Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

REAKSI ANAFILAKTIK

Pembimbing
dr. Suryantini Singgih, Sp.PD

Penilai
dr. Buyung Arief Hamzah, Sp.PD

Alda Vania Sugiarta


112018186

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA

PERIODE 29 JUNI 2020 – 5 SEPTEMBER 2020

BAB I
PENDAHULUAN

Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis merupakan
salah satu kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada definisi pasti dari
anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan untuk menggambarkan reaksi
alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa.1 Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah
respon imunologi yang berlebihan terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah
tersensitasi oleh bahan tersebut. Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin,
serotonin, tryptase dan bahan vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast.
Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi sel mast dan basofil serta pelepasan mediator
inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin, leukotrin, sitokin, dan juga kemokin. 2
Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus, vasodilatasi, dan
meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya menimbulkan gambaran urtikaria,
angioedema, bronkokonstriksi dan juga hipotensi.3 Diagnosa dari anafilaksis dapat
ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang dimiliki seorang pasien.1 Reaksi anafilaksis
dapat dipicu oleh semua agen yang dapat mengaktifasi sel mast dan basofil, namun pada
umumnya terdapat beberapa alergen seperti makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari
hewan, latex, dan injeksi alergen saat immunoterapi. Pada sepertiga kasus anafilaksis tidak
ditemukan adanya pencetus.2-3 Kasus alergi, terutama di Inggris tergolong banyak, dimana
menjangkit sekitar 30% dewasa dan 40% anak-anak.5 Insiden anafilaksis sendiri kurang dapat
diperkirakan karena tidak adanya definisi pasti sehingga sering menimbulkan diagnosis yang
kurang tepat. Namun berdasar review dari literatur American College of Allergy, Asthma and
Immunology Epidemiology of Anaphylaxis kejadian anafilaksis berkisar 0,5 hingga 2% dan
kini diperkirakan semakin meningkat.6,7 Mortalitas dari anafilaksis kurang dari 1%, dimana
sebagian kasus kematian muncul dalam waktu satu jam setelah paparan alergen yang
disebabkan oleh edema saluran pernafasan bagian atas dan spasme bronkus, ataupun
hipotensi dan kegagalan sirkulasi.8-11 Meskipun angka mortalitas dari anafilaksis rendah,
namun penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Berdasarkan kata, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik, dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Hal ini mengartikan bahwa respon imun tubuh yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lainnya kebalika dari pada
melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis)11

Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan dan yang
tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh
Gell dan Coombs dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasar kecepatan dan mekanisme imun
yang terjadi. Reaksi tersebut dapat terjadi secara tunggal, namun dalam praktek sehari-hari
sering ditemukan adanya dua atau lebih jenis reaksi yang terjadi secara bersamaan. 12 Reaksi
anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala muncul segera setelah
alergen masuk ke dalam tubuh.12 Terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, namun
pada umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan darurat yang
potensial dan dapat mengancam nyawa. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan
antibodi dikenal dengan reaksi anafilaktik, sedangkan reaksi yang ridak melalui reaksi
imunologik disebut reaksi anafilaktoid, namun karena gejala yang timbul maupun
pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.13

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka


kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit
penggunaan obat. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan  prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis. Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi
2.3 ETIOLOGI

Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE ataupun


melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari anafilaksis, terdapat
beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti
udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa kejadian tidak diketahui penyebabnya. 13
Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan pada orang dewasa.
Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan menjadi pemicu, namun beberapa
jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga obat seperti pelemas otot, antibiotik,
NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi penyebab tersering dari anafilaksis.14

Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik yaitu:

a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)


b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)
c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)
d. Bisa binatang
e. Lateks

Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan
Cryoglobulinemia) dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Riwayat keluarga atopi
tidak meningkatkan risiko kejadian anafilaktik, namun dapat meningkatkan risiko kematian
ketika reaksi anafilaktik terjadi. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti
antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID,
opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin
serta agen biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-
obatan herbal.

