Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS LEPAS BANGSAL

ASPEK DIAGNOSTIK DAN TERAPETIK PADA PASIEN


DENGAN GAGAL JANTUNG

Oleh
dr. Imanuel Maryo Somba

Disetujui tanggal : 8 Mei 2020


dr. Vita Yanti Anggraeni, M. Sc, Ph. D, Sp.PD, Sp.JP ………………………….

dr. Anggoro Budi H, M. Sc, Ph. D, Sp.PD, Sp.JP ………………………….

KSM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN-KESEHATAN MASYARAKAT DAN
KEPERAWATAN UNIVERSITAS GAJAHMADA
RSUP DR SARDJITO
YOGYAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS LEPAS BANGSAL


ASPEK DIAGNOSTIK DAN TERAPETIK PADA PASIEN
DENGAN GAGAL JANTUNG

Oleh :
dr. Imanuel Maryo Somba

Diujikan tanggal : 8 Juni 2020

PENGUJI

1. dr. Sutanto Maduseno, Sp.PD, KGEH :...............................

2. dr. Heni Retrowulan, M.Kes, Sp.PD, KP :...............................

3. dr. Eko Ariwibowo, M.Kes, Sp.PD, KGER : …………………..

4. dr. Noor Asyiqah Sofia, M.Sc, Sp.PD, KPsi : …………………..

PEMBIMBING

1. dr. Vita Yanti Anggraeni, M. Sc, Ph. D, Sp.PD, Sp.JP :...............................

2. dr. Anggoro Budi H, M.Sc, Ph.D, Sp. PD, Sp. JP, :...............................

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHANDAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................................
DAFTAR TABEL...........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................
I. A. Latar Belakang.............................................................................................................1
I. B. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS...........................................................................................................
II. A. Admisi Saat Pasien Masuk Rumah Sakit....................................................................3
II. B. Perkembangan Selama Perawatan di Rumah Sakit.....................................................6
BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................................
III.1. Epidemiologi.............................................................................................................10
III.2. Definisi......................................................................................................................10
III.3. Manifestasi Klinis.....................................................................................................12
III.4. Diagnosis...................................................................................................................14
III.5. Terapi........................................................................................................................19
III.6. Faktor Prognostik......................................................................................................24
BAB IV KESIMPULAN...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................

DAFTAR GAMBAR

iii
Gambar 1. Gambaran EKG saat admisi……………………………………………….5

Gambar 2. Hasil rontgen thoraks saat admisi…………………………………………6

Gambar 3. Gambaran cardiothoracic ratio pada pasien dengan kardiomegali……...17

Gambar 4. Gambaran khas rontgen thoraks pada edema paru………...…………….18

Gambar 5. Gambaran rontgen thoraks pada pembesaran ruang jantung……….……18

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan ACA/AHA dan NYHA…………..11

Tabel 2. Tipe Gagal Jantung…………………………………………………………12

Tabel 3. Gejala dan Tanda Gagal Jantung…………………………………………...13

Tabel 4. Alur Diagnosa Gagal Jantung………………………………………………16

Tabel 5. Algoritma terapetik pada pasien dengan HFrEF simptomatik………….....20

5
BAB I

PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang
Prevalensi gagal jantung pada populasi dewasa di negara berkembang sekitar
1-2%, meningkat ≥10% pada umur 70 tahun (Mosterd et al, 2007). Pada populasi usia
65 tahun yang datang ke layanan kesehatan dengan gejala sesak nafas saat aktivitas,
satu dari enam mengalami gagal jantung yang tidak terdeteksi dini (Van Riet et al,
2014).
Dalam 30 tahun terakhir, peningkatan kualitas terapi telah meningkatkan
kelangsungan hidup dan mengurangi angka rawat inap pada pasien dengan gagal
jantung. Pada pasien dengan gagal jantung, mortalitas terbanyak disebabkan oleh
penyebab kardiovaskuler, sebagian besar karena sudden death dan perburukan gagal
jantung (Pocock et al, 2013).

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala klinis (sesak
nafas, bengkak pada ekstremitas, mudah lelah) yang bisa disertai dengan beberapa
manifestasi klinis seperti peningkatan tekanan vena jugularis, kongesti paru, serta
edema ekstremitas yang disebabkan oleh kelainan struktural dan/atau fungsional
jantung. Hal ini dapat menyebabkan penurunan curah jantung dan/atau peningkatan
tekanan intrakardiak saat istirahat atau saat aktivitas. Sebelum gejala klinis muncul,
pasien juga dapat mengalami kelainan struktur atau fungsional jantung yang
asimptomatik (disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri), dimana itu merupakan
prekursor dari gagal jantung. Penting untuk mengenali munculnya prekursor ini
karena berkaitan dengan prognosis yang buruk, dan memulai terapi saat fase
prekursor bisa mengurangi mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel
kiri (Wang, 2003).

1
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal/ heart failure with preserved
ejection fraction (HRpEF) dan gagal jantung fraksi ejeksi menurun/ heart failure with
reduced ejection fraction (HFrEF) memiliki epidemiologi dan etiologi yang berbeda.
Dibandingkan dengan HFrEF, pasien dengan HFpEF memiliki usia lebih tua, lebih
sering pada perempuan, dan seringkali memiliki riwayat hipertensi dan atrial fibrilasi,
sementara itu riwayat infark miokardial jarang dijumpai (Owan et al, 2006).

