Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS PARU

Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked


712021060

Pembimbing:
dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Berjudul
Tuberkulosis Paru

Dipersiapkan dan disusun oleh


Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked
71202021060

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI.

Palembang, Oktober 2022


Dosen Pembimbing

dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-
Nya, Dzat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas
dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat

menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberkulosis Paru” sebagai


salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan,
bimbingan dan arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM selaku dosen
pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena
kesempurnaan itu hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
mendatang.

Palembang, Oktober 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Judul
Halaman Pengesahan……………………………………………………………………... ii
Kata Pengantar…………………………………………………………………………….iii
Daftar Isi………………………………………………………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………....1
BAB II LAPORAN KASUS….…………………………………………………………...3
2.1. Identifikasi Pasien…………………………………………………………….….3
2.2. Anamnesis Pasien………………………………………………………….….....3
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu ……………………………………………….……....4
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga…………………………………………….………..4
2.5. Riwayat Kebiasaan…………………………………………………….………...5
2.6. Pemeriksaan Fisik……………………………………………………..…………5
2.7. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………..………….10
2.8. Resume……………………………………………………………..……………11
2.9. Diagnosis Banding ………………………………………………...…………….12
2.10. Diagnosis Kerja…………………………………………………………………..12
2.11. Tata Laksana……………………………………………………………………...12
2.12. Prognosis……………………………………………………………………….....12
2.13. Follow Up…………………………………………………………………………12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….………14
3.1. Definisi……..………………………………………………………………………14
3.2. Etiologi……………………………………………………………………………..14
3.3. Epidemiologi……………………………………………………………………….14
3.4. Patogenesis…………………………………………………………………………15
3.5. Manifestasi Klinis……………………………………………………………….…18
3.6. Klasifikasi...………………………………………………………………………...19
3.7. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………….20
3.8. Diagnosis……….…………………………………………………………………..22
3.9. Tatalaksana………………………………………………………………...……….28
3.10. Komplikasi….………………………………………………………………...……29
iv
3.11. Prognosis………………………..………………………………………………….30
BAB IV ANALISA KASUS……………..…………………………………………………30
BAB V KESIMPULAN………………………………………………………………..…...33
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...…..34

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga sering dikenal dengan basil tahan asam (BTA). Sebagian besar kuman
tuberkulosis sering ditemukan menginfeksi parenkim paru, namun bakteri ini juga
memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura,
kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1
Tuberkulosis paru merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia serta nomor
1 dari golongan penyakit infeksi, di negara berkembang TB paru menyumbang sekitar
95% dari kematian terkait.2 Pada tahun 2019 terdapat 10,0 juta orang terkena penyakit
TB, termasuk diperkirakan 1,2 juta anak-anak, dengan sekitar 1,4 juta kematian TB,
termasuk 208 ribu orang dengan HIV/AIDS, yang sebagian besar disebabkan oleh
kemiskinan dan kerentanan masyarakat. Menurut WHO, terdapat 583,000 penderita
tuberkulosis paru baru di Indonesia sekitar 262.000 BTA (+) dengan angka kematian
140.000 per tahun. Sekitar 75% penderita adalah kelompok usia produktif (15-49 tahun)
dan sekitar 60% penderita merupakan penduduk miskin. 3 Kota Palembang merupakan
kota dengan prevalensi tuberkulosis tertinggi di provinsi Sumatera Selatan.2
Manifestasi klinis dari TB paru yaitu adanya atuk-batuk selama lebih dari 3
minggu (dapat disertai dengan darah), demam tidak terlalu tinggi biasanya dirasakan
pada malam hari yang disertai dengan keringat malam, adanya penurunan nafsu makan
dan berat badan.4 Penatalaksanaan tuberkulosis bertujuan untuk memulihkan, menjaga
kualitas hidup dan produktivitas penderita, mencegah kekambuhan, kematian serta
meminimalisir penularan TB kepada orang lain. Tatalaksana TB paru dibagi menjadi 2
fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Kombinasi obat
yang digunakan adalah obat utama dan tambahan. Jenis obat utama yang digunakan
berupa isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol, sedangkan untuk
obat tambahan berupa kanamisin, amikasin dan kuinolon.5,6

vi
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
vii
No. RM : 62.86.31
Nama lengkap : Tn. R
Umur / TTL : 42 tahun / 5 Juli 1980
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Keramasan RT 037 RW 006, Kertapati,
Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 27 September 2022 pukul 22.54 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 1 September 2022
Dokter Pemeriksa : dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM
Ruangan : Bangsal TB paru

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat sejak 2 bulan SMRS.
Keluhan Tambahan :
Batuk berdahak yang menetap sejak 2 bulan SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan sesak napas
yang semakin memberat sejak 2 bulan SMRS. Keluhan sesak napas dipengaruhi oleh
aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Keluhan juga disertai dengan batuk berdahak
sejak 2 bulan SMRS, batuk yang dirasakan terjadi hilang timbul, dahak berwarna hijau
muda. Pasien juga mengeluh demam sejak 2 bulan SMRS, demam sering timbul pada
saat sore hingga malam hari, dan demam hilang saat pasien minum paracetamol
namun demam hilang hanya turun sebentar. Keluhan demam disertai dengan keringat
dan menggigil pada saat malam hari. Keluhan ini juga disertai dengan badan lemas
seperti tidak bertenaga.
Keluhan mual muntah disangkal, keluhan sakit kepala disangkal, keluhan
nyeri pada perut disangkal. Riwayat makan obat 6 bulan disangkal, riwayat hipertensi
dan diabetes melitus disangkal. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang
sama.
Pasien juga mengatakan nafsu makan menurun sejak 2 minggu SMRS, pasien
makan sebanyak 2-3 sendok setiap makan, pasien mengalami penurunan berat badan
viii
sejak 2 bulan SMRS, berat badan awal 50 kg , sekarang menjadi 30 kg. BAB berwarna
hitam dan BAK normal. Pasien mengeluh sulit untuk tidur, pasien terkadang tidur 2-3
jam/hari. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas perhari dan kebiasaan
merokok 1-3 bungkus/hari, namun pasien sudah berhenti merokok sejak 2 bulan yang
lalu.
Saat masuk IGD dan dilakukan pemeriksaan, didapatkan tekanan darah
120/80 mmHg, Nadi 98x/menit, Frekuensi napas 23x/menit, suhu pasien38,8oC, dan
saturasi oksigen 98%.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit hipertensi : Disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : Disangkal
Riwayat penyakit TB paru : Disangkal
Riwayat penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat penyakit lambung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat penyakit tiroid : Disangkal
Riwayat penyaki asma : Disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi :Disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus :Disangkal
Riwayat penyakit TB paru : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit lambung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat penyakit tiroid : Disangkal
Riwayat penyakit asma : Disangkal

2.5 Riwayat Kebiasaan


Minum Teh : Tidak
Merokok : Pasien merokok 2-3 bungkus/hari, namun pasien sudah
berhenti sejak 1 tahun yang lalu.
Minum Kopi : 3 gelas/hari biasanya kopi bubuk.
ix
Minum Jamu : Tidak.
Minuman keras : Tidak.
Konsumsi Obat-obatan : Tidak.
Olahraga : Tidak.

2.6 Pemeriksaan fisik


Dilakukan pada tanggal 1 September 2022.
Keadaan Umum :
- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 99x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 24x/ menit, reguler tipe thoracoabdominal
- Temperature : 39,3oC
- Berat Badan : 30 kg
- Tinggi Badan : 161 cm
- Indeks Massa Tubuh (IMT) : 11,58 (Underweight)

Keadaan Spesifik :
1. Pemeriksaan Kepala :
- Bentuk kepala : Normocepali
- Ekspresi : Wajar
- Rambut : Hitam, tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Simetris
2. Pemeriksaan Mata :
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Tidak ada edema (-/-)
- Konjungtiva : Tidak anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), isokor
- Gerakan : Baik ke segala arah
3. Pemeriksaan Telinga :
x
- Liang telinga : Normal
- Serumen : Tidak ada (-/-)
- Sekret : Tidak ada (-/-)
- Nyeri tekan : Tidak ada (-/-)
- Gangguan pendengaran : Tidak ada (-/-)

4. Pemeriksaan Hidung :
-Bagian Luar : Normal
-Deformitas : Tidak ada (-/-)
-Penyumbatan : Tidak ada (-/-)
-Epistaksis : Tidak ada (-/-)
-Septum : Tidak ada deviasi (-/-)

xi
12

5. Pemeriksaan Mulut danTengorokan:


- Mulut mengot : (-)
- Bibir : Tidak ada sianosis (-)
- Gusi : Hiperemis (-), normal
- Lidah : Thypoid tongue (-), atrofi papil (-)
- Tonsil : T1-T1 Tenang
- Faring : Tidak hiperemis (-)
- Gigi Geligi : Lengkap

6. Pemeriksaan Leher :
- Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
- Kelenjar Gondok : Pembesaran (-)
- Trakea : Di tengah, deviasi tidak ada
- Tekanan Vena : JVP (5-2) cmH2O
- Kaku kuduk : Tidak ada
- Tumor : Tidak ada
- Lain-lain : Tidak ada
7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : Tidak ada
- Ikterik : Tidak ada
- Petikhie : Tidak ada
- Sianosis : Tidak ada
- Jaringan Parut : Tidak ada
- Turgor : CRT < 2 detik

8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Statis dinamis, simetris; sela iga melebar (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri,benjolan (-), sela iga
melebar (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)
13

Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
9. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi : HR 96x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
10. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi(-), caput medusa (-), spider nevi(-)

Palpasi : Lemas, nyeri tekan (+) regio quadran kiri atas, nyeri ulu hati (-),
hepatomegali (-), teraba massa (-), ballotement (-), nyeri tekan
suprapubic (-), splenomegali (-).

