Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

PASIEN DENGAN ST ELEVASION MYOCARDIAL INFRACTION


(STEMI) ANTEROSEPTAL

Pembimbing:
dr. Fatimah Defina Khamarul Jannah, Sp.JP

Disusun oleh:
Zoey Abigail Idnani
112019261

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSTITAS KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 14 MARET – 21 MEI 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus:
Pasien dengan ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI) Anteroseptal

Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto

Disusun Oleh:
Zoey Abigail Idnani
112019261

Telah disetujui pada tanggal:

Pembimbing:

dr. Fatimah Defina Khamarul Jannah, Sp.JP

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Pasien dengan ST Elevation
Myocardial Infraction (STEMI) Anteroseptal”. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi
salah satu syarat kepaniteraan klinik departemen ilmu penyakit dalam RSPAD Gatot Soebroto.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing laporan kasus, dr. Fatimah
Defina Khamarul Jannah, Sp.JP. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dokter
yang telah membimbing selama kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan
kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Laporan kasus ini dapat diselesaikan atas bantuan dari banyak pihak. Penulis berharap
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, maupun pihak-pihak yang
berkepentingan. Kritik dan saran yang membangun juga diharapkan oleh penulis.

Jakarta, April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN…………………………………………………………………2
II.1 Identitas Pasien ............................................................................................................. 2
II.2 Anamnesis…………… ................................................................................................ 2
II.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................................ 4
II.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................................................ 6
II.5 Resume…………….. ................................................................................................... 9
II.6 Diagnosis… .................................................................................................................. 9
II.7 Tatalaksana. ................................................................................................................ 10
II.8 Follow Up… ............................................................................................................... 10
II. 9 Edukasi……...………………………………………………………………………15
II.10 Prognosis… .............................................................................................................. 15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 16
III.1 Definisi………………….. ........................................................................................ 16
III.2 Faktor Risiko ............................................................................................................. 16
III.3 Patogenesis ................................................................................................................ 19
III.4 Diagnosis…............................................................................................................... 20
III.5 Penatalaksanaan ........................................................................................................ 25
III.6 Prognosis… ............................................................................................................... 31
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Global Health Estimate (GHE) tahun 2016 mencatat bahwa kedudukan ischaemic heart
disease atau coronary heart disease (CHD) menempati posisi pertama dengan angka kematian
mencapai 126 per 100,000 populasi atau diperkirakan 16,6 %. Data di Amerika Serikat pada
tahun 2013, pasien acute coronary sindrome (ACS) yang datang ke rumah sakit dengan ST-
elevation myocardial infarction (STEMI) diperkira-kan sekitar 38% dari 116,793 pasien dan
memiliki angka persentase yang berbeda berdasarkan jenis kelamin yakni: 57% terjadi pada
pria dan 43% terjadi pada wanita.1

Angka kejadian STEMI tetap menjadi penyebab utama yang memengaruhi morbiditas
dan mortalitas di dunia. Namun berdasarkan beberapa penelitian yang terus dikembangkan,
terdapat penurunan angka mortalitas STEMI yang dikaitkan dengan perbaikan dalam
Emergency Medical Response (EMR), penerapan strategi terapi reperfusi yang efektif, dan
penggunaan farmakoterapi terkait pencegahan sekunder.1

Infark miokard akut (IMA) merupakan sindrom klinik yang diperlihatkan dengan gejala
yang ditimbulkan akibat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan oksigen dalam darah ke
jantung. Ketidaknyamanan di dada tipe-iskemik seringkali menjadi gejala klinis yang paling
menonjol pada pasien infark miokard, dirasakan pasien sebagai tekanan retrosternal dan sensasi
terbakar yang persisten (>10 hingga 20 menit), difus, dalam, dan berat, umumnya tidak
dirasakan sebagai nyeri yang menusuk.5 Infark miokard akut diklasifikasikan berdasarkan hasil
pemeriksaan EKG 12 sadapan menjadi ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI)
dan Non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI). Penentuan klasifikasi IMA
penting dalam penatalaksanaan. Tatalaksana untuk pasien STEMI yaitu dengan terapi reperfusi
yang terdiri dari primary percutaneous coronary intervention (PPCI), terapi fibrinolitik, dan
coronary artery bypass grafting (CABG).1

