TUBERKULOSIS PARU
Pembimbing:
dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM
Laporan Kasus
Berjudul
Tuberkulosis Paru
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-
Nya, Dzat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas
dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Judul
Halaman Pengesahan……………………………………………………………………... ii
Kata Pengantar…………………………………………………………………………….iii
Daftar Isi………………………………………………………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………....1
BAB II LAPORAN KASUS….…………………………………………………………...3
2.1. Identifikasi Pasien…………………………………………………………….….3
2.2. Anamnesis Pasien………………………………………………………….….....3
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu ……………………………………………….……....4
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga…………………………………………….………..4
2.5. Riwayat Kebiasaan…………………………………………………….………...5
2.6. Pemeriksaan Fisik……………………………………………………..…………5
2.7. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………..………….10
2.8. Resume……………………………………………………………..……………11
2.9. Diagnosis Banding ………………………………………………...…………….12
2.10. Diagnosis Kerja…………………………………………………………………..12
2.11. Tata Laksana……………………………………………………………………...12
2.12. Prognosis……………………………………………………………………….....12
2.13. Follow Up…………………………………………………………………………12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….………14
3.1. Definisi……..………………………………………………………………………14
3.2. Etiologi……………………………………………………………………………..14
3.3. Epidemiologi……………………………………………………………………….14
3.4. Patogenesis…………………………………………………………………………15
3.5. Manifestasi Klinis……………………………………………………………….…18
3.6. Klasifikasi...………………………………………………………………………...19
3.7. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………….20
3.8. Diagnosis……….…………………………………………………………………..22
3.9. Tatalaksana………………………………………………………………...……….28
3.10. Komplikasi….………………………………………………………………...……29
iv
3.11. Prognosis………………………..………………………………………………….30
BAB IV ANALISA KASUS……………..…………………………………………………30
BAB V KESIMPULAN………………………………………………………………..…...33
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...…..34
v
BAB I
PENDAHULUAN
vi
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
vii
No. RM : 62.86.31
Nama lengkap : Tn. R
Umur / TTL : 42 tahun / 5 Juli 1980
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Keramasan RT 037 RW 006, Kertapati,
Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 27 September 2022 pukul 22.54 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 1 September 2022
Dokter Pemeriksa : dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM
Ruangan : Bangsal TB paru
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat sejak 2 bulan SMRS.
Keluhan Tambahan :
Batuk berdahak yang menetap sejak 2 bulan SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan sesak napas
yang semakin memberat sejak 2 bulan SMRS. Keluhan sesak napas dipengaruhi oleh
aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Keluhan juga disertai dengan batuk berdahak
sejak 2 bulan SMRS, batuk yang dirasakan terjadi hilang timbul, dahak berwarna hijau
muda. Pasien juga mengeluh demam sejak 2 bulan SMRS, demam sering timbul pada
saat sore hingga malam hari, dan demam hilang saat pasien minum paracetamol
namun demam hilang hanya turun sebentar. Keluhan demam disertai dengan keringat
dan menggigil pada saat malam hari. Keluhan ini juga disertai dengan badan lemas
seperti tidak bertenaga.
Keluhan mual muntah disangkal, keluhan sakit kepala disangkal, keluhan
nyeri pada perut disangkal. Riwayat makan obat 6 bulan disangkal, riwayat hipertensi
dan diabetes melitus disangkal. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang
sama.
Pasien juga mengatakan nafsu makan menurun sejak 2 minggu SMRS, pasien
makan sebanyak 2-3 sendok setiap makan, pasien mengalami penurunan berat badan
viii
sejak 2 bulan SMRS, berat badan awal 50 kg , sekarang menjadi 30 kg. BAB berwarna
hitam dan BAK normal. Pasien mengeluh sulit untuk tidur, pasien terkadang tidur 2-3
jam/hari. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas perhari dan kebiasaan
merokok 1-3 bungkus/hari, namun pasien sudah berhenti merokok sejak 2 bulan yang
lalu.
Saat masuk IGD dan dilakukan pemeriksaan, didapatkan tekanan darah
120/80 mmHg, Nadi 98x/menit, Frekuensi napas 23x/menit, suhu pasien38,8oC, dan
saturasi oksigen 98%.