Alergen Penyebab
Anafilaktik
Makanan Krustasea Lobster, Udang, dan
Kepiting
Moluska Kerang
Ikan
Kacang – Kacangan dan Kacang tanah, kacang
Biji – Bijian kenari, kacang almonf,
kacang hazel
Buah Beri, pisang
Telur Putih
Susu Sapi
Obat Antibiotik Penisilin, Cephalosporin,
Amphotericin,
Ciprofloxacin,
Vancomycin
Anestetik Suxamethonium,
Atracurium, Obat induksi
lainnya NSAID, ACEI, gelatin,
protamine, Vit K,
etoposide, acetazolamide,
pethidine, anestesi local,
diamorphine, streptokinase
kontras Iodinated, technetium,
fluorescein
Hormon Insulin, PTH, ACTH,
Vasopresin, Relaxin
Enzim Tripsin, Chymotripsin,
Penicillinase, As-
paraginase
Hewan Sengatan Tawon, lebah
Lainnya Latex, karet, Glikoprotein
seminal fluid, cat rambut,
hydatid

2.4 PATOFISIOLOGI

Reaksi alergi dibagi menjadi 4 :

 Reaksi tipe I
Reaksi tipe I disebut juga sebagai reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai
reaksi cepat atau reaksi anafilaksis, dimana reaksi ini muncul segera setelah alergen
masuk ke dalam tubuh. Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap
oleh fagosit, diproses dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel yang
akan melepas sitokin dan merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan
diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila
tubuh terpapar ulang dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE
spesifik yang berada di permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan
degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti
histamin yang akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin,
mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme
asam arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul
gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala yang segera muncul setelah
paparan alergen antara lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.12
 Reaksi tipe II
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG atau IgM
karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri juga dapat terjadi
melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor antibody dependent cell
cytotoxicity. 12
 Reaksi tipe III
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya endapan
kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi yang
berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM.12
 Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga disebut
juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe
ini diakibatkan oleh produk makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik,
oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi.12

Menurut Coomb dan Gell (1963) anafilaktik dikelompokkan kedalam hipersensitivitas


tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi rekasi atopi dan
reaksi non atopi. Reaksi atopi biasanya akan menyerang kulit atau traktus respiratorius
contohnya pada rhinitis alergi, dermatitis alergi, asma. Sedangkan kelainan non atopi
contohnya urtikaria, angioedema, anafilaktik.

Mekanisme anafilaktik sendiri akan melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama
sampai timbulnya gejala.11 Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau
saluran makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan
sel Mast (Mastosit) dan basofil.11 Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula
yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators.11 Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor
adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator yang
dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating
factor (PAF) akan menunjukkan efek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.11
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.11
Gambar 1. Reaksi Anafilaktik11

Gambar 2. Reaksi Anafilaktik11

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencakup beberapa organ, dimana gejalagejala
16
dapat dilihat di bawah ini. Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan pada tanda
klinis dan gejala yang timbul dimana kriteria Sampson yang telah dipublikasi. 16

Tanda dan gejala dari anafilaksis.15

 Kulit : Urtikaria, Angioedema, Eritema, Pruritus


 Gastrointestinal : Mual, Muntah, Nyeri perut, Diare
 Saluran Napas Bagian Atas : Kongesti, Suara serak, Bersin, Batuk, Orofaringeal atau
laringeal edema
 Saluran Napas Bagian Bawah : Spasme bronkus, Mengi, Dada terasa terikat
 Neurologi : Kepala terasa ringan, Pusing, Bingung
 Oral : Gatal Gatal atau bengkak pada bibir, lidah, atau palatum
 Kardiovaskuler : Hipotensi, Pusing, Sinkop, Takikardia
 Lainnya : Ansietas

Anamnesis yang cermat perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dari anafilaksis.
Informasi mengenai manifestasi klinis seperti urtikaria, angioedema, obstruksi jalan nafas,
dan juga paparan alergen sebelum gejala seperti makanan, obat, ataupun gigitan serangga
perlu diperoleh melalui anamnesis. Tidak adanya manifestasi pada kulit menimbulkan
keraguan dalam diagnosis anafilaksis, namun tidak adanya manifestasi tersebut tidak dapat
secara langsung menyingkirkan diagnosa anafilaksis. 15 Penyebab dari munculnya suatu
anafilaksis dapat diketahui dengan pemeriksaan IgE in vitro atau skin test. Diagnosis klinis
dari reaksi ini dapat didukung dengan adanya peningkatan konsentrasi sel mast dan juga
mediator basofil seperti histamin pada plasma atau tryptase total baik dalam serum atau
plasma.15