Kematian pasien STEMI di Indonesia yang mendapat terapi reperfusi secara bermakna
dikatakan lebih rendah dibanding pasien tanpa terapi reperfusi, sehingga penerapan terapi
reperfusi sangat penting untuk pasien yang terdiagnosis STEMI dengan tujuan utama yaitu
dilakukannya pemberian reperfusi yang cepat, berkelanjutan, dan tepat.1

1
BAB II

STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. EF

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 48 tahun

Tanggal lahir : 07 Juni 1973

Alamat : Jl. Setu Indah VII No. 19, Cipayung

Status pernikahan : Menikah

Pekerjaan : TNI AD

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

No. Rekam medik : 01096646

Tanggal pasien datang : 23 Maret 2022

II.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis tanggal 23 Maret 2022.

II.2.1 Keluhan Utama


Nyeri dada sejak 5 jam SMRS.

II.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada sejak 5 jam SMRS. Nyeri
dada timbul mendadak ketika pasien sedang duduk beristirahat. Nyeri dirasakan seperti
tertekan/tertindih dengan durasi kurang lebih 20-30 menit. Nyeri menjalar ke daerah leher dan
lengan kiri. Pada saat terjadi serangan nyeri, pasien merasa lemas sehingga tidak mampu untuk
beraktivitas ataupun bergerak terlalu banyak. Nyeri dirasakan tidak berkurang dengan berhenti
melakukan kegiatan atau beristirahat. Keluhan nyeri juga disertai keluar keringan dingin dan
rasa mual namun tidak disertai muntah.

2
Gejala nyeri dada baru pertama kali dialami oleh pasien. Pada beberapa jam sebelum
timbul nyeri, pasien sempat merasakan pegal-pegal pada daerah punggung dan leher yang
menetap, kemudian disusul dengan timbulnya nyeri pada dada.

Keluhan seperti sakit kepala, nyeri pada bagian ulu hati, bengkak pada kedua tungkai,
sesak, riwayat tidur dengan menggunakan bantal yang tinggi, terbangun di malam hari karena
sesak dan batuk disangkal. BAK dan BAB normal, tidak ada keluhan.

Pasien sebelumnya telah dibawa ke Rumah Sakit Prikasih dan setelah pemeriksaan,
pasien diberikan obat yaitu clopidogrel 1 x 300 mg, omeprazole 1 x 40 mg, ketolorac 1 x 30
mg, dan ISDN 5 mg sublingual. Setelah itu, pasien dirujuk ke RSPAD untuk penangan lebih
lanjut.

Pasien memiliki penyakit hipertensi dan kolesterol tinggi, pasien rutin minum obat yang
dibeli sendiri tanpa kontrol ke dokter.

II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat diabetes mellitus, anemia, penyakit jantung, ginjal, paru, keganasan, alergi
disangkal.

II.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


• Keluhan yang sama pada keluarga disangkal.
• Ibu pasien menderita penyakit hipertensi.
• Riwayat diabetes mellitus, anemia, penyakit jantung, ginjal, paru, keganasan, alergi
pada keluarga disangkal.

II.2.5 Riwayat pengobatan


• Pasien rutin mengkonsumsi obat amlodipine 1 x 5 mg dan simvastatin 1 x 20 mg
yang dibeli sendiri.
• IGD RS Prikasih : clopidogrel 1 x 300 mg, omeprazole 1 x 40 mg, ketolorac 1 x 30
mg, dan ISDN 5 mg sublingual.

II.2.6 Riwayat sosial


• Pasien tinggal bersama istri dan anak pasien.
• Saat ini pasien sedang melanjutkan pendidikan, dimana kegiatan pasien sehari-
harinya adalah duduk mengikuti pembelajaran secara online selama tiga bulan

3
terakhir. Aktvivitas fisik yang sebelumnya sering dilakukan menjadi tidak
dilakukan.
• Pasien makan 2-3 kali/hari, makanan variatif, waktu makan tidak teratur. Pasien
mengatakan gemar mengkonsumsi makanan bersantan, berlemak, jarang makan
sayur dan tidak suka makan buah.
• Riwayat merokok (+) sekitar ½ bungkus perhari sejak ± 20 tahun yang lalu.
• Riwayat minum alkohol (+), jika pasien berkumpul bersama teman.

