Anda di halaman 1dari 11

REFERAT REHABILITASI MEDIK

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)

1. Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa bunyi mengi (Roberto et al, 2011).
B. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
 Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu). Pursed-lips breathing adalah
sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik.
 Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu nafas
 Hipertropi otot bantu nafas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer adalah gambaran yang khas pada
emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breating. Blue
bloater adalah gambaran khas pada bronchitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer (Fitriana, 2015).
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar (Fitriana, 2015).
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah (Fitriana, 2015).
Auskultasi
 Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh (Fitriana, 2015).
C. Pemeriksaan Penunjang
Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis,
melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat.
Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah
inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus digunakan
untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan
manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari
kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC) untuk menentukan ada tidaknya
obstruksi jalan nafas, nilai normal FEV1/FVC adalah > 70%. Penderita PPOK secara khas akan
menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan
hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi
terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi penderita,
sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase dari nilai prediksi normal
(Roberto et al, 2011).
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator juga
menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan memberikan bronkodilator
inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila
perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut) (Roberto et al, 2011).
b. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru
lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma
rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis
dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal aataupun dapat terlihat corakan
bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen (Fitriana, 2015).
c. Analisa Gas Darah
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat penting untuk dilakukan.
AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai
prediksi dan secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan
seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel, dan peningkatan jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema
dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah
menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal ini
menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri. Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai
dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi.
Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio
ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata (Fitriana, 2015).
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi
maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan
capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan
memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke
kiri. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk
memantau keseimbangan asam basa (Fitriana, 2015).
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat, khususnya pada saat terjadinya eksaserbasi akut.
Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia (Fitriana, 2015).
e. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada eksaserbasi
akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya peningkatan hematokrit
(Roberto et al, 2011).
f. Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi pada
jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat
namun jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT- scan
resolusi tinggi, ecocardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin (Roberto et al, 2011).

2. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari PPOK antara lain (Roberto et al, 2011) :
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis)
3. Pneumotoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Bronkiektasis

Tabel 2.X Perbedaan Asma, PPOk dan SOPT


Klasifikasi PPOK
Diagnosis dan klasifikasi PPOK memerlukan spirometri, FEV1 (forced expiratory
volume in one second) / FVC (forced vital capacity) post-bronkodilator ≤ 0.7 mengkonfirmasi
adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat reversible parsial. Spirometri sebaiknya dilakukan
pada semua orang dengan riwayat : paparan dengan rokok; dan/atau polutan lingkungan atau
pekerjaan; dan/atau adanya batuk, produksi sputum atau dispnea. Klasifikasi spirometri terbukti
berguna dalam memprediksi status kesehatan, penggunaan sarana kesehatan, perkembangan
eksaserbasi, dan mortalitas dalam PPOK (Roberto et al, 2011).
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2017, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada
paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal.
b. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat
sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi lebih sering terjadi
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50% .
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi korpulmonale
atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

