PENULIS :
PEMBIMBING :
Hari :
Tanggal :
Oleh:
I DEWA WISNU PUTRA
Disetujui Oleh:
Bagian Paru
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kemudahan kepada
penulis untuk menyelesaikan Tugas Laporan Kasus Paru dengan judul “Pasien
Pada penulisan Tugas Laporan Kasus, penulis sadar masih banyak terdapat
kekurangan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan
segala kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan tugas laporan kasus
ini.
NPM. 21710172
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................3
DAFTAR ISI..............................................................................................................................4
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................5
A. Latar Belakang..........................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................7
LAPORAN KASUS...................................................................................................................7
B. Riwayat Penyakit.......................................................................................................7
C. Foto Thoraks............................................................................................................10
E. FOLLOW UP...........................................................................................................15
BAB III.....................................................................................................................................19
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................19
A. Definisi......................................................................................................................19
B. Epidemiologi............................................................................................................20
C. Etiologi......................................................................................................................21
D. Manifestasi Klinis....................................................................................................23
E. Patofisiologi..............................................................................................................26
F. Diagnosa...................................................................................................................30
G. Penatalaksanaan......................................................................................................36
BAB IV....................................................................................................................................49
KESEIMPULAN......................................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................50
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis. Tubekculosis bisa menyerang bagian paru – paru dan dapat menyerang
semua bagian tubuh (Puspasari, 2019). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman
mycobacterium tuberculosis menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya. Bakteri masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang
baik terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah dan menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening (Sofro, dkk, 2018).
Meninginitis Tuberkulosis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater,
dan cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid
di sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel.3 Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70- 80%
dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner dan
0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, penyakit
ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di negara
maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Umumnya meningitis tuberkulosis berhubungan erat
dengan koinfeksi HIV (Giok, dkk, 2016).
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit metabolik dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-
sel beta (β) langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (Yosmar, Almasdy, dan Rahma, 2018).
DM tipe 2 (Non-Insulin Dependent ) Diabetes Melitus tipe 2 ditandai dengan resistensi
jaringan terhadap kerja insulin disertai difisiensi relatif pada sekresi insulin. Individu yang
terkena dapat lebih resisten atau mengalami difisiensi sel β yang lebih parah. Pasien DM tipe
2 mungkin tidak memerlukan insulin, tapi 30% pasien akan mendapatkan keuntungan dari
terapi insulin, sekitar 10-20% pasien yang didiagnosa DM tipe 2 sebenarnya mengalami
diabetes kombinasi. Pada pasien DM tipe 2 lebih rendah risiko terjadinya komplikasi akut
metabolik seperti ketoasidosis (Ndraha, 2014).
Hipokalemia adalah keadaan dimana kadar kalium dalam tubuh berada dibawah batas
normal, kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan
kalium dari tubuh, maupun karena gerakan kalium ke dalam sel-sel. Hipokalemia jarang
terjadi karena ketidakadekuatan masukan kalium. Perubahan kadar kalium serum menunjukan
perubahan pada kalium ekstraselular. Perubahan kadar kalium tidak selalu menunjukan
perubahan pada kadar total tubuh. Hipokalemia ditandai dengan keletihan, kelemahan otot,
kram kaki, otot lembek atau kendur, mual, muntah, ileus, dan penurunan konsentrasi urine
(poliuria). Selain itu, dapat juga ditandai dengan penurunan bising usus karena kelemahan
otot polos, nadi lemah dan tidak teratur, dan penurunan tonus otot (Mima, M., dkk 2001).
Hematemesis adalah muntah darah atau darah kehitaman warna Hematemesis
tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar
kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah- merahan dan
bergumpal- gumpal. Biasanya terjadi Hematemesis bila ada perdarahan di daerah Proksimal
Jejunun dan Melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan Hematemesis. Paling
sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan Melena. Banyaknya
darah yang keluar selama Hematemesis atau Melena sulit dipakai sebagai patokan untuk
menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab dari Hematemesis
melena salah satunya adalah karena varises esovagus (Padila, 2013).
Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam darah. Batasan
hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama tergantung dari golongan umur. Seorang pria
dewasa dikatakan menderita hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0
mg/dl. Sedangkan hiperurisemia pada wanita dewasa terjadi bila kadar asam urat serum di
atas 6,0 mg/dl. Ginjal merupakan organ yang berperan megendalikan kadar asam urat di
dalam darah agar selalu dalam batas normal. Organ ginjal mengatur pembuangan asam urat
melalui urin. Namun bila produksi asam urat menjadi sangat berlebihan atau pembuangannya
berkurang, kadar asam urat di dalam darah menjadi tinggi, keadaan ini disebut Hiperurisemia
(Putra, 2014).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien :
Nama : Akhmad Prayudi
Tempat Tanggal Lahir : Pasuruan 24 Maret 1983
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Gang VI
Pekerjaan : Wiraswasta
B. Riwayat Penyakit
25/04/2022
Genitalia DBN
Anus DBN
Ekstremitas AH (+/+), CRT < 2, Edema (-/-)
Atas
Ekstremitas AH (+/+), CRT < 2, Edema (-/-)
Bawah
Status Tidak ada
Tabel 2. 1 Tabel Anamnesis Pasien
C. Foto Thoraks
21/04/22
>6,1
>115
Gula Darah
Hematokrit H, 54,2 % 37 – 53
Leukosit H 14,00 x 10³ 4,5 - 11
/ul
Neutrofil H, 89,2 % 35 – 66
Limfosit L, 5,2 % 24 – 44
/ul
/ul
FAAL GINJAL
ELEKTROLIT
KIMIA KLINIK
BLOOD GAS
( 18 – 04 – 2022 )
(Analisa Gas
Darah)
GULA DARAH
%
Hb – A1c 5,7 3,8 – 6,0
21/04/22
mg/dl
Gula Darah 83 70 – 100
Puasa
Nilai Kritis <50 or
26/04/22 >450
FAAL GINJAL
26/04/2022
ELEKTROLIT
22/04/2022
Penurunan GCS 415, Tensi : Ensefolopati O2 8 Tpm
Kesadaran 136/91, RR : 25x/mnt TB Paru Inf KN – 2, 14 Tpm
GDA 137 DM Tipe 2 Lansoprazole 2x30 mg
CT – Scan kepala (N) Hipokalemia Po :
GD (N), Asam urat 8,4 Hiperurisemia KSR 3x600 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1. Tuberkulosis Paru
Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras
yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri
dalam paru. Tuberkulosis paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tuberkulosis paru
dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan tuberkulosis aktif pada paru
batuk, bersin atau bicara. Tuberkulosis paru adalah penykit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yang sebagian besar
kuman Tuberkulosis menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya. Kuman tersebut berbentuk batang yang mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu, disebut juga sebagai
Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar sinar matahari langsung
namun dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab
(Muttaqin, 2012).
2. Diabetes Militus Tipe 2
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit yang ditandai adanya
hiperglikemia dan terjadi gangguang metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang berkaitan dengan gangguan kekurangan pada insulin secara absolut atau
relatif baik dari segi sekresi maupun kerja insulin. Pada pasien DM dapat
dikeluhkan berbagi gejala diantarnya polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan
berat badan dan kesemutan (Buraerah, 2010).
DM tipe 2 (Non-Insulin Dependent DM atau NIDDM) Diabetes Melitus tipe 2
ditandai dengan resistensi jaringan terhadap kerja insulin disertai difisiensi relatif
pada sekresi insulin. Individu yang terkena dapat lebih resisten atau mengalami
difisiensi sel β yang lebih parah. Pasien DM tipe 2 mungkin tidak memerlukan
insulin, tapi 30% pasien akan mendapatkan keuntungan dari terapi insulin, sekitar
10-20% pasien yang didiagnosa DM tipe 2 sebenarnya mengalami diabetes
kombinasi. Pada pasien DM tipe 2 lebih rendah risiko terjadinya komplikasi akut
metabolik seperti ketoasidosis.
3. Hipokalemia
Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L
yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya
gangguan perpindahan ion kalium ke dalam sel (Nathania, 2019).
4. Hematemesis
Hematemesis (muntah darah) dan melena (berak darah) merupakan keadaan
yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (upper gastrointestinal
tract). Kebanyakan kasus hematemesis adalah keadaan gawat di rumah sakit yang
menimbulkan 8%-14% kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan
dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk menilai masalah ini
sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam menentukan
sumber perdarahan (Utari, 2013).
5. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak yang
disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosa. Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit paru.
Infeksi primer yang muncul di paru dapat menyebar secara hematogen maupun
limfogen ke berbagai bagian tubuh diluar paru, seperti perikardium, usus, kulit,
tulang, sendi, dan selaput otak. Kuman tuberculosis yang menyerang susunan
saraf pusat ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis, tuberkuloma, dan
araknoiditis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis tuberkulosis dengan
kasus terbanyak berupa Meningitis Tuberculosis (Masfiyah, dkk, 2013).
B. Epidemiologi
1. Tuberkulosis Paru
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun
2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB
bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian
besar terjadi di negara berkembang. World Health Organization
memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih
banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS.
Tuberkulosis adalah salah satu dari sepuluh penyakit yang menyebabkan
angka kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2015 jumlah penderita TB baru di
seluruh dunia sekitar 10,4 juta yaitu laki – laki 5,9 juta, perempuan 3,5 juta dan
anak – anak 1,0 juta. Diperkirakan 1.8 juta meninggal antara lain 1,4 juta akibat
TB dan 0,4 juta akibat TB dengan HIV (WHO, 2016).
2. Diabetes Militus Tipe 2
Diabetes Mellitus pada tahun 2013 di perkirakan akan meningkat ke seluruh
dunia pada tahun 2035 menjadi 592 juta penderita. Indonesia menempati urutan
ke-4 dengan jumlah penderita 8,4 juta terbesar di dunia setelah India, Cina, dan
Amerika Serikat. Studi WHO dan PERKENI menunjukkan hasil yang serupa
yaitu adanya peningkatan angka insidensi dan prevalensi Diabetes Mellitus Tipe
2, baik di dunia maupun di Indonesia Menurut WHO (2014), Indonesia memiliki
jumlah penderita Diabetes Mellitus sebanyak 8,5 juta dari total penduduk, dan
diprediksi akan terus meningkat. PERKENI (2011) menyatakan terjadi
peningkatan jumlah penyandang Diabetes Mellitus sebanyak 2-3 kali lipat pada
tahun 2030.
