Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

Pasien Tn. A.P Dengan Tuberkulosis Paru, DM Tipe 2, Post


Hematemesis, Hipokalemia Dan Meningitis Tuberkulosis

PENULIS :

I DEWA WISNU PUTRA


NPM : 21710172

PEMBIMBING :

dr. ARIES SUBIANTO, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGIL KABUPATEN PASURUAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIAYA KUSUMA


SURABAYA
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

Pasien Tn. A.P dengan TB Paru, DM Tipe 2, Hemateemsis,


Hipokalemia, Hiperurisemia

Telah dipresentasikan pada tanggal

Hari :

Tanggal :

Oleh:
I DEWA WISNU PUTRA

Disetujui Oleh:

Bagian Paru

Ilmu Penyakit Dalam Rsud Bangil Kota Pasuruan

dr. Aries Subianto, Sp.P


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kemudahan kepada
penulis untuk menyelesaikan Tugas Laporan Kasus Paru dengan judul “Pasien

Tn. A.P dengan Diagnosa DM Tipe 2, Hematemesis, Meningitis


TB, Hipokalemi, TB Paru

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai


penyakit TB Paru, Hematemesis, DM Tipe 2, Hipokalemi dan Hiperurisemia.
Tugas Laporan Kasus Paru ini dapat penulis selesaikan karena dukungan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada:

1. Dokter Aries Subianto, Sp.P selaku selaku pembimbing yang telah


memberikan bimbingan, arahan, masukan serta dorongan dalam
menyelesaikan Tugas Laporan Kasus ini.

Pada penulisan Tugas Laporan Kasus, penulis sadar masih banyak terdapat
kekurangan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan
segala kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan tugas laporan kasus
ini.

Bangil, 29 April 2022

I Dewa Wisnu Putra

NPM. 21710172
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................3

DAFTAR ISI..............................................................................................................................4

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................5

A. Latar Belakang..........................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................7

LAPORAN KASUS...................................................................................................................7

A. Identitas Pasien :........................................................................................................7

B. Riwayat Penyakit.......................................................................................................7

C. Foto Thoraks............................................................................................................10

D. Hasil Pemeriksaan Laboratorium..........................................................................11

E. FOLLOW UP...........................................................................................................15

BAB III.....................................................................................................................................19

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................19

A. Definisi......................................................................................................................19

B. Epidemiologi............................................................................................................20

C. Etiologi......................................................................................................................21

D. Manifestasi Klinis....................................................................................................23

E. Patofisiologi..............................................................................................................26

F. Diagnosa...................................................................................................................30

G. Penatalaksanaan......................................................................................................36

BAB IV....................................................................................................................................49

KESEIMPULAN......................................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................50
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis. Tubekculosis bisa menyerang bagian paru – paru dan dapat menyerang
semua bagian tubuh (Puspasari, 2019). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman
mycobacterium tuberculosis menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya. Bakteri masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang
baik terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah dan menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening (Sofro, dkk, 2018).
Meninginitis Tuberkulosis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater,
dan cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid
di sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel.3 Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70- 80%
dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner dan
0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, penyakit
ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di negara
maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Umumnya meningitis tuberkulosis berhubungan erat
dengan koinfeksi HIV (Giok, dkk, 2016).
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit metabolik dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-
sel beta (β) langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (Yosmar, Almasdy, dan Rahma, 2018).
DM tipe 2 (Non-Insulin Dependent ) Diabetes Melitus tipe 2 ditandai dengan resistensi
jaringan terhadap kerja insulin disertai difisiensi relatif pada sekresi insulin. Individu yang
terkena dapat lebih resisten atau mengalami difisiensi sel β yang lebih parah. Pasien DM tipe
2 mungkin tidak memerlukan insulin, tapi 30% pasien akan mendapatkan keuntungan dari
terapi insulin, sekitar 10-20% pasien yang didiagnosa DM tipe 2 sebenarnya mengalami
diabetes kombinasi. Pada pasien DM tipe 2 lebih rendah risiko terjadinya komplikasi akut
metabolik seperti ketoasidosis (Ndraha, 2014).
Hipokalemia adalah keadaan dimana kadar kalium dalam tubuh berada dibawah batas
normal, kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan
kalium dari tubuh, maupun karena gerakan kalium ke dalam sel-sel. Hipokalemia jarang
terjadi karena ketidakadekuatan masukan kalium. Perubahan kadar kalium serum menunjukan
perubahan pada kalium ekstraselular. Perubahan kadar kalium tidak selalu menunjukan
perubahan pada kadar total tubuh. Hipokalemia ditandai dengan keletihan, kelemahan otot,
kram kaki, otot lembek atau kendur, mual, muntah, ileus, dan penurunan konsentrasi urine
(poliuria). Selain itu, dapat juga ditandai dengan penurunan bising usus karena kelemahan
otot polos, nadi lemah dan tidak teratur, dan penurunan tonus otot (Mima, M., dkk 2001).
Hematemesis adalah muntah darah atau darah kehitaman warna Hematemesis
tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar
kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah- merahan dan
bergumpal- gumpal. Biasanya terjadi Hematemesis bila ada perdarahan di daerah Proksimal
Jejunun dan Melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan Hematemesis. Paling
sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan Melena. Banyaknya
darah yang keluar selama Hematemesis atau Melena sulit dipakai sebagai patokan untuk
menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab dari Hematemesis
melena salah satunya adalah karena varises esovagus (Padila, 2013).
Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam darah. Batasan
hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama tergantung dari golongan umur. Seorang pria
dewasa dikatakan menderita hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0
mg/dl. Sedangkan hiperurisemia pada wanita dewasa terjadi bila kadar asam urat serum di
atas 6,0 mg/dl. Ginjal merupakan organ yang berperan megendalikan kadar asam urat di
dalam darah agar selalu dalam batas normal. Organ ginjal mengatur pembuangan asam urat
melalui urin. Namun bila produksi asam urat menjadi sangat berlebihan atau pembuangannya
berkurang, kadar asam urat di dalam darah menjadi tinggi, keadaan ini disebut Hiperurisemia
(Putra, 2014).
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien :
Nama : Akhmad Prayudi
Tempat Tanggal Lahir : Pasuruan 24 Maret 1983
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Gang VI
Pekerjaan : Wiraswasta

Identitas Orang Tua/Wali


Nama : Mukhini
Tempat Tanggal Lahir : Trenggalek 3 Mei 1965
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Gang VI
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Hubungan dengan pasien : Ibu Pasien

B. Riwayat Penyakit
25/04/2022

Anamnesis KU Kalau kencing sakit

RPS Pasien datang dengan kejang serta penurunan kesadaran,


kejang pada jam 4 pagi 1 minggu lalu sekitar 25 min dari
rumah hingga rumah sakit. Tidak sadarkan diri selama 6
hari. Batuk kering (+) kurang lebih 2 minggu, Sesak (+),
Nafas Cepat, Demam (-), BAB (-), Kencing disertai darah,
kalau kencing terasa sakit dan kecing banyak pada malam
hari. Pernafasan cepat dan dalam. 3 hari sebelumnya
pasien mengkonsumsi alcohol

RPD Pada umur 7 bulan pasien sempat mengalami kejang,


RPK Almarhum Ayah memiliki riwayat Jantung , DM,
Paru
RPSosial Perokok (+) Alcoholic (+)

pasien riwayat ODGJ di rumah sakit lawing, tidak


RPengobatan 2016 Pasien dirawat di RSJ Lawang selama 10 hari,
melanjutkan obat sejak 3 semenjak 3 tahun.
Sudah diberikan obat tapi tidak pernah control dan
obat tidak pernah diminum sejak 3 tahun.
Pemeriksaan Keadaan Lemah
Fisik
Umum
Kesadaran Apatis
GCS E : 4, V : 1, M : 6
Diagnosa awal Susp TB Paru + Susp DM Tipe 2 + Hipokalemia + Post
Nadi : 98x/mnt
Hematemesis + Susp Meningitis TB
Tensi: 140/93 mmHg
Pemeriksaan DL, Foto Thorax, Blood Gas Analisis, GDA, Faal Ginjal,
RR : 20x/mnt
Elektrolit
penunjang TTV
SpO2 : 98%
Terapi - Lansoprazole 2x1 30mg ac
- OAT 1x1 (rimfapicin 300mg, isoniazid 300mg, etambutol
Kepala Kepala tampak
300mg, pirazinamid 500mgFlat
) ( Bracychepaly),
A (-) /I 2x1
- Citicoline 500mg ( -) /C (-) /D (+)
Leher
- HaloperidolKGB (-) 2x1
0,5 mg
Thorax Jantung
- Atorvastatin 20mg 0: –BJ0 1-2
– 1 reguler, Murmur (-),
- VibalbuminGallop
3x1 (-)
Ictus Cordis Terlihat
Ictus Cordis Teraba
Pulmo :
Inspeksi : Jejas (-), Bentuk dada simetris (+)
Palpasi : Gerakan dada simetris (+)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),
Ronkhi (+/+)
Abdomen Supel, NT (-), BU (+)