I. B. Tujuan Penulisan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pendekatan diagnosis dan tatalaksana gagal jantung berdasarkan


bukti keilmuan terkini.
2. Sebagai syarat lepas bangsal pada program pendidikan dokter spesialis
penyakit dalam.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

II. A. Admisi Saat Pasien Masuk Rumah Sakit

Seorang laki – laki berusia 58 tahun, bertempat tinggal di Mertoyudan,


Magelang, pekerjaan buruh, pendidikan SD, dirawat di RSUP Dr. Sardjito tanggal 10
Desember 2019 sampai 1 Januari 2020, dengan nomor rekam medis 0191xxxx.
Keluhan utama saat masuk rumah sakit adalah sesak nafas, dirasakan pertama kali
sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak dirasakan memberat jika
pasien berjalan jauh atau melakukan pekerjaan berat seperti angkat-angkat barang,
namun membaik dengan istirahat. Sehari-harinya saat tidur, pasien merasa nyaman
dengan menggunakan 2 bantal. Keluhan terbangun dimalam hari karena sesak
disangkal pasien. Pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kaki yang disadari
sekitar 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri dada, mual, muntah,
batuk, serta demam disangkal pasien. Riwayat hipertensi, dan diabetes disangkal
pasien. Riwayat keluhan serupa saat masih anak-anak juga disangkal pasien.
Dua minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak nafas
memberat dan berobat ke RSUD Tidar. Pasien rawat inap dan dikatakan bengkak
jantung dan dipulangkan dengan terapi rutin furosemide 80mg-40mg-0, allopurinol
1x100mg, telmisartan 0-0-40mg, omeprazole 1x20mg, carvedilol 2x3,125mg.
Dikarenakan selama rawat inap pasien juga mengeluh nyeri perut kanan atas dan dari
hasil USG abdomen dijumpai batu empedu, maka pasien diberikan surat rujukan
untuk kontrol ke poli bedah digestif RSUP Dr. Sardjito.
Saat hari masuk rumah sakit, saat pasien kontrol ke poli bedah digestif pasien
mengeluhkan sesak nafas sehingga dirujuk ke poli jantung kemudian pasien dirawat
inapkan untuk penanganan lebih lanjut.

3
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum lemah, compos mentis,
kesan gizi cukup, tinggi badan 167 cm, berat badan 54 kg, dengan IMT 19,36. Tanda
vital saat di bangsal didapatkan tekanan darah 102/60 mmHg yang diukur pada
lengan kanan cuff dewasa pada posisi berbaring. Nadi 62 kali/menit, teraba kuat,
ireguler, respirasi 20 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh 36,7ºC yang
diukur di aksila, dan saturasi oksigen 98% dengan room air.
Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak pucat. Leher
didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis 5+4 cmH2O. Pada pemeriksaan
thoraks, didapatkan paru dengan pergerakan hemithoraks dekstra dan sinistra
simetris, fremitus taktil dekstra dan sinistra simetris, perkusi sonor, dan pada
auskultasi terdapat suara dasar vesikuler, tidak didapatkan ronkhi, tidak didapatkan
wheezing. Jantung membesar dengan ictus cordis teraba pada SIC VI linea aksilaris
anterior, suara jantung 1-2, reguler, didapatkan bising pansistolik 3/6 dengan punctum
maksimum di SIC IV linea mid klavikula sinistra, bising pansistolik 3/6 dengan
punctum maksimum di SIC IV linea parasternalis sinistra, dijumpai juga adanya RV
heaving. Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya kelainan. Keempat
ekstremitas teraba hangat, didapatkan edema pitting pada kedua eksremitas inferior.
Data laboratorium pada tanggal 10 Desember 2019 didapatkan hasil darah
rutin dalam batas normal. Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan peningkatan kadar
kreatinin 1,22 mg/dL dan kadar blood urea nitrogen (BUN) 16,4 mg/dL. Hasil
pemeriksaan fungsi hati dan elektrolit dalam batas normal. Didapatkan pemanjangan
diastase perdarahan dengan hasil PPT 29,7 detik (kontrol: 15,6). APTT 44,9 detik
(kontrol: 31,1), dan INR 2,39.
Dari hasil rekaman EKG didapatkan kesan atrial fibrilasi dengan respon
ventrikel normal, deviasi aksis ke kiri dan gambaran left bundle branch block. Pada
pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kardiomegali dengan pembesaran semua
ruang jantung serta gambaran awal edema pulmo.

4
Hasil ekokardiografi tanggal 12 November 2019 didapatkan dilatasi semua
ruang jantung, hipertrofi ventrikel kiri eksentrik, fungsi sistolik global dan segmental
ventrikel kiri menurun dengan fraksi ejeksi 15% (Simpson), fungsi sistolik ventrikel
kanan normal, regurgitasi mitral berat, regurgitasi pulmonal ringan, regurgitasi
trikuspid berat, hipertensi pulmonal intermediat.

Gambar 1. Gambaran EKG saat admisi tanggal 10/12/19 didapatkan gambaran atrial fibrilasi
dengan respon ventrikel normal, deviasi aksis ke kiri dan gambaran left bundle branch block.

Pada pasien dilakukan penilaian CHA2DS2-VASc score untuk menilai risiko


stroke pada atrial fibrilasi, didapatkan hasil 1 dengan kategori risiko rendah.

Berdasarkan data yang diperoleh, pasien didiagnosa dengan CHF CF III et


causa DA : dilatasi semua ruang jantung, regurgitasi mitral moderat et causa tenting
AML, PML, regurgitasi trikuspid berat, hipokinetik global, DE : dilated
cardiomyopathy dan Atrial Fibrilasi dengan normo ventricular response. Terapi yang
diberikan antara lain: Inj. Furosemide 40 mg/8 jam IV, candesartan 4 mg/24 jam PO,

5
spironolakton 25 mg/12 jam PO, warfarin 2 mg/24 jam PO. Dilakukan pemasangan
kateter urin dan pasien dirawat di bangsal biasa. Dilakukan balans cairan/24 jam
dengan target balans cairan -500 cc sampai -1000 cc.

Gambar 2. Hasil rontgen thoraks saat admisi tanggal 10/12/19 didapatkan gambaran
kardiomegali dengan pembesaran semua ruang jantung serta gambaran awal edema pulmo.

II. B. Perkembangan Selama Perawatan di Rumah Sakit

Pasien dilakukan perawatan untuk mengatasi kongesti dan mencegah kejadian


tromboemboli. Pasien dirawat selama 22 hari, dalam perawatan terjadi perberatan
dikarenakan adanya infeksi.