Kriteria klinis untuk anafilaksis. 16 Apabila terdapat minimal satu dari tiga kriteria di bawah
ini, sangat mendukung diagnosa anafilaksis

1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan,
bengkak pada bibirlidah-uvula) Ditambah dengan minimal satu dari:
 Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,
hypoxemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ
(hipotonia, sinkop, inkontinensia)
2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang
dicurigai (menit-beberapa jam)
 Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan, bengkak
pada bibir-lidah-uvula)
 Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,
hypoxemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ
(hipotonia, sinkop, inkontinensia)
 Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya
 Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik menurun
>30%**
 Dewasa: sistolik 30% dari baseline
*PEF : Peak Expiratory Flow
**Definisi tekanan darah sistolik yang rendah untuk anak-anak
 1 bulan-<90mmHg

Manifestasi – manifestasi klinis tersebut dapat dikelompokkan menjadi10 :

1. Reaksi lokal: biasanya hanya urtikaria dan edem setempat, tidak fatal.

2. Reaksi sistemik : biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, system kardiovaskuler
gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut bisa timbul segera atau 30 menit setelah terpapar
antigen.

a. Ringan: mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal dikulit dan mukosa, bersin-
bersin,biasanya timbul 2 jam setelah terpapar alergen.

b. Sedang : gejalanya lebih berat selain gejala di atas didapatkan gejala bronkospasme, edema
laring, mual, muntah, biasanya terjadi dalam 2 jam setelah terpapar allergen.

c. Berat : terjadi langsung setelah terpapar allergen, gejala seperti reaksi tersebut di atas
hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edem laring, stridor, napas sesak, sianosis, heni
jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-muntah, kejang, hipotensi, aritmia jantung, syok,
dan koma. Kematian disebabkan oleh edema laring dan aritmia jantung
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan


diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor
hasil  pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST
(radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test ), namun
memerlukan biaya yang mahal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari
alergen penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan
lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi
ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain

2.7 KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Reaksi anafilaktik mungkin terjadi


jika ditemui beberapa gejala disertai gejala mendadak berikut ini:17

a. Syok

b. Gejala respiratori (dispneu, stridor, wheezing)

c. Dua atau lebih gejala lain (angioedema, rhinorea, dan gejala GI tract).

Sedangkan American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat


suatu kriteria diagnosis anafilaktik. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit
(beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-
duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya
sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia).5 Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara
mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan
pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal,
kram, muntah).5 Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan
anakanak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik
lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.17

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding dari anafilaksis.18

Diagnosis Banding
Hipotensi Syok Septik
Reaksi Vasovagal
Syok Kardiogenik
Syok Hipovolemik
Gangguan Pernapasan dengan Wheezing atau Corpus Allienum pada saluran nafas
Stridor
Asma atau eksaserbasi PPOK
Sindrom disfungsi pita suara
Postprandial collapse Corpus Allienum pada saluran nafas
Konsumsi monosodium glutamate
Konsumsi Sulfite
Keracunan ikan scombroid
Kemerahan ( flushing ) Carcinoid
Postmenopausal hot flushes
Sindrom red man (vancomycin)
Lainnya Serangan panic
Systemic mastocytosis
Angioedema herediter
Leukemia dengan produksi histamine berlebih
BAB III

