Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS BESAR

LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU PENGOBATAN


KATEGORI I BULAN KE 7, PNEUMOTHORAKS DEXTRA on WSD, EFUSI
PLEURA KIRI, INFILTRAT PARU dan TINEA CORPORIS

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Gina Amalia
22010115220188

Pembimbing:
dr. Fathur Nurkholis, Sp.PD

Residen pembimbing:
dr. Angela Setya Hardhani

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus besar “Laki-Laki 55
Tahun Dengan Tuberkulosis Paru Pengobatan Kategori I Bulan Ke 7, Pneumothoraks
Dextra On WSD, Efusi Pleura Kiri, Dan Tinea Corporis” ini dapat penulis selesaikan.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh
kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasi kepada:


1. dr. Fathur Nurkholis, Sp.PD, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga
2. dr. Angela Setya Hardhani, selaku residen pembimbing yang telah memberikan
masukan, petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
3. Keluaga pasien Tn. P, atas keramahan dan keterbukannya dalam kegiatan
penyusunan laporan
4. Keluarga dan teman-teman Coass dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan kasus ini.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya.

Semarang, Juni 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iv

BAB 1 LAPORAN KASUS ............................................................................................................. 1

1.1 IDENTITAS PENDERITA ................................................................................................. 1

1.2 DATA DASAR ................................................................................................................... 1

1.3 DAFTAR ABNORMALITAS ............................................................................................. 9

2.1 DAFTAR MASALAH ...................................................................................................... 10

2.2 INITIAL PLAN ................................................................................................................ 11

2.3 CATATAN KEMAJUAN ................................................................................................. 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 18

2.1 Tuberkulosis ............................................................................................................................ 18

2.2 Efusi Pleura..........................................................................................................................

BAB 3 PEMBAHASAN ................................................................................................................ 46

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 49

iv
BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn. P
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Alamat : Merbuh, Kendal
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Supir truk
Bangsal : Rajawali 6B
Masuk RS : 8 Mei 2017
No. CM : C635718
Status : JKN PBI

DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
1 Pneumothorax dextra on 22 Mei 2017
WSD
2 Tuberkulosis paru pengobatan 22 Mei 2017
kategori I bulan ke 7
3 Efusi pleura kiri 22 Mei 2017

4 Tinea corporis 22 Mei 2017

1.2 DATA DASAR


A. SUBYEKTIF
Autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan istri pasien pada
tanggal 22 Mei 2017 pukul 17.00 di Rajawali 6B

Keluhan Utama : Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang :


1
Lokasi : Dada
Onset dan Kronologis : Sesak nafas sejak ± 3 tahun SMRS, sesak
terasa terus menerus dan dirasakan makin
lama makin memberat terutama 1 bulani
SMRS hingga pasien tidak dapat
mengangkut barang berat. Sesak tidak
dipengaruhi suhu, cuaca, posisi, maupun
aktivitas.Sesak tidak berbunyi mengi. Pasien
tidur dengan satu bantal, terbangun saat
malam hari karena sesak (-).
Kualitas : Sesak dirasakan hingga pasien sulit bernafas
Kuantitas : Sesak dirasakan terus-menerus
Faktor yang memperberat : Sesak diperberat apabila mengangkat beban
berat dan saat pasien batuk terus meerus
Faktor yang memperingan : Sesak berkurang apabila beristirahat
Gejala penyerta : Sesak disertai batuk berdahak berwarna
putih (+) sejak 7 bulan, batuk berdarah (-),
nyeri saat menarik napas dalam (+),
berdebar-debar (-), demam (-), mual (-),
muntah (-), nafsu makan baik, penurunan BB
(+) tidak tahu berapa kilogram dalam 6 bulan
terakhir, keringat malam hari (+), kaki
bengkak (-), benjolan di leher (-). BAK
cukup, kemerahan (+), berwarna teh (-),
mata kuning (-), nyeri perut (-), dan BAB
tidak ada keluhan, diare (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat mondok di RSUD Pati 2 hari SMRS, dikatakan ada udara dalam
rongga dada, dilakukan pemasangan WSD pada dada kanan, tidak keluar
cairan, kemudian dirujuk ke RSDK
 Mengkonsumsi obat TBC sejak November 2016 selama 6 bulan dengan
obat blister berwarna merah 3 tablet/ hari selama 2 bulan dilanjutkan
obat blister berwarna kuning 3 tablet/ hari selama 4 bulan. Saat ini masih
mengkonsumsi fase lanjutan 3 tab (senin- rabu- jumat).pengobatan TBC
bulan ke 7. Riwayat pemeriksaan dahak 3 kali, pertama kali dilakukan
sebelum pengobatan dengan hasil BTA (+), kedua dilakukan setelah obat
blister merah habis (bulan ke-2) dengan hasil BTA (-), dan ketiga
hasilnya BTA (-)
 Riwayat merokok ±25 tahun 1 bungkus/ hari, berhenti sejak tahun 2014
 Riwayat menderita penyakit jantung disangkal

2
 Riwayat menderita darah tinggi disangkal
 Riwayat menderita kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat bergonti ganti pasangan, menggunakan jarum suntik disangkal
 Riwayat minum alkohol disangkal
 Riwayat penyakit keganasan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat anggota keluarga dan tetangga sekitar menderita flek paru dan
batuk lama disangkal
 Riwayat anggota keluarga menderita penyakit jantung disangkal
 Riwayat anggota keluarga menderita darah tinggi disangkal
 Riwayat anggota keluarga menderita kencing manis disangkal
 Riwayat anggota keluarga menderita penyakit keganasan disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien tinggal serumah dengan istri, anak kedua, anak ketiga, dan anak
keempat di rumah milik pasien. Pasien bekerja sebagai supir truk di Pati, dan
masih aktif bekerja sebelum mondok di RSDK. Pasien berhenti bekerja 1
bulan yang lalu sebelum masuk RSUD Pati. Istri pasien tidak bekerja.
Hubungan pasien dengan keluarganya harmonis. Pasien memiliki empat anak
kandung dan satu sudah mandiri. Biaya hidup pasien didapatkan dari gaji
pasien berjumlah ±Rp 3.000.000,-/bulan. Selama perawatan, pasien selalu
ditunggu oleh istri pasien.

