Disusun Oleh :
Pembimbing :
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini. Shalawat dan salam
senantiasa kami junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, semoga rahmat dan
hidayahnya berlimpah kepada kita selaku umatnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF Ilmu Penyakit
Dalam khususnya kepada dr. Rahmah S Meutia, Sp.PD atas bimbingannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Sebagai manusia kami menyadari bahwa laporan ini belum sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan
populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan
angka kelahiran. Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia termasuk peringkat lima besar
terbanyak di dunia. Pada tahun 2010, terdapat 81,1 juta orang usia lanjut dan diperkirakan
akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup
penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun pada periode 2000-2005.
Geriatri merupakan pasien lanjut usia (di atas 60 tahun) yang memenuhi karakteristik
multipatologi, polifarmasi, daya cadangan faal rendah, gejala serta tanda klinis yang
menyimpang, menurunnya status fungsional dan gangguan nutrisi. Seiring dengan
bertambahnya usia, maka fungsi organ dalam tubuh akan menurun akibat proses degeneratif.
Sehingga rentan untuk terkena berbagai penyakit. Sehingga pasien harus minum berbagai
obat untuk penyakitnya. Selain itu, faktor psikososial juga mempengaruhi kesehatan pasien.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian khusus yang bersifat komprehensif dan terpadu
untuk mengatasi masalah yang ada pada pasien geriatri agar tatalaksana menjadi lebih efisien
dan efektif.
Salah satu organ yang mengalami perubahan adalah ginjal. Walaupun tidak ada
penyakit ginjal yang khusus pada pasien usia lanjut, namun prevalensi penyakit ginjal kronis
meningkat pada pasien usia lanjut. Diagnosis penyakit ginjal kronis pun sering terlewatkan
karena biasanya pasien tidak menunjukkan gejala yang spesifik.
Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk menambah wawasan mengenai
penanganan penyakit ginjal kronis pada pasien geriatri.
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
4
ANAMNESIS
Pemeriksaan Senin, 28 Agustus 2017
Perawatan hari ke 10
Keluhan Utama:
Sesak napas memberat sejak 7 hari sebelum masuk RS
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba setinggi sela iga 5, 1 jari medial dari linea
midklavikularis kiri
Perkusi Batas jantung kanan setinggi sela iga 4 line parasternal dextra,
batas jantung kiri setinggi sela iga 5 linea mid claviculla sinistra
Auskultasi Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi Tidak tampak buncit, tidak terdapat pelebaran vena
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
asites (-)
Perkusi Timpani
Kulit Turgor kulit baik, dekubitus tidak ada, ikterik tidak ada,
terdapat neurofibromatosis pada seluruh tubuh
Rektum/anus Tidak diperiksa
Genitalia Tidak diperiksa
Ekstremitas Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-, palmar eritema -/-
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 250 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 14.5 0.6 – 1.5 mg/dl
FUNGSI HATI
SGOT 25 0 – 34 U/I
SGPT 12 0 – 40 U/I
Protein Total 6.00 6.00 – 8.00 g/dl
Albumin 3.40 3.40 – 4.80 g/dl
Globulin 2.60 2.50 – 3.00 g/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Sewaktu 154 70 – 140 MG/DL
ELEKTROLIT DARAH
Natrium 131 135 – 147
Kalium 4.94 3.10 – 5.10
Klorida 102 95 – 108
SERO-IMUNOLOGI
Golongan Darah A (rhesus +)
Pemeriksaan 19/08/2017
Pemeriksaan 24/08/2017
Pemeriksaan Hasil Nilai
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 90 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 5.4 0.6 – 1.5 mg/dl
Calcium Ion 0.88 1 – 1.15 mmol/L
Kesan:
Kardiomegali dengan suspek awal bendungan paru
Infiltrat kedua paru dengan penebalan pleura apikal kedua hemithoraks, DD/ TB paru,
pneumonia
Suspek efusi pleura bilateral
USG Ginjal, Buli-buli, Prostat/Uterus 929/08/2017)
Ginjal kanan ukuran membesar ± 12.8 x 5.5 cm, differensiasi korteks – medula sulit
dibedakan, tampak multiple lesi anechoic, bentuk bulat dengan
posterior enhancment tersebar di hampir seluruh parenkim ginjal
Ginjal kiri ukuran membesar ± 14.7 x 7.5 cm, differensiasi korteks – medula sulit
dibedakan, tampak multiple lesi anechoic, bentuk bulat dengan
posterior enhancment tersebar di hampir seluruh parenkim ginjal
Buli – buli ukuran dan bentuk normal, dinding rata / reguler, tidak menebal, tak
tampak batu / lesi fokal. Volume buli penuh ±183 cc. Volume buli post
void ± 6 cc
Prostat bentuk dan ukuran normal, tidak tampak lesi fokal
Kesan
Ukuran kedua ginjal membesar dengan gambaran ginjal polikistik bilateral
Multiple kista hepar
Resume
Laki-laki, 68 tahun datang dengan keluhan sesak memberat sejak 7 hari SMRS,
PND+, ortopnea +, DOE +, riwayat edema anasarka +, batuk +, demam +, begah +, mual +,
muntah -. Pasien juga mengeluh malaise, intake makanan baik 3 kali sehari 1 porsi nasi,
riwayat demam tinggi, diare, dehidrasi, kelemahan setengah badan disangkal oleh pasien.
pasien dilaporkan hb rendah dan sudah dilakukan transfusi 2 kantung di fatmawati.
Pasien juga mengeluh insomnia, instability, dan inanition.
Pemeriksaan fisik konjungtiva pucat +/+, ronkhi basah +/+, nyeri tekan epigastrium -, edema
-/-. Pada pemeriksaan lab didapatkan anemia normositik normokrom, trombositopenia 144
ribu/ul, leukositosis 12.1 juta/ul, ur/cr 250/14.5 mg/dl, dan hipokalsemia 0,78 mg/dl.
Pada foto rontgen thoraks kesan kardiomegali dengan suspect bendungan paru dan
infiltrate pada lapangan atas paru. USG ginjal didapatkan ginjal membesar dengan
gambaran polikistik bilateral.
