maupun aktivitas bakteriosidal dari leukosit, defisiensi
beberapa komplemen serum, seperti C1, C3, C5, rendahnya properdin serum,
rendahnya konsentrasi IgM dan IgA berakibat berkurangnya kemampuan bakterisidal
terhadap bakteri gram negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga imunoglobulin (gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia, kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B dan
T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis.

11
6. Keganasan seperti sistem RES, leukemia, multipel mieloma, penyakit Hodgkin,
menyebabkan penurunan produksi imunoglobulin sehingga mempermudah terjadinya
infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi, imunosupresan juga mempermudah terjadinya infeksi
8. Malnutrisi

Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterialis terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode neonatal,
bakteri penyebab utama dalah golongan enterobakter terutama Eschericia coli disusul oleh
bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus sp
dan Salmonella sp. Sedangkan pada bayi umur 2 bulan sampai 4 tahun terbanyak adalah
Haemophillus influenza type B disusul oleh Streptococcus pneumoniae dan Neisseria
meningitidis. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang

gram negatif seperti Proteus, Acinobacter, Klebsiella sp.3

Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial ekonomi
rendah memegang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pda tempat
penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya vektor binatang

seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi untuk terjadinya leptospirosis.3

2.6 Patofisiologi
Akhir-akhir ini dikemukakan sebuah konsep baru mengenai patofisiologi meningitis
bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen-komponen bakteri dan mediator
inflamasi berperan dalam menimbulkan respon perdangan pada selaput otak serta menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak, yang dapat menimbulkan gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau
embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat yaitu dengan
menembus sawar darah otak melalui tempat-tempat yang lemah yaitu di mikrovaskular otak atau
pleksus koroidalis yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena
mengandung kadar glukosa yang banyak. Bakteri tersebut akan memperbanyak diri dengan
mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam
cairan serebrospinal, kemudian tersebar secara pasif mengikut

12
aliran cerebrospinal melalui sistem ventrikel keseluruh runag subaraknoid. Bakteri pada
waktu berkembang biak atau pada waktu lisis akan melepaskan dinding sel atau komponen-
komponen membran sel (endotoksin, teicoid acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan
otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme
seperti dalam skema di bawah sehingga timbul meningitis. Bakteri gram negatif pada waktu
lisis akan melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman gram postif akan melepaskan
3
asam teikoat.

Gambar 2.4 Patofisiologi molekuler meningitis bakterialis

Produk-produk aktif dari bakteri akan merangsang sel endotel dan makrofag di susunan
saraf pusat (sel astrosit dan mikroglia) memproduksi mediator inflamasi seperti interleukin 1 (IL-
1), tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan pada proses awal dari beberapa
mekanisme ynag menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya
mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bakterialis dapat juga terjadi
syndrome inappropriate anti diuretic hormon (SIADH) yang diduga disebabkan oleh proses

13
peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin endogen
sistem supraoptikhipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar dan SIADH ini
menyebabkan hipervolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urin meskipun osmolaritas
serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel

dan kejang.3
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga
disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan
autoregulasi terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat yang lain adalah penurunan
perfusi serebral yang juga disebabkan karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistole.
Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral, dan
vaskulopati. Kelainan-kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga
menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial
dan kanduangan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan
ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan serebrospinal
dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerobik, keadaan ini menyebabkan
3
penggunaan glukosa meningkat dan berakibat tiimbulnya hipoglikemia.

Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadi akibat hipoksia sistemik dan
demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah peradangan pada
meningen yang disebabkan oleh bahan-bahan toksik bakteri. Peradangan selaput otak akan
menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatkanya terjadi refleks kontraksi otot-otot
tertentu untuk berkontraksi untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan
brudzinski serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput
otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala-gejala
tersebut dapat juga disebabkan karena peningkatan tekanan intrakranial. Dan bila disertai

dengan distorsi dari nerve roots maka timbul hiperestesi dan fotofobia.3
Pada fase akut, bahan-bahan toksin bakteri mula-mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid dan selanjutnya
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adhesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear serta merangsalng sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam rongga
subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul di daerah konveks otak tempat
cairan cerebrospinal diabsorbsi oleh vili araknoid, didasar sulkus dan fisura Sylvii serta
3
sisterna basalis dan di sekitar serebelum.

14
Pada awal infeksi meningitis, eksudat hampir seluruhnya terisi sel polimorfonuklear
yang memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel polimorfonuklear digantikan oleh sel
limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini akan
terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblast yang
berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput
otak yang menyebabkan perlekatan-perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna
basalis, maka akan menimbulkan hidosefalus komunikans, dan bila terjadi di aquaductus
sylvii, foramen Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-
72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan
infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan adventitia sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding
arteri yang kadang-kadang menimbulkan trombosis arteri. Proses yang sama juga terjadi di
vena. Fokus nekrosis dan trombus dapat menyebabkan oklusi total atau partial pada lumen
pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun dan
3
dapat menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri yang luas menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap
lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan penyakit
yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebabkan manifestasi sisa yang
menetap. Kejang fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya
3
gangguan pembuluh darah otak yang serius dan infark cerebri.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan menyebabkan penurunan kesadaran, kejang fokal dan gangguan fungsi motorik berupa
paresis yang serinng timbul pada hari ke 3-4 dan jarang timbul setalah minggu ke I-II, selain
itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan gangguan fungsi intelek berupa retardasi
mental dan gangguan tingkah laku, gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak
karena proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena
di duramater atau araknoid berupa tromboflebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan
infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam
rongga subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subduran yang menimbulkan