PENATALAKSANAAN

Penanganan pasien dengan anafilaksis didahului dengan penanganan airway,


breathing dan circulation. Saat seorang pasien memenuhi kriteria, pemberian epinephrine
harus segera diberikan karena merupakan terapi utama anafilaksis. 16 Epinephrine 1:1000
diberikan secara intra muskuler dengan dosis 0,01 mg/kg untuk anak-anak dengan dosis
maksismum 0,5mg atau 0,3-0,5mg untuk dewasa, dapat diulang setiap 5-15 menit bila
dibutuhkan.16,18 Dosis tersebut direkomendasikan untuk mengontrol gejala dan
mempertahankan tekanan darah. Pemberian melalui rute intra muskuler terutama pada
anterolateral paha dikatakan dapat meningkatkan konsentrasi epinephrine dalam darah
dengan waktu yang lebih cepat bila dibandingkan dengan rute subkutan ataupun intra
muskuler pada deltoid. Rute intra vena dapat dipilih dalam kondisi khusus seperti hipotensi
yang berat atau henti jantung yang tidak memberikan respon pada pemberian intra muskuler
ataupun resusitasi cairan. Dosis epinephrine intra vena dapat diberikan secara bolus 5-10ug
(0,2ug/kg) pada kasus hipotensi dan 0,1-05mg pada henti jantung. Pemberian secara intra
vena harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan aritmia sehingga
pemasangan monitor jantung sangat direkomendasikan. Infus epinephrine dosis rendah yang
diberikan secara kontinyu merupakan pilihan yang sangat aman dan efektif apabila
pemberian dengan rute intra vena harus dilakukan.16 Pada pasien yang mengalami gangguan
pernapasan atau hipoksemia, dianjurkan pemberian oksigen melalui sungkun non rebreathing
ataupun endotracheal tube. Beta 2 agonis yang diberikan secara inhalan, seperti albuterol,
dapat berguna untuk mengatasi spasme bronkus yang refrakter terhadap epinephrine. 16
Resusitasi cairan harus dilakukan secara agresif (10-20ml/kg) apabila kondisi hipotensi tidak
teratasi dengan pemberian epinephrine. Pemberian kristaloid dalam volume besar diperlukan
pada 5-10menit pertama, dan dapat dilanjutkan dengan pemberian koloid. Vasopresor seperti
noradrenalin, vasopressin, atau metaraminol dibutuhkan untuk mengatasi vasodilatasi yang
tidak dapat terkoreksi dengan pemberian epinephrine ataupun resusitasi cairan. 16 Terapi lini
kedua untuk anafilaksis adalah antihistamin (H1 dan H2 antagonis), dimana obat ini memiliki
waktu kerja yang lebih lambat dari epinephrine, dan hanya memiliki efek minimal dalam
tekanan darah. Pemberian antihistamin sangat berperan dalam penanganan simptomatik
seperti urtikaria, angioema, ataupun pruritus. Dipenhydramine dapat diberikan secara intra
vena atau intra muskuler dengan dosis 25-50mg, sediaan oral dapat diberikan untuk kasus
ringan. Kombinasi dari H1 dan H2 antagonis akan memiliki hasil yang lebih efektif dalam
penanganan manifestasi pada kulit. Ranitidin dan cimetidine merupakan obat pilihan dari
golongan H2 antagonis.16 Efektivitas pemberian kortikosteroid yang tinggi pada kasus alergi
lainnya membuat para klinisi menggunakan obat ini sebagai terapi pada anafilaksis untuk
mencegah reaksi berkepanjangan ataupun reaksi bifasik. Metilprednisolone dapat diberikan
1-2mg/kg setiap 6jam atau dapat dipertimbangkan pemberian prednison oral 1mg/kg dengan
dosis maksimal 50mg pada serangan ringan.16 Setelah penanganan reaksi anafilaksis
diberikan, observasi satu hingga 72jam terhadap pasien harus dilakukan untuk mencegah fase
bifasik yang muncul karena efek epinephrine yang sudah mulai hilang. Munculnya fase
bifasik pada anafilaksis dilaporkan pada 1-20% kasus, terutama serangan berat.
Keterlambatan pemberian epinephrine ataupun diperlukannya dosis ekstra untuk mengontrol
serangan awal memiliki hubungan dengan munculnya fase ini.16

Selain penanganan diatas ada juga penanganan umum yang harus di lakukan yaitu :

 Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis


 Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat atau
sengatan hewan longgarkan 1-2 menit tiap 10 menit.
 Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala
(posisi shock) dengan alas keras.
 Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
 Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia
persiapkandari mulut kemulut
 Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl
fisiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi
dan  produksi urine Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-
3L/m2 luas tubuh /24 jam Bila< 100mmHg beri Vasopressor (Dopamin) Tensi
tak terukur 20 cc/kg ,Apabila sistole < 100 mmHg 500 cc/1/2 jam dan apabila
sistole > 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam
 Bila perlu pasang CVP
BAB IV

PROGNOSIS

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaktik jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaktik tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe
alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor,
serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis
dengan injeksi adrenalin.
BAB V

PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik


terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaktik.
Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.4 Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes
kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut,
tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes
kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar
1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. 4 Dalam
pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,
intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian
obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering
menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi.
Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi.
Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi
anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik
adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.4