3. Hipokalemia
Insidensinya yaitu 1 dari 100.000 periodik paralisis hipokalemi banyak terjadi
pada pria daripada wanita dengan rasio 3-4 : 1. Usia terjadinya serangan pertama
bervariasi dari 1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan
kemudian menurun dengan peningkatan usia (Lin et al., 2004). Bila gejala-gejala
dari sindroma tersebut dapat dikenali dan diterapi secara benar maka pasien dapat
sembuh dengan sempurna.
4. Hematemesis
Di negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per 100.000
penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita.Insidensi ini meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui.
Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tuka k peptik menempati
urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofageal
merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60 %, gastritis erosiva hemoragika sekitar
25-30 %, tukak peptik sekitar 10-15 %, dan karena sebab lainnya < 5 % (Utari, 2013).
5. Meningitis Tubekculosis
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013 menyatakan bahwa
terdapat 9 juta penduduk Dunia terinfeksi kuman TB, terjadi peningkatan pada
tahun 2014, terdapat 9,6 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dimana
angka kematian mencapai 1,5 juta jiwa, wilayah Afrika menduduki jumlah kasus
terbanyak (37%), dan wilayah Asia tenggara (28%) dan wilayah Mediterania
Timur (17%) dari jumlah kasus TB pada tahun 2014(6) .Angka insidensi
tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa,
dengan tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari 100.000 jiwa
(Masfiyah, dkk, 2013).
C. Etiologi
1. Tuberkulosis Paru
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita Tuberkulosis BTA
positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman
Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
2. Diabetes Militus Tipe 2
Faktor – faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya dibetes tipe
2 adalah:
a. Usia : Risiko terjadinya diabetes tipe 2 meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Resistensi insulin mulai terjadi pada usia 45 tahun dan
cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun. Hal ini terjadi karena orang –
orang diusia ini cenderung kurang bergerak, kehilangan massa otot, dan
bertambah berat badan. Selain itu, proses penuaan juga mengakibatkan
penurunan fungsi sel beta pankreas sebagai penghasil insulin (Brunner &
Suddarth, 2015).
b. Obesitas : Memiliki kelebihan berat badan merupakan faktor risiko utama
untuk diabetes tipe 2. Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas.
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitive (Soegondo, 2010).
c. Riwayat keluarga : Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar
monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara
kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik
adalah yang paling kuat (Price & Wilson, 2012).
d. Kelompok etnik : Meskipun masih belum jelas mengapa, kebanyakan orang
dari suatu ras termasuk ras hitam, hispanik, Indian Amerika dan Asia-Amerika
lebih cenderung memiliki risiko terhadap DM tipe 2 dibandingkan ras kulit
putih (Brunner & Suddarth, 2015).
3. Hipokalemia
Berdasarkan etiologinya paralisis hipokalemi dibagi menjadi 2 yaitu idiopatik
periodik paralisis hipokalemi disertai tirotoksikosis dan secondary periodik
paralisis hipokalemi tanpa tirotoksikosis. Selain itu faktor genetik juga
mempengaruhi terjadinya paralisis hipokalemi, terdapat 2 bentuk dari hipokalemic
periodik paralysis yaitu familial hipokalemi dan sporadik hipokalemi. Familial
hipokalemi diturunkan secara autosomal dominan, kebanyakan kasus dinegara
Barat dan sebaliknya di Asia kasus terbanyak adalah sporadik hipokalemi yang
disebabkan oleh tirotoksikosis hipokalemi (Robinson et al., 2010).
4. Hematemesis
Hematemesis dan melena merupakan suatu keadaan yang gawat dan
memerlukan perawatan segera di rumah sakit. (Syaifudin.2010). Etiologi dari
Hematemesis melena adalah :
a) Kelainan esofagus : varise, esofagitis, keganasan.
b) Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan
duodenum,keganasan dan lain-lain.
c) Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia dan lain-lain.
d) Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
e) Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat,
kortikosteroid, alkohol, dan lain-lain.
5. Meningitis Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama tuberculosis adalah
gram-positif,, aerobic, non-spora, non-motilitas, batang pleomorfik yang sering
dikaitkan dengan Actinomycetes. Penamaan ini didasarkan pada kemampuan M.
tuberculosis untuk mempertahankan ikatan dengan fuschin yang disebabkan oleh
tingginya kandungan lipid pada dinding sel. Pewarnaan dengan carbol fushin ini
dikembangkan oleh Ziehl dan Neelsen untuk pewarnaan preparat apus M.
tuberculosis (Bakhtiar, 2016).
D. Manifestasi Klinis
1. Tuberkulosis Paru
Gejala utama TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih.batuk biasanya diikuti gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari 1 bulan. Menurut Tabrani Rab (2013), Gejala klinis yang tampak tergantung
dari tipe infeksinya.Pada tipe infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh
sendiri atau dapat berupa gejala pneumonia, yakni batuk dan panas ringan.
Gejala tuberkulosis, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan
efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura
dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya 50%.
Tuberkulosis post primer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat
dingin pada malam hari, tempratur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua
minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar
bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke
batuk darah yang masif, TB postprimer dapat menyebar ke berbagai organ
sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosismiliar,
peritonitisdengan fenoma papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis
pada kelenjar limfe dileher, yakni berupa skrofuloderma. (Kemenkes, 2014)
2. Diabet Militus Tipe 2
Manifestasi klinis diabetes mellitus yaitu (Tandra, 2013) :
a) Banyak Kencing (poliuri)
b) Rasa haus (polidipsi)
c) Berat badan menurun
d) Rasa seperti flu dan lemah
e) Luka yang susah sembuh
f) Gusi merah dan bengkak
g) Kesemutan
h) Kulit kering dan gatal
i) Mudah infeksi
j) Gatal kemaluan
3. Hipokalemia
Derajat manifestasi cenderung seimbang dengan keberatan dan lama hipokalemia.
