Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

1. PENGERTIAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Sugiharti,
2015). The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2014
mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis yang
dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang persisten dan
biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis
saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid
berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien. Hambatan jalan napas yang
terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya
parenkim paru. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut selain kebiasaan
merokok yang masih tinggi juga polusi udara yang terjadi terutama di kota besar, lokasi industri
dan daerah pertambangan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi
PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia
dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%).

2. FAKTOR RISIKO
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan: (PDPI, 2003)
a. Riwayat merokok - Perokok aktif - Perokok pasif - Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : 0-200 -
Sedang : 200-600 - Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

3. PATOGENESIS DAN PATOLOGI


a. Patogenesis

Sel Inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan neutrofil,
makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel
structural dalam saluran udara dan parenkim paru.

b. Patologi
Keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif pada PPOK disebabkan dua proses patologis,
yaitu:
- Airway remodelling dan penyempitan jalan napas kecil
- Destruksi parenkim paru disertai rusaknya jaringan penyangga alveolar
Kedua proses ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil, tahanan aliran udara yang meningkat
akibat fibrosis serta meningkatnya air trapping dalam paru. Progresiviti kerusakan paru akan
menyebabkan penurunan faal paru antara lain kapasiti vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1).

4. TANDA DAN GEJALA


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflamasi paru. Gejala yang
sering dijumpai yakni: sesak nafas yang bersifat kronis dan progresif memberat seiring
berjalannya waktu dan bertambah berat dengan aktivitas. Menetap sepanjang hari, dan pasien
mengeluhkan usaha bernafas. Selain itu dijumpai pula batuk kronik yang hilang timbul berdahak,
serta riwayat terpajan asap rokok, debu, bahan kimia ataupun asap dapur. (PDPI, 2011)

5. DIAGNOSIS
a. Gambaran Klinis
 Anamnesis
a) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejal pernapasan
b) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
e) Badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
f) Lingkungan asap rokok dan polusi udara
g) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
h) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

 Pemeriksaan Fisik
a) PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
o Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
o Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
o Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
o Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh

 Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan rutin
Faal paru
o Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
o Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b) Darah rutin: Hb, Ht, leukosit
c) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
d) Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF,
- VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

Uji latih kardiopulmoner


- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

Uji provokasi bronkus


- Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
Uji coba kortikosteroid
- Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

Analisis gas darah


Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

Radiologi
- CT
- Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru

Elektrokardiografi
- Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.

Ekokardiografi
- Menilai fungsi jantung kanan

Bakteriologi
- Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
Kadar alfa-1 antitripsin
- Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitrypsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. (PDPI, 2014)

6. DIAGNOSIS BANDING
Berbagai penyakit dapat memiliki gejala dan tanda yang menyerupai PPOK. Oleh sebab itu harus
didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berbagai penyakit
yang dapat menjadi diagnosis banding dari PPOK yakni:
a. Asma: onset awal sering pada anak, gejala bervariasi dari hari ke hari, disertai atopi, rinitis,
riwayat keluarga dengan asma, sebagian besar reversibel
b. Gagal jantung kongestif: auskultasi terdengar ronki halus dibagian basal, foto toraks
tampak jantung membesar, edema paru, uji faal paru menunjukkan restriksi, bukan
obstruksi.
c. Bronkiektasis: sputum produktif dan purulen, awalnya terkait dengan infeksi bakteri,
auskultasi terdengar ronki kasar, foto toraks menunjukkan pelebaran bronkus.
d. Tuberkulosis: onset segala usia, foto toraks menunjukkan infiltrat, konfirmasi
mikrobiologi(sputum BTA), prevalensi di daerah endemis.
7. KLASIFIKASI

8. KOMPLIKASI
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak
sepenuhnya reversibel seperti:
a. Gagal nafas kronik maupun akut. Gagal nafas kronik ditandai oleh analisis gas darah PO2 < 60
mmHg dan PCO2 >60mmHg dan pH normal. Sedangkan gagal nafas akut ditandai oleh sesak
nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran
menurun.
b. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman yang memudahkan terjadinya infeksi ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah
c. Kor pulmonale. Ditandai oleh gelombang P pulmonal pada EKG, hematokrit >50% dapat
disertai gagal jantung kanan.
9. PENATALAKSANAAN
a. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara
umum bahan edukasi yang harus diberikan:
1) Pengetahuan dasar tentang PPOK
2) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3) Cara pencegahan perburukan penyakit
4) Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5) Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioritas
bahan edukasi sebagai berikut:
1) Berhenti merokok
2) Pengunaan obat - obatan
3) Penggunaan oksigen
4) Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5) Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
6) Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7) Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit:
1) Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus; berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
2) Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
3) Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

b. Obat - obatan
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ). Macam - macam bronkodilator :
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
b) Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang.Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
 Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca bronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:
- Lini I: amoksisilin, makrolid
- Lini II: amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih:
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
Ditambah dengan yang anti pseudomonas:
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronikdengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
 Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.

c. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya. Indikasi:
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan:
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1
- 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi
bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas
dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Alat bantu
pemberian oksigen:
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah
pada waktu tersebut.

d. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

e. Nutrisi
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Mengatasi malnutrisi dengan pemberian
makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK
tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolism karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat
diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus
respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi:
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

f. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK.
DAFTAR PUSTAKA

PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

PDPI, 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

RISKESDAS, 2013. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar: 2013.

Sugiharti, 2015. Overview of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) in Coal Mining
Area, Muara Enim District, South Sumatera Province. Sumatera Selatan.
https://media.neliti.com/media/publications/81827-ID-gambaran-penyakit-paru-
obstruktif-kronik.pdf

Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD
executive summary. Am J Respir Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65. 2.

WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010: Description of the global burden
of NCDs, their risk factors and determinants. 2011.

Anda mungkin juga menyukai