Daftar Masalah
1. Edema Paru
2. CKD Stage 5
3. Hipokalsemia
4. CAP
5. Anemia normositik normokrom
6. Sindrom dyspepsia
7. Instabilitas
8. Insomnia
9. Infection
PENGKAJIAN MASALAH
1. Edema paru
Atas dasar
Pada anamnesis:
Sesak
Dipicu aktivitas
Bengkak pada kedua tangan dan kaki serta wajah
Lebih nyaman tidur dengan 3 bantal
Saat malam sering sesak
Riwayat BAK sedikit
Riwayat ginjal polikistik bilateral
Riwayat HD cito 3 kali
Pemeriksaan fisik
Edema -/-
Pemeriksaan penunjang
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 250 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 14.5 0.6 – 1.5 mg/dl
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 135 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 8.2 0.6 – 1.5 mg/dl
Calcium Ion 0.78 1 – 1.15 mmol/L
Dipirkan bahwa
Dx Hipokalsemia ec CKD stage 5
Dd
Rencana diagnosis
Rencana tatalaksana
Ca glukonas 1x1 gr iv
3.Community acquired pneumonia
Atas dasar
Anamnesis
- Batuk sejak + 6 bulan SMRS, hilang timbul
- Dahak warna kuning kehijauan
- Sesak
- Demam
Pemeriksaan fisik
- Suhu
- Ronkhi basah pada kedua lapang paru +/+
Pemeriksaan penunjang
Rencana tatalaksana
- Oksigen nasal kanul 4lpm
- Antibiotik sefalosporin gen 3 (cefoperazone 2x1 gr IV)
4.Sindrome Dispepsia
Atas dasar
Anamnesis
- Mual
- Begah
- Muntah (-)
Pemeriksaan fisik
- Nyeri tekan tragus (-)
Pemeriksaan fisik
- (-)
Pemeriksaan penunjang
- ADL bartel ketergantungan ringan
- MNA beresiko malnutrisi
Dipikirkan bahwa
Dx sindroma geriatri
STATUS GERIATRI
I. Keluhan utama : Sesak memberat sejak 7 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang : Batuk, mual, kedua tangan dan kaki bengkak sudah
tidak ada, muntah, demam tidak ada
Riwayat penyakit dahulu : Tuberkulosis
Riwayat penyakit keluarga : Ayah dan adik sakit ginjal
II. Riwayat Pembedahan/ Operasi : Pasien tidak pernah operasi
III. Riwayat rawat inap rumah sakit :
Tahun 1985, pasien pernah dirawat karena terkena tuberkulosis
IV. Riwayat kebiasaan : Pasien rajin berolahraga 3kali/minggu, merokok 1
bungkus/hari, minum alkohol 2-3 gelas. Sebelumnya pasien sering minum jamu-
jamuan “antanan”
V. Riwayat kemasyarakatan – keagamaan – kegemaran
1. Rekreasi : sering
2. Kegiatan agama : sholat dan membaca Al-Quran
3. Silahturahmi keluarga : sering
4. Silahturahmi kawan seusia : jarang
5. Kegemaran : senang travelling
VI. Analisis keuangan
Pasien hidup berkecukupan dengan biaya hidup dari kos-kosan dan dari anak-
anaknya
VII. Anamnesis Sistem
1. Menurut pandangan pasien, keadaan kesehatan pasien secara umum saat ini sudah
membaik bila dibandingkan dengan sebelumnya. Pasien tidak merasakan keluhan apa-
apa
2. Jantung dan pembuluh darah
a. Nyeri/ rasa berat di dada : tidak ada
b. Sesak napas pada waktu kerja/ naik tangga : ada
c. Terbangun tengah malam karena sesak : ada
6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
Tidak
9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada pergi ke luar dan
mengerjakan sesuatu hal yang baru? Tidak
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini? Tidak
13 Apakah anda merasa penuh semangat? Ya
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaanya dari anda? Tidak
Jumlah skor : 1
0-4 : normal
5-8 : depresi ringan
9-11 : depresi sedang
12-15 : depresi berat
Jawab : Fatmawati
REGISTRASI
MENGENAL KEMBALI
BAHASA
Sebelum Setalah
sakit sakit
1 : kadang tak
Terkendali
2 : terkendali teratur
1 : kadang tak
Terkendali
2 : mandiri
2 : mandiri
2 : bantuan minimal 1
orang
3 : mandiri
2 : berjalan dibantu 1
orang
3 : mandiri
1 : sebagian dibantu
orang
2 : mandiri
1 : butuh pertolongan
2 : mandiri
1 : mandiri
22
12-19 : ketergantungan
ringan
9-11 : ketergantungan
sedang
5-8 : ketergantungan
berat
0-4 : ketergantungan
total
Interpretasi hasil:
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan ringan
9-11 : ketergantungan sedang
5-8 : ketergantungan berat
0-4 : ketergantungan total
1 : tidak tahu
C Mobilitas 2
1 : bisa keluar dari tempat tidur/ kursi roda tetapi tidak bisa keluar rumah
0 : ya
2 : tidak
E Masalah neuropsikologis 2
1 : demensia ringan
0 : IMT <19
1 : IMT 19 - <21
2 : IMT 21 - <23
3 : IMT >23
Total Poin : 10
Interpretasi:
12-14 : status gizi normal
8-11 : berisiko malnutrisi
0-7 : malnutrisi
Duduk: -
Berdiri: -
Duduk: -
Berdiri: -
F Berat Badan 52 kg
H IMT 14,7
I LLA -
KULIT
A Kekeringan Ya
B Dekubitus Tidak
PENDENGARAN
PENGLIHATAN
B Tajam penglihatan -
C Terdapat katarak -
D Lokasi katarak -
E Temuan funduskopi -
MULUT
LEHER
B Bising a. femoralis - -
C Denyut nadi perifer a. Teraba Teraba
dorsalis pedis
A Penghidu -
D Fundus -
M Refleks kornea +
Q Pendengaran Baik
R Uvula Di tengah
S Refleks telan -
T Otot trapezius -
U Otot sternokleidomastoideus -
V Lidah -
SENSORIK ANGGOTA ANGGOTA
ATAS BAWAH
A Tajam (nyeri) + + + +
B Raba + + + +
MOTORIK
5555 5555
5555 5555
Prognosis
Ad vitam : Dubia et bonam
Ad Sanationam : Dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
c) Hipertensi
Penyakit ginjal hipertensi merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal
kronik. Insidensi hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik < 10%.