Genitalia DBN
Anus DBN
Ekstremitas AH (+/+), CRT < 2, Edema (-/-)

Atas
Ekstremitas AH (+/+), CRT < 2, Edema (-/-)

Bawah
Status Tidak ada
Tabel 2. 1 Tabel Anamnesis Pasien

C. Foto Thoraks

Interpretasi Foto Thorax

- Foto layak baca


- Paru nampak terdapat infiltrate atau nodul
- Sudut costophrenicus tajam
- Bentuk simetris
D. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2. 2 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

21/04/22

Natrium 146,00 mmol/L 135-147


(NA)
Nilai Kritis : <120
atau >160

Kalium (K) 3.20 mmol/L 3,5-5

Nilai Kritis : <3 atau

>6,1

Klorida (Cl) 101,00 mmol/L 95-105

Nilai Kritis : <80 atau

>115

Kalsium Ion 1,10 mmol/L 1,16-1,32

Nilai Kritis : <0,78


atau >1,58

Gula Darah

Gula Darah H 201 mg/dl <200


Sewaktu
Nilai Kritis : <50 atau
HEMATOLOGI
18/04/22
>450
Darah Lengkap
Gula Darah 122 mg/dl <200
18/04/2022
Sewaktu
HGB
21/04/22 H, 17,66 13,5 – 17,5

Hematokrit H, 54,2 % 37 – 53
Leukosit H 14,00 x 10³ 4,5 - 11

/ul

Neutrofil H, 89,2 % 35 – 66

Limfosit L, 5,2 % 24 – 44

Neutrofil H, x 10³ 1,5 – 8,5


12,5 /ul

Monosit H 0,72 x 10³ 0,14 – 0,66

/ul

PLT 239 x 10³ 150 - 450

/ul

FAAL GINJAL

BUN H 25 mg/dl 7,8-20,23

Nilai Kritis : >100

Kreatinin H, 1,676 mg/dl 0,8 – 1,3

Asam Urat H, 8,46 mg/dl 3,6 – 8,2

ELEKTROLIT

Natrium H 149.00 mmol/L 135 – 147


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

KIMIA KLINIK

BLOOD GAS

( 18 – 04 – 2022 )

pH (Analisa Gas L, 7,35-7,45 Nilai Kritis :


Darah) 7,30
< 7,25 atau > 7,6

pCO2 L 25,6 mmHg 38-42 Nilai Kritis : <


20 atau > 60
(Analisa Gas
Darah)

pO2 (Analisa Gas H mmHg 85-100 Nilai Kritis : <


Darah) 133,0 40

Bikarbonat L 12,5 mmol/L 22-26 Nilai Kritis : <

(HCO3) 10 atau > 40

(Analisa Gas

Darah)

Total CO2 (Analisa L 13,0 mmol/L 19-25


Gas Darah)

Kelebihan Basa -14 mmol/L (-2)-(+2) Nilai Kritis :


(BE)
(-3) atau (+3)
KIMIA KLINIK

GULA DARAH
%
Hb – A1c 5,7 3,8 – 6,0
21/04/22
mg/dl
Gula Darah 83 70 – 100
Puasa
Nilai Kritis <50 or
26/04/22 >450

FAAL GINJAL

26/04/2022

Asam Urat 3,88 mg/dl 3,6 – 8,2

Nilai Kritis >12

ELEKTROLIT

Natrium 141,70 mmol/L 135 – 147

Nilai Kritis <120 or


>160

Kalium L 3,46 mmol/L 3,5 – 5

Nilai Kritis <3 or


>6,1

Klorida 102,30 mmol/L 95 – 105

Nilai Kritis <80 or


>115

Kalsium 1,30 mmol/L 1,16 – 1,32

Nilai Kritis <0,78 or


>1,58
E. FOLLOW UP
Tabel 2. 3 Follow Up Pasien
19/04/2022
S O A P
Penurunan K/U Lemah DM tipe 2 PTx :
Kesadaran TD : 133/87. RR : DM Nefropati Lansoprazole 6 mg/ jam
22x/mnt. Suhu : 36 C Hematemesis Sucralfat 3x
Prorenal 3x1 Tab
Gastric Lavage per 8 jam
Lavemir 0 – 0 – 10 Unit sc
Dx : GDP, HbA1c,
GD2jpp
20/04/2022
Penurunan TD : 123/93. RR : Gangguan pola
Kesadaran 28x/mnt. N : 49x/mnt. nafas
SpO2 : 100%
Akral hangat merah (+)
Makan Minum -/-
Dowell cateter (+)
Diet cairan (+) Mob (-)
20/04/2022
Penurunan K/U : Lemah. GCS : 3x5 Gangguan Lanjutkan intervensi
Kesadaran TD : 133/89. HR : perfusi
100xmnt jaringan
Suhu : 37,4C. RR : cerebral
22x/mnt. SpO2 : 100%
Akral Hangat , CRT
<2dtk. Makan Minum
(-). Hematin (-). Prod
Urin (+).
21/04/2022

Penurunan Tensi : 139/88. Nadi : DM Tipe 2 Infus NS 20


Kesadaran 85x/mnt. RR: 28x/mnt. Hipokalemia Lansoprazole 2x30 mg IV
Sesak (+) Suhu: 37,7C. Post Lavemir 0 – 0 – 10 unit ic
Batuk (+) Hematemesis Sucralfat 3x

22/04/2022
Penurunan GCS 415, Tensi : Ensefolopati O2 8 Tpm
Kesadaran 136/91, RR : 25x/mnt TB Paru Inf KN – 2, 14 Tpm
GDA 137 DM Tipe 2 Lansoprazole 2x30 mg
CT – Scan kepala (N) Hipokalemia Po :
GD (N), Asam urat 8,4 Hiperurisemia KSR 3x600 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Tuberkulosis Paru
Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras
yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri
dalam paru. Tuberkulosis paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tuberkulosis paru
dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan tuberkulosis aktif pada paru
batuk, bersin atau bicara. Tuberkulosis paru adalah penykit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yang sebagian besar
kuman Tuberkulosis menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya. Kuman tersebut berbentuk batang yang mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu, disebut juga sebagai
Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar sinar matahari langsung
namun dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab
(Muttaqin, 2012).
2. Diabetes Militus Tipe 2
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit yang ditandai adanya
hiperglikemia dan terjadi gangguang metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang berkaitan dengan gangguan kekurangan pada insulin secara absolut atau
relatif baik dari segi sekresi maupun kerja insulin. Pada pasien DM dapat
dikeluhkan berbagi gejala diantarnya polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan
berat badan dan kesemutan (Buraerah, 2010).
DM tipe 2 (Non-Insulin Dependent DM atau NIDDM) Diabetes Melitus tipe 2
ditandai dengan resistensi jaringan terhadap kerja insulin disertai difisiensi relatif
pada sekresi insulin. Individu yang terkena dapat lebih resisten atau mengalami
difisiensi sel β yang lebih parah. Pasien DM tipe 2 mungkin tidak memerlukan
insulin, tapi 30% pasien akan mendapatkan keuntungan dari terapi insulin, sekitar
10-20% pasien yang didiagnosa DM tipe 2 sebenarnya mengalami diabetes
kombinasi. Pada pasien DM tipe 2 lebih rendah risiko terjadinya komplikasi akut
metabolik seperti ketoasidosis.
3. Hipokalemia
Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L
yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya
gangguan perpindahan ion kalium ke dalam sel (Nathania, 2019).
4. Hematemesis
Hematemesis (muntah darah) dan melena (berak darah) merupakan keadaan
yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (upper gastrointestinal
tract). Kebanyakan kasus hematemesis adalah keadaan gawat di rumah sakit yang
menimbulkan 8%-14% kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan
dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk menilai masalah ini
sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam menentukan
sumber perdarahan (Utari, 2013).
5. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak yang
disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosa. Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit paru.
Infeksi primer yang muncul di paru dapat menyebar secara hematogen maupun
limfogen ke berbagai bagian tubuh diluar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak. Kuman tuberculosis yang menyerang susunan
saraf pusat ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis, tuberkuloma, dan
araknoiditis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis tuberkulosis dengan
kasus terbanyak berupa Meningitis Tuberculosis (Masfiyah, dkk, 2013).