II.3 Pemeriksaan Fisik


II.3.1 Status internus:
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
• Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 116/75mmHg
- Nadi : 68x/menit
- RR : 22x/menit
- Saturasi O2 : 99% dengan nasal kanul 3 lpm
- Suhu : 36.5oC
• BB : 78 kg
• TB : 170 cm
• IMT : 26,9 kg/m2
• Status Gizi : Obesitas tingkat 1

II.3.2 Status generalis

Kepala : Normocephal, warna rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah


dicabut
Mata : Exopthalamus (-/-), enopthalamus (-/-), edema palpebra (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung
tidak langsung (+/+), pupil isokor, nistagmus (-/-)
Hidung : Simetris, septum deviasi (-/-), sekret, napas cuping hidung (-/-),
perdarahan (-/-), massa (-/-), konka tidak edema dan hiperemis
Telinga : Normotia, tanda radang (-/-), secret/serumen (-/-), perdarahan (-/-),
massa (-/-), nyeri tekan (-/-)

4
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-), tidak ada bau
pernapasan
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, tonsil dan faring tidak hiperemis
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid dan KGB tidak membesar, trakea
ditengah
Paru Anterior
Inspeksi : Normochest, pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, tidak
ada bagian yang tertinggal, jenis pernapasan abdominothorakal, tidak
tampak otot bantu pernapasan, tidak ada lesi atau benjolan
Palpasi : Benjolan (-/-), fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Paru Posterior
Inspeksi : Bentuk thoraks posterior normal, bentuk scapula simetris, tidak ada
lesi atau benjolan
Palpasi : Benjolan (-/-), fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kanan pada ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri pada ICS VI linea midklavikularis sinistra
Pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak buncit, lesi (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus normorperistaltik (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan abdomen (-), tidak teraba pembesaran organ (-),
ballotement (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok CVA (-)

5
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada lesi, tidak terdapat
edema, CRT <2 detik. Normotonus, eutrofi, gerakan aktif +5 pada
keempat ekstremitas
Killip class : Killip class I (Tidak terdapat tanda gagal jantung)

II.4 Pemeriksaan penunjang


II.4.1 Pemeriksaan EKG
Tanggal 23 Maret 2022

Interpretasi:
1. Irama jantung: irama sinus
2. Laju QRS 4 kotak besar antar 2R → 75 bpm
3. Regularitas: interval R-R dan interval P-P reguler
4. Penilaian axis: normoaxis
5. PR interval: normal 0,12s – 0,20s (0,20s)
6. Morfologi:
❖ Gelombang P
• Defleksi positif sadapan inferior (II, III, dan aVF), P patologis (-)
❖ Kompleks QRS
• Durasi: 0,04 → normal
• Q patologis (-)
• R wave progression normal
❖ ST segmen: ST elevasi pada V1, V2, dan V3
❖ T inverted pada sadapan III dan T hiperakut pada V2-V6

6
II.4.2 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


24/03/2022
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 14.2 13.0-18.0 g/dL

Hematokrit 41 40-52%

Eritrosit 4.80 4.3-6.0 juta/uL

Leukosit 10070 4.800-10.800 /uL

Trombosit 223.000 150.000-400.000/uL

Hitung jenis :

• Basofil 0 0-1%

• Eosinofil 0 1-3%

• Neutrofil 79 50-70%

• Limfosit 16 20-40%

• Monosit 5 2-8%

MCV 85 80-96 Fl
MCH 30 27-32 pg
MCHC 35 32-36 g/dL
RDW 12.60 11.5-14.5 %
KOAGULASI
WAKTU PROTROMBIN (PT)
• Kontrol 10.0
• Pasien 10.9 9.3-11.8 detik
APTT
• Kontrol 23.1
• Pasien 24.5 23.4-31.5 detik
D-dimer 300 < 500 ng/mL