BAB VI

PENUTUP
Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis merupakan
salah kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada definisi pasti dari
anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan untuk menggambarkan reaksi
alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa. Diagnosa dari anafilaksis dapat
ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang dimiliki seorang pasien. Reaksi anafilaksis
dapat dipicu oleh semua agen yang dapat mengaktifasi sel mast dan basofil, pada sepertiga
kasus anafilaksis tidak ditemukan adanya pencetus. Gejala dari reaksi anafilaksis dapat
mencakup beberapa organ, dimana diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan pada
tanda klinis dan gejala yang timbul menurut kriteria Sampson. Tatalaksana dari anafilaksis
mencakup airway, breathing, dan ciculation, dan juga pemberian epinephine.
Diphehydramine dan methylprednisolone juga dapat diberikan untuk penanganan gejala dan
juga pencegahan fase bifasik. Jika penanganan dari reaksi anafilaktik baik, resiko kematian
dapat dihindari, hindari juga paparan allergen kembali untuk mencegah terjadinya kembali
reakssi anafilaktik. Perlu dilakukannya pencegahan untuk menangani reaksi anafilaktik, salah
satunya dapat dilakukan anamnesis yang baik terutama untuk menanyakan riwayat alergi dan
asma pasien. Dapat juga dilakukan skin test sebelum memberikan obat terhadap pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson H, Munoz FA, Campbell R. Second Sympsosium on the Definition and
Management of Anaphylaxis-Second National Institute of Allergy and Infectious
Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network Symposium. Annals of Emergency
Medicine. 2006; 47(4): hal.373-80.
2. Kemp S, Lockey R. Anaphylaxis: A Review of Causes and Mechanisms. Journal of
Allergy Clinical Immunology. 2002; 110(3): hal. 341-8.
3. McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the evidence?
British Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5.
4. Corrigan C.Allergy: The Unmet Need-A Blueprint for Better Care. Royal College of
Physicians. 2003
5. Lieberman P. Epidemiology of Anaphylaxis: Findings of The American College of
Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis Working Group.
Annals of Allergy, Asthma and Immunology. 2006; 97(5): hal.596-02.
6. Winberry S, Lieberman P. Histamines and Antihistamines in Anaphylaxis. Clinical
Allergy and Immunology. 2002; 17: hal.287.
7. Bohlke K, Davis R, DeStefano F, Marcy S. Epidemiology of Anaphylaxis among
Children and Adolescents Enrolled in A Health Maintenance Orgaization. Journal of
Allergy Clinical Immunology. 2004; 113(3): hal.536-42.
8. Brown A, McKinnon D, Chu K. Emergency Department Anaphylaxis: A Review of
142 Patients in A Single Year. Journal of Allergy Clinical Immunology. 2000; 108(5):
hal.861-6.
9. Yocum M, Butterfield J, Klein J. Epidemiology of anaphylaxis in Olmsted Country:
A Population-Based Study. Journal of Allergy and Clinical Immunology. 1999;
104(2): hal.452-6.
10. Sadana A, O’Donnell C, Hunt M, Gavalas M. Managing Acute Anaphylaxis:
Intravenous Adrenaline Should be Considered Because of The Urgency of The
Condition. British Medical Journal. 2000; 320(7239): hal.937.
11. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;
Chapter88, hal 1948-1963.
12. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Imunologi: Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.237-43.
13. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Kegawatan Medik di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam: Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Penyakit Dalam edisi V. 2009.
hal.193-5.
14. Soar J, Pumphrey R, Cant A. Emergency Treatment of Anaphylactic Reaction-
Guidelines for Healthcare Providers. Journal of Resuscitation. 2008; 77: hal.157-69.
15. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology. 2011;
7(1).
16. Sampson HA, Furlong AM, Campbel RL dkk. Second Symposium on The Definition
and Management of Anaphylaxis: Summary Report-Second National Institute of
Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network Symposium.
Journal of Allergy and Clinical Immunollogy. 2006; 117; hal.391-7
17. Anaphylaxis Topics in: Allergic, Autoimune, & Other Hypersensitivity Disorders.
The Merck Manual Professional Edition
18. Tang AW. A Practical Guide to Anaphylaxis. American Family Physician. 2003;
68(7): hal.1325-33.

Anda mungkin juga menyukai