3. Tatalaksana
Penatalaksanaan PPOK disesuaikan dengan kondisi, apakah pasien dalam keadaan stabil
atau eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terhadap PPOK yang stabil dilakukan dengan jalan
meningkatkan terapi tergantung kepada tingkat keparahan penyakit penderita. Dilakukan dengan
memberikan edukasi kesehatan, farmakoterapi, serta terapi non-farmakologi (Fitriana, 2015).
Edukasi kesehatan memiliki target berupa penghentian kebiasaan merokok, dan bertujuan
agar penderita PPOK dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi keterbatasan aktivitas
akibat penyakitnya, dan peningkatan status kesehatan (Fitriana, 2015).
Farmakoterapi diberikan untuk mencegah dan mengontrol gejala, menurunkan frekwensi
dan tingkat keparahan dari periode eksaserbasi, peningkatan status kesehatan, dan meningkatan
toleransi beraktivitas. Terapi diberikan bila diperlukan, dan bukan untuk memperbaiki fungsi
dari paru-paru. Bronkodilator adalah pilihan farmakoterapi yang paling utama, baik saat
penggunaan reguler ataupun saat eksaserbasi akut. Obat-obatan yang digunakan adalah golongan
ß2-agonist, antikolinergik, ataupun golongan xanthine. Pemilihan obat dilakukan berdasarkan
ada atau tidaknya obat dan respon pasien. Semua jenis bronkodilator di atas dapat meningkatkan
kapasitas beraktivitas namun tidak dapat meningkatkan fungsi paru. Bronkodilator lebih baik jika
digunakan secara reguler. Dapat pula digunakan secara kombinasi untuk mningkatkan FEV1
seperti contohnya kombinasi ß2-agonist dan antikoninergik. Digunakan juga sesuai dengan
respon pasien, sebagai contoh, nebulizer terus digunakan jika terapi konvensional tidak
menghasilkan respon yang baik namun baik dengan nebulizer (Fitriana, 2015).
Terapi farmakoterapi yang lain yang dapat digunakan dengan penggunaan
glukokortikoid, yaitu pada pasien dengan stage III atau IV dan terjadi eksaserbasi yang berulang.
Pilihan pemakaiannya adalah dengan inhalasi yang diharapkan dapat digunakan untuk
menurunkan frekwensi eksaserbasi. Lebih baik lagi jika digunakan dengan kombinasi bersama
ß2-agonist, dan tidak dianjurkan untuk menggunakan glukokortikoid secara oral yang
berkepanjangan karena memiliki efek samping sistemik berupa steroid myopathy.
Terapi non-farmakologi yang dapat digunakan antara lain adalah (Fitriana, 2015):
a. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK. Kemungkinan disebabkan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorius yang yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapnea yang menyebabkan hipermetabolisme. Asupan nutrisi yang seimbang
adalah yang utama pada pasien PPOK.
b. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi adalah untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup dari penderita PPOK. Penderita PPOK yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan yang optimal disertai dengan
gejala pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualitas hidup yang
menurun,
Program rehabilitasi terdiri dari tiga komponen yaitu latihan fisik, psikososial, dan latihan
pernapasan. Latihan pernapasan ditujukan untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas
penderita. Teknik latihan ini meliputi pernapasan diafragma, dan pursed-lips breathing guna
memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan thoraks.
c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Terapi ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Indikasi pemberian terapi oksigen adalah :
 PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %
 PaO2 diantara 55-59 mmHg atau SaO2 > 89% disertai kor pulmonal, perubahan P
pulmonal, Hct > 55 %, dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan penyakit
paru yang lain.
d. Ventilatory Support
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU ataupun di rumah.
Berikutnya adalah penanganan terhadap keadaan eksaserbasi akut. Penanganan eksaserbasi
akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk
eksaserbasi sedang dan berat). Untuk eksaserbasi ringan dapat dilakukan oleh penderita yang
telah dilatih dengan cara (Fitriana, 2015):
1. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator dari bentuk
inhaler, oral menjadi bentuk nebulizer, dan dosis serta pemberian ditingkatkan.
2. Steroid sistemik dapat diberikan misalnya prednisolon 400 mg selama 10-14 hari, antibiotik
bila ada tanda infeksi cukup jelas, umumnya 7-14 hari.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan dengan rawat jalan atau rawat
inap dan dilakukan di: (1) Poliklinik rawat jalan, (2) Unit Gawat Darurat, (3) ruang rawat, (4)
ruang ICU. Perawatan rawat inap di RS pada pasien eksaserbasi akut PPOK dilakukan bila
didapatkan tanda eksaserbasi berat berupa sesak yang memberat dan berkepanjangan, adanya
peningkatan produksi sputum, dan perubahan warna sputum menjadi purulen dan perburukan
kondisi umum pasien yang membutuhkan perawatan yang lebih intensif di RS.
Prinsip penanganannya adalah atasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah
terjadinya gagal nafas. Bila telah terjadi gagal nafas, segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan (Fitriana, 2015) :
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
- derajat sesak, frekuensi nafas, pernafasan paradoksal,
- kesadaran,
- tanda vital,
- analisa gas darah,
- pneumonia.
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut, terapi oksigen merupakan hal yang utama dan pertama, untuk
memperbaiki hipoksemia. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90%,
evaluasi ketat hiperkapnia. Oksigen yang diberikan dalam dosis yang rendah, yaitu 2 L/ mnt.
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel
dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel. Dengan pemberian oksigen
diharapkan dapat mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal dan
mengurangi vasokontriksi pada saluran nafas.
3. Pemberian obat-obatan yang optimal
a. Bronkodilator
Bila rawat jalan β-2 agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis.
Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek
memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan rumah sakit, bronkodilator dapat diberikan secara
intravena dan nebulizer, dengan pemberian yang lebih sering, perlu monitor ketat terhadap
timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
Sebagai contoh :
- Ipratropium bromide bekerja menghambat refleks vagal yang menyebabkan kontraksi otot
polos jalan nafas dan mengurangi sekresi mukus tanpa menambah kekentalannya.
- Salbutamol bekerja mengatasi bronkospasme dan edema bronkhial juga merangsang mobilisasi
dahak. Pemberian secara kombinasi akan memperkuat efek bronkodilatasi selain itu akan
memudahkan bagi penderita karena pemberiannya lebih sederhana, atau dapat diberikan
Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap jam dan dapat dilanjutkan dengan
pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam. Bila tidak ada digunakan Adrenalin 0,3 mg subkutan,
dengan hati-hati.
- Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
- Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol cairan perinfus.
Cairan infus yang dipergunakan adalah dekstrose 5%, NaCl 0,9% atau Ringer laktat.
b. Antibiotika
Diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala peningkatan sesak, peningkatan jumlah
sputum atau sputum berubah menjadi purulen. Pemilihan disesuaikan pola kuman setempat.
Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya dikombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberi
tunggal. Antibiotika diberikan karena adanya infeksi pada saluran nafas.
c. Kortikosteroid
Diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Derajat sedang dapat diberikan prednison 30
mg/hari selama 1-2 minggu dan pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih
dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak efek sampingnya.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi akut, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Pemberian mukolitik berguna untuk mengencerkan dahak yang mempermudah pengeluaran
dahak sehingga meringankan batuk berdahak. Bila diperlukan dapat ditambahkan dengan
ekspektoran untuk membantu mengeluarkan dahak
4. Nutrisi adekuat
Hal ini bertujuan untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan dan menghindari kelelahan otot bantu nafas. Keadaan malnutrisi pada PPOK
dapat terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan energi akibat kerja otot pernafasan yang
meningkat, dapat dilihat dari penurunan BB dan antropometri. Asupan energi disesuaikan antara
kalori yang masuk dan kalori yang dibutuhkan. Pemberian energi yang agresif tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang
terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Asupan energi dilakukan sedikit demi sedikit dan terus
menerus.
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada eksaserbasi berat akan mengurangi morbiditas dan
mortalitas, serta memperbaiki simptom.
6. Kondisi lain yang berkaitan
- Monitoring balans cairan dan elektrolit.
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progresivitas penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan
kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah gagal nafas berat dan
menghindari penggunaan ventilasi mekanik.
Pasien dapat dipulangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut (Fitriana, 2015) :
- Agonis beta-2 yang diperlukan tidak lebih dari setiap 4 jam
- Pasien, kalau sebelumya rawat jalan, mampu berjalan menyeberangi kamar
- Pasien mampu makan dan tidur tanpa sering terjaga akibat sesak nafas
- Pasien secara klinis stabil dalam 12-24 jam
- Gas darah arteri stabil dalam 12-24 jam
- Pasien sudah mengerti secara benar peggunaan obat untuk rawat jalan
- Sudah dibuatkan rancangan perawatan untuk di rumah
4. Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK antara lain (Kathryn et al, 2010) :
1. Gagal nafas
Ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam,
kesadaran menurun, hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan:
 Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau waktu tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
2. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini
imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan

5. Prognosis
Beberapa penelitian menunjukkan predictor mortalitas pasien PPOK adalah usia tua dan
penurunan forced expiratory volume per detik (FEV1). Pasien usia muda dengan PPOK memiliki
tingkat mortalitas lebih rendah kecuali pada keadaan defisiensi alpha1-antitrypsin, abnormalitas
genetic yang menyebabkan panlobular emfisema pada usia dewasa muda. Defisiensi alpha1-
antitrypsin harus dicurigai ketika PPOK muncul pada lebih muda dari 45 tahun dan tidak ada
riwayat bronchitis kronis atau penggunaan tembakau, atau ada anggota keluarga dengan riwayat
penyakit paru obstruktif pada usia muda (Kathryn et al, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Kathryn L. Mc Cance et al. Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease in Adults and
Children.,6th ed. Canada. Mosby. Pg 1286-1290; 2010
Fitriana P, 2015. Influence Of Smoking On Chronic Obstructive Pulmonary Disesae (COPD). J
MAJORITY 4 : 67-75.
Roberto R.R, et al. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. In : Pocket Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease:2011.

Anda mungkin juga menyukai