7
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 30 < 35 U/L
SGPT (ALT) 20 < 40 U/L
Albumin 4.3 3.5-5.0 g/dL
Ureum 30 20-50 mg/dL
Kreatinin 0.92 0.5-1.5 mg/dL
eGFR 98.00 >= 90 : normal atau tinggi
60-89 : penurunan ringan
45-59 : penurunan ringan-sedang
30-44 : penurunan sedang-berat
15-29 : penurunan berat
<15 : gagal ginjal
mL/mnt/1.73m2
Kalsium (Ca) 8.6 8.6-10.3 mg/dL
Magnesium (Mg) 1.70 1.8-3.0 mg/dL
Glukosa darah sewaktu 107 70-140 mg/dL
Natrium (Na) 133 135-147 mmol/L
Kalium (K) 4.1 3.5-5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 104 95-105 mmol/L
CRP Kuantiatif 0.08 < 1 mg/dL
Cardio 3 panel
• Troponin I 0.270 < 0.02 ng/mL
• CK-MB Mass 54.40 0.34-4.99 ng/mL
• NT-ProBNP 68.4 8.1-128.3 pg/mL
Analisa Gas Darah
• pH 7.430 7.469
• pCO2 26.4 27.7
• pO2 43.8 131.7
• Bikarbonat (HCO3) 17.7 20.3
• Kelebihan Basa (BE) -4.7 -1.6
• Saturasi O2 81.6 99.3

8
II.5 Resume
Anamnesis : Pasien Tn. EF usia 48 tahun datang ke IGD RSPAD dengan keluhan chest
pain sejak 5 jam SMRS. Keluhan timbul mendadak ketika pasien sedang istirahat, berupa rasa
tertekan/terindih, menjalar ke daerah leher dan lengan kiri. Keluhan berlangsung persisten
(>20menit) dan disertai dengan diaforesis, lemas dan rasa mual. Gejala baru pertama kali
dialami pasien. Beberapa jam sebelum timbul nyeri, pasien sempat merasa pegal-pegal pada
daerah punggung dan leher yang menetap.

Pasien telah dibawa ke RS Prikasih dan setelah pemeriksaan, pasien diberikan obat
clopidogrel 1 x 300 mg, omeprazole 1 x 40 mg, ketolorac 1 x 30 mg, dan ISDN 5 mg sublingual.

Menderita penyakit hipertensi dan hiperkolesterolemia, pasien rutin konsumsi


amlodipine 1 x 5 mg dan simvastatin 1 x 20 mg yang dibeli sendiri tanpa kontrol ke dokter. Ibu
pasien menderita penyakit hipertensi.

Kebiasaan merokok (+) sekitar ½ bungkus perhari sejak ± 20 tahun yang lalu. Konsumsi
alkohol (+) jika berkumpul Bersama teman.

Pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD
116/75 mmHg, nadi 68x/menit, frekuensi napas 22x/menit, suhu 36.5o C dan SaO2 saat awal
masuk 99% dengan nasal kanul 3 lpm. IMT 26,9 kg/m2 (obesitas tingkat I). Pemeriksaan fisik
lain dalam batas normal, tidak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan penunjang : EKG irama sinus, HR 75x/menit, ST elevasi pada V1, V2,
V3. Pemeriksaan laboratorium peningkatan enzim jantung yaitu, troponin I 0.270 dan CK-MB
Mass 54.50.

II.6 Diagnosis kerja


1. Angina tipikal ec STEMI anterior onset 5 jam Killip I
Atas dasar: anamnesis didapatkan keluhan angina tipikal sejak 5 jam SMRS berupa
rasa tertekan/terindih, menjalar ke daerah leher dan lengan kiri. Keluhan berlangsung
persisten (>20menit) dan disertai dengan diaforesis, lemas dan rasa mual. Selain itu,
pasien memiliki faktor risiko infark miokard akut yaitu berjenis kelamin laki-laki, usia
>40 tahun, dengan obesitas derajat I, kebiasaan merokok, memiliki penyakit hipertensi
dan hiperkolesterolemia.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan
kesadaran compos mentis. Tanta-tanda vital; TD 116/75 mmHg, nadi 68x/menit,

9
frekuensi napas 22x/menit, suhu 36.5o C dan SaO2 saat awal masuk 99 dengan nasal
kanul 3 lpm. IMT 26,9 kg/m2 (obesitas tingkat I). Pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal, tidak ditemukan kelainan.

Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesimpulan irama sinus, HR 75x/menit, ST elevasi


pada V1, V2, dan V3.
Pada pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan marker jantung, didapatkan
peningkatan pada Troponin I dan CK-MB.