B. Epidemiologi
1. Tuberkulosis Paru
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun
2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB
bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian
besar terjadi di negara berkembang. World Health Organization
memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih
banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS.
Tuberkulosis adalah salah satu dari sepuluh penyakit yang menyebabkan
angka kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2015 jumlah penderita TB baru di
seluruh dunia sekitar 10,4 juta yaitu laki – laki 5,9 juta, perempuan 3,5 juta dan
anak – anak 1,0 juta. Diperkirakan 1.8 juta meninggal antara lain 1,4 juta akibat
TB dan 0,4 juta akibat TB dengan HIV (WHO, 2016).
2. Diabetes Militus Tipe 2
Diabetes Mellitus pada tahun 2013 di perkirakan akan meningkat ke seluruh
dunia pada tahun 2035 menjadi 592 juta penderita. Indonesia menempati urutan
ke-4 dengan jumlah penderita 8,4 juta terbesar di dunia setelah India, Cina, dan
Amerika Serikat. Studi WHO dan PERKENI menunjukkan hasil yang serupa
yaitu adanya peningkatan angka insidensi dan prevalensi Diabetes Mellitus Tipe
2, baik di dunia maupun di Indonesia Menurut WHO (2014), Indonesia memiliki
jumlah penderita Diabetes Mellitus sebanyak 8,5 juta dari total penduduk, dan
diprediksi akan terus meningkat. PERKENI (2011) menyatakan terjadi
peningkatan jumlah penyandang Diabetes Mellitus sebanyak 2-3 kali lipat pada
tahun 2030.
3. Hipokalemia
Insidensinya yaitu 1 dari 100.000 periodik paralisis hipokalemi banyak terjadi
pada pria daripada wanita dengan rasio 3-4 : 1. Usia terjadinya serangan pertama
bervariasi dari 1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan
kemudian menurun dengan peningkatan usia (Lin et al., 2004). Bila gejala-gejala
dari sindroma tersebut dapat dikenali dan diterapi secara benar maka pasien dapat
sembuh dengan sempurna.
4. Hematemesis
Di negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per 100.000
penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita.Insidensi ini meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui.
Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tuka k peptik menempati
urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofageal
merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60 %, gastritis erosiva hemoragika sekitar
25-30 %, tukak peptik sekitar 10-15 %, dan karena sebab lainnya < 5 % (Utari, 2013).
5. Meningitis Tubekculosis
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013 menyatakan bahwa
terdapat 9 juta penduduk Dunia terinfeksi kuman TB, terjadi peningkatan pada
tahun 2014, terdapat 9,6 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dimana
angka kematian mencapai 1,5 juta jiwa, wilayah Afrika menduduki jumlah kasus
terbanyak (37%), dan wilayah Asia tenggara (28%) dan wilayah Mediterania
Timur (17%) dari jumlah kasus TB pada tahun 2014(6) .Angka insidensi
tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa,
dengan tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari 100.000 jiwa
(Masfiyah, dkk, 2013).

C. Etiologi
1. Tuberkulosis Paru
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita Tuberkulosis BTA
positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman
Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
2. Diabetes Militus Tipe 2
Faktor – faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya dibetes tipe
2 adalah:
a. Usia : Risiko terjadinya diabetes tipe 2 meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Resistensi insulin mulai terjadi pada usia 45 tahun dan
cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun. Hal ini terjadi karena orang –
orang diusia ini cenderung kurang bergerak, kehilangan massa otot, dan
bertambah berat badan. Selain itu, proses penuaan juga mengakibatkan
penurunan fungsi sel beta pankreas sebagai penghasil insulin (Brunner &
Suddarth, 2015).
b. Obesitas : Memiliki kelebihan berat badan merupakan faktor risiko utama
untuk diabetes tipe 2. Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas.
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitive (Soegondo, 2010).
c. Riwayat keluarga : Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar
monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara
kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik
adalah yang paling kuat (Price & Wilson, 2012).
d. Kelompok etnik : Meskipun masih belum jelas mengapa, kebanyakan orang
dari suatu ras termasuk ras hitam, hispanik, Indian Amerika dan Asia-Amerika
lebih cenderung memiliki risiko terhadap DM tipe 2 dibandingkan ras kulit
putih (Brunner & Suddarth, 2015).
3. Hipokalemia
Berdasarkan etiologinya paralisis hipokalemi dibagi menjadi 2 yaitu idiopatik
periodik paralisis hipokalemi disertai tirotoksikosis dan secondary periodik
paralisis hipokalemi tanpa tirotoksikosis. Selain itu faktor genetik juga
mempengaruhi terjadinya paralisis hipokalemi, terdapat 2 bentuk dari hipokalemic
periodik paralysis yaitu familial hipokalemi dan sporadik hipokalemi. Familial
hipokalemi diturunkan secara autosomal dominan, kebanyakan kasus dinegara
Barat dan sebaliknya di Asia kasus terbanyak adalah sporadik hipokalemi yang
disebabkan oleh tirotoksikosis hipokalemi (Robinson et al., 2010).
4. Hematemesis
Hematemesis dan melena merupakan suatu keadaan yang gawat dan
memerlukan perawatan segera di rumah sakit. (Syaifudin.2010). Etiologi dari
Hematemesis melena adalah :
a) Kelainan esofagus : varise, esofagitis, keganasan.
b) Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan
duodenum,keganasan dan lain-lain.
c) Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia dan lain-lain.
d) Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
e) Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat,
kortikosteroid, alkohol, dan lain-lain.

5. Meningitis Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama tuberculosis adalah
gram-positif,, aerobic, non-spora, non-motilitas, batang pleomorfik yang sering
dikaitkan dengan Actinomycetes. Penamaan ini didasarkan pada kemampuan M.
tuberculosis untuk mempertahankan ikatan dengan fuschin yang disebabkan oleh
tingginya kandungan lipid pada dinding sel. Pewarnaan dengan carbol fushin ini
dikembangkan oleh Ziehl dan Neelsen untuk pewarnaan preparat apus M.
tuberculosis (Bakhtiar, 2016).

D. Manifestasi Klinis
1. Tuberkulosis Paru
Gejala utama TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih.batuk biasanya diikuti gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari 1 bulan. Menurut Tabrani Rab (2013), Gejala klinis yang tampak tergantung
dari tipe infeksinya.Pada tipe infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh
sendiri atau dapat berupa gejala pneumonia, yakni batuk dan panas ringan.
Gejala tuberkulosis, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan
efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura
dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya 50%.
Tuberkulosis post primer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat
dingin pada malam hari, tempratur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua
minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar
bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke
batuk darah yang masif, TB postprimer dapat menyebar ke berbagai organ
sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosismiliar,
peritonitisdengan fenoma papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis
pada kelenjar limfe dileher, yakni berupa skrofuloderma. (Kemenkes, 2014)
2. Diabet Militus Tipe 2
Manifestasi klinis diabetes mellitus yaitu (Tandra, 2013) :
a) Banyak Kencing (poliuri)
b) Rasa haus (polidipsi)
c) Berat badan menurun
d) Rasa seperti flu dan lemah
e) Luka yang susah sembuh
f) Gusi merah dan bengkak
g) Kesemutan
h) Kulit kering dan gatal
i) Mudah infeksi
j) Gatal kemaluan
3. Hipokalemia
Derajat manifestasi cenderung seimbang dengan keberatan dan lama hipokalemia.
Gejala biasanya tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0 mEq/L, kecuali
kadar kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai faktor-faktor yang
memperberat seperti kecenderungan aritmia karena penggunaan digitalis. Gejala biasanya
membaik dengan koreksi hipokalemia.
Kelemahan otot berat atau paralisis, kelemahan otot biasanya tidak timbul pada kadar
kalium di atas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia terjadi perlahan. Namun, kelemahan yang
signifikan dapat terjadi dengan penurunan tiba-tiba, seperti pada paralisis hipokalemik
periodik, meskipun penyebab kelemahan pada keadaan ini mungkin lebih kompleks.
4. Hematemesis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya
kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai
berikut :
a) Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan
diare.
b) Demam, berat badan turun, lekas lelah.
c) Ascites, hidratonaks dan edema.
d) Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
e) Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecilkarena fibrosis. Bila secara
klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan oleh
sebab-sebab lain, ditambahkan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan
kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
f) Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral didinding, koput medusa,
wasir dan varises esofagus.
g) Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:

 Impotensi, atrosi testis, ginekomastia, hilangnya rambut axila dan pubis.


 Amenore, hiperpigmentasi areola mamae
 Spider nevi dan eritema
 Hiperpigmentasi Jari tabuh
5. Meningitis Tuberkulosis
Gejala utama meningitis adalah sakit kepala berat, demam tinggi, fotofobia dan
perubahan status mental. Tingkat kesadaran pasien dapat berbeda tergantung dari derajat
penyakit. Pada kasus yang berat biasanya terjadi penurunan kesadaran. Pemeriksaan
neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan
Brudzinski. Pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil (Sari and
Rosalinda, 2018).
Ggejala Tuberkulosis Meningitis terdiri dari 3 stadium, yaitu (Ariya, 2012) :
a) Stadium I atau stadium prodromal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah.
b) Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seleuruh tubuh menjadi
c) Stadium III (Stadium lanjut) Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi
stupor atau koma, kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese.