6
Pada hari pertama perawatan, pasien masih mengeluhkan sesak. Tanda vital pasien
stabil dengan tekanan darah 100/60 mmHg, diukur pada lengan kanan. Nadi teraba
kuat angkat, frekuensi 62 kali/menit, ireguler. Respirasi 24 kali/menit, tipe
abdominothoracal, suhu tubuh 36,7ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen
98% room air. Balans cairan pasien -755 cc dengan urine output 0,88 cc/kgBB/jam
dengan warna urin kuning jernih. Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai rales dan
edema eksremitas. Kondisi pasien stabil dan pemberian furosemide diganti lewat drip
dengan dosis 5 mg per jam.

Pada hari ke 3 perawatan, keluhan sesak dirasa masih sama dengan hari
sebelumnya. Tanda vital pasien stabil dengan tekanan darah meningkat 135/70
mmHg, diukur pada lengan kanan. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi 62 kali/menit,
ireguler. Respirasi 24 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh 36,6ºC yang
diukur di aksila, dan saturasi oksigen 97% room air. Balans cairan pasien -855 cc,
dengan urine output 0,76 cc/kgBB/jam. Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai rales
dan edema eksremitas menetap. Dosis candesartan dinaikkan menjadi 8 mg pada pagi
hari dan 4 mg pada sore hari, dilakukan evaluasi darah lengkap, tidak ditemukan
adanya perubahan signifikan dibanding dengan hasil laboratorium terakhir.

Pada hari ke 6 perawatan, keluhan sesak dirasa membaik. Tanda vital masih
stabil dan pemeriksaan fisik rales (-) dengan edema eksremitas yang menurun..
Balans cairan pasien -1450 cc, dengan urine output 1,27 cc/kgBB/jam. Pemberian
drip furosemide diganti menjadi 40 mg/8 jam. Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai
rales dan edema eksremitas membaik. Dilakukan evaluasi darah lengkap, tidak
ditemukan adanya perubahan signifikan dibanding dengan hasil laboratorium
terakhir.

Pada hari ke 10 perawatan, keluhan sesak dirasa kembali memberat disertai


dengan munculnya demam serta nyeri BAK. Pemeriksaan tanda vital pasien
didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, diukur pada lengan kanan. Nadi teraba kuat

7
angkat, frekuensi 68 kali/menit, ireguler. Respirasi 28 kali/menit, tipe
abdominothoracal, suhu tubuh 39,1ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen
96% room air. Balans cairan pasien +150 cc, dengan urine output 0,5 cc/kgBB/jam.
Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai rales dan edema eksremitas, tidak didapati
crackles, pada pemeriksaan abdomen didapati nyeri tekan di suprapubik. Dilakukan
pemeriksaan urin rutin dan rontgen thoraks untuk pelacakan penyebab demam serta
evaluasi ulang darah lengkap.

Pada hari ke 11 perawatan, keluhan sesak dirasa membaik, demam masih naik
turun. Pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg,
diukur pada lengan kanan. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi 60 kali/menit, ireguler.
Respirasi 24 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh 38,4ºC yang diukur di
aksila, dan saturasi oksigen 96% room air. Balans cairan pasien +95 cc, dengan urine
output 0,2 cc/kgBB/jam. Pada hasil pelacakan penyebab demam, dijumpai urin rutin
dengan hasil lekosit esterase 3+, nitrit (-), eritrosit 85/ µL, leukosit 696/ µL, bakteri
1071/ µL dengan interpretasi infeksi saluran kemih bakterial dan pada pemeriksaan
rontgen thoraks tidak dijumpai tanda infeksi paru. Pada hasil evaluasi darah lengkap
didapatkan peningkatan BUN dari 14,3 mg/dL menjadi 21,7 mg/dL dan kreatinin dari
1,21 mg/dL menjadi 2,18 mg/dL. Pasien dikonsulkan ke bagian tropmed dengan
assessment catheter induced urinary tract infection et causa bakterial dan mendapat
terapi ceftriaxone 1 gr/12 jam. Pasien juga dikonsulkan ke bagian nefro terkait acute
kidney injury mendapat advis cukupi kebutuhan cairan pasien serta evaluasi bun dan
kreatinin setiap 3 hari.

Pada hari ke 16 perawatan, keluhan demam dirasakan sudah tidak ada sejak 2
hari terakhir. Tekanan darah pasien 110/70 mmHg. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi
78 kali/menit, ireguler. Respirasi 20 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh
36,5ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen 97% room air. Balans cairan
pasien -300 cc, dengan urine output 0,95 cc/kgBB/jam. Pada pemeriksaan fisik masih
dijumpai rales dan edema eksremitas membaik, tidak didapati crackles, pada

8
pemeriksaan abdomen sudah tidak didapati nyeri tekan di suprapubik.. Pada hasil
evaluasi darah lengkap didapatkan perbaikan BUN dari 30,8 mg/dL menjadi 15,3
mg/dL dan kreatinin dari 1,68 mg/dL menjadi 1,29 mg/dL. Pada hasil evaluasi urin
rutin, dijumpai perbaikan dengan hasil lekosit esterase (-), nitrit (-), eritrosit 13/ µL,
leukosit 200/ µL, bakteri 12,1/ µL. Advis dari bagian tropmed AB diganti oral dengan
cefixime 2x200mg selama 5 hari dan lepas raber, serta dari bagian nefro acute kidney
injury sudah teratasi dan lepas raber.

Pada hari ke 21 perawatan, keluhan demam tidak ada, sesak tidak ada.
Tekanan darah pasien 100/60 mmHg. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi 78
kali/menit, ireguler. Respirasi 20 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh
36,8ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen 97% room air. Balans cairan
pasien -300 cc, dengan urine output 0,75 cc/kgBB/jam. Pada pemeriksaan fisik tidak
dijumpai rales dan edema eksremitas membaik. Pemberian furosemid diganti oral
dengan dosis 40mg di pagi hari, pasien direncanakan pulang besok hari.

