Anda di halaman 1dari 25

Nama: Suci R.

(1102013281)

SASBEL: Skenario 2

1. MM Reaksi Hipersensitivitas
1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Klasifikasi
2. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE I
2.1. Definisi
2.2. Mekanisme Proses
2.3. Manifestasi Klinis
2.4. Jenis Penyakit
2.5. Penatalaksanaan
3. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE II
3.1. Definisi
3.2. Mekanisme Proses
3.4. Manifestasi Klinis
3.5. Jenis Penyakit
3.6. Penatalaksanaan
4. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE III
4.1. Definisi
4.2. Mekanisme Proses
4.3. Manifestasi Klinis
4.4. Jenis Penyakit
4.5. Penatalaksanaan
5. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE IV
5.1. Definisi
5.2. Mekanisme Proses
5.3. Manifestasi Klinis
5.4. Jenis Penyakit
5.5. Penatalaksanaan
6. MM Peranan ANTIHISTAMIN & KORTIKOSTEROID
6.1. Definisi
6.2. Farmakodinamik
6.3. Farmakokinetik
6.4. Indikasi
6.5. Kontraindikasi
6.6. Efek Samping
6.7. Intraksi Obat
7. MM Pandangan Islam Terhadap Pemberian Obat & Alergi Obat
1. MM Reaksi Hipersensitivitas
1.1. Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. (Buku imunologi) Atau respon
imun ayng berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. (Buku IPD)

1.2. Etiologi
“Hipersensitivitas” atau “alergi” menunjukkan suatu keadaan dimana respons imun
mengakibatkan reaksi yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan pada
jaringan tubuh hospes.

1.3. Klasifikasi
a. Menurut waktu timbulnya reaksi
- Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.
Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat.
- Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu
yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. Manifestasi reaksi
intermediet berupa:
 Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia
hemolitik autoimun).
 Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES).
- Reaksi Lambat
Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang
dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan
kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi
M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

Perbedaan Reaksi cepat Reaksi intermediet Reaksi lambat


Waktu timbul Terjadi setelah Terjadi setelah 48
Hitungan detik
reaksi beberapa jam terpajan jam terpajan

b. Menurut Gell dan Coombs


- Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.
- Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik.
- Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.
- Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.
Berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi (Gell dan Coombs):

Tabel 1. Klasifikasi Gell dan Coombs yang telah dimodifikasi

Tipe/mekanism
Gejala / Manifestasi Contoh
e
Penisilin dan β-laktam
Anafilaksis, urtikaria,
lainnya, enzim,
angioedema, mengi,
antiserum, protamin,
I / IgE hipotensi, nausea,
heparin antibodi
muntah, sakit abdomen,
monoklonal, ekstrak
diare
alergen, insulin
Metamizol, fenotiazin

Penisilin, sefalosporin, β-
laktam, kinidin,
Agranulositosis
metildopa
II / sitotoksik Anemia hemolitik
Karbamazepin,
(IgG dan IgM)
fenotiazin, tiourasil,
sulfonamid,
Trombositopenia
antikonvulsan, kinin,
kinidin, parasetol,
sulfonamid, propil,
tiourasil, preparat emas
III / kompleks Panas, urtikaria, atralgia, β-laktam, sulfonamid,
imun (IgG dan limfadenopati fenotiazin, streptomisin
IgM)
serum xenogenik,
Serum sickness penisilin, globulin anti-
timosit
Penisilin, anestetik lokal,
antihistamin topikal,
neomisin, pengawet,
Eksim (juga sistemik) eksipien (lanolin,
eritema, lepuh, pruritus paraben), desinfekstan
IV /
Fotoalergi Salislanilid
hipersensitivitas
(halogeneted), asam
selular
Fixed drug eruption nalidilik

Lesi makulopapular Barbiturat, kinin

Penisilin, emas,
barbiturat, β-blocker
V / reaksi Ekstrak alergen, kolagen
Granuloma
granuloma larut
VI / (LE yang diinduksi Hidralazin, prokainamid
hipersensitivitas obat?) Antibodi terhadap insulin
stimulasi Resistensi insulin (IgG)

2. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE I


2.1. Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau
reaksi anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan
antibodi yang terlebih dahulu diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast) dan
basofil.