II.7 Tatalaksana
Tatalaksana awal :
• Tirah baring
• Infus NaCl 0.9% 20 tpm
• O2 nasal kanul 3 lpm
• Aspilet 80 mg
• Clopidogrel 1 x 75 mg
• Isosorbid dinitrate 5 mg sublingual

Rencana tindakan :
• Periksa EKG per 24 jam
• Pemeriksaan rontgen thoraks
• Rujuk spesialis jantung untuk tindakan reperfusi

II.8 Follow Up
Tanggal 25 Maret 2022
S : Pasien merasa lemas post PCI, nyeri dada (-), sesak (-)

O : Keadaan umum sakit ringan, kesadaran compos mentis


TD 122/83 mmHg, nadi 79x/mnt, napas 22x/mnt, suhu 36.4°C, SaO2 99% room air
Auskultasi paru : suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Auskultasi jantung : murni regular, gallop (-), murmur (-)
Laboratorium tanggal 25 Maret 2022
Kimia klinik ; CPK 1881 U/L, CK-MB 269 U/L
Analisa gas darah : pH 7.469, pCO2 27.7 mmHg, pO2 131.7 mmHg, bikarbonat
(HCO3) 20.3 mmol/L, saturasi O2 99.3%

10
Percutaneus Coronary Intervension (PCI) tanggal 24 Maret 2022

Kesimpulan : PCI 1 DES LAD


CAD 1VD

Rontgen Thoraks tanggal 24 Maret 2022

- Jantung tampak membesar (CTR > 50%). Pinggang jantung normal


- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
- Trakea di tengah. Kedua hilus relatif menebal dengan kranialisasi.
- Corakan bronkovaskular kedua paru bertambah.
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru
- Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip.
- Tulang-tulang kesan intak.
Kesan : kardiomegali disertai bendungan paru.
11
A : STEMI anterior onset 5 jam kilip I
Post PCI 1 DES LAD CA 1VD

P : Aspilet 1 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Atorvastatin 1 x 20 mg
Concor 1 x 2.5 mg
Captopril 3 x 12.5 mg
Diazepam 1 x 5 mg
• EKG perhari
• Cek profil lipid dan asam urat

Tanggal 27 Maret 2022


S : Tidak ada keluhan, nyeri dada (-), sesak (-)
O : Keadaan umum sakit ringan, kesadaran compos mentis
TD 121/83 mmHg, nadi 84x/mnt, napas 20x/mnt, suhu 36.6°C, SaO2 99% room air
Pemeriksaan fisik dalam batas normal
Auskultasi paru : suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Auskultasi jantung : murni regular, gallop (-), murmur (-)

Interpretasi:
1. Irama jantung: irama sinus
2. Laju QRS 23 kotak kecil antar 2R → 65 bpm
3. Regularitas: interval R-R dan interval P-P reguler
4. Penilaian axis: normoaxis
5. PR interval: normal 0,12 s – 0,20 s (0,18s)

12
6. Morfologi:
❖ Gelombang P
• Defleksi positif sadapan inferior (II, III, dan aVF), P patologis (-)
❖ Kompleks QRS
• Durasi: 0,08 → normal
• Muncul Q patologis → old miokard infark
• Penurunan R wave progression
❖ ST segmen: ST elevasi dengan perbaikan

A : STEMI anterior onset 5 jam killip I


Post PCI 1 DES LAD CA 1VD

P : Aspilet 1 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Atorvastatin 1 x 20 mg
Concor 1 x 2.5 mg
Ramipril 1 x 2.5 mg
Diazepam 1 x 5 mg
• EKG perhari
• Cek profil lipid dan asam urat

Tanggal 28 Maret 2022


S : Tidak ada keluhan, nyeri dada (-), sesak (-)

O : Keadaan umum sakit ringan, kesadaran compos mentis


TD 118/78 mmHg, nadi 73x/mnt, napas 20x/mnt, suhu 36.4°C, SaO2 99% room air
Pemeriksaan fisik dalam batas normal
Auskultasi paru : suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Auskultasi jantung : murni regular, gallop (-), murmur (-)
Laboratorium tanggal 28 Maret 2022
Kimia klinik :
Kolesterol total 188 mg/dL, trigliserida 178 mg/dL, kolesterol HDL 31 mg/dL,
kolesterol LDL 121 mg/dL, asam urat 9.5 mg/dL