Pada hari ke 22 perawatan, keluhan tidak ada. Tanda vital masih stabil dan
pemeriksaan fisik masih sama dengan hari sebelumnya. Pasien juga dilakukan
penilaian HAS-BLED bleeding score untuk menilai risiko perdarahan mayor dari
penggunaan antikoagulan dan didapatkan skor 0 dengan risiko rendah. Pasien boleh
pulang dengan terapi pulang candesartan 8mg diminum pagi dan sore, furosemide
40mg diminum pagi dan sore, spironolakton 25mg/ 24 jam, warfarin 1mg/ 24 jam
selang-seling dengan dosis 2mg/ 24 jam, omeprazole 20mg/ 24 jam, n-asetilsistein
200mg/ 8 jam, serta dijadwalkan kontrol ke poli jantung dan poli penyakit dalam
tanggal 7 Januari 2020.

9
BAB III

PEMBAHASAN

III.1. Epidemiologi

Prevalensi gagal jantung sekitar 1-2% dari populasi orang dewasa pada negara
berkembang, meningkat hingga ≥10% pada usia >70 tahun (Mosterd et al, 2007).
Pada orang berusia >65 tahun yang berobat ke fasilitas kesehatan dengan keluhan
sesak saat aktivitas, 1 dari 6 dijumpai gagal jantung yang tidak diketahui sebelumnya
(Van Riet et al, 2014).

Berdasarkan data pasien rawat inap dijumpai penurunan insidensi pasien


dengan gagal jantung. Gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun lebih sering
ditemukan dibandingkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (Maggic, 2012).
Dibandingkan dengan HFrEF, pasien dengan HFpEF memiliki usia lebih tua, lebih
sering pada wanita, dan umumnya memiliki riwayat hipertensi dan atrial fibrilasi,
dengan riwayat infark miokardium yang lebih jarang (Owan et al, 2006).

Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang,
sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan
sekitar 530.068 orang.

10
III.2. Definisi

Gagal jantung (Heart Failure/ HF) adalah sindroma klinis yang ditandai
dengan gejala seperti sesak nafas, bengkak eksremitas dan rasa lelah dan bisa disertai
dengan tanda klinis seperti peningkatan tekanan vena jugular, kongesti paru dan
edema perifer yang disebabkan oleh kelainan struktural dan/ atau fungsional jantung.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan/ atau peningkatan tekanan
intrakardiak saat istirahat atau selama aktivitas. Penggunaan kata ‘kongestif’ tidak
lagi dipilih karena banyak pasien tidak memiliki kongestif berlebih pada saat evaluasi
(Januzzi, 2015).

Terdapat dua cara untuk klasifikasi pasien dengan gagal jantung. Pendekatan
tingkat keparahan gagal jantung berdasarkan The American College of Cardiology/
American Heart Association (ACC/ AHA) menekankan pada perkembangan dan
progresi dari penyakit, sedangkan klasifikasi fungsional New York Heart Association
(NYHA) lebih mengarah pada toleransi latihan pada individu yang telah ditetapkan
sebagai penderita gagal jantung (Yancy et al, 2013). Pada pasien dapat dikategorikan
stadium C ACA/AHA dan kelas III pada klasifikasi fungsional NYHA.

Stadium ACA/ AHA Klasifikasi Fungsional NYHA


A Berisiko tinggi HF tanpa penyakit jantung
structural atau gejala HF
B Terdapat penyakit jantung structural tanpa I Tidak terdapat keterbatasan aktivitas fisik.
gejala atau tanda HF Aktivitas fisik normal tidak menimbulkan
gejala HF
C Terdapat penyakit jantung structural I Tidak terdapat keterbatasan aktivitas fisik.
dengan gejala atau tanda HF sekarang atau Aktivitas fisik normal tidak menimbulkan
masa lalu gejala HF
II Terdapat sedikit keterbatasan aktivitas
fisik. Nyaman saat beristirahat, tetapi
aktivitas fisik normal menimbulkan gejala
HF

11
II Terdapat keterbatasan yang cukup
I signifikan pada aktivitas fisik. Nyaman saat
beristirahat, tetapi aktivitas fisik dibawah
normal dapat menimbukan gejala HF
D HF refrakter dengan kebutuhan intervensi IV Tidak dapat melakukan segala aktivitas
terspesialisasi fisik tanpa gejala HF, atau gejala HF
muncul saat istirahat
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ACA/AHA dan NYHA.

Gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan pengukuran fraksi ejeksi ventrikel


kiri. Diperkirakan setengah dari pasien gagal jantung memiliki fraksi ejeksi normal/
heart failure with preserved ejection fraction (HRpEF), sedangkan sisanya dengan
fraksi ejeksi menurun/ heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) dan
fraksi ejeksi mid-range/ heart failure with mid-range ejection fraction (HFmrEF)
(Mc Murray et al, 2012). Gagal jantung pada pasien berdasarkan tanda dan gejala
serta hasil left ventricular ejection fraction (LVEF) termasuk dalam HFrEF.

Tipe gagal HFrEF HFmrEF HFpEF


jantung
Kriteria 1 Tanda dan gejala Tanda dan gejala Tanda dan gejala
2 LVEF<40% LVEF 40-49% LVEF ≥50%
3 - 1. Peningkatan natriuretic 1. Peningkatan natriuretic
peptides peptides
2. Terdapat salah satu dari : 2. Terdapat salah satu dari :
a. kelainan structural a. kelainan structural
jantung yang relevan jantung yang relevan
b. disfungsi diastolik b. disfungsi diastolik
Tabel 2. Tipe gagal jantung.

III.3. Manifestasi Klinis


Pasien gagal jantung dapat mengeluhkan berbagai jenis gejala. Tidak ada yang
spesifik untuk HFpEF terhadap HFrEF (Januzzi, 2015).