2.2. Mekanisme Proses


Hipersensitivitas tipe I dimediasi oleh antibodi IgE yang ditujukan pada antigen
spesifik (alergen). Sintesis antibody IgE memerlukan induksi sel T helper CD4+ tipe
TH2. Sel tipe TH2 ini menghasilkan lebih dari satu sitokin yang memberikontribusi
pada berbagai aspek respon hipersensitivitas tipe I. Antibodi IgE yang disintesis
sebagai respon terhadap pajanan alergen terdahulu secara normal akan terikat pada
sel mast dan basofil melalui reseptor Fc permukaan yang spesifik.
Mekanisme reaksi melibatkan produksi preferensial IgE, sebagai tanggapan terhadap
antigen tertentu (alergen). IgE memiliki afinitas yang sangat tinggi untuk reseptor
pada sel mast dan basofil. Sebuah paparan berikutnya ke link lintas alergen yang
sama sel-terikat IgE dan memicu pelepasan zat-zat farmakologis aktif yang beragam
(liat PERANTARA). Silang IgE Fc-reseptor penting dalam sel mast memicu.
Degranulasi sel mast didahului oleh peningkatan Ca + + masuknya, yang merupakan
proses penting; ionofor yang meningkatkan Ca + + sitoplasma juga mempromosikan
degranulasi, sedangkan, agen yang menguras sitoplasma Ca + + menekan
degranulasi. abel 1. Para mediator farmakologis dari Hipersensitivitas respon cepat
Pada Tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu:

a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
c. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi
farmakologik.
Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan bantuan
sel Th yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil.
Beberapa minggu kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang
sama, maka antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel
mast dan basofil. “Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami
degranulasi dan melepas mediator dalam waktu beberapa menit yang preformed
antara lain histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I.”

Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1

Mediator Efek
Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
Histamin
polos, sekresi mukosa gaster

ECF-A Kemotaksis eosinofil

NCF-A Kemotaksis neutrofil

Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh


Protease
darah, pembentukan produk pemecah komplemen

PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru

Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraseluler

Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1

Mediator Efek

Sitokin Aktivasi berbagai sel radang

Peningkatan permebilitas kapiler,


Bradikinin vasodilatasi, kontraksi otot polos,
stimulasi ujung saraf nyeri

Kontrakso otot polos paru, vasodilatasi,


Prostaglandin D2
agregasi trombosit

Kontraksi otot polos, peningkatan


Leukotrien
permeabilitas, kemotaksis

2.3. Manifestasi Klinis & 2.4. Jenis Penyakit


Jenis
Alergen Umum Manifestasi Klinis
Penyakit

Edema dengan peningkatan


Obat, serum, kacang- permeabilitas kapiler, okulasi
Anafilaksis
kacangan trakea , koleps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian

Urtikaris akut Sengatan serangga Bentol, merah

Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah Edema dan iritasi mukosa nasal

Konstriksi bronkial, peningkatan


Asma Polen, tungau debu rumah produksi mukus, inflamasi saluran
nafas

Kerang, susu, telur, ikan, Urtikaria yang gatal dan potensial


Makanan
bahan asal gandum menjadi anafilaksis

Inflamasi pada kulit yang terasa


Polen, tungau debu ruMah,
Ekzem atopi gatal, biasanya merah dan ada
beberapa makanan
kalanya vesikular

a. Reaksi Lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik
yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut
atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE
seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam
jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam
kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan
saluran nafas.
b. Reaksi Sistemik – Anafilaksisi
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa
menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1
atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel
mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi
dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat
atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis,
pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi Pseudoalergi atau Anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium,
AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.

2.5. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).

3. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE II


3.1. Definisi
Disebut juga reaksi sitolitik/sitotoksik, karena dibentuk ab jenis IgG/ IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu, Istilah sitolitik lebih tepat, karena reaksi
yang terjadi disebabkan lisis bukan efek toksik.