13
Interpretasi:
1. Irama jantung: irama sinus
2. Laju QRS 23 kotak kecil antar 2R → 65 bpm
3. Regularitas: interval R-R dan interval P-P reguler
4. Penilaian axis: normoaxis
5. PR interval: normal 0,12 s – 0,20 s (0,18s)
6. Morfologi:
❖ Gelombang P
• Defleksi positif sadapan inferior (II, III, dan aVF), P patologis (-)
❖ Kompleks QRS
• Durasi: 0,08 → normal
• Muncul Q patologis → old miokard infark
• Penurunan R wave progression
❖ ST segmen: ST elevasi dengan perbaikan

A : STEMI anterior onset 5 jam killip I


Post PCI 1 DES LAD CA 1VD

P : Aspilet 1 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Atorvastatin 1 x 20 mg
Concor 1 x 2.5 mg
Ramipril 1 x 2.5 mg

14
II.9 Edukasi (Instruksi saat Pasien Pulang)
• Jangan berhenti minum aspirin dan CPG tanpa berkonsultasi dengan dokter kardiologi
(dianjurkan minum selama 12 bulan)
• Perawatan pada luka → pasien dapat mandi dan melepas balutan satu hari setelah
dilakukan PCI
• Apabila terjadi perdarahan → berbaring dan tekan kuat pada daerah yang luka selama
15 menit
• Apabila perdarahan berhenti setelah 15 menit → istirahat dengan berbaring
• Tidak melakukan aktivitas berat selama lima hari
• Menganjurkan untuk melakukan aktivitas olahraga ringan, seperti jalan santai

II.10 Prognosis
• Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
• Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
• Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam

15
BAB III

TINJUAN PUSTAKA

III.1 Definisi

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark.2
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris
tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.2
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya.Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.2

III.2 Faktor Risiko

Dewasa ini ditemukan banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat proses
aterogenik. Telah ditemukan beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko yang
meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu.
Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu : usia, jenis kelamin, ras dan
riwayat keluarga. Faktor-faktor risiko tambahan lainnya masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor risiko tersebut adalah
merokok, peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, gangguan toleransi glukosa, dan obesitas.3

16
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara
usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih
panjang terhadap faktor-faktor aterogenik.3
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause,
setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.3
3. Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.3
4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan
lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa
bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada
gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan
komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau
obesitas.3

b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri,
nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi
trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein
tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.3
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari
makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah
dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan
17
ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan
HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya
akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.3

Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit


jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung
penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat
aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna klinis untuk
terjadinya aterosklerosis.3
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya
terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan
ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi
akhirnya terlampaui, tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam
dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat
sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau
berlangsung lama bisa menjadi infark. Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan
kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial
injury). Selain itu, hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya
plak pada pembuluh darah.3
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di
bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun,
dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang
berikatan dengan dinding vaskuler.3
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya
selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.3
6. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke
jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk
meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung
meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan
gangguan pada jantung.3
18
7. Kerja fisik / olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi
infark.3

III.3 Patogenesis

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak karena oklusi total oleh red thrombus pada plak
atherosklerotik yang mengalami ruptur atau pecah. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak
kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi cedera vaskular, dimana cedera ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur
jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologis
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respons terhadap terapi trombolitik.4
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilakn ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang

19
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.2

Perkembangan Plak Aterosklerotik, Ruptur Plak Dan Pembentukan Thrombus

III.4 Diagnosis

Diagnosis kerja infark miokard EST atau STEMI harus telah dibuat berdasarkan
riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan
pemberian nitrogliserin disertai elevasi segmen st di 2 lead yg berhubungan. Adanya riwayat
PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini.
Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis
STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan,
selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang
berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard
yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.4
Diagnosis sindrom koroner akut ditegakkan berdasarkan 2 dari 3 kriteria:
• Angina tipikal.
• EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
• Peningkatan marka jantung.5

1. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika nyeri dada dari

20
luar jantung maka keluhannya dipengaruhi oleh manipulasi seperti gerakan bahu, saat
menarik nafas, atau palpasi otot pektoralis mayor dan sekitarnya. 4,5

Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya
berasal dari koroner atau bukan. Jika nyeri dada bukan dari koroner seperti karena stenosis
katup aorta maka nyeri dada biasanya disertai sesak nafas dan sinkop (pingsan). Jika nyeri
dada karena diseksi aorta maka kualitas nyeri dada/punggung seperti dirobek disertai
hipotensi atau penurunan perfusi tiba-tiba ke organ vital seperti otak dan ginjal. 4,5

Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor –
faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta
riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga. selain riwayat keluarga faktor-faktor risiko
di atas adalah faktor risiko yang bisa diubah dan dikontrol. Tugas mengedukasi dan
mengontrol faktor-faktor risiko yang bisa diubah dimulai sejak dari layanan primer oleh
dokter umum. 4,5

Pada hampir setengah kasus terjadi faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur. 4,5

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. 4,5

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
katup mitral akut dan ruptur septum interventrikularis keduanya akan menghasilkan murmur
pansistolik dengan karakteristik masing-masing. Suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi
basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction

21
rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.5

3. Pemeriksaan Penunjang

• EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10
menit sejak kedatangan di IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk
STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI. EKG serial
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien
dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan dan posterior harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.4

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V2-V3 nilai
ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.

Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V2-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah
≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V2-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi
pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05
mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan
yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien
SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh
karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.5

22
Tabel 1. Nilai ambang diagnostic elevasi segmen ST

Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan
LBBB baru/persangkaan baru yang dinilai dengan kriteria Sgarbossa. Kritera tersebut
dianggap positif bila skor nya >=3. Kriteria Sgarbossa terdiri dari 3 gambaran EKG,
yaitu: elevasi segmen ST >=1 mm yang konkordansi (searah resultan vektor QRS)
memiliki skor 5, depresi segmen ST >=1 mm di lead V1, V2 atau V3 memiliki skor 3,
elevasi segmen ST >=5 mm yang diskordansi (berlawanan arah QRS) memiliki skor 2.
• Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis / perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insu siensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,

23
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.5

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T


menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesi sitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.5

Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung (dikutip dari Bertrand et al., 2002)

• Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA.5

• Pemeriksaan Foto Polos Dada


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.5

24
III.5 Penatalaksanaan

1. Tindakan Umum dan Langkah Awal

1) Tirah baring

2) Pada semua pasien STEMI direkomendasikan mengukur saturasi oksigen perifer

a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksia (SaO2 <90% atau PaO2
<60 mmHG).

b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2 > 90%.

3) Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan
peroral dengan dosis 75-162 mg.5

4) Penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP)

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2x90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, atau

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan


75 mg/hari (penghambat reseptor ADP yang dianjurkan pada pasien yang
direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik).

5) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba dirunag gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
dengan 1 kali pemberian, dapat diulangs setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali.
Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak responsif dengan terapi
3 dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbide dinitrate
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.5

6) Morfin : sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat
diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsive dengan terapi 3
dosis NTG sublingual.5

25
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani IMA adalah:5
1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi
atrio- ventrikler yang signfikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel
kiri. Pada sebagian kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.5

Tabel 3. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik normal maupun yang mengalami aterosklerosis.5
Tabel 4. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

c. Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai fek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
26
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.5
Tabel 5. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

2. Antiplatelet
Tabel 6. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

3. Antikogulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari RS.5

Tabel 7. Jenis dan dosis antikoagulan untuk terapi IMA

4. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor berguna dalam mengurangi remodelling dan menurunkan angka
kematian penderita pasca infark miokard yang disertai gangguan fungsi sistol
jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Inhibitor ACE diindikasikan
penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien
27
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK).5

Tabel 8. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

5. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, statin harus diberikan pada semua penderita UAP / STEMI
termasuk mereka yang telah menjalani revaskularisasi jika tidak terdapat indikasi
kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah
sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL < 100 mg/dl.5

2. Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan


derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.2
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat
dicapai dalam 90 menit.5
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam
2jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan
menurunkan angka kematian.5
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih
PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.5

28
1) Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkandengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala
sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS.5

29
2) Fibrinolitik

Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasipatensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam
obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akanmelisiskan trombus fibrin.5
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska
CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.5

30
III.1.6 Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA6 :


1. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongestiparu dan syok kardiogenik