manifestasi neurologis fokal, demam ynag lama, kejang dan muntah.3


Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak meningkat akan
mengakibatkan edema vasogenik, karena pleiositosis dan toksin akan menyebabkan terjadinya

15
edema sitotoksik dan karena adanya aliran darah cerebrospinal terganggu/hidrosefalus akan
menyebabkan terjadinya edema interstitial. Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan
otak, tetapi absorbsi dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak
dan vaskulitis, kelainan saraf kranial pada meningitis bakterialis disebabkan karena adanya
peradangan lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf kranial,
terutama saraf VI,VII dan IV merupakan akibat infiltrasi kuman ke selaput otak di basal otak,
sehingga menumbulkan kelainan batang otak. Gangguan pendengaran yang timbul akibat
perluasan peradangan ke mastoid, sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan
pendengaran tipe konduktif. Kelainan saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan
kebutaan tetapi juga dapat disebabkan karena infark yang meluas di korteks serebri, sehingga
terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri
dan vena di korteks serebri dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk prognosis buruk
3
karena meninggalkan gejala sisa dan retardasi mental.

2.7 Manifestasi Klinis


Tidak ada gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterialis. Tanda dan
manifestasi klinis meningitis bakterialis begitu luas sehingga sering juga tidak didapatkan
pada anak-anak baik yang terkena meningitis maupun tidak. Tanda dan gambaran klinis
sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum diagnosis dibuat dan

respon tubuh terhadap infeksi.3


Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis. Gambaran klinis
sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada ½ dari
jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemah dan tidak. Mau minum, muntah-muntah, kesadaran
menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, napas tidak teratur kadang
kadang dapat disertai ikterus apabila terjadi sepsis. Bayi berumur 3 bulan-2 tahun jarang memberi
gambaran klasik meningitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah,
gelisah kejang berulang, kadang-kadang didapatkan high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang
tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda brudzinski dan kernig
sulit dievaluasi. Oleh karena insidensi meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya
infeksi susunan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang tidak
dapat diterangkan penyebabnya. Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang
memberikan gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dari demam, menggigil, muntah dan nyeri
kepala. Kadang kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan
kesadaran seperti delirium, stupor dan koma dapat juga

16
terjadi. Tanda klinis yang biasa ditemukan adalah kaku kuduk, tanda brudzinski dan kernig.
Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai dengan
fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi
meningen serta radiks spinalis. Kelainan saraf otak disebabkan inflamasi lokal pada
perineurium, juga karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf saraf kranian VI, VII,
IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis
kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis
serebral dapat menyebabkan serebritis dan abses. Trombosis vaskular dapat menyebabkan
3
kejang dan hemiparesis.

2.8 Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterialis tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda
saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda
rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan
meningitis aseptik. Diagnosis meningitis bakterialis ditegakkan melalui analisis LCS, kultur
darah, pewarnaan LCS, dan biakan LCS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada
setiap kecurigaan meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan
peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia,
serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak harus dilakukan
secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan
kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal harus
dihindari pada pasien dengan gangguan kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi
imunosupresan, pasca-transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke,
infeksi fokal), defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang
9,10
memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi. Pada bayi-bayi yang menderita sepsis pungsi
lumbal harus dilakukan oleh karena 20% pasien sepsis pada neonatus juga menderita meningitis.
Pungsi lumbal juga dilakukan pada anak-anak yang menderita bakteremia dan demam tidak
turun-turun atau curiga adanya tanda rangsang meningeal. Oleh karena meningitis bakterialis
bersifat progresif, hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang normal pada pemeriksaan pertama
pada pasien yang diduga menderita meningitis jangan sampai menghilangkan kewaspadaan
dokter akan kemungkinan terjadinya meningitis. Observasi ketat pasien diperlukan sampai pasien
kembali normal, pungsi lumbal dapat diulangi setelah 8 jam apabila memang diperlukan. Selama
fase akut, dalam beberapa

17
hari pertama, sel yang dominan adalah polimorfonuklear sampai sekitar 95%. Seiring
perjalanan penyakit terjadi kenaikan bertahap limfosit dan sel mononuklear yang besar dan
pengobatan antibiotik yang diberikan sebelum pasien masuk rumah sakit dapat mengacaukan
gambaran cairan serebrospinal. Kenaikan kadar protein dan penurunan kadar glukosa cairan
serebrospinal biasanya didapatkan pada meningitis bakterialis. Kenaikan kadar protein
biasanya diatas 75% dan setiap penyakit yang mengenai leptomeningen akan menyebabkan
kenaikan kadar protein carian LCS. Kadar gula biasanya menurun sampai 20 mg% atau
bahkan sampai 0 mg%. Faktor penyebab turunnya kadar glukosa dalam LCS antara lain
adalah jumlah mikroorganisme yang sangat banyak yang membutuhkan gula untuk
metabolisme, jumlah sel yang tinggi, defek pada transpor gula ke dalam cairan serebrospinal
dan mungkin adanya pemakaian gula oleh otak akibat kenaikan proses gikolisis. Pengukuran
kadar C-reactive protein dalam cairan LCS mempunyai nilai kepekaan, ketepatan dan
3
produktif yang tinggi dalam menentukan bakteri penyebab pada meningitis.