3.2. Mekanisme Proses


Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang
mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka
sel yang dilapisi antibody akan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-
makrofag.(1)
Hipersensitivitas tipe II disebut juga sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan dapat
mempengaruhi berbagai organ dan jaringan. Antigen biasanya endogen, meskipun
bahan kimia eksogen (haptens) yang dapat melekat pada membran sel juga dapat
menyebabkan ketik II hipersensitivitas. Obat penginduksi hemolytic anemia,
granulositopenia dan trombositopenia adalah contoh tersebut. Lamanya reaksi
bervariasi dari menit hingga hitungan jam. Hipersensitivitas tipe II dimediasi
terutama oleh antibodi dari kelas IgM atau IgG dan komplemen. Fagosit dan sel K
juga mungkin memainkan peran (ADCC).

Tiga Mekanisme Utama Hipersensitivitas Tipe II:


Reaksi diawali oleh reaksi antara ab dan determinan antigen yang merupakan bagian
dari membran sel tergantung apakah komplemen/ molekul asesori dan metabolisme
sel dilibatkan. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe 2 ini memiliki 2 jalur, yaitu:
a. Melalui jalur ADCC
b. Melalui jakur aktifitas kompleks
 Reaksi hipersensitivitas sitotoksik
 Waktu reaksi: menit - jam
 Contoh: reaksi transfusi, drug-induced hemolytic anemia, granulositopenia,
dan trombositopenia
 Diperantarai IgM atau IgG dan komplemen
 Fagosit dan sel K punya peran
 Interaksi antigen-antibodi pd permukaan sel, IgM atau IgG dgn antigen yang
juga merupakan bagian integral membran sel atau telah terserap atau
menyatu menjadi membran.
 Mengaktifkan sistem komplemen dan sel yang terlibat dihancurkan.
 Terapi: anti-inflamasi dan agen immunosupresif

Ag → masuk tubuh → menempel pada sel tertentu → merangsang terbentuknya Ig


G atau Ig M → mengaktifkan komplemen → menimbulkan lisis

Respon
a. Terbentuknya ab terhadap antigen pada permukaan sel/ komponen jaringan
b. Pengaktifan dari komplemen
Reaksi transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen.
b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi
transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yagn
menimbulka kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular
- Reaksi dapat cepat/ lambat
- Reaksi cepat:
 Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM.
 Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma
dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria.
 Beberapa hemaglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi
bersifat toksik.
 Gejala khas:
Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
- Reaksi lambat:
 Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah
yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
yang lain.
 Terjadi 2-6 hari setelah transfusi.
 Darah yagn ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap
berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan
resus, Kidd, Kell, dan Duffy
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir:
Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan
golongan darah rhesus – dn janin dengan rhesus (+).

Anemia hemolitik:
a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk
kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa
b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya
mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis
dengan dan anemia progresif.

3.3. Manifestasi Klinis & 3.4. Jenis Penyakit


3.5. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).

4. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE III


4.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas Tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah
reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan
komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif
neutrofil.

4.2. Mekanisme Proses


Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut
oleh eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN.
Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati.
Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks
imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di
pembuluh darah atau jaringan.

1. Komleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah


Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang
dapat merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
 Agregasi trombosit
 Aktivasi makrofag
 Perubahan permeabilitas vaskuler
 Aktivasi sel mast
 Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
 Pelepasan bahan kemotaksis
 Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan


Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal
tersebut terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast.
Respon
Reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh hipersensitivitas tipe III memiliki dua bentu
reaksi, yaitu lokal dan sistemik.

A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus


Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di
tempat yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada
kelinci. Lalu setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di
tempat suntikan. Hal tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk
reaksi kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus
dalam kilinis dapat berupa vaskulitis dengan nekrosis.

Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut:

1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan


tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai
nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a
juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan
trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian
menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.

3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan


seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit
sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan
setempat.
B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan
mekanisme sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a)
yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang
tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv
tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-
mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

4.3. Manifestasi Klinis & 4.4. Jenis Penyakit

Spesifitas Manifestasi
Penyakit antibodi Mekanisme klinopatologi

Inflamasi
diperantarai Nefritis,
Lupus DNA, komlplemen vaskulitis,
eritematosus nukleoprotein dan reseptor Fc artritis

Inflamasi
Antigen diperantarai
Poliarteritis permukaan komplemen dan
nodosa virus hepatitis B reseptor Fc Vaskulitis

Glomreulonefritis Antigen dinding Inflamasi nefritis


post-streptokokus sel streptokokus diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc

Dikutip dari Abbas,2004


http://pharmabright.wordpress.com/2011/07/15/reaksi-hipersensitivitas/

4.4. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).

5. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE IV


5.1. Definisi
Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh
reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi menjadi:
- Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak
dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum
dan kolagen sapi dari bawah kulit.
- T Cell Mediated Cytolysis
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD 8+/CTL/Tc yang langsung membunuh
sel sasaran.
5.2. Mekanisme Proses
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV:
a. Fase Sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th
diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada
kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid
regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1
(umumnya).
b. Fase Efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1
dan melepas sitokin yang menyebabkan:
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel
inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke
jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan
menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T
yang teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1
yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD 8+
yang teraktivasi.
Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV:
Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel
a. DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat
ditemukan oleh antibodi.
b. Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.
c. Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi
granulomatosis yang akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat
mengenai jaringan pembuluh darah.

Respon pada infeksi M. tuberkulosis


a. Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan
makrofag yang merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma
(tuberkulin)
b. Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-
paru dan menimbulkan nekrosis jaringan.

Granuloma terbentuk pada:


a. TB
b. Lepra
c. Skistosomiasis
d. Lesmaniasis
e. Sarkoidasis

Respon
- Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang
tidak berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut
(contoh reaksi DTH).
- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan
Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan),
akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat
suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M.
tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi.
Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil
yang mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai
hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari
setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis
jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin)
dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung
membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.

5.3. Manifestasi Klinis & 5.4. Jenis Penyakit

5.5. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).

6. MM Peranan ANTIHISTAMIN & KORTIKOSTEROID


6.1. Definisi
Antihistamin: Ada banyak golongan obat yang termaksud dalam antihistamin, yaitu
antergan, neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati
edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid,
metiamid, dan simetidin untuk menghambat sekresi asam lambung akibat histamin.
Kortikosteroid: Hormon kelas steroid yang dihasilkan di korteks adrenal.
Kortikosteroid terlibat dalam berbagai sistem fisiologis seperti respon stres, respon
imun dan regulasi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar
elektrolit darah, dan tingkah laku.

Antihistamin
- Antagonis reseptor H1 (AH1)
 Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus,
bermacam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan
histamin endogen berlebihan.
 Farmakokinetik
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah
pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1
umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih
rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi
melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
 Indikasi
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi
dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
 Efek samping
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang
berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia,
tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.

- Antagonis reseptor H2 (AH2)


 Simetidin dan Ranitidin
 Farmakodinamik
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung.
Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar
pepsin cairan lambung.
 Farmakokinetik
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin
diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud
untuk memperanjang efek pada periode pascamakan. Ranitidn
mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya
diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
 Indikasi
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan
mempercepat penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk
mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung.
Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.
 Efek samping
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor
H2, seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

 Famotidin
 Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi
asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi
oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin
dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
 Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2
jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8
jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien
gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi20 jam.
 Indikasi
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung,
refluks esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-
Ellison.
 Efek samping
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala,
pusing, konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek
antiandrogenik.

 Nizatidin
 Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
 Farmakokinetik
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam
1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai
dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
 Indikasi
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali
sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis,
sindrom Zollinger-Ellion.
 Efek samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak
memiliki efek antiandrogenik.

 Kontraindikasi
1. Kehamilan
2. Ibu menyusui

 Efek samping
Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang
sedikit, sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antihistamin tipe H-1 klasik

 Sistem saraf pusat


Beberapa penelitian menyatakan tefenadin, astemizol dan
loratadin memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan
antihistamin H1 klasik.

 Kardiovaskular
berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan
interval QT serta aritmia ventrikular
torsades de pointes
(astemizol dan terfenadin).

Kelainan ini terjadi terutama pada wanita dan penderita dengan kelainan
jantung organik yang sebelumnya telah ada (seperti iskemia,
kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan gangguan elektrolit
(seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)

 Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus
hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5
bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan sampai
sedang dapat terjadi.

 Kulit
Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta
pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya
reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan dengan
penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus psoriasis yang
mengalami eksaserbasi selama menggunakan terfenadin.