Selain GN, DM, dan hipertensi terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik
seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik (lupus, vasculitis)
neoplasma serta berbagai penyakit lainnya.
3.1.3 Klasifikasi penyakit ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan causanya, GFR rate, dan
derajat albuminuria (CGA). Menurut diagnosis etiologi penyakit ginjal kronik
dapat digolongkan menjadi penyakit ginjal diabetes, penyakit ginjal non diabetes,
penyakit pada transplantasi dsb:
Table 1 klasifikasi penyakit Ginjal Kronik menurut etiologi
Gambar 1. Pneumonia
Selama satu hingga dua dekade terakhir ini, pasien yang berada di rumah sakit
yang sering ditemukan terinfeksi patogen MDR (Multi Drug Resistance), sebelumnya
pernah memiliki riwayat HAP (Hospital-Acquired Pneumonia). Faktor yang mungkin
berperan dalam hal ini adalah penggunaan antibiotik oral secara luas dan bebas,
transfer pasien terlalu dini dari ruang rawat inap ke rumah, peningkatan penggunaan
antibiotik injeksi pasien rawat jalan, peningkatan populasi lansia. Hal yang berkaitan
dengan kuman MDR ini yang mendasari klasifikasi pneumonia direvisi menjadi CAP
(Community-Acquired Pneumonia) dan HCAP (Health Care-Associated Pneumonia),
dengan subkategori HCAP berupa HAP (Hospital-Acquired Pneumonia) dan VAP
(Ventilator-Associated Pneumonia).
3.2.2 Epidemiologi
Selain menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan,
pneumonia seringkali tidak terdeteksi, salah diagnosis, dan dianggap sepele.
Berdasarkan data SKRT (Survey Kesehatan Rumah Tangga) Depkes tahun 2001,
pneumonia menjadi penyebab kematian nomor 2. Dari data SEAMIC Health Statistic
2001, pneumonia bersama influenza menjadi penyebab kematian nomor 6 di Indonesia
dan Thailand, serta nomor 3 di Singapura dan Vietnam.5 Di Indonesia, period
prevalence dari pneumonia cenderung menurun pada tahun 2013 dibandingkan tahun
2007 berdasarkan Riskesdas. Sedangkan tahun 2015 menurut data UNICEF, jumlah
kematian akibat pneumonia sedikit menurun dengan jumlah 920.000 per tahun atau
15% dari total kematian pada anak di bawah umur 5 tahun.
3.2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan tidak hanya oleh bakteri, namun juga oleh virus,
jamur, dan protozoa. Berdasarkan kepustakaan, bakteri Gram positif merupakan
penyebab tersering pneumonia komuniti, sedangkan bakteri Gram negatif merupakan
penyebab tersering pneumonia di rumah sakit, dan pneumonia aspirasi tersering
disebabkan oleh bakteri anaerob. Namun, sejak tahun 2003 tidak sedikit laporan
mengenai pneumonia komuniti dengan patogen penyebabnya adalah bakteri Gram
negatif. Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza type b (Hib) dan
Respiratory Syntical Virus (RSV) merupakan penyebab tersering pneumonia pada
orang sehat. Sedangkan Pneumocystis jiroveci merupakan salah satu patogen tersering
penyebab pneumonia pada pasien imunokompromais.
3.2.5 Patogenesis
Pneumonia terjadi karena adanya proses pertumbuhan mikroorganisme di
dalam paru, dan hal ini sangat ditentukan oleh mekanisme pertahanan paru dalam
mencegah patogen masuk dan berkembang. Risiko infeksi paru sangat dipengaruhi
oleh kemampuan mikroorganisme sampai dan merusak epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme sampai ke permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran secara hematogen atau pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut, kolonisasi merupakan cara tersering. Sedangkan
penyebaran secara inhalasi lebih sering pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria, atau jamur. Pada pneumonia, mikroorganisme biasanya masuk melalui
inhalasi atau aspirasi. Bakteri berukuran 0,5-2,0 um dapat mencapai bronkus terminal
atau alveolus melalui udara. sedangkan aspirasi bisa terjadi dari koloni yang menetap
di saluran napas atas. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring juga bisa terjadi
pada orang normal waktu tidur (terutama pada lansia), pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat. Walaupun jarang, pneumonia bisa
muncul akibat penyebaran patogen secara hematogen (contoh: endocarditis trikuspid)
atau ekstensi kontinu dari pleura atau rongga mediastinum yang terinfeksi.
Faktor mekanis sangat berperan dalam pertahanan tubuh host. Rambut dan turbulensi
aliran udara di hidung menjebak partikel besar masuk ke saluran napas bawah. Selain
itu, bentuk bercabang dari trakeobronkial akan menjebak partikel yang terlanjur
masuk bersama udara, dan sistem bersihan mukosiliar serta komponen antibakteri
lokal akan membersihkan atau membunuh patogen. Refleks batuk dan muntah
merupakan mekanisme pertahanan dalam mencegah aspirasi.
Ketika mikroorganisme mencapai alveolus, masih ada usaha dari sistem
pernapasan berupa sel makrofag alveolar yang secara ekstrem dan efisien membasmi
patogen. Namun, jika jumlah mikroorganisme melebihi kapasitas makrofag alveolar,
hal tersebut yang mendasari munculnya manifestasi pneumonia. Makrofag akan
memicu respon inflamasi yang akan menimbulkan gejala klinis dari pneumonia.
Pelepasan mediator IL-1 dan TNF akan menimbulkan demam. Sedangkan pelepasan
kemokin seperti IL-8 dan G-CSF akan menstimulasi pelepasan neutrofil dan akan
memproduksi leukosit perifer yang akan meningkatkan sekresi purulen. Mediator
yang dikeluarkan makrofag dan neutrofil yang banyak terbentuk akan mengakibatkan
bocornya dinding kapiler alveolus dan bisa mengakibatkan komplikasi berupa ARDS
(acute respiratory distress syndrome). Selain itu, eritrosit juga melewati membran
kapiler alveolus yang bisa menyebabkan hemoptisis.