8
Tabel 2 Perbandingan analisis LCS pada jenis meningitis yang berbeda

Kultur dan uji resistensi bakteri pada LCS baru nampak setelah 24-72 jam. Untuk
identifikasi bakteri penyebab yang cepat adalah dengan pewarnaan Gram,
counterimmunoelectrophoresis dan aglutinasi lateks. Pewarnaan Gram bukanlah untuk
menegakkan diagnosis etiologis tetapi penting untuk menentukan pengobatan.
Counterimmunoelectrophoresis dapat membedakan bakteri seperti H. Influenza, N.
Meningitidis, Sterptococcus grup B dan S. Penumoniae,tetapi kurang sensitif dan banyak
didaptkan negatif palsu. Pemeriksaan dapat dilakukan pada cairan cerebrospinal, urin dan

18
serum. Aglutinasi lateks lebih senditif dan dapat dilakukan pada cairan serebrospinal atau
urin, hanya memerlukan sedikit cairan dan hasil daapat muncul dalam waktu 30 menit.
Pemeriksaan lainnya adalah limulus lysate dan polymerase chain reaction (PCR). Lymulus
lysate pada cairan serebrospinal berguna untuk detaksi kuman gram negatif, tetapi tidak dapat

membedakan jenis kuman gram negatif.3

2.9 Tatalaksana
Pada pasien meningitis purulenta pada umumnya dalam keadaan kesadaran menurun yang
seringkali disertai muntah atau diare. Oleh karena itu pasien perlu langsung mendapatkan cairan
intravena. Bila didapatkan tanda asidosis maka harus dikoreksi dengan cairan yang mengandung
korektor basa. Dapat diberikan transfusi darah atau plasma jika terdapat indikasi.
Bila anak masuk dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang bekum teratasi, pemberian diazepam intravena dapat
diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti, lanjutkan dengan
pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20 mg/kgbb intramuskular, dua puluh empat
jam kemudian diberikan rumatan 4-5 mg/kgbb/hari. Apabila dengan diazepam intravena dua
kali berturut-turut kejang belum berhanti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20
mg/kgbb secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan 1 mg/kgbb/menit. Dosis
selanjutnya 5 mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian.
Pada penelitian terbukti bahwa pemberian kortikosteroid dapat mengurangi produksi
mediator inflamasi seperti sitokin, sehingga dapat mengurangi kecacatan neurologis seperti
paresis dan tuli dan menurunkan mortalitas apabila diberikan pada pasien ringan dan sedang dan
diberikan 15-20 menit sebelum pemberian antibiotik. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah
deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari selama 4 hari. Kortikosteroid jangka panjang dapat
menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi limfosit T, monosit, makrofag,
eosinofil, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan satu- satunya efek kortikosteroid
pada respons imun dan antiinflamasi normal. Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi
produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß (Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga
mengganggu ekspresi molekul pengikat pada antigen- precenting cell serta menginduksi
apoptosis Sebelum memulai terapi kortiko steroid jangka panjang, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan
setiap 3 bulan (selama pasien masih dalam terapi kortikosteroid) untuk melihat adanya
11
kemungkinan infeksi yang belum bermanifestasi spesifik. Penggunaan antibiotik terdiri dari 2
fase yaitu fase pertama sebelum ada hasil biakan dan uji sensitivitas. Pada fase ini

19
pemberian antibiotika secara empirik. Berdasarkan penelitian, penyebab terbanyak adalah H.
Influenza dan pneumococcus dan pada neonatus adalah Salmonella sehingga dapat diberikan
ampisilin dan kloramfenikol secara intravena. Dosis ampisilin 200-300 mg/kgbb/hari terbagi
dalam 6 dosis, kloramfenikol 100 mg/kgbb/hari terbagi dalam 4 dosis (neonatus 50
mg/kgbb/hari. Pada bayi dan anak pengobatan selama 10-14 hari dan neonatus selama 21
hari. Pengobatan secara empirik lainnya dapat diberikan kombinasi ampisilin dan
kloramfenikol atau sefurotaksim, sefotaksim atau seftriakson. Pada usia lebih dari 10 tahun
digunakan penisilin. Pada pasien dengan gangguan imunitas dapat diberikan kombinasi
ampisilin dan sefotaksim. Pada pasien dengan pirau digunakan sefotaksim dan vankomisin.
Pada pengobatan fase kedua setelah didapatkan hasil biakan dan uji sensitivitas disesuaikan
dengan kuman penyebab. Pada meningitis terdapat peningkatan permeabilitas sawar darah
otak dan hal ini menguntungkan karena antibiotik akan lebih mudah masuk ke ruang
3
subaraknoid dan ventrikel.