E. Patofisiologi
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru terinfeksinya dari awal di karena seseorang yang menghirup
basil mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebar dari jalan napas menuju
alveoli lalu berkembang biak dengan terlihat bertumpuk. Perkembangan
mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru
(lobus atas). Basil juga bisa menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteksserebri) dan area lain dari paru (lobus
atas). Selanjutnya sistem kekebalan daya tubuh memberikan suatu respon dengan
cara reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis(menelan
bakteri), sementara limfositspesifik-tuberkulosis menghancurkan dengan
(melisiskan) basil dan jaringannya normal. Infeksi dari awal biasanya timbul
sekitar 2-10 minggu setelah itu terpapar bakteri. Interaksi antara mycobacterium
tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada penderita awalnya infeksi
membentuk seuatu massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terbagi atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan
fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang
terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang bentuknya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini
akan menjadi klasifikasi dan juga dapat membentuk jaringan kolagen, kemuadian
bakteri itu menjadi nonaktif (Somantri, 2009).
Setelah terinfeksi awal jika respon sistemnya imun tidak adekuat maka
penyakitnya akan semakin parah. Penyakit semakin parah akan menimbulkan
infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif lagi.
Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga dapat menghasilkan
necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi
sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian
meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembangbiak di dalam sel
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkelepiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-
20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi
sel epiteloid dan fibroblas akan memberikan respons berbeda kemudian pada
akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2009).

2. Diabetes Militus Tipe 2


Terjadi pada kaki diawali dengan adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kaki diabetes (Andra Saferi, 2013). Ulkus diabetikum terdiri dari
kavitas sentral biasanya lebih besar dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus
keras dan tebal. Awalnya pembentukan ulkus berhubungan dengan
hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin, dan suplai
vaskuler.
Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi
terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien diabetik terkait dengan
adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal
sebagai neuropati perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami
gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan
dengan “pheripheral vascular diseases”. Efek sirkulasi inilah yang
menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati
yang berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot
halus, kelenjar dan organ viseral.
Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah
terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah.
Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian
antibiotik tidak menyukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga
tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada
autonomi neuropati ini akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis
yang memudahkan kulit menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya
ganggren. Dampak lain adalah karena adanya neuropati perifer yang
mempengaruhi kepada saraf sensorik dan motorik yang menyebabkan sensasi
nyeri, tekanan dan perubahan temperatur.
3. Hipokalemia
Penurunan asupan kalium. Asupan kalium normal berkisar antara 40-120
mEq per hari, kebanyakan diekskresikan kembali di dalam urin. Ginjal memiliki
kemampuan untuk menurunkan ekskresi kalium menjadi 5 sampai 25 mEq per
hari pada keadaan kekurangan kalium. Oleh karena itu, penurunan asupan
kalium dengan sendirinya hanya akan menyebabkan hipokalemia pada kasus-
kasus jarang. Meskipun demikian, kekurangan asupan dapat berperan terhadap
derajat keberatan hipokalemia, seperti dengan terapi diuretik atau penggunaan
terapi protein cair untuk penurunan berat badan secara cepat.
Peningkatan laju kalium masuk ke dalam sel Distribusi normal kalium antara
sel dan cairan ekstraselular dipertahankan oleh pompa Na-KATPase yang
terdapat pada membran sel. Pada keadaan tertentu dapat terjadi peningkatan laju
kalium masuk ke dalam sel sehingga terjadi hipokalemia transien.
Kondisi hipokalemia berkaitan dengan peran utama kalium dalam tubuh.
Kalium merupakan kation intraseluler yang terbanyak dan esensial dalam
kehidupan karena berkaitan dengan regulasi sel dan beberapa proses seluler.
Kadar kalium total dan distribusi kalium melalui sel membran berkaitan dengan
fungsi sel secara normal, terutama saraf dan sel otot.
Keseimbangan kadar kalium normal diregulasi oleh pompa ion spesifik,
secara primer oleh seluler, membrane-bound, dan pompa ATPase Natrium
Kalium;  serta kadarnya dipertahankan dalam rentang yang sempit yakni antara
3,5 – 5,3 mEq/L. Kadar kalium dalam darah dicapai dengan keseimbangan
antara asupan dan ekskresi serta distribusi antara kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler.
Keseimbangan kalium dipertahankan terutama melalui regulasi ekskresi
duktus pengumpul renal. Ekskresi kalium akan meningkat akibat beberapa faktor
seperti aldosteron, aliran tinggi sodium akibat penggunaan diuretik (sebagai
contoh furosemide), aliran urine yang tinggi akibat penggunaan diuretik
osmotik, kadar kalium serum yang tinggi dan adanya ion negatif pada duktus
pengumpul akibat bikarbonat. Ekskresi kalium akan menurun akibat beberapa
faktor seperti defisiensi aldosteron absolut atau resistensi terhadap aldosteron,
rendahkan kadar natrium pada duktus pengumpul, rendahnya aliran urine, kadar
kalium serum yang rendah dan gagal ginjal.
4. Hematemesis
a) Ulkus peptikum terjadi terutama pada mukosa gastro duodenal karena
jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam
hidroklorida) dan pepsin. Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan
konsentrasi dan kerja asam pepsin, atau berkenaan dengan penurunan
pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi
mucus yang cukup bertindak sebagai barier terhadap asam klorida.
b) Sekresi lambung. Sekresi lambung terjadi pada tiga fase yang serupa ; (1)
fase sefalik yaitu : fase yang dimulai dengan rangsangan seperti pandangan,
bau, atau rasa makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang
pada gilirannya merangsang saraf vagal , (2) fase lambung, yaitu : pada fase
lambung dilepaskan asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari
rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap resptor di dinding lambung, dan
(3) fase usus, yaitu makanan pada usus halus menyebabkan pelepasan
hormon (dianggap sebagai gastrin) yang pada waktunya akan merangsang
sekresi asam lambung.
c) Barier mukosa lambung. Merupakan pertahanan utama lambung terhadap
pencernaan yang dilakukan lambung itu sendiri. Faktor lain yang
mempengaruhi pertahanan mukosa adalah suplai darah , keseimbangan asam
basa, integritas sel mukosa dan regenersi sel epitel. Seseorang mungkin akan
mengalami ulkus peptikum karena satu dari dua faktor ini , yaitu; (1)
hipersekresi asam lambung (2) kelemahan barier mukosa lambung. Apapun
yang menurunkan produksi mucus lambung atau merusak mukosa lambung
adalah ulserogenik ; salisilat, obat anti inflamasi non steroid, alcohol dan
obat antiinflamasi.
d) Sindrom Zollinger-Ellison. Sindrom ini diidentifikasi melalui temuan ;
hipersekresi getah lambung, ulkus duodenal, dan gastrinoma dalam pancreas.
e) Ulkus Stres. Merupakan istilah yang diberikan pada ulserasi mukosal akut
dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress
secara fisiologis. Kejadian stress misalnya ; luka bakar, syok, sepsis berat
dan trauma organ multipel.
5. Meningitis Tuberkulosis
Jalur masuk utama dari myobacterium tuberculosis adalah paru-paru lebih
dari 98% kasus. Selama lesi di paru-paru semakin berkembang, bacilli masuk
melalui pembuluh darah dan system limfatik untuk menginfeksi banyak bagian
tubuh, paling banyak adalah hati, limpa, pancreas, lymph node, dan meninges
(Starke, 2010). Pada dewasa dan remaja kandungan mycobacteria didalam tubuh
mungkin tidak menunjukkan suatu gejala dan bisa menyebabkan suatu kondisi
laten sampai respon imun mengenali atau reaktifasi imun yang menyebabkan
lesi di SSP.
Bakteri tahan asam ini masuk ke dalam tubuh inang melalui droplet inhalasi.
Infeksi local di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke ekstraparu
termasuk system saraf pusat (SSP).
Penyebaran hematogen bisa terjadi pada saat awal infeksi sebelum
dikendalikan oleh system imun adaptif orang yang terinfeksi TBM. Bakteri basil
tersebut berdiam di meningeal atau parenkim otak sebagai hasil dari
pembentukan focus subpial atau subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatic
yang dikenal sebagai Fokus Rich. Focus rich semakin membesar sehingga ruptur
atau pecah dan masuk ke dalam ruang subarachnoid dan masuk ke dalam ruang
subarachnoid dan menyebabkan meningitis (Sulistyowati et al., 2017).
F. Diagnosa
1. Tuberkulosis Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
- S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
- P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
di UPK.
- S (sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak
selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis
terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks
perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung
diagnosis TB paru BTA positif.
- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
- Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS
STANDARD 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang
tidak jelas penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk diagnosis adalah berat
badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk
STANDARD 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan dahak)
yang diduga mengalami TB Paru harus menjalani pemeriksaan dahak
mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin minimal satu
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari
STANDARD 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, anak) yang diduga mengalami TB
Ekstra Paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk
pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan
pemeriksaan biakan dan histopatologiSebaiknya dilakukan juga pemeriksaan
foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB Paru dan TB Milier.
Pemeriksaan dahak perlu dilakukan, bila mungkin juga pada anak.
STANDARD 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga TB seharusnya menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
STANDARD 5
Diagnosis TB Paru sediaan apus dahak Negatif harus didasarkan kriteria
berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk
minimal 1 kali dahak pagi hari) ; temuan foto toraks sesuai TB dan Tidak Ada
Respons terhadap antibiotika spektrum luas (Fluorokuinolon harus dihindari
karena aktif terhadap M. TB complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan
sesaat pada pasien TB.
Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan.
Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
STANDARD 6
Diagnosis TB Intratoraks (paru, pleura dan KBG hilus atau mediastinum)
pada Anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya
didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai TB dan paparan pada kasus TB
menular atau bukti infeksi TB (uji kulit tuberkulis positif atau interferron
gamma release assay).
Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya
diambil untuk biakan (dengan cara batuk, bilas lambung atau induksi dahak)
(ADD) Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis TB intratoraks pada
anak didasarkan atas pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti infeksi
TB (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan
kelainan radiografi toraks sesuai TB
2. Diabetes Militus Tipe 2
Ada banyak keluhan yang terjadi pada pasien Diabetes mellitus .Tes
diagnostik untuk diabetes mellitus harus dipertimbangkan jika ada salah satu
gejala umum dari diabetes terjadi yaitu adalah poliuria, polidipsia, dan polifagia.
(Kerner and Bruckel, 2014)
Polifagia adalah keadaan di mana pasien merasa lapar atau nafsu makan
mereka meningkat, tetapi berat dari pasien tidak meningkat melainkan berat
badan mereka menurun. Kondisi ini terjadi karena glukosa dalam darah tidak
dapat ditransfer ke sel dengan baik oleh insulin.Sel perlu glukosa untuk
menghasilkan energi, karena glukosa terjebak dalam darah, keadaan inilah yang
memicu respon kelaparan ke otak.
Polydipsia adalah keadaan dimana pasien merasakan haus yang berlebih.
Keadaan ini merupakan efek dari polifagia.Glukosa yang terjebak dalam darah
menyebabkan tingkat osmolaritas meningkat. Karena glukosa darah perlu
diencerkan, inilah yang menyebabkan respon haus ke otak.
Poliuria adalah keadaan di mana pasien mengalami perasaan inginbuang air
kecil yang berlebihan. Kondisi ini terjadi ketika osmolaritas darah tinggi,
sehingga perlu dibuang oleh ginjal.Ketika glukosa darah dibuang itu
membutuhkan air untuk menurunkan osmolaritas dari glukosa darah, inilah yang
memicu terjadinya poliuria.
Keluhan lain yang mungkin termasuk adalah badan lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Tes
diagnosis yang dapat digunakan untuk pasien diabetes dapat dibagi dalam tiga
cara :
Tes Diagnosis
a) Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah sewaktu. Nilai : >200mg/dl
(11,1mmol/L)
b) Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah puasa. Nilai : >126 mg/dl
(mmol/L)
c) Kadar glukosa darah 2 jam PP. Nilai >200 mg/dl (mmol/L)
3. Hipokalemia
Secara umum, terdapat dua komponen utama dalam evaluasi diagnostik
dalam kondisi hipokalemia.
 Evaluasi ekskresi kalium dalam urine untuk membedakan penyebab
kehilangan dari renal (terapi diuretik, aldosteronisme primer) dari penyebab
hipokalemia yang lain (kehilangan dari saluran gastrointestinal, pergeseran
kalium transeluler)
 Evaluasi status asam basa dikarenakan penyebab hipokalemia seringkali
berkaitan dengan alkalosis atau asidosis metabolik
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dasar termasuk kadar natrium, kalium, glukosa,
klorida, bikarbonat, BUN dan kreatinin merupakan beberapa komponen
pemeriksaan yang perlu dievaluasi. Pemeriksaan analisis gas darah juga
sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi adanya asidosis maupun alkalosis
terutama apabila penyebab yang mendasari kondisi hipokalemia.

Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan elektrolit urine diperlukan untuk menentukan patofisiologi
hipokalemia dengan membedakan penyebab renal maupun non renal. Kadar
kalium urine yang rendah (<20 mEq/L) menunjukkan adanya kehilangan dari
saluran gastrointestinal, asupan yang kurang maupun adanya pergeseran kalium
ekstraseluler ke intraseluler, sedangkan kadar kalium urine > 40 mEq/L
menunjukkan adanya kehilangan dari renal. Kalsium dalam urine juga
diperlukan untuk mengeksklusi diagnosis banding sindrom Bartter.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram perlu dilakukan untuk mengevaluasi
apakah kondisi hipokalemia telah mempengaruhi fungsi jantung atau
mendeteksi kemungkinan toksisitas digoksin. Pada pemeriksaan EKG dapat
dijumpai takiaritmia atrial maupun ventrikular, penurunan amplitudo
gelombang P dan adanya gelombang U. Namun, gambaran EKG dapat
menunjukkan kesan normal maupun perubahan yang sangat minimal sebelum
terjadinya disritmia yang signifikan secara klinis. Perubahan pola EKG yang
mungkin dijumpai antara lain:
 Disritmia ventrikular

 Pemanjangan interval QT

 Depresi segmen ST

 Pendataran gelombang T

 Adanya gelombang U
 Aritmia ventrikular seperti (premature ventricular contractions, torsade
de pointes,  dan fibrilasi ventrikel)
 Aritmia atrial (premature atrial contractions, fibrilasi atrial)
4. Hematemesis
a) Laboratorium
 Darah : Hb menurun / rendah
 SGOT, SGPT yang meningkat merupakan petunjuk kebocoran dari sel
yang mengalami kerusakan.
 Albumin, kadar albumin yang merendah merupakan cerminan
kemampuan sel hati yang kurang.
 Pemeriksaan CHE (kolineterase) penting dalam menilai kemampuan sel
hati. Bila terjadi kerusakan kadar CHE akan turun.
 Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
 Peninggian kadar gula darah.
 Pemeriksaan marker serologi pertanda ureus seperti HBSAg/HBSAB,
HBeAg, dll
b) Radiologi
 USG untuk melihat gambaran pembesaran hati, permukaan splenomegali,
acites
 Esofogus untuk melihat perdarahan esofogus
 Angiografi untuk pengukuran vena portal
5. Meningitis Tuberkulosis
Penegakan diagnosis TB Meningitis didasarkan pada karakteristik klinis,
seluler laboratorium, mikrobiologi (LCS), dan radiological imaging (Masfiyah et
al., 2013). Diagnosis TBM berdasarkan deteksi Bakteri Tahan Asam (BTA) pada
apusan LCS (Ersoz et al., 2012).
Lumbar pungsi dilakukan kepada semua pasien yang dicurigai menderita
encephalitis yang berhubngan dengan akut meningitis, jika mereka menunjukkan
tanda dan gejala terlibatnya cerebral seperti (Jarrin et al., 2016) :
a) Kejang
b) Penurunan kesadaran
c) Kebingungan
d) Tanda neurologic focal
Diagnosis pasti TBM dapat ditegakkan setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien
dengan gejala dan tanda penyakit di SSP (defisit neurologis). BTA atau M.tuberculosis
terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau setelah dilakukan kultur cairan
serebrospinal (Huldani, 2012). Pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap CSS tetap
menjadi landasan baku emas (Feng et al., 2014). Menurut (Sulistyowati et al., 2017)
specimen diteteskan ke kaca objek dan dibuat hapusan direk. Setelah kering di udara,
hapusan dilakukan pengecatan dengan Ziehl Neelsen untuk pemeriksaan mikroskopis
BTA. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pada mikroskop cahaya dengan perbesaran
lensa objektif 1000x dan minyak imersi. Deteksi BTA positif adalah minimal 1 (satu)
BTA pada minimal 100 (serratus) lapang pandang.
Karakteristik klinik seperti gejala yang lebih lama (>6 hari), Cairan serebrospinal
pleiocytosis sedang, dan timbulnya focal defisit meningkatkan kemungkinan TBM.
Temuan karakteristik terhadap cairan serebrospinal pada TBM meliputi (Marx and Chan,
2011) :
a) Lymphocytic-predominant pleiocytosis. Jumlah sel putih normal diantara 100 dan
500 cells/µL. Pada gejala awal, jumlah lebih rendah dan neutrophil predominan
mungkin muncul.
b) Meningkatnya jumlah protein, normal diantara 100 dan 500mg/gL
c) Rendahnya kadar glukosa, biasanya kurang dari 45mg/dL atau CSS : ratio plasma
<0,5.
Pemeriksaan radiologi berupa CT scan tidak selalu spesifik menggambarkan
adanya kelainan pada TB Meningitis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh
eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum
ditemukan. Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI,
khususnya MRI dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan
eksudat sisterna. Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran
radiologi TB Meningitis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu
hidrosefalus, vasculitis, infark dan neuropati kranial (Taheri et al., 2014).
Gambar III.1. CT-Scan TBM, CT kontras pada pasien TBM menunjukkan adanya peningkatan
pada sisterna basalis dan meninges dengan dilatasi ventricle (Piyush Ojha, 2015)

