(1102013281)
SASBEL: Skenario 2
1. MM Reaksi Hipersensitivitas
1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Klasifikasi
2. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE I
2.1. Definisi
2.2. Mekanisme Proses
2.3. Manifestasi Klinis
2.4. Jenis Penyakit
2.5. Penatalaksanaan
3. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE II
3.1. Definisi
3.2. Mekanisme Proses
3.4. Manifestasi Klinis
3.5. Jenis Penyakit
3.6. Penatalaksanaan
4. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE III
4.1. Definisi
4.2. Mekanisme Proses
4.3. Manifestasi Klinis
4.4. Jenis Penyakit
4.5. Penatalaksanaan
5. MM Reaksi Hipersensitivitas TIPE IV
5.1. Definisi
5.2. Mekanisme Proses
5.3. Manifestasi Klinis
5.4. Jenis Penyakit
5.5. Penatalaksanaan
6. MM Peranan ANTIHISTAMIN & KORTIKOSTEROID
6.1. Definisi
6.2. Farmakodinamik
6.3. Farmakokinetik
6.4. Indikasi
6.5. Kontraindikasi
6.6. Efek Samping
6.7. Intraksi Obat
7. MM Pandangan Islam Terhadap Pemberian Obat & Alergi Obat
1. MM Reaksi Hipersensitivitas
1.1. Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. (Buku imunologi) Atau respon
imun ayng berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. (Buku IPD)
1.2. Etiologi
“Hipersensitivitas” atau “alergi” menunjukkan suatu keadaan dimana respons imun
mengakibatkan reaksi yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan pada
jaringan tubuh hospes.
1.3. Klasifikasi
a. Menurut waktu timbulnya reaksi
- Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.
Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat.
- Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu
yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. Manifestasi reaksi
intermediet berupa:
Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia
hemolitik autoimun).
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES).
- Reaksi Lambat
Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang
dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan
kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi
M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
Tipe/mekanism
Gejala / Manifestasi Contoh
e
Penisilin dan β-laktam
Anafilaksis, urtikaria,
lainnya, enzim,
angioedema, mengi,
antiserum, protamin,
I / IgE hipotensi, nausea,
heparin antibodi
muntah, sakit abdomen,
monoklonal, ekstrak
diare
alergen, insulin
Metamizol, fenotiazin
Penisilin, sefalosporin, β-
laktam, kinidin,
Agranulositosis
metildopa
II / sitotoksik Anemia hemolitik
Karbamazepin,
(IgG dan IgM)
fenotiazin, tiourasil,
sulfonamid,
Trombositopenia
antikonvulsan, kinin,
kinidin, parasetol,
sulfonamid, propil,
tiourasil, preparat emas
III / kompleks Panas, urtikaria, atralgia, β-laktam, sulfonamid,
imun (IgG dan limfadenopati fenotiazin, streptomisin
IgM)
serum xenogenik,
Serum sickness penisilin, globulin anti-
timosit
Penisilin, anestetik lokal,
antihistamin topikal,
neomisin, pengawet,
Eksim (juga sistemik) eksipien (lanolin,
eritema, lepuh, pruritus paraben), desinfekstan
IV /
Fotoalergi Salislanilid
hipersensitivitas
(halogeneted), asam
selular
Fixed drug eruption nalidilik
Penisilin, emas,
barbiturat, β-blocker
V / reaksi Ekstrak alergen, kolagen
Granuloma
granuloma larut
VI / (LE yang diinduksi Hidralazin, prokainamid
hipersensitivitas obat?) Antibodi terhadap insulin
stimulasi Resistensi insulin (IgG)
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
c. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi
farmakologik.
Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan bantuan
sel Th yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil.
Beberapa minggu kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang
sama, maka antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel
mast dan basofil. “Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami
degranulasi dan melepas mediator dalam waktu beberapa menit yang preformed
antara lain histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I.”
Mediator Efek
Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
Histamin
polos, sekresi mukosa gaster
Mediator Efek
Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah Edema dan iritasi mukosa nasal
a. Reaksi Lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik
yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut
atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE
seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam
jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam
kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan
saluran nafas.
b. Reaksi Sistemik – Anafilaksisi
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa
menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1
atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel
mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi
dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat
atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis,
pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi Pseudoalergi atau Anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium,
AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.
2.5. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).
Respon
a. Terbentuknya ab terhadap antigen pada permukaan sel/ komponen jaringan
b. Pengaktifan dari komplemen
Reaksi transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen.
b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi
transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yagn
menimbulka kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular
- Reaksi dapat cepat/ lambat
- Reaksi cepat:
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma
dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria.