Gejala biasanya tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0 mEq/L, kecuali
kadar kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai faktor-faktor yang
memperberat seperti kecenderungan aritmia karena penggunaan digitalis. Gejala biasanya
membaik dengan koreksi hipokalemia.
Kelemahan otot berat atau paralisis, kelemahan otot biasanya tidak timbul pada kadar
kalium di atas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia terjadi perlahan. Namun, kelemahan yang
signifikan dapat terjadi dengan penurunan tiba-tiba, seperti pada paralisis hipokalemik
periodik, meskipun penyebab kelemahan pada keadaan ini mungkin lebih kompleks.
4. Hematemesis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya
kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai
berikut :
a) Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan
diare.
b) Demam, berat badan turun, lekas lelah.
c) Ascites, hidratonaks dan edema.
d) Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
e) Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecilkarena fibrosis. Bila secara
klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan oleh
sebab-sebab lain, ditambahkan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan
kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
f) Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral didinding, koput medusa,
wasir dan varises esofagus.
g) Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
E. Patofisiologi
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru terinfeksinya dari awal di karena seseorang yang menghirup
basil mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebar dari jalan napas menuju
alveoli lalu berkembang biak dengan terlihat bertumpuk. Perkembangan
mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru
(lobus atas). Basil juga bisa menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteksserebri) dan area lain dari paru (lobus
atas). Selanjutnya sistem kekebalan daya tubuh memberikan suatu respon dengan
cara reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis(menelan
bakteri), sementara limfositspesifik-tuberkulosis menghancurkan dengan
(melisiskan) basil dan jaringannya normal. Infeksi dari awal biasanya timbul
sekitar 2-10 minggu setelah itu terpapar bakteri. Interaksi antara mycobacterium
tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada penderita awalnya infeksi
membentuk seuatu massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terbagi atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan
fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang
terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang bentuknya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini
akan menjadi klasifikasi dan juga dapat membentuk jaringan kolagen, kemuadian
bakteri itu menjadi nonaktif (Somantri, 2009).
Setelah terinfeksi awal jika respon sistemnya imun tidak adekuat maka
penyakitnya akan semakin parah. Penyakit semakin parah akan menimbulkan
infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif lagi.
Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga dapat menghasilkan
necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi
sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian
meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembangbiak di dalam sel
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkelepiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-
20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi
sel epiteloid dan fibroblas akan memberikan respons berbeda kemudian pada
akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2009).
Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan elektrolit urine diperlukan untuk menentukan patofisiologi
hipokalemia dengan membedakan penyebab renal maupun non renal. Kadar
kalium urine yang rendah (<20 mEq/L) menunjukkan adanya kehilangan dari
saluran gastrointestinal, asupan yang kurang maupun adanya pergeseran kalium
ekstraseluler ke intraseluler, sedangkan kadar kalium urine > 40 mEq/L
menunjukkan adanya kehilangan dari renal. Kalsium dalam urine juga
diperlukan untuk mengeksklusi diagnosis banding sindrom Bartter.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram perlu dilakukan untuk mengevaluasi
apakah kondisi hipokalemia telah mempengaruhi fungsi jantung atau
mendeteksi kemungkinan toksisitas digoksin. Pada pemeriksaan EKG dapat
dijumpai takiaritmia atrial maupun ventrikular, penurunan amplitudo
gelombang P dan adanya gelombang U. Namun, gambaran EKG dapat
menunjukkan kesan normal maupun perubahan yang sangat minimal sebelum
terjadinya disritmia yang signifikan secara klinis. Perubahan pola EKG yang
mungkin dijumpai antara lain:
Disritmia ventrikular
Pemanjangan interval QT
Depresi segmen ST
Pendataran gelombang T
Adanya gelombang U
Aritmia ventrikular seperti (premature ventricular contractions, torsade
de pointes, dan fibrilasi ventrikel)
Aritmia atrial (premature atrial contractions, fibrilasi atrial)
4. Hematemesis
a) Laboratorium
Darah : Hb menurun / rendah
SGOT, SGPT yang meningkat merupakan petunjuk kebocoran dari sel
yang mengalami kerusakan.
Albumin, kadar albumin yang merendah merupakan cerminan
kemampuan sel hati yang kurang.
Pemeriksaan CHE (kolineterase) penting dalam menilai kemampuan sel
hati. Bila terjadi kerusakan kadar CHE akan turun.
Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
Peninggian kadar gula darah.
Pemeriksaan marker serologi pertanda ureus seperti HBSAg/HBSAB,
HBeAg, dll
b) Radiologi
USG untuk melihat gambaran pembesaran hati, permukaan splenomegali,
acites
Esofogus untuk melihat perdarahan esofogus
Angiografi untuk pengukuran vena portal
5. Meningitis Tuberkulosis
Penegakan diagnosis TB Meningitis didasarkan pada karakteristik klinis,
seluler laboratorium, mikrobiologi (LCS), dan radiological imaging (Masfiyah et
al., 2013). Diagnosis TBM berdasarkan deteksi Bakteri Tahan Asam (BTA) pada
apusan LCS (Ersoz et al., 2012).
