Anda di halaman 1dari 87

PELAYANAN

KEFARMASIAN
CRHONIC OBSTRUKTIF PULMONARY DISEASE
(COPD) PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
(PPOK)

NAMA : QORI ANNISA AKBAR


NIM : 2030122050
LATAR BELAKANG
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau
chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
merupakan suatu kondisi yang serius dan
berkembang secara progresif. PPOK merupakan
salah satu penyebab kematian utama pada pasien
geriatrik. Kondisi ini ditandai dengan adanya
obstruksi aliran udara kronik di paru. Obstruksi
aliran udara kronik pada PPOK disebabkan oleh
gabungan dari kerusakan saluran nafas (bronkiolitis
obstruktif) dan kerusakan parenkim paru
(emphysema). Inflamasi kronik akan menyebabkan
perubahan struktural, penyempitan saluran nafas
dan kerusakan parenkim paru.
DEFINISI
 (National Heart, Lung, and Blood Insitute (NHLBI) dan WHO)
COPD didefinisikan sebagai penyakit yang dibatasi oleh terbatasnya saluran udara yang
progresif dan ireversible yang terjadi bersamaan dengan bronkitis kronik, emfisema dan kedua-
duanya.

 Dua kondisi utama meliputi:


✓Bronkitis kronis: sekresi lendir kronis atau berulang dengan batuk yang terjadi hampir setiap
hari selama minimal 3 bulan dalam setahun selama minimal 2 tahun berturut-turut.
✓ Emfisema: pembesaran rongga udara yang abnormal dan permanen di distal bronkiolus
terminalis, disertai dengan kerusakan dindingnya, tanpa fibrosis.
EPIDEMIOLOGI

GLOBAL
INDONESIA
• Survei Kesehatan Rumah Epidemiologi PPOK di seluruh dunia tidak diketahui
secara pasti, namun diperkirakan berkisar antara 7-
Tangga (SKRT) DEPKES RI, 19%.  
PPOK dan asma penyebab Global
Kota Cape Town di Afrika Selatan, angka prevalensi
kematian ke-6. tertinggi, yaitu 22.2% pada pria dan 16.7%, wanita.
• Peringkat 1 menyumbang
Kota Hannover di Jerman, angka prevalensi terendah,
angka kesakitan pada yaitu 8,6% pada pria dan 3.7%, wanita.
penyakit tidak menular
3 juta orang meninggal akibat PPOK tahun 2015

95% kematian pada PPOK terjadi di negara


berpenghasilan rendah dan sedang
Faktor risiko PPOK (Dipiro, 2008)

Faktor Host Predisposisi genetik (α1-antitrypsin)


Keterlambatan tekanan udara
Gangguan paru
Faktor Lingkungan Asap rokok
Debu dan bahan kimia industri
Polusi udara
PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI PPOK
PATOGENESIS

 Keterbatasan aliran udara dan air trapping


Luasnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada lumen saluran nafas kecil
berkolerasi dengan reduksi VEP1 DAN VEP1/KVP. Selama ekspirasi
udara terperangkap akibat adanya obstruksi saluran nafas perifer
sehingga mengakibatkan hiperinflasi.

 Abnormalitas pertukaran gas


Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi
asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktivasi makrofag dan sel
epitel

 Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mucus mengakibatkan batuk kronis yang produktif.
LANJUTAN…

 Eksaserbasi
Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi atau faktor-faktor lain seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi dan sepertiga dari eksersebasi akut
penyebabnya tidak dapat diidentifikasi.
PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI PPOK

PATOFISIOLOGI

Mekanisme patogenik menyebabkan timbulnya perubahan patologik pada PPOK :


 Hipersekresi mukus dan disfungsi silier
 Pembatasan aliran udara dan hiperinflasi
 Abnormalitas pertukaran udara
 Hipertensi pulmonal
 Efek sistemik
KLASIFIKASI PPOK
DIAGNOSIS

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS PPOK
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Diagnosis Banding

2. Pemeriksaan Laboratorium
3. Pemeriksaan Penunjang
DIAGNOSIS
Anamnesis

PPOK tipe bronkhitis kronik

Gejala utama PPOK  Batuk produktif


 Gagal nafas/gagal jantung
 Batuk produktif  edema danBB meningkat
 Sesak nafas
 Wheezing
PPOK tipe emfisema