Kortikosteroid

a. Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi
pasif.

b. Farmakodinamik
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal,
otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
 Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar
dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan
air dan elektrolit kecil.
 Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar
sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan
massa kerjanya.
 Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12
jam.
 Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36
jam.
 Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36
jam.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin


besar dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat.
Mekanismenya adalah melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan
protein yang mengubah respons jaringan terhadap hormon lain.

c. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor
dan ikatan protein.
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk
mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor,
dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

d. Indikasi
 Adrenokortikotropin (ACTH)
o ACTH banyak digunakan utk membedakan antara insufisiensi adrenal
primer dan sekunder. pd insufisiensi primer, pemberian ACTH tdk
akan menyebabkan peninggian kadar kortisol dlm darah, karena pd
keadaan ini kelenjar adrenal yg mengalami gangguan. Sebaliknya pd
insufisiensi sekunder, di mana gangguan terietak di kelenjar hipofisis,
pemberian ACTH akan menyebabkan peninggian kadar kortisol darah.
o Pemberian ACTH dapat merangsang sekresi mineralokortikoid shg
dapat menyebabkan retensi air dan elektrolit.

 Adrenokortikosteroid dan analog sintetiknya


o Kecuali untuk terapi substitusi pada defisiensi, penggunaan
kortikosteroid lebih banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis
dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan
sebelum obat ini digunakan:
o Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan
dengan dan harus direvaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit.
o Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
o Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis
sangat besar.
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum
obat ini digunakan:
- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit.
- Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
- Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
- Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial
akan bertambah.
- Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena
efek anti-inflamasinya.
- Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien.

e. Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan,
keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.

f. Efek samping
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Tempat Macam efek samping

1.Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah


proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi,
pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

2.Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu

3.Susunan saraf pusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia,


gelisah, mudah tersinggung, psikosis,
paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh
diri), nafsu makan bertambah

4.Tulang Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra,


skoliosis, fraktur tulang panjang.

5.Kulit Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise,


dermatosis akneiformis, purpura,
telangiektasis

6.Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior


7.Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8.Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah

9.Kelenjar adrenal bagian kortek Atrofi, tidak bisa melawan stress

10.Metabolisme protein, KH Kehilangan protein (efek katabolik),


hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas,
buffao hump, perlemakan hati.

11.Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia,


paralisis, tetani, aritmia kor)

12.Sistem immunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi


Tb dan herpes simplek, keganasan dapat
timbul.

 Adrenokortikotropin (ACTH)
ACTH dapat menyebabkan timbulnya gejala akibat peningkatan sekresi
hormon korteks adrenal. Selain itu hormon ini dapat pula menyebabkan
reaksi hipersensitivitas, mulai dari yang ringan sampai syok dan kematian.
Peningkatan sekresi mineralokortikoid dan androgen menyebabkan lebih
sering terjadi alkalosis hipokalernik (akibat retensi Na) dan akne bila
dibandingkan dengan kortisol sintetik.

 Adrenokortikosteroid dan analog sintetiknya


o Efek samping dapat timbul karena penghentian pengobatan tiba-tiba
atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian
kortikosteroid yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan
insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan
malaise. Gejala-gejala ini sukar dibedakan dengan gejala reaktivasi
artritis reumatoid atau dernam reumatik yang sering terjadi bila
kortikosteroid dihentikan.
- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba
atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia,
artralgia dan malaise.
- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

7. MM Pandangan Islam Terhadap Pemberian Obat & Alergi Obat


Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat  dan kebaikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi  karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya,  sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219

‫س َوإِ ْث ُم ُه َما أَ ْكبَ ُر ِمنْ نَ ْف ِع ِه َما‬


ِ ‫س ِر قُ ْل فِي ِه َما إِ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَافِ ُع لِلنَّا‬ ِ ‫سأَلُونَكَ ع‬
ِ ‫َن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي‬ ْ َ‫ي‬
2:219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar. Ed. 10. FKUI:Jakarta.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI
http://ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf
(http://www.scribd.com/doc/80243721/REAKSI-HIPERSENSITIVITAS-TIPE-3-4)
Dikutip dari Abbas,2004
http://pharmabright.wordpress.com/2011/07/15/reaksi-hipersensitivitas/
http://agathariyadi.wordpress.com/tag/hipersensitivitas/

Anda mungkin juga menyukai