Lumbar pungsi dilakukan kepada semua pasien yang dicurigai menderita
encephalitis yang berhubngan dengan akut meningitis, jika mereka menunjukkan
tanda dan gejala terlibatnya cerebral seperti (Jarrin et al., 2016) :
a) Kejang
b) Penurunan kesadaran
c) Kebingungan
d) Tanda neurologic focal
Diagnosis pasti TBM dapat ditegakkan setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien
dengan gejala dan tanda penyakit di SSP (defisit neurologis). BTA atau M.tuberculosis
terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau setelah dilakukan kultur cairan
serebrospinal (Huldani, 2012). Pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap CSS tetap
menjadi landasan baku emas (Feng et al., 2014). Menurut (Sulistyowati et al., 2017)
specimen diteteskan ke kaca objek dan dibuat hapusan direk. Setelah kering di udara,
hapusan dilakukan pengecatan dengan Ziehl Neelsen untuk pemeriksaan mikroskopis
BTA. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pada mikroskop cahaya dengan perbesaran
lensa objektif 1000x dan minyak imersi. Deteksi BTA positif adalah minimal 1 (satu)
BTA pada minimal 100 (serratus) lapang pandang.
Karakteristik klinik seperti gejala yang lebih lama (>6 hari), Cairan serebrospinal
pleiocytosis sedang, dan timbulnya focal defisit meningkatkan kemungkinan TBM.
Temuan karakteristik terhadap cairan serebrospinal pada TBM meliputi (Marx and Chan,
2011) :
a) Lymphocytic-predominant pleiocytosis. Jumlah sel putih normal diantara 100 dan
500 cells/µL. Pada gejala awal, jumlah lebih rendah dan neutrophil predominan
mungkin muncul.
b) Meningkatnya jumlah protein, normal diantara 100 dan 500mg/gL
c) Rendahnya kadar glukosa, biasanya kurang dari 45mg/dL atau CSS : ratio plasma
<0,5.
Pemeriksaan radiologi berupa CT scan tidak selalu spesifik menggambarkan
adanya kelainan pada TB Meningitis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh
eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum
ditemukan. Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI,
khususnya MRI dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan
eksudat sisterna. Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran
radiologi TB Meningitis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu
hidrosefalus, vasculitis, infark dan neuropati kranial (Taheri et al., 2014).
Gambar III.1. CT-Scan TBM, CT kontras pada pasien TBM menunjukkan adanya peningkatan
pada sisterna basalis dan meninges dengan dilatasi ventricle (Piyush Ojha, 2015)
G. Penatalaksanaan
1. TB Paru
Pengobatan tuberkulosis bertujuan
untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Mikobakteri merupakan kuman
tahan asam yang sifatnya berbeda
dengan kuman lain karena tumbuhnya
sangat lambat dan cepat sekali timbul
resistensi bila terpajan dengan satu
obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat
membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat
membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih
sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain.
Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis (mg) / BB (kg)
Dosis
Oba (mg/ Harian Intermitte Maks
t kg
BB/hari (mg/kg (mg/kg (mg) <40 40-60 >60
BB/hari) BB/hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 - 750 1000 1500
E 15-20 15 30 - 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa
kategori yaitu :
Kategori 1
2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid,
dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat
INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan
kepada: a. Penderita baru TBC paru BTA positif. b. Penderita TBC ekstra paru
(TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2
HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada :
Penderita kambuh.
Penderita gagal terapi.
Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3
2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru
mendukung aktif(10).
Kategori 4
RHZES Diberikan pada kasus Tb kronik .
Kategori Kasus Panduan Obat Keterangan
c. Jasmani
Prinsip latihan jasmani pasien diabetes sama saja dengan prinsip
jasmani secara umum, yaitu frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis
aktivitas. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu dengan durasi 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu. Latihan yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50- 70%
denyut jantung maksimal), seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang.
Masalah utama pada diabetes mellitus tipe 2 adalah kurangnya
respon reseptor terhadap insulin. Kontraksi otot saat berolahraga
memiliki sifat seperti insulin (insulin effect). Permeabilitas membran
terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi. Pada saat
melakukan latihan jasmani, resistensi insulin berkurang dan sebaliknya
sensitivitas insulin meningkat (Fahrudin 2011).
d. Farmakologis
Perlu dilakukan penambahan obat oral atau insulin apabila terdapat
kegagalan dalam menerapkan pilar latihan jasmani. Terapi farmakologis
ini diberikan bersamaan dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Menurut Fahrudin (2011) obat-obat untuk pasien
diabetes mellitus, yaitu:
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) seperti sulfoniluria dan biguanida.
Insulin : Beberapa hal harus diperhatikan saat memilih obat
hipoglikemik oral, seperti dosis yang dimulai dari dosis rendah,
cara kerja, lama kerja, dan efek samping. Indikasi pemberian obat
hipoglikemik oral menurut Soegondo dalam Fahrudin (2011)
adalah sebagai berikut : a. Diabetes sesudah umur 40 tahun. b.
Diabetes kurang dari 5 tahun. c. Memerlukan insulin kurang dari 40
unit per hari. d. Diabetes mellitus tipe 2 berat badan normal atau
lebih.