 Riwayat sesak nafas yang


progresif disertai batuk
nonproduktif
 Sputum mukopurulent
yang jarang kambuh
 Cachexia
Pemeriksaan
a. Pada inspeksi ditemukan: Fisik
b. Palpasi
Pada tipe emfisema, fremitus paru

 Penampilan pink puffer atau blue dirasakan melemah dengan sela iga

bloater melebar

 Bila telah terjadi gagal jantung c. Perkusi

kanan terlihat denyut vena Pada emfisema hipersonor, dan batas

jugularis dan edema tungkai jantung mengecil, letak diafragma

 Penggunaan dan hipertrofi otot rendah dan hepar terdorong kebawah.

bantu nafas
 Pursed-lips breathing (mulut d. Auskultasi
setengan katup mencucu) • Suara nafas vesikuler normal, atau
 Pelebaran tulang iga lemah
 Barrel Chest (diameter antero, • Terdapat ronki pada waktu bernapas
posterior dan transversal biasa atau pada ekspirasi paksa
sebanding) ekspirasi memanjang bunyi jantung
terdengar jauh.
DIAGNOSIS
Diagnosis
Banding

Gagal jantung
kongestif
ASMA

Bronkiolitis Konstriktif
Panbronkiolitis Difusa

Bronkiektasis
Tuberkulosis
DIAGNOSIS BANDING
Pemeriksaan
Laboratorium

Darah Lengkap
 WBC dalam batas normal atas dan penurunan jumlah sel
darah,hemoglobin, dan hematokrit yang sangat sedikit

Analisis Gas Darah


 Adanya hipoventilasi pada banyak alveoli dan kerusakan
dinding alveolus mengakibatkan terjadinya peningkatan
kadar pCO2 dalam darah dan penurunan kadar pO2 dalam
darah
Pemeriksaan
Laboratorium

Chest X-Ray
 Hasil pemerikasaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru
berupa gambaran hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma
mendatar, peningkatan corakan bronkvaskuler, jantung
pendulum dan ruang retroternal lebar.

Spirometry
 Pada pasien dengan PPOK biasanya menunjukkan penurunan
nilai FEV1 dan KVP. Tingkat abnormalitas dari nilai
spirometry dapat menunjukkan derajat keparahan dari
PPOK.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Fungsi Paru
 Dengan spirometri pada PPOK diutamakan untuk menentukan nilai  forced
expiratory volume in 1 second (FEV1) dan the forced vital capacity (FVC).
 Pada PPOK ditemukan penurunan nilai FEV1 dengan penurunan rasio FEV1/FVC.
Dapat juga dilakukan uji bronkodilator. Jika Nilai rasio FEV1/FVC post
pemberian bronkodilator <0.70, ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran
udara yang persisten.
 FAAL Paru, Spirometri menilai :
KVP = Kapasitas Vital Paksa
VEP 1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
APE =Arus Puncak Ekspresi
KLASIFIKASI PPOK

Berdasarkan nilai FEV1 post-bronkodilator dengan


rasio FEV1/FVC <70% (menyatakan adanya pembatasan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible)

1) GOLD 1 (Mild) : FEV1 > 80% predicted


2) GOLD 2 (Moderate) : 50% < FEV1 < 80% predicted
3) GOLD 3 (Severe) : 30% < FEV1 < 50% predicted
4) GOLD 4 (Very Severe) : FEV1 < 30% predicted
PEMERIKSAAN PENUNJANG
b. Pemeriksaan radiologi

 foto rontgen toraks dan CT Scan toraks.


 foto rontgen thoraks anteroposterior-lateral,
ditemukan hiperinflasi paru, hiperlusensi, diafragma c. Pemeriksaan echokardiografi
tampak datar, bayangan jantung yang sempit, dan
gambaran jantung seperti pendulum (tear drop
appearance). d. Pemeriksaan laboratorium
 Pada PPOK tipe bronkitis kronis dapat ditemukan
pertambahan corak vascular paru dan kardiomegali.
 CT Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa
emfisema jika dibandingkan foto thoraks polos.
PENATALAKSANAAN

 Tujuan utama dari penatalaksanaan PPOK antara lain untuk mengurangi


gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.