12
Sesak nafas yang semakin berat adalah gejala pokok dari gagal jantung dan
biasanya tidak hanya dikaitkan dengan peningkatan tekanan pengisian jantung, tetapi
juga mungkin merepresentasikan keterbatasan curah jantung (Solomonica et al,
2013). Pasien mungkin tidur dengan kepala yang dielevasi untuk mengurangi dyspnea
sambil terlentang (ortopnea). Paroxysmal nocturnal dyspnea, napas pendek dalam
keadaan terlentang adalah salah satu indicator yang paling dapat dipercaya dari gagal
jantung. Batuk pada malam hari adalah gejala yang seringkali terlewatkan (Januzzi,
2015).

Pada pasien dengan kongesti jantung kanan dapat dijumpai riwayat


peningkatan berat badan, peningkatan lingkar perut, rasa kenyang yang datang
dengan cepat, dan munculnya edema pada bagian organ tertentu seperti eksremitas
atau skrotum (Januzzi, 2015). Gejala tipikal yang dapat dijumpai pada pasien antara
lain sesak nafas, ortopnea, berkurangnya kapasitas aktivitas fisik serta bengkak pada
eksremitas. Selain itu pada pasien juga dapat dijumpai tanda spesifik seperti
peningkatan tekanan vena jugular.

Gejala Tanda

Typical More specific

Sesak nafas Peningkatan tekanan vena jugular


Ortopnea Refluks hepatojugular
Paroxysmal nocturnal dyspnea Munculnya suara jantung ketiga
(Gallop)
Berkurangnya kapasitas aktivitas fisik
Bengkak pada eksremitas

Less Typical Less specific

Nocturnal cough Kenaikan berat badan (>2kg/ minggu)


Wheezing Penurunan berat badan

13
Penurunan nafsu makan Cachexia
Palpitasi Edema perifer
Dizziness Edema paru
Sinkop Takikardi
Ritme ireguler
Takipnea
Hepatomegali
Asites
Narrow pulse pressure
Oliguria
Tabel 3. Gejala dan tanda gagal jantung.

III.4. Diagnosis
Pada pasien non-urgensi dengan onset pertama kali, kemungkinan adanya HF
harus dievaluasi berdasarkan riwayat klinis pasien sebelumnya (penyakit arteri
koroner, hipertensi), gejala yang muncul (sesak saat istirahat, ortopnea), pemeriksaan
fisik yang ditemukan (edema eksremitas, peningkatan tekanan vena jugular) serta
abnormalitas EKG. Jika semua elemen normal, maka kemungkinan adanya HF bisa
disingkirkan dan pertimbangkan ke arah diagnosa lain. Jika paling tidak ada satu
elemen yang tidak normal, maka harus dilakukan pemeriksaan natriuretic peptides
(NP) plasma (Maisel et al, 2008). Pemeriksaan ekokardiografi disarankan pada pasien
dengan kenaikan angka NP atau jika pemeriksaan NP plasma tidak dapat dilakukan
(Kirkpatrick et al, 2007).

Penilaian awal terdiri dari diagnosis klinis yang sesuai dengan algoritme yang
ditampilkan serta gambaran fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pemeriksaan
ekokardiografi. Tanda dan gejala klinis yang dijumpai pada pasien dengan HFrEF,
HFmrEF, dan HFpEF seringkali serupa. Pada pemeriksaan ekg dapat dijumpai

14
kelainan seperti atrial fibrilasi, hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan repolarisasi.
Bacaan EKG yang normal dan/ atau hasil pemeriksaan natriuretic peptides yang
normal dapat membantu menyingkirkan diagnosis HFrEF, HFmrEF, dan HFpEF
(Januzzi, 2015).

Pada pasien HF, pada pemeriksaan EKG jarang terlihat normal tetapi mungkin
hanya menunjukkan perubahan non spesifik. Sinus takikardia sekunder akibat dari
aktivasi sistem saraf simpatetik terlihat pada gagal jantung lanjutan atau pada episode
dekompensata akut. Adanya aritmia atrium pada EKG dan respon ventrikel, mungkin
dapat memberikan informasi terkait penyebab gagal jantung dan menjelaskan alasan
terjadinya gejala dekompensasi pada pasien (Januzzi, 2015).

Adanya peningkatan voltase QRS dapat menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri.


Jika tidak ada riwayat hipertensi sebelumnya, hal ini mungkin dapat menandakan
hasil dari penyakit katup janung atau kardiomiopati hipertrofi, terutama jika terdapat
pola repolarisasi yang tidak normal. Bila hipertrofi ventrikel kanan muncul, hipertensi
pulmoner atau sekunder harus dipertimbangkan. Pemanjangan gelombang QRS dapat
menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi jantung. Keberadaan dari gelombang Q
menunjukkan bahwa gagal jantung mungkin terjadi akibat penyakit jantung iskemik,
perubahan baru atau reversibel dari segmen ST menunjukkan iskemia koroner akut
yang merupakan penyebab tertinggi dari gagal jantung dekompensata akut (Januzzi,
2015).

Pada anamnesa pasien didapati adanya ortopnea dan riwayat pengobatan


dengan diuretik. Dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya peningkatan tekanan vena
jugular, suara rales pada auskultasi paru, murmur jantung pada auskultasi jantung,
serta edema eksremitas. Pada hasil rekaman EKG didapatkan kesan atrial fibrilasi
dengan respon ventrikel normal, deviasi aksis ke kiri dan gambaran left bundle
branch block. Hasil ekokardiografi didapatkan dilatasi semua ruang jantung,
hipertrofi ventrikel kiri eksentrik, fungsi sistolik global dan segmental ventrikel kiri

15
menurun dengan fraksi ejeksi 15% (Simpson), fungsi sistolik ventrikel kanan normal,
regurgitasi mitral berat, regurgitasi pulmonal ringan, regurgitasi trikuspid berat,
hipertensi pulmonal intermediat. Berdasarkan data-data tersebut sesuai dengan alur
diagnosa dapat dikonfirmasi jika pasien mengalami gagal jantung.

