Oleh
dr. Imanuel Maryo Somba
Oleh :
dr. Imanuel Maryo Somba
PENGUJI
PEMBIMBING
2. dr. Anggoro Budi H, M.Sc, Ph.D, Sp. PD, Sp. JP, :...............................
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHANDAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................................
DAFTAR TABEL...........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................
I. A. Latar Belakang.............................................................................................................1
I. B. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS...........................................................................................................
II. A. Admisi Saat Pasien Masuk Rumah Sakit....................................................................3
II. B. Perkembangan Selama Perawatan di Rumah Sakit.....................................................6
BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................................
III.1. Epidemiologi.............................................................................................................10
III.2. Definisi......................................................................................................................10
III.3. Manifestasi Klinis.....................................................................................................12
III.4. Diagnosis...................................................................................................................14
III.5. Terapi........................................................................................................................19
III.6. Faktor Prognostik......................................................................................................24
BAB IV KESIMPULAN...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
DAFTAR GAMBAR
iii
Gambar 1. Gambaran EKG saat admisi……………………………………………….5
iv
DAFTAR TABEL
5
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Prevalensi gagal jantung pada populasi dewasa di negara berkembang sekitar
1-2%, meningkat ≥10% pada umur 70 tahun (Mosterd et al, 2007). Pada populasi usia
65 tahun yang datang ke layanan kesehatan dengan gejala sesak nafas saat aktivitas,
satu dari enam mengalami gagal jantung yang tidak terdeteksi dini (Van Riet et al,
2014).
Dalam 30 tahun terakhir, peningkatan kualitas terapi telah meningkatkan
kelangsungan hidup dan mengurangi angka rawat inap pada pasien dengan gagal
jantung. Pada pasien dengan gagal jantung, mortalitas terbanyak disebabkan oleh
penyebab kardiovaskuler, sebagian besar karena sudden death dan perburukan gagal
jantung (Pocock et al, 2013).
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala klinis (sesak
nafas, bengkak pada ekstremitas, mudah lelah) yang bisa disertai dengan beberapa
manifestasi klinis seperti peningkatan tekanan vena jugularis, kongesti paru, serta
edema ekstremitas yang disebabkan oleh kelainan struktural dan/atau fungsional
jantung. Hal ini dapat menyebabkan penurunan curah jantung dan/atau peningkatan
tekanan intrakardiak saat istirahat atau saat aktivitas. Sebelum gejala klinis muncul,
pasien juga dapat mengalami kelainan struktur atau fungsional jantung yang
asimptomatik (disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri), dimana itu merupakan
prekursor dari gagal jantung. Penting untuk mengenali munculnya prekursor ini
karena berkaitan dengan prognosis yang buruk, dan memulai terapi saat fase
prekursor bisa mengurangi mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel
kiri (Wang, 2003).
1
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal/ heart failure with preserved
ejection fraction (HRpEF) dan gagal jantung fraksi ejeksi menurun/ heart failure with
reduced ejection fraction (HFrEF) memiliki epidemiologi dan etiologi yang berbeda.
Dibandingkan dengan HFrEF, pasien dengan HFpEF memiliki usia lebih tua, lebih
sering pada perempuan, dan seringkali memiliki riwayat hipertensi dan atrial fibrilasi,
sementara itu riwayat infark miokardial jarang dijumpai (Owan et al, 2006).
I. B. Tujuan Penulisan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk:
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum lemah, compos mentis,
kesan gizi cukup, tinggi badan 167 cm, berat badan 54 kg, dengan IMT 19,36. Tanda
vital saat di bangsal didapatkan tekanan darah 102/60 mmHg yang diukur pada
lengan kanan cuff dewasa pada posisi berbaring. Nadi 62 kali/menit, teraba kuat,
ireguler, respirasi 20 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh 36,7ºC yang
diukur di aksila, dan saturasi oksigen 98% dengan room air.
Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak pucat. Leher
didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis 5+4 cmH2O. Pada pemeriksaan
thoraks, didapatkan paru dengan pergerakan hemithoraks dekstra dan sinistra
simetris, fremitus taktil dekstra dan sinistra simetris, perkusi sonor, dan pada
auskultasi terdapat suara dasar vesikuler, tidak didapatkan ronkhi, tidak didapatkan
wheezing. Jantung membesar dengan ictus cordis teraba pada SIC VI linea aksilaris
anterior, suara jantung 1-2, reguler, didapatkan bising pansistolik 3/6 dengan punctum
maksimum di SIC IV linea mid klavikula sinistra, bising pansistolik 3/6 dengan
punctum maksimum di SIC IV linea parasternalis sinistra, dijumpai juga adanya RV
heaving. Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya kelainan. Keempat
ekstremitas teraba hangat, didapatkan edema pitting pada kedua eksremitas inferior.
Data laboratorium pada tanggal 10 Desember 2019 didapatkan hasil darah
rutin dalam batas normal. Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan peningkatan kadar
kreatinin 1,22 mg/dL dan kadar blood urea nitrogen (BUN) 16,4 mg/dL. Hasil
pemeriksaan fungsi hati dan elektrolit dalam batas normal. Didapatkan pemanjangan
diastase perdarahan dengan hasil PPT 29,7 detik (kontrol: 15,6). APTT 44,9 detik
(kontrol: 31,1), dan INR 2,39.
Dari hasil rekaman EKG didapatkan kesan atrial fibrilasi dengan respon
ventrikel normal, deviasi aksis ke kiri dan gambaran left bundle branch block. Pada
pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kardiomegali dengan pembesaran semua
ruang jantung serta gambaran awal edema pulmo.
4
Hasil ekokardiografi tanggal 12 November 2019 didapatkan dilatasi semua
ruang jantung, hipertrofi ventrikel kiri eksentrik, fungsi sistolik global dan segmental
ventrikel kiri menurun dengan fraksi ejeksi 15% (Simpson), fungsi sistolik ventrikel
kanan normal, regurgitasi mitral berat, regurgitasi pulmonal ringan, regurgitasi
trikuspid berat, hipertensi pulmonal intermediat.
Gambar 1. Gambaran EKG saat admisi tanggal 10/12/19 didapatkan gambaran atrial fibrilasi
dengan respon ventrikel normal, deviasi aksis ke kiri dan gambaran left bundle branch block.
5
spironolakton 25 mg/12 jam PO, warfarin 2 mg/24 jam PO. Dilakukan pemasangan
kateter urin dan pasien dirawat di bangsal biasa. Dilakukan balans cairan/24 jam
dengan target balans cairan -500 cc sampai -1000 cc.
Gambar 2. Hasil rontgen thoraks saat admisi tanggal 10/12/19 didapatkan gambaran
kardiomegali dengan pembesaran semua ruang jantung serta gambaran awal edema pulmo.
6
Pada hari pertama perawatan, pasien masih mengeluhkan sesak. Tanda vital pasien
stabil dengan tekanan darah 100/60 mmHg, diukur pada lengan kanan. Nadi teraba
kuat angkat, frekuensi 62 kali/menit, ireguler. Respirasi 24 kali/menit, tipe
abdominothoracal, suhu tubuh 36,7ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen
98% room air. Balans cairan pasien -755 cc dengan urine output 0,88 cc/kgBB/jam
dengan warna urin kuning jernih. Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai rales dan
edema eksremitas. Kondisi pasien stabil dan pemberian furosemide diganti lewat drip
dengan dosis 5 mg per jam.
Pada hari ke 3 perawatan, keluhan sesak dirasa masih sama dengan hari
sebelumnya. Tanda vital pasien stabil dengan tekanan darah meningkat 135/70
mmHg, diukur pada lengan kanan. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi 62 kali/menit,
ireguler. Respirasi 24 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh 36,6ºC yang
diukur di aksila, dan saturasi oksigen 97% room air. Balans cairan pasien -855 cc,
dengan urine output 0,76 cc/kgBB/jam. Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai rales
dan edema eksremitas menetap. Dosis candesartan dinaikkan menjadi 8 mg pada pagi
hari dan 4 mg pada sore hari, dilakukan evaluasi darah lengkap, tidak ditemukan
adanya perubahan signifikan dibanding dengan hasil laboratorium terakhir.