 Secara umum penatalaksaan PPOK meliputi terapi non farmakologis, terapi


farmakologis, terapi oksigen.
Terapi Non Farmakologis (Dipiro dkk, 2015)
 Penghentian merokok
• Terapi oksigen jangka panjang,jika
Terbukti memengaruhi penurunan FEV1
jangka panjang dan perkembangan PPOK
(1) istirahat Pao2 kurang dari 55 mmHg
yang lambat.
atau SaO2 kurang dari 88% dengan atau
tanpa hiperkapnia,
• Program rehabilitasi
atau
Latihan olah raga, latihan pernafasan,
(2) istirahat Pao2 55-60 mm Hg atau
perawatan medis yang optimal, dukungan
SaO2 kurang dari 88% dengan bukti
psikososial, dan penyuluhan kesehatan.
gagal jantung sisi kanan, polisitemia,
atau hipertensi paru. Tujuannya untuk
• Berikan vaksinasi yang sesuai (misalnya,
menaikkan PaO2 di atas 60 mm Hg.
vaksin pneumokokus, vaksin influenza
tahunan).
Penanganan Eksaserbasi

 Tujuan terapi adalah untuk mencegah rawat inap


dan mengurangi lama rawat, mencegah kegagalan
terapi akut dan kematian, menangani gejala,
memperbaiki status kesehatan pasien dan kualitas
hidupnya.
Rekomendasi Terapi untuk COPD Stabil

Whoa!
This could be the part of the presentation where you can
introduce yourself, write your email…
Terapi farmakologi untuk COPD kronik :
Simpatomimetik, antikolinergik, kombinasi
antikolinergik dan simpatomimetik, metilxantin,
kortikosteroid, phosphodiesterase inhibitors

Terapi farmakologi untuk COPD memburuk :


 Tujuan : untuk pencegahan masuk ke rumah sakit atau perawatan di rumah sakit,
pencegahan kegagalan respirasi akut dan kematian, serta peredaan gejala dan
datangnya status klinis dan kualitas hidup dasar
 Bronkodilator, Kortikosteroid, Terapi Antimikroba
TERAPI COPD KRONIK
TERAPI FARMAKOLOGI
Bronkodilator
Simpatomimetik
 Bronkodilator digunakan untuk
 Simpatomimetik selektif B2 menyebabkan
mengontrol gejala; tidak ada relaksasi otot polos bronkial dan
bronkodilarasi dengan menstimulasi enzim
golongan farmakologi yang
adenil sildase untuk mening-katkan
terbukti memberikan keuntungan pembentukan adenosine monofosfat siklik
(cAMP)
lebih dibanding yang lain,
 Albuterol, levalbuterol, birolterol,
meskipun terapi inhalasi lebih pirbuterol, dan terburalin merupakan
 Keuntungan klinis bronkodilator agen aksi pendek yang lebih disukai
karena miempunyal selektivitas B2 lebih
termasuk peningkatan kapasitas besar dan durani aksi lebih panjang
dibandingkan agen aksi pendek lainnya
latihan fisik, penurunan
(isoproterenol, metaproterenol, dan
terperangkapnya udara, dan isoetarin).
peredaan gejala seperti dispnea
Kombinasi Antikolinergik dan
Lanjutan…
Simpatomimetik
 digunakan, terutama ketika perkembangan
Antikolinergik
penyakit dan gejala yang semakin memburuk
• inhalasi, agen antikolinergik
seiring waktu.
memproduksi bronkodilatasi dengan
 Mengkombinasikan bronkodilator dengan yang
menginhibisi reseptor kolinergik
berbeda membuat dosis efektif dapat digunakan
secara kompetitif pada otot polos
dan mengurangi efek samping dari masing-masing
bronkial. Aktivitas ini memblok
zat.
asetilkolin, yang efek selanjutnya
 Kombinasi kedua agonis B. aksi pendek dan aksi
adalah pengurangan guanosin
panjang dengan ipratropium menunjukkan
monofosfat siklik (eGMP), yang
peningkatan peredaan gejala dan fungsi paru-paru.
umumnya mengkonstriksi otot polos
bronkial.
 Sediaan yang mengandung albuterol dan
• Ipratropium bramida memiliki onset
ipratropium dalam MDI digunakan untuk rerapi
yang lebih lambat dibandingkan
pemeliharaan COPD.
agonis B2 aksi pendek
Lanjutan…
Metilxantin
 Teofilin dan aminofilin dapat Kortikosteroid
menghasilkan bronkodilatasi dengan  penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi
menginhibisi fosfodiesterase (yang mukus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari
kemudian meningkatkan kadar CAMP), leukosit, dan inhibisi prostaglandin.
inhibisi influks ion kalsium ke dalam  Beberapa studi menunjukkan efek aditif pada
otot polos, antagonis prostaglandin, kombinasi kortikosteroid inhalasi dan
stimulasi katekolamin endogen, bronkodilator aksi panjang. Terapi kombinasi
antagonis reseptor adenosin, dan dengan salmeterol ditambah Hutikason atau
inhibisi pelepasan mediator dari sel formorerol ditambah budeson yang berkaitan
mast dan leukosit. dengan peningkatan besar FEV, status kesehatan.
 Penggunaan kronik teofilin dalam pengurangannya frekuensi keadaan memburuk
COPD menunjukkan peningkatan fungsi dibandingkan penggunaan agen tunggal.
paru-paru, termasuk kapasitas vital
dan FEV
Lanjutan…