Keadaan Spesifik :
1. Pemeriksaan Kepala :
- Bentuk kepala : Normocepali
- Ekspresi : Wajar
- Rambut : Hitam, tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Simetris
2. Pemeriksaan Mata :
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Tidak ada edema (-/-)
- Konjungtiva : Tidak anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), isokor
- Gerakan : Baik ke segala arah
3. Pemeriksaan Telinga :
x
- Liang telinga : Normal
- Serumen : Tidak ada (-/-)
- Sekret : Tidak ada (-/-)
- Nyeri tekan : Tidak ada (-/-)
- Gangguan pendengaran : Tidak ada (-/-)
4. Pemeriksaan Hidung :
-Bagian Luar : Normal
-Deformitas : Tidak ada (-/-)
-Penyumbatan : Tidak ada (-/-)
-Epistaksis : Tidak ada (-/-)
-Septum : Tidak ada deviasi (-/-)
xi
12
6. Pemeriksaan Leher :
- Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
- Kelenjar Gondok : Pembesaran (-)
- Trakea : Di tengah, deviasi tidak ada
- Tekanan Vena : JVP (5-2) cmH2O
- Kaku kuduk : Tidak ada
- Tumor : Tidak ada
- Lain-lain : Tidak ada
7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : Tidak ada
- Ikterik : Tidak ada
- Petikhie : Tidak ada
- Sianosis : Tidak ada
- Jaringan Parut : Tidak ada
- Turgor : CRT < 2 detik
8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Statis dinamis, simetris; sela iga melebar (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri,benjolan (-), sela iga
melebar (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)
13
Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
9. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi : HR 96x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
10. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi(-), caput medusa (-), spider nevi(-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (+) regio quadran kiri atas, nyeri ulu hati (-),
hepatomegali (-), teraba massa (-), ballotement (-), nyeri tekan
suprapubic (-), splenomegali (-).
Perkusi :Tympani (+), undulasi (-), nyeri ketok CVA (-), shifting
dullness (-)
Interpretasi :
1) Cor normal
2) Pulmo infiltrat dan cavitas periphiler kanan dan kiri
3) Bleb apex paru kanan
4) Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
5) Tulang tulang intak
17
3. Pemeriksaan EKG
Interpretasi EKG:
1) Irama Sinus Takikardi
2) HR : 125x/menit
3) Axis : Normoaxis
4) Gelombang P : Normal
5) PR interval : Normal
6) Gelombang Q : Normal
7) Kompleks QRS : Normal
8) Gelombang T : Normal=
Kesan: EKG Normal
2.8. Resume
18
1. Pneumonia
2. Tumor paru
2.11. Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
1. Istirahat
2. Stop merokok dan hindari polusi
3. Pemberian nutrisi dan vitamin
4. Penjelasan tentang penggunaan obat yang akan dikonsumsi.
Medikamentosa
1. IVFD Bfluid: RL gtt 20x/menit
2. Omeprazole 1x1 mg/tab
3. Ambroxol syr 3x1 cc
4. Curcuma 3x1 mg/tab
5. Nystatin 3x2 cc
6. Mazalbumin 1x1 mg/tab
7. OAT 1x2 mg/tab
2.12. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
2.13. Follow Up
20
g mg/tab
- Nafsu
makan
menurun
Selasa, 4 - Lemas KU : tampak sakit ringan Tb paru kasus - IVFD Bfluid:
Oktober TD : 100/60 mmHg
- Batuk baru RL gtt
2022 N : 90x/menit
berdahak RR : 21x/menit 20x/menit
T : 36,4oC
- Keringat Sp02: 98% - Omeprazole 1x1
pada mg/tab
malam - Ambroxol syr
hari 3x1 cc
- Nafsu - Curcuma 3x1
makan mg/tab
menurun - Nystatin 3x2 cc
- Mazalbumin
1x1 mg/tab
- OAT 1x2
mg/tab
-
BAB III
22
TINJAUAN PUSTAKA
3. 1 Definisi
3. 2 Etiologi
3. 3 Epidemiologi
28
Indonesia, pada tahun 2002, diperkirakan kerugian nasional akibat tuberkulosis
paru mencapai Rp. 8,2 trilyun berupa kehilangan waktu produktif karena sakit
atau mati muda serta biaya pengobatan, untuk memerangi penyakit tuberkulosis
paru, sejak tahun 1995 Indonesia mengadopsi strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) yang direkomendasikan WHO. 17
Penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok
usia serta nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. Angka kepadatan hunian rumah
di kota Palembang 5,84 lebih tinggi daripada angka ideal kepadatan hunian
rumah.17 Tahun 2016 penderita tuberculosis mengalami peningkatan dari 9,6 juta
menjadi 10,5 juta jiwa. Sementara Palembang merupakan kota dengan prevalensi
tuberkulosis tertinggi di provinsi Sumatera Selatan.18
Berdasarkan data profil kesehatan kota Palembang, angka kepadatan
hunian rumah di Kota Palembang adalah 5,84 yang berarti tiap rumah dihuni oleh
5-6 orang lebih tinggi daripada angka ideal kepadatan hunian rumah 4-5 orang.