3,9
Antibiotik yang digunakan untuk meningitis bakterialis ialah:
- H. Influenza : ampisilin, kloramfenikol, seftriakson, dan sefotaksim.
- S. Pneumoniae: penisilin, kloramfenikol, sefurotaksim, seftriakson, vankomisin
- N. Meningitidis : penisilin, kloramfenikol, sefurotaksim, seftriakson
- Kuman gram negatif: sefotaksim, septazidim, seftriakson dan amikasin
- Staphylococcus: vankomisin, rifampisin
- Neonatus : ampisilin, gentamisin, tobramisin, vankomisin, amikasin,kanamisin,
sefotaksim, seftazidim, penisilin

Dosis antibiotik:
- Ampisilin : 200-300 mg/kgbb/hari (tunggal 400 mg)
- Kloramfenikol: 100 mg/kgbb/hari (neonatus 50 mg/kgbb/hari, waspada gray baby)
- Sefurotaksim : 250 mg/kgbb/hari
- Sefotaksim : 200 mg/kgbb/hari (neonatus 100 mg/kgbb/hari)
- Seftriakson : 100 mg/kgbb/hari
- Seftazidim : 150 mg/kgbb/hari
- Gentamisin : neonatus:0-7 hari 5 mg/kgbb/hari, 7-28 hari : 7,5 mg/kgbb/hari,

amikasin 10-15 mg/kgbb/hari

20
Pungsi lumbal ulangan apabila klinis membaik dilakukan pada hari ke-10 pengobatan.
Apabila hasil pemeriksaan laboratorium membaik, lanjutkan terapi selama 2 hari kemudian
3
pasien dapat dipulangkan. Pada neonatus dilakukan pada hari ke-21.

2.10 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar
dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus
influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal
polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR
(Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb OC atau PRP-OMP) dimulai
sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT,
Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis
Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO,
pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2
dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis..
Berdasarkan hasil penelitian, vaksin kombinasi DPT-Hib pada anak berusia 2,4 dan 6 bulan
menunjukkan adanya respon antibodi yang sebanding antara vaksin kombinasi dengan vaksin

DPT dan Hib yang diberikan terpisah.12

2.11 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan ynag tidak sempurna atau
pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin ditemukan adalah ventrikulitis, efusi
subdural, gangguan elektorlit, meningitis berulang, abses otak, kelainan neurologis berupa
paresis atau paralisis, gangguan pendengaran, hidrosefalus pada pengawasan jangka panjang
3
mungkin dapat ditemukan retardasi mental dan epilepsi.

2.12 Prognosis

Prognosis pasienm meningitis bakterialis tergantung dari banyak faktor antara lain:3
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme penyebab
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan

21
Semakin muda umur pasien, prognosis semakin buruk. Infeksi yang berat disertai DIC
mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang
adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat permanen. Infeksi yang disebabkan oleh
bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik, pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik maka angka kecacatan dapat diturunkan. Walaupun yang
disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang
disebabkan oleh bakteri seperti H. Influenza, pneumokokus, meningokokus dapat diturunkan
dari 50-60% menjadi 20-25%.

22
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : CPA
MR : 01.11.33.93
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 1 tahun
Nama ayah/ibu : Arjapar/Nuraeny
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Sungai Tambang, Sijunjung
Tanggal masuk : 1 September 2021

Alloanamnesis (diberikan oleh ibu pasien )


Anak perempuan umur 1 tahun 2 bulan datang ke RSUP Dr M Djamil Padang tanggal 1
September 2021 dengan:

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

• Demam sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam tidak tinggi,
hilang timbul, tidak menggigil dan tidak berkeringat.
• Muntah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, muntah tidak menyemprot,
berisi susu dan makanan yang dikonsumsi oleh pasien sebanyak 4-6 kali
sehari dengan jumlah sekitar ¼ gelas kaki lima tiap kali muntah.
• Anak tampak lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
• Kejang berulang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang pertama
berlangsung sekitar 5 menit yaitu berupa kelonjotan pada kaki dan tangan
kiri pasien dan kejang berhenti sendiri tanpa pemberian obat dan anak lebih
banyak tertidur setelah kejang. Pada sore hari terjadi kejang kedua selama 5
menit dengan pola yang sama dengan kejang pertama dan berhenti sendiri
tanpa pemberian obat. Kemudian kejang ketiga terjadi keesokan harinya

23
selama 5 menit dengan pola yang sama dengan kejang sebelumnya dan berhenti
setelah diberikan obat. Setelah kejang ketiga terjadi, anak tidak sadar.
• Penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
• Diare tidak ada, batuk pilek dan sesak napas tidak ada, riwayat sakit gigi
sebelumnya tidak ada, keluar cairan dari telinga pasien tidak ada.
• Riwayat batuk lebih dari 2 minggu tidak ada.
• Riwayat trauma kepala disangkal oleh keluarga
• Riwayat kontak dengan penderita batuk lama ada, kakek pasien sedang batuk,
belum berobat dan belum diperiksa
• Riwayat penurunan nafsu makan sebelum sakit tidak ada.
• Buang air kecil warna dan jumlah biasa
• Buang air besar warna dan konsistensi biasa
• Pasien merupakan rujukan dari RSUD Sijunjung dengan diagnosis suspek
infeksi SSP dengan GCS 5 dan UUB membonjol.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang serupa dengan pasien.