Kesan : Sosial ekonomi kurang


Biaya : BPJS PBI kelas 3

B. OBYEKTIF Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 6 Maret 2017 pukul 21.00 di bangsal
Rajawali 6B.
Keadaan umum : Tampak lemah, dyspneu (+), orthopneu (-),
terpasang O2 nasal kanul 3 lpm, infus RL 20 tpm
Kesadaran : Composmentis, GCS: E4M6V5= 15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 28x/menit
Suhu : 36,7oC (aksiler)
Status Gizi :
Berat Badan : 55 kg
3
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 18,3 kg/m2
Kesan : underweight
Pemeriksaan Fisik
Kulit : turgor kulit cukup, ikterik (-), gatal di punggung
bawah (+), ketiak (+), pantat (+), selangkangan (+)
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-
/-)
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-), nafas cuping
hidung (-)
Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), stomatitis (-),
ulkus (-), pursed lip breathing (-)
Leher : trakea di tengah, JVP R+0, PR (-),
pembesaran kelenjar getah bening leher (-)
Thoraks :
Dada : Bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-),
pembesaran KGB axilla (-), terpasang WSD di
hemithoraks dextra, emfisema subcutis (+)
hemithoraks dextra,
Paru Depan :
Inspeksi : Hemithorax kanan tampak cembung, simetris
saat statis dan hemithoraks kanan tertinggal saat
dinamis.
Palpasi : Stem fremitus kanan < kiri
Perkusi : ki: redup setiggi SIC X kebawah
Ka: hipersonor setinggi SIC I-IV
Auskultasi : Suara dasar vesikuler paru kanan menurun
pada SIC I-IV kebawah. Suara dasar paru
kiri vesikuler menurun pada SIC VI
kebawah. Terdapat suara tambahan ronki
basah kasar (+) pada basal paru kanan,
wheezing (-)
Paru Belakang : Bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-),
pembesaran KGB axilla (-), terpasang WSD di
hemithoraks dextra, emfisema subcutis (+)
hemithoraks dextra,
Inspeksi : Hemithorax kanan tampak cembung, simetris
saat statis dan hemithoraks kanan tertinggal saat
dinamis.
Palpasi : Stem fremitus kanan < kiri
Perkusi : ki: redup setiggi SIC X kebawah
4
Ka: hipersonor setinggi SIC I-IV kebawah
Auskultasi : Suara dasar vesikuler paru kanan
menurun pada SIC I-IV kebawah. Suara
dasar paru kiri vesikuler menurun pada SIC
VI kebawah. Terdapat suara tambahan ronki
basah kasar (+) pada basal paru kanan,
wheezing (-)

*
Terpasang WSD ......... …….
…….
setinggi SIC V .........
RBK pada basal paru RBK pada basal paru

Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea mid
clavicularis sinistra, kuat angkat (-), pulsasi
epigastrial (-), pulsasi parasternal (-), thrill (-), sternal
lift (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : Linea parasternal dextra
Batas kiri : Sesuai iktus kordis
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : reguler, BJ I-II murni, bising
(-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area
traube timpani, Liver Span 9 cm
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
nyeri ketok sudut costovertebra (-), ballotement ginjal
(-)
Regio inguinal: pembesaran KGB (-)
Ekstremitas :
5
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-
Capillary refill <2’’/<2’’ <2’’/<2’’
Clubbing finger -/- -/-
Plak eritem, skuama +/+ +/+

6
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
X-Foto Thorax PA (7 Mei 2017) di RSDK

Cor : retrocardiac dan retrosternal space tak tampak menyempit


: Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan vaskular tampak meningkat
: Tampak bercak pada lapangan atas tengah paru kanan dan atas
tengah paru kiri
: Tampak multiple kavitas pada lapangan atas tengah paru kiri
: Tampak fibrotic line pada lapangan tengah paru kiri
Kesan : Chest tube terpasang dengan ujung pada hemithoraks kanan
setinggi SIC V posterior kanan
: Cor tak membesar
: Pneumothoraks kanan
: Gambaran TB paru
: Efusi pleura kiri, suspek pleura kanan relative sama
: emfisema subcutis regio hemithoraks kanan
7
EKG (7 Mei 2017) di RSDK

Kesan
- Irama : Sinus
- HR : 99 x/menit
- Axis : Normo aksis
- Gel P : 0,08 detik, P Pulmonal (-), P Mitral (-)
- PR Interval : 0,20 detik
- QRS Kompleks : 0,12 detik
- Gelombang T : Tall T (-), T inverted (-)
- Segmen ST : Isoelektrik
- R/S di V1 : <1
- S di V1 + R di V5/V6 : <35
8
Kesan : Normo Sinus Ritme

Pemeriksaan Darah Rutin (7 Mei 2017)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
7 Mei
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,3↓ gr/dL 13,00-16,00
Hematokrit 38 ↓ % 40 - 54
Eritrosit 4,43 ^
10 6/µL 4,4 – 5,9
MCH 27,8 pg 27,00 – 32,00
MCV 85,8 fL 76 – 96
MCHC 32,4 gr/dL 29,00 – 36,00
Leukosit 8,2 10^3/µL 3,8 – 10,6
Trombosit 138↓ 10^3/µL 150 – 400
RDW 13,4 % 11,60 – 14,80
MPV 10,2 fL 4,00 – 11,00

Pemeriksaan Kimia Klinik (7 Mei 2017)


Pemeriksaan Hasil 7 Mei Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 98 mg/dL 80 – 160
Ureum 28 mg/dL 15 – 39
Kreatinin 1,0 mg/dL 0,60 – 1,30

ELEKTROLIT
Natrium 144 mmol/L 136 – 145
Kalium 4,1 mmol/L 3,5 – 5,1
Chlorida 95↓ mmol/L 98 – 107

1.3 DAFTAR ABNORMALITAS


1 Sesak nafas
2 Batuk berdahak berwarna putih putih ±7 bulan
3 Keringat malam hari
4 Penurunan berat badan tidak tahu berapa kg
5 Pengobatan TB sejak November 2016, saat ini masih minum fase lanjutan 3
tab senin- rabu- jumat
6 Riwayat merokok ±25 tahun 1 bungkus/ hari

9
7 Kesan sosial ekonomi kurang
8 Tampak lemah
9 Nyeri saat menarik nafas dalam
10 Terpasang WSD setinggi SIC V hemithorax kanan
11 Hemithorax kanan tampak cembung
12 Emfisema subkutis regio hemithoraks dekstra
13 Keredupan di SIC X kebawah paru kiri
14 Hipersonor di SIC I-IV paru kanan
15 Suara dasar vesikuler paru kanan menurun pada SIC I-IV kebawah
16 RBK pada basal paru kanan
17 Suara dasar vesikuler paru kiri menurun pada SIC VI kebawah
18 Gambaran TB paru pada X-Ray thorax
19 Gambaran pneumothorax kanan dan efusi pleura dupleks di X-Ray thorax
20 Plak eritem, skuama, erosi pada punggung, ketiak, selangkangan
21 Anemia ringan (12,3 g/dL)
22 Penurunan hematokrit (38 %)
23 Penurunan lekosit (138 x 10^3/µL)
24 Penurunan chlorida (95 mmol/L)
25 BMI = 18,3

ANALISIS SINTESIS
1, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 19  Pneumothorax dextra
1, 2, 3, 4, 5, 6, 16, 18, 23, 25  Tuberkulosis paru pengobatan kategori I bulan ke 7
1, 6, 8, 9, 13, 14, 16, 17, 19  Efusi pleura dupleks
7, 20Tinea corporis et pedis

2.1 DAFTAR MASALAH


No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
1 Tuberkulosis paru pengobatan kategori I 7 Maret 2017
bulan ke 7
2 Pneumothorax dextra 7 Maret 2017