16
Tabel 4. Alur diagnosa gagal jantung.

Pemeriksaan rontgen thoraks dapat dilakukan untuk menilai ukuran jantung


dengan menilai cardiothoracic ratio (CTR), dimana jika didapati hasil >50% dapat
menandakan adanya kardiomegali. Selain itu, presentasi klasik radiografi dada pada
pasien dengan edema pulmoner adalah corak “kupu-kupu” dari corak radioopak
intertisial dan alveolus bilateral menuju bagian perifer paru. Dibeberapa pasien
dijumpai peningkatan tanda intertisial termasuk garis Kerley B (garis horizontal
radioopak meluas menuju permukaan pleura karena penumpukkan cairan pada ruang
intertisial). Pada mayoritas kasus, terutama pada pasien yang memiliki gagal jantung
lanjut, radiografi dada mungkin sangat jelas terlihat, diluar gejala signifikan dari
dyspnea (Januzzi, 2015).

Gambar 3. Gambaran cardiothoracic ratio pada pasien dengan kardiomegali, yang merupakan
ratio antara diameter horizontal maksimal jantung (garis A) dan diameter horizontal maksimal
dinding dada (garis B).

17
Dibeberapa pasien dijumpai peningkatan tanda intertisial termasuk garis
Kerley B (garis horizontal radioopak meluas menuju permukaan pleura karena
penumpukkan cairan pada ruang intertisial). Pada mayoritas kasus, terutama pada
pasien yang memiliki gagal jantung lanjut, radiografi dada mungkin sangat jelas
terlihat, diluar gejala signifikan dari dyspnea (Januzzi, 2015).

Gambar 4. Gambaran khas rontgen thoraks pada edema paru. Dapat ditemukan adanya
butterfly sign dan gambaran Kerley’s B line

18
Gambar 5. Gambaran rontgen thoraks pada pembesaran ruang jantung.

Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen thoraks pasien didapatkan gambaran


kardiomegali dengan pembesaran semua ruang jantung serta gambaran awal edema
pulmo yang menyokong ke arah gagal jantung.

Pencitraan kardiak berperan penting dalam diagnosis HF serta dalam


menentukan terapi. Dari beberapa modalitas yang tersedia, ekokardiografi adalah
pilihan yang bisa diambil pada pasien dengan kecurigaan HF dikarenakan tingkat
akurasi, ketersediaan, keamanan serta biaya. Dapat juga ditambahkan beberapa
modalitas lainnya sesuai dengan indikasi klinis (Kirkpatrick et al, 2007).

Pemeriksaan ekokardiografi transthorakal adalah pilihan modalitas untuk


menilai fungsi sistolik dan diastolic miokardium pada kedua ventrikel. Untuk

19
pengukuran fraksi ejeksi ventrikel kiri dapat menggunakan modified biplane
Simpson’s rule (Lang et al, 2015).

III.5. Terapi
Tujuan terapi pada pasien dengan HF adalah untuk meningkatkan kondisi
klinis, kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien, mencegah kejadian rawat inap
serta menurunkan mortalitas (Gheorghiade, 2013).

Obat-obat antagonis neuro-hormonal seperti ACE-I, MRA dan beta bloker


direkomendasikan pada pasien dengan HFrEF, jika tidak didapati kontraindikasi.
ARB belum terbukti untuk menurunkan angka mortalitas pada pasien dengan HFrEF
sehingga penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang intoleran terhadap ACE-I
atau pada pasien dengan ACE-I namun tidak toleran terhadap MRA. Ivabradine dapat
mengurangi laju denyut jantung pada pasien dengan HFrEF serta menunjukkan
outcome yang baik, sehingga pemberiannya dapat dipertimbangkan. Pemberian
diuretik dapat ditambahkan pada pasien dengan gejala dan tanda kongesti,
disesuaikan berdasarkan klinis pasien.

Algoritma terapi pada pasien dengan HFrEF :

20
Tabel 5. Algoritma terapetik pada pasien dengan HFrEF simptomatik.

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

21
ACEI dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan
HFrEF dan direkomendasikan kecuali ada kontra indikasi atau tidak dapat
ditoleran pada pasien dengan gejala (Garg et al, 1995). ACEI dapat dinaikkan
dosisnya hingga pada dosis toleransi maksimal untuk mencapai inhibisi adekuat
dari renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS). ACEI juga direkomendasikan
pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik untuk
menurunkan risiko perkembangan ke arah gagal jantung, hospitalisasi, dan
kematian (Yusuf et al, 1991).

2. Beta Bloker

Beta bloker dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan
HFrEF, namun belum diuji pada pasien gagal jantung dengan dekompensasi atau
kongesti (Hjalmarson et al, 2000). Pemberian beta bloker harus diinisiasi pada
pasien dengan kondisi stabil, mulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan
sampai pada toleransi dosis maksimal.

Penggunaan beta bloker harus dipertimbangkan untuk kontrol rate pada pasien
dengan HFrEF dengan atrial fibrilasi, terutama pada pasien dengan respon
ventrikel cepat. Beta bloker juga direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
infark miokard dan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik untuk
menurunkan resiko kematian (Packer et al, 2001).

3. Mineralocorticoid/ Aldosterone Receptor Antagonist (MRA)

MRA (spironolakton atau eplerenon) direkomendasikan pada semua pasien


dengan gejala, walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI dan beta bloker dengan
HFrEF dan LVEF ≤35%, untuk mengurangi mortalitas dan angka rawat inap (Pitt
et al, 2001).

22
Penggunaan MRA pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pasien
dengan peningkatan angka kalium darah perlu diberikan perhatian khusus.
Pengecekan kadar kalium darah dan fungsi ginjal berkala harus dilakukan.