Riwayat Persalinan
Lama hamil : 37-38 minggu
Cara lahir : SC atas indikasi CPD
Ditolong oleh : Dokter
Berat lahir : 2900 gram
Panjang lahir : 42 cm
Saat lahir : menangis kuat
Kesan : Bayi cukup bulan langsung menangis

24
Riwayat Makan dan Minuman

Bayi
• ASI mulai usia 0 bulan sampai usia 12 bulan
• Bubur susu mulai usia 5 bulan-7 bulan
• Nasi tim mulai usia 7 bulan sampai usia 12 bulan
• Susu formula mulai usia 12 bulan sampai sekarang
• Nasi biasa mulai umur 12 bulan hingga sekarang

Anak
• Makanan utama 3 kali per hari, menghabiskan sebanyak 1 porsi
• Ikan 2-3 kali per minggu
• Telur 2-3 kali per minggu
• Daging 0-1 kali per minggu
• Sayur 2-3 kali per minggu
• Buah 1-2 kali per minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas cukup

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG 1 bulan -
DPT 1 2 bulan
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Polio 1 2 bulan -
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Hepatitis B 1 2 bulan -
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Haemofilus influenza B 1 2 bulan -
2 4 bulan -
3 6 bulan -
Campak 9 bulan -
Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai usia

25
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Riwayat Umur Riwayat gangguan Umur
pertumbuhan perkembangan
dan mental
perkembangan
Ketawa 2 bulan Isap jempol Tidak ada
Miring 3 bulan Gigit kuku Tidak ada
Tengkurap 5 bulan Sering mimpi Tidak ada
Duduk 7 bulan Mengompol Tidak ada
Merangkak 8 bulan Aktif sekali Tidak ada
Berdiri 12 bulan Apatik Tidak ada
Lari Belum bisa Membangkang Tidak ada
Gigipertama 7 bulan Ketakutan Tidak ada
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek Tidak ada
Membaca Belum bisa Kesukaran belajar Tidak ada
Prestasi sekolah Belum bisa

Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia.

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. A Ny. N
Umur 30 tahun 29 tahun
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Pedagang IRT
Penghasilan Rp 2.000.000 Tidak ada
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah Tidak ada Diabetes Mellitus
diderita

26
Saudara Kandung
Jenis kelamin Usia Keadaan Sekarang
Perempuan 8 tahun Sehat
Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah tempat tinggal : Semi permanen


Sumber air minum : Air galon
Buang air besar : Jamban didalam rumah
Pekarangan : Cukup luas
Sampah : Dibakar
Kesan : Higienitas dan sanitasi baik
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sakit berat

Kesadaran : Sopor (GCS 5 E1M3V1)

Tekanan darah : 88/56 mmHg

Frekuensi nadi : 118 x/menit, irama teratur

Frekuensi nafas : 33 x / menit

Suhu :41°C
Edema : tidak ada
Kulit : Teraba hangat, turgor baik

BB : 8000 gram

TB : 75 cm

BB/U : - 2 SD s/d 0 SD (Normal)

TB/U : - 2 SD s/d 0 SD (Normal)

BB/TB : - 2 SD s/d 0 SD

Status gizi : Gizi baik

Anemia :-

Sianosis :-

27
Status Internus
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB
Kepala : Mikrosefal (lingkar kepala : 42 cm), UUB membonjol
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil anisokor
diameter 1 mm/3 mm, reflek cahaya +/+
Telinga : Othorea (-), otorragia (-)
Hidung : Deviasi septum (-), napas cuping hidung (-), rinorea (-)
Gigi dan mulut : Mukosa mulut dan bibir basah
Tenggorok : Mukosa faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada kelainan
Torak : Normochest
• Paru
Inspeksi. : Normochest, simetris kiri dan kanan (statis dan dinamis), retraksi
dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara napas bronkovesikular, ronkhi +/+, wheezing -/-
• Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V


Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Irama reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen

Inspeksi : Distensi (-), simetris

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, lingkar perut = 54 cm


Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

28
Punggung : Tidak ada kelainan
Genitalia : A1M1P1
Anggota gerak : Akral hangat, CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1. Tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk (-) Brudzinsky I (-)
Kernig (-) Brudzinsky II (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intra kranial

o Pupil anisokor, diameter pupil 1mm/3mm, refleks cahaya +/+


o Muntah proyektil (-)
3. Pemeriksaan refleks
- Refleks fisiologis : Biseps +/+, Triseps +/+, Patella +/+, Achilles
+/+
- Refleks patologis : Babinski -/-, Gordon -/-, Chaddock -/-, Oppenheim -/-,
Schaefer -/-