Angka kematian penyakit tuberkulosis paru yang tinggi dipengaruhi oleh
rendahnya penghasilan, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta
rendahnya pengetahuan kesehatan pada masyarakat.17 Sejak tahun 1996-1997,
Provinsi Sumatera Selatan melaksanakan program DOTS. Pada tahun 2001,
jumlah penderita tuberkulosis paru adalah 13.180 penderita, diantaranya 2.595
penderita tuberkulosis paru BTA (+). Angka tertinggi dilaporkan di kota
Palembang dengan 145 tersangka tuberkulosis paru, diantaranya 658 penderita
tuberkulosis paru BTA (+).17
Pemerintah Indonesia melalui kementrian kesehatan membuat sasaran
strategis pengendalian TB hingga 2014 mengacu pada rencana starategis yaitu
menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per
100.000 penduduk. Saat ini diperkirakan ada 1 dari setiap 3 kasus TB yang
masih belum terdeteksi oleh program. Tahun 2013 WHO memperkirakan di
Indonesia terdapat 6.800 kasus baru TB dengan Multi Drug Resistence (TB MDR)
setiap tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB
pengobatan pengulangan merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan pula lebih
29
dari 55% pasien Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) belum
terdiagnosis atau mendapat pengobatan baik dan benar. Rendahnya angka
bisa mendiagnosis TB. Data TB cure rate dari tahun 2013 ke tahun 2014 terjadi
penurunan sebesar 6% yang berarti keberhasilan dalam penyembuhan pasien TB
3. 4 Patogenesis
30
minggu. Selama masa inkubasi ini, bakteri tumbuh ke angka yang jumlahnya
cukup untuk menstimulus respon imunitas seluler.19 Selama beberapa minggu
pertama, proses infeksi MTB tumbuh secara logaritmik, sehingga jaringan tubuh
yang awalnya tidak peka terhadap tuberkulin menjadi rentan. Pada saat kompleks
primer ini terbentuk, infeksi tuberkulosis primer dinyatakan telah terjadi. Hal
ini ditandai dengan pembentukan hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis,
yaitu munculnya reaksi positif terhadap tes tuberkulin. Tes tuberkulin masih
negatif selama masa inkubasi. Setelah komplek primer tebentuk, maka akan
terbentuk pula imunitas seluler tubuh terhadap TB. Saat sistem imun seluler
berkembang, individu dengan sistem imun yang baik akan menyebabkan
terhentinya pertumbuhan bakteri tuberkulosis. Akan tetapi, sebagian kecil dari
mycobacterium tuberculosis tetap dapat bertahan hidup dalam granuloma. Setelah
imunitas seluler terbentuk, mycobacterium tuberculosis baru yang menyerang
alveoli akan segera dihancurkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer
di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk
fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi namun
penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. bakteri TB
tetap dapat hidup dan menetap dalam kelenjar ini selama bertahun-tahun
lamanya.19
Penyebaran limfogen dan hematogen dapat terlihat selama masa inkubasi
sebelum imunitas seluler terbentuk. Pada penyebaran limfogen, bakteri menyebar
ke kelenjar limfe regional untuk membentuk kompleks primer. Sebaliknya,
pada penyebaran hematogen, bakteri tuberkulosis masuk ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh sehingga TB disebut sebagai penyakit sistemik.19
31
Gambar.6 Bagan Patogenesis Tuberkulosis.