Phosphodiesterase Inhibitors
 Roflumilast adalah fosfodiesterase 4 (PDE4) yang diindikasikan untuk mengurangi resiko
eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang berhubungan dengan bronkitis kronis dan
riwayat eksaserbasi.
 Dosisnya 500 mcg per oral sekali sehari, dengan atau tanpa makanan.
 Roflumilast dimetabolisme oleh CYP3A4 dan 1A2; administrasi bersama dengan Induksi
kuat CYP P450 tidak direkomendasikan karena berpotensi untuk meningkatknan konsentrasi
plasma.
 Berhati-hatilah saat memberikan roflumilast dengan inhibitor CYP450 yang kuat karena
tingginya potensi efek samping.
 Roflumilast digunakan pada pasien dengan PPOK berat atau sangat parah yang beresiko
tinggi dan tidak dapat dikendalikan oleh inhalasi bronkodilator.
 Roflumilast tidak disarankan untuk digunakan dengan teofilin karena memiliki mekanisme
yang sama
TERAPI COPD YANG MEMBURUK
TERAPI FARMAKOLOGI
Bronkodilator
 Dosis dan frekuensi Kortikosteroid
bronkodilator ditingkatkan  Hasil pengujian klinis menyarankan pasien
 Agonis B2 aksi pendek lebih dengan COPD yang memburuk secara akut
disukai karena onset aksi yang untuk menerima kortikosteroid oral atau
cepat iv dalam jangka pendek.
 Bukti klinis yang mendukung  Karena variabilitas yang besar dalam
penggunaan teofilin saat keadaan rentang dosis yang digunakan dalam
memburuk hampir tidak ada. dan pengujian, dosis optimum dan durasi
oleh industri penggunaan teofilin terapi tidak diketahui.
sebaiknya dihindari.  Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9
 Teofilin dapat hingga 14 hari) sama efektifnya dengan
mempertimbangkan untuk pasien terapi jangka panjang dan risiko efek
yang tidak merespon kepada samping yang lebih rendah.
terapi lain. 
TERAPI COPD YANG MEMBURUK
TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi Antimikroba
 Antibiotik paling menguntungkan dan sebaiknya dimulai jika dua gejala gejala
berikut tampak: peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan
kandungan nanah sputum.
 Pada keadaan memburuk tanpa komplikasi, terapi yang menolak adalah makrolida
(azitromisin, klaritromisin), sefalosporin generasi kedua atau ketiga, atau
doksisilin.
 Trimetoprim-sulfametoksazol yang sebaiknya tidak digunakan karena meningkatkan
resistensi pneumokokus.
 Amoksisilin dan sefalosporin generasi pertama tidak direkomendasikan karena
kerentanan dari B-laktamase.
 Eritromisin tidak melawan karena insufisiensi aktivitas melawan H. influenzae.
RHINITIS ALERGI
DEFINISI RA

Peradangan pada membran yang melapisi hidung,


dengan ciri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin,
gatal pada hidung dan/atau postnasal drainage.’
Sedangkan rinitis alergi secara klinis merupakan
gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah pajanan
alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen
tersebut pada mukosa hidung.
ETIOLOGI