Pada hari ke 6 perawatan, keluhan sesak dirasa membaik. Tanda vital masih
stabil dan pemeriksaan fisik rales (-) dengan edema eksremitas yang menurun..
Balans cairan pasien -1450 cc, dengan urine output 1,27 cc/kgBB/jam. Pemberian
drip furosemide diganti menjadi 40 mg/8 jam. Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai
rales dan edema eksremitas membaik. Dilakukan evaluasi darah lengkap, tidak
ditemukan adanya perubahan signifikan dibanding dengan hasil laboratorium
terakhir.
7
angkat, frekuensi 68 kali/menit, ireguler. Respirasi 28 kali/menit, tipe
abdominothoracal, suhu tubuh 39,1ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen
96% room air. Balans cairan pasien +150 cc, dengan urine output 0,5 cc/kgBB/jam.
Pada pemeriksaan fisik masih dijumpai rales dan edema eksremitas, tidak didapati
crackles, pada pemeriksaan abdomen didapati nyeri tekan di suprapubik. Dilakukan
pemeriksaan urin rutin dan rontgen thoraks untuk pelacakan penyebab demam serta
evaluasi ulang darah lengkap.
Pada hari ke 11 perawatan, keluhan sesak dirasa membaik, demam masih naik
turun. Pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg,
diukur pada lengan kanan. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi 60 kali/menit, ireguler.
Respirasi 24 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh 38,4ºC yang diukur di
aksila, dan saturasi oksigen 96% room air. Balans cairan pasien +95 cc, dengan urine
output 0,2 cc/kgBB/jam. Pada hasil pelacakan penyebab demam, dijumpai urin rutin
dengan hasil lekosit esterase 3+, nitrit (-), eritrosit 85/ µL, leukosit 696/ µL, bakteri
1071/ µL dengan interpretasi infeksi saluran kemih bakterial dan pada pemeriksaan
rontgen thoraks tidak dijumpai tanda infeksi paru. Pada hasil evaluasi darah lengkap
didapatkan peningkatan BUN dari 14,3 mg/dL menjadi 21,7 mg/dL dan kreatinin dari
1,21 mg/dL menjadi 2,18 mg/dL. Pasien dikonsulkan ke bagian tropmed dengan
assessment catheter induced urinary tract infection et causa bakterial dan mendapat
terapi ceftriaxone 1 gr/12 jam. Pasien juga dikonsulkan ke bagian nefro terkait acute
kidney injury mendapat advis cukupi kebutuhan cairan pasien serta evaluasi bun dan
kreatinin setiap 3 hari.
Pada hari ke 16 perawatan, keluhan demam dirasakan sudah tidak ada sejak 2
hari terakhir. Tekanan darah pasien 110/70 mmHg. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi
78 kali/menit, ireguler. Respirasi 20 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh
36,5ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen 97% room air. Balans cairan
pasien -300 cc, dengan urine output 0,95 cc/kgBB/jam. Pada pemeriksaan fisik masih
dijumpai rales dan edema eksremitas membaik, tidak didapati crackles, pada
8
pemeriksaan abdomen sudah tidak didapati nyeri tekan di suprapubik.. Pada hasil
evaluasi darah lengkap didapatkan perbaikan BUN dari 30,8 mg/dL menjadi 15,3
mg/dL dan kreatinin dari 1,68 mg/dL menjadi 1,29 mg/dL. Pada hasil evaluasi urin
rutin, dijumpai perbaikan dengan hasil lekosit esterase (-), nitrit (-), eritrosit 13/ µL,
leukosit 200/ µL, bakteri 12,1/ µL. Advis dari bagian tropmed AB diganti oral dengan
cefixime 2x200mg selama 5 hari dan lepas raber, serta dari bagian nefro acute kidney
injury sudah teratasi dan lepas raber.