G. Penatalaksanaan
1. TB Paru
Pengobatan tuberkulosis bertujuan
untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Mikobakteri merupakan kuman
tahan asam yang sifatnya berbeda
dengan kuman lain karena tumbuhnya
sangat lambat dan cepat sekali timbul
resistensi bila terpajan dengan satu
obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat
membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat
membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih
sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain.
Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis (mg) / BB (kg)
Dosis
Oba (mg/ Harian Intermitte Maks
t kg
BB/hari (mg/kg (mg/kg (mg) <40 40-60 >60
BB/hari) BB/hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 - 750 1000 1500
E 15-20 15 30 - 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa
kategori yaitu :
Kategori 1
2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid,
dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat
INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan
kepada: a. Penderita baru TBC paru BTA positif. b. Penderita TBC ekstra paru
(TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2
HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada :
 Penderita kambuh.
 Penderita gagal terapi.
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3
2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru
mendukung aktif(10).
Kategori 4
RHZES Diberikan pada kasus Tb kronik .
Kategori Kasus Panduan Obat Keterangan

I  TB Paru 2RHZE / 4 RH atau 2 RHZE / 6HE


BTA (+)

 BTA (-), 2RHZE / 4R3H3


Lesi luas
Tabel 3. 1 Kategori Obat TB Paru
II  Kambuh RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji Bila alergi, diganti
dan Gagal resistensi atau 2RHZES / 1RHZE streptomisin atau
peng- / 5 RHE kanamisin
Obatan 3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II  TB paru Sesuai lama pengobatan
putus sebelumnya, lama berhenti
Berobat minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini(lihat
uraiannya) atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3

III  TB paru 2 RHZE / 4 RH atau


BTA (-)
Dengan
lesi
minimal
6 RHE atau *2RHZE /4 R3H3
IV  Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)

 MDR TB Sesuai uji resistensi+OAT lini 2


atau H seumur hidup
2. Diabetes Militus Tipe 2
Penatalaksanaa diabetes melitus ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Peningkatan kualitas hidup pasien diabetes melitus perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif. Dalam mengobati pasien diabetes
mellitus tipe 2 tujuan yang akan dicapai yaitu meningkatkan kualitas hidup
pasien. Tujuan penatalaksanaannya meliputi jangka pendek dan jangka panjang.
Tujuan pelaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan
tanda diabetes mellitus, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target
pengendalian glukosa darah. Tujuan pelaksanaan jangka panjang adalah untuk
mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makro dan mikro, serta
neuropati diabetikum, serta tujuan akhir dari penatalaksanaan diabetes adalah
menurunkan mordibitas dan mortalitas (Decroli, 2019).
Menurut PERKENI (2015), langkah-langkah penatalaksanaan diabetes
mellitus yaitu:
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat perlu dilakukan sebagai
upaya dari pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan diabetes mellitus secara holistik. Tim kesehatan harus
mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang
berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan
perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan ketrampilan, dan
motivasi yang berkenaan dengan:
 Makan makanan sehat.
 Kegiatan jasmani secara teratur.
 Penggunaan obat diabetes secara umum, teratur, dan pada
waktuwaktu spesifik.
 Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan
berbagai informasi yang ada.
b. Terapi Nutrisi Medis
Kunci keberhasilan langkah ini yaitu keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarga). Prinsip pengaturan makan pada pasien diabetes
mellitus hampir sama dengan anjuran makanan untuk masyarakat
umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien diabetes perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada yang menggunakan
obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
Perencanaan makan pasien dengan diabetes mellitus meliputi :
 Tujuan Diet
Tujuan diet adalah membantu pasien memperbaiki kebiasaan
makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang
lebih baik dengan cara:
1) Mempertahankan kadar glukosa darah supaya mendekati normal
dengan menyeimbangkan asupan makanan dengan insulin
dengan obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik.
2) Mencapai dan mempertahankan kadar lipda serum normal
3) Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai
berat badan normal.
4) Menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang
menggunakan insulin.
5) Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi
yang optimal.
 Syarat Diet
1) Energi cukup untuk mempertahankan dan mencapai berat badan
normal. Ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan
metabolisme basal sebesar 25-30 kkal/kgBB.
2) Kebutuhan protein 10-15% dari kebutuhan energi total
3) Kebutuhan lemak sedang 20-15% dari kebutuhan energi total
4) Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari perhitungan energi total
sekitar 60-70% e) Penggunaan gula murni dalam makanan dan
minuman tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai
bumbu.
5) Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas.
6) Asupan serat dianjurkan 25g/hari dengan mengutamakan serat
larut air yang ada pada buah dan sayur.
7) Apabila mengalami hipertensi, asupan natrium dibatasi.
8) Cukup vitamin dan mineral