Tabel 7. Klasifikasi KILLIP pada Infark Miokard Akut


Kelas Definisi Mortalitas (%)
Tak ada tanda gagal jantung
I 6
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
2. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 8. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut

Indeks Kardiak
PCWP Mortalitas
Kelas (L/min/m2) (mmHg) (%)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

31
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien Tn. EF usia 48 tahun datang ke IGD RSPAD dengan keluhan angina tipikal sejak
5 jam SMRS berupa rasa tertekan/terindih, menjalar ke daerah leher dan lengan kiri. Keluhan
berlangsung persisten (>20menit) dan disertai dengan diaforesis, lemas dan rasa mual. Riwayat
penyakit pasien yaitu hipertensi dan hiperkolesterolemia serta memiliki kebiasaan merokok.
Pasien telah dibawa ke RS Prikasih dan setelah pemeriksaan, pasien diberikan obat clopidogrel
1 x 300 mg, omeprazole 1 x 40 mg, ketolorac 1 x 30 mg, dan ISDN 5 mg sublingual.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan
kesadaran compos mentis. Tanta-tanda vital; TD 116/75 mmHg, nadi 68x/menit, frekuensi
napas 22x/menit, suhu 36.5o C dan SaO2 saat awal masuk 99 dengan nasal kanul 3 lpm. IMT
26,9 kg/m2 (obesitas tingkat I). Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesimpulan irama sinus, HR 75x/menit, ST elevasi
pada V1, V2, dan V3. Pada pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan marker jantung,
didapatkan peningkatan pada Troponin I dan CK-MB.
Tatalaksana awal di IGD dilakukan tirah baring, infus NaCl 0.9% 20 tpm, O2 nasal
kanul 3 lpm, aspilet 80 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, isosorbid dinitrate 5 mg sublingual. Setelah
itu dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks dan dirujuk spesialis jantung untuk tindakan
reperfusi.
Saat dilakukan follow up di ruang rawat inap, pasien mengeluh lemas tanpa nyeri dada
dan sesak, setelah dilakukan tindakan reperfusi PCI pada pasien, dengan kesimpulan PCI 1
DES LAD, CAD 1VD dan dilakukan rontgen thoraks dengan kesan kardiomegali disertai
bendungan paru. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pengobatan diberiksaan aspilet 80 mg,
clopidogrel 75 mg, atorvastatin 20 mg, concor 2.5 mg, captopril 3 x 12.5 mg, dan diazepam 5
mg. Saat follow up berikutnya, pasien sudah tidak ada keluhan dan dilakukan pemeriksaan
EKG dengan interpretasi adanya gambaran old miokard infark dengan ST elevasi perbaikan.
Pengobatan sama dengan obat yang diberikan sebelumnya, namun pemberian diazepam
dihentikan (28/03/2022).
Saat pulang, pasien diedukasi untuk melakukan kontrol rutin dengan dokter spesialis
kardiologi serta terus mengkonsumsi aspirin dan CPG, dijelaskan mengenai perawatan luka
setelah PCI. Pasien juga tidak boleh melakukan aktivitas berat selama 5 hari dan dianjurkan
untuk melakukan aktivitas olahraga ringan seperti jalan santai.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Borja I, Stefan J, Stefan A, Manuel J A, Chiara B D, Héctor B, Alida L P C, Filippo C, John A G,


Sigrun H, Gerhard H, Adnan K, Mattie J L, Eva P, Marco R, Marco V, Christoph V, Pascal V &
Petr W. 2017. ESC Guidelines For The Management Of Acute Myocardial Infarction In Patients
Presenting With ST-Segment Elevation: The Task Force For The Management Of Acute Myocardial
Infarction In Patients Presenting With ST-Segment Elevation Of The European Society Of
Cardiology (ESC), European Heart Journal, Volume 39, Issue 2, 07 January 2018, Pages 119–177,
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. 2010.
3. David L.C, Arun K, Jamshid S, Acute Coronary Syndrome, dapat diunduh di situs
Medscape, http://emedicine.medscape.com/article/1910735-overview
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2016.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner
Akut. Edisi IV. Jakarta : PERKI. 2018.
6. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute myocardialinfarction
in patients presenting with persistent ST-segment elevation: the Task Force on the Management
of ST-Segment Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur
Heart J 2008;29:2909–2945.

33

Anda mungkin juga menyukai