3. Hematemesis
Menurut Bararah dan Jauhar (2013) penatalaksanaan pada pasien dengan
hematemesis melena diantaranya sebagai berikut:
a) Penatalaksaan Medis
Resusitasi cairan dan produk darah : Jika kehilangan cairan > 1500 ml
membutuhkan penggantian darah selain cairan, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan golongan darah dan cross-match.
Penggunaan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ vital, seperti
dopamine, epineprin, dan norefineprine untuk menstabilkan pasien.
Mendiganosa penyebab pendarahan :
- Dilakukan dengan endoskopi fleksibel.
- Pemasangan selang nasogastrik untuk mengkaji tingkat pendarahan.
- Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum)
untuk melihat adanya varises pada 1/3 distal esofagus, kardia dan
fundus lambung setelah hematemesis terjadi.
- Angiografi apabila tidak terkaji melalui endoskopi.
Perawatan Definitif
- Terapi endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dilaksanakan sedini mungkin untuk
mengetahui secara tepat sumber perdarahan, baik yang berasal dari
esofagus, lambung, maupun duodenum.
- Skleroterapi merupakan sebuah cara atau metode yang dipakai untuk
mengobati varises atau spider veins dengan cara menyuntikkan
cairan khusus ke pembuluh vena agar menyusut.
- Bilas lambung
- Pemberian pitresin. Pemberian pitresin dilakukan apabila bilas
lambung atau skleroterapi tidak berpengaruh, obat ini akan
menurunkan tekanan vena porta sehingga aliran darah akan menurun
dengan dosis 0,2- 0,6 unit/menit. Pitresin juga akan menyebabkan
kontriksi pembuluh darah dan menyeimbangan cairan dalam tubuh.
- Mengurangi asam lambung. Menurunkan keasaman sekresi lambung
dengan obat histamine (H2) antagonistic seperti simetidin, ranitidine
hidrokloride, famotidin, dan antasida. Dosis tunggal akan
menurunkan sekresi asam selama hampir 5 jam.
Memperbaiki Status Hipokoagulasi Pemberian vitamin K dalam bentuk
fitonadion (aqua mephyton) 10 mg melalui im atau iv dengan lambat
untuk mengembalikan masa protombin menjadi normal.
Balon Tamponade
Sebaiknya balon tamponade dilakukan sesudah penderita tenang dan
kooperatif, sehingga bisa dijelaskan mengenai prosedur tindakan.
Terdapat bermacam-macam balon tamponade antara lain tube
sangstaken-blakemore, minnesoata, linton-nachlas yang mana dapat
berfungsi untuk mengontrol pendarahan gastrointestinal bagian atas
akibat varises esofagus.
Terapi Pembedahan : Reseksi lambung (antrektomi), Gastrektomi,
Gastroenrostomi, Vagotomi dan Operasi dekompresi hipertensi porta.
4. Hipokalemia
Sediaan kalium, kalium klorida baik oral maupun intravena secara umum
lebih disukai dibandingkan kalium sitrat atau bikarbonat, terutama pada pasien
dengan alkalosis metabolik oleh karena terapi diuretik, vomitus dan
hiperaldosteronisme. Pada keadaan lain, kalium sitrat atau bikarbonat seringkali
disukai pada pasien dengan hipokalemia dan asidosis metabolik. Keadaan di atas
paling sering terjadi pada asidosis tubular ginjal dan keadaan diare kronik.
Kalium klorida oral dapat diberikan dalam bentuk kristal, cairan atau dalam
bentuk tablet lepas lambat. Kristal pengganti garam mengandung antara 50-65
mEq tiap sendok teh, secara umum sediaan ini aman, dapat ditoleransi dengan
baik dan lebih murah dibandingkan dengan sediaan lain sehingga dapat menjadi
pilihan apabila biaya menjadi salah satu faktor pertimbangan.
Hipokalemia ringan sedang, sebagian besar pasien mempunyai
konsentrasi kalium serum antara 3,0 sampai 3,5 mEq/L; pada derajat penurunan
kalium seperti ini biasanya tidak memberikan gejala apapun, keculai untuk
pasien dengan penyakit jantung (terutama bila mendapatkan digitalis atau bedah
jantung) atau pada pasien-pasien dengan sirosis lanjut. Terapi pada keadaan ini
ditujukan ke arah penggantian kalium yang hilang dan menangani permasalahan
mendasar (seperti vomitus dan diare). Pengobatan biasanya dimulai dengan 10-
20 mEq/L kalium klorida diberikan 2 – 4 kali perhari (20-80 mEq/hari),
tergantung kepada keberatan hipoklaemia dan juga apakah akut atau kronik.
Pemantauan kalium serial penting untuk menentukan apakah diperlukan terapi
lanjut, dengan frekuensi pemantauan tergantung derajat keberatan hipokalemia.
Hipokalemia berat, kalium harus diberikan lebih cepat pada pasien dengan
hipokalemia berat (kadar kaliun <2,5 sampai 3,0 mEq/L) atau simtomatik
(aritmia, kelemahan otot berat). Meskipun demikian, kehati-hatian harus
dilakukan pada saat memberikan kalium pada pasien dengan kelainan penyerta,
yang akan membuat kalium masuk ke dalam sel dan memperberat hiperglikemia.
Dua contoh utama adalah terapi insulin pada ketoasidosis diabetik atau
hiperglikemia nonketotik dan terapi bikarbonat pada asidosis metabolik.