Pada hari ke 21 perawatan, keluhan demam tidak ada, sesak tidak ada.
Tekanan darah pasien 100/60 mmHg. Nadi teraba kuat angkat, frekuensi 78
kali/menit, ireguler. Respirasi 20 kali/menit, tipe abdominothoracal, suhu tubuh
36,8ºC yang diukur di aksila, dan saturasi oksigen 97% room air. Balans cairan
pasien -300 cc, dengan urine output 0,75 cc/kgBB/jam. Pada pemeriksaan fisik tidak
dijumpai rales dan edema eksremitas membaik. Pemberian furosemid diganti oral
dengan dosis 40mg di pagi hari, pasien direncanakan pulang besok hari.
Pada hari ke 22 perawatan, keluhan tidak ada. Tanda vital masih stabil dan
pemeriksaan fisik masih sama dengan hari sebelumnya. Pasien juga dilakukan
penilaian HAS-BLED bleeding score untuk menilai risiko perdarahan mayor dari
penggunaan antikoagulan dan didapatkan skor 0 dengan risiko rendah. Pasien boleh
pulang dengan terapi pulang candesartan 8mg diminum pagi dan sore, furosemide
40mg diminum pagi dan sore, spironolakton 25mg/ 24 jam, warfarin 1mg/ 24 jam
selang-seling dengan dosis 2mg/ 24 jam, omeprazole 20mg/ 24 jam, n-asetilsistein
200mg/ 8 jam, serta dijadwalkan kontrol ke poli jantung dan poli penyakit dalam
tanggal 7 Januari 2020.
9
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung sekitar 1-2% dari populasi orang dewasa pada negara
berkembang, meningkat hingga ≥10% pada usia >70 tahun (Mosterd et al, 2007).
Pada orang berusia >65 tahun yang berobat ke fasilitas kesehatan dengan keluhan
sesak saat aktivitas, 1 dari 6 dijumpai gagal jantung yang tidak diketahui sebelumnya
(Van Riet et al, 2014).
10
III.2. Definisi
Gagal jantung (Heart Failure/ HF) adalah sindroma klinis yang ditandai
dengan gejala seperti sesak nafas, bengkak eksremitas dan rasa lelah dan bisa disertai
dengan tanda klinis seperti peningkatan tekanan vena jugular, kongesti paru dan
edema perifer yang disebabkan oleh kelainan struktural dan/ atau fungsional jantung.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan/ atau peningkatan tekanan
intrakardiak saat istirahat atau selama aktivitas. Penggunaan kata ‘kongestif’ tidak
lagi dipilih karena banyak pasien tidak memiliki kongestif berlebih pada saat evaluasi
(Januzzi, 2015).
Terdapat dua cara untuk klasifikasi pasien dengan gagal jantung. Pendekatan
tingkat keparahan gagal jantung berdasarkan The American College of Cardiology/
American Heart Association (ACC/ AHA) menekankan pada perkembangan dan
progresi dari penyakit, sedangkan klasifikasi fungsional New York Heart Association
(NYHA) lebih mengarah pada toleransi latihan pada individu yang telah ditetapkan
sebagai penderita gagal jantung (Yancy et al, 2013). Pada pasien dapat dikategorikan
stadium C ACA/AHA dan kelas III pada klasifikasi fungsional NYHA.
11
II Terdapat keterbatasan yang cukup
I signifikan pada aktivitas fisik. Nyaman saat
beristirahat, tetapi aktivitas fisik dibawah
normal dapat menimbukan gejala HF
D HF refrakter dengan kebutuhan intervensi IV Tidak dapat melakukan segala aktivitas
terspesialisasi fisik tanpa gejala HF, atau gejala HF
muncul saat istirahat
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ACA/AHA dan NYHA.