Diagnosa Kerja

- Meningitis bakterialis

Diagnosa banding :

- Ensefalitis
- Meningitis TB

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi

• Hb : 7,3 g/dL
• Leukosit : 15.570/mm3
• Eritrosit : 4,02 juta
• Trombosit : 411.000/mm3
• Hematokrit :36%
• Hitung jenis : 0/1/2/62/25/11
• MCV : 78 fL

29
• MCH : 24 pg
• MCHC : 30%
Kesan : anemia sedang normositik normokrom, limfopenia
Kimia Klinik

• GDS : 93 mg/dl

• Kalsium : 8,2 mg/dl


• Natrium : 136 Mmol/L
• Kalium : 3,4 Mmol/L
• Klorida serum : 111 Mmol/L
• Total protein : 5,1 g/dl
• Albumin : 3,5 g/dl
• Globulin : 1,6 g/dl

Kesan : Total protein dan albumin menurun

Analisa LCS (15/9/2021)


• Makroskopis
Volume : 3 mL
Kekeruhan : Negatif
Warna : Bening
• Mikroskopis
Jumlah sel : 3.0/mm3
• Kimia
Protein : 66,8 mg/dl
Glukosa : 60 mg/dl

Pemeriksaan Mikrobiologi LCS (15/9/2021)


Kultur LCS dan Pewarnaan gram : ditemukan gambaran kuman coccus gram positif

Pemeriksaan Molekuler HSV (18/9/2021)


Hasil elektroforesis: Tidak ditemukan adanya pita yang menggambarkan adanya DNA
Herpes Simplex Virus dalam sampel LCS

30
Pemeriksaan Bakteriologis TB (24/9/2021)
Hasil pemeriksaan BTA sampel sputum dan LCS : Negatif

Pemeriksaan Radiologis
CT-Scan Kepala
Kesan: Hidrosefalus non obstruktif

Diagnosis :
Meningitis Bakterialis

Tatalaksana :
• Tatalaksana Kegawatdaruratan
- O2 nasal kamul 2 lpm
- IVFD D 2,5 % 20 cc/jam
- Aminofusin Paed 1 cc/jam
- Transfusi PRC (target Hb : 10 mg/dl)
- Paracetamol 3 x 150 mg IV
- Pemasangan kateter urin dan NGT
• Medikamentosa
- IVFD D5 ½ NS 22 cc/jam
- Ampisilin sulbactam 6 x 400 mg IV
- Ceftriaxon 2 x 400 mg
- Fenitoin 2 x 15 mg
- Dexametason loading dose 1 x 4 mg selanjutnya 3 x 1,3 mg IV
- Nacl 3% 3 x 16 cc
- Ranitidin 2 x 8 mg
- Omeprazol 1 x 8 mg
- Meropenem 3 x 300 mg IV
- Vancomycin 3 x 160 mg IV

31
BAB 4
DISKUSI

Pasien perempuan usia 1 tahun dengan diagnosis meningitis bakterialis. Diagnosa


ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien
merupakan rujukan dari RSUD Sijunjung dengan diagnosis suspek infeksi SSP dengan GCS 5
dan UUB membonjol.
Pada anamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah penurunan kesadaran sejak 2
hari SMRS. Demam sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam tidak tinggi, hilang
timbul, tidak menggigil dan tidak berkeringat. Muntah sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, muntah tidak menyemprot, berisi susu dan makanan yang dikonsumsi oleh pasien
sebanyak 4-6 kali sehari dengan jumlah sekitar ¼ gelas kaki lima tiap kali muntah. Di dalam
otak, mikroorganisme berkembang biak membentuk koloni yang akan menginfeksi meningen.
Toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme melalui hematogen sampai hipotalamus.
Hipotalamus kemudian akan menaikkan suhu tubuh sebagai tanda adanya bahaya pada tubuh.
Kenaikan suhu di hipotalamus akan diikuti dengan peningkatan mediator kimiawi akibat
peradangan seperti prostaglandin, epinefrin, norepinefrin. Kenaikan mediator tersebut dapat
merangsang peningkatan metabolisme sehingga terjadi kenaikan suhu di seluruh tubuh, sakit
kepala, peningkatan aktivitas gastrointestinal yang memunculkan rasa mual dan muntah.