32
generalized hematogenic spread). Dalam bentuk ini, sejumlah besar bakteri
tuberkulosis masuk ke dalam darah dan beredar keseluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan munculnya gejala klinis penyakit TB secara akut yang disebut
tuberkulosis diseminata. Tuberkulosis diseminata terjadi dalam 2 sampai 6 bulan
setelah infeksi. Insiden penyakit tergantung pada jumlah dan virulensi M.
tuberculosis yang beredar dan frekuensi kekambuhan. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena sistem imun pejamu tidak adekuat dalam mengatasi infeksi TB
misalnya pada balita.20 Hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar disebut sebagai tuberkulosis milier. Semua tuberkel
yang dihasilkan akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur
padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.20
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.20 Bakteri Mycobacterium
mempunyai dinding sel dengan sifat-sifat fisik dan kimiawi tertentu yang
memungkinkannya untuk dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi di dalam
makrofag.21
33
Gambar.7 Gambaran skematis dinding sel Mycobacterium tuberculosis
Bakteri dilapisi oleh membran sitoplasma yang khas berupa 2 lapisan lemak
yang terdapat dibawah lapisan peptidoglikan (PG). Diantara lapisan membran
sitoplasma dan PG didapatkan sejumlah protein yang beberapa diantaranya
mungkin bersifat imunogenik. Kearah luar PG berikatan secara kovalen dengan
arabinogalaktam (AG) melalui ikatan fosfodiester. Selanjutnya bagian distal AG
akan berkaitan dengan asam mikolat yang merupakan asam lemak rantai cabang.
Asam mikolat yang berkaitan dengan disakarida trehalosa (cord factor) dapat
merangsang pembentukan granuloma dan mengaktifkan komplemen. Komponen
dinding sel lainnya yaitu acylated trehalosa sulfates berperan penting dalam
virulensi bakteri. Trehalosa sulfat bersifat lisosomotrofik dan akan menghambat
fusi antara lisosom dan fagosom. Trehalosa sulfat juga dapat meningkatkan
toksisitas cord factor. Dinding sel kuman juga mengandung lipoarabinomanam
(LAM) yang dapat mempengaruhi sistem imun karena dapat menghambat proses
blastogenesis limfosit T, meningkatkan sekresi TNF oleh makrofag dan
menghambat kerja IFN dalam mengaktifkan makrofag.21
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada
penderita HIV/AIDS. Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV
menyebabkan berbagai infeksi oportunistic, seperti TB. Angka kematian akibat
infeksi TB pada penderita HIV lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian
tersering (30-50%) pada penderita HIV/AIDS. Mekanisme infeksi TB pada
penderita HIV melalui reaktivasi, infeksi baru yang progresif. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas pada sistem imunitas seluler sehingga terjadi
koinfeksi. Infeksi TB mengakibatkan progresifitas perjalanan HIV/AIDS yang
lebih cepat hingga kematian. HIV merupakan faktor resiko utama dan terbesar
untuk semakin memburuknya perjalanan penyakit TB, termasuk dalam hal ini
proses berubahnya TB paru laten menjadi TB paru aktif. Kondisi ini terjadi
mengingat virus HIV menyerang tubuh menyebabkan penurunan CD (cluster of
diferentiation) 4+ dan limfosit T, yang pada akhirnya menyebabkan imunitas
tubuh akan sangat menurun.22 HIV memperburuk infeksi TB dengan
meningkatkan reaktifasi dan mempercepat progresifitas TB. Meningkatknya kasus
34
HIV akan meningkatkan transmisi dan proliferasi MTB pada pasien yang sudah
mengalami infeksi sebelumnya. Penyebaran tuberkulosis dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat
memudahkan terjadinya infeksi tuberkulosis. Kemiskinan dapat menyebabkan
asupan gizi yang kurang, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat serta akses
pelayanan kesehatan yang rendah.11 Kasus tuberkulosis kebanyakan menyerang
individu dengan ekonomi yang rendah. Individu dengan penghasilan tinggi
memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan serta mudahnya
pemenuhan gizi yang baik sehingga dapat meningkatkan imunitas tubuh. Dengan
penghasilan yang tinggi pula seseorang tidak akan berpikir dua kali untuk
mengeluarkan uangnya dalam hal melakukan pengobatan maupun pemeriksaan
kesehatan. Berbeda dengan seseorang dengan penghasilan yang rendah yang akan
menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari, mereka akan berpikir dua kali untuk mengeluarkan uangnya demi
memeriksakan kesehatannya, sehingga kebanyakan dari orang yang
berpenghasilan rendah baru memeriksakan kondisinya apabila sakitnya sudah
semakin parah atau tidak bisa sembuh dengan meminum obat yang dijual ditoko-
toko maupun jamu tradisional.11
3. 5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis
tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan penyakit TB secara klinik.4
1. Gejala sistemik/umum:
a) Batuk berdahak selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
b) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
35
d) Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah.