3 Efusi pleura dupleks 7 Maret 2017

10
4 Tinea corporis et pedis 7 Maret 2017

2.2 INITIAL PLAN


Problem I : Tuberkulosis paru pengobatan kategori I bulan ke 7
Assessment : komorbid TB
Efek samping OAT
Rencana pemecahan masalah :
Dx : sputum BTA 3x, pemeriksaan jamur, bakteri, gram, pemeriksaan Gene
Expert, pemeriksaan resistensi kuman, SGOT SGPT,
Rx : O2 5 lpm nasal kanul bila sesak
: lanjutan 2 tab PO (senin-rabu-jumat)
: Nebul (bisolvon 1 cc, NaCl 2cc / 8jam)
Mx : Efek samping obat, keluhan sesak dan batuk
Ex : Mengedukasi pasien untuk tidak membuang dahak sembarangan dan
harus menampungnya, untuk menghindari penularan.
: Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa pasien dirawat di
ruang isolasi untuk mencegah penularan terhadap pasien lain.
: Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menggunakan masker selama
perawatan dan menjelaskan kepada keluarga pasien untuk selalu
menggunakan masker jika membesuk pasien.
: Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa perlu dilakukan
pemeriksan lebih lanjut untuk mencari adakah infeksi ulang TB dan kuman
kebal obat TB.
: Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa perlu dilakukan
pemeriksaan HIV

Problem II : Pneumothoraks dekstra


Assessment : Atasi kegawatan
Etiologi: Tuberkulosis, pneumonia, keganasan
Rencana pemecahan masalah :
Dx : X-foto Thorax 1 minggu lagi

11
Rx : WSD dalam posisi aktif
Mx : Produksi WSD per 24 jam, undulasi WSD per 24 jam, pengembangan paru
per 24 jam, respiratory rate, tanda-tanda sesak per 8 jam
Ex :Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang tujuan
pemasangan selang untuk mengeluarkan cairan dalam rongga pleura agar pasien
tidak sesak.

Problem III : Efusi pleura


Assessment: Pulmo: transudat , eksudat
Ekstra pulmo: tumor mediastinum
Rencana pemecahan masalah :
Dx : pungsi cairan pleura guided USG, pengecatan BTA, sitologi
Rx : O2 3 lpm
Mx : tanda vital, KU, x foto post punksi
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit dan
penaalaksaannya serta prognosis penyakit. Ijin tindakan

Problem IV : Tinea corporis et cruris


Assessment : Spesifik
Non spesifik
Rencana pemecahan masalah :
Dx : lampu wood, pengecatan KOH, kultur kerokan
Rx : salep ketokonazol 1%
: cetirizin 1 tab/ 24 jam
Mx : (-)
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien memiliki
panu dan harus menghindari pakaian tebal, keringt, dan meningkatkan
higienitas

Tanggal 8 Mei 2017

Problem V : Tinea cruris et pedis

Subjective : gatal (+)

12
Objective : UKK plak eritem, skuama, erosi pada punggung bawah, ketiak, pantat,
selangkangan

Assesmen : Pemeriksaan lampu wood didapatkan warna keemasan, yang


menunjukkan gambaran khas pada tinea.

Plan :

Dx : kerokan kulit
Rx : ketokonazol SS 2 % s.u.e mandi/2 hari
Ketokonazol krim 2% 50 gr
Mometason krim 20 gr
Loratadin 10 mg/24 jam
Ketokonazol tab 200mg/ 12 jam

Mx : gatal berkurang

Ex : menjelaskan pada pasien dan keluarga mengennai higienitas dan sanitasi

2.3 CATATAN KEMAJUAN

Tanggal 9 Mei 2017


Problem II : Tuberkulosis paru pengobatan kategori I
Subjective : Sesak (+)
Objective : Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 110/60
Frekuensi nadi : 84
Frekuensi nafas : 24
Suhu : 36,5
Pemeriksaan Sputum BTA di RSDK
Tanggal Pemeriksaan Hasil
9 Mei 2017 Neg

Pemeriksaan Rapid Test HIV (9 Mei 2017)


Reagen I Reagen II Reagen III Nilai
Rujukan
Non reaktif - - Non reaktif
13
Assessmen : tidak didapatkan factor komorbid

 Dx : cek gen xpert


: foto thorax
 Rx : O2 3 lpm nasal canule bila sesak
: Infus RL 20 tpm
: Diet biasa 1700 kkal
: vit B6 1tab/24jam
: Nebul (bisolvon 1cc, NaCl 2cc)/ 8 jam
: Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ i.v. bila perlu
: Paracetamol 500 mg/ 8 jam p.o. bila suhu >38C
 Mx : RR dan saturasi/8 jam
 Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien akan
dilakukan pemeriksaan foto thorax, gen x pert, pungsi pleura untuk menentukan
prognosis penyakit

Tanggal 13 Mei 2017


Problem II : Tuberkulosis paru pengobatan kategori I bulan ke 7
Subjective : Sesak (+)
Objective : Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 110/70
Frekuensi nadi : 84
Frekuensi nafas : 26
Suhu : 36,5
Pemeriksaan Gen Xpert (12 Mei 2017)
Assay Assay Version Assay Tipe
Xpert MTB-RIF Assay G4 5 In vitro diagnostic
Test result: MTB Detected Low; RIF Resistance NOT DETECTED
Assesmen : tidak resisten terhadap rifampicin, M. Tuberkulosis terdeteksi rendah
Plan :

 Dx : pungsi diagnostic pleura


 Rx : O2 3 lpm nasal canule bila sesak
14
: Infus RL 20 tpm
: Diet biasa 1700 kkal
: vit B6 1tab/24jam
: Nebul (bisolvon 1cc, NaCl 2cc)/ 8 jam
: Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ i.v. bila perlu
: Paracetamol 500 mg/ 8 jam p.o. bila suhu >38C
 Mx : RR dan saturasi/8 jam
 Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien akan
dilakukan pemeriksaan pungsi pleura untuk menentukan agen penyebab efusi
pleura

Tanggal 20 Mei 2017


Problem II : Pneumothoraks
Subjective : Sesak (+), WSD aktif
Objective : Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 100/60
Frekuensi nadi : 91
Frekuensi nafas : 22
Suhu : 36
Hasil X-Foto Thorax AP Semierect 20 Mei:

15
Cor : Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan vaskuler masih tampak meningkat
: Masih tampak bercak pada lapangan atas tengah bawah paru kanan
dan atas tengah paru kiri yang relatif sama dibanding sebelumnya
: Masih tampak multipel kavitas pada lapangan atas tengah paru kiri
: masih tampak fibrotik line pada lapangan tengah paru kiri
Kesan : Chest tube terpasang dengan ujung pada hemitoraks kanan
setinggi kosta 5 posterior kanan
: konfigurasi jantung relatif sama
: Gambaran TB relatif sama
: Pneumotoraks kaan relatif sama
: Efusi pleura dupleks relatif sama
Assessment : bercak pada lapangan atas tengah bawah paru kanan dan atas tengah paru
kiri, multiple kavitas pada paru kiri
Plan :
 Rx : O2 3 lpm nasal canule bila sesak

16
: WSD aktif, evaluasi
: Infus RL 20 tpm
: Diet biasa 1700 kkal
: Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ i.v. bila perlu
: Paracetamol 500 mg/ 8 jam p.o. bila suhu > 38C
 Mx : RR dan saturasi/8 jam
 Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit
pasien dan member edukasi mengenai tujuan pemasangan WSD

Evaluasi : didapatkan perbaikan klinis pasien yaitu sesak nafas berkurang,


batuk berkurang, RR 24x/menit, RBK setinggi SIC IV – VI paru kanan, terpasang
WSD aktif, GDS (5-6-2017) 138 .