Kejang berulang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang pertama
berlangsung sekitar 5 menit yaitu berupa kelonjotan pada kaki dan tangan kiri pasien dan kejang
berhenti sendiri tanpa pemberian obat dan anak lebih banyak tertidur setelah kejang. Pada sore
hari terjadi kejang kedua selama 5 menit dengan pola yang sama dengan kejang pertama dan
berhenti sendiri tanpa pemberian obat. Kemudian kejang ketiga terjadi keesokan harinya selama 5
menit dengan pola yang sama dengan kejang sebelumnya dan berhenti setelah diberikan obat.
Setelah kejang ketiga terjadi, anak tidak sadar. Pada awal infeksi meningitis, eksudat hampir
seluruhnya terisi sel polimorfonuklear yang memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel
polimorfonuklear digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan
bertambah banyak dan pada saat ini akan terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam waktu 48-72 jam
pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi
neutrofil ke dalam lapisan adventitia sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang
kadang-kadang menimbulkan trombosis arteri. Proses yang sama juga terjadi di vena. Trombosis
vena kecil di korteks akan menimbulkan iskemik korteks serebri. Kerusakan korteks

32
serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia dan invasi kuman akan menyebabkan
penurunan kesadaran, kejang fokal dan gangguan fungsi motorik yang sering timbul pada hari ke
3-4. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau araknoid berupa
tromboflebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi
protein dengan berat molekul kecil ke dalam rongga subaraknoid dan subdural sehingga timbul
efusi subdura yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan
muntah. Pada pasien ini didapatkan kejang berulang, demam yang lama dan muntah.
Pada anak didapatkan diare tidak ada, batuk pilek dan sesak napas tidak ada,
keluar cairan dari telinga tidak ada, riwayat sakit gigi sebelumnya serta riwayat trauma kepala
disangkal oleh keluarga. Beberapa hal ini perlu ditanyakan terkait sumber infeksi pada pasien.
Pada pasien ini sumber infeksi belum dapat diketahui.
Pada meningitis bakterialis, bakteri dapat mencapai selaput otak melalui:
1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsilitis, pneumonia, infeksi gigi.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi
langsung dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus kavernosus.
3. Implantasi langsung: trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal. Pada
pasien tidak terdapat riwayat batuk lebih dari 2 minggu dan juga penurunan berat
badan sebelum masuk rumah sakit. Akan tetapi pasien memiliki riwayat kontak dengan
penderita batuk lama ada, kakek pasien sedang batuk, belum berobat dan belum diperiksa.
Oleh karena itu kemungkinan meningitis TB pada pasien belum dapat disingkirkan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien sopor dengan GCS 5 (E1M3V1).
Pada pasien didapatkan status gizi baik, hal ini merupakan faktor risiko infeksi pada pasien.
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk (-), Kernig
(-), Brudzinki 1 (-), Brudzinki 2 (-); reflek fisiologis: Biseps (+/+), Triseps (+/+), Patella
(+/+), Achilles (+/+); reflek patologis: Babinski (-/-), Gordon (-/-), Chaddok (-/-), Oppenheim
(-/-), Schaefer (-/-). Hal ini sesuai dengan teori bahwa anak berumur 3 bulan-2 tahun jarang
memberi gambaran klasik meningitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa
demam, muntah, gelisah kejang berulang, kadang-kadang didapatkan high pitch cry (pada
bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan
tanda rangsang meningeal seperti brudzinski dan kernig sulit dievaluasi.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini mengarahkan diagnosis meningitis

bakterialis dengan diagnosis banding meningitis tuberkulosis dan ensefalitis. Untuk

33
menegakkan diagnosa meningitis bakterialis dapat melalui analisis LCS, kultur darah,
pewarnaan LCS, dan biakan LCS. Pada pasien ini telah dilakukan lumbal punksi dan
didapatkan hasil lumbal pungsi normal. Hal ini mungkin terkait dengan pasien yang telah
mendapatkan terapi antibiotik selama 14 hari sebelum dilakukan lumbal punksi pada pasien.
Selanjutnya dilakukan pewarnaan gram pada cairan serebrospinal pasien dan ditemukan
gambaran kuman coccus gram positif sehingga diagnosis meningitis bakterialis dapat
ditegakkan. Hal ini sesuai dengan epidemiologi bakteri terbanyak penyebab meningitis
bakterialis pada anak anak yaitu bakteri coccus gram positif seperti streptococcus, dll.
Ensefalitis herpes simpleks disingkirkan karena pada hasil pemeriksaan molekuler Herpes
Simplex Virus tidak ditemukan adanya pita yang menggambarkan adanya DNA Herpes
Simplex Virus dalam sampel LCS. Diagnosis meningitis tuberkulosis disingkirkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan bakteriologis TB yaitu tidak ditemukan bakteri
M. tuberculosis pada sampel sputum dan sampel LCS pasien. Pada pasien ini ditemukan
gambaran hidrosefalus non obstruktif pada CT scan kepala. Pada meningitis bakterialis,
bakteri dapat bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral komplemen
CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi proses inflamasi di
meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO meningkat dan menyebabkan
kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan memicu inflamasi dan menghasilkan
eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid. Eksudat purulen yang terbentuk dapat
menyumbat resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel
yang menyebabkan hidrosefalus. Pada meningitis bakterialis yaitu pada minggu ke-2 infeksi
juga dapat muncul sel fibroblast yang berperan dalam proses pembentukan eksudat, sehingga
terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan-perlekatan. Bila
perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikans
(hidrosefalus non obstruktif) dan bila terjadi di aquaductus sylvii, foramen Luschka dan
Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif.
Terapi kegawatdaruratan pada pasien ini pada awalnya diberikan terapi O2 nasal kanul
2 lpm, IVFD Dextrose 2,5 % 20 cc/jam, Aminofusin Paed 1 cc/jam, transfusi PRC 2 kolf
(target Hb : 10 mg/dl), Paracetamol 3 x 150 mg IV, pemasangan kateter urin dan NGT.
Tatalaksana di rawatan yang diberikan yaitu pemasangan ventilator, IVFD D5 ½ NS 22
cc/jam, Ampisilin sulbactam 6 x 400 mg IV, Ceftriaxon 2 x 400 mg, Fenitoin 2 x 15 mg,
Dexametason loading dose 1 x 4 mg selanjutnya 3 x 1,3 mg IV, Nacl 3% 3 x 16 cc, Ranitidin
2 x 8 mg, Omeprazol 1 x 8 mg, Meropenem 3 x 300 mg IV, Vancomycin 3 x 160 mg IV.
Pada pasien meningitis bakterialis pada umumnya dalam keadaan kesadaran menurun