Kebocoran kapiler ini dapat terlihat secara radiologis berupa infiltrat dan rales
pada auskultasi paru, dan kondisi hipoksemia bisa terjadi akibat alveolus yang terisi
cairan yang bisa memicu peningkatan kendali pernapasan. Peningkatan kendali
pernapasan ini bisa memicu kondisi alkalosis respiratorik. Penurunan komplians
akibat kebocoran kapiler, hipoksemia, peningkatan kendali napas, peningkatan
sekresi, dan bronkospasme akibat proses infeksi semua akan berujung pada sesak
napas. Jika kondisi ini berat, paru akan mengalami perubahan mekanis sebagai
kompensasi akibat reduksi kompliansnya dan mengakibatkan intrapulmonary shunting
of the blood dan berakibat pada kematian.
3.2.6 Patologi
Pneumonia melibatkan perubahan patologis serial. Berikut ini adalah zona yang
terbentuk selama proses peperangan antara mikroorganisme dengan host:
1. Zona luar : terjadi edema dengan adanya eksudat yang mengandung banyak
protein, dan seringkali bakteri, di alveoli. Zona ini sangat jarang terlihat, baik secara
klinis maupun melalui spesimen otopsi, karena cepat berlanjut menjadi fase hepatisasi
merah atau zona permulaan konsolidasi.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan eksudasi sel darah
merah. Bakteri biasanya bisa terlihat melalui spesimen alveolus yang diambil pada
zona ini.
3. Zona konsolidasi luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN banyak. Zona ini masuk ke dalam fase hepatisasi kelabu. Tidak ada
ekstravasasi eritrosit dan terjadi lisis eritrosit di alveolus. Neutrofil sebagai PMN
dominan, disertai deposisi fibrin dalam jumlah besar dan bakteri telah hilang.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit, dan makrofag alveolar.
Gambar 2. Fase hepatisasi pada pneumonia
3.2.7 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
Pneumonia komuniti (CAP)
Pneumonia nosokomial (HAP)
Pneumonia yang didapatkan pada saat perawatan di rumah sakit. Infeksi ini
sering terjadi pada pasien dengan penyakit berat, imunosupresi, terapi
antibiotik berkepanjangan atau pemakaian alat kesehatan invasif seperti kateter
intravaskular. Pasien yang mengalami infeksi pada saat pemakaian ventilator
mekanik ini disebut Ventilator acquaired pneumonia (VAP). Kuman Gram
negatif seperti Enterobecteriaceae sp. dan Pseudomonas aeruginosa serta
Staphylococcus aureus merupakan patogen yang paling sering ditemukan.
Pneumonia aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang mengalami disabilitas berat
atau mereka yang mengalami refluks isi lambung dalam keadaan tidak sadar,
seperti pada stroke atau muntah berulang. Pneumonia yang terjadi sebagian
bersifat kimiawi karena efek asam lambung yang sangat iritatif dan bisa juga
diakibatkan oleh bakteri. Bakteri penyebab pneumonia aspirasi adalah flora
oral anaerob seperti Bacteroides, Prevotella, Fusobacterium,
Peptostreptococcus dan juga bakteri aerob seperti S. aureus, S. pneumoniae, H.
influenzae, dan Pseudomonas aeruginosa. Penyulit dalam kasus ini adalah
abses paru.
Pneumonia pada penderita immunocompromised
Pneumonia ini sering terjadi pada pasien granulositopenia, dan gangguan
imunitas seluler.
3. Berdasarkan predileksi
Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan
orangtua. Pneumonia terjadi pada satu lobus atau segmen dengan
kemungkinan sekunder akibat obstruksi bronkus, misalkan aspirasi atau
keganasan.
Bronkopneumonia. Dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, sering pada anak
dan orangtua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
Gambar 4. Bronkopneumonia
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bervariasi menurut derajat konsolidasi paru dan ada
atau tidaknya efusi pleura signifikan. Takikardi bisa ditemukan sebagai
kompensasi peningkatan suhu. Pada inspeksi bisa terlihat gerakan dada tidak
simetris dengan paru yang sakit tertinggal gerakan dada nya. Umumnya terjadi
peningkatan frekuensi napas dan penggunaan otot bantu napas. Pada palpasi,
didapatkan fremitus mengeras, sedangkan pada perkusi dapat ditemukan
redup. Sedangkan pada auskultasi didapatkan suara napas bronkovesikuler
hingga bronkial yang bisa disertai ronki basah halus, yang kemudian berubah
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Gambaran Radiologik
Foto toraks (PA/Lateral) merupakan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis pneumonia. Gambran radiologisnya berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan “air broncogram” serta gambaran kavitas. Foto
thoraks saja tidak dapat menentukan penyebab pneumonia, namun sebagai
petunjuk diagnosis etiologis seperti berikut ini:
S. pneumoniae : gambaran pneumonia lobaris (air bronchogram)
Klebsiela pneumoniae : penebalan / bulging fissure interlobaris,
terutama lobus kanan atas
Pseudomonas aeruginosa : gambaran bronkopneumonia atau infiltrat
bilateral
Virus: gambaran pneumonia intestisial
Kultur darah
Hanya 5–14% pasien yang dirawat dengan CAP memiliki hasil kultur
positif, dan kebanyakan patogen yang ditemukan adalah S.pneumoniae. Oleh
karena itu, kultur darah tidak lagi dijadikan rekomendasi pemeriksaan
diagnostik untuk kasus pneumonia. Hanya beberapa pasien berisiko tinggi,
seperti pasien dengan neutropenia, atau defisiensi komplemen; gangguan hepar
kronik; atau CAP berat sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur darah.
3.3.4 Diagnosis
Diagnosis pneumonia bisa didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks, dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti bisa ditegakkan
jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala berikut:5
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh aksila ≥ 38°C / riwayat demam
Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial, dan ronki
Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500/ul
3.3.5 Diagnosis Banding
1. Tuberkulosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi parenkim paru
disebabkan oleh M. tuberculosis dengan transmisi melalui udara dan
masuk ke dalam tubuh lewat saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara
lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), sesak hingga
nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil,
keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang
terserang mengalami kolaps.
3. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), adalah suatu penyumbatan pada
saluran pernafasan yang bersifat irreversible. PPOK terdiri atas emfisema
dan bronkitis kronis. Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama
timbulnya penyakit ini.
4. Bronkitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-
paru). Penyakit ini biasanya bersifat akut, ringan dan pada akhirnya akan
sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit kronik
(misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut
bisa bersifat serius.
Kriteria mayor:
Membutuhkan ventilasi mekanik
Infiltrat bertambah > 50%
Membutuhkan vasopressor > 4 jam (syok septik)
Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis
3.3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan
yaitu
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa.
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Dalam mengobati kasus pneumonia, keadaan klinis pasien perlu diperhatikan.
Rawat jalan dapat dilakukan bila klinis pasien baik dan tidak ada indikasi
rawat inap. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan adanya faktor modifikasi,
yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi oleh mikroorganisme
patogenik yang spesifik, seperti S.pneumoniae. Berikut ini adalah faktor
modifikasi:5
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Umur lebih dari 65 tahun
Memakai obat-obat golongan beta laktam selama tiga bulan terakhir
Pecandu alkohol
Penyakit gangguan kekebalan
Penyakit penyerta yang multipel
Pneumonia Nosokomial
Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial yang
tidak disertai faktor risiko untuk patogen resisten jamak, dengan onset dini pada
semua tingkat berat sakit adalah dengan antibiotik spektrum terbatas :
3.3.8 Komplikasi
1. Efusi pleura
2. Empiema
3. Abses paru
4. Pneumotoraks
5. Gagal napas
6. Sepsis
3.3.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis pneumonia adalah baik, hal tersebut
tergantung dari faktor penderita, patogen penyebab, dan penggunaan antibiotik
yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif juga menjadi faktor
penting yang akan mempengaruhi prognosis penyakit. Angka kematian
penderita CAP < 5% pada penderita rawat jalan, sedangkan penderita rawat
inap menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA),
angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu
kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%,
kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya
risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas. Pasien muda dengan pneumonia tanpa komorbid biasanya memiliki
prognosis baik dan dapat sembuh total setelah 2 minggu.
2) Diuretic
Diuretic direkomendasikan pada pasien gaga; jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I). tujuan dari pemberian
diuretic adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat ) dengan
dosis yang serendahmungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk
menghindari dehidrasi atau resistensi.
- Pada saat inisiasi pemberian diuretic periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
- Dianjurkan untuk memberikan diuretic pada saat perut kosong
3.5 GERIATRI
3.5.1 Definisi
Pengertian usia lanjut, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 79 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di
Rumah Sakit, adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Geriatri merupakan pasien lanjut usia (di atas 60 tahun) yang memenuhi
karakteristik multipatologi, polifarmasi, daya cadangan faali rendah, gejala dan
tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional dan gangguan
nutrisi. Multipatologi adalah keadaan dimana pasien memiliki lebih dari satu
penyakit yang biasanya sudah berjalan lama dan sifatnya degeneratif. Biasanya
penyakitnya bersifat kronik dan degeneratif. Hal tersebut mengakibatkan
pasien geriatri mengkonsumsi banyak obat atau polifarmasi. Selain itu pada
pasien geriatri terdapat penyimpangan gejala dan tanda dari penyakit, sehingga
penyakit tersebut akan sulit untuk dikenali.
Karakteristik pasien geriatri yang lain adalah daya cadangan faali yaitu
terjadi penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ sehingga
menyebabkan pasien geriatri sulit untuk pulih kembali. Selain itu, kemampuan
seorang geriatri untuk melakukan aktivitas sehari-hari akan terganggu. Untuk
itu diperlukan pemeriksaan khusus yakni status fungsional yang
menggambarkan kemampuan umum seseorang untuk berperan secara mandiri.
Kondisi yang juga sering terjadi pada pasien geriatri adalah gangguan nutrisi,
gizi berkurang, atau bahkan gizi buruk. Gangguan nutrisi ini secara langsung
dapat mempengaruhi proses penyembuhan pasien.
3.5.2 Pengkajian paripurna dan terpadu
Pengkajian pasien geriatri tidak semudah pengkajian pasien dewasa.
Untuk itu perlu dilakukan komponen pengkajian paripurna yakni meliputi
aspek fisik, fungsional, psikologik, dan sosial. Pengkajian geriatri juga harus
bersifat terpadu yakni melibatkan
dokter di berbagai bidang, petugas paramedik, dan non medis. Comprehensive
geriatric assessment (CGA) adalah pengkajian pasien geriatri yang meliputi
status geriatri, status fungsional, status kognitif, dan status emosional.
Pengkajian paripurna geriatric ini bertujuan untuk mendapatkan keterpaduan
dalam tatalaksana geriatric sehingga tatalaksana menjadi efektif dan efisien.
3.5.3 Status Status fungsional
Agar nilai pengkajian masalah status fungsional geriatri ini menjadi
objektif maka dilakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu, antara lain
dengan indeks aktivitas kehidupan sehari – hari (activity of daily living/ADL)
Barthel dan Katz. Indeks barthel mempunyai 10 item untuk menilai
kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat
juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsiolnal. Pasien
dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program untuk
memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih,
mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien.
3.5.4 Status kognitif
Gangguan kognitif ini dapat menyulitkan dokter dalam melakukan
anamnesis. Kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan program
kesehatan yang telah ditetapkan oleh dokter akan sulit untuk diikuti oleh
pasien yang memiliki gangguan pada faal kognitifnya. Gangguan faal kognitif
bisa ditemukan pada derajat ringan maupun yang lebih berat (demensia ringan
sedang dan berat) hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan
terapeutik tersendiri. Secara objektif penapisan adanya ganguan faal kognitif
dilakukan dengan cara pemeriksaan neuropsikiatri seperti Abbreviated Mental
Test, The Mini-Mental State Examination (MMSE), The Global Deterioration
Scale (GDS), dan The Cinical Dementia Ratings (CDR).