12
Sesak nafas yang semakin berat adalah gejala pokok dari gagal jantung dan
biasanya tidak hanya dikaitkan dengan peningkatan tekanan pengisian jantung, tetapi
juga mungkin merepresentasikan keterbatasan curah jantung (Solomonica et al,
2013). Pasien mungkin tidur dengan kepala yang dielevasi untuk mengurangi dyspnea
sambil terlentang (ortopnea). Paroxysmal nocturnal dyspnea, napas pendek dalam
keadaan terlentang adalah salah satu indicator yang paling dapat dipercaya dari gagal
jantung. Batuk pada malam hari adalah gejala yang seringkali terlewatkan (Januzzi,
2015).
Gejala Tanda
13
Penurunan nafsu makan Cachexia
Palpitasi Edema perifer
Dizziness Edema paru
Sinkop Takikardi
Ritme ireguler
Takipnea
Hepatomegali
Asites
Narrow pulse pressure
Oliguria
Tabel 3. Gejala dan tanda gagal jantung.
III.4. Diagnosis
Pada pasien non-urgensi dengan onset pertama kali, kemungkinan adanya HF
harus dievaluasi berdasarkan riwayat klinis pasien sebelumnya (penyakit arteri
koroner, hipertensi), gejala yang muncul (sesak saat istirahat, ortopnea), pemeriksaan
fisik yang ditemukan (edema eksremitas, peningkatan tekanan vena jugular) serta
abnormalitas EKG. Jika semua elemen normal, maka kemungkinan adanya HF bisa
disingkirkan dan pertimbangkan ke arah diagnosa lain. Jika paling tidak ada satu
elemen yang tidak normal, maka harus dilakukan pemeriksaan natriuretic peptides
(NP) plasma (Maisel et al, 2008). Pemeriksaan ekokardiografi disarankan pada pasien
dengan kenaikan angka NP atau jika pemeriksaan NP plasma tidak dapat dilakukan
(Kirkpatrick et al, 2007).
Penilaian awal terdiri dari diagnosis klinis yang sesuai dengan algoritme yang
ditampilkan serta gambaran fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pemeriksaan
ekokardiografi. Tanda dan gejala klinis yang dijumpai pada pasien dengan HFrEF,
HFmrEF, dan HFpEF seringkali serupa. Pada pemeriksaan ekg dapat dijumpai
14
kelainan seperti atrial fibrilasi, hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan repolarisasi.
Bacaan EKG yang normal dan/ atau hasil pemeriksaan natriuretic peptides yang
normal dapat membantu menyingkirkan diagnosis HFrEF, HFmrEF, dan HFpEF
(Januzzi, 2015).
Pada pasien HF, pada pemeriksaan EKG jarang terlihat normal tetapi mungkin
hanya menunjukkan perubahan non spesifik. Sinus takikardia sekunder akibat dari
aktivasi sistem saraf simpatetik terlihat pada gagal jantung lanjutan atau pada episode
dekompensata akut. Adanya aritmia atrium pada EKG dan respon ventrikel, mungkin
dapat memberikan informasi terkait penyebab gagal jantung dan menjelaskan alasan
terjadinya gejala dekompensasi pada pasien (Januzzi, 2015).
15
menurun dengan fraksi ejeksi 15% (Simpson), fungsi sistolik ventrikel kanan normal,
regurgitasi mitral berat, regurgitasi pulmonal ringan, regurgitasi trikuspid berat,
hipertensi pulmonal intermediat. Berdasarkan data-data tersebut sesuai dengan alur
diagnosa dapat dikonfirmasi jika pasien mengalami gagal jantung.
16
Tabel 4. Alur diagnosa gagal jantung.
Gambar 3. Gambaran cardiothoracic ratio pada pasien dengan kardiomegali, yang merupakan
ratio antara diameter horizontal maksimal jantung (garis A) dan diameter horizontal maksimal
dinding dada (garis B).
17
Dibeberapa pasien dijumpai peningkatan tanda intertisial termasuk garis
Kerley B (garis horizontal radioopak meluas menuju permukaan pleura karena
penumpukkan cairan pada ruang intertisial). Pada mayoritas kasus, terutama pada
pasien yang memiliki gagal jantung lanjut, radiografi dada mungkin sangat jelas
terlihat, diluar gejala signifikan dari dyspnea (Januzzi, 2015).