Ex : - Menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien diberikan obat tuberkulosis fixed


drug combination 2 tablet per hari untuk mengobati tuberkulosis yang diderita
pasien, serta menjelaskan efek samping yang dapat terjadi oleh karena
pemberian obat tuberkulosis dapat ringan atau berat. Efek samping ringan adalah
urin merah (karena rifampisin), tidak nafsu makan, mual, nyeri perut, nyeri sendi
dan sindrom flu, sedangkan efek samping berat harus segera dilaporkan jika
terjadi yaitu bercak kemerahan kulit dengan atau ranpa rasa gatal, gangguan
pendengaran, gangguan keseimbangan, kulit kuning, bingung, mual muntah, dan
gangguan penglihatan.

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan kontrol rutin sepulangnya
dari RSDK dan minum obat teratur serta meningkatkan asupan makan, menjaga diet
yaitu mengurangi karbohidrat dan meningkatkan makan makanan tinggi protein.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di
seluruh dunia. Pada tahun 2015 10,4 juta orang menderita tuberkulosis. Dari angka
tersebut, 1,8 juta orang meninggal akibat tuberkulosis. Lebih dari 95% kematian akibat TB
terjadi pada negara dengan pendapatan rendah hingga menengah. Indonesia termasuk
negara high burden tuberkulosis, yang mana merupakan salah satu negara dengan jumlah
insidensi tuberkulosis terbanyak.1
Insidensi tuberkulosis di Indonesia menurut laporan WHO tahun 2015 sebesar 395
kasus per 100.000 penduduk, atau sebanyak 1.020.000 kasus. Dari jumlah tersebut,
100.000 orang diantaranya meninggal karena tuberkulosis. 1 Di Indonesia, tuberkulosis
lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan wanita, dengan jumlah kasus laki-laki
sebesar 597.000 kasus dan pada wanita 420.000 kasus. 1

Seseorang dikatakan terduga TB bila mempunyai keluhan atau gejala klinis


mendukung TB. Pasien didiagnosis TB berdasarkan 2 hal2,3:

 Berdasarkan hasil konfrimasi pemeriksaan bakteriologis

Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh


uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopik langsung, biakan, atau tes
diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

- Pasien TB paru BTA positif

- Pasien TB paru hasil biakan Mycobacterium tuberculosis positif

- Pasien TB paru hasil tes cepat Mycobacterium tuberculosis positif

- Pasien TB ekstrapary terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,


biaka maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena

- TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis

18
 Berdasarkan klinis

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

- Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto thorax


mendukung TB

- Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris


dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis

- TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis


positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang
sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. 2,3
2.1.2 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex.2 Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang lurus
atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul, dengan dinding tebal tahan
asam dari bahan lemak. Bakteri ini berukuran lebar 0,2 – 0,6 μm dan panjang 1 – 10 μm.3
Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex
waxes), trehalosa dimikolat, sulfolipid mikobakterial yang berperan dalam virulensi, serta
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebebkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam. 2
Sifat tahan asam tersebut menyebabkan Mycobacterium tuberculosis tetap berwarna merah
pada pengecatan Ziehl-Neelsen secara mikroskopis, meskipun diberikan larutan asam-
alkohol dengan tujuan untuk menghilangkan warna merah tersebut. 2,3
Mycobacterium tuberculosis bersifat sangat aerobik. Sesuai dengan sifatnya tersebut,
maka Mycobacterium tuberculosis sering didapatkan tumbuh pada apeks paru, oleh karena
pO2 alveolus pada area paru paling tinggi dibandingkan area lainnya. 2 Kelainan jaringan
yang terjadi pada tuberkulosis lebih disebabkan oleh respons tubuh terhadap kuman yang
masuk ke dalam paru-paru. Reaksi jaringan khas pada tuberkulosis diawali dengan
terbentuknya granuloma. Jaringan yang belum pernah terinfeksi oleh Mycobacterium

19
tuberculosis akan berespons dengan sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonuklear
(PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman Mycobacterium tuberculosis yang telah
difagosit makrofag akan tetap berproliferasi dalam sel, sehingga sel makrofag mati. Ketika
makrofag berisi kuman mati, akan datang makrofag baru yang akan kembali memfagosit
kuman yang baru saja terlepas. Siklus ini berlangsung terus hingga terjadi pembesaran sel
makrofag menjadi sel epiteloid.2 Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti
banyak, diantaranya merupakan datia Langhans dan datia benda asing.
Semakin lama, granuloma ini akan dikelilingi sel limfosit, sel plasma, pembuluh darah
kapiler, makrofag epiteloid, dan sel fibroblas. Di bagian tengah granuloma tersebut akan
terbentuk nekrosis kaseosa. Nekrosis kaseosa khas pada tuberkulosis primer pada pasien
yang baru pertama kali terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan memiliki imunitas yang
baik.4 Tujuan dari pembentukan nekrosis kaseosa ini adalah untuk melokalisir kuman,
sehingga area di sekitar nekrosis kaseosa akan berkurang jumlah kumannya. 2,4 Semakin
berkurangnya jumlah kuman ini akan diikuti dengan terbentuknya simpai jaringan ikat
yang menyelubungi reaksi peradangan. Jika mikroba pada nekrosis kaseosa bersifat
virulen ataupun resistensi jaringan tubuh rendah, granuloma akan membesar serta dinding
kaseosa akan mencair oleh karena enzim protease dan hidrolase dari sel epiteloid dan
makrofag, yang menyebabkan kuman dapat keluar ke ekstraseluler dan terjadi penyebaran
penyakit.2

2.1.3 Patogenesis
2.1.3.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui traktus respiratorius akan bereplikasi pada
jaringan paru dan membentuk sarang primer atau afek primer.2 Sarang primer ini dapat
timbul di area paru manapun, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
terlihat peradangan saluran kelenjar getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut akan berlanjut menjadi pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu keadaan sebagai
berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis

20
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar, dengan cara:
 Perkontinuitatum, yaitu persebaran bakteri dalam kompleks primer ke area
sekitarnya. Salah satu contoh penyebaran perkontinuatum adalah epituberkulosis.2
Epituberkulosis merupakan suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas tersebut, sehingga menimbulkan
atelektasis. Perjalanan penyakit ini bermula dari kuman tuberkulosis yang menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ke lobus yang mengalami atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal
sebagai epituberkulosis.
 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru unilateral maupun kontralateral.
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini bersifat sistemik serta
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan. Namun, jika imunitas tubuh tidak
adekuat, persebaran secara hematogen dan limfogen akan menimbulkan keadaan
kegawatan seperti tuberkulosis milier maupun meningitis tuberkulosa. Penyebaran
hematogen maupun limfogen juga dapat menimbulkan berkembangnya kuman
tuberkulosis pada organ tubuh yang lain, seperti tulang, ginjal, kelenjar adrenal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan sembuhnya pasien namun dengan meninggalkan sekuele, atau pasien
meninggal.
2.1.3.2 Tuberkulosis post-primer
Tuberkulosis post-primer muncul sekitar lima belas hingga empat puluh tahun setelah
tuberkulosis primer.2 Tuberkulosis post-primer inilah yang menjadi problem kesehatan
masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan, terlebih jika pasien tidak sadar bahwa
dirinya sudah sembuh tuberkulosis namun masih potensial untuk menularkan kuman
tuberkulosis ke orang lain. Tuberkulosis post-primer diawali dengan terbentuknya sarang
dini berupa suatu sarang pneumonik kecil yang pada umumnya terletak pada segmen apikal
lobus superior maupun lobus inferior paru. Sarang pneumonik ini akan berkembang
sebagai berikut:
1. Sarang di-resopsi kembali, sehingga pasien sembuh dengan tidak meninggalkan

21
cacat.
2. Sarang dini tersebut awalnya meluas, namun segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya, jaringan tersebut akan
membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran. Sebaliknya, dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan perkejuan (kaseosa) dan menimbulkan kavitas bila jaringan
perkejuan dikeluarkan melalui batuk.
3. Sarang dini yang aktif meluas membentuk jaringan perkejuan (kaseosa). Kavitas
akan muncul seiring dengan dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Pada
awalnya, kavitas berdinding tipis, namun lama-kelamaan akan menjadi tebal
(sklerotik).2

Gambar 1. Skema perjalanan sarang tuberkulosis post-primer dan perjalanan


penyembuhannya.

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis


Pasien tuberkulosis diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomis tuberkulosis, terdiri atas:
Tuberkulosis paru:
Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru, tidak termasuk
pleura. Tuberkulosis milier dianggap sebagai tuberkulosis paru karena adanya lesi
pada jaringan paru. Limfadenitis tuberkulosis dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang

22
mendukung tuberkulosis pada paru, dinyatakan sebagai tuberkulosis ekstra paru.
Pasien yang menderita tuberkulosis paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra
paru, diklasifikasikan sebagai pasien tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru dibagi menjadi tuberkulosis paru BTA (+) dan
tuberkulosis paru BTA (-). Menurut Pedoman Diagnosis dan Pelaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia (2006), tuberkulosis paru BTA (+) didefinisikan
sebagai tuberkulosis paru dengan sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
menunjukkan hasil BTA (+), namun pedoman ini telah direvisi menjadi 1 dari 3
spesimen positif BTA pada Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
2014.2,3 Tuberkulosis paru BTA (-) didefinisikan sebagai tuberkulosis dengan
hasil pemeriksaan BTA (-) namun dengan gambaran klinis dan radiologis
tuberkulosis aktif yang tidak berespons terhadap pemberian antibiotik spektrum
luas; ataupun tuberkulosis paru dengan gambaran klinis dan radiologis
tuberkulosis aktif dengan hasil BTA (-) dan kultur positif Mycobacterium
tuberculosis.2
Diagnosis TB Paru seyogyanya ditegakkan dengan pemeriksaan
bakteriologis. Jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan BTA, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis dengan pemeriksaan
penunjang setidak-tidaknya pemeriksaan foto ronsen toraks. Tidak dibenarkan
untuk mendiagnosis TB hanya dengan berdasarkan foto toraks saja, oleh karena
foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru. 3
Tuberkulosis ekstra paru:
Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, di antaranya pada
kelenjar limfe (limfadenitis TB), abdomen (khususnya pleuritis TB), selaput otak
(meningitis TB) dan tulang belakang (spondilitis TB).2,3 Gejala dan keluhan pada
tuberkulosis ekstra paru bervariasi, tergantung organ mana yang terkena.
Diagnosis tuberkulosis ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis, klinis maupun histopatologis dari organ yang terkena.3
Diagnosis tuberkulosis ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan
Mycobacterium tuberculosis.

23
Gambar 2. Lokasi-lokasi yang memungkinkan terjadinya TB ekstrapulmoner

Pasien tuberkulosis ekstra paru yang menderita tuberkulosis pada beberapa organ,
diklasifikasikan sebagai pasien tuberkulosis ekstra paru pada organ menunjukkan
gambaran tuberkulosis yang terberat. 3
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
 Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang

24
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow- up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
 Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
 Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
 Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
 Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
 Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
 Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB/HIV): adalah pasien
TB dengan
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau

25
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif
maka pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan. Apabila pada
pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV maka pasien harus
disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes terakhir.3

2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik dan
gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
 batuk ≥ 3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
b. Gejala sistemik
 demam
 gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya

26
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang- kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.2
Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
Pengambilan dahak untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologis dilakukan 3 kali,
dengan cara sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan), dahak pagi (keesokan harinya),
sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi). Pasien sebaiknya diedukasi untuk
memastikan sampel yang dikirim adalah dahak (sputum) dan bukan air liur (saliva).

27
Gambar 3. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa, tanpa kecurigaan
atau bukti hasil tes HIV (+) ataupun terduga TB Resisten Obat.3

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin,
feces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan
biakan. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
mikroskopik biasa (cahaya), yaitu dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan Kinyoun-Gabbett,
maupun dengan pemeriksaan mikroskopik flouresens dengan pewarnaan auramin-
rhodamin, khususnya untuk screening. Pemeriksaan biakan kuman dapat dilakukan dengan
media egg based (Lowenstein-Jensen, Ogawa, atau Kudoh) maupun agar based media
seperti Middle Brook.

28
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi atau fibrotik
 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih
yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis.
2. Pemeriksaan serologi
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi.
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah

29
uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum.
Terdapat sedikit perbedaan mengenai antigen yang dideteksi serta
jumlah garis dan jumlah sampel pada masing-masing kit rapid
diagnostic test tuberkulosis dari pabrik yang berbeda. Secara umum,
uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan
antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.
tuberculosis, diantaranya antigen M. tb 38 kDa, M. Tb 1 dan M. Tb 2.
Antigen-antigen tersebut diendapkan dalam bentuk garis melintang
pada membran immunokromatografik. Terdapat garis uji (jumlahnya
tergantung pada alat tes) maupun garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 100 μl diteteskan ke sample well, yang mana
serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibodi IgG terhadap M. tuberculosis, maka antibodi
akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah
muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan garis uji (test).