c. Jasmani
Prinsip latihan jasmani pasien diabetes sama saja dengan prinsip
jasmani secara umum, yaitu frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis
aktivitas. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu dengan durasi 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu. Latihan yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50- 70%
denyut jantung maksimal), seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang.
Masalah utama pada diabetes mellitus tipe 2 adalah kurangnya
respon reseptor terhadap insulin. Kontraksi otot saat berolahraga
memiliki sifat seperti insulin (insulin effect). Permeabilitas membran
terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi. Pada saat
melakukan latihan jasmani, resistensi insulin berkurang dan sebaliknya
sensitivitas insulin meningkat (Fahrudin 2011).
d. Farmakologis
Perlu dilakukan penambahan obat oral atau insulin apabila terdapat
kegagalan dalam menerapkan pilar latihan jasmani. Terapi farmakologis
ini diberikan bersamaan dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Menurut Fahrudin (2011) obat-obat untuk pasien
diabetes mellitus, yaitu:
 Obat Hipoglikemik Oral (OHO) seperti sulfoniluria dan biguanida.
 Insulin : Beberapa hal harus diperhatikan saat memilih obat
hipoglikemik oral, seperti dosis yang dimulai dari dosis rendah,
cara kerja, lama kerja, dan efek samping. Indikasi pemberian obat
hipoglikemik oral menurut Soegondo dalam Fahrudin (2011)
adalah sebagai berikut : a. Diabetes sesudah umur 40 tahun. b.
Diabetes kurang dari 5 tahun. c. Memerlukan insulin kurang dari 40
unit per hari. d. Diabetes mellitus tipe 2 berat badan normal atau
lebih.
3. Hematemesis
Menurut Bararah dan Jauhar (2013) penatalaksanaan pada pasien dengan
hematemesis melena diantaranya sebagai berikut:
a) Penatalaksaan Medis
 Resusitasi cairan dan produk darah : Jika kehilangan cairan > 1500 ml
membutuhkan penggantian darah selain cairan, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan golongan darah dan cross-match.
Penggunaan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ vital, seperti
dopamine, epineprin, dan norefineprine untuk menstabilkan pasien.
 Mendiganosa penyebab pendarahan :
- Dilakukan dengan endoskopi fleksibel.
- Pemasangan selang nasogastrik untuk mengkaji tingkat pendarahan.
- Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum)
untuk melihat adanya varises pada 1/3 distal esofagus, kardia dan
fundus lambung setelah hematemesis terjadi.
- Angiografi apabila tidak terkaji melalui endoskopi.
 Perawatan Definitif
- Terapi endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dilaksanakan sedini mungkin untuk
mengetahui secara tepat sumber perdarahan, baik yang berasal dari
esofagus, lambung, maupun duodenum.
- Skleroterapi merupakan sebuah cara atau metode yang dipakai untuk
mengobati varises atau spider veins dengan cara menyuntikkan
cairan khusus ke pembuluh vena agar menyusut.
- Bilas lambung
- Pemberian pitresin. Pemberian pitresin dilakukan apabila bilas
lambung atau skleroterapi tidak berpengaruh, obat ini akan
menurunkan tekanan vena porta sehingga aliran darah akan menurun
dengan dosis 0,2- 0,6 unit/menit. Pitresin juga akan menyebabkan
kontriksi pembuluh darah dan menyeimbangan cairan dalam tubuh.
- Mengurangi asam lambung. Menurunkan keasaman sekresi lambung
dengan obat histamine (H2) antagonistic seperti simetidin, ranitidine
hidrokloride, famotidin, dan antasida. Dosis tunggal akan
menurunkan sekresi asam selama hampir 5 jam.
 Memperbaiki Status Hipokoagulasi Pemberian vitamin K dalam bentuk
fitonadion (aqua mephyton) 10 mg melalui im atau iv dengan lambat
untuk mengembalikan masa protombin menjadi normal.
 Balon Tamponade
Sebaiknya balon tamponade dilakukan sesudah penderita tenang dan
kooperatif, sehingga bisa dijelaskan mengenai prosedur tindakan.
Terdapat bermacam-macam balon tamponade antara lain tube
sangstaken-blakemore, minnesoata, linton-nachlas yang mana dapat
berfungsi untuk mengontrol pendarahan gastrointestinal bagian atas
akibat varises esofagus.
 Terapi Pembedahan : Reseksi lambung (antrektomi), Gastrektomi,
Gastroenrostomi, Vagotomi dan Operasi dekompresi hipertensi porta.
4. Hipokalemia
Sediaan kalium, kalium klorida baik oral maupun intravena secara umum
lebih disukai dibandingkan kalium sitrat atau bikarbonat, terutama pada pasien
dengan alkalosis metabolik oleh karena terapi diuretik, vomitus dan
hiperaldosteronisme. Pada keadaan lain, kalium sitrat atau bikarbonat seringkali
disukai pada pasien dengan hipokalemia dan asidosis metabolik. Keadaan di atas
paling sering terjadi pada asidosis tubular ginjal dan keadaan diare kronik.
Kalium klorida oral dapat diberikan dalam bentuk kristal, cairan atau dalam
bentuk tablet lepas lambat. Kristal pengganti garam mengandung antara 50-65
mEq tiap sendok teh, secara umum sediaan ini aman, dapat ditoleransi dengan
baik dan lebih murah dibandingkan dengan sediaan lain sehingga dapat menjadi
pilihan apabila biaya menjadi salah satu faktor pertimbangan.
Hipokalemia ringan sedang, sebagian besar pasien mempunyai
konsentrasi kalium serum antara 3,0 sampai 3,5 mEq/L; pada derajat penurunan
kalium seperti ini biasanya tidak memberikan gejala apapun, keculai untuk
pasien dengan penyakit jantung (terutama bila mendapatkan digitalis atau bedah
jantung) atau pada pasien-pasien dengan sirosis lanjut. Terapi pada keadaan ini
ditujukan ke arah penggantian kalium yang hilang dan menangani permasalahan
mendasar (seperti vomitus dan diare). Pengobatan biasanya dimulai dengan 10-
20 mEq/L kalium klorida diberikan 2 – 4 kali perhari (20-80 mEq/hari),
tergantung kepada keberatan hipoklaemia dan juga apakah akut atau kronik.
Pemantauan kalium serial penting untuk menentukan apakah diperlukan terapi
lanjut, dengan frekuensi pemantauan tergantung derajat keberatan hipokalemia.
Hipokalemia berat, kalium harus diberikan lebih cepat pada pasien dengan
hipokalemia berat (kadar kaliun <2,5 sampai 3,0 mEq/L) atau simtomatik
(aritmia, kelemahan otot berat). Meskipun demikian, kehati-hatian harus
dilakukan pada saat memberikan kalium pada pasien dengan kelainan penyerta,
yang akan membuat kalium masuk ke dalam sel dan memperberat hiperglikemia.
Dua contoh utama adalah terapi insulin pada ketoasidosis diabetik atau
hiperglikemia nonketotik dan terapi bikarbonat pada asidosis metabolik.
Terapi kalium paling mudah diberikan peroral. Konsentrasi kalium serum
dapat naik dengan cepat sekitar 1-1,5 mEq/L setelah dosis oral 40-60 mEq/L dan
sekitar 2,5-3,5 mEq/L setelah terapi 135- 160 mEq/L; kadar kalium kemudian
akan turun kembali ke arah nilai dasar oleh karena sebagian besar kalium
eksogen akan diambil oleh sel. Pasien dengan kadar kalium serum 2 mEq/L
sebagai contoh, mungkin memiliki defisit kalium antara 400-800 mEq/L.
Oleh karenanya, kalium klorida dapat diberikan secara oral dengan dosis 40-
60 mEq/L, tiga sampai empat kali sehari. Apabila dapat ditoleransi, harus
diberikan terus menerus sampai konsentrasi kalium serum terus berada di atas
3,0 sampai 3,5 mEq/L atu gejala membaik selanjutnya dosis dan frekuensi
pemberian dapat dikurangi untuk mencegah iritasi lambung. Selama koreksi,
pemantauan kadar kalium serum diperlukan untuk memastikan suplementasi
kalium dilanjutkan sampai cadangan tubuh dipenuhi dan menghindari
hiperkalemia. Selama terapi kronik, kadar kalium serum harus dipantau antara 3
sampai 4 bulan atau bila diperlukan secara klinis.
Terapi intravena, kalium klorida dapat diberikan intravena sebagai
tambahan terapi pengganti oral pada pasien dengan hipokalemia berat
simtomatik. Keterbatasan utama untuk terapi intravena termasuk risiko
kelebihan cairan pada pasien risiko tinggi dan hiperkalemia karena koreksi
berlebih.
Pemberian kalium intravena yang direkomendasikan berkisar antara 10-20
mEq/L / jam; pemberian dengan laju yang lebih tinggi mempunyai risiko tinggi
hiperkalemia. Meskipun demikian, pemberian sebanyak 40-100 mEq/Ljam dapat
diberikan pada pasien-pasien tertentu dengan paralisis atau aritmia mengancam
jiwa. Pada keadaan ini, larutan mengandung 200-400 mEq kalium per liter telah
digunakan, pada praktisnya larutan dengan konsentrasi 100-200 mEq/L lebih
sering digunakan. Konsentrasi larutan 10-20 mEq/L kalium dijadikan dalam 100
cc cairan untuk menghindari pemberian kalium intravena dalam jumlah besar
secara tidak sengaja. Apabila konsentrasi tinggi digunakan, usaha-usaha untuk
menjaga keamanan harus dilakukan dengan pemberian menggunakan pompa
infus. Larutan kalium dengan konsentrasi lebih dari 60 mEq/L seringkali nyeri
dan harus diberikan lewat vena sentral.
5. Meningitis Tuberkulosis
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui
apusan atau kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS. Hal ini karena
pemeriksaan terbaik juga mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis
pada pasien TBM, infeksi HIV, dan anak kecil. Maka, pada kondisi ini atau pada
pasien dimana dicurigai tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan
untuk memulai terapi empiris sembari menunggu hasil pmeriksaan (Kementrian
Kesehatan RI 2016).
a) Farmakologi
Tuberkulosis paru dan ekstra paru ditatalaksana dengan regimen
antituberculosis yang sama, yaitu rifampisisn, isoniazid, piraazinamid,
etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4
bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli merekomendasikan pemberian
terapi obat anti tuberculosis pada Meningitis Tuberkulosis selama minimal 9
hingga 12 bulan (WHO, 2010). WHO dan PDPI mengklasifikasian
Meningitis Tuberkulosis ke dalam kategori I terapi tuberculosis. Pemberian
rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus Tuberkulosis
Meningitis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada
pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan
streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberculosis dengan kondisi
berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin (Thamrin, 2015).
Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6)
mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari;rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB,
maksimum 600 mg/hari pirazinamid 25 (20–30) mg/kgBB, maksimum 2.000
mg/hari;etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari
streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason
0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB (Chin, 2014).
Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB,
maksimum 300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600
mg/hari pirazinamid 35 (30–40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari
etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum 1.000 mg/hari. Dosis
kortikosteroid antara lain deksametason 0,6mg/kgBB atau prednison
2-4mg/kgBB (Nahid et al., 2016).
Pemberian deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien ini
terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan
kesadaran pasien setiap harinya. Peran kortikosteroid pada terapi TB
Meningitis telah dilaporkan bermanfaat dalam sejumlah penelitian. Angka
mortalitas menurun dengan pemberian kortikosteroid intravena. Terapi
dengan deksametason atau prednisolon yang di-tappering offselama 6-8
minggu direkomendasikan pada pasien TB Meningitis. Kortikosteroid
sebaiknya diberikan intravena pada awalnya dan dilanjutkan dengan
pemberian per oral sesuai klinis pasien (Nahid et al., 2016).
Respon jaringan terhadap inflamasi pada TB Meningitis adalah eksudat
inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar otak, nervus dan pembuluh
darah di daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus Willisi, sistem
vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteriserebri media menyebabkan
infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan serebrospinal
setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
hidrosefalus (PR and RV, 2016).
b) Bedah
Sejak berkembangnya efektifitas dari terapi antituberkulosis, peran dari
bedah sebagian besar telah berputar untuk menangani komplikasi yang serius
dari efek massa tuberculoma dan draining dari abses otak. Hydrocephalus
disangkut pautkan merupakan komplikasi dari basal meningitis dimana aliran
dari cairan serebrospinal terblok dari jalur keluarnya pada ventricle
keempat dari jalur penyerapannya di vili arachnoid atau kemungkinan
destruksi dari vili arachnoid nya itu sendiri. Hydrocephalus merupakan
komplikasi yang paling parah dari infeksi dari TBM dan dapat ditatalaksana
dengan diuretic, osmotic agent, lumbar pungsi, external ventricular drainage,
atau VentriculoPeritoneal Shunt (VPS). VPS dan waktu penggunaan pada
anak masih kontroversial. Beberapa penelitian menganjurkan melakukan
VPS pada waktu awal hydrocephalus, terutama pada grade ringan sampai
sedang (grade I/II/III) dan melakukan uji coba drainase eksternal pada kasus
dengan tingkat yang sangat buruk (grade IV). Peran dari VPS telah diperiksa
pada TBM-terkait hydrocephalus menunjukkan hasil yang sukses dengan
kisaran 40 sampai 50% dan komplikasi dari VPS adalah 30% (Rock et al.,
2008).
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis pasien datang dengan kejang serta penurunan kesadaran,
kejang pada jam 4 pagi 1 minggu lalu sekitar 25 min dari rumah hingga rumah sakit.
Tidak sadarkan diri selama 6 hari. Batuk (+) kurang lebih 2 minggu, Sesak (-), Nafas
Cepat, Demam (-), BAB (-), Kencing disertai darah, kalau kencing terasa sakit dan
kecing banyak pada malam hari. Pernafasan cepat dan dalam. 3 hari sebelumnya
pasien mengkonsumsi alcohol. Pada riwayat dahulu pasien umur 7 bulan pasien
sempat mengalami kejang, pasien memiliki riwayat ODGJ di rumah sakit lawing
sekitar 3 tahun lalu selama 10 hari, tidak melanjutkan pengobatan sejak semenjak 3
tahun belakangan dan tidak control. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum lemah,
kesadaran apatis, GCS 4 1 6, tidak bisa bekomunikasi, pada kepala bentuknya flsat
(Bracychepaly), pada thoraks bagian dextra terdengar rhonki, ictus cordis terlihat dan
teraba.
Pada pemeriksaan penunjang terdapat peningkatan HGB, Hematokrit, Leukosit
dan penurunan Linfosit. Pada faal ginjal BUN, Kreatinin dan Asam Urat mengalami
peningkatan. Pada Blood Gas Analisis terdapat peningkatan pO 2, penurunan pH,
pCO2, HCO3 dan CO2. Pada pemeriksaan Elektrolit, Natrium mengalami peningkatan,
penurunan Kalium dan Kalsium Ion. Gula Darah Sewaktu sempat mengalami
peningkatan. Pemeriksaan foto thorax cor tampak besar dan normal, pulmo tampak
fibroinfiltrat dan paracardial kanan sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam. Kesan
suspect TB Paru, selain itu pemeriksaan mengarah pada DM Tipe 2 pada pemeriksaan
gula darah. Pasien juga sempat mengalami post hematemesis. Pasien juga didiagnosis
dengan Hipokalemia dari pemeriksaan laboratorium BUN, Keratinin dan Asam Urat
mengalami kenaikan.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Fahrudin. 2011. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas


Masyarakat. Bandung : Humaniora

Andra Saferi Wijaya. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Bakhtiar 2016, Pendekatan Diagnosis Tuberculosis Pada Anak Di Sarana


Pelayanan Kesehatan Dengan Fasilitas Terbatas. Vol. (2), PP. 122–128.

Bararah, T dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustakaraya

Brunner & Suddrath. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Buraerah, H. 2010. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas


Tanrutedong, Sidennreg Rappan. Jurnal Ilmiah Nasional. vol. 35, no. 4.
Chin, J. H. 2014, 'Tuberculous Meningitis Diagnostic and therapeutic challenges',
Neurology : Clinical Practice, vol. 4, no. 3, pp. 199–205.

Decroli, E. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakulltas Kedokteran Universitas Andalas.

Horne, Mima M & Swearingen, Pamela L (2001). Keseimbangan Cairan Elektrolit


& Asam Basa Edisi 2. Jakarta : EGC.

Kementrian Kesehatan RI 2016, Info DATIN Tuberkulosis

Kerner W, Brückel J. Definition, classification and diagnosis of diabetes mellitus.


German Diabetes Association. Exp Clin Endocrinol Diabetes. 2014 Jul;
122(7): 384–386.

LeMone, P., Burke, K.M., & Bauldoff, G. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah (ed 5). Jakarta : EGC

Lin SH, Lin YF, Halperin ML.2004. Hypokalemia and paralysis. Q J Med.
94:133±139.

Masfiyah, Aris CB dan Purnomo H. 2013. Gambaran Definitif Meningitis


Tuberkulosa di RSUP dr. Kariadi Semarang. Semarang : Sains Medika, Vol
(5). No (2).

Misnadiarly. 2007. Rematik : asam urat – Hiperurisemia, Arthritis Gout, Edisi 1.


Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Muttaqin, Arif. 2012. Buku saku gangguan muskuluskeletal aplikasi pada praktik
klinik keperawatan. Jakarta : salemba medika
Nahid, P., Dorman, S. E., Alipanah, N., Barry, P. M., Brozek, J. L., Cattamanchi,
A., Chaisson, L. H., Chaisson, R. E., Daley, C. L., Grzemska, M., Higashi, J.
M., Ho, C. S., Hopewell, P. C., Keshavjee, S. A., Liendhardt, C., Menzies,
R., Merrifield, C., Narita, M., O’Brien, R., Peloquin, C. A., Raftery, A.,
Saukkomen, J., Schaaf, H. S., Sotgiu, G., Starke, J. R., Migliori, G. B. And
Vernon, A. 2016, 'Official American Thoracic Society/Centers for Disease
Control and Prevention/Infectious Diseases Society of America Clinical
Practice Guidelines: Treatment of Drug-Susceptible Tuberculosis', Oxford
University Press, vol. 63, no. 7, pp. 147–185. doi: 10.1093/cid/ciw376.

Nathania, Maggie. 2019. Hipokalemia – Diagnosis Dan Tatalaksana. CDK – 273.


Vol (2) : 103 – 107.

Ndraha, S. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Depertemen


Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univeritas Krida Wacana Jakarta. Vol
(27). No (2).

Padila. (2013) Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia, PERKENI, Jakarta.

PR, D. and RV, V. T. 2016, 'Use of corticosteroids in tuberculous meningitis Lancet',


vol. 387, no. 2585, p. 87.

Rab, Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru-paru. Jakarta: CV Trans Info Media.
Rock, R. B., Olin, M., Baker, C. A., Molitor, T. W. and Peterson, P. K. 2008,
'Central Nervous System Tuberculosis : Pathogenesis and Clinical Aspects',
vol. 21, no. 2, pp. 243–256. doi: 10.1128/CMR.00042-07.

Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. 2010. Familial hypokalemic
periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in pregnancy.
Canada Journal Anaesth. 47:160–164.

Soegondo, Sidartawan. 2010. Farmakoterapi Pada Pengandalian Glikemia Diabetes


Mellitus Tipe 2. Jakarta: FKUI
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Sulistyowati,T, Kusumaningrum, D, Budi Koendhori, E Dan Made Mertaningsih,


N. 2017. Tuberculous Meningitis: The Microbiological Laboratory Diagnosis
and Its Drug Sensitivity Patterns. Surabaya. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.

Syaifuddin. 2010. Anatomi Fisiologi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC

Tandra, H. 2013. Life Healty with Diabetes. Yogyakarta: Rapha Publishing

Thamrin, A. P. Y. 2015, 'PRIA 31 TAHUN DENGAN SUSPEK MENINGITIS


TUBERKULOSIS DAN AIDS', Jurnal Medula, vol. 4, no. 1, p. 1.

Utari Almi, D. 2013. Hematemesis Melena Et Causa Gastritis Erosif Dengan


Riwayat Penggunaan Obat NSAID Pada Pasien Laki – Laki Lanjut Usia.
Medula. Vol (1). No (1).

World Health Organization. (2016). Global report on diabetes. World Health


Organization. http://www.who.int/iris/handle/10665/204871

Yosmar, R., Almasdy, D., & Rahma, F. 2018. Survei Risiko Penyakit Diabetes
Melitus Terhadap Kesehatan Masyarakat Kota Padang. Jurnal Sains Farmasi
Dan Klinis.

Anda mungkin juga menyukai