Sistem skoring yang paling sering digunakan adalah MMSE. Jika skor
total <24 menunjukkan adanya gangguan. Jika skor <21 maka risiko untuk
demensia meningkat. Skor ini juga memperhitungkan factor pendidikan
pasien. Bagi pasien lulusan sekolah menengah, maka skor yang menunjukkan
adanya gangguan kognitif adalah ≤ 21. Jika pasien lulusan sekolah menengah
atas, skor yang bermakna adalah < 23. Dan pasien lulusan universitas adalah <
24. Untuk keparahannya dibagi menjadi tiga yakni:
24-30 : tidak ada gangguan kognitif
18-23 : gangguan kognitif ringan
0-17 : gangguan kognitif parah
3.5.5 Status emosional
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering terjadi pada
pasien berusia di atas 60 tahun. Beberapa faktor biologis, fisik, psikologis, dan
sosial membuat pasien lansia rentan terhadap depresi. Faktor biologis
diantaranya adalah perubahan system saraf pusat seperti meningkatnya
aktivitas monoamine oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmitter
katekolaminergik, serta komorbid peyakit vaskular dengan lesi di daerah
ganglia basalis dan prefontral otak. Hal tersebut menyebabkan kemunduran
fungsi motorik, kurangnya kemampuan penilaian, dan terganggunya fungsi
eksekusi.
Dengan kondisi depresi pasien geriatri akan lebih sulit untuk diajak
bekerja sama dalam upaya penyembuhan secara terpadu. Pengkajian status
emosional pasien dengan menggunakan geriatric depression scale (GDS) yang
terdiri atas 15 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya
gangguan depresi atau gangguan penyesuaian diri. Interpretasi dari GDS
adalah:
0-4 : normal
5-8 : depresi ringan
9-11 : depresi sedang
12-15: depresi berat
3.5.6 Status nutrisi
Status nutrisi memiliki dampak utama pada timbulnya penyakit dan
hendaya pada usia lanjut. Prevalensi malnutrisi meningkat seiring dengan
timbulnya kelemahan dan ketergantungan fisik. Pasien dengan penyakit
gastrointestinal, respirasi, dan neurologis dengan malnutrisi mendapat lebih
banyak obat sejumlah 9%, dan mengalami perawatan lebih sering sebanyak
26% dibanding pasien yang bergizi baik.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi
(anamnesis asupan), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Pada
anamnesis bisa menggunakan Mini Nutritional Assessment. Terdapat enam
aspek yang diperiksa dengan jumlah skor paling tinggi adalah 14. Interpretasi
dari MNA adalah sebagai berikut:
12-14 : status gizi normal
8-11 : berisiko malnutrisi
0-7 : malnutrisi
Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa kalori energi, protein,
lemak, serat, dan cairan yang rata – rata dikonsumsi pasien. Pemeriksaan
antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh
dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa
muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai
untuk mengukur tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang
dapat diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status
nutrisi secara biokimiawi. Instrumen untuk mengkaji status fungsional,
kognitif, dan emosional.
Sindrom geriatri
Sindrom geriatri adalah kondisi kesehatan multifaktorial yang terjadi akibat
akumulasi dari gangguan pada beberapa sistem tubuh yang menyebabkan pasien
lansia menjadi rentan. Sindrom geriatri berkaitan dengan proses menua dan
multipatologi. Sindrom geriatri dapat disingkat dengan 14 “I”, yaitu:
Immobility (imobilitas)
Instability (instabilitas)
Incontinence (inkontinensia urine dan alvi)
Intelectual impairment (gangguan fungsi intelektual dan kognitif, seperti demensia)
Infection (infeksi)
Impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran)
Iritable colon (iritasi usus besar membuat perdarahan saluran cerna
atau diare)
Isolation (isolasi diri menjadi depresi)
Inanition (malnutrisi)
Impecunity (kemiskinan atau finansial yang berkurang)
Iatrogenesis (misalnya polifarmasi)
Insomnia (gangguan tidur)
Immune deficiency (defisiensi sistem imun)
Impotence (disfungsi ereksi)
Berdasarkan uraian diatas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan pada
pasien geriatri harus bersifat holistik atau paripurna. Mengelola seluruh masalah
secara keseluruhan tidak hanya dari masalah bio-psiko-sosialnya saja. Pengelolaan
pasien geriatri harus senantiasa memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif, promotif
dan preventif.
BAB IV
ANALISIS MASALAH
4.1 Edema paru e.c Chronic Kidney Disease Stage V dengan Overload
Tn. R 68 tahun mengalami edema paru yang disebabkan karena Chronic Kidney
Disease stage V. Secara garis besar penyebab terjadinya edema paru yaitu kardiogenik
dan non-kardiogenik. Penyebab kardiogenik antara lain akibat terjadinya peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena
pulmonalis. Dimana pada anamnesis didapatkan adanya sesak napas yang bersifat tiba-
tiba, dyspneu on exertion +, ortopneu +, dan paroxysmal nocturnal disease +, anamnesis
ini tidak dapat membedakan apakah pasien tersebut sesak akibat kardiogenik atau non-
kardiogenik, maka dari itu perlu ditanyakan pertanyaan tambahan seperti adanya riwayat
nyeri dada atau sakit jantung. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan peningkatan
dari JVP, adanya bunyi gallop dan ronkhi basah pada auskultasi, pergeseran batas
jantung dari perkusi. Dari pemeriksaan penunjang seperti lab darah akan didapatkan
peningkatan enzim jantung, gambaran EKG iskemik/infark, rontgen akan didapatkan
CTR >50% (kardomegali), dan pada echocardiography didapatkan penurunan dari
ejection fraction.
Sementara itu pada edema paru non kardiogenik, biasa disebabkan oleh banyak hal
seperti akibat pneumonia berat, kontusio paru, sepsis, syok hipovolemik, gagal ginjal,
neurogenik, sindrom nefrotik, hiponatremi, dan lainnya. Biasanya pada anamnesis akan
didapatkan gambaran sesak yang sama dengan edema paru kardiogenik dan ditambah
ada atau tidaknya penyakit yang mendasari selain penyakit jantung, dari pemeriksaan
fisik gallop (-), peningkatan JVP (-), pergeseran batas jantung (-). Dari pemeriksaan
penunjang biasanya lab darah enzim jantung normal, EKG normal, dari foto rontgen
tidak didapatkan adanya perbesaran CTR.