Gambar 4. Interpretasi pemeriksaan ICT TB.


3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji

30
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru
terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain
diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH
=biopsi jarum halus).
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita sehingga dapat digunakan
untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida, yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik.
7. Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah


dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa.2

2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis harus meliputi dua tahap, yaitu:
 Tahap awal (intensif)

31
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, tetapi dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.3
Tabel 1. OAT lini pertama3

32
Tabel 2. Dosis OAT lini pertama3

Catatan :
Pemberian Streptomisin untuk pasien yang berumur > 60 tahun atau pasien dengan
berat badan < 50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis > 500 mg/hari. Beberapa
buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/ kg BB/ hari. 4

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia:3
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.3
Paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Lini Pertama
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu
(1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. 4

33
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: 4
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping
pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru
Tabel 3. Dosis OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)33

Tabel 4. Dosis OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R33

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati

34
sebelumnya (pengobatan ulang):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).3
Tabel 5. Dosis OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E33

Tabel 6. Dosis OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3 3

Catatan:
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat. 4

35
Paduan OAT Pasien TB Resisten Obat (TB MDR)4
Jenis Sifat Efek samping
Golongan 1 : OAT
Lini Pertama Oral
Gangguan gastrointestinal,
Pirazinamid (Z) Bakterisidal
gangguan fungsi hati, gout artritis

Gangguan penglihatan, buta warna,


Etambutol (E) Bakteriostatik
neuritis perifer
Golongan 2 : OAT
Suntikan
Kanamycin (Km) Bakterisidal Km, Am, Cm memberikan efek
Amikacin (Am) Bakterisidal samping yang serupa seperti pada
Capreomycin (Cm) Bakterisidal penggunaan Streptomisin
Golongan 3 :
Fluorokuinolon
Levofloksasin (Lfx) Bakterisidal Mual, muntah, sakit kepala, pusing,
sulit tidur, ruptur tendon (jarang)

Moksifloksasin Bakterisidal Mual, muntah, diare, sakit kepala,


(Mfx) pusing, nyeri sendi, ruptur tendon
(jarang)

Golongan 4 : OAT
Lini Kedua Oral
Para-aminosalicylic Bakteriostatik Gangguan gastrointestinal,
acid (PAS) gangguan fungsi hati dan
pembekuan darah (jarang),
hipotiroidisme yang reversible
Cycloserine (Cs) Bakteriostatik Gangguan sistem saraf pusat : sulit
konsentrasi dan lemah, depresi,
bunuh diri, psikosis. Gangguan lain
: neuropati perifer, Stevens Johnson
Syndrome
Ethionamide (Etio) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,
anoreksia, gangguan fungsi hati,
jerawatan, rambut rontok,
ginekomasti, impotensi, gangguan
siklus menstruasi, hipotiroidisme
yang reversible
Golongan 5 : Obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam
pengobatan TB resistan obat.
Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicillin/Clavulanate (Amx/Clv),
Thioacetazone (Thz), Imipenem/Cilastatin (Ipm/Cln), Isoniazid dosis tinggi
(H), Clarithromycin (Clr), Bedaquilin (Bdq).

36
2.1.7 Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua contoh uji dahak tersebut negatif. Bila
salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.3
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan
harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal,
tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien
TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan
selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. 3
Tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan
hasil pengobatan4:
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
 Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
 Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5
dan akhir pengobatan)
2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1):

Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).

37
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif,
lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.

Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).
Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT
kategori 2):
 Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
 Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
 Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
 Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan
ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).
3) Pada bulan ke 5 atau lebih :
 Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan.
 Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan
dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
 Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
 Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
 Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan

38
semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab
belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau
kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).
2.1.8 Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping
yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting
untuk memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat
dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin
tidak diperlukan.4
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan
mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal
tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan
keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat. 4
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya. Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping
ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara
mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya. 4
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut.
Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit. 4
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan keluhan
dan gejala.4
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Efek samping ringan OAT
Tidak ada nafsu makan, H, R, Z OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
mual, sakit perut keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit
makanan.
Apabila keluhan semakin hebat disertai muntah,
waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.

39
Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti radang
non steroid
Kesemutan s/d rasa H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per hari
terbakar di telapak kaki
atau tangan
Warna kemerahan pada R Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi
air seni (urine) obat penawar tapi perlu penjelasan kepada
pasien.
Flu sindrom (demam, R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi
menggigil, lemas, sakit intermiten setiap hari
kepala, nyeri tulang)
Efek samping berat OAT
Bercak kemerahan kulit H, R, Z, S Ikuti petunjuk
(rash) dengan atau penatalaksanaan dibawah*
tanpa rasa gatal
Gangguan pendengaran S S dihentikan
(tanpa diketemukan
serumen)
Gangguan S S dihentikan
keseimbangan
Ikterus tanpa penyebab H, R, Z Semua OAT dihentikan sampai ikterus
lain menghilang.
Bingung, mual muntah Semua jenis Semua OAT dihentikan, segera lakukan
(dicurigai terjadi OAT pemeriksaan fungsi hati.
gangguan fungsi hati
apabia disertai ikterus)
Gangguan penglihatan E E dihentikan
Purpura, renjatan R R dihentikan
(syok), gagal ginjal
akut
Penurunan produksi S S dihentikan
urine

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit 4:


Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan
TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian terjadi rash, semua
OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat
perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes rujukan dapat dilakukan
upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara
”Drug Challenging”:

40
• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi (H
atau R) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila
tidak timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1
macam OAT lagi.
• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT
yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.

2.2 Efusi Pleura


Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.7 Hal ini
dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya absorbsi.14 Efusi
pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi yang
bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus
segera dievaluasi dan diterapi.14
2.2.1 Epidemiologi

41
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.14 Sementara pada
populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa
efusi pleura.1 Secara keseluruhan, insidensi efusi pleura sama antara pria dan wanita.
Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi
oleh jenis kelamin. Misalnya, hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada
wanita. Dalam hal ini efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara
dan keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan dengan
sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada wanita. Di Amerika
Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma maligna lebih tinggi pada pria.
Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya paparan terhadap asbestos. Efusi pleura yang
berkaitan dengan pankreatitis kronis insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme
merupakan etiologi utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria
daripada wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi
pleura belakangan ini cenderung meningkat pada anak-anak dengan penyebab tersering
adalah pneumonia.14

2.2.2 Etiologi Dan Patofisiologi


Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2
mL/kgbb pada tiap sisinya.7 Fungsinya adalah untuk memfasilitasi pergerakan kembang
kempis paru selama proses pernafasan.1 Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam
jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari
dengan kapasitas absorbsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam.
Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan
perifer.1,7,15
Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut
• Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal dari pleura parietalis

• pH 7,60-7,64

• Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)