Terapi kalium paling mudah diberikan peroral. Konsentrasi kalium serum
dapat naik dengan cepat sekitar 1-1,5 mEq/L setelah dosis oral 40-60 mEq/L dan
sekitar 2,5-3,5 mEq/L setelah terapi 135- 160 mEq/L; kadar kalium kemudian
akan turun kembali ke arah nilai dasar oleh karena sebagian besar kalium
eksogen akan diambil oleh sel. Pasien dengan kadar kalium serum 2 mEq/L
sebagai contoh, mungkin memiliki defisit kalium antara 400-800 mEq/L.
Oleh karenanya, kalium klorida dapat diberikan secara oral dengan dosis 40-
60 mEq/L, tiga sampai empat kali sehari. Apabila dapat ditoleransi, harus
diberikan terus menerus sampai konsentrasi kalium serum terus berada di atas
3,0 sampai 3,5 mEq/L atu gejala membaik selanjutnya dosis dan frekuensi
pemberian dapat dikurangi untuk mencegah iritasi lambung. Selama koreksi,
pemantauan kadar kalium serum diperlukan untuk memastikan suplementasi
kalium dilanjutkan sampai cadangan tubuh dipenuhi dan menghindari
hiperkalemia. Selama terapi kronik, kadar kalium serum harus dipantau antara 3
sampai 4 bulan atau bila diperlukan secara klinis.
Terapi intravena, kalium klorida dapat diberikan intravena sebagai
tambahan terapi pengganti oral pada pasien dengan hipokalemia berat
simtomatik. Keterbatasan utama untuk terapi intravena termasuk risiko
kelebihan cairan pada pasien risiko tinggi dan hiperkalemia karena koreksi
berlebih.
Pemberian kalium intravena yang direkomendasikan berkisar antara 10-20
mEq/L / jam; pemberian dengan laju yang lebih tinggi mempunyai risiko tinggi
hiperkalemia. Meskipun demikian, pemberian sebanyak 40-100 mEq/Ljam dapat
diberikan pada pasien-pasien tertentu dengan paralisis atau aritmia mengancam
jiwa. Pada keadaan ini, larutan mengandung 200-400 mEq kalium per liter telah
digunakan, pada praktisnya larutan dengan konsentrasi 100-200 mEq/L lebih
sering digunakan. Konsentrasi larutan 10-20 mEq/L kalium dijadikan dalam 100
cc cairan untuk menghindari pemberian kalium intravena dalam jumlah besar
secara tidak sengaja. Apabila konsentrasi tinggi digunakan, usaha-usaha untuk
menjaga keamanan harus dilakukan dengan pemberian menggunakan pompa
infus. Larutan kalium dengan konsentrasi lebih dari 60 mEq/L seringkali nyeri
dan harus diberikan lewat vena sentral.
5. Meningitis Tuberkulosis
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui
apusan atau kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS. Hal ini karena
pemeriksaan terbaik juga mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis
pada pasien TBM, infeksi HIV, dan anak kecil. Maka, pada kondisi ini atau pada
pasien dimana dicurigai tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan
untuk memulai terapi empiris sembari menunggu hasil pmeriksaan (Kementrian
Kesehatan RI 2016).
a) Farmakologi
Tuberkulosis paru dan ekstra paru ditatalaksana dengan regimen
antituberculosis yang sama, yaitu rifampisisn, isoniazid, piraazinamid,
etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4
bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli merekomendasikan pemberian
terapi obat anti tuberculosis pada Meningitis Tuberkulosis selama minimal 9
hingga 12 bulan (WHO, 2010). WHO dan PDPI mengklasifikasian
Meningitis Tuberkulosis ke dalam kategori I terapi tuberculosis. Pemberian
rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus Tuberkulosis
Meningitis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada
pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan
streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberculosis dengan kondisi
berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin (Thamrin, 2015).
Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6)
mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari;rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB,
maksimum 600 mg/hari pirazinamid 25 (20–30) mg/kgBB, maksimum 2.000
mg/hari;etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari
streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason
0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB (Chin, 2014).
Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB,
maksimum 300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600
mg/hari pirazinamid 35 (30–40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari
etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum 1.000 mg/hari. Dosis
kortikosteroid antara lain deksametason 0,6mg/kgBB atau prednison
2-4mg/kgBB (Nahid et al., 2016).
Pemberian deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien ini
terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan
kesadaran pasien setiap harinya. Peran kortikosteroid pada terapi TB
Meningitis telah dilaporkan bermanfaat dalam sejumlah penelitian. Angka
mortalitas menurun dengan pemberian kortikosteroid intravena. Terapi
dengan deksametason atau prednisolon yang di-tappering offselama 6-8
minggu direkomendasikan pada pasien TB Meningitis. Kortikosteroid
sebaiknya diberikan intravena pada awalnya dan dilanjutkan dengan
pemberian per oral sesuai klinis pasien (Nahid et al., 2016).