2. Gejala khusus: 4
a) Tergantung dari organ tubuh yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar
getah bening yang membesar akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas
melemah yang disertai sesak.
c) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
3. 6 Klasifikasi
36
sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru
dan ekstraparu harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
2. TB ekstra paru.
TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Kasus TB ekstra paru
dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal
mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks tidak menunjukkan gambaran TB.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
37
2. TB ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
d. Kasus pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif dan tidak
meneruskan pengobatannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau
dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.
f. Kasus pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari sarana
pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
38
pengobatannya.
Klasifikasi TB berdasarkan status HIV:19
a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien
telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi
ARV.
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus disesuaikan klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui
HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasiikasinya.
3. 7 Pemeriksaan Penunjang23
1. Laboratorium darah rutin, adanya leukositosis, laju endap darah (LED) yang
meningkat.
2. Pemeriksaan sputum BTA, hasil pemeriksaan pada sputum BTA tidak akrurat
hasil yang didapatkan sebanyak 30-70% klien yang bisa di diagnosa.
3. Tes peroksidase anti peroksidase (PAP), menentukan adanya antibody IgG
yang spesifik terhadap antigen tuberculosae. Hasil uji PAP-TB dinyatakan
patologis bila ada titer 1:1000 didapatkan hasil uji positif. Menentukan
adanya imunoglobulin G yang spesifik terhadap antigen M.tuberkulosis.
Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M.tuberkulosis var bovis . BCG
yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus, hasil
uji PAP-Tb dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 di dapatkan hasil uji
PAP-Tb positif, hasil positif palsu kadang– kadang masih didapatkan pada
pasien reumatik.
39
4. Tes Mantoux Tuberkulin, melakukan tes pada kulit lengan dengan
menyuntikkan zat kecil cairan. Pada daerah penyuntikan akan timbul benjolan
kecil di permukaan kulit dengan ukuran sejumlah 5-9 mm, hasilnya terlihat
seperti peradangan. Pasien yang sudah atau sedang terpapar kuman
tuberculosis dapat dilihat dari tes Mantoux yang menunjukkan hasil
positif.
5. Pemeriksaan radiologi, hasil pemeriksaan pada rontgen thorax PA dan
lateral untuk menunjang diagnose TB, sebagai berikut:
- Terdapat adanya bayangan lesi di lapang paru bawah.
- Terdapat bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)
- Terdapat kavitas bisa tunggal/ganda
- Adanya kelainan bilateral terutama di lapangan bagian atas paru
6. Pemeriksaan rontgen thoraks, sebelum ditemukannya suatu gejala subjektif
serta kelainan pada paru, sering didapatkannya suatu lesi pada pemeriksaan
rontgen thoraks. Apabila terjadi suatu kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan rontgen, tidak terdapat paparan untuk tuberculosis awal,
biasanya terdapat lobus bawah dan disekitar hilus. Bentuk kelainan tersebut
tampak seperti garis-garis opaque dengan ukuran yang bermacam-macam.
7. Pemeriksaan CT Scan, dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik
ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul, dan adenopati, perubahan
kelengkungan berkas bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emfisema
perisikatriksial.
8. Pemeriksaan Laboratorium menggunakan beberapa bahan:
- Sputum
Sputum diambil yang pertama kali keluar saat pagi hari, jika terlalu susah
bisa dikumpulkan dalam waktu 24 jam.
- Urine
Sebaiknya urine yang digunakan untuk pemeriksaan diambil pada pagi hari
atau bisa dikumpulkan selama 12-24 jam.
- Bahan lain yang digunakan bisa menggunakan pus, cairan sum- sum tulang
40
belakng, cairan pleura, feses, dan jaringan pada tubuh.
3. 8 Diagnosis
41
dahak (sputum), baik yang didapat dengan berdahak langsung ataupun dengan
induksi sputum. Untuk saat ini, penggunaan TCM menjadi prioritas pemeriksaan
TB karena mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: 23
1. Sensitivitas tinggi.
2. Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.