Pada pasien ini, edema paru lebih condong diakibatkan karena CKD stage V
overload yang dimiliki, karena dari anamnesis pasien didapatkan pasien sesak, sesak
dirasa saat aktivitas, sering terbangun malam hari karena sesak, dan tidur menggunakan
3 bantal, bengkak pada kedua tangan dan kaki, urin menjadi lebih sedikit, riwayat HD
cito, dan sudah dilakukan hemodialisa sebanyak 3 kali dari awal pasien masuk, pasien
tidak ada riwayat sakit jantung dan pada 3 tahun lalu memiliki riwayat sakit kista ginjal
dan tidak dilakukan operasi, pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pergeseran batas
jantung, gallop (-), JVP (-), dan pada pemeriksaan penunjang EKG didapatkan gambaran
normal, tetapi pada foto rontgen didapatkan adanya kardiomegali. Sehingga edema paru
karena CHF tidak dapat dicoret, karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang terdapat beberapa kriteria yang masuk ke dalam kriteria
framingham, sehingga CHF tidak dapat dicoret sepenuhnya. Tata laksana yang harus
dilakukan yaitu
Airway – Breathing – Circulation
Airway : memastikan tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : pasang oksigen nasal kanul 4 lpm dan cek saturasi oksigen serta
RR
Circulation : cek nadi dan tekanan darah
Terapi farmakologi
Loop diuretic ( furosemide 1 x 40 mg i.v )
Bicnat 3 x 500 mg
CaCo3 3 x 500 tab
Asam folat 5 mg 1 x 3 tab
B12 1 x 50 mg
Angiotensin II Receptor Blocker ( Valsartan 1 x 80 mg )
4.2 Chronic Kidney Disease Stage V Overload dengan anemia dan hipokalsemia
dan hiponatremia et causa Polikistik Ginjal
Chronic Kidney Disease atau biasa disebut dengan gagal ginjal kronik adalah
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural dan atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Penyakit ini
memiliki 5 derajat yaitu derajat 1 bila kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
meningkat (>90), 2 bila kerusakan ginjal dengan peningkatan GFR ringan (60-89), 3
bila kerusakan ginjal dengan peningkatan GFR sedang (30-59), 4 kerusakan ginjal
dengan peningkatan GFR berat (15-29), dan 5 bila gagal ginjal (<15 atau dialisis).
Anemia pada pasien GGK sering terjadi pada banyak keadaan. Selain karena
kurangnya stimulasi eritropoietin anemia pada GGK juga dapat disebabkan karena
perdarahan saat hemodialisa. Gejala anemia dapat ditemukan berupa lemas, letih,
lunglai, konjungtiva pucat dengan hasil lab menunjukan penurunan Hb pada laki-laki<
13 g/dl dan pada perempuan < 12g/dl. Gambaran anemia pada pasien ini berupa
normositik normokrom hal ini diduga dapat karena disebabkan perdarahan saaat
hemodialisa ataupun gambaran anemia pada penyakit ginjal kronik karena kurangnya
stimulasi eritropoietin sehingga pembentukan sel darah merah menurun. Penyakit
ginjal kronik juga dapat menyebabkan terjadinya hipokalasemia akibat penurunan
metabolisme vitamin D di ginjal menurun, dan menyebabkan absorbsi dari kalsium di
usus menurun, menyebabkan aktivasi PTH untuk meningkatkan ambilan kalsium
ditulang, selain itu pada gagal ginjal kronik akan terjadi hiperfosfatemia, dapat
terjadinya retensi Na karena menurunnya filtrasi ginjal. Dari hasil anamnesis
didapatkan pasien sesak, sesak dirasa terus-menerus dan tidak menghilang saat
istirahat, lemas, mual, bengkak pada tangan dan kaki, BAK sedikit, adanya riwayat
sakit kista ginjal 3 tahun lalu dan tidak di operasi, 3 bulan lalu pasien ke RSUD pasar
minggu untuk kontrol dan dinyatakan untuk dilakukan HD tetapi pasien menolak
karena merasa takut. Saat pasien masuk RSF, pasien dilakukan HD cito, dan selama
ini sudah dilakukan 3 kali HD, pasien sudah dilakukannya transfusi. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan adanya konjungtiva anemis +/+, hipertensi, dan dari pemeriksaan
penunjang adanya penurunan Hb, Ht, peningkatan ureum dan kreatinin, penurunan
GFR, hipokalsemia, hiponatremia, asidosis metabolik. Pada pemeriksaan penunjang
USG didapatkan ukuran kedua ginjal membesar dengan gambaran polikistik bilateral.
Untuk selanjutnya, disarankan dilakukakan pemeriksaan SI, TIBC, dan feritin.
Tatalaksana yang harus diberikan adalah
4.3 Heart Failure
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan
nutrient. Salah satu cara penegakkan diagnosis adanya gagal jantung yaitu dengan
menggunakan kriteria framingham, dimana pada pasien ini didapatkan 3 kriteria
mayor yaitu ortopneu +, dan paroxysmal nocturnal disease +, adanya gambaran
kardiomegali pada foto rontgen dan adanya edema paru akut, dan terdapat 2 kriteria minor
yaitu adanya bengkak pada kaki dan dyspneu on exertion +. Maka pada pasien ini
dibutuhkan pemeriksaan tambahan yaitu echocardiography untuk menentukan ejection
fraction. Dan untuk pengobatan pasien ini dapat diberikan ARB ataupun diuretik.
Menurut Perki 2015, ACEI terkadang dapat menyebabkan perburukan ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema meskipun jarang. Diuretik
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti.
Tujuan dari pemberian diuretk adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan
pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.
Pada pasien ini, baiknya diberikan golongan diuretik furosemid dan
spironolakton karena pasien menunjukan gejala kongesti.