Respon jaringan terhadap inflamasi pada TB Meningitis adalah eksudat
inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar otak, nervus dan pembuluh
darah di daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus Willisi, sistem
vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteriserebri media menyebabkan
infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan serebrospinal
setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
hidrosefalus (PR and RV, 2016).
b) Bedah
Sejak berkembangnya efektifitas dari terapi antituberkulosis, peran dari
bedah sebagian besar telah berputar untuk menangani komplikasi yang serius
dari efek massa tuberculoma dan draining dari abses otak. Hydrocephalus
disangkut pautkan merupakan komplikasi dari basal meningitis dimana aliran
dari cairan serebrospinal terblok dari jalur keluarnya pada ventricle
keempat dari jalur penyerapannya di vili arachnoid atau kemungkinan
destruksi dari vili arachnoid nya itu sendiri. Hydrocephalus merupakan
komplikasi yang paling parah dari infeksi dari TBM dan dapat ditatalaksana
dengan diuretic, osmotic agent, lumbar pungsi, external ventricular drainage,
atau VentriculoPeritoneal Shunt (VPS). VPS dan waktu penggunaan pada
anak masih kontroversial. Beberapa penelitian menganjurkan melakukan
VPS pada waktu awal hydrocephalus, terutama pada grade ringan sampai
sedang (grade I/II/III) dan melakukan uji coba drainase eksternal pada kasus
dengan tingkat yang sangat buruk (grade IV). Peran dari VPS telah diperiksa
pada TBM-terkait hydrocephalus menunjukkan hasil yang sukses dengan
kisaran 40 sampai 50% dan komplikasi dari VPS adalah 30% (Rock et al.,
2008).
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis pasien datang dengan kejang serta penurunan kesadaran,
kejang pada jam 4 pagi 1 minggu lalu sekitar 25 min dari rumah hingga rumah sakit.
Tidak sadarkan diri selama 6 hari. Batuk (+) kurang lebih 2 minggu, Sesak (-), Nafas
Cepat, Demam (-), BAB (-), Kencing disertai darah, kalau kencing terasa sakit dan
kecing banyak pada malam hari. Pernafasan cepat dan dalam. 3 hari sebelumnya
pasien mengkonsumsi alcohol. Pada riwayat dahulu pasien umur 7 bulan pasien
sempat mengalami kejang, pasien memiliki riwayat ODGJ di rumah sakit lawing
sekitar 3 tahun lalu selama 10 hari, tidak melanjutkan pengobatan sejak semenjak 3
tahun belakangan dan tidak control. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum lemah,
kesadaran apatis, GCS 4 1 6, tidak bisa bekomunikasi, pada kepala bentuknya flsat
(Bracychepaly), pada thoraks bagian dextra terdengar rhonki, ictus cordis terlihat dan
teraba.
Pada pemeriksaan penunjang terdapat peningkatan HGB, Hematokrit, Leukosit
dan penurunan Linfosit. Pada faal ginjal BUN, Kreatinin dan Asam Urat mengalami
peningkatan. Pada Blood Gas Analisis terdapat peningkatan pO 2, penurunan pH,
pCO2, HCO3 dan CO2. Pada pemeriksaan Elektrolit, Natrium mengalami peningkatan,
penurunan Kalium dan Kalsium Ion. Gula Darah Sewaktu sempat mengalami
peningkatan. Pemeriksaan foto thorax cor tampak besar dan normal, pulmo tampak
fibroinfiltrat dan paracardial kanan sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam. Kesan
suspect TB Paru, selain itu pemeriksaan mengarah pada DM Tipe 2 pada pemeriksaan
gula darah. Pasien juga sempat mengalami post hematemesis. Pasien juga didiagnosis
dengan Hipokalemia dari pemeriksaan laboratorium BUN, Keratinin dan Asam Urat
mengalami kenaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Decroli, E. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakulltas Kedokteran Universitas Andalas.
LeMone, P., Burke, K.M., & Bauldoff, G. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah (ed 5). Jakarta : EGC
Lin SH, Lin YF, Halperin ML.2004. Hypokalemia and paralysis. Q J Med.
94:133±139.
Muttaqin, Arif. 2012. Buku saku gangguan muskuluskeletal aplikasi pada praktik
klinik keperawatan. Jakarta : salemba medika
Nahid, P., Dorman, S. E., Alipanah, N., Barry, P. M., Brozek, J. L., Cattamanchi,
A., Chaisson, L. H., Chaisson, R. E., Daley, C. L., Grzemska, M., Higashi, J.
M., Ho, C. S., Hopewell, P. C., Keshavjee, S. A., Liendhardt, C., Menzies,
R., Merrifield, C., Narita, M., O’Brien, R., Peloquin, C. A., Raftery, A.,
Saukkomen, J., Schaaf, H. S., Sotgiu, G., Starke, J. R., Migliori, G. B. And
Vernon, A. 2016, 'Official American Thoracic Society/Centers for Disease
Control and Prevention/Infectious Diseases Society of America Clinical
Practice Guidelines: Treatment of Drug-Susceptible Tuberculosis', Oxford
University Press, vol. 63, no. 7, pp. 147–185. doi: 10.1093/cid/ciw376.
Rab, Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru-paru. Jakarta: CV Trans Info Media.
Rock, R. B., Olin, M., Baker, C. A., Molitor, T. W. and Peterson, P. K. 2008,
'Central Nervous System Tuberculosis : Pathogenesis and Clinical Aspects',
vol. 21, no. 2, pp. 243–256. doi: 10.1128/CMR.00042-07.
Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. 2010. Familial hypokalemic
periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in pregnancy.
Canada Journal Anaesth. 47:160–164.
Yosmar, R., Almasdy, D., & Rahma, F. 2018. Survei Risiko Penyakit Diabetes
Melitus Terhadap Kesehatan Masyarakat Kota Padang. Jurnal Sains Farmasi
Dan Klinis.