Perkusi :Tympani (+), undulasi (-), nyeri ketok CVA (-), shifting
dullness (-)

Auskultasi: Bising usus (+) normal.


11. Pemeriksaan Genitalia:
Tidak dilakukan pemeriksaan.

12. Pemeriksaan Ekstremitas


Lengan Kiri Kanan
- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi
14

Tangan Kiri Kanan

- Warna telapak Normal Normal


- Kuku Normal Normal
- Kelainan jari Normal Normal
- Flapping Tremor - -

Tungkai dan kaki Kiri Kanan


- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi
- Edema - -

Reflek Fisiologis Kiri Kanan


- Biceps Positif Positif
- Triceps Positif Positif
- Patella Positif Positif
- Achilles Positif Positif

Reflek Patologis Kiri Kanan


- Babynski Negatif Negatif
- Oppenheim Negatif Negatif
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif

2.7. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 27 September 2022, pukul 23.15 WIB
Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 9,7 g/dl 14-16 g/dl Menurun
Eritrosit 4,13 juta/uL 4,5-5,5 juta/uL Normal
Leukosit 8,7 ribu/uL 5-10 ribu/uL Normal
15

Trombosit 378 ribu/mm3 150-400 ribu/mm3 Normal


Hematokrit 31% 40-52 % Menurun
Hitung Jenis Lekosit
Basofil 0% 0-1 % Normal
Eosinofil 0% 1-3 % Menurun
Batang 2% 2-6 % Normal
Segmen 90% 50-70 % Meningkat
Limfosit 5% 20-40 % Menurun
Monosit 3% 2-8 % Normal
Kimia Klinik
Ureum 38 mg/dL 20-40 mg/dL Normal
Creatinine 0,6 mg/dL 0,9-1,3 mg/dL Menurun
Glukosa darah 101 mg/dL <180 mg/dL Normal
sewaktu
Elektrolit
Natrium 130 mmol/L 135-155 mmol/L Menurun
Kalium 4,23 mmol/L 3,5-5,5 mmol/L Normal

Tanggal 28 September 2022, pukul 19.25 WIB


Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Kimia Klinik
Protein total 4,3 g/dl 6,7-8,7 g/dl Menurun
Albumin 2,29 g/dL 3,8-5,1 g/dL Menurun
Globulin 2,05 g/Dl 1,5-3,0 g/dL Normal
Immunologi
HbsAg Negatif Negatif Normal
Anti HIV
Strategi satu Non reaktif Non reaktif Normal

Tanggal 29 September 2022, pukul 06.50 WIB


Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 135-155 mmol/L Normal
Kalium 4,37 mmol/L 3,5-5,5 mmol/L Normal

Tanggal 30 September 2022, pukul 08.16 WIB


Parameter Hasil Interpretasi
Xpert MTB-RIF Assay G4 MTB terdeteksi tinggi TB paru (+)
Rif resistance tidak terdeteksi

Tanggal 2 Oktober 2022, pukul 06.43 WIB


16

Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi


Kimia Klinik
Protein total 4,0 g/dl 6,7-8,7 g/dl Menurun
Albumin 2,4 g/dL 3,8-5,1 g/dL Menurun
Globulin 1,6 g/dL 1,5-3,0 g/dL Normal
SGOT/AST 44 IU/L <37 IU/L Meningkat
SGPT/ALT 28 IU/L <41 IU/L Normal

2. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Tanggal 27 September, pukul 23.44 WIB

Interpretasi :
1) Cor normal
2) Pulmo infiltrat dan cavitas periphiler kanan dan kiri
3) Bleb apex paru kanan
4) Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
5) Tulang tulang intak
17

6) Soft tissue baik


Kesan : Kp aktif lanjut tersangka

3. Pemeriksaan EKG

Interpretasi EKG:
1) Irama Sinus Takikardi
2) HR : 125x/menit
3) Axis : Normoaxis
4) Gelombang P : Normal
5) PR interval : Normal
6) Gelombang Q : Normal
7) Kompleks QRS : Normal
8) Gelombang T : Normal=
Kesan: EKG Normal

2.8. Resume
18

Pasien Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan


sesak napas yang semakin memberat sejak 2 bulan SMRS. Keluhan sesak napas
dipengaruhi oleh aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Keluhan juga disertai
dengan batuk berdahak sejak 2 bulan SMRS, batuk yang dirasakan terjadi hilang
timbul, dahak berwarna hijau muda. Pasien juga mengeluh demam sejak 2 bulan
SMRS, demam sering timbul pada saat sore hingga malam hari, dan demam
hilang saat pasien minum paracetamol namun demam hilang hanya turun sebentar.
Keluhan demam disertai dengan keringat dan menggigil pada saat malam hari.
Keluhan ini juga disertai dengan badan lemas seperti tidak bertenaga.
Keluhan mual muntah disangkal, keluhan sakit kepala disangkal, keluhan
nyeri pada perut disangkal. Riwayat makan obat 6 bulan disangkal, riwayat
hipertensi dan diabetes melitus disangkal. Keluarga pasien tidak ada yang
memiliki keluhan yang sama.
Pasien juga mengatakan nafsu makan menurun sejak 2 minggu SMRS,
pasien makan sebanyak 2-3 sendok setiap makan, pasien mengalami penurunan
berat badan sejak 2 bulan SMRS, berat badan awal 50 kg , sekarang menjadi 30
kg. BAB berwarna hitam dan BAK normal. Pasien mengeluh sulit untuk tidur,
pasien terkadang tidur 2-3 jam/hari. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi 3
gelas perhari dan kebiasaan merokok 1-3 bungkus/hari, namun pasien sudah
berhenti merokok sejak 2 bulan yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan Umum Tampak sakit sedang,
Kesadaran Compos mentis (E4V5M6), Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 99x/
menit, reguler, isi dan tegangan cukup, Pernafasan 24x/ menit, suhu tubuh 39,3oC.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil yang abnormal
yaitu kadar hemoglobin 9,7 g/dL, hematokrit 31%, eosinofil 0%, creatinine 0,6
mg/dL, protein total 4,0 g/dL, albumin 2,4 g/dL, SGOT 44 IU/L, MTB terdeteksi
tinggi.

2.9. Diagnosis Banding


19

1. Pneumonia
2. Tumor paru

2.10. Diagnosis Kerja


TB paru kasus baru

2.11. Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
1. Istirahat
2. Stop merokok dan hindari polusi
3. Pemberian nutrisi dan vitamin
4. Penjelasan tentang penggunaan obat yang akan dikonsumsi.
Medikamentosa
1. IVFD Bfluid: RL gtt 20x/menit
2. Omeprazole 1x1 mg/tab
3. Ambroxol syr 3x1 cc
4. Curcuma 3x1 mg/tab
5. Nystatin 3x2 cc
6. Mazalbumin 1x1 mg/tab
7. OAT 1x2 mg/tab

2.12. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.13. Follow Up
20

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


Minggu, 2 - Lemas KU : tampak sakit sedang TB paru kasus - IVFD Bfluid:
Oktober TD : 98/80 mmHg
- Batuk baru RL gtt
2022 N : 75x/menit
berdahak RR : 22x/menit 20x/menit
T : 37,9oC
- Demam Spo2: 98% - Omeprazole
- Sesak 1x1 mg/tab
saat ke - Ambroxol syr
toilet
3x1 cc
- Keringat
- Curcuma 3x1
malam
mg/tab
hari
- Nystatin 3x2 cc
- Nyeri
- Mazalbumin
tenggoro
1x1 mg/tab
kan
- OAT 1x2
- Nafsu
makan mg/tab
menurun
- BAB
hitam
Senin, 3 - Lemas KU : tampak sakit sedang TB paru kasus - IVFD Bfluid:
Oktober TD : 120/70 mmHg
- Batuk baru RL gtt
2022 N : 72x/menit
berdahak RR : 19x/menit 20x/menit
T : 36,8oC
- Sesak Sp02: 99% - Omeprazole 1x1
saat mg/tab
ketoilet - Ambroxol syr
- Keringat 3x1 cc
malam - Curcuma 3x1
hari mg/tab
- Nyeri - Nystatin 3x2 cc
tenggoro - Mazalbumin
kan 1x1 mg/tab
berkuran - OAT 1x2
21

g mg/tab
- Nafsu
makan
menurun
Selasa, 4 - Lemas KU : tampak sakit ringan Tb paru kasus - IVFD Bfluid:
Oktober TD : 100/60 mmHg
- Batuk baru RL gtt
2022 N : 90x/menit
berdahak RR : 21x/menit 20x/menit
T : 36,4oC
- Keringat Sp02: 98% - Omeprazole 1x1
pada mg/tab
malam - Ambroxol syr
hari 3x1 cc
- Nafsu - Curcuma 3x1
makan mg/tab
menurun - Nystatin 3x2 cc
- Mazalbumin
1x1 mg/tab
- OAT 1x2
mg/tab
-