4.4 Community Acquired Pneumonia
Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagai suatu peradangan pada
parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, vrus, jamur ataupun
parasit. Peradangan pada paru juga dapat disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dll) yang disebut dengan
pneumonitis. Pneumoni berdasarkan klini dan epidemiologis dibagi menjadi 4 macam,
yaitu pneumonia komuniti (CAP), nosokomial (HAP), asprasi dan pneumonia pada
penderita immunocompromised. Berdasarkan etiologinya terdapat pneumonia bakterial
typical, atypical, virus dan jamur yang sering terjadi pada pasien immuncompromised.
Pada pasien didapatkan adanya riwayat batuk sejak ± 6 bulan, batuk hilang timbul,
batuk berdahak, dahak kadang dapat dikeluarkan dan berwarna kuning kehijauan,
pasien terdapat demam, demam hilang timbul, dan paling tinggi dengan suhu 39.1
derajat, dan terdapat sesak sebelum pasien masuk RS. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya ronkhi basah kasar pada bagian basal, dan pada pemeriksaan
penunjang didapatkan peningkatan leukosit, peningkatan neutrofil, dari foto rontgen
didapatkan adanya infiltrat di kedua paru bagian perihiler dan parakardial dengan
penebalan pleura apikal kedua hemithoraks. Maka dari itu dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan LED, kultur dahak pada pasien. Untuk pengobatannya dapat diberikan
Tatalaksana pada pasien ini daat diberikan O2 nasal kanul dan pemberian antibiotik
sefalosporin generasi ketiga.
4.5 Sindrom geriatri (infeksi, insomnia, dan instabilitas) tanpa depresi , tanpa
gangguan kognitif, ketergantungan ringan, dan nutrisi baik
Pasien berusia 68 tahun dan adanya beberapa dari 14 “I”. Pasien ini terdapat 4
I yaitu infection, iatrogenic, insomnia, dan instabillity. Dimana pada pasien ini
terdapat infeksi yaitu pneumonia, pasien juga sering merasa ingin jatuh terutama saat
naik tangga, sehingga pasien harus berpegang pada tangga atau dengan bantuan orang
lain, pasien juga mengatakan bahwa saat terbangun malam hari, pasien susah untuk
memulai tidur kembali, dan juga pasien memiliki lebih dari 2 penyakit, dimana obat
yang diminum banyak. Dari pemeriksaan dengan Compreherensive Geriatric
Assessment, yang terdiri dari status geriatri, status fungsional, status kognitif, dan
status emosional. Untuk mengukur status fungsional pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan Barthel dan didapatkan skor 16 yang menandakan pasien mengalami
ketergantungan ringan. Status kognitif pasien diperiksa menggunakan The Mini
Mental State Examination (MMSE) dan pada pasien didapatkan skor 29 yang
mengindikasikan tidak ada gangguan kognitif pada pasien. Pada status emosional
dengan Geriatric Depression Scale (GDS) didapatkan skor 5 yang berupa depresi
ringan. Pada status geriatric nutrisi pasien dengan pemeriksaan Mini Nutritional
Assessment (MNA) didapatkan skor sebanyak 10, yaitu nutrisi nomal.
4.6. Sindrom Dispepsia
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas
atau dada bawah. Selain itu ada yang menyatakan bahwa dispepsia merupakan kumpulan
gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak pada perut bagian atas yang menetap
atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasapenuh saat makan, cepat kenyang,
kembung, sendawa, anoreksia, mual muntah, heartburn, dan regurgitasi.
Dispepsia terbagi menjadi 2 klasifikasi yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia
organik. Pada dispepsia fungsional dibagi lagi menjadi 2 yaitu postprandial distress
syndrome yaitu perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang dan epigastric
pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu
terkait dengan makan.
Beberapa penyebab dispepsia antara lain karena gastritis, hepatitis, kolesistitis,
kolelitiasis, pankreatitis, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan lainnya. Pada pasien ini
kemungkinan penyebab terjadinya sindrom dispepsia adalah karena pasien memiliki
riwayat gastriritis sejak muda dan dapat juga karena gagal ginjal yang terjadi pada pasien
ini. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya sindrom dispepsia yaitu karena
stress dari pasien, makan yang tidak teratur ataupun makan dan minum yang iritatif
seperti kopi, teh, ataupun minuman yang berkarbonasi
Untuk pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan esofagogastroduodenoskopi
untuk mendapatkan kelainan apa yang terjadi pada lambung pasien tersebut terutama
apabila dispepsia terjadi pada pasien usia diatas 55 tahun, maka EGD indikasi untuk
dilakukan dan untuk pengobatannya sendiri dapat diberikan obat golongan PPI seperti
omeprazole, lansoprazole, maupun esomeprazole.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siti Setiati. Geriatric medicine, sarcopenia, frailty dan kualitas hidup pasien usia
lanjut: tantangan masa depan pendidikan, penelitian dan pelayanan kedokteran
Indonesia. Jurnal Kedokteran Indonesia. 2013; 1(3): 234-242
2. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine 18th ed. USA: Mc-Graw Hill;
2012
4. Sharon KI, Stephanie S, Mary ET, George AK. Geriatric syndromes: clinical,
research, and policy implications of a core geriatric concept. J Am Geriatr Soc. 2007;
5(5): 780-791
5. World Heart Organization. Focus on Pneumonia. Phillipines: WHO Press; 2014: pp.1-
3
6. UNICEF Global Databases 2015. http://data.unicef.org/child-health/pneumonia.html
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
8. Catia C, Ignacio ML, Carolina GV, Alicia SJ, Antoni T. Microbial etiology of
pneumonia: epidemiology, diagnosis, and resistance patterns. Int. J. Mol. Sci. 2016;
17: 1-18
9. PDPI. 2003. Pneumonia Nosokomial-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
10. Fauci, et al,. 2009. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th Edition. By The Mc Graw-
Hill Companies In North America.
11. South African Thoracic Society. Management of Community-Acquired Pneumonia in
Adults. S Afr Med J 2007; 97(12): 1295-1306
12. Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta tahun 2002.
13. Robbins, S, dkk. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol. 2. EGC. Jakarta: 2007
14. Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. 2012. Dispepsia, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Divisi Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam