Anda di halaman 1dari 64

Presentasi Kasus

CHRONIC KIDNEY DISEASE PADA PASIEN GERIATRI

Disusun Oleh :

Rahmei Sofia 1113103000073


Syabila Fanya Maharani 1113103000090

Pembimbing :

dr. Rahmah Safitri Meutia, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini. Shalawat dan salam
senantiasa kami junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, semoga rahmat dan
hidayahnya berlimpah kepada kita selaku umatnya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF Ilmu Penyakit
Dalam khususnya kepada dr. Rahmah S Meutia, Sp.PD atas bimbingannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Sebagai manusia kami menyadari bahwa laporan ini belum sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan
populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan
angka kelahiran. Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia termasuk peringkat lima besar
terbanyak di dunia. Pada tahun 2010, terdapat 81,1 juta orang usia lanjut dan diperkirakan
akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup
penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun pada periode 2000-2005.

Geriatri merupakan pasien lanjut usia (di atas 60 tahun) yang memenuhi karakteristik
multipatologi, polifarmasi, daya cadangan faal rendah, gejala serta tanda klinis yang
menyimpang, menurunnya status fungsional dan gangguan nutrisi. Seiring dengan
bertambahnya usia, maka fungsi organ dalam tubuh akan menurun akibat proses degeneratif.
Sehingga rentan untuk terkena berbagai penyakit. Sehingga pasien harus minum berbagai
obat untuk penyakitnya. Selain itu, faktor psikososial juga mempengaruhi kesehatan pasien.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian khusus yang bersifat komprehensif dan terpadu
untuk mengatasi masalah yang ada pada pasien geriatri agar tatalaksana menjadi lebih efisien
dan efektif.

Salah satu organ yang mengalami perubahan adalah ginjal. Walaupun tidak ada
penyakit ginjal yang khusus pada pasien usia lanjut, namun prevalensi penyakit ginjal kronis
meningkat pada pasien usia lanjut. Diagnosis penyakit ginjal kronis pun sering terlewatkan
karena biasanya pasien tidak menunjukkan gejala yang spesifik.

Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk menambah wawasan mengenai
penanganan penyakit ginjal kronis pada pasien geriatri.

3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

No. Rekam Medik


: 00605451
Nama
: Tn. RR
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 68 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Kebayoran Lama
Pendidikan terakhir
: SMA
Pekerjaan
: Pemilik kos
Status Pernikahan
: Menikah
Masuk ke IGD
: 18 Agustus 2017
Pindah ke lantai VI
: 24 Agustus 2017

4
ANAMNESIS
Pemeriksaan Senin, 28 Agustus 2017
Perawatan hari ke 10

Keluhan Utama:
Sesak napas memberat sejak 7 hari sebelum masuk RS

Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat sesak sudah dirasakan sejak + 6 bulan lalu dan memberat 7 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus, memberat saat aktivitas dan sedikit
berkurang saat istirahat, pada malam hari pasien sering terbangun saat tidur karena sesak,
pasien tidur menggunakan 3 bantal, nyeri dada tidak ada. Sesak disertai dengan batuk
berdahak sejak + 6 bulan lalu, batuk hilang timbul, dahak kental berwarna kuning kehijauan
dan terkadang sulit dikeluarkan, sudah diberikan obat batuk tetapi tidak membaik, batuk
darah (-). Pasien juga mengeluh demam, sudah diberi obat sempat membaik namun demam
kembali. Pasien juga merasa wajah, kedua tangan dan kedua kaki bengkak + 2 minggu lalu,
bengkak dirasakan tiba-tiba. Selain itu bengkak disertai pula dengan nyeri terutama pada
kaki, nyeri dirasakan saat pasien berjalan dan menghilang saat istirahat. Pasien merasa BAK
nya mulai sedikit, 5-6 kali/hari, sekitar setengah gelas setiap BAK, berwarna kuning, berbusa
(-), nyeri saat BAK (-), BAB 2-3 kali/hari, darah (-). Pasien riwayat dilakukan HD cito pada
hari rabu 21 Agustus, dan sekarang sudah dilakukan 3 kali hemodialisa sejak dirawat. Pasien
juga mengeluh badan terasa lemas. Lemas dirasakan terus menerus, intake makanan pasien
baik, makan 3 kali sehari dengan 1 porsi nasi. Riwayat diare banyak, keluhan lemas setengah
badan disangkal. Pasien dilaporkan Hb nya turun, sudah dilakukan transfusi sebanyak 2
kantong di RSUP Fatmawati.
Selain itu pasien merasa nyeri pada ulu hati + 1 minggu lalu, pasien mengeluh mual
namun tidak sampai muntah. Keluhan mual disertai dengan perut terasa begah, dan nafsu
makan yang menurun. Keluhan penurunan berat badan disangkal oleh pasien.
Pasien juga mengeluhkan sulit tidur. Pasien sering terbangun saat malam, dan sulit
untuk memulai tidur kembali. Selain keluhan sulit tidur, pasien mulai merasa
keseimbangannya sudah mulai terganggu. Saat naik tangga pasien merasa kesulitan sehingga
butuh pegangan untuk naik. Keluhan jatuh disangkal pada pasien. Aktivitas sehari-hari pasien
masih cukup mandiri, pasien masih mampu mengurus diri dan mandi sendiri.
3 tahun lalu, pasien riwayat nyeri pada pinggang kanan dan kiri, saat BAK nyeri dan
berdarah dan di diagnosis terdapat kista pada ginjal namun tidak dilakukan operasi.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Pasien riwayat dirawat di rumah sakit tahun
1985 akibat sakit TB, dan sudah diberikan pengobatan selama 6 bulan dikatakan tuntas.
Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, hepatitis tidak ada. Pasien
memiliki riwayat maag sejak muda dan sering kambuh.
Riwayat penyakit keluarga
Ayah dan adik pasien dilaporkan memiliki riwayat penyakit ginjal. Riwayat asma, hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung, hepatitis di keluarga tidak ada.
Riwayat Sosial
Pasien cukup mandiri dirumah, masih mampu mengurus dan melakukan aktifitas sendiri.
Interaksi dan hubungan pasien dengan keluarga baik. Pasien masih senang untuk pergi ke
pusat perbelanjaan.
Pemeriksaan fisik
Tanggal 28/08/2017
Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
BB : 70 kg (sebelum bengkak)
TB : 176 cm
BMI : 14.7 (overweight)
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 64 kali/menit, regular, isi cukup
Pernapasan : 22 kali/menit, regular, kedalaman cukup
Suhu : 36.7 celcius
SpO2 : 99%
Kepala dan Leher
Kepala normosefali
Mata konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL/RCTL
+/+ terdapat massa pada mata kiri.
Hidung normotia, tidak hiperemis, liang telinga lapang, serumen -/-, nyerit
ekan tragus -/-, nyeri tekan aurikula -/-, nyeri tekan retroaurikula -/-
Mulut simetris, deviasi (-), tidak terdapat gangguan bicara, uvula ditengah,
arkus faring tidak hiperemis, T1/T1
Leher Trakea ditengah, JVP 5+1 cmH2O, massa (-), perbesaran KGB tidak
ada, perbesaran tiroid tidak ada
Thorax
Paru
Inspeksi Pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis,
retraksi sela iga (-), bantuan otot napas (-), barrel chest (-),
spider navy (-)
Palpasi Vokal fremitus pada lapang paru kanan dan kiri normal
Perkusi Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Vesikuler/vesikuler, ronkhi basah kasar +/+, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba setinggi sela iga 5, 1 jari medial dari linea
midklavikularis kiri
Perkusi Batas jantung kanan setinggi sela iga 4 line parasternal dextra,
batas jantung kiri setinggi sela iga 5 linea mid claviculla sinistra
Auskultasi Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi Tidak tampak buncit, tidak terdapat pelebaran vena
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
asites (-)
Perkusi Timpani
Kulit Turgor kulit baik, dekubitus tidak ada, ikterik tidak ada,
terdapat neurofibromatosis pada seluruh tubuh
Rektum/anus Tidak diperiksa
Genitalia Tidak diperiksa
Ekstremitas Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-, palmar eritema -/-

Pemeriksaan Penunjang 18/08/2017


Pemeriksaan Hasil Nilai
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.0 13.2 – 17.3 g/dl
Hematokrit 26 33 – 45 %
Leukosit 12.1 5.0 – 10.0 ribu/ul
Trombosit 144 150 – 440 ribu/ul
Eritrosit 2.80 4.40 – 5.90 juta/ul
VER/HER/KHER/RDW
VER 92.5 80.0 – 100.0
HER 32.3 26.0 – 34.0
KHER 34.9 32.0 – 36.0
RDW 16.6 11.5 – 14.5

KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 250 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 14.5 0.6 – 1.5 mg/dl

FUNGSI HATI
SGOT 25 0 – 34 U/I
SGPT 12 0 – 40 U/I
Protein Total 6.00 6.00 – 8.00 g/dl
Albumin 3.40 3.40 – 4.80 g/dl
Globulin 2.60 2.50 – 3.00 g/dl

DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Sewaktu 154 70 – 140 MG/DL

ELEKTROLIT DARAH
Natrium 131 135 – 147
Kalium 4.94 3.10 – 5.10
Klorida 102 95 – 108

SERO-IMUNOLOGI
Golongan Darah A (rhesus +)

Pemeriksaan 19/08/2017

Pemeriksaan Hasil Nilai


KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 186 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 10.9 0.6 – 1.5 mg/dl
SERO-IMUNOLOGI
HEPATITIS
HBsAg Negatif Negatif
Anti HCV Negatif Negatif
Pemeriksaan 22/08/2017
Pemeriksaan Hasil Nilai
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 135 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 8.2 0.6 – 1.5 mg/dl
Calcium Ion 0.78 1 – 1.15 mmol/L

Pemeriksaan 24/08/2017
Pemeriksaan Hasil Nilai
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 90 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 5.4 0.6 – 1.5 mg/dl
Calcium Ion 0.88 1 – 1.15 mmol/L

Radiologi (Rontgen Thorax PA) (18/08/2017)


Jantung kesan membesar, aorta baik
Paru : Hilus kedua paru menebal
Corakan bronkovaskular kedua paru meningkat
Tampak infiltrat di lapangan atas kedua paru, perihiler dan parakardial kanan-kiri
Penebalan pleura apikal kedua hemitorax
Sinus kostofrenikus kanan tumpul dan kiri suram

Kesan:
Kardiomegali dengan suspek awal bendungan paru
Infiltrat kedua paru dengan penebalan pleura apikal kedua hemithoraks, DD/ TB paru,
pneumonia
Suspek efusi pleura bilateral
USG Ginjal, Buli-buli, Prostat/Uterus 929/08/2017)
Ginjal kanan ukuran membesar ± 12.8 x 5.5 cm, differensiasi korteks – medula sulit
dibedakan, tampak multiple lesi anechoic, bentuk bulat dengan
posterior enhancment tersebar di hampir seluruh parenkim ginjal
Ginjal kiri ukuran membesar ± 14.7 x 7.5 cm, differensiasi korteks – medula sulit
dibedakan, tampak multiple lesi anechoic, bentuk bulat dengan
posterior enhancment tersebar di hampir seluruh parenkim ginjal
Buli – buli ukuran dan bentuk normal, dinding rata / reguler, tidak menebal, tak
tampak batu / lesi fokal. Volume buli penuh ±183 cc. Volume buli post
void ± 6 cc
Prostat bentuk dan ukuran normal, tidak tampak lesi fokal

Kesan
Ukuran kedua ginjal membesar dengan gambaran ginjal polikistik bilateral
Multiple kista hepar

Resume
Laki-laki, 68 tahun datang dengan keluhan sesak memberat sejak 7 hari SMRS,
PND+, ortopnea +, DOE +, riwayat edema anasarka +, batuk +, demam +, begah +, mual +,
muntah -. Pasien juga mengeluh malaise, intake makanan baik 3 kali sehari 1 porsi nasi,
riwayat demam tinggi, diare, dehidrasi, kelemahan setengah badan disangkal oleh pasien.
pasien dilaporkan hb rendah dan sudah dilakukan transfusi 2 kantung di fatmawati.
Pasien juga mengeluh insomnia, instability, dan inanition.
Pemeriksaan fisik konjungtiva pucat +/+, ronkhi basah +/+, nyeri tekan epigastrium -, edema
-/-. Pada pemeriksaan lab didapatkan anemia normositik normokrom, trombositopenia 144
ribu/ul, leukositosis 12.1 juta/ul, ur/cr 250/14.5 mg/dl, dan hipokalsemia 0,78 mg/dl.
Pada foto rontgen thoraks kesan kardiomegali dengan suspect bendungan paru dan
infiltrate pada lapangan atas paru. USG ginjal didapatkan ginjal membesar dengan
gambaran polikistik bilateral.
Daftar Masalah
1. Edema Paru
2. CKD Stage 5
3. Hipokalsemia
4. CAP
5. Anemia normositik normokrom
6. Sindrom dyspepsia
7. Instabilitas
8. Insomnia
9. Infection

PENGKAJIAN MASALAH
1. Edema paru
Atas dasar
Pada anamnesis:
Sesak
Dipicu aktivitas
Bengkak pada kedua tangan dan kaki serta wajah
Lebih nyaman tidur dengan 3 bantal
Saat malam sering sesak
Riwayat BAK sedikit
Riwayat ginjal polikistik bilateral
Riwayat HD cito 3 kali
Pemeriksaan fisik
Edema -/-
Pemeriksaan penunjang

KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 250 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 14.5 0.6 – 1.5 mg/dl

Rontgen paru kesan kardiomegali dengan suspect bendungan paru


Pemeriksaan USG didapatkan gambaran ginjal membesar dengan gambaran
ginjal polikistik bilateral.
Dipikirkan bahwa
Dx edema paru ec CKD stage V dengan overload
DD edema paru ec Congestive heart failure
Rencana diagnosis
Analisa gas darah
Ca ion, fosfat, asam urat
Urin lengkap
Rencana Tatalaksana
O2 nasal kanul 4 liter/menit
Diet rendah protein dan restriksi Na
Farmakologi
Furosemide 1x40 mg iv
Bicnat 3x500 mg
Caco3 3x1 tab
Asam folat 1x3 tab
Valsartan 1x80 mg
2. Hipokalsemia
Atas dasar
Anamnesis –
Pemeriksaan fisik –
Pemeriksaan penunjang

KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 135 20 – 40 mg/dl
Kreatinin Darah 8.2 0.6 – 1.5 mg/dl
Calcium Ion 0.78 1 – 1.15 mmol/L

Dipirkan bahwa
Dx Hipokalsemia ec CKD stage 5
Dd
Rencana diagnosis
Rencana tatalaksana
Ca glukonas 1x1 gr iv
3.Community acquired pneumonia
Atas dasar
Anamnesis
- Batuk sejak + 6 bulan SMRS, hilang timbul
- Dahak warna kuning kehijauan
- Sesak
- Demam

Pemeriksaan fisik
- Suhu
- Ronkhi basah pada kedua lapang paru +/+

Pemeriksaan penunjang

Leukosit 12.1 5.0 – 10.0 ribu/ul


Dipikirkan bahwa
Dx community acquired pneumonia
Dd TB paru relaps
Rencana diagnosis
- Pemeriksaan BTA sputum
- Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram
- LED

Rencana tatalaksana
- Oksigen nasal kanul 4lpm
- Antibiotik sefalosporin gen 3 (cefoperazone 2x1 gr IV)
4.Sindrome Dispepsia
Atas dasar
Anamnesis
- Mual
- Begah
- Muntah (-)

Pemeriksaan fisik
- Nyeri tekan tragus (-)

Pemeriksaan penunjang (-)


Dipikirkan bahwa
Dx sindrom dyspepsia
Dd gerd?/gastritis erosif
Rencana diagnosis
Rencana tatalaksana
- Omeprazol 2x20 mg iv /tab

5. instabilitas, infection, insomnia


Atas dasar
Anamnesis
- Pasien mulai mengalami gangguan keseimbangan, saat naik tangga perlu pegangan
- Batuk +, demam +
- Pasien sering terbangun malam, dan sulit untuk kembali tidur

Pemeriksaan fisik
- (-)

Pemeriksaan penunjang
- ADL bartel  ketergantungan ringan
- MNA  beresiko malnutrisi

Dipikirkan bahwa
Dx sindroma geriatri

STATUS GERIATRI
I. Keluhan utama : Sesak memberat sejak 7 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang : Batuk, mual, kedua tangan dan kaki bengkak sudah
tidak ada, muntah, demam tidak ada
Riwayat penyakit dahulu : Tuberkulosis
Riwayat penyakit keluarga : Ayah dan adik sakit ginjal
II. Riwayat Pembedahan/ Operasi : Pasien tidak pernah operasi
III. Riwayat rawat inap rumah sakit :
Tahun 1985, pasien pernah dirawat karena terkena tuberkulosis
IV. Riwayat kebiasaan : Pasien rajin berolahraga 3kali/minggu, merokok 1
bungkus/hari, minum alkohol 2-3 gelas. Sebelumnya pasien sering minum jamu-
jamuan “antanan”
V. Riwayat kemasyarakatan – keagamaan – kegemaran
1. Rekreasi : sering
2. Kegiatan agama : sholat dan membaca Al-Quran
3. Silahturahmi keluarga : sering
4. Silahturahmi kawan seusia : jarang
5. Kegemaran : senang travelling
VI. Analisis keuangan
Pasien hidup berkecukupan dengan biaya hidup dari kos-kosan dan dari anak-
anaknya
VII. Anamnesis Sistem
1. Menurut pandangan pasien, keadaan kesehatan pasien secara umum saat ini sudah
membaik bila dibandingkan dengan sebelumnya. Pasien tidak merasakan keluhan apa-
apa
2. Jantung dan pembuluh darah
a. Nyeri/ rasa berat di dada : tidak ada
b. Sesak napas pada waktu kerja/ naik tangga : ada
c. Terbangun tengah malam karena sesak : ada

d. Sesak saat berbaring tanpa bantal (2 bantal) : ada


e. Bengkak pada kaki/ tungkai : ada
3. Paru
a. Sesak nafas : ada
b. Demam : ada
c. Batuk dahak : ada
4. Saluran lambung usus
a. Nafsu makan menurun : ada
b. Gangguan menelan : tidak ada
c. Gangguan mengunyah : tidak ada
d. Sakit perut : tidak ada
e. Perut terasa kembung : ada
f. Mencret : tidak ada
g. Tinja berdarah : tidak ada
h. Pembuangan tinja tiap hari (2 hari sekali) : tidak ada
5. Saluran kemih
a. Gangguan berkemih (termasuk inkontinensia urin) : ada
b. Nyeri waktu berkemih : ada
c. Pancaran air kemih kurang : tidak ada
d. Air kemih menetes : tidak ada
e. Bangun malam untuk berkemih : ada
6. Darah
a. Mudah timbul lebam di kulit : tidak ada
b. Bila luka, perdarahan lambat berhenti : tidak ada
c. Kelenjar getah bening bengkak : tidak ada
7. Sendi otot
a. Kekakuan sendi : ada
b. Bengkak sendi : tidak ada
c. Nyeri otot : tidak ada
8. Endokrin
a. Benjolan di leher (depan/samping) : tidak ada
b. Gemetaran : tidak ada
c. Lebih suka udara dingin : tidak ada
d. Banyak keringat : tidak ada

e. Lekas lelah/ lemas : ada


f. Berat badan turun : tidak ada
g. Operasi gondok : tidak ada
h. Rasa haus bertambah : tidak ada
i. Mudah mengantuk : tidak ada
j. Tidak tahan dingin : tidak ada
k. Sering lupa, sulit konsentrasi, lambat berpikir : tidak ada
l. Mudah tersinggung : tidak ada
9. Saraf
a. Pusing/sakit kepala (tanpa rasa berputar) : tidak ada
b. Kesulitan mengingat sesuatu/ konsentrasi : tidak ada
c. Pingsan sesaat : tidak ada
d. Gangguan penglihatan : ada
e. Gangguan pendengaran : tidak ada
f. Rasa baal/kesemutan anggota badan : tidak ada
g. Kesulitan tidur : ada
h. Kelemahan anggota tubuh (hanya terasa lemas) : tidak ada
i. Lumpuh : tidak ada
j. Kejang – kejang : tidak ada
10. Jiwa
a. Sering lupa : tidak ada
b. Kelakuan aneh : tidak ada
c. Mengembara : tidak ada
d. Murung : tidak ada
e. Sering menangis : tidak ada

VIII. PENAPISAN DEPRESI


1 Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ? Ya

2 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau


kesenangan anda ? Ya

3 Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Tidak

4 Apakah anda sering merasa bosan? Tidak

5 Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat? Ya

6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
Tidak

7 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda? Ya

8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Tidak

9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada pergi ke luar dan
mengerjakan sesuatu hal yang baru? Tidak

10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat


anda dibandingkan kebanyakan orang? Tidak

11 Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan? Ya

12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini? Tidak
13 Apakah anda merasa penuh semangat? Ya

14 Apakah anda merasa bahwa anda tidak ada harapan? Tidak

15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaanya dari anda? Tidak

Jumlah skor : 1
0-4 : normal
5-8 : depresi ringan
9-11 : depresi sedang
12-15 : depresi berat

IX. PENGKAJIAN STATUS MENTAL MINI


NILAI NILAI ORIENTASI
MAK
S

5 5 Sekarang ini (tahun, musim, bulan, tanggal, hari) apa?

Jawab : 2017, agustus, 28, senin


5 4 Kita berada dimana? (negara, propinsi, kota, rumah sakit,
lantai/kamar)

Jawab : Fatmawati

REGISTRASI

3 3 Sebutkan 3 objek : tiap satu detik, pasien disuruh mengulangi


nama ketiga objek tadi. Nilai 1 untuk tiap nama objek yang
disebutkan benar. Ulangi lagi sampai pasien menyebut dengan
Benar

ATENSI DAN KALKULASI

5 5 Penambahan 10 + 3 ?. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar.


Hentikan setelah 5 jawaban, atau eja secara terbalik kata
“WAHYU” (Nilai diberi pada huruf yang benar sebelum
kesalahan; misal UYHAW = 2 nilai)

MENGENAL KEMBALI

3 3 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama objek di atas tadi

BAHASA

2 2 Pasien disuruh menyebut : “pulpen” “jam”

1 1 Pasien disuruh mengulangi kata “JIKA TIDAK DAN ATAU


TAPI”

3 3 Pasien disuruh melakukan perintah : “Ambil kertas itu dengan


tangan anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”

1 1 Pasien disuruh membaca, kemudian melakukan perintah kalimat


“Pejamkan mata”

1 1 Pasien disuruh menulis dengan spontan (tulis apa saja)

1 1 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini


Jumlah : 29
24-30 : tidak ada gangguan kognitif
18-23 : gangguan kognitif ringan
0-17 : gangguan kognitif parah

X. STATUS FUNGSIONAL (INDEKS ADL BARTHEL)


No Fungsi Skor Skor Keterangan

Sebelum Setalah
sakit sakit

1. Mengendalikan rangsang 2 2 0 : tak terkendali/ tak


pembuangan tinja teratur

1 : kadang tak
Terkendali

2 : terkendali teratur

2. Mengendalikan rangsang 2 2 0 : tak terkendali/


berkemih kateter

1 : kadang tak
Terkendali

2 : mandiri

3. Membersihkan diri (seka 1 1 0 : butuh bantuan


muka, sisir rambut, sikat
1 : mandiri
gigi)

4. Penggunaan jamban, masuk 1 1 0 : butuh bantuan


dan keluar (melepaskan,
1 :butuh beberapa
memakai celana,
bantuan
membersihkan, menyiram)
2 : mandiri

5. Makan 2 2 0 : tidak mampu


1 : perlu ditolong

2 : mandiri

6. Berubah sikap dari 2 2 0 : tidak mampu


berbaring ke duduk
1 : perlu banyak
Bantuan

2 : bantuan minimal 1
orang

3 : mandiri

7. Berpindah/berjalan 2 2 0 : tidak mampu

1 : bisa dengan kursi


roda

2 : berjalan dibantu 1
orang

3 : mandiri

8. Memakai baju 2 2 0 : tergantung orang


lain

1 : sebagian dibantu
orang

2 : mandiri

9. Naik turun tangga 1 1 0 : tidak mampu

1 : butuh pertolongan

2 : mandiri

10. Mandi 1 1 0 : tergantung orang


lain

1 : mandiri

TOTAL SKOR ADL BARTHEL 16 16 20 : mandiri

22
12-19 : ketergantungan
ringan

9-11 : ketergantungan
sedang

5-8 : ketergantungan
berat

0-4 : ketergantungan
total

Interpretasi hasil:
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan ringan
9-11 : ketergantungan sedang
5-8 : ketergantungan berat
0-4 : ketergantungan total

XI. STATUS NUTRISI (MINI NUTRITIONAL ASSESSMENT : MNA)


Penapisan (screening)
A Apakah ada penurunan asupan makanan dalam jangka waktu 3 bulan oleh 1
karena kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, kesulitan menelan atau
mengunyah?

0 : nafsu makan yang sangat berkurang

1 : nafsu makan sedikit berkurang (sedang)

2 : nafsu makan biasa saja

B Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir 3

0 : penurunan berat badan lebih dari 3 kg

1 : tidak tahu

2 : penurunan berat badan kurang dari 3 kg


3 : tidak ada penurunan berat badan

C Mobilitas 2

0 : harus berbaring di tempat tidur atau menggunakan kursi roda

1 : bisa keluar dari tempat tidur/ kursi roda tetapi tidak bisa keluar rumah

2 : bisa keluar rumah

D Menderita stress psikologis dalam 3 bulan terakhir 2

0 : ya

2 : tidak

E Masalah neuropsikologis 2

0 : demensia berat atau depresi berat

1 : demensia ringan

2 : tidak ada masalah psikologis

F Indeks masa tubuh (IMT) 0

0 : IMT <19

1 : IMT 19 - <21

2 : IMT 21 - <23

3 : IMT >23

Total Poin : 10

Interpretasi:
12-14 : status gizi normal
8-11 : berisiko malnutrisi
0-7 : malnutrisi

XII. STATUS KUALITAS HIDUP (KO5D)


1. Mobilitas : saya cepat lelah bila berjalan jauh
2. Perawatan diri sendiri : tidak ada kesulitan untuk saya merawat diri
3. Aktivitas sehari-hari : tidak ada keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari
4. Rasa nyeri/ rasa tidak nyaman : tidak ada
5. Rasa cemas/ depresi : tidak ada

XIII. PEMERIKSAAN FISIK


TANDA VITAL

A Kesadaran Compos Mentis

B Tekanan Darah Berbaring: 130/70 mmHg

Duduk: -

Berdiri: -

C Nadi/menit Berbaring: 64 x/menit

Duduk: -

Berdiri: -

D Laju Pernapasan 22 x/menit

E Suhu Tubuh 36,7 C

F Berat Badan 52 kg

G Tinggi Badan 188 cm

H IMT 14,7

I LLA -

KULIT

A Kekeringan Ya

B Dekubitus Tidak

PENDENGARAN

A Pakai alat bantu dengar Tidak

B Dengar suara normal Ya


C Tes berbisik -

D Serumen impaksi Tidak

PENGLIHATAN

A Membaca huruf Koran dengan kacamata Tidak

B Tajam penglihatan -

C Terdapat katarak -

D Lokasi katarak -

E Temuan funduskopi -

MULUT

A Kebersihan mulut Terdapat gigi tanggal

B Gigi palsu Tidak

C Gigi palsu terpasang baik -

D Luka di bawah gigi palsu -

E Kelainan yang lain -

LEHER

A Derajat gerak Bebas

B Kelainan gondok Tidak

C Bekas luka operasi di leher Tidak

D Massa lain Tidak

E Kelenjar getah bening membesar Tidak

PEMBULUH DARAH Kanan Kiri

A Bising a. karotis Tidak Tidak

B Bising a. femoralis - -
C Denyut nadi perifer a. Teraba Teraba
dorsalis pedis

D Denyut nadi perifer a. Teraba Teraba


tibialis

E Edema pedis Tidak ada Tidak ada

F Edema tibia Tidak ada Tidak ada

G Edema sacrum Tidak ada Tidak ada

OTOT DAN RANGKA TL. BAHU SIKU TANGAN


BELAKANG

A Deformitas Tidak Tidak Tidak Tidak

B Gerak terbatas Tidak Tidak Tidak Tidak

C Nyeri Tidak Tidak Tidak Tidak

D Benjolan/radang Tidak Tidak Tidak Tidak

PANGGUL PAHA LUTUT TUNGKAI

A Deformitas Tidak Tidak Tidak Tidak

B Gerak terbatas Tidak Ada Tidak Tidak

C Nyeri Tidak Ada Tidak Tidak

D Benjolan/radang Tidak Tidak Tidak Tidak


SARAF OTAK

A Penghidu -

B Ketajaman penglihatan Berkurang

C Lapangan penglihatan Baik

D Fundus -

E Pupil Bulat, isokor

F Ptosis Tidak ada

G Nistagmus Tidak ada

H Gerakan bola mata Baik

I Sensasi kulit bola mata Baik

J Sensasi kulit rahang atas Baik

K Sensasi rahang bawah Baik

L Otot kunyah Baik

M Refleks kornea +

N Refleks muka mandibular +

O Raut muka simetris Ya

P Kekuatan otot wajah Baik

Q Pendengaran Baik

R Uvula Di tengah

S Refleks telan -

T Otot trapezius -

U Otot sternokleidomastoideus -

V Lidah -
SENSORIK ANGGOTA ANGGOTA
ATAS BAWAH

Kanan Kiri Kanan Kiri

A Tajam (nyeri) + + + +

B Raba + + + +

C Getar Tidak dilakukan

D Suhu Tidak dilakukan

MOTORIK

Kekuatan otot anggota ekstrimitas atas:


5555 5555

5555 5555

Kekuatan otot anggota gerak bawah:


5555 5555

5555 5555

Prognosis
Ad vitam : Dubia et bonam

Ad fungsionam : Dubia ad malam

Ad Sanationam : Dubia
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penyakit Ginjal Kronik


3.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit PGK adalah :
a) Kerusakan ginjal >= 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dari
ginjal dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulur (LFG) dengan
manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah,
urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi
b) LFG < 60 ml/menit per 1.73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Prevalensi penyakit ginjal kronik saat ini terus mengalami peningkatan diseluruh
belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami PGK dan 1
juta lebih dari mereka membutuhkan terapi ginjal.17 Penelitian di Jepang
memperkirakan sekitar 13% dari jumlah penduduk 8 atau sekita 13.3 juta orang yang
memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005.18 Menurut data CDC tahun 2010,
lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat yang menderita penyakit ginjal kronik, angka
ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Lebih dari 35% pasien diabetes menderita
penyakit ginjal kronik dan lebih dari 20% pasien hipertensi juga memiliki penyakit
ginjal kronik dengan insidensi penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65
tahun atau lebih.19 Studi di Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK
sebesar 30.7 perjuta penduduk dan angka kejadiannya sebesar 23.4 juta penduduk.20
Jumlah pasien yang menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus
meningkat, peningkatan ini sebanding dengan bertambahnya jumlah populasi,
peningkatan populasi usia lanjut, serta peningkatan jumlah pasien hipertensi dan
diabetes.

3.1.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronis


Etiologi penyakit ginjal kronis sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyakit ginjal kronis diantaranya adalah:
a) Glomerulonefritis (GN)
Glomerulonephritis adalah penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik
dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya.
Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating complex
dan terbentuknya deposit kompleks imun secara insitu. Kerusakan glomerulus
tidak langsung disebabkan oleh kompleks imun berbagai faktor seperti proses
inflamasi, mediator inflamasi dan komponen yang berperan pada kerusakan
glomerulus. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuria,
penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema,
kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan
sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik
dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab utama penyakit
ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.

b) Diabetes Melitus (DM)


Merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disgungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal
syaraf, jantung dan pembuluh darah. Masalah yang akan dihadapi oleh
penderita DM cukup kompleks sehubungan dengan terjadinya komplikasi
kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi
mikroangiopati adalah nefropati diabetic yang bersifat kronik progresif.
Perhimpunan nefrologi pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus
sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan insidensi
18,65%.

c) Hipertensi
Penyakit ginjal hipertensi merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal
kronik. Insidensi hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik < 10%.
Selain GN, DM, dan hipertensi terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik
seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik (lupus, vasculitis)
neoplasma serta berbagai penyakit lainnya.
3.1.3 Klasifikasi penyakit ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan causanya, GFR rate, dan
derajat albuminuria (CGA). Menurut diagnosis etiologi penyakit ginjal kronik
dapat digolongkan menjadi penyakit ginjal diabetes, penyakit ginjal non diabetes,
penyakit pada transplantasi dsb:
Table 1 klasifikasi penyakit Ginjal Kronik menurut etiologi

Penyakit Tipe Mayor


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal nondiabetes Penyakit glomerular (autoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit pada transplantasi Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Rejeksi kronik
Keracunan obat
Penyakit reccurent
Dikutip dari: National kidney foundation, K/DOQI. Clinical Practice Guidelines for
chronic kidney disease.
Sedangkan pengklasifikasian PGK menurut LFG adalah
Table 2 klasifikasi GGK berdasarkan LFG

Kategori GFR pada GGK


Kategori GFR GFR
G1 >= 90 Normal / tinggi
G2 60-89 Penurunan medium
G3a 45-59 Penurunan medium ke
moderat
G3b 30-44 Penurunan moderat ke parah
G4 15-29 Penurunan parah
G5 <15 Gagal ginjal
Dikutip dari : National Kidney Foundation, K/DOQI. Clinical Practice Guidelines for
chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification.
Dan klasifikasi terakhir adalah dilihat dari kadar albumin dalam urin, berikut
pengklasifikasiannya:
Tabel 3 klasifikasi GGK berdasarkan jumlah albuminuria

Kategori albuminuria untuk GGK


Kategori AER (albumin ACR (albumin
excretion rate) to creatinine
ratio)
A1 <30 <30 Peningkatan
normal ke
medium
A2 30-300 30-300 Peningkatan
moderat
A3 >300 >3000 Peningkatan
darah

3.1.4 Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik


Anemia secara fungsinal didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa
eritrosit sehingga tidak daoat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Anemia dapat ditunjukan
dengan keadaan kadar hemoglobin, hematocrit dan disusuk hitung eritosit yang berada
dibawah batas normal.
Harga normal hemoblobin bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin,
adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO menetapkan kadar
hemoglobin cut off point anemia pada pria dewasa adalah < 13 g/dl dan untuk wanita
dewasa yang tidak hamil adalah < 12 g/dl. Secara umum nilai normal dari blood count
pada dewasa adalah:
Tabel 4 Nilai normal blood count pada dewasa

Nilai normal pada dewasa


Pria Wanita
Hemoglobin 14-18 g/dl 12-16 g/dl
Hematocrit 41-50 % 36-45 %
MCV 80-96 IL 80-96 IL
MCH 27.5-33.2 pg
MCHC 32-36 g/dl
Retikulosit 0.5-2%
Leukosit 4.00-11.0 x 109/l
Platelet 150.000 – 400.000/mcl
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, sehingga selain
menegakkan diagnosis anemia, sedapat mungkin menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut.
Penegakan diagnosis anemia dengan cara gabungan dari penilaian klinik dan
laboratorik adalah cara yang paling ideal. Pendekatan diagnostic klinik meliputi
kecepatan timbulnya penyakit, berat ringannya anemia, serta gejala yang menonjol.
Dibawah ini algoritme pendekatan diagnosis anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium.

Anemia (hapusan darah


tepid an indeks eritrosit/
MCV, MCH, MCHC)

Hipokromik mikrositer Normositik makrositer


Normositik normositer
MCV < 80% MCH turun MCV > 100 MCH tinggi
MCV 80-100 MCH normal
eritrosit normal atau eritrosit turun
eritrosit turun
turun

Defisiensi besi, Anemia


talasemia, anemia Respon sumsum Respon megaloblastic
akibat penyakit kronik tulang menurun sumsum anemia pada
anemia sideroblastik (retikulosit tulang normal hipotiroid
normal atau (retikulosit
menurun) meningkat)
penyakit kehilangan
sumsum tulang darah atau
atau simtomatik anemia
anemia hemolitik

3.1.5 Definisi dan prevalensi anemia pada penyakit ginjal kronik


Anemia ikut berkontribusi untuk penurunan kualitas hidup pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik. Meskipun biasanya dalam tahap sedang dan tidak terdapat
symptom yang jelas, terjadinya anemia pada pasien PGK menyebabkan outcomes
yang buruk serta peningkatan biaya yang tinggi. National Kidney Foundation
mendefinisikan anemia pada penyakit ginjal kronik apabila kadar Hb < 13.5 g/dl pada
pria dan 12 g/dl pada wanita. Gejala dan tanda dari anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik adalah uremia, kelelahan, berkurangnya nafsu makan.
Anemia merupakan hal yang seing dijumpai pada pasien dengan penyakit
diabetes dan penyakit ginjal kronik.30 Di Amerika diperkirakan 1 dari 5 pasien dengan
diabetes dan penyakit ginjal kronik stadium 3 memiliki anemia. Penelitian yang
dilakukan diberbagai pusat kesehatan di Amerika juga menyatakan bahwa terdapat
47,7% dari 5222 pasien dengan PGK yang memiliki anemia.
Studi yang dilakukan di Rumah Sakit Sanglah, Bali, menyatakan bahwa
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronik adalah 84,5% dan 52 pasien
yang diteliti.32 Tingkat keparahan anemia akan berlanjut sejalan dengan derajat
keparahan dari penyakit ginjalnya.

3.1.6 Jenis Anemia berdasarkan kemungkinan etiologi pada pasien PGK


banyak faktor yang dapat menjadi etiologi anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik. Berbeda pada komplikasi dari peyakit ginjal kronik lainnya yang akan
membaik jika telah dilakukan hemodialysis, anemia pada penyakit ginjal kronik akan
tetap terjadi meskipun pasien telah menjalani terapi hemodialysis. Jenis anemia
berdasarkan kemungkinan etiologi yang dapat ditemukan pada pasien PGK yang
menjalani hemodialysis regular yaitu anemia post hemoragik, anemia defisiensi besi,
anemia penyakit kronik dan anemia hemolitik.
a) Anemia post hemoragik
Pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah
yang disebabkan oleh disfungsi platelet (trombopati). Salah satu penyebab
kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari proses terapi dialysis,
terutama hemodialysis. Selain karena hemodialisa, pasien dengan PGK
juga akan terjadi anemia karena kehilangan darah yang disebabkan oleh
perdarahan saluran cerna. Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa
pasien dengan penyakit PGK yang menjalani hemodialysis akan
kehilangan darah sebanyak 6.27 ml/hari karena perdarahan saluran cerna
sedangkan pada orang normal hanya kehilangan darah sbenyak
0.83ml/hari. Penelitian lainnya juga membuktikan bahwa pasien yang
menjalani terapi hemodialisa akan memiliki faktor risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas dibandingkan
dengan populasi umum. Temuan laboratorium pada anemia karena
kehilangan darah secara kronik akan menunjukan hasil sebagai anemia post
hemoragik, kriteria anemia post hemoragik morfologinya berupa eritrosit
normokromik mikrositik yang berlanjut hipokromik mikrositik leukosit
normal atau sedikit menurun retikulosit meningkat platelet pada awalnya
akan meningkat kemudian mengalami penurunan Fe serum menurun atau
normal. Dikutip dari: turgeon ML. Clinical Hematology: theory and
procedures. Philadelpia: Lippincott Williams dan Wilkins 2004.

b) Anemia defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi merupakan hal yang mudah ditemui di masyarakan
umum, sering pula ditemukan pada pasien diabetes dan penyakit ginjal
kronik dengan prevalensi diperkirakan sekitar 25 hingga 70%. Suvery yang
dilakukan pleh National Health and Nutrition Examination di Amerika
Serikat menunjukan 50% dari pasien dengan penyakit ginjal kronik
stadium 2-5 memiliki anemia defisiensi besi. Terganggunnya fungsi
hepsidin sebagai regulator besi utama pada tubuh mempengaruhi terjadinya
anemia defisiensi besi. Jika cadangan besi terus menerun, ferritin sebagai
indicator cadangan besi akan mengalami penurunan. Berkurangnya asupan
atau absorpsi dari besi, perdarahan saluran cerna serta naiknyya
penggunaan besi untuk produksi eritrosit sebagai respon terapi yang
menggunakan ertropoisesis stimulating agent (ESA) berpengaruh pada
anemia defisiensi besi pada PGK. Secara laboratoris untuk menegakkan
diagnosis anemia yang diakibatkan oleh defisiensi besi adalah morfologi
eritrosit. Jika cadangan besi terus menurun, ferritin sebagai indicator
cadangan besi akan mengalami penurunan.
c) Anemia penyakit kronik terdapat proses inflamasi kronik pada penyakit
ginjal kronik. Bertambahnya sitokin infalamasi seperti IL-6 akibat proses
inflamasi pada penyakit ginjal kronik menaikan produksi sekresi dari
hepcidin dihati, hepsidin akan menghambat absorpsi besi di usus serta
menghalangi transport besi dari retikuloendotelial system ke sumsum
tulang. Anemia karena karena proses inflamasi kronis umumnya
merupakan anemia derajat sedang, dengan mekanisme yang belum jelas.
Morfologi eritrosit hipokromik mikrositer MCV< 80 fl, MCHC > 31%,
besi serum menurun, ferritin naik dan TIBC turun.
3.2 PNEUMONIA
3.2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagai suatu peradangan pada
parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, parasit, jamur).
Mycobacterium tuberculosis bukan termasuk mikroorganisme yang didefinisikan
sebagai penyebab pneumonia (PDPI, 2003). Peradangan pada paru juga bisa
disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan, dll), yang disebut dengan pneumonitis

Gambar 1. Pneumonia
Selama satu hingga dua dekade terakhir ini, pasien yang berada di rumah sakit
yang sering ditemukan terinfeksi patogen MDR (Multi Drug Resistance), sebelumnya
pernah memiliki riwayat HAP (Hospital-Acquired Pneumonia). Faktor yang mungkin
berperan dalam hal ini adalah penggunaan antibiotik oral secara luas dan bebas,
transfer pasien terlalu dini dari ruang rawat inap ke rumah, peningkatan penggunaan
antibiotik injeksi pasien rawat jalan, peningkatan populasi lansia. Hal yang berkaitan
dengan kuman MDR ini yang mendasari klasifikasi pneumonia direvisi menjadi CAP
(Community-Acquired Pneumonia) dan HCAP (Health Care-Associated Pneumonia),
dengan subkategori HCAP berupa HAP (Hospital-Acquired Pneumonia) dan VAP
(Ventilator-Associated Pneumonia).

3.2.2 Epidemiologi
Selain menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan,
pneumonia seringkali tidak terdeteksi, salah diagnosis, dan dianggap sepele.
Berdasarkan data SKRT (Survey Kesehatan Rumah Tangga) Depkes tahun 2001,
pneumonia menjadi penyebab kematian nomor 2. Dari data SEAMIC Health Statistic
2001, pneumonia bersama influenza menjadi penyebab kematian nomor 6 di Indonesia
dan Thailand, serta nomor 3 di Singapura dan Vietnam.5 Di Indonesia, period
prevalence dari pneumonia cenderung menurun pada tahun 2013 dibandingkan tahun
2007 berdasarkan Riskesdas. Sedangkan tahun 2015 menurut data UNICEF, jumlah
kematian akibat pneumonia sedikit menurun dengan jumlah 920.000 per tahun atau
15% dari total kematian pada anak di bawah umur 5 tahun.

3.2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan tidak hanya oleh bakteri, namun juga oleh virus,
jamur, dan protozoa. Berdasarkan kepustakaan, bakteri Gram positif merupakan
penyebab tersering pneumonia komuniti, sedangkan bakteri Gram negatif merupakan
penyebab tersering pneumonia di rumah sakit, dan pneumonia aspirasi tersering
disebabkan oleh bakteri anaerob. Namun, sejak tahun 2003 tidak sedikit laporan
mengenai pneumonia komuniti dengan patogen penyebabnya adalah bakteri Gram
negatif. Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza type b (Hib) dan
Respiratory Syntical Virus (RSV) merupakan penyebab tersering pneumonia pada
orang sehat. Sedangkan Pneumocystis jiroveci merupakan salah satu patogen tersering
penyebab pneumonia pada pasien imunokompromais.

3.2.4 Faktor Risiko


Berikut ini kelompok yang mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi untuk
terkena pneumonia, yaitu:
1. Usia lebih dari 65 tahun.
2. Merokok.
3. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun karena penyakit kronis
lain.
4. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan
emfisema.
5. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan penyakit
jantung.
6. Kelompok dengan gangguan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ,
kemoterapi atau penggunaan steroid lama.
7. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan sedatif
atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
8. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus.

3.2.5 Patogenesis
Pneumonia terjadi karena adanya proses pertumbuhan mikroorganisme di
dalam paru, dan hal ini sangat ditentukan oleh mekanisme pertahanan paru dalam
mencegah patogen masuk dan berkembang. Risiko infeksi paru sangat dipengaruhi
oleh kemampuan mikroorganisme sampai dan merusak epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme sampai ke permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran secara hematogen atau pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut, kolonisasi merupakan cara tersering. Sedangkan
penyebaran secara inhalasi lebih sering pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria, atau jamur. Pada pneumonia, mikroorganisme biasanya masuk melalui
inhalasi atau aspirasi. Bakteri berukuran 0,5-2,0 um dapat mencapai bronkus terminal
atau alveolus melalui udara. sedangkan aspirasi bisa terjadi dari koloni yang menetap
di saluran napas atas. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring juga bisa terjadi
pada orang normal waktu tidur (terutama pada lansia), pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat. Walaupun jarang, pneumonia bisa
muncul akibat penyebaran patogen secara hematogen (contoh: endocarditis trikuspid)
atau ekstensi kontinu dari pleura atau rongga mediastinum yang terinfeksi.
Faktor mekanis sangat berperan dalam pertahanan tubuh host. Rambut dan turbulensi
aliran udara di hidung menjebak partikel besar masuk ke saluran napas bawah. Selain
itu, bentuk bercabang dari trakeobronkial akan menjebak partikel yang terlanjur
masuk bersama udara, dan sistem bersihan mukosiliar serta komponen antibakteri
lokal akan membersihkan atau membunuh patogen. Refleks batuk dan muntah
merupakan mekanisme pertahanan dalam mencegah aspirasi.
Ketika mikroorganisme mencapai alveolus, masih ada usaha dari sistem
pernapasan berupa sel makrofag alveolar yang secara ekstrem dan efisien membasmi
patogen. Namun, jika jumlah mikroorganisme melebihi kapasitas makrofag alveolar,
hal tersebut yang mendasari munculnya manifestasi pneumonia. Makrofag akan
memicu respon inflamasi yang akan menimbulkan gejala klinis dari pneumonia.
Pelepasan mediator IL-1 dan TNF akan menimbulkan demam. Sedangkan pelepasan
kemokin seperti IL-8 dan G-CSF akan menstimulasi pelepasan neutrofil dan akan
memproduksi leukosit perifer yang akan meningkatkan sekresi purulen. Mediator
yang dikeluarkan makrofag dan neutrofil yang banyak terbentuk akan mengakibatkan
bocornya dinding kapiler alveolus dan bisa mengakibatkan komplikasi berupa ARDS
(acute respiratory distress syndrome). Selain itu, eritrosit juga melewati membran
kapiler alveolus yang bisa menyebabkan hemoptisis.
Kebocoran kapiler ini dapat terlihat secara radiologis berupa infiltrat dan rales
pada auskultasi paru, dan kondisi hipoksemia bisa terjadi akibat alveolus yang terisi
cairan yang bisa memicu peningkatan kendali pernapasan. Peningkatan kendali
pernapasan ini bisa memicu kondisi alkalosis respiratorik. Penurunan komplians
akibat kebocoran kapiler, hipoksemia, peningkatan kendali napas, peningkatan
sekresi, dan bronkospasme akibat proses infeksi semua akan berujung pada sesak
napas. Jika kondisi ini berat, paru akan mengalami perubahan mekanis sebagai
kompensasi akibat reduksi kompliansnya dan mengakibatkan intrapulmonary shunting
of the blood dan berakibat pada kematian.

3.2.6 Patologi
Pneumonia melibatkan perubahan patologis serial. Berikut ini adalah zona yang
terbentuk selama proses peperangan antara mikroorganisme dengan host:
1. Zona luar : terjadi edema dengan adanya eksudat yang mengandung banyak
protein, dan seringkali bakteri, di alveoli. Zona ini sangat jarang terlihat, baik secara
klinis maupun melalui spesimen otopsi, karena cepat berlanjut menjadi fase hepatisasi
merah atau zona permulaan konsolidasi.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan eksudasi sel darah
merah. Bakteri biasanya bisa terlihat melalui spesimen alveolus yang diambil pada
zona ini.
3. Zona konsolidasi luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN banyak. Zona ini masuk ke dalam fase hepatisasi kelabu. Tidak ada
ekstravasasi eritrosit dan terjadi lisis eritrosit di alveolus. Neutrofil sebagai PMN
dominan, disertai deposisi fibrin dalam jumlah besar dan bakteri telah hilang.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit, dan makrofag alveolar.
Gambar 2. Fase hepatisasi pada pneumonia

3.2.7 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
 Pneumonia komuniti (CAP)
 Pneumonia nosokomial (HAP)
Pneumonia yang didapatkan pada saat perawatan di rumah sakit. Infeksi ini
sering terjadi pada pasien dengan penyakit berat, imunosupresi, terapi
antibiotik berkepanjangan atau pemakaian alat kesehatan invasif seperti kateter
intravaskular. Pasien yang mengalami infeksi pada saat pemakaian ventilator
mekanik ini disebut Ventilator acquaired pneumonia (VAP). Kuman Gram
negatif seperti Enterobecteriaceae sp. dan Pseudomonas aeruginosa serta
Staphylococcus aureus merupakan patogen yang paling sering ditemukan.
 Pneumonia aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang mengalami disabilitas berat
atau mereka yang mengalami refluks isi lambung dalam keadaan tidak sadar,
seperti pada stroke atau muntah berulang. Pneumonia yang terjadi sebagian
bersifat kimiawi karena efek asam lambung yang sangat iritatif dan bisa juga
diakibatkan oleh bakteri. Bakteri penyebab pneumonia aspirasi adalah flora
oral anaerob seperti Bacteroides, Prevotella, Fusobacterium,
Peptostreptococcus dan juga bakteri aerob seperti S. aureus, S. pneumoniae, H.
influenzae, dan Pseudomonas aeruginosa. Penyulit dalam kasus ini adalah
abses paru.
 Pneumonia pada penderita immunocompromised
Pneumonia ini sering terjadi pada pasien granulositopenia, dan gangguan
imunitas seluler.

2. Berdasarkan bakteri penyebab


 Pneumonia bakterial/tipikal
Tersering disebabkan oleh S. aureus, S. pneumoniae, H. influenzae, dan
Klebsiella pneumoniae. Gejala klinis didahului oleh gejala infeksi saluran
nafas akut bagian atas, nyeri menelan, demam suhu sampai diatas 40°C,
mengigil, batuk disertai dahak yang kental, kadang disertai pus atau darah.
 Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella, dan Chlamydia.
Gejalanya adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam tidak terlalu
tinggi , batuk non produktif, dan gejala sistemik berupa nyeri kepala serta
myalgia. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan ronki basah tersebar, dan
konsolidasi jarang terjadi. Laboratorium menunjukan leukositosis ringan, dan
hasil negatif untuk pewarnaan Gram maupun biakan dahak atau darah.
Sehingga dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan bakteri
atipik seperti isolasi biakan, deteksi antigen enzyme immunossays (EIA),
Polymerase Chain reaction (PCR), dan uji serologi.
o Pneumonia virus
o Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada pasien immunocompromised

3. Berdasarkan predileksi
 Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan
orangtua. Pneumonia terjadi pada satu lobus atau segmen dengan
kemungkinan sekunder akibat obstruksi bronkus, misalkan aspirasi atau
keganasan.

Gambar 3. Pneumonia Lobaris

 Bronkopneumonia. Dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, sering pada anak
dan orangtua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
Gambar 4. Bronkopneumonia

 Pneumonia interstisial. Melibatkan daerah interstisial dari alveolus. Penyebab


terseringnya adalah virus dan bakteri atipikal.

Gambar 5. Predileksi pneumonia


3.3 PNEUMONIA KOMUNITI
3.3.1 Etiologi
Secara global, Streptococcus pneumonia (pneumokokus) merupakan
patogen tersering penyebab pneumonia komuniti atau CAP. Pneumokokus
dianggap sebagai satu dari 9 bakteri yang menjadi fokus internasional dalam
laporan resistensi antibiotik global yang dikeluarkan oleh WHO tahun 2014.
Namun, kasus bakteri Gram negatif akhir-akhir ini lebih sering ditemukan
dibandingkan bakteri Gram positif.4 Berikut ini daftar mikroorganisme yang
umumnya berkaitan dengan pneumonia:
 Streptococcus pneumonia
 Patogen atipikal (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,
Legionella sp.)
 Respiratory Virus (RSV, virus influenza, adenovirus)
 Haemophilus influenzae
 Basil Gram negatif aerob : Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa
 Staphylococcus aureus (termasuk MRSA atau Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus)
Tabel 1. Faktor epidemiologis yang mengarahkan patogen penyebab CAP

3.3.2 Gambaran Klinis


Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam; mengigil,; suhu
tubuh meningkat hingga melebihi 40°C; batuk, baik non produktif maupun
produktif dengan dahak mukoid atau purulen atau disertai darah. Jika infeksi
nya berat, pasien mungkin bisa berbicara jelas atau mungkin bisa sangat
merasa sesak napas. Jika pleura terlibat, pasien bisa merasakan nyeri dada
pleuritik. Sekitar 20% pasien mengalami gejala gastrointestinal seperti mual,
muntah, dan/atau diare. Gejala lainnya termasuk lemas, sakit kepala, myalgia,
dan artalgia.4,5,6

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bervariasi menurut derajat konsolidasi paru dan ada
atau tidaknya efusi pleura signifikan. Takikardi bisa ditemukan sebagai
kompensasi peningkatan suhu. Pada inspeksi bisa terlihat gerakan dada tidak
simetris dengan paru yang sakit tertinggal gerakan dada nya. Umumnya terjadi
peningkatan frekuensi napas dan penggunaan otot bantu napas. Pada palpasi,
didapatkan fremitus mengeras, sedangkan pada perkusi dapat ditemukan
redup. Sedangkan pada auskultasi didapatkan suara napas bronkovesikuler
hingga bronkial yang bisa disertai ronki basah halus, yang kemudian berubah
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

3.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul
dan bahkan bisa mencapai 30.000/ul. Pada hitung jenis leukosit terdapat shift-
to-the-left dan terjadi peningkatan LED pada pemeriksaan darah. Diagnosis
etiologis dapat ditentukan melalui pemeriksaan dahak, kultur darah, dan
serologi. Analisis gas darah menunjukkan kondisi hipoksemia dan hiperkarbia.

Gambaran Radiologik
Foto toraks (PA/Lateral) merupakan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis pneumonia. Gambran radiologisnya berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan “air broncogram” serta gambaran kavitas. Foto
thoraks saja tidak dapat menentukan penyebab pneumonia, namun sebagai
petunjuk diagnosis etiologis seperti berikut ini:
 S. pneumoniae : gambaran pneumonia lobaris (air bronchogram)
 Klebsiela pneumoniae : penebalan / bulging fissure interlobaris,
terutama lobus kanan atas
 Pseudomonas aeruginosa : gambaran bronkopneumonia atau infiltrat
bilateral
 Virus: gambaran pneumonia intestisial

Pewarnaan Gram dan kultur sputum


Sputum yang adekuat untuk kultur adalah sampel yang mengandung
>25 neutrofil dan <10 sel epitel skuamosa per lapang pandang. Sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan kultur bervariasi; bahkan pada kasus yang terbukti
pneumonia pneumokokus, peluang kultur positif dari sampel sputum ≤50%.

Kultur darah
Hanya 5–14% pasien yang dirawat dengan CAP memiliki hasil kultur
positif, dan kebanyakan patogen yang ditemukan adalah S.pneumoniae. Oleh
karena itu, kultur darah tidak lagi dijadikan rekomendasi pemeriksaan
diagnostik untuk kasus pneumonia. Hanya beberapa pasien berisiko tinggi,
seperti pasien dengan neutropenia, atau defisiensi komplemen; gangguan hepar
kronik; atau CAP berat sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur darah.

3.3.4 Diagnosis
Diagnosis pneumonia bisa didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks, dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti bisa ditegakkan
jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala berikut:5
 Batuk-batuk bertambah
 Perubahan karakteristik dahak / purulen
 Suhu tubuh aksila ≥ 38°C / riwayat demam
 Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial, dan ronki
 Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500/ul
3.3.5 Diagnosis Banding
1. Tuberkulosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi parenkim paru
disebabkan oleh M. tuberculosis dengan transmisi melalui udara dan
masuk ke dalam tubuh lewat saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara
lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), sesak hingga
nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil,
keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang
terserang mengalami kolaps.
3. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), adalah suatu penyumbatan pada
saluran pernafasan yang bersifat irreversible. PPOK terdiri atas emfisema
dan bronkitis kronis. Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama
timbulnya penyakit ini.
4. Bronkitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-
paru). Penyakit ini biasanya bersifat akut, ringan dan pada akhirnya akan
sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit kronik
(misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut
bisa bersifat serius.

3.3.6 Derajat Keparahan Penyakit


Penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut
hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
seperti tabel di bawah ini:
Karakteristik penderita Jumlah poin
Faktor demografi
 Usia: laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun) - 10
 Perawatan di rumah +10
 Penyakit penyerta
Keganasan +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit serebrovaskuler +10
Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisik
 Perubahan status mental +20
 RR > 30x/menit +20
 TDS ≤ 90 mmHg +20
 Suhu tubuh < 35°C atau ≥40°C +15
 Nadi ≥ 125 kali/menit +10

Hasil laboratorium / radiologi


 AGDA : pH < 7,35 +30
 BUN > 30 mg/dL +20
 Na < 130 mEq/liter +20
 Glukosa > 250 mg/dL +10
 Ht <30% +10
 PO2 ≤ 60 mmHg +10

 Efusi pleura +10


Tabel 2. PORT Score
Menurut ATS, kriteria pneumonia berat bila dijumpai “salah satu atau lebih”
kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
 RR > 30x/menit
 PaO2/FiO2 < 250 mmHg
 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
 TDS < 90 mmHg
 TDD < 60 mmHg

Kriteria mayor:
 Membutuhkan ventilasi mekanik
 Infiltrat bertambah > 50%
 Membutuhkan vasopressor > 4 jam (syok septik)
 Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria pasien pneumonia komuniti dapat


dirawat adalah:
1. Skor PORT > 70
2. Skor PORT < 70 dengan dijumpai salah satu kriteria di bawah ini:
 RR > 30x/menit
 PaO2/FiO2 < 250 mmHg
 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
TDS < 90 mmHg
TDD < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

3.3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan
yaitu
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa.
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Dalam mengobati kasus pneumonia, keadaan klinis pasien perlu diperhatikan.
Rawat jalan dapat dilakukan bila klinis pasien baik dan tidak ada indikasi
rawat inap. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan adanya faktor modifikasi,
yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi oleh mikroorganisme
patogenik yang spesifik, seperti S.pneumoniae. Berikut ini adalah faktor
modifikasi:5
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
 Umur lebih dari 65 tahun
 Memakai obat-obat golongan beta laktam selama tiga bulan terakhir
 Pecandu alkohol
 Penyakit gangguan kekebalan
 Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif


 Penghuni rumah jompo
 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
 Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
 Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
 Bronkiektasis
 Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
 Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
 Gizi kurang

Pengobatan pneumonia dibagi dua antara lain :


a. Pneumonia Komuniti
 Kelompok I : pasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan
tanpa adanya faktor pengubah (risiko pneumokokkus resisten, infeksi
Gram negatif, risiko infeksi P. Aeruginosa-RPA.
 Kelompok II : pasien berobat jalan dengan riwayat penyakit jantung paru
dengan atau tanpa adanya faktor pengubah.
 Kelompok IIIa. : pasien dirawat di RS diluar ICU.
 Kelompok IIIb. : pasien tidak disertai tidak disertai penyakit jantung – paru
dan tidak ada faktor pengubah.
 Kelompok IV : pasien dirawat di ICU
a. Tanpa risiko persisten P. Aeruginosa-RPA
b. Dengan risiko

Pneumonia Nosokomial
Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial yang
tidak disertai faktor risiko untuk patogen resisten jamak, dengan onset dini pada
semua tingkat berat sakit adalah dengan antibiotik spektrum terbatas :

Patogen potensial Antibiotik yang disarankan


S.pneumoniae Seftriakson
H.influenzae Atau
Gram (-) sensitif antibiotik Levofloksasin, Moksifloksasin, atau
E.coli Siprofloksasin
K.pneumoniae Atau
Enterobacter spp. Ampisilin/sulbaktam
Serratia marcescens Atau
Ertapenem
Cat: Karena S.pneumoniae resisten penisilin makin sering terjadi, maka levofloksasin,
moksifloksasin lebih dianjurkan
Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Jika ada faktor risiko
resistensi, antibiotik diberikan secara kombinas. Namun jika tidak ada risiko maka
diberikan monoterapi. Modifikasi antibiotik biasanya diberikan setelah didapat hasil
bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respon terhadap antibiotik dapat
dievaluasi dalam 72 jam.

3.3.8 Komplikasi
1. Efusi pleura
2. Empiema
3. Abses paru
4. Pneumotoraks
5. Gagal napas
6. Sepsis

3.3.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis pneumonia adalah baik, hal tersebut
tergantung dari faktor penderita, patogen penyebab, dan penggunaan antibiotik
yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif juga menjadi faktor
penting yang akan mempengaruhi prognosis penyakit. Angka kematian
penderita CAP < 5% pada penderita rawat jalan, sedangkan penderita rawat
inap menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA),
angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu
kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%,
kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya
risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas. Pasien muda dengan pneumonia tanpa komorbid biasanya memiliki
prognosis baik dan dapat sembuh total setelah 2 minggu.

3.4 Gagal Jantung Kongestif


3.4.1 Definisi CHF
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrient.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologi berupa kelainan
fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada
kalua disertai peninggian volume diastolic secara abnormal. Penamaan gagal
jantung kongestif yang sering digunakan akalau terjadi gagal jantung sisi kiri
dan sisi kanan.
3.4.2 Etiologi CHF
Gagal jantung kongestif fapat disebabkan oleh:
1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi
arterial, dan penyakit degenerative atau inflamasi.
2) Arteriosclerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degenerative
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degenerative
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5) Penyait jantung lain
gagal jantung fapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semilunar), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
pericardium, perikarditif, konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.
3.4.3 Patofisiologi CHF
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan
satu system tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal
yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung.
Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer, fan hipertrofi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam
oleh ginjal dan akivasi system saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilitas otot jantung (myocardial function). Pada
beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung
intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsic tetapi
secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung
yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah didalam tubuh.
mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih baik
konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR x SV
dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup.
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan system saraf simptis
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung,
bila mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang
memadai, maka volume sekuncup yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung.

3.4.4 Manifestasi Klinis CHF


Manifestasi klini gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,
beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-riamh jantung yang
terlihat apakah kedia ventrikel mengalami kegagalan serta dapat derajat
gangguan penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif hampir selalu ditemukan :
1) Gejala paru, berupa dyspnea, ortopnea, nocturnal dypnea, atau PND
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguria, nokturi, mual, muntah
asites hepatomegali dan edema perifer.
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk
sampai delirium.

3.4.5 Komplikasi CHF


1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam
atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau Ep) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung
(dengan digoxin atau beta blocker dan pemberian warfarin)
3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretic dengan
dosis ditinggikan.
4) Aritmia ventrikel sering dijumpai bisa menyebabkan sinkop atau sudden
cardiac death (25-50% kematian CHF) pada pasien yang berhasil diresusitasi
amiodarone, beta blocker dan vibrilator yang ditanam mungkin turut
mempunyai peranan.

3.4.6 Penatalaksanaan CHF


Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:
1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-
bahan farmakologis
3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretic
diet dan istirahat.

3.4.7 Terapi farmakologi


1) Ace Inhibitor
Ace terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hyperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang) oleh sebab itu ACEI
hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal.
Indikasi ACEI fraksi ejeksi ventrikel kiri <= 40% dengan atau tanpa
gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
- Riwayat angioedema
- Stenosis renal bilateral
- Kadar kalium serum > 5.0 mmol/ L
- Stenosis aorta berat

Inisiasi pemberian ACEI


- Memeriksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
- Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1-2 minggu setelah
terapi ACEI

2) Diuretic
Diuretic direkomendasikan pada pasien gaga; jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I). tujuan dari pemberian
diuretic adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat ) dengan
dosis yang serendahmungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk
menghindari dehidrasi atau resistensi.
- Pada saat inisiasi pemberian diuretic periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
- Dianjurkan untuk memberikan diuretic pada saat perut kosong

Sebagian besar pasien mendapat terapi loop diuretic dibandingkan


tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretic loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.

3.5 GERIATRI
3.5.1 Definisi
Pengertian usia lanjut, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 79 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di
Rumah Sakit, adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Geriatri merupakan pasien lanjut usia (di atas 60 tahun) yang memenuhi
karakteristik multipatologi, polifarmasi, daya cadangan faali rendah, gejala dan
tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional dan gangguan
nutrisi. Multipatologi adalah keadaan dimana pasien memiliki lebih dari satu
penyakit yang biasanya sudah berjalan lama dan sifatnya degeneratif. Biasanya
penyakitnya bersifat kronik dan degeneratif. Hal tersebut mengakibatkan
pasien geriatri mengkonsumsi banyak obat atau polifarmasi. Selain itu pada
pasien geriatri terdapat penyimpangan gejala dan tanda dari penyakit, sehingga
penyakit tersebut akan sulit untuk dikenali.
Karakteristik pasien geriatri yang lain adalah daya cadangan faali yaitu
terjadi penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ sehingga
menyebabkan pasien geriatri sulit untuk pulih kembali. Selain itu, kemampuan
seorang geriatri untuk melakukan aktivitas sehari-hari akan terganggu. Untuk
itu diperlukan pemeriksaan khusus yakni status fungsional yang
menggambarkan kemampuan umum seseorang untuk berperan secara mandiri.
Kondisi yang juga sering terjadi pada pasien geriatri adalah gangguan nutrisi,
gizi berkurang, atau bahkan gizi buruk. Gangguan nutrisi ini secara langsung
dapat mempengaruhi proses penyembuhan pasien.
3.5.2 Pengkajian paripurna dan terpadu
Pengkajian pasien geriatri tidak semudah pengkajian pasien dewasa.
Untuk itu perlu dilakukan komponen pengkajian paripurna yakni meliputi
aspek fisik, fungsional, psikologik, dan sosial. Pengkajian geriatri juga harus
bersifat terpadu yakni melibatkan
dokter di berbagai bidang, petugas paramedik, dan non medis. Comprehensive
geriatric assessment (CGA) adalah pengkajian pasien geriatri yang meliputi
status geriatri, status fungsional, status kognitif, dan status emosional.
Pengkajian paripurna geriatric ini bertujuan untuk mendapatkan keterpaduan
dalam tatalaksana geriatric sehingga tatalaksana menjadi efektif dan efisien.
3.5.3 Status Status fungsional
Agar nilai pengkajian masalah status fungsional geriatri ini menjadi
objektif maka dilakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu, antara lain
dengan indeks aktivitas kehidupan sehari – hari (activity of daily living/ADL)
Barthel dan Katz. Indeks barthel mempunyai 10 item untuk menilai
kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat
juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsiolnal. Pasien
dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program untuk
memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih,
mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien.
3.5.4 Status kognitif
Gangguan kognitif ini dapat menyulitkan dokter dalam melakukan
anamnesis. Kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan program
kesehatan yang telah ditetapkan oleh dokter akan sulit untuk diikuti oleh
pasien yang memiliki gangguan pada faal kognitifnya. Gangguan faal kognitif
bisa ditemukan pada derajat ringan maupun yang lebih berat (demensia ringan
sedang dan berat) hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan
terapeutik tersendiri. Secara objektif penapisan adanya ganguan faal kognitif
dilakukan dengan cara pemeriksaan neuropsikiatri seperti Abbreviated Mental
Test, The Mini-Mental State Examination (MMSE), The Global Deterioration
Scale (GDS), dan The Cinical Dementia Ratings (CDR).
Sistem skoring yang paling sering digunakan adalah MMSE. Jika skor
total <24 menunjukkan adanya gangguan. Jika skor <21 maka risiko untuk
demensia meningkat. Skor ini juga memperhitungkan factor pendidikan
pasien. Bagi pasien lulusan sekolah menengah, maka skor yang menunjukkan
adanya gangguan kognitif adalah ≤ 21. Jika pasien lulusan sekolah menengah
atas, skor yang bermakna adalah < 23. Dan pasien lulusan universitas adalah <
24. Untuk keparahannya dibagi menjadi tiga yakni:
24-30 : tidak ada gangguan kognitif
18-23 : gangguan kognitif ringan
0-17 : gangguan kognitif parah
3.5.5 Status emosional
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering terjadi pada
pasien berusia di atas 60 tahun. Beberapa faktor biologis, fisik, psikologis, dan
sosial membuat pasien lansia rentan terhadap depresi. Faktor biologis
diantaranya adalah perubahan system saraf pusat seperti meningkatnya
aktivitas monoamine oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmitter
katekolaminergik, serta komorbid peyakit vaskular dengan lesi di daerah
ganglia basalis dan prefontral otak. Hal tersebut menyebabkan kemunduran
fungsi motorik, kurangnya kemampuan penilaian, dan terganggunya fungsi
eksekusi.
Dengan kondisi depresi pasien geriatri akan lebih sulit untuk diajak
bekerja sama dalam upaya penyembuhan secara terpadu. Pengkajian status
emosional pasien dengan menggunakan geriatric depression scale (GDS) yang
terdiri atas 15 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya
gangguan depresi atau gangguan penyesuaian diri. Interpretasi dari GDS
adalah:
0-4 : normal
5-8 : depresi ringan
9-11 : depresi sedang
12-15: depresi berat
3.5.6 Status nutrisi
Status nutrisi memiliki dampak utama pada timbulnya penyakit dan
hendaya pada usia lanjut. Prevalensi malnutrisi meningkat seiring dengan
timbulnya kelemahan dan ketergantungan fisik. Pasien dengan penyakit
gastrointestinal, respirasi, dan neurologis dengan malnutrisi mendapat lebih
banyak obat sejumlah 9%, dan mengalami perawatan lebih sering sebanyak
26% dibanding pasien yang bergizi baik.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi
(anamnesis asupan), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Pada
anamnesis bisa menggunakan Mini Nutritional Assessment. Terdapat enam
aspek yang diperiksa dengan jumlah skor paling tinggi adalah 14. Interpretasi
dari MNA adalah sebagai berikut:
12-14 : status gizi normal
8-11 : berisiko malnutrisi
0-7 : malnutrisi
Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa kalori energi, protein,
lemak, serat, dan cairan yang rata – rata dikonsumsi pasien. Pemeriksaan
antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh
dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa
muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai
untuk mengukur tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang
dapat diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status
nutrisi secara biokimiawi. Instrumen untuk mengkaji status fungsional,
kognitif, dan emosional.

Sindrom geriatri
Sindrom geriatri adalah kondisi kesehatan multifaktorial yang terjadi akibat
akumulasi dari gangguan pada beberapa sistem tubuh yang menyebabkan pasien
lansia menjadi rentan. Sindrom geriatri berkaitan dengan proses menua dan
multipatologi. Sindrom geriatri dapat disingkat dengan 14 “I”, yaitu:
Immobility (imobilitas)
Instability (instabilitas)
Incontinence (inkontinensia urine dan alvi)
Intelectual impairment (gangguan fungsi intelektual dan kognitif, seperti demensia)
Infection (infeksi)
Impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran)
Iritable colon (iritasi usus besar membuat perdarahan saluran cerna
atau diare)
Isolation (isolasi diri menjadi depresi)
Inanition (malnutrisi)
Impecunity (kemiskinan atau finansial yang berkurang)
Iatrogenesis (misalnya polifarmasi)
Insomnia (gangguan tidur)
Immune deficiency (defisiensi sistem imun)
Impotence (disfungsi ereksi)
Berdasarkan uraian diatas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan pada
pasien geriatri harus bersifat holistik atau paripurna. Mengelola seluruh masalah
secara keseluruhan tidak hanya dari masalah bio-psiko-sosialnya saja. Pengelolaan
pasien geriatri harus senantiasa memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif, promotif
dan preventif.
BAB IV
ANALISIS MASALAH

4.1 Edema paru e.c Chronic Kidney Disease Stage V dengan Overload
Tn. R 68 tahun mengalami edema paru yang disebabkan karena Chronic Kidney
Disease stage V. Secara garis besar penyebab terjadinya edema paru yaitu kardiogenik
dan non-kardiogenik. Penyebab kardiogenik antara lain akibat terjadinya peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena
pulmonalis. Dimana pada anamnesis didapatkan adanya sesak napas yang bersifat tiba-
tiba, dyspneu on exertion +, ortopneu +, dan paroxysmal nocturnal disease +, anamnesis
ini tidak dapat membedakan apakah pasien tersebut sesak akibat kardiogenik atau non-
kardiogenik, maka dari itu perlu ditanyakan pertanyaan tambahan seperti adanya riwayat
nyeri dada atau sakit jantung. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan peningkatan
dari JVP, adanya bunyi gallop dan ronkhi basah pada auskultasi, pergeseran batas
jantung dari perkusi. Dari pemeriksaan penunjang seperti lab darah akan didapatkan
peningkatan enzim jantung, gambaran EKG iskemik/infark, rontgen akan didapatkan
CTR >50% (kardomegali), dan pada echocardiography didapatkan penurunan dari
ejection fraction.
Sementara itu pada edema paru non kardiogenik, biasa disebabkan oleh banyak hal
seperti akibat pneumonia berat, kontusio paru, sepsis, syok hipovolemik, gagal ginjal,
neurogenik, sindrom nefrotik, hiponatremi, dan lainnya. Biasanya pada anamnesis akan
didapatkan gambaran sesak yang sama dengan edema paru kardiogenik dan ditambah
ada atau tidaknya penyakit yang mendasari selain penyakit jantung, dari pemeriksaan
fisik gallop (-), peningkatan JVP (-), pergeseran batas jantung (-). Dari pemeriksaan
penunjang biasanya lab darah enzim jantung normal, EKG normal, dari foto rontgen
tidak didapatkan adanya perbesaran CTR.
Pada pasien ini, edema paru lebih condong diakibatkan karena CKD stage V
overload yang dimiliki, karena dari anamnesis pasien didapatkan pasien sesak, sesak
dirasa saat aktivitas, sering terbangun malam hari karena sesak, dan tidur menggunakan
3 bantal, bengkak pada kedua tangan dan kaki, urin menjadi lebih sedikit, riwayat HD
cito, dan sudah dilakukan hemodialisa sebanyak 3 kali dari awal pasien masuk, pasien
tidak ada riwayat sakit jantung dan pada 3 tahun lalu memiliki riwayat sakit kista ginjal
dan tidak dilakukan operasi, pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pergeseran batas
jantung, gallop (-), JVP (-), dan pada pemeriksaan penunjang EKG didapatkan gambaran
normal, tetapi pada foto rontgen didapatkan adanya kardiomegali. Sehingga edema paru
karena CHF tidak dapat dicoret, karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang terdapat beberapa kriteria yang masuk ke dalam kriteria
framingham, sehingga CHF tidak dapat dicoret sepenuhnya. Tata laksana yang harus
dilakukan yaitu
Airway – Breathing – Circulation
 Airway : memastikan tidak ada sumbatan jalan napas
 Breathing : pasang oksigen nasal kanul 4 lpm dan cek saturasi oksigen serta
RR
 Circulation : cek nadi dan tekanan darah

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien diberikan terapi :


Terapi non-farmakologi
Terapi nutrisi

Terapi farmakologi
 Loop diuretic ( furosemide 1 x 40 mg i.v )
 Bicnat 3 x 500 mg
 CaCo3 3 x 500 tab
 Asam folat 5 mg 1 x 3 tab
 B12 1 x 50 mg
 Angiotensin II Receptor Blocker ( Valsartan 1 x 80 mg )

4.2 Chronic Kidney Disease Stage V Overload dengan anemia dan hipokalsemia
dan hiponatremia et causa Polikistik Ginjal
Chronic Kidney Disease atau biasa disebut dengan gagal ginjal kronik adalah
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural dan atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Penyakit ini
memiliki 5 derajat yaitu derajat 1 bila kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
meningkat (>90), 2 bila kerusakan ginjal dengan peningkatan GFR ringan (60-89), 3
bila kerusakan ginjal dengan peningkatan GFR sedang (30-59), 4 kerusakan ginjal
dengan peningkatan GFR berat (15-29), dan 5 bila gagal ginjal (<15 atau dialisis).
Anemia pada pasien GGK sering terjadi pada banyak keadaan. Selain karena
kurangnya stimulasi eritropoietin anemia pada GGK juga dapat disebabkan karena
perdarahan saat hemodialisa. Gejala anemia dapat ditemukan berupa lemas, letih,
lunglai, konjungtiva pucat dengan hasil lab menunjukan penurunan Hb pada laki-laki<
13 g/dl dan pada perempuan < 12g/dl. Gambaran anemia pada pasien ini berupa
normositik normokrom hal ini diduga dapat karena disebabkan perdarahan saaat
hemodialisa ataupun gambaran anemia pada penyakit ginjal kronik karena kurangnya
stimulasi eritropoietin sehingga pembentukan sel darah merah menurun. Penyakit
ginjal kronik juga dapat menyebabkan terjadinya hipokalasemia akibat penurunan
metabolisme vitamin D di ginjal menurun, dan menyebabkan absorbsi dari kalsium di
usus menurun, menyebabkan aktivasi PTH untuk meningkatkan ambilan kalsium
ditulang, selain itu pada gagal ginjal kronik akan terjadi hiperfosfatemia, dapat
terjadinya retensi Na karena menurunnya filtrasi ginjal. Dari hasil anamnesis
didapatkan pasien sesak, sesak dirasa terus-menerus dan tidak menghilang saat
istirahat, lemas, mual, bengkak pada tangan dan kaki, BAK sedikit, adanya riwayat
sakit kista ginjal 3 tahun lalu dan tidak di operasi, 3 bulan lalu pasien ke RSUD pasar
minggu untuk kontrol dan dinyatakan untuk dilakukan HD tetapi pasien menolak
karena merasa takut. Saat pasien masuk RSF, pasien dilakukan HD cito, dan selama
ini sudah dilakukan 3 kali HD, pasien sudah dilakukannya transfusi. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan adanya konjungtiva anemis +/+, hipertensi, dan dari pemeriksaan
penunjang adanya penurunan Hb, Ht, peningkatan ureum dan kreatinin, penurunan
GFR, hipokalsemia, hiponatremia, asidosis metabolik. Pada pemeriksaan penunjang
USG didapatkan ukuran kedua ginjal membesar dengan gambaran polikistik bilateral.
Untuk selanjutnya, disarankan dilakukakan pemeriksaan SI, TIBC, dan feritin.
Tatalaksana yang harus diberikan adalah
4.3 Heart Failure
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan
nutrient. Salah satu cara penegakkan diagnosis adanya gagal jantung yaitu dengan
menggunakan kriteria framingham, dimana pada pasien ini didapatkan 3 kriteria
mayor yaitu ortopneu +, dan paroxysmal nocturnal disease +, adanya gambaran
kardiomegali pada foto rontgen dan adanya edema paru akut, dan terdapat 2 kriteria minor
yaitu adanya bengkak pada kaki dan dyspneu on exertion +. Maka pada pasien ini
dibutuhkan pemeriksaan tambahan yaitu echocardiography untuk menentukan ejection
fraction. Dan untuk pengobatan pasien ini dapat diberikan ARB ataupun diuretik.
Menurut Perki 2015, ACEI terkadang dapat menyebabkan perburukan ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema meskipun jarang. Diuretik
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti.
Tujuan dari pemberian diuretk adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan
pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.
Pada pasien ini, baiknya diberikan golongan diuretik furosemid dan
spironolakton karena pasien menunjukan gejala kongesti.
4.4 Community Acquired Pneumonia
Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagai suatu peradangan pada
parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, vrus, jamur ataupun
parasit. Peradangan pada paru juga dapat disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dll) yang disebut dengan
pneumonitis. Pneumoni berdasarkan klini dan epidemiologis dibagi menjadi 4 macam,
yaitu pneumonia komuniti (CAP), nosokomial (HAP), asprasi dan pneumonia pada
penderita immunocompromised. Berdasarkan etiologinya terdapat pneumonia bakterial
typical, atypical, virus dan jamur yang sering terjadi pada pasien immuncompromised.
Pada pasien didapatkan adanya riwayat batuk sejak ± 6 bulan, batuk hilang timbul,
batuk berdahak, dahak kadang dapat dikeluarkan dan berwarna kuning kehijauan,
pasien terdapat demam, demam hilang timbul, dan paling tinggi dengan suhu 39.1
derajat, dan terdapat sesak sebelum pasien masuk RS. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya ronkhi basah kasar pada bagian basal, dan pada pemeriksaan
penunjang didapatkan peningkatan leukosit, peningkatan neutrofil, dari foto rontgen
didapatkan adanya infiltrat di kedua paru bagian perihiler dan parakardial dengan
penebalan pleura apikal kedua hemithoraks. Maka dari itu dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan LED, kultur dahak pada pasien. Untuk pengobatannya dapat diberikan
Tatalaksana pada pasien ini daat diberikan O2 nasal kanul dan pemberian antibiotik
sefalosporin generasi ketiga.

4.5 Sindrom geriatri (infeksi, insomnia, dan instabilitas) tanpa depresi , tanpa
gangguan kognitif, ketergantungan ringan, dan nutrisi baik
Pasien berusia 68 tahun dan adanya beberapa dari 14 “I”. Pasien ini terdapat 4
I yaitu infection, iatrogenic, insomnia, dan instabillity. Dimana pada pasien ini
terdapat infeksi yaitu pneumonia, pasien juga sering merasa ingin jatuh terutama saat
naik tangga, sehingga pasien harus berpegang pada tangga atau dengan bantuan orang
lain, pasien juga mengatakan bahwa saat terbangun malam hari, pasien susah untuk
memulai tidur kembali, dan juga pasien memiliki lebih dari 2 penyakit, dimana obat
yang diminum banyak. Dari pemeriksaan dengan Compreherensive Geriatric
Assessment, yang terdiri dari status geriatri, status fungsional, status kognitif, dan
status emosional. Untuk mengukur status fungsional pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan Barthel dan didapatkan skor 16 yang menandakan pasien mengalami
ketergantungan ringan. Status kognitif pasien diperiksa menggunakan The Mini
Mental State Examination (MMSE) dan pada pasien didapatkan skor 29 yang
mengindikasikan tidak ada gangguan kognitif pada pasien. Pada status emosional
dengan Geriatric Depression Scale (GDS) didapatkan skor 5 yang berupa depresi
ringan. Pada status geriatric nutrisi pasien dengan pemeriksaan Mini Nutritional
Assessment (MNA) didapatkan skor sebanyak 10, yaitu nutrisi nomal.
4.6. Sindrom Dispepsia
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas
atau dada bawah. Selain itu ada yang menyatakan bahwa dispepsia merupakan kumpulan
gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak pada perut bagian atas yang menetap
atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasapenuh saat makan, cepat kenyang,
kembung, sendawa, anoreksia, mual muntah, heartburn, dan regurgitasi.
Dispepsia terbagi menjadi 2 klasifikasi yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia
organik. Pada dispepsia fungsional dibagi lagi menjadi 2 yaitu postprandial distress
syndrome yaitu perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang dan epigastric
pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu
terkait dengan makan.
Beberapa penyebab dispepsia antara lain karena gastritis, hepatitis, kolesistitis,
kolelitiasis, pankreatitis, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan lainnya. Pada pasien ini
kemungkinan penyebab terjadinya sindrom dispepsia adalah karena pasien memiliki
riwayat gastriritis sejak muda dan dapat juga karena gagal ginjal yang terjadi pada pasien
ini. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya sindrom dispepsia yaitu karena
stress dari pasien, makan yang tidak teratur ataupun makan dan minum yang iritatif
seperti kopi, teh, ataupun minuman yang berkarbonasi
Untuk pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan esofagogastroduodenoskopi
untuk mendapatkan kelainan apa yang terjadi pada lambung pasien tersebut terutama
apabila dispepsia terjadi pada pasien usia diatas 55 tahun, maka EGD indikasi untuk
dilakukan dan untuk pengobatannya sendiri dapat diberikan obat golongan PPI seperti
omeprazole, lansoprazole, maupun esomeprazole.
DAFTAR PUSTAKA

1. Siti Setiati. Geriatric medicine, sarcopenia, frailty dan kualitas hidup pasien usia
lanjut: tantangan masa depan pendidikan, penelitian dan pelayanan kedokteran
Indonesia. Jurnal Kedokteran Indonesia. 2013; 1(3): 234-242
2. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine 18th ed. USA: Mc-Graw Hill;
2012
4. Sharon KI, Stephanie S, Mary ET, George AK. Geriatric syndromes: clinical,
research, and policy implications of a core geriatric concept. J Am Geriatr Soc. 2007;
5(5): 780-791
5. World Heart Organization. Focus on Pneumonia. Phillipines: WHO Press; 2014: pp.1-
3
6. UNICEF Global Databases 2015. http://data.unicef.org/child-health/pneumonia.html
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
8. Catia C, Ignacio ML, Carolina GV, Alicia SJ, Antoni T. Microbial etiology of
pneumonia: epidemiology, diagnosis, and resistance patterns. Int. J. Mol. Sci. 2016;
17: 1-18
9. PDPI. 2003. Pneumonia Nosokomial-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
10. Fauci, et al,. 2009. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th Edition. By The Mc Graw-
Hill Companies In North America.
11. South African Thoracic Society. Management of Community-Acquired Pneumonia in
Adults. S Afr Med J 2007; 97(12): 1295-1306
12. Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta tahun 2002.
13. Robbins, S, dkk. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol. 2. EGC. Jakarta: 2007
14. Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. 2012. Dispepsia, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Divisi Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Anda mungkin juga menyukai