BAB III
22

TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh


bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan basil tahan asam (BTA). Sebagian
besar kuman tuberkulosis sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan
menyebabkan tuberkulosis paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan
menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang, dan organ ekstra paru lainnya. 1 Tuberkulosis merupakan salah satu
penyakit tertua di dunia yang kini masih menjadi masalah utama kesehatan
masyarakat dan secara global masih menjadi isu kesehatan di seluruh dunia.7
Penularan TB terjadi melalui udara dalam bentuk droplet (percikan dahak
atau sputum). Sumber penularan TB yaitu penderita TB paru BTA positif yang
ketika batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan droplet yang mengandung
bakteri mycobacterium tuberculosis.8 Penyakit tuberkulosis (TB) adalah suatu
penyakit infeksi kronik yang menyerang hampir semua organ tubuh manusia dan
yang terbanyak adalah paru-paru. Penyakit ini banyak ditemukan didaerah pada
tempat tinggal atau lingkungan yang padat penduduknya. Robert Koch
mengidentifikasi bakteri tahan asam (BTA) mycobacterium tuberculosis untuk
pertama kalinya sebagai bakteri penyebab tuberkulosis dan mendemonstrasikan
bakteri ini bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, sehingga memenuhi
postulat Koch dan merupakan prinsip utama dari pathogenesis mikrobial.9

3. 2 Etiologi

Tuberkulosis adalah infeksi menular yang disebabkan oleh agen infeksi


bakteri mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang organ paru pada
manusia. Tuberculosis ditularkan oleh pasien dengan BTA positif yang menyebar
melalui droplet nuclei yang keluar saat pasien batuk atau bersin. 10
23

Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri MTB yang merupakan bakteri gram


positif dengan sifat aerob obligat (bakteri yang membutuhkan oksigen bebas
untuk hidup), tidak mempunyai endospora dan kapsul, tidak motil, tahan
terhadap asam, berbentuk sel batang dengan ukuran 0,2-0,4 x 2-10 μm, tumbuh
pada suhu 37 0C dengan masa pertumbuhan yang lambat yaitu 2-60 hari. Bakteri
TB mempunyai dinding sel yang kaya akan lipid dan lapisan tebal
peptidoglikan yang mengandung asam mikolat, arabinogalaktan, dan
lipoarabinomanan. 10
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri MTB yang termasuk famili
mycobacteriaceace yang berbahaya bagi manusia. bakteri ini mempunyai dinding
sel lipoid yang tahan asam, memerlukan waktu mitosis selama 12-24 jam, rentan
terhadap sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga akan mengalami kematian
dalam waktu yang cepat saat berada di bawah matahari, bakteri MTB rentan
terhadap panas basah sehingga dalam waktu 2 menit akan mengalami kematian
ketika berada di lingkungan air yang bersuhu 1000 0C, serta akan mati jika terkena
alkohol 70% atau lisol 50%. 10
Mycobacterium tuberculosis dapat menular ketika penderita tuberkulosis
paru BTA positif berbicara, bersin dan batuk yang secara tidak langsung
mengeluarkan droplet nuklei yang mengandung mikroorganisme MTB. Droplet
nuclei dapat menguap apabila terkena paparan sinar matahari atau suhu udara
yang panas. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan
aliran angin yang menyebabkan bakteri MTB yang ada di dalam droplet nuklei
terbang melayang mengikuti aliran udara. Apabila bakteri tersebut terhirup oleh
orang sehat maka orang tersebut dapat berpotensi terinfeksi bakteri penyebab
tuberculosis.11 Risiko penularan penyakit tuberkulosis dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya sebagai berikut: 11
a) Umur, umur dapat menjadi faktor utama risiko terkena penyakit tuberkulosis
karena kasus tertinggi penyakit ini terjadi pada usia muda hingga dewasa. Di
Indonesia di perkirakan 75% penderita berasal dari kelompok usia produktif
yaitu pada rentang usia 15-49 tahun.
b) Jenis kelamin, penyakit TB lebih banyak menyerang laki-laki daripada
24

perempuan, hal tersebut dikaitkan dengan laki-laki mempunyai kebiasaan


merokok.
c) Kebiasaan merokok dan meminum alkohol dapat menurunkan daya tahan
tubuh, sehingga mudah untuk terserang penyakit.
d) Pekerjaan, risiko penularan tuberkulosis pada suatu pekerjaan adalah seorang
tenaga kesehatan yang kontak langsung dengan pasien walaupun masih ada
beberapa pekerjaan yang dapat menjadi faktor risiko yaitu seorang tenaga
pabrik.
e) Status ekonomi, masyarakat yang memiliki pendapatan yang rendah dapat
menyebabkan individu tersebut tidak dapat memenuhi syarat-syarat
kesehatan.
f) Faktor lingkungan dapat memengaruhi pencahayaaan rumah, kelembapan,
suhu, kondisi atap, dinding, lantai rumah serta kepadatan hunian. Bakteri MTB
dapat masuk pada rumah yang memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada
sinar matahari yang masuk.

3. 3 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan


banyak kematian di dunia. TB adalah penyakit menular yang menyebar luas yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis, yang biasanya
mempengaruhi paru-paru (TB paru) tetapi juga dapat mempengaruhi organ lain
(TB ekstra-paru). TB terus menjadi isu panas dan masalah kesehatan utama,
terutama di negara berkembang yang menyumbang sekitar 95% dari kematian
terkait TB. Pada tahun 2019 terdapat 10,0 juta orang terkena penyakit TB,
termasuk diperkirakan 1,2 juta anak-anak, dengan sekitar 1,4 juta kematian TB,
termasuk 208 ribu orang dengan HIV/AIDS, yang sebagian besar disebabkan oleh
kemiskinan dan kerentanan masyarakat.3
25

Di seluruh dunia, tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian dari


agen penyakit menular tunggal dan penyebab utama kematian di antara orang
yang hidup dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), terhitung
sekitar 40% kematian pada populasi ini. Tujuan pembangunan berkelanjutan
perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dan strategi akhir TB organisasi kesehatan
dunia (WHO) telah menetapkan target ambisius untuk tahun 2020– 2035,
termasuk pengurangan 35% dalam jumlah absolut kematian TB dan pengurangan
20% dalam kejadian TB pada tahun 2020, dibandingkan dengan tahun 2015.5
Pada tahun 2017, diperkirakan terjadi 10 juta kasus
insiden TB (133 kasus per 100.000 penduduk), kasus turun 1,8% dari tahun 2016.
Insiden telah menurun rata-rata 1,5% per tahun sejak tahun 2000. Perkiraan
kematian TB menurun 3,9%, dari 1,64 juta pada tahun 2016 menjadi 1,57 juta
pada tahun 2017 (kematian kasus = 15,7%; penurunan 0,5% dari tahun 2016).
Wilayah WHO di Asia Tenggara dan Afrika menyumbang hampir 70% dari
keseluruhan TB global. Meskipun jumlah total kasus lebih tinggi di Asia
Tenggara, insiden keseluruhan serupa di kedua wilayah (226 per 100.000 di Asia
Tenggara) dan 237 di Afrika.12

Gambar 1. Insiden tuberkulosis tahunan (per 100.000 penduduk), menurut


wilayah — di seluruh dunia, 2017.12
26

Gambar 2. Estimiasi TBC menurut regional, 2016.12

Sepertiga populasi di dunia terinfeksi bakteri mycobacterium tuberculosis,


terdapat 30 juta kasus TB aktif di dunia, dengan 10 juta kasus baru terjadi setiap
tahun dan bahwa 3 juta orang meninggal akibat TB setiap tahun. TB
menyebabkan kematian 6% dari seluruh kematian di dunia. Di Amerika Serikat
diperkirakan bahwa 10 hingga 15 juta orang terinfeksi TB. Kira-kira 5 hingga 100
populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru 1 hingga 2
tahun setelah terinfeksi.13 Menurut Global Tuberculosis Report 2019 yang dirilis
oleh WHO pada 17 Oktober 2019, dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk
mencapai tujuan Strategi END TB tahun 2020 yaitu mengurangi TB sebesar 20
persen dari jumlah kasus tahun 2015-2018. Namun, antara 2015 dan 2018,
penurunan kumulatif kasus TB hanya sebesar 6,3%. Begitu juga dengan
penurunan jumlah total kematian akibat TB antara tahun 2015 dan 2018 secara
global sebesar 11%, yang berarti kurang dari sepertiga target yang sebesar 35
persen pada tahun 2020. Kasus baru tuberkulosis secara global sebesar 6,4 juta,
setara dengan 64% dari insiden tuberkulosis (10 juta). Tuberkulosis tetap menjadi
10 penyebab kematian tertinggi di dunia yang menyebabkan kematian sekitar 1,3
juta pasien.13
Pada tahun 2019 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak
543.874 kasus, menurun bila dibandingkan dari semua kasus tuberkulosis yang
ditemukan pada tahun 2018 yang sebesar 566.623 kasus. Jumlah kasus tertinggi
dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut
27

hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia


(45%). Dibandingkan dengan perempuan, jumlah kasus tuberkulosis pada laki-
laki lebih tinggi 1,4 kali yang terjadi di seluruh provinsi. Bahkan di Aceh dan
Sumatera Utara, kasus pada laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
perempuan.14

Gambar 3. Proporsi Kasus TB Menurut Kelompok Umur Tahun 2019.15

Bahkan berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis, prevalensi pada laki-


laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di
negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar
pada faktor risiko TB misalnya merokok dan kurangnya kepatuhan minum obat.
Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.16
a) Cakupan pengobatan semua kasus tuberkulosis (Case Detection Rate/ CDR)
yang diobati.
Case detection rate (CDR) adalah jumlah semua kasus tuberkulosis yang
diobati dan dilaporkan di antara perkiraan jumlah semua kasus baru
tuberkulosis. CDR menggambarkan seberapa banyak kasus tuberkulosis yang
terjangkau oleh program.
Gambar 4. Case Detection Rate 2009-2019.

Gambar 5. Case Detection Rate menurut Provinsi tahun 2019.

Menurut WHO, terdapat 583,000 penderita tuberkulosis paru baru di


Indonesia sekitar 262.000 BTA (+) dengan angka kematian 140.000 per tahun.
Sekitar 75% penderita adalah kelompok usia produktif (15-49 tahun) dan sekitar
60% penderita merupakan penduduk miskin. Penelitian menunjukkan bahwa
penyakit tuberkulosis paru menyebabkan penderita kehilangan waktu kerja 3-4
bulan pertahun sehingga kehilangan 20-30% pendapatan rumah tangga. Di

28
Indonesia, pada tahun 2002, diperkirakan kerugian nasional akibat tuberkulosis
paru mencapai Rp. 8,2 trilyun berupa kehilangan waktu produktif karena sakit
atau mati muda serta biaya pengobatan, untuk memerangi penyakit tuberkulosis
paru, sejak tahun 1995 Indonesia mengadopsi strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) yang direkomendasikan WHO. 17
Penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok
usia serta nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. Angka kepadatan hunian rumah
di kota Palembang 5,84 lebih tinggi daripada angka ideal kepadatan hunian
rumah.17 Tahun 2016 penderita tuberculosis mengalami peningkatan dari 9,6 juta
menjadi 10,5 juta jiwa. Sementara Palembang merupakan kota dengan prevalensi
tuberkulosis tertinggi di provinsi Sumatera Selatan.18
Berdasarkan data profil kesehatan kota Palembang, angka kepadatan
hunian rumah di Kota Palembang adalah 5,84 yang berarti tiap rumah dihuni oleh
5-6 orang lebih tinggi daripada angka ideal kepadatan hunian rumah 4-5 orang.
Angka kematian penyakit tuberkulosis paru yang tinggi dipengaruhi oleh
rendahnya penghasilan, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta
rendahnya pengetahuan kesehatan pada masyarakat.17 Sejak tahun 1996-1997,
Provinsi Sumatera Selatan melaksanakan program DOTS. Pada tahun 2001,
jumlah penderita tuberkulosis paru adalah 13.180 penderita, diantaranya 2.595
penderita tuberkulosis paru BTA (+). Angka tertinggi dilaporkan di kota
Palembang dengan 145 tersangka tuberkulosis paru, diantaranya 658 penderita
tuberkulosis paru BTA (+).17
Pemerintah Indonesia melalui kementrian kesehatan membuat sasaran
strategis pengendalian TB hingga 2014 mengacu pada rencana starategis yaitu
menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per
100.000 penduduk. Saat ini diperkirakan ada 1 dari setiap 3 kasus TB yang
masih belum terdeteksi oleh program. Tahun 2013 WHO memperkirakan di
Indonesia terdapat 6.800 kasus baru TB dengan Multi Drug Resistence (TB MDR)
setiap tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB
pengobatan pengulangan merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan pula lebih

29
dari 55% pasien Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) belum
terdiagnosis atau mendapat pengobatan baik dan benar. Rendahnya angka

penderita TB di suatu wilayah belum tentu menggambarkan kondisi yang


sebenarnya, hal ini bisa disebabkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang belum

bisa mendiagnosis TB. Data TB cure rate dari tahun 2013 ke tahun 2014 terjadi
penurunan sebesar 6% yang berarti keberhasilan dalam penyembuhan pasien TB

paru mengalami penurunan. Walaupun angka keberhasilan penyembuhan TB Paru


di kota Palembang memenuhi standar WHO yaitu diatas 84%. Selain itu, angka
penderita TB Paru pada tahun 2014 juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun
sebelumnya. 17

3. 4 Patogenesis

Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh infeksi


bakteri mycobacterium tuberculosis. Ukuran bakteri TB yang sangat kecil,
menyebabkan bakteri TB yang berada dalam droplet nuclei dapat dengan mudah
terhirup hingga mencapai alveolus. Invasi patogen mycobacterium tuberculosis
dengan cepat diatasi oleh makrofag alveolus. Namun, dalam beberapa kasus,
bakteri TB yang tidak dapat dihancurkan akan segera berkembang biak di dalam
makrofag sehingga membentuk fokus primer GOHN pada jaringan paru.19 Dari
fokus primer GOHN, mycobacterium tuberculosis menyebar melalui saluran limfe
ke limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan peradangan (inflamasi) pada
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe yang terkena (limfadenitis). Jika
fokus primer ada di lobus bawah atau tengah paru-paru maka kelenjar limfe yang
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, dan apabila pada apeks paru maka yang
telibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer adalah kombinasi dari fokus
primer, pembesaran kelenjar limfe regional (limfadenitis), dan saluran limfe yang
meradang (limfadenitis).19
Waktu dari masuknya mycobacterium tuberculosis hingga pembentukan
kompleks primer lengkap disebut masa inkubasi mycobacterium tuberculosis.
Masa inkubasi tuberkulosis biasanya 4-8 minggu, dengan kisaran waktu 2-12

30
minggu. Selama masa inkubasi ini, bakteri tumbuh ke angka yang jumlahnya
cukup untuk menstimulus respon imunitas seluler.19 Selama beberapa minggu
pertama, proses infeksi MTB tumbuh secara logaritmik, sehingga jaringan tubuh
yang awalnya tidak peka terhadap tuberkulin menjadi rentan. Pada saat kompleks
primer ini terbentuk, infeksi tuberkulosis primer dinyatakan telah terjadi. Hal
ini ditandai dengan pembentukan hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis,
yaitu munculnya reaksi positif terhadap tes tuberkulin. Tes tuberkulin masih
negatif selama masa inkubasi. Setelah komplek primer tebentuk, maka akan
terbentuk pula imunitas seluler tubuh terhadap TB. Saat sistem imun seluler
berkembang, individu dengan sistem imun yang baik akan menyebabkan
terhentinya pertumbuhan bakteri tuberkulosis. Akan tetapi, sebagian kecil dari
mycobacterium tuberculosis tetap dapat bertahan hidup dalam granuloma. Setelah
imunitas seluler terbentuk, mycobacterium tuberculosis baru yang menyerang
alveoli akan segera dihancurkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer
di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk
fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi namun
penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. bakteri TB
tetap dapat hidup dan menetap dalam kelenjar ini selama bertahun-tahun
lamanya.19
Penyebaran limfogen dan hematogen dapat terlihat selama masa inkubasi
sebelum imunitas seluler terbentuk. Pada penyebaran limfogen, bakteri menyebar
ke kelenjar limfe regional untuk membentuk kompleks primer. Sebaliknya,
pada penyebaran hematogen, bakteri tuberkulosis masuk ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh sehingga TB disebut sebagai penyakit sistemik.19

31
Gambar.6 Bagan Patogenesis Tuberkulosis.

Bentuk penyebaran hematogen yang paling umum adalah penyebaran


hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Dengan cara ini,
mycobacterium tuberculosis menyebar secara sporadis dan lambat, tanpa
menimbulkan gejala klinis. Mycobacterium tuberculosis kemudian mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju biasanya organ yang
vaskularisasinya baik seperti otak, tulang, ginjal, paru-paru terutama pada apex
atau lobus atas paru-paru. Pada lokasi tersebut, bakteri TB akan membentuk
koloni dan akan tetap hidup dalam bentuk dorman. Meskipun fokus ini umumnya
tidak secara langsung berkembang menjadi penyakit, namun dapat berpotensi
menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut fokus SIMON.
Bertahun-tahun kemudian, ketika daya tahan tubuh pejamu menurun, maka fokus
tuberkulosis ini dapat reaktivasi dan mengakibatkan penyakit tuberkulosis pada
organ terkait seperti meningitis, TB tulang dan lainnya.20 Bentuk lain dari
penyebaran hematogen adalah penyebaran hematogen generalisata akut (acute

32
generalized hematogenic spread). Dalam bentuk ini, sejumlah besar bakteri
tuberkulosis masuk ke dalam darah dan beredar keseluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan munculnya gejala klinis penyakit TB secara akut yang disebut
tuberkulosis diseminata. Tuberkulosis diseminata terjadi dalam 2 sampai 6 bulan
setelah infeksi. Insiden penyakit tergantung pada jumlah dan virulensi M.
tuberculosis yang beredar dan frekuensi kekambuhan. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena sistem imun pejamu tidak adekuat dalam mengatasi infeksi TB
misalnya pada balita.20 Hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar disebut sebagai tuberkulosis milier. Semua tuberkel
yang dihasilkan akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur
padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.20
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.20 Bakteri Mycobacterium
mempunyai dinding sel dengan sifat-sifat fisik dan kimiawi tertentu yang
memungkinkannya untuk dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi di dalam
makrofag.21

33
Gambar.7 Gambaran skematis dinding sel Mycobacterium tuberculosis
Bakteri dilapisi oleh membran sitoplasma yang khas berupa 2 lapisan lemak
yang terdapat dibawah lapisan peptidoglikan (PG). Diantara lapisan membran
sitoplasma dan PG didapatkan sejumlah protein yang beberapa diantaranya
mungkin bersifat imunogenik. Kearah luar PG berikatan secara kovalen dengan
arabinogalaktam (AG) melalui ikatan fosfodiester. Selanjutnya bagian distal AG
akan berkaitan dengan asam mikolat yang merupakan asam lemak rantai cabang.
Asam mikolat yang berkaitan dengan disakarida trehalosa (cord factor) dapat
merangsang pembentukan granuloma dan mengaktifkan komplemen. Komponen
dinding sel lainnya yaitu acylated trehalosa sulfates berperan penting dalam
virulensi bakteri. Trehalosa sulfat bersifat lisosomotrofik dan akan menghambat
fusi antara lisosom dan fagosom. Trehalosa sulfat juga dapat meningkatkan
toksisitas cord factor. Dinding sel kuman juga mengandung lipoarabinomanam
(LAM) yang dapat mempengaruhi sistem imun karena dapat menghambat proses
blastogenesis limfosit T, meningkatkan sekresi TNF oleh makrofag dan
menghambat kerja IFN dalam mengaktifkan makrofag.21
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada
penderita HIV/AIDS. Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV
menyebabkan berbagai infeksi oportunistic, seperti TB. Angka kematian akibat
infeksi TB pada penderita HIV lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian
tersering (30-50%) pada penderita HIV/AIDS. Mekanisme infeksi TB pada
penderita HIV melalui reaktivasi, infeksi baru yang progresif. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas pada sistem imunitas seluler sehingga terjadi
koinfeksi. Infeksi TB mengakibatkan progresifitas perjalanan HIV/AIDS yang
lebih cepat hingga kematian. HIV merupakan faktor resiko utama dan terbesar
untuk semakin memburuknya perjalanan penyakit TB, termasuk dalam hal ini
proses berubahnya TB paru laten menjadi TB paru aktif. Kondisi ini terjadi
mengingat virus HIV menyerang tubuh menyebabkan penurunan CD (cluster of
diferentiation) 4+ dan limfosit T, yang pada akhirnya menyebabkan imunitas
tubuh akan sangat menurun.22 HIV memperburuk infeksi TB dengan
meningkatkan reaktifasi dan mempercepat progresifitas TB. Meningkatknya kasus

34
HIV akan meningkatkan transmisi dan proliferasi MTB pada pasien yang sudah
mengalami infeksi sebelumnya. Penyebaran tuberkulosis dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat
memudahkan terjadinya infeksi tuberkulosis. Kemiskinan dapat menyebabkan
asupan gizi yang kurang, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat serta akses
pelayanan kesehatan yang rendah.11 Kasus tuberkulosis kebanyakan menyerang
individu dengan ekonomi yang rendah. Individu dengan penghasilan tinggi
memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan serta mudahnya
pemenuhan gizi yang baik sehingga dapat meningkatkan imunitas tubuh. Dengan
penghasilan yang tinggi pula seseorang tidak akan berpikir dua kali untuk
mengeluarkan uangnya dalam hal melakukan pengobatan maupun pemeriksaan
kesehatan. Berbeda dengan seseorang dengan penghasilan yang rendah yang akan
menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari, mereka akan berpikir dua kali untuk mengeluarkan uangnya demi
memeriksakan kesehatannya, sehingga kebanyakan dari orang yang
berpenghasilan rendah baru memeriksakan kondisinya apabila sakitnya sudah
semakin parah atau tidak bisa sembuh dengan meminum obat yang dijual ditoko-
toko maupun jamu tradisional.11

3. 5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis
tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan penyakit TB secara klinik.4
1. Gejala sistemik/umum:
a) Batuk berdahak selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
b) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

c) Penurunan nafsu makan dan berat badan.

35
d) Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah.

2. Gejala khusus: 4
a) Tergantung dari organ tubuh yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar
getah bening yang membesar akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas
melemah yang disertai sesak.

b) Bila ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai


dengan keluhan sakit dada.

c) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

d) Pada anak-anak dapat mengenai lapisan pembungkus otak dan disebut


sebagai meningitis, gejalanya berupa demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.

3. 6 Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu “definisi


kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:19
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit (paru atau ekstra paru)
2. Bakteriologi dilihat dari hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis (BTA
positif atau BTA negatif)
3. Tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat)
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya (baru atau sudah pernah diobati).

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:19


1. TB paru.
TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. TB milier diklasifikasikan

36
sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru
dan ekstraparu harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
2. TB ekstra paru.
TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Kasus TB ekstra paru
dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal
mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada


TB Paru:19
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks tidak menunjukkan gambaran TB.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:19


1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas, dan atau keadaan
umum pasien buruk.

37
2. TB ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif


unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,


peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi


beberapa tipe pasien, yaitu:19

a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah


mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:

c. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah


mendapatkan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur) atau saat ini
ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar
kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).

d. Kasus pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif dan tidak
meneruskan pengobatannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau
dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.

e. Kasus pengobatan setelah Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil


pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.

f. Kasus pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari sarana
pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan

38
pengobatannya.
Klasifikasi TB berdasarkan status HIV:19
a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien
telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi
ARV.
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus disesuaikan klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui
HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasiikasinya.

3. 7 Pemeriksaan Penunjang23

1. Laboratorium darah rutin, adanya leukositosis, laju endap darah (LED) yang
meningkat.
2. Pemeriksaan sputum BTA, hasil pemeriksaan pada sputum BTA tidak akrurat
hasil yang didapatkan sebanyak 30-70% klien yang bisa di diagnosa.
3. Tes peroksidase anti peroksidase (PAP), menentukan adanya antibody IgG
yang spesifik terhadap antigen tuberculosae. Hasil uji PAP-TB dinyatakan
patologis bila ada titer 1:1000 didapatkan hasil uji positif. Menentukan
adanya imunoglobulin G yang spesifik terhadap antigen M.tuberkulosis.
Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M.tuberkulosis var bovis . BCG
yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus, hasil
uji PAP-Tb dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 di dapatkan hasil uji
PAP-Tb positif, hasil positif palsu kadang– kadang masih didapatkan pada
pasien reumatik.

39
4. Tes Mantoux Tuberkulin, melakukan tes pada kulit lengan dengan
menyuntikkan zat kecil cairan. Pada daerah penyuntikan akan timbul benjolan
kecil di permukaan kulit dengan ukuran sejumlah 5-9 mm, hasilnya terlihat
seperti peradangan. Pasien yang sudah atau sedang terpapar kuman
tuberculosis dapat dilihat dari tes Mantoux yang menunjukkan hasil
positif.
5. Pemeriksaan radiologi, hasil pemeriksaan pada rontgen thorax PA dan
lateral untuk menunjang diagnose TB, sebagai berikut:
- Terdapat adanya bayangan lesi di lapang paru bawah.
- Terdapat bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)
- Terdapat kavitas bisa tunggal/ganda
- Adanya kelainan bilateral terutama di lapangan bagian atas paru
6. Pemeriksaan rontgen thoraks, sebelum ditemukannya suatu gejala subjektif
serta kelainan pada paru, sering didapatkannya suatu lesi pada pemeriksaan
rontgen thoraks. Apabila terjadi suatu kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan rontgen, tidak terdapat paparan untuk tuberculosis awal,
biasanya terdapat lobus bawah dan disekitar hilus. Bentuk kelainan tersebut
tampak seperti garis-garis opaque dengan ukuran yang bermacam-macam.
7. Pemeriksaan CT Scan, dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik
ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul, dan adenopati, perubahan
kelengkungan berkas bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emfisema
perisikatriksial.
8. Pemeriksaan Laboratorium menggunakan beberapa bahan:
- Sputum
Sputum diambil yang pertama kali keluar saat pagi hari, jika terlalu susah
bisa dikumpulkan dalam waktu 24 jam.
- Urine
Sebaiknya urine yang digunakan untuk pemeriksaan diambil pada pagi hari
atau bisa dikumpulkan selama 12-24 jam.
- Bahan lain yang digunakan bisa menggunakan pus, cairan sum- sum tulang

40
belakng, cairan pleura, feses, dan jaringan pada tubuh.

3. 8 Diagnosis

Perbedaan di antara beberapa permasalahan program penanggulangan TB


adalah rendahnya penemuan kasus dan lamanya penegakkan diagnosis TB. Salah
satu prioritas dalam penanggulangan TB di Indonesia adalah mampu mendeteksi
kasus TB secara dini, termasuk kasus BTA negatif yang sering terkait dengan
HIV serta meningkatkan kapasitas laboratorium untuk mendiagnosis TB Resistan
Obat. Sejak tahun 2010, WHO merekomendasikan penggunaan alat Xpert
MTB/RIF sebagai pemeriksaaan awal untuk diagnosis TB. Pemeriksaan Xpert
MTB/RIF merupakan pemeriksaan molekuler dengan teknologi Nucleic Acid
Amplification Technology (NAAT) yang dapat mendiagnosis TB dan resistansi
terhadap Rifampisin dalam waktu 2 jam.23
Pada tahun 2013, terdapat rekomendasi WHO yang menambahkan
pemeriksaan TCM dapat dilakukan pada Liquor Cerebro Spinalis (LCS) untuk
mendiagnosis meningitis TB dan tambahan rekomendasi untuk diagnosis TB pada
anak dan dewasa, serta diagnosis TB Ekstra Paru. Pemeriksaan laboratorium
dengan menggunakan alat TCM relatif lebih cepat dan mudah dibandingkan
dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dengan metode konvensional yang
membutuhkan waktu 3 - 4 bulan.23 Tuberkulosis masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyebab peningkatan beban
masalah TB antara lain peningkatan kasus HIV dan adanya kekebalan ganda
kuman TB terhadap obat anti TB. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah penegakan diagnosis TB menggunakan alat TCM berdasarkan
Permenkes nomor 67 tahun 2016.23
Penegakan diagnosis TB secara bakteriologis dilakukan menggunakan
pemeriksaan mikroskopis, TCM, dan biakan. Pemeriksaan penunjang lainnya
seperti radiologis dapat membantu menegakkan diagnosis secara klinis pada
pasien yang tidak terbukti secara bakteriologis. Uji kepekaan dapat dilakukan
untuk menentukan adanya resistansi terhadap obat TB yang digunakan. Untuk
mendiagnosis TB paru, spesimen yang digunakan pada pemeriksaan TCM adalah

41
dahak (sputum), baik yang didapat dengan berdahak langsung ataupun dengan
induksi sputum. Untuk saat ini, penggunaan TCM menjadi prioritas pemeriksaan
TB karena mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: 23
1. Sensitivitas tinggi.
2. Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.
3. Dapatdigunakan untuk mengetahui hasil resistansi terhadap
Rifampisin.
4. Tingkat biosafety rendah.

Gambar.8 Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia

Keterangan alur: 23

42
Prinsip penegakan diagnosis TB:
1. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, TCM, dan biakan.
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB
paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

Faskes yang mempunyai Alat TCM: 23


1. Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB
pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana
pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM melampui
kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll), penegakan
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.

2. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB dengan HIV


positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis TB
dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan TCM terdekat,
baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan spesimen.

3. Jumlah spesimen dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2


(dua) S-S atau S-P dengan kualitas yang bagus.

a. Satu spesimen untuk diperiksa TCM

b. Satu spesimen untuk disimpan sementara dan akan diperiksa jika spesimen
pertama memberikan hasil

c. Pasien dengan hasil MTB Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari
kriteria terduga TB RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.

43
d. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji
kepekaan.

e. Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB


RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistansi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistansi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.

f. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay)


Lini- 2 atau dengan metode konvensional.

g. Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre


XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.

h. Pasien dengan hasil TCM MTB negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks.
Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter,
pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari
kemungkinan penyebab lain.

Faskes yang tidak mempunyai alat TCM: 23


1. Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM,
penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.

2. Jumlah spesimen dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)


dengan kualitas yang bagus. Spesimen dapat berasal dari dahak sewaktu-
sewaktu atau sewaktu-pagi.

3. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua spesimen dahak menunjukkan hasil
pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada
pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien
dengan BTA (+)

4. BTA (-) adalah jika kedua spesimen dahak menunjukkan hasil BTA negatif.

44
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan
klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai
dan ditetapkan oleh dokter.

5. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki


akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi

antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama
1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik,
pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi
maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang
dimaksud antara lain:

a. Terbukti ada kontak dengan pasien TB

b. Ada penyakit komorbid: HIV, DM

c. Tinggal di wilayah berisiko TB: lapas/rutan, tempat penampungan


pengungsi, daerah kumuh, dll.

3. 9 Tata Laksana

Pengobatan tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan dan mengurangi


penularan penyakit secara cepat. Obat yang digunakan harus dapat mengurangi
populasi basil dengan cepat (menghentikan penularan); mencegah seleksi galur
yang resisten secara alami (menghindari munculnya resistensi obat selama
terapi); dan mensterilkan lesi (mencegah kekambuhan penyakit).24 Tujuan
pengobatan TB adalah:25

1. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien

2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan

3. Mencegah kekambuhan TB

4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain

45
5. Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.

Pengobatan TB paru terbagi atas 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan adalah paduan obat
utama dan obat tambahan. Jenis obat utama (lini I) adalah INH, rifamfisin,
pirazinamid, streptomisisin, etambutol, sedangkan obat tambahan laninnya
adalah: kanamisin, amikasin, kuinolon.26

A. Jenis Pengobatan:

1. Isoniasid ( H )

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi


kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang, dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

2. Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman sem –dormant (persisten) yang


tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
mengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.

3. Pirazinamid (Z)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

4. Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan


untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75gr/hari sedangkan untuk
berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50gr/hari.

46
5. Etambulol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB


sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg/BB.

B. Prinsip Pengobatan:

1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.

C. Kombinasi OAT di Indonesia:


WHO dan IUATLD ( internatinal union against tuberculosis and lung
disease) merekomendasikan paduan OAT Standar, yaitu :

1. Kategori 1 :

a. 2HRZE/ 4 H3R3

b. 2HRZE/ 4 HR

c. 2HRZE/ 6 HE

2. Kategori 2:
a. 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3
b. 2HRZES/ HRZE/ 5HRE
3. Kategori 3:

47
a. 2HRZ/ 4H3R3
b. 2HRZ/ 4 HR
c. 2HRZ/ 6 HE
D. Paduan Obat Sisipan:

Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE).


Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan
untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu (1)
penderita dalam satu (1) masa pengobatan.
a) Katagori 1
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama
4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :

- Penderita baru TBC paru BTA Positif

- Penderita TBC paru BTA negatif, Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan

- Penderita TBC ekstra paru berat.

Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 1

Tabel 2. Paduan OAT kategori 1

48
b) Kategori 2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap
hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa
suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita kambuh (relaps)
- Penderita gagal (failure)
- Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

Tabel .3 Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2

Tabel.4 Paduan OAT kategori 2

Catatan:
- Pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.

- Perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

49
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

E. Efek Samping Obat


Dalam pemakaian OAT tidak jarang ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin
OAT yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang
kecil, tetapi bila efek sampingnya sangat mengganggu, maka OAT yang
bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan terapi OAT diteruskan
dengan obat yang lain yang tersedia di lini pertama. Semua OAT mempunyai
efek samping yang kadarnya berbeda-beda pada tiap individu. Sebagian besar
OAT yang banyak dipakai bersifat hepatotoksik. Kelainan yang ditimbulkan
mulai dari peningkatan kadar transaminase (SGOT dan SGPT) yang ringan
saja sampai pada hepatitis fulminan. Hepatitis karena OAT banyak terjadi pada
pemakaian INH + Rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa
INH memproduksi hidrazin yakni suatu zat metabolik yang hepatotoksik.
Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi bila pemberian INH dikombinasikan
dengan Rifampisin. Efek samping OAT dapat diklasifikasikan sebagai efek
samping mayor dan minor. Pasien TB yang mengalami efek samping minor
sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada
pasien yang mengalami efek samping mayor, maka paduan OAT nya atau
OAT penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya. Efek samping pada terapi
TB yang sering ditemukan adalah hepatitis imbas OAT. Hepatitis ini biasanya
terjadi setelah 2-3 minggu menelan OAT. Gejala berupa mual, muntah, ikterik.
Untuk mengatasinya dapat dilakukan hal- hal seperti berikut:

a. Bila klinik (+), ikterik (+), mual-muntah (+) maka OAT dihentikan.

b. Bila gejala klinik (+), dan SGOT/SGPTnya ≥ 3x lipat dari normal maka
OAT dihentikan.

c. Gejala klinik (-), dan hasil laboratorium terdapat kelainan, yaitu:

50
- Bilirubin > 2x normal maka OAT dihentikan.

- SGOT/SGPT ≥ 5x normal maka OAT dihentikan.

- SGOT/SGPT ≥ 3x normal, maka bisa diteruskan terapi dengan


pengawasan ketat.

OAT lini pertama yang bersifat hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan
Pirasinamid. Setelah OAT yang hepatotoksik dihentikan, umumnya beberapa
hari kemudian gejala klinik kembali membaik. Evaluasi lagi SGOT atau SGPT
dan bilirubin. Bila sudah kembali normal berikan lagi INH dosis kecil secara
desensitisasi sampai dosis penuh (300mg). bila secara klinik tetap stabil,
tambahkan lagi Rifampisin dosis kecil secara desensitisasi juga sampai dosis
penuh. Paduan obatnya berubah jadi HRES. Obat Pirasinamid biasanya tidak
diberikan lagi.9

F. Hasil Pengobatan27

Salah satu upaya untuk mengendalikan tuberkulosis yaitu dengan


pengobatan. Indikator yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu
angka keberhasilan pengobatan (success rate). Angka pengobatan ini dibentuk
dari angka kesembuhan (cure rate) dan angka pengobatan lengkap. Hasil
pengobatan TB paru dibagi menjadi kategori, sebagai berikut:

1. Sembuh

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal


pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan
menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Kesembuhan
pasien TB dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur,
tingkat pendidikan, status gizi, faktor lingkungan dan kepatuhan pasien
dalam minum obat. Umur berhubungan dengan metabolisme tubuh
termasuk dalam proses penyerapan obat. Semakin tua, maka proses

51
metabolisme akan semakin menurun. Sedangkan pendidikan merupakan
salah satu dari faktor eksternal yang mempengaruhi kesehatan seseorang.
Pada orang dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya bertindak lebih
preventif pada suatu penyakit. Untuk status gizi, pada orang dengan berat
badan kurang akan mempunyai risiko terhadap penyakit infeksi, sementara
orang yang mempunyai berat badan di atas ukuran normal akan mempunyai
risiko penyakit degeneratif.

2. Pengobatan lengkap

Pasien TB paru yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap


dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya
negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan.

3. Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau Kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan apabila
selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan
adanya resistensi OAT.

4. Meninggal

Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau


sedang dalam pengobatan.

5. Putus berobat (loss to follow-up)

Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya


terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

6. Tidak dievaluasi

Pasien TB paru yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk


dalam kriteria ini adalah “pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten atau
kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten
atau kota (Kemenkes RI, 2014).

52
G. Pencegahan27
Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah:
1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain
2. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau
tissu.
3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,
kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan
cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat
mati.
6. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang
bergizi
7. Tidur dan istirahat yang cukup
8. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung
alkohol.
9. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
10. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

3. 10 Komplikasi 4
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi di bagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
1. Komplikasi dini:
a. Pleuritis adalah inflamasi atau perladangan pleura, pleuritis dapat
disebabkan oleh infeksi, cedera atau tumor, gejalanya berupa batuk, panas,
menggigil, nyeri yang tajam serta menusuk yang bertambah parah ketika
pasien menarik napas dan pernapasan yang cepat serta dangkal.
b. Efusi pleura yang ditandai oleh implamasi dan eksudasi cairan serosa dalam
kavum pleura.
c. Emfisema adalah pengumpulan pus dalam sebuah rongga.

53
d. Laringitis, implamasi selaput mukosa laring yang bisa akut atau kronis,
laringitis dapat ditandai dengandemam, selesma, merokok, dan terkena asap
yang mengiritasi laring.
2. Komplikasi lanjut
a. Hemoptisis masif, dapat mengakibatkan kematian karena pendarahan yang
terjadi pada saluran nafas bawah menyumbat jalan nafas.
b. Kolaps lubus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis, pada paru terjadi pelebaran bronkus setempat dan terjadi
pembentukan jaringan ikat pada proses reaktif dan pemulihan.
d. Pneumotoraks spontan, terjadi paru kolaps spontan karena udara yang
terdapat di pleura.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti, tulang, ginjal dan otak.

3. 11 Prognosis16
Prognosis pada tuberkulosis paru tanpa pengobatan, setelah lima tahun
didapatkan sebanyak 50% dari penderita tuberkulosis paru akan meninggal dunia
dan didapatkan sebanyak 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
yang tinggi, dan sebanyak 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular.

54
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan demam


sejak 3 hari SMRS. Demam yang dirasakan naik turun, demam naik pada saat
sore hari hingga pagi hari, dan demam hilang saat minum paracetamol namun
demam hilang hanya turun sebentar. Pada DBD fase demam, terjadi demam
tinggi mendadak sekitar 40 C yang biasanya berlangsung dua sampai tujuh
hari. Saddleback atau demam biphasic terlihat pada sekitar 6% kasus, terutama
pada pasien dengan DBD dan dengue berat. Ini digambarkan sebagai demam
yang mereda setidaknya selama satu hari, dan lonjakan demam berikutnya
dimulai, yang berlangsung setidaknya untuk satu hari lagi. 8
Keluhan demam disertai dengan keringat dingin dan menggigil pada saat
malam hari. Keluhan ini juga disertai dengan sakit kepala, nyeri di belakang
mata, nyeri pada otot-otot dan sendi. Keluhan ini juga disertai dengan mual
muntah sejak 3 hari SMRS. Frekuensi muntah ± 5x/hari dengan volume setiap
muntah yaitu ± ¼ gelas aqua. Isi muntahan cairan putih dan apa yang dimakan
dan diminum. Pasien juga mengeluh nyeri pada perut kiri atas dan nyeri kepala
sehingga sulit untuk melakukan aktifitas. Gambaran klinis pada pasien DBD
fase demam/prodromal selain demam ditemukan juga muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah.
Pasien juga mengatakan ada bintik-bintik merah di kaki dan tangan serta
badan pasien sejak 2 hari SMRS. Keluhan mimisan dan gusi berdarah tidak
ada. Kebiasaan makan di luar disangkal, riwayat berpergian ke daerah endemis
malaria disangkal. Manifestasi perdarahan di sepanjang spektrum DF biasanya
ringan, dan paling sering terdiri dari petekie kecil yang tersebar di kulit dan,
kadang-kadang, submukosa. Tes torniket positif, yang menandakan
peningkatan kerapuhan kapiler, petechiae kulit, dan ekimosis adalah temuan

55
umum yang muncul pada awal DBD. 9
Pasien juga mengatakan nafsu makan menurun, jika pasien makan akan
muntah. BAB dan BAK normal. Pada kasus DBD terjadi penurunan nafsu
makan, anoreksia, mual, muntah. Hal ini biasanya terjadi pada fase
demam/prodromal DBD yang berlangsung 3-7 hari. 10
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan Umum Tampak sakit sedang,
Kesadaran Compos mentis (E4V5M6), Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi
90x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup, Pernafasan 20x/ menit, suhu tubuh
38,2oC. Pada bagian ekstremitas atas dan bawah dan bagian badan ditemukan
adanya ptekie. Tanda-tanda perdarahan pada kasus DBD yaitu perdarahan pada
kulit seperti uji torniquet positif, petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam tetapi dapat
pula dijumpai setelah hari ke-3 demam. 1
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil yang
abnormal yaitu kadar leukosit 4500/uL, trombosit 140.000/uL, limfosit 18%,
monosit 10%. Pada kasus DBD, kadar leukosit bisa normal atau menurun,
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit)
disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > l5% dari jumlah total leukosit
yang pada fase syok akan meningkat. 6
ditemukan juga penurunan kadar
trombosit atau trombositopenia biasanya terjadi pada hari ke 3-8.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan destruksi pemendekan masa hidup trombosit dimana
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan
keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. 6
Tatalaksana nonfarmakologi pada pasien ini yaitu edukasi mengenai Penjelasan
tentang penyakit pasien, Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk
memastikan asupan cairan pasien untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan
hemokonsentrasi dan Penjelasan tentang penggunaan obat yang akan dikonsumsi.
Sedangkan tatalaksana farmakologi pada pasien ini diberikan I IVFD Ringer
Laktat gtt 20x/menit, Inj. Omeprazole 2x40mg, Inj. Ondansetron 2x4mg,
Paracetamol 3x500 mg, Flunarizin 3x5 mg.

56
Larutan ringer adalah generasi kedua kristalid, jika dibandingkan dengan
larutan salin, kandungan natrium dan kloridanya lebih sedikit. Larutan ringer
berisi potasium, kalsium, magnesium dan ion metabolis laktat dan asetat. Formula
resusitasi cairan yang berisi 130 mEq/L natrium. Meskipun cairan ini sedikit
hipotonis dibandingkan plasma, cairan ini efektif untuk hipovolemia dan
kekuragan natrium ekstraseluler. 11
Omeprazol merupakan penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari AH2.
Efek Omeprazol yaitu menghambat pompa proton lambung sehiingga
menghentikan produksi asam lambung. Penghambatan maksimal bertahan selama
4 jam, tetapi produksi asam lambat kembali ke nilai normal. 12
Ondansentron merupakan obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 sama
seperti granisetron, tropisetron, dan dolasetron. Mekanisme obat ini secara selektif
memblokir reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tidak ada efek pada
reseptor dopamin (reseptor 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen vagal
abdominal) dan di sentral (zona pemicu kemoreseptor di area postrema dan
nukleus traktus solitarius), tampaknya memainkan peran penting dalam inisiasi
refleks muntah Reseptor 5-HT 3 dari zona pemicu kemoreseptor di area postrema
berada di luar sawar otak. Hal inilah yang nantinya akan mengurangi sensasi mual
dan muntah. 13
Paracetamol merupakan derivat para-aminofenol atau golongan asetaminofen.
merupakan alternatif aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik;
namun, efek antiinflamasinya lebih lemah. Asetaminofen ditoleransi dengan baik
dan mempunyai insiden efek samping yang rendah terhadap GI. Asetaminofen
sekitar 90-100% ditemukan dalam urine. Asetaminofen adalah pilihan pengganti
yang tepat untuk aspirin dalam penggunaannya sebagai analgetik ataupun
antipiretik. 14
Flunarizin adalah obat Calcium Chanel Blocker. Obat ini bekerja dengan
cara menghambat masuknya kalsium ke dalam sel dan menghambat
aktivitas histamin. Obat ini mencegah atau mengurangi keluhan nyeri kepala.

57
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini diagnosis pasien mengarah ke Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan diagnosis banding Tifoid dan Malaria. Penegakkan diagnosis pada pasien
ini didasari oleh gejala yang dirasakan pasien yaitu demam mendadak tinggi,
demam naik saat sore hingga pagi hari, keluhan disertai mual, muntah, nyeri
kepala, nafsu makan emnurun, nyeri pada otot dan sendi. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan juga petekie dibagian ekstremitas atas, bawah dan bagian badan. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar leukosit yang menurun,
trombosit menurun, monosit meningkat dan limfosit menurun. Tatalaksana
nonfarmakologi pada pasien ini yaitu edukasi mengenai Penjelasan tentang
penyakit pasien, Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk memastikan
asupan cairan pasien untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan hemokonsentrasi
dan Penjelasan tentang penggunaan obat yang akan dikonsumsi. Tatalaksana
farmakologi pada pasien ini diberikan I IVFD Ringer Laktat gtt 20x/menit, Inj.
Omeprazole 2x40mg, Inj. Ondansetron 2x4mg, Paracetamol 3x500 mg, Flunarizin
3x5 mg.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
2. Budi, I. S., Ardillah, Y., Sari, I. P., & Septiawati, D. 2018. Analisis Faktor Risiko
Kejadian penyakit Tuberculosis Bagi Masyarakat Daerah Kumuh Kota Palembang.
17(2), 87–94.
3. Noviyani, A., Nopsopon, T., & Pongpirul, K. (2021). Variation of tuberculosis
prevalence across diagnostic approaches and geographical areas of Indonesia. PLoS
ONE, 16(10 October), 1–12. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0258809
4. Marlinae L., et al. 2019. Desain Kemandirian Pola Perilaku Kepatuhan Minum Obat
Pada Penderita Tb Anak Berbasis Android. CV. Mina: Bantul.
5. Nahid, P., & Hopewell, P. C. 2017. Tuberculosis Treatment. International Encyclopedia
of Public Health. 43(5), 267–276. https://doi.org/10.1016/B978- 0-12-803678-5.00473-
2
6. Kemenkes RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tentang Tatalaksana
TBC. Kemenkes RI.
7. Putri, G.F.S dan Hisyam, B. 2014. Hubungan Tingkat Kesembuhan Tuberkulosis Paru
Dewasa Dengan Pengobatan Metode DOTS dan Non DOTS di Rumah Sakit Haji
Abdoel Madjid Batoe Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Jambi: Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia. JKKI, Vol.6, No. 2, Mei-Agustus 2014.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2PL). 2017. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
9. Bahar, Asril dan Zulkifli, A. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tuberkulosis Paru
Jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 863-883.
10. Eka A.D. dan Rahayu S.R. 2018. Gejala Klinis Tuberkulosis pada Keluarga Penderita
Tuberkulosis BTA Positif. HIGEIA Journal Of Public Health Research and
Development.
11. Collins, D., F. Hafidz, and D. Mustikawati. 2017. The Economic Burden of
Tuberculosis in Indonesia. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease 21
(9): 1041– 48. https://doi.org/10.5588/ijtld.16.0898.
12. MacNeil, A., Glaziou, P., Sismanidis, C., Date, A., Maloney, S., & Floyd, K. 2020.
Global Epidemiology of Tuberculosis and Progress Toward Meeting Global Targets —
Worldwide, 2018. MMWR. Morbidity and Mortality Weekly Report, 69(11), 281–
285. https://doi.org/10.15585/mmwr.mm6911a2
13. Kementerian Kesehatan RI. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 755 Tahun 2019 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis.
14. Kemenkes RI.2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019 : Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
15. Murwaningrum,A., Abdullah,M., Makmun, D.2016. Pendekatan Diagnosis dan
Tatalaksana Tuberkulosis Intestinal. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 3, No. 2.
September.

59
16. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Infodatin Tuberkulosis. Pusat Data dan Informasi
Kesehat RI. 2018;2(1):3–4.
17. Tuberculosis, P., & Sumatera, S. 2001. Tuberkulosis Paru di Palembang , Sumatera
Selatan. 72.
18. Budi, I. S., Ardillah, Y., Sari, I. P., & Septiawati, D. 2018. Analisis Faktor Risiko
Kejadian penyakit Tuberculosis Bagi Masyarakat Daerah Kumuh Kota Palembang.
17(2), 87–94.
19. Asti W.R. 2009. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkolousis. Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
20. Mariyah K. dan Zulkarnain. 2021. Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis. Jurnal
Uin Alauddin.
21. Welin A. 2011. Survival strategies of mycobacterium tuberculosis inside the human
macrophage. Linkoping university. Page 14-15
22. Mulyani dan Fitrika Y. 2011. Hubungan Tuberkulosis Dengan Hiv/Aids. Jurnal PSIK
FK UNSIYAH. Vol 2(2).
23. Kementrian kesehatan republik indonesia. 2017. Petunjuk teknik pemeriksaan TB
Menggunakan Test Cepat Molekuler. PT. Medquest Jaya Global
24. Nahid, P., & Hopewell, P. C. 2017. Tuberculosis Treatment. International Encyclopedia
of Public Health, 43(5), 267–276. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00473-2
25. Kemenkes RI. 2013. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tentang tatalaksana TBC.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis, i–100.
26. Darliana, D. 2018. manajemen pasien tuberculosis paru - Management of Lung TB for
Patient. PSIK-FK Unsyiah, 11(1), 27–31.
27. Fitri, Lili Diana, Jenny Marlundawani dan Agnes Purba. 2018. Kepatuhan Minum Obat
pada Pasien Tuberkulosis Paru. Medan: Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Sari Mutiara Indonesia. Artikel Penelitian. Vo. 07, No. 01, Maret 2018. Hal: 34.

60

Anda mungkin juga menyukai