3. Dapatdigunakan untuk mengetahui hasil resistansi terhadap
Rifampisin.
4. Tingkat biosafety rendah.
Keterangan alur: 23
42
Prinsip penegakan diagnosis TB:
1. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, TCM, dan biakan.
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB
paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
b. Satu spesimen untuk disimpan sementara dan akan diperiksa jika spesimen
pertama memberikan hasil
c. Pasien dengan hasil MTB Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari
kriteria terduga TB RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
43
d. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji
kepekaan.
h. Pasien dengan hasil TCM MTB negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks.
Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter,
pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari
kemungkinan penyebab lain.
3. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua spesimen dahak menunjukkan hasil
pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada
pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien
dengan BTA (+)
4. BTA (-) adalah jika kedua spesimen dahak menunjukkan hasil BTA negatif.
44
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan
klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai
dan ditetapkan oleh dokter.
antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama
1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik,
pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi
maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang
dimaksud antara lain:
3. 9 Tata Laksana
3. Mencegah kekambuhan TB
45
5. Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
Pengobatan TB paru terbagi atas 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan adalah paduan obat
utama dan obat tambahan. Jenis obat utama (lini I) adalah INH, rifamfisin,
pirazinamid, streptomisisin, etambutol, sedangkan obat tambahan laninnya
adalah: kanamisin, amikasin, kuinolon.26
A. Jenis Pengobatan:
1. Isoniasid ( H )
2. Rifampisin (R)
3. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
4. Streptomisin (S)
46
5. Etambulol (E)
B. Prinsip Pengobatan:
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
1. Kategori 1 :
a. 2HRZE/ 4 H3R3
b. 2HRZE/ 4 HR
c. 2HRZE/ 6 HE
2. Kategori 2:
a. 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3
b. 2HRZES/ HRZE/ 5HRE
3. Kategori 3:
47
a. 2HRZ/ 4H3R3
b. 2HRZ/ 4 HR
c. 2HRZ/ 6 HE
D. Paduan Obat Sisipan:
- Penderita TBC paru BTA negatif, Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
48
b) Kategori 2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap
hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa
suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita kambuh (relaps)
- Penderita gagal (failure)
- Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
Catatan:
- Pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
49
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
a. Bila klinik (+), ikterik (+), mual-muntah (+) maka OAT dihentikan.
b. Bila gejala klinik (+), dan SGOT/SGPTnya ≥ 3x lipat dari normal maka
OAT dihentikan.
50
- Bilirubin > 2x normal maka OAT dihentikan.
OAT lini pertama yang bersifat hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan
Pirasinamid. Setelah OAT yang hepatotoksik dihentikan, umumnya beberapa
hari kemudian gejala klinik kembali membaik. Evaluasi lagi SGOT atau SGPT
dan bilirubin. Bila sudah kembali normal berikan lagi INH dosis kecil secara
desensitisasi sampai dosis penuh (300mg). bila secara klinik tetap stabil,
tambahkan lagi Rifampisin dosis kecil secara desensitisasi juga sampai dosis
penuh. Paduan obatnya berubah jadi HRES. Obat Pirasinamid biasanya tidak
diberikan lagi.9
F. Hasil Pengobatan27
1. Sembuh
51
metabolisme akan semakin menurun. Sedangkan pendidikan merupakan
salah satu dari faktor eksternal yang mempengaruhi kesehatan seseorang.
Pada orang dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya bertindak lebih
preventif pada suatu penyakit. Untuk status gizi, pada orang dengan berat
badan kurang akan mempunyai risiko terhadap penyakit infeksi, sementara
orang yang mempunyai berat badan di atas ukuran normal akan mempunyai
risiko penyakit degeneratif.
2. Pengobatan lengkap
3. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau Kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan apabila
selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan
adanya resistensi OAT.
4. Meninggal
6. Tidak dievaluasi
52
G. Pencegahan27
Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah:
1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain
2. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau
tissu.
3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,
kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan
cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat
mati.
6. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang
bergizi
7. Tidur dan istirahat yang cukup
8. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung
alkohol.
9. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
10. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
3. 10 Komplikasi 4
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi di bagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
1. Komplikasi dini:
a. Pleuritis adalah inflamasi atau perladangan pleura, pleuritis dapat
disebabkan oleh infeksi, cedera atau tumor, gejalanya berupa batuk, panas,
menggigil, nyeri yang tajam serta menusuk yang bertambah parah ketika
pasien menarik napas dan pernapasan yang cepat serta dangkal.
b. Efusi pleura yang ditandai oleh implamasi dan eksudasi cairan serosa dalam
kavum pleura.
c. Emfisema adalah pengumpulan pus dalam sebuah rongga.
53
d. Laringitis, implamasi selaput mukosa laring yang bisa akut atau kronis,
laringitis dapat ditandai dengandemam, selesma, merokok, dan terkena asap
yang mengiritasi laring.
2. Komplikasi lanjut
a. Hemoptisis masif, dapat mengakibatkan kematian karena pendarahan yang
terjadi pada saluran nafas bawah menyumbat jalan nafas.
b. Kolaps lubus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis, pada paru terjadi pelebaran bronkus setempat dan terjadi
pembentukan jaringan ikat pada proses reaktif dan pemulihan.
d. Pneumotoraks spontan, terjadi paru kolaps spontan karena udara yang
terdapat di pleura.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti, tulang, ginjal dan otak.
3. 11 Prognosis16
Prognosis pada tuberkulosis paru tanpa pengobatan, setelah lima tahun
didapatkan sebanyak 50% dari penderita tuberkulosis paru akan meninggal dunia
dan didapatkan sebanyak 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
yang tinggi, dan sebanyak 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular.
54
BAB IV
ANALISA KASUS
55
umum yang muncul pada awal DBD. 9
Pasien juga mengatakan nafsu makan menurun, jika pasien makan akan
muntah. BAB dan BAK normal. Pada kasus DBD terjadi penurunan nafsu
makan, anoreksia, mual, muntah. Hal ini biasanya terjadi pada fase
demam/prodromal DBD yang berlangsung 3-7 hari. 10
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan Umum Tampak sakit sedang,
Kesadaran Compos mentis (E4V5M6), Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi
90x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup, Pernafasan 20x/ menit, suhu tubuh
38,2oC. Pada bagian ekstremitas atas dan bawah dan bagian badan ditemukan
adanya ptekie. Tanda-tanda perdarahan pada kasus DBD yaitu perdarahan pada
kulit seperti uji torniquet positif, petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam tetapi dapat
pula dijumpai setelah hari ke-3 demam. 1
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil yang
abnormal yaitu kadar leukosit 4500/uL, trombosit 140.000/uL, limfosit 18%,
monosit 10%. Pada kasus DBD, kadar leukosit bisa normal atau menurun,
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit)
disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > l5% dari jumlah total leukosit
yang pada fase syok akan meningkat. 6
ditemukan juga penurunan kadar
trombosit atau trombositopenia biasanya terjadi pada hari ke 3-8.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan destruksi pemendekan masa hidup trombosit dimana
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan
keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. 6
Tatalaksana nonfarmakologi pada pasien ini yaitu edukasi mengenai Penjelasan
tentang penyakit pasien, Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk
memastikan asupan cairan pasien untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan
hemokonsentrasi dan Penjelasan tentang penggunaan obat yang akan dikonsumsi.
Sedangkan tatalaksana farmakologi pada pasien ini diberikan I IVFD Ringer
Laktat gtt 20x/menit, Inj. Omeprazole 2x40mg, Inj. Ondansetron 2x4mg,
Paracetamol 3x500 mg, Flunarizin 3x5 mg.
56
Larutan ringer adalah generasi kedua kristalid, jika dibandingkan dengan
larutan salin, kandungan natrium dan kloridanya lebih sedikit. Larutan ringer
berisi potasium, kalsium, magnesium dan ion metabolis laktat dan asetat. Formula
resusitasi cairan yang berisi 130 mEq/L natrium. Meskipun cairan ini sedikit
hipotonis dibandingkan plasma, cairan ini efektif untuk hipovolemia dan
kekuragan natrium ekstraseluler. 11
Omeprazol merupakan penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari AH2.