Beberapa hemaglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi
bersifat toksik.
Gejala khas:
Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
- Reaksi lambat:
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah
yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
yang lain.
Terjadi 2-6 hari setelah transfusi.
Darah yagn ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap
berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan
resus, Kidd, Kell, dan Duffy
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir:
Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan
golongan darah rhesus – dn janin dengan rhesus (+).
Anemia hemolitik:
a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk
kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa
b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya
mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis
dengan dan anemia progresif.
Spesifitas Manifestasi
Penyakit antibodi Mekanisme klinopatologi
Inflamasi
diperantarai Nefritis,
Lupus DNA, komlplemen vaskulitis,
eritematosus nukleoprotein dan reseptor Fc artritis
Inflamasi
Antigen diperantarai
Poliarteritis permukaan komplemen dan
nodosa virus hepatitis B reseptor Fc Vaskulitis
4.4. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).
Respon
- Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang
tidak berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut
(contoh reaksi DTH).
- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan
Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan),
akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat
suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M.
tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi.
Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil
yang mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai
hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari
setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis
jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin)
dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung
membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.
5.5. Penatalaksanaan
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi
dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan
ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).
Antihistamin
- Antagonis reseptor H1 (AH1)
Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus,
bermacam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan
histamin endogen berlebihan.
Farmakokinetik
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah
pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1
umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih
rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi
melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
Indikasi
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi
dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Efek samping
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang
berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia,
tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi
asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi
oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin
dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2
jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8
jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien
gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi20 jam.
Indikasi
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung,
refluks esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-
Ellison.
Efek samping
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala,
pusing, konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek
antiandrogenik.
Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
Farmakokinetik
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam
1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai
dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
Indikasi
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali
sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis,
sindrom Zollinger-Ellion.
Efek samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak
memiliki efek antiandrogenik.
Kontraindikasi
1. Kehamilan
2. Ibu menyusui
Efek samping
Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang
sedikit, sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antihistamin tipe H-1 klasik
Kardiovaskular
berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan
interval QT serta aritmia ventrikular
torsades de pointes
(astemizol dan terfenadin).
Kelainan ini terjadi terutama pada wanita dan penderita dengan kelainan
jantung organik yang sebelumnya telah ada (seperti iskemia,
kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan gangguan elektrolit
(seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)
Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus
hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5
bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan sampai
sedang dapat terjadi.
Kulit
Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta
pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya
reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan dengan
penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus psoriasis yang
mengalami eksaserbasi selama menggunakan terfenadin.
Kortikosteroid
a. Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi
pasif.
b. Farmakodinamik
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal,
otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar
dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan
air dan elektrolit kecil.
Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar
sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan
massa kerjanya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12
jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36
jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36
jam.
c. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor
dan ikatan protein.
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk
mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor,
dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
d. Indikasi
Adrenokortikotropin (ACTH)
o ACTH banyak digunakan utk membedakan antara insufisiensi adrenal
primer dan sekunder. pd insufisiensi primer, pemberian ACTH tdk
akan menyebabkan peninggian kadar kortisol dlm darah, karena pd
keadaan ini kelenjar adrenal yg mengalami gangguan. Sebaliknya pd
insufisiensi sekunder, di mana gangguan terietak di kelenjar hipofisis,
pemberian ACTH akan menyebabkan peninggian kadar kortisol darah.
o Pemberian ACTH dapat merangsang sekresi mineralokortikoid shg
dapat menyebabkan retensi air dan elektrolit.
e. Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan,
keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.
f. Efek samping
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Tempat Macam efek samping
Adrenokortikotropin (ACTH)
ACTH dapat menyebabkan timbulnya gejala akibat peningkatan sekresi
hormon korteks adrenal. Selain itu hormon ini dapat pula menyebabkan
reaksi hipersensitivitas, mulai dari yang ringan sampai syok dan kematian.
Peningkatan sekresi mineralokortikoid dan androgen menyebabkan lebih
sering terjadi alkalosis hipokalernik (akibat retensi Na) dan akne bila
dibandingkan dengan kortisol sintetik.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar. Ed. 10. FKUI:Jakarta.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI
http://ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf
(http://www.scribd.com/doc/80243721/REAKSI-HIPERSENSITIVITAS-TIPE-3-4)
Dikutip dari Abbas,2004
http://pharmabright.wordpress.com/2011/07/15/reaksi-hipersensitivitas/
http://agathariyadi.wordpress.com/tag/hipersensitivitas/