• Kadungan sel darah putih < 1000 /m3

42
• Kadar glukosa serupa dengan plasma

• Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.14

2.2.3 Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan hidrostatik dan
onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang dihasilkan melebihi jumlah
cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini, endotel pembuluh darah paru dalam kondisi
yang normal, dimana fungsi filtrasi masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan
protein pada cairan efusi transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya
dapat diatasi maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut.17
Selain itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari
peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra
dan pipa nasogastrik.14 Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif lebih sedikit yaitu
• Gagal jantung kongestif

• Sirosis (hepatik hidrotoraks)

• Atelektasis – yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru

• Hipoalbuminemia

• Sindroma nefrotik

• Dialisis peritoneal

• Miksedema

• Perikarditis konstriktif

• Urinotoraks – biasanya akibat obstuktif uropathy

• Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura

• Fistulasi duropleura
2.2.4 Eksudat

43
Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan biasanya
diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat. Cairan eksudat
dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun pleura, gangguan drainase
limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat dari rongga peritoneal melalui
diafragma, perubahan permeabilitas membran pleura, serta peningkatan permeabilitas
dinding kapiler atau kerusakan pembuluh darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya
cairan eksudat antara lain :
• Parapneumonia

• Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma, leukemia,
sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker lambung, sarkoma serta melanoma)

• Emboli paru

• Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid, sistemic lupus


erythematosus)

• Tuberkulosis

• Pankreatitis

• Trauma

2.2.5 Gambaran Klinis


Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung pada jumlah dan
penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak bergejala. Bahkan efusi dengan
jumlah yang besar namun proses akumulasinya berlangsung perlahan hanya menimbulkan
sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai
akibat penyakit inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal
proses dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya
muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga
sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada area
yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan.

44
Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi,
mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya
jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat
dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti
pneumonia atau lesi endobronkial.
Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat
hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat
keganasan, dll. Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal
ini dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-obat yang
selama ini dikonsumsi pasien.14,18
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi. Temuan pemeriksaan
fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL. Gangguan pergerakan toraks,
fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah
hingga menghilang biasanya dapat ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat
ditemukan. Cairan efusi yang masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi
kontralateral. Efusi yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan
pneumonia lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura.
Merubah posisi pasien dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih
baik sebab efusi dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan
fisik yang sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat muncul pada
sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin menandakan suatu penyakit
hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau massa yang dapat diraba mungkin
merupakan suatu keganasan.14,18

45
BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dari hasil anamnesis dengan pasien didapatkan bahwa pasien datang
ke rumah sakit dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak 3 tahun sebelum masuk RSUD
Pati. Sesak dirasakan terus menerus dan semakin memberat terutama dalam 1 bulan
sebelum masuk RSUD Pati . Sesak tidak dipengaruhi suhu, cuaca, posisi, dan aktifitas.
Sesak dirasakan mengganggu aktifitas. Sesakdisertai batuk terus-menerus 7 bulan sebelum
masuk RSUD Pati, batuk disertai dahak putih (+), keringat malam hari (+), penurunan
berat badan tidak tahu berapa kg, dan lemas,. Pasien juga mengeluhkan kencingnya
berwarna merah (+). Pasien menjalani pengobatan TB selama 6 bulan dengan obat blister
merah 3 tablet/ hari selama 2 bulan dan dilanjutkan obat blister kuning 3 tablet/ hari selama
4 bulan saat ini masih minum obat senin-rabu-jumat. Riwayat pemeriksaan dahak sewaktu-
pagi-sewaktu sebelum pengobatan dengan hasil BTA (+). Kedua, setelah obat blister merah
habis (bulan ke-2) dengan hasil BTA (-). Pasien memiliki riwayat merokok ±25 tahun 1
bungkus/ hari dan berhenti sejak didiagnosis TB pada tahun 2016.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan RR 28x/menit dan status gizi underweight.
Pada pemeriksaan head to toe didapatkan gatal pada punggung bawah(+), ketiak (+),
pantat (+), selangkangan (+). Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hemithoraks kanan
terpasang chest tube setinggi SIC V. Dari inspeksi didapatkan hemithoraks kanan
cembung, paru kanan tertinggal saat dinamis, stem fremitus kanan < kiri, paru kanan
hipersonor di SIC I-IV, paru kiri redup di SIC X kebawah, suara dasar paru kanan
vesikuler menurun pada SIC I-IV dan terdapat suara tambahan RBK pada basal paru,
paru kiri suara dasar vesikuler menrun pada SIC VI kebawah. Pada pemeriksaan X-Ray
thorax didapatkan chest tube terpasang setinggin SIC V posterior kanan, gambaran TB
paru, pneumothoraks kanan, efusi pleura kiri suspek pleura kanan relatif sama,
emfisema subcutis hemithoraks kanan. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan anemia
ringan normokromik (12,3) dan trombositopeni (138.000).
Pasien termasuk klasifikasi terduga TB karena memilki gejala klinis yang
mendukung TB, yaitu batuk ≥ 3 minggu, sesak nafas, keringat malam hari, dan berat badan
menurun.3 Berdasarkan standar 1 International Standards for Tuberculosis Care, semua

46
orang dengan batuk produktif dua sampai tiga minggu yang tidak dapat dijelaskan sebaiknya
dievaluasi untuk TB.2 Atas dasar ini pasien dilakukan pengujian sputum BTA (hasil pada
pasien BTA negatif, pengecatan Gram ditemukan diplococcus gram (+), dan kultur sputum
negatif). Pada anamnesis didapatkan pasien menjalani pengobatan 6 bulan, sehingga sesuai
rekomendasi WHO dilakukan pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan atau isoniazid (hasil
pada pasien Mycobacterium tuberculosis terdeteksi sedang, tidak resisten rifampisin).2 Dosis
OAT FDC kategori 1 diberikan berdasarkan berat badan pasien dengan komposisi tiap tablet
rifampisin 150 mg, isoniazid 150 mg diberikan seminggu 3 kali yaitu senin-rabu-jumat.
Serta pemberian vitamin B6 ditujukan untuk mencegah timbulnya neuropati perifer pada
pasien tuberkulosis sebagai efek samping dari pemberian isoniazid. Selain itu, juga dipantau
keadaan umum, keluhan batuk, suhu, respiratory rate, ruam kulit, gangguan pendengaran,
gangguan keseimbangan, pusing, skelra ikterik, rasa kebas, diare, mual, muntah, bingung,
penurunan BAK, dan gangguan penglihatan. Pemantauan ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan terapi dan melihat ada tidaknya efek samping OAT yang diberikan ke
pasien.2,3
Pneumothoraks didapatkan dari hasil pemeriksaan X-Foto thoraks AP dan lateral.
Hasil X-Foto memberikan gambaran bercak udara pada hemithorax kanan. Hasil ini
didukung oleh pemeriksaan fisik pengembangan hemithorax kanantertinggal, stem fremitus
paru kanan menurun, hipersonor pada SIC I-IV hemithorax kanan, dan penurunan suara
dasar vesikuler SIC I-IV hemithorax kanan. Tatalaksana yang diberikan untuk pasien adalah
pemasangan chest tube setinggi SIC V dan O2 3 lpm apabila sesak, dan diet biasa 1700 kkal.
Efusi pleura ditegakkan dari gambaran X-foto thoraks AP, lateral, Penentuan etiologi
dilakukan dengan pungsi cairan pleura guided USG, pengecatan BTA, sitologi.. Berdasarkan
pemeriksaan dapat disimpulkan efusi pleura disebabkan etiologi spesifik dan non spesifik
(koinfeksi). Gambaran efusi pleura didukung pemeriksaan fisik keredupan paru, suada dasar
vesikuler menurun. Terapi yang dipilih untuk pasien ini adalah O2 3 lpm nasal canule dan
infus RL 20 tpm, paracetamol 500 mg/ 8 jam p.o. bila suhu >38 0C.
Problem tinea cruris ditegakkan dari pemeriksaan fisik yaitu terdapat UKK plak
eritem, skuama, erosi pada punggung, pantat, dan selangkangan. Dari pemeriksaan lampu
wood didapatkan warna keemasan khas tinea. Pasien kemudian diberikan terapi ketokonazol
krim 2% /8jam, mometason krim / 8jam, ketokonazol salep 2% setelah mandi tiap 2 hari,