Efek Omeprazol yaitu menghambat pompa proton lambung sehiingga
menghentikan produksi asam lambung. Penghambatan maksimal bertahan selama
4 jam, tetapi produksi asam lambat kembali ke nilai normal. 12
Ondansentron merupakan obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 sama
seperti granisetron, tropisetron, dan dolasetron. Mekanisme obat ini secara selektif
memblokir reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tidak ada efek pada
reseptor dopamin (reseptor 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen vagal
abdominal) dan di sentral (zona pemicu kemoreseptor di area postrema dan
nukleus traktus solitarius), tampaknya memainkan peran penting dalam inisiasi
refleks muntah Reseptor 5-HT 3 dari zona pemicu kemoreseptor di area postrema
berada di luar sawar otak. Hal inilah yang nantinya akan mengurangi sensasi mual
dan muntah. 13
Paracetamol merupakan derivat para-aminofenol atau golongan asetaminofen.
merupakan alternatif aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik;
namun, efek antiinflamasinya lebih lemah. Asetaminofen ditoleransi dengan baik
dan mempunyai insiden efek samping yang rendah terhadap GI. Asetaminofen
sekitar 90-100% ditemukan dalam urine. Asetaminofen adalah pilihan pengganti
yang tepat untuk aspirin dalam penggunaannya sebagai analgetik ataupun
antipiretik. 14
Flunarizin adalah obat Calcium Chanel Blocker. Obat ini bekerja dengan
cara menghambat masuknya kalsium ke dalam sel dan menghambat
aktivitas histamin. Obat ini mencegah atau mengurangi keluhan nyeri kepala.
57
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini diagnosis pasien mengarah ke Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan diagnosis banding Tifoid dan Malaria. Penegakkan diagnosis pada pasien
ini didasari oleh gejala yang dirasakan pasien yaitu demam mendadak tinggi,
demam naik saat sore hingga pagi hari, keluhan disertai mual, muntah, nyeri
kepala, nafsu makan emnurun, nyeri pada otot dan sendi. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan juga petekie dibagian ekstremitas atas, bawah dan bagian badan. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar leukosit yang menurun,
trombosit menurun, monosit meningkat dan limfosit menurun. Tatalaksana
nonfarmakologi pada pasien ini yaitu edukasi mengenai Penjelasan tentang
penyakit pasien, Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk memastikan
asupan cairan pasien untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan hemokonsentrasi
dan Penjelasan tentang penggunaan obat yang akan dikonsumsi. Tatalaksana
farmakologi pada pasien ini diberikan I IVFD Ringer Laktat gtt 20x/menit, Inj.
Omeprazole 2x40mg, Inj. Ondansetron 2x4mg, Paracetamol 3x500 mg, Flunarizin
3x5 mg.
58
DAFTAR PUSTAKA
59
16. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Infodatin Tuberkulosis. Pusat Data dan Informasi
Kesehat RI. 2018;2(1):3–4.
17. Tuberculosis, P., & Sumatera, S. 2001. Tuberkulosis Paru di Palembang , Sumatera
Selatan. 72.
18. Budi, I. S., Ardillah, Y., Sari, I. P., & Septiawati, D. 2018. Analisis Faktor Risiko
Kejadian penyakit Tuberculosis Bagi Masyarakat Daerah Kumuh Kota Palembang.
17(2), 87–94.
19. Asti W.R. 2009. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkolousis. Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
20. Mariyah K. dan Zulkarnain. 2021. Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis. Jurnal
Uin Alauddin.
21. Welin A. 2011. Survival strategies of mycobacterium tuberculosis inside the human
macrophage. Linkoping university. Page 14-15
22. Mulyani dan Fitrika Y. 2011. Hubungan Tuberkulosis Dengan Hiv/Aids. Jurnal PSIK
FK UNSIYAH. Vol 2(2).
23. Kementrian kesehatan republik indonesia. 2017. Petunjuk teknik pemeriksaan TB
Menggunakan Test Cepat Molekuler. PT. Medquest Jaya Global
24. Nahid, P., & Hopewell, P. C. 2017. Tuberculosis Treatment. International Encyclopedia
of Public Health, 43(5), 267–276. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00473-2
25. Kemenkes RI. 2013. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tentang tatalaksana TBC.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis, i–100.
26. Darliana, D. 2018. manajemen pasien tuberculosis paru - Management of Lung TB for
Patient. PSIK-FK Unsyiah, 11(1), 27–31.
27. Fitri, Lili Diana, Jenny Marlundawani dan Agnes Purba. 2018. Kepatuhan Minum Obat
pada Pasien Tuberkulosis Paru. Medan: Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Sari Mutiara Indonesia. Artikel Penelitian. Vo. 07, No. 01, Maret 2018. Hal: 34.
60