4. Diuretik

Diuretik direkomendasikan untuk mengurangi gejala dan tanda kongesti pada


pasien dengan HFrEF, namun efeknya pada mortalitas dan morbiditas belum
diteliti pada RCT (Faris et al, 2002). Tujuan terapi diuretik adalah untuk
mencapai euvolemia dengan dosis optimal terendah. Dosis diuretik harus
disesuaikan berdasarkan klinis individu (Faris et al, 2012). Pada pasien dengan
hipovolemik, penggunaan obat diuretik mungkin harus dihentikan sementara.
Pasien dapat diberi tau cara untuk mengatur dosis obat diuretik mandiri
berdasarkan gejala dan tanda kongesti dan pengukuran berat badan harian.

Meta analisis dari Cochrane menunjukkan pada pasien dengan gagal jantung
kronik penggunaan diuretik loop dan tiazid dapat menurunkan resiko kematian
dan perberatan gagal jantung dibandingkan dengan placebo. Diuretik loop
menghasilkan diuresis yang lebih kuat dibandingkan dengan tiazid, kombinasi
keduanya bisa digunakan untuk terapi edema yang resisten.

5. Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI)

ARNI merupakan kelas terbaru yang bekerja pada RAAS dan neutral
endopeptidase system. Generasi pertama adalah LCZ696, dimana merupakan
molekul gabungan dari valsartan dan sacubitril (neprilysin inhibitor).

Penelitian terbaru yang menyelidiki efek jangka panjang dari


sacubitril/valsartan dibandingkan dengan ACEI (enalapril) terhadap morbiditas
dan mortalitas pada pasien dengan HFrEF simptomatik (LVEF ≤35%),
peningkatan kadar plasma NP (BNP ≥150 pg/mL atau NT-proBNP ≥600 pg/mL
atau, jika pasien sudah rawat inap karena gagal jantung dalam jangka waktu 12

23
bulan terakhir, BNP ≥100 pg/mL or NT-proBNP ≥400 pg/mL), estimasi GFR
(eGFR) ≥30 mL/min/1.73 m2. Pada populasi ini, sacubitril/valsartan lebih
superior dibandingkan dengan enalapril dalam mengurangi hospitalisasi,
perburukan gagal jantung, dan mortalitas kardiovaskular.37

Efek samping yang sering muncul pada kelompok sacubitril/valsartan adalah


hipotensi simptomatik. Penggunaan kombinasi ACEI (atau ARB) dengan
sacubitril/valsartan dikontraindikasikan karena memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya angioedema (McMurray et al, 2014).

6. If- Channel inhibitor

Ivabradine memperlambat denyut jantung melalui inhibisi If-channel pada


sinus node, sehingga hanya bisa digunakan pada pasien dengan irama sinus.
Ivabradine dapat mengurangi angka mortalitas dan hospitalisasi pada pasien gagal
jantung dengan HFrEF simptomatik, dalam irama sinus dan dengan denyut
jantung ≥70 per menit yang sudah rawat inap karena gagal jantung dalam jangka
waktu 12 bulan terakhir, menerima terapi beta bloker, ACEI atau ARB, dan MRA
(Swedberg et al, 2010).

7. Angiotensin II Type I Receptor Blocker (ARB)

ARB hanya direkomendasikan sebagai alternative pada pasien yang intoleran


dengan ACEI. Candesartan dapat mengurangi mortalitas kardiovaskular (Granger
et al, 2003). Valsartan mempunyai efek pada hospitalisasi akibat gagal jantung
pada pasien dengan HFrEF yang sebelumnya mendapat terapi ACEI (Cohn et al,
2001).

8. Digoksin

Digoksin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan HFrEF simptomatik


yang memiliki irama sinus untuk menurunkan resiko hospitalisasi (Garg et al,
1997). Efek dari digoksin pada pasien dengan HFrEF dan atrial fibrilasi belum

24
pernah diuji dengan RCT dan dari penelitian terbaru menyimpulkan adanya risiko
tinggi pada pasien dengan atrial fibrilasi yang menerima digoksin (Ouyang et al,
2015). Walaupun begitu, ini masih kontroversial, dimana beeberapa meta analisis
terbaru menyimpulkan bahwa digoksin tidak memiliki efek buruk pada mortalitas
pasien dengan HFeEF yang disertai atrial fibrilasi (Ziff et al, 2015).

Pada pasien dengan gagal jantung simptomatik dan atrial fibrilasi, digoksin
dapat digunakan untuk memperlambat respon cepat ventrikel, namun ini hanya
direkomendasikan pada pasien dengan HFrEF dan AF dengan respon ventrikel
cepat ketika pilihan obat lain tidak dapat digunakan (Bavishi et al, 2015).

III.6. Faktor Prognostik


Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40%,
sedangkan angka dalam 5 tahun mencapai 60-70%. Kematian disebabkan karena
perburukan klinis mendadak yang kemungkinan disebabkan karena aritmia ventrikel.
Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV memiliki angka kematian 30-70%,
sedangkan NYHA kelas II-III mencapai 5-10% (Anil et al, 2012).

25
BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang laki-laki berusia 58 tahun, bertempat tinggal di


Mertoyudan, Magelang, pekerjaan buruh, pendidikan SD, dirawat dengan diagnosa
CHF CF III et causa DA : dilatasi semua ruang jantung, regurgitasi mitral moderat et
causa tenting AML, PML, regurgitasi trikuspid berat, hipokinetik global, DE : dilated
cardiomyopathy dan Atrial Fibrilasi dengan normo ventricular response. Pasien
diberikan terapi awal : Inj. Furosemide 40 mg/8 jam IV, candesartan 4 mg/24 jam
PO, spironolakton 25 mg/12 jam PO, warfarin 2 mg/24 jam PO. Dilakukan balans
cairan per 24 jam dengan target balans cairan -500cc sampai -1000cc.