34
yang seringkali disertai muntah. Oleh karena itu pasien perlu langsung mendapatkan cairan
intravena. Pasien diberikan transfusi PRC karena didapatkan nilai Hb:7,3 g/dL dengan target
Hb: 10 g/dl.Fenitoin 2 x 15 mg diberikan saat anak mengalami kejang ketiga. Hal ini sesuai
dengan algoritma tatalaksana kejang yaitu apabila setelah pemberian diazepam intravena dua
kali berturut-turut kejang belum berhanti maka dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20
mg/kgbb secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan 1 mg/kgbb/menit. Pada pasien
juga diberikan kortikosteroid yaitu Dexametason dengan loading dose 1 x 4 mg. Pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi produksi mediator inflamasi seperti sitokin, sehingga dapat
mengurangi resiko kecacatan neurologis seperti paresis dan tuli dan menurunkan mortalitas
apabila diberikan pada pasien ringan dan sedang dan diberikan 15-20 menit sebelum
pemberian antibiotik dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari selama 4 hari. Penggunaan antibiotik
pada meningits bakterialis terdiri dari 2 fase yaitu fase pertama sebelum ada hasil biakan dan
uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antibiotika secara empirik. Berdasarkan penelitian,
penyebab terbanyak adalah H. Influenza dan pneumococcus dan pada neonatus adalah
Salmonella sehingga dapat diberikan ampisilin dan kloramfenikol secara intravena. Pada
pasien diberikan Ampisilin sulbactam 6 x 400 mg IV.Pada pengobatan fase kedua setelah
didapatkan hasil biakan dan uji sensitivitas, obat disesuaikan dengan kuman penyebab. Pada
pasien didapatkan kuman penyebab yaitu bakteri coccus gram positif. Pada pasien dapat
diberikan pilihan terapi berupa penisilin, kloramfenikol, sefurotaksim, seftriakson,
vankomisin. Pada pasien diberikan Vancomycin 3 x 160 mg, IV Ceftriaxon 2 x 400 mg.
Pada meningitis terdapat peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan hal ini
menguntungkan karena antibiotik akan lebih mudah masuk ke ruang subaraknoid dan
ventrikel. Dengan pengobatan antibiotik yang adekuat dan pengobatan suportif yang baik
pada pasien meningitis bakterialis gram positif seperti pneumokokus, meningokokus diketahui
dapat menurunkan angka mortalitas pasien dari 50-60% menjadi 20-25%.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Novariani M, Herini ES, SY Patria. Faktor risiko sekuele meningitis bakterial pada
anak. Sari Pediatri 2008; 9:342-7
2. Gessner BD, Sutanto A, Linehan M, Djelantik IGG, Fletcher T, Gerudug K, dkk.
Incidences of vaccine- preventable Haemophilus influenzae type B pneumonia and
meningitis in Indonesian children: hamlet-randomised vaccine-probe trial. Lancet
2005; 365:43-52.
3. Taslim S, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: IDAI;1999.
4. Kumar R, Singh SN, Kohli N. A diagnostic rule for tuberculous meningitis. Arch Dis
Child. 1999;81:221–4.
5. Prasad K, Singh MB, Ryan H. Corticosteroids for managing tuberculous meningitis
(review). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2016.
6. Van Toorn R, Solomons R. Update on the diagnosis and management of tuberculous
meningitis in children. Semin Pediatr Neurol. 2014;21(1):12-18.
7. Van Toorn R, Solomons R. Update on the diagnosis and management of tuberculous
meningitis in children. Semin Pediatr Neurol. 2014;21(1):12-18.
8. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology. 8th ed. New
York: McGraw-Hill; 2005.
9. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. Neurology: A queen square textbook.
London: Blackwell Publishing; 2009.
10. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004;39:1267-84.
11. Singh N, Rieder MJ, Tucker MJ. Mechanisms of glucocorticoid-mediated
antiinflammatory and immunosuppresive action. Paed Perinatal Drug Ther.
2004;6:107-15.
12. Media Litbang Kesehatan. Vaksin Haemophillus Influenza type B untuk pencegahan
meningitis dan pneumonia.2002:12.

36
37

Anda mungkin juga menyukai