Gambar 4. Gambaran khas rontgen thoraks pada edema paru. Dapat ditemukan adanya
butterfly sign dan gambaran Kerley’s B line
18
Gambar 5. Gambaran rontgen thoraks pada pembesaran ruang jantung.
19
pengukuran fraksi ejeksi ventrikel kiri dapat menggunakan modified biplane
Simpson’s rule (Lang et al, 2015).
III.5. Terapi
Tujuan terapi pada pasien dengan HF adalah untuk meningkatkan kondisi
klinis, kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien, mencegah kejadian rawat inap
serta menurunkan mortalitas (Gheorghiade, 2013).
20
Tabel 5. Algoritma terapetik pada pasien dengan HFrEF simptomatik.
21
ACEI dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan
HFrEF dan direkomendasikan kecuali ada kontra indikasi atau tidak dapat
ditoleran pada pasien dengan gejala (Garg et al, 1995). ACEI dapat dinaikkan
dosisnya hingga pada dosis toleransi maksimal untuk mencapai inhibisi adekuat
dari renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS). ACEI juga direkomendasikan
pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik untuk
menurunkan risiko perkembangan ke arah gagal jantung, hospitalisasi, dan
kematian (Yusuf et al, 1991).
2. Beta Bloker
Beta bloker dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan
HFrEF, namun belum diuji pada pasien gagal jantung dengan dekompensasi atau
kongesti (Hjalmarson et al, 2000). Pemberian beta bloker harus diinisiasi pada
pasien dengan kondisi stabil, mulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan
sampai pada toleransi dosis maksimal.
Penggunaan beta bloker harus dipertimbangkan untuk kontrol rate pada pasien
dengan HFrEF dengan atrial fibrilasi, terutama pada pasien dengan respon
ventrikel cepat. Beta bloker juga direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
infark miokard dan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik untuk
menurunkan resiko kematian (Packer et al, 2001).
22
Penggunaan MRA pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pasien
dengan peningkatan angka kalium darah perlu diberikan perhatian khusus.
Pengecekan kadar kalium darah dan fungsi ginjal berkala harus dilakukan.
4. Diuretik
Meta analisis dari Cochrane menunjukkan pada pasien dengan gagal jantung
kronik penggunaan diuretik loop dan tiazid dapat menurunkan resiko kematian
dan perberatan gagal jantung dibandingkan dengan placebo. Diuretik loop
menghasilkan diuresis yang lebih kuat dibandingkan dengan tiazid, kombinasi
keduanya bisa digunakan untuk terapi edema yang resisten.
ARNI merupakan kelas terbaru yang bekerja pada RAAS dan neutral
endopeptidase system. Generasi pertama adalah LCZ696, dimana merupakan
molekul gabungan dari valsartan dan sacubitril (neprilysin inhibitor).
23
bulan terakhir, BNP ≥100 pg/mL or NT-proBNP ≥400 pg/mL), estimasi GFR
(eGFR) ≥30 mL/min/1.73 m2. Pada populasi ini, sacubitril/valsartan lebih
superior dibandingkan dengan enalapril dalam mengurangi hospitalisasi,
perburukan gagal jantung, dan mortalitas kardiovaskular.37
8. Digoksin
24
pernah diuji dengan RCT dan dari penelitian terbaru menyimpulkan adanya risiko
tinggi pada pasien dengan atrial fibrilasi yang menerima digoksin (Ouyang et al,
2015). Walaupun begitu, ini masih kontroversial, dimana beeberapa meta analisis
terbaru menyimpulkan bahwa digoksin tidak memiliki efek buruk pada mortalitas
pasien dengan HFeEF yang disertai atrial fibrilasi (Ziff et al, 2015).
Pada pasien dengan gagal jantung simptomatik dan atrial fibrilasi, digoksin
dapat digunakan untuk memperlambat respon cepat ventrikel, namun ini hanya
direkomendasikan pada pasien dengan HFrEF dan AF dengan respon ventrikel
cepat ketika pilihan obat lain tidak dapat digunakan (Bavishi et al, 2015).
25
BAB IV
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Granger CB, McMurray JJV, Yusuf S, et al. Effects of candesartan in patients with
chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic function intolerant to
angiotensin-converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet
2003;362:772–776.
Hjalmarson A, Goldstein S, Fagerberg B, et al. MERIT-HF Study Group. Effects of
controlled-release metoprolol on total mortality, hospitalizations, and well being
in patients with heart failure: the MetoprololCR/XL Randomized Intervention
Trial in congestive Heart Failure (MERIT-HF). JAMA 2000;283:1295–1302.
James L Januzzi. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Doughlas L Mann DPZ,
Peter Libby, Robert O Bonow, ed. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier; 2015.
Kirkpatrick JN, Vannan MA, Narula J, et al. Echocardiography in heart failure:
applications, utility, and new horizons. J Am Coll Cardiol 2007;50:381–396.
Lang RM, Badano LP, Mor-Avi V, et al.Recommendations for cardiac chamber
quantification by echocardiography in adults: an update from the American
Society of Echocardiography and the European Association of Cardiovascular
Imaging. Eur Heart J Cardiovasc Imaging 2015;16: 233–270.
Maisel A, Mueller C, Adams K, et al. State of the art: using natriuretic peptide levels
in clinical practice. Eur J Heart Fail 2008;10:824–839.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. Guidelines ESCC for P,
Reviewers D. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart. Eur J Heart Fail 2012;14:803–869.
McMurray JJ, Packer M, Desai AS, et al. Angiotensin-neprilysin inhibition versus
enalapril in heart failure. N Engl J Med 2014;371:993–1004.
Mosterd A, Hoes AW. Clinical epidemiology of heart failure. Heart 2007;93: 1137–
1146.
28
Nagueh SF, Bhatt R, Vivo RP, et al. Echocardiographic evaluation of hemodynamics
in patients with decompensated systolic heart failure. Circ Cardiovasc Imaging
2011;4: 220–227.
Ouyang A-J, Lv Y-N, Zhong H-L, Wen J-H, Wei X-H, Peng H-W, Zhou J, Liu L-L.
Meta-analysis of digoxin use and risk of mortality in patients with atrial
fibrillation. Am J Cardiol 2015;115:901–906.
Owan TE, Hodge DO, Herges RM, et al. Trends in prevalence and outcome of heart
failure with preserved ejection fraction. NEnglJ Med 2006;355:251–259.
Packer M, Coats AJ, Fowler MB, et al. Effect of carvedilol on survival in severe
chronic heart failure. N Engl J Med 2001;344:1651–1658.
Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al. The effect of spironolactone on morbidity and
mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med 1999;341:709–717.
Pocock SJ, Ariti CA, McMurray JJV, et al. Predicting survival in heart failure: a risk
score based on 39 372 patients from 30 studies. Eur Heart J 2013;34: 1404–1413.
Solomonica A, Burger AJ, Aronson D. Hemodynamic determinants of dyspnea
improvement in acute decompensated heart failure. Circulation Heart Failure
2013;6:53-60.
Swedberg K, Komajda M, Bo¨hm M, et al. Ivabradine and outcomes in chronic heart
failure (SHIFT): a randomised placebo-controlled study. Lancet 2010;376:875–
885.
Van Riet EES, Hoes AW, Limburg A, et al. Prevalence of unrecognized heart failure
in older persons with shortness of breath on exertion. Eur J Heart Fail
2014;16:772–777.
Wang TJ. Natural history of asymptomatic left ventricular systolic dysfunction in the
community. Circulation 2003;108:977–982.
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure: a report of the American College of Cardiology
Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Journal of the American College of Cardiology 2013;62:e147-239.
29
Yusuf S, et al. Effect of enalapril on survival in patients with reduced left ventricular
ejection fractions and congestiveheart failure. N Engl J Med 1991;325: 293–302.
Ziff OJ, Lane DA, Samra M, et al. Safety and efficacy of digoxin: systematic review
and meta-analysis of observational and controlled trial data. BMJ
2015;351:h4451.
30