Pasien menjalani perawatan selama 22 hari. Selama dalam perawatan,


beberapa masalah yang dihadapi diantaranya terkait kongesti cairan dimana beberapa
kali ditemukan balans yang tidak sesuai dengan target balans,serta pasien selama
perawatan mengalami masalah tambahan berupa infeksi pada saluran kemih.
Pada akhir perawatan, pasien secara klinis mengalami perbaikan sehingga
pasien diperbolehkan pulang untuk selanjutnya nanti akan kontrol di poliklinik
jantung dan penyakit dalam.

26
DAFTAR PUSTAKA

Anil Chandraker A. Heart Failure. In : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,


Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
Chapter 234.
Bavishi C, Khan AR, Ather S. Digoxin in patients with atrial fibrillation and heart
failure: a meta-analysis. Int J Cardiol 2015;188:99–101.
Berry C, et al. The survival of patients with heart failure with preserved or reduced
left ventricular ejection fraction: an individual patient data meta-analysis. Eur
Heart J 2012;33:1750–1757.
Cohn JN, Tognoni G. A randomized trial of the angiotensin-receptor blocker
valsartan in chronic heart failure. N Engl J Med 2001;345:1667–1675.
Faris RF, Flather M, Purcell H, et al. Diuretics for heart failure. Cochrane Database
Syst Rev 2012;2:CD003838.
Faris R, Flather M, Purcell H, et al. Current evidence supporting the role of diuretics
in heart failure: a meta analysis of randomised controlled trials. Int J Cardiol
2002;82:149–158.
Garg R, et al. The effect of digoxin on mortality and morbidity in patients with heart
failure. N Engl J Med 1997;336:525–533.
Garg R, Yusuf S. Overview of randomized trials of angiotensin-converting enzyme
inhibitors on mortality and morbidity in patients with heart failure. JAMA 1995;
273:1450–1456.
Gheorghiade M, Shah AN, Vaduganathan M, et al. Recognizing hospitalized heart
failure as an entity and developing new therapies to improve outcomes:
academics’, clinicians’, industry’s, regulators’, and payers’ perspectives. Heart
Fail Clin 2013;9:285–290, v–v.

27
Granger CB, McMurray JJV, Yusuf S, et al. Effects of candesartan in patients with
chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic function intolerant to
angiotensin-converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet
2003;362:772–776.
Hjalmarson A, Goldstein S, Fagerberg B, et al. MERIT-HF Study Group. Effects of
controlled-release metoprolol on total mortality, hospitalizations, and well being
in patients with heart failure: the MetoprololCR/XL Randomized Intervention
Trial in congestive Heart Failure (MERIT-HF). JAMA 2000;283:1295–1302.
James L Januzzi. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Doughlas L Mann DPZ,
Peter Libby, Robert O Bonow, ed. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier; 2015.
Kirkpatrick JN, Vannan MA, Narula J, et al. Echocardiography in heart failure:
applications, utility, and new horizons. J Am Coll Cardiol 2007;50:381–396.
Lang RM, Badano LP, Mor-Avi V, et al.Recommendations for cardiac chamber
quantification by echocardiography in adults: an update from the American
Society of Echocardiography and the European Association of Cardiovascular
Imaging. Eur Heart J Cardiovasc Imaging 2015;16: 233–270.
Maisel A, Mueller C, Adams K, et al. State of the art: using natriuretic peptide levels
in clinical practice. Eur J Heart Fail 2008;10:824–839.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. Guidelines ESCC for P,
Reviewers D. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart. Eur J Heart Fail 2012;14:803–869.
McMurray JJ, Packer M, Desai AS, et al. Angiotensin-neprilysin inhibition versus
enalapril in heart failure. N Engl J Med 2014;371:993–1004.
Mosterd A, Hoes AW. Clinical epidemiology of heart failure. Heart 2007;93: 1137–
1146.

28
Nagueh SF, Bhatt R, Vivo RP, et al. Echocardiographic evaluation of hemodynamics
in patients with decompensated systolic heart failure. Circ Cardiovasc Imaging
2011;4: 220–227.
Ouyang A-J, Lv Y-N, Zhong H-L, Wen J-H, Wei X-H, Peng H-W, Zhou J, Liu L-L.
Meta-analysis of digoxin use and risk of mortality in patients with atrial
fibrillation. Am J Cardiol 2015;115:901–906.
Owan TE, Hodge DO, Herges RM, et al. Trends in prevalence and outcome of heart
failure with preserved ejection fraction. NEnglJ Med 2006;355:251–259.
Packer M, Coats AJ, Fowler MB, et al. Effect of carvedilol on survival in severe
chronic heart failure. N Engl J Med 2001;344:1651–1658.
Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al. The effect of spironolactone on morbidity and
mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med 1999;341:709–717.
Pocock SJ, Ariti CA, McMurray JJV, et al. Predicting survival in heart failure: a risk
score based on 39 372 patients from 30 studies. Eur Heart J 2013;34: 1404–1413.
Solomonica A, Burger AJ, Aronson D. Hemodynamic determinants of dyspnea
improvement in acute decompensated heart failure. Circulation Heart Failure
2013;6:53-60.
Swedberg K, Komajda M, Bo¨hm M, et al. Ivabradine and outcomes in chronic heart
failure (SHIFT): a randomised placebo-controlled study. Lancet 2010;376:875–
885.
Van Riet EES, Hoes AW, Limburg A, et al. Prevalence of unrecognized heart failure
in older persons with shortness of breath on exertion. Eur J Heart Fail
2014;16:772–777.
Wang TJ. Natural history of asymptomatic left ventricular systolic dysfunction in the
community. Circulation 2003;108:977–982.
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure: a report of the American College of Cardiology
Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Journal of the American College of Cardiology 2013;62:e147-239.

29
Yusuf S, et al. Effect of enalapril on survival in patients with reduced left ventricular
ejection fractions and congestiveheart failure. N Engl J Med 1991;325: 293–302.
Ziff OJ, Lane DA, Samra M, et al. Safety and efficacy of digoxin: systematic review
and meta-analysis of observational and controlled trial data. BMJ
2015;351:h4451.

30

Anda mungkin juga menyukai