47
loratadin tab 10mg/24 jam, dan ketokonazol tab 200 mg/12jam.Pasien merasakan gatal
berkurang
Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam, oleh karena tuberkulosis diterapi sesuai
panduan, pneumothoraks sudah dipasang chest tube dalam posisi WSD aktif, serta penyakit
penyerta lainnya telah ditangani sesuai dengan tatalaksana definitif dari penyakit-penyakit
tersebut. Diagnosis efusi pleura belum diketahui etiologi nya.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. Geneva; 2016.


2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam Terbitan : Kementerian
Kesehatan Nasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1–210.
4. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. In: Indonesia
KKR, (ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, p. 42-3.
5. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. 2015.
6. Cefalu WT. American Diabetes Association Standards of Medical Care in Diabetes d
2016. J Clin Appl Res Educ Diabetes Care. 2016;39(January).
7. Powers AC. Diabetes Mellitus: Introduction. In: Fauci A, Braunwald E, Isselbacher
K, Wilson J, Martin J, Kasper D, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
17th ed. New York: McGraw Hill; 2008.
8. Defronzo RA. From the Triumvirate to the Ominous Octet : A New Paradigm for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. :773–95.
9. Sidarta Ilyas. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
10. Bakta IM. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Di dalam buku dengan editor: Setiati
S dkk: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing;
2014. Hal. 2557 – 2584.
11. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of
severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System WHO [Internet]. 2011
[Dikunjungi pada 3 Januari 2016]. Diperoleh dari:
http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.
12. Means RT, Glader B. Anemia: General Considerations. In: Greer JP, List AF,
Rodgers GM, Arber DA, Means RT, Glader B, et al., editors. Wintrobe’s Clinical
Hematology. 13th ed. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKINS; 2013.
p. 587–616.
49
13. Karnath BM. Anemia in the Adult Patient. Hospital Physician [Internet]. 2004
[Dikunjungi pada 3 Januari 2016]. Diperoleh dari: Turner white.
14. PAPDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Penerbit Interna Publishing
15. Santoso A, Putranto J.N.E, Tedjasukmana P, et al. Pedoman Tatalaksana
Dislipidemia. 2013.
16. Anwar, Bahri. 2004. Dislipidemia Sebagai Faktor Resiko Jantung Koroner. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
17. Mahan, L. Kathleen. 2000. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy, 10th Ed.
Philadelphia: W, B. Saunders Co.
18. Fauci A, Braunwald E, Isselbacher K, Wilson J, Martin J, Kasper D, editors.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill; 2015.
19. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
20. Leman M. Pneumonia : Musuh Spesial para Lanjut Usia. Disitasi dari :
http://leman.or.id/medicastore/pneumonia.html
21. University of Michigan Health System. Pneumonia. Disitasi dari :
http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_pneum_crs.html ,
22. Webmaster. Pneumonia. Disitasi dari :
http://www.infeksi.com/articles.php(?lng=in&pg=48.html
23. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. Pemberantasan Penyakit ISPA. Nomor:
1537.A/MENKES/SK/XII/2002. Tanggal 5 Desember 2002. Jakarta : Departemen
Keseharan; 2002.
24. Amrita. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Empirik pada Penderita Community-
acquired pneumonia (CAP) yang Dirawat di RSUP dokter Kariadi Semarang.
Semarang: Universitas Diponegoro. 2010.
25. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3.
Jakarta: Infomedika Jakarta; 1995.1228-1235.
26. Bartlett JG, Marrie TJ, File TM. Pneumonia in Adult. Disitasi dari :
http://www.utdol.com/patients/content/topic.do(?)topicKey=~IULIBvWWVqokVS.ht
ml
27. Reuters T. Pneumonia in Adult. Disitasi dari :
http://www.pdrhealth.com/disease/disease-

50
mono.aspx(?)contentFileName=BHG01ID07.xml&contentName=Pneumonia+in+Ad
ults&contentId=119.html.
28. Dahlan Z. Artikel: Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Bagian
Penyakit Dalam FK.UNPAD Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung : FK
UNPAD; 2007.
29. Henschke CI, Yankelevitz DF, Wand A, Davis SD, Shiau M. Chest radiography in
the ICU. Clin Imaging 1997; 21(2):90-103
30. Tocino I. Chest imaging in the intensive care unit. Eur J Radiol 1996; 23(1):46-57
31. Milne EN, Pistolesi M, Miniati M, Giuntini C. The radiologic distinction of
cardiogenic and noncardiogenic edema. AJR Am J Roentgenol 1985; 144(5):879-
894.
32. Schwartz DT, Reisdorff EJ. Emergency Radiology, McGraw-Hill 2000.
33. Snider DEJ. Pyridoxine supplementation during isoniazid therapy. Tubercle. 1980
Dec;61(4):191–6.
34. Lee SW, Kang YA, Yoon YS, Um S, Lee SM, Yoo C, et al. The Prevalence and
Evolution of Anemia Associated with Tuberculosis. 2006;(12):1028–32.
35. Amin, Z., 2006. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setryohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M.K., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1005-
1010.
36. Stoppler, M.C.2010.Lung Cancer. Available from : http://www.emedicinehealth/
37. Kumar, V., Cotran, R.S., & Robbins, S.L.,2007.Buku Ajar Patologi Edisi 7.Jakarta :
EGC.
38. Huq, S.,2010.Lung Cancer, Non -Small Cell. Available from
http://www.emedicinehealth/
39. Soeroso, L. & Tambunan, G.W.1992.Beberapa Aspek Deteksi Dini Karsinoma
Paru.Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No.80.
40. American Society of Clinical Oncology,2010.Lung Cancer. Available from :
http://www.cancer.net/

51

Anda mungkin juga menyukai