Berdasarkan cara masuknya allergen


a. Alergen Inhalan : yang masuk bersama dengan udara
pernafasan (ex: debu rumah, tungau, kapuk)
Faktor non-spesifik;
b. Alergen Ingestan : yang masuk ke saluran cerna
Asap rokok, bau yang
(ex : udang, telur, ikan, coklat)
merangsang, polutan, bau
c. Alergen Injektan : yang masuk melalu suntikan atau
parfum, bau deodoran,
tusukan
perubahan cuaca, kelembaban
(ex : penisilin, sengatan lebah)
tinggi
d. Alergen Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan
kulit atau jaringan mukosa (ex : bahan kosmetik,
perhiasan)
KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Dahulu, menurut sifat Saat ini (menurut


berlangsungnya : WHO-RIA
Berdasarkan terdapatnya
• Rinitis alergi musiman gejala
((seasonal, hay fever,
polinosis)
• Intermiten(kadang-
• Rinitis alergi sepanjang kadang)
tahun (perenial) Gejala terdapat krg dari 4
hari/minggu kurang dari 4
minggu.

• Persisten/menetap
Gejala lebih dari 4
hari/minggu atau lebih dari
4 minggu
KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Berdasarkan tingkat ringan


beratnya penyakit:

1.Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari :


• gangguan tidur
• gangguan aktifitas harian/malas/olahraga
• Gangguan pekerjaan atau sekolah
• Gejala dirasakan mengganggu.

2. Sedang atau berat, berarti terdapat satu atau


lebih hal-hal diatas
PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI
 Rinits alergi didasari oleh Reaksi Inflamasi alergi (Reaksi
Hipersensitivitas tipe 1)
 Reaksi inflamasi merupakan respons imun yang melibatkan Th2,
limfosit B, Eosinofil, netrofil, sel mastosit, makrofag dan
mediator yang dikeluarkannya.

Mediator yang dilepaskan dibagi :


• Respon alergi fase cepat (RAFC)
• Respon alergi fase lambat (RAFL)
Lanjutan…

1. Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)


 Sejak kontak alergen sampai 1 jam setelahnya

1. Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFl)


 Yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
setelah pemaparan dan berlangsung 24-48 jam.
HISTAMIN
 Merangsang reseptor H1 pada saraf vidianus, terjadi bersin
 Merangsang serabut halus C tak bermielin, terjadi gatal
 Merangsang sel goblet, kelenjar, peningkatan permeabilitas kapiler,
terjadi hipersekresi (rinore)
 Vasodilatasi : Hidung tersumbat (RAFC)

o Rinore : Ach. PGD2, LTC4, Subs.P. VIP


o Hidung tersumbat (RAFL) : histamin, PGD2, LTC4,
LTD4, bradikinin, Ach, Subs.P, Calcitonin Gene
Factor
FARMAKOTERAPI

Terapi Non Farmakologi


 Menghindari alergen yang mengganggu
Tujuan pengobatan rinitis  Pasien yang sensitif terhadap hewan, sedapat
alergi : mungkin dikeluarkan dari rumah.
1. Mengurangi gejala akibat  Mengurangi paparan debu dengan membungkus
paparan alergen alas tidur dengan penutup yang kedap air dan
2. Perbaikan kualitas hidup, mencuci sprei.
3. Edukasi  Pasien dengan rhinitis alergi musiman harus
menjaga agar jendela tetap tertutup dan
meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar
ruangan. Masker filter bisa dipakai saat ke
kebun/memotong rumput.
Tujuan Terapi

Tujuan akhir pengobatan adalah untuk meminimalisasi


atau mencegah gejala, tidak ada atau sedikit efek
samping dan biaya pengobatan yang rasional. Pasien
harus mempertahankan pola hidup sehat, termasuk
termasuk dalam kegiatan luar ruangan dan bermain
dengan hewan peliharaan sesuai keinginan.
Terapi Non Farmakologi
 Menghindari alergen yang mengganggu, terutama untuk alergen pribadi,
pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan mengurangi kelembaban
rumah tangga dari 50% dan menghilangkan pertumbuhan dengan
pemutih/desinfektan
 Pasien yang sensitif terhadap hewan, sedapat mungkin dikeluarkan dari
rumah.
 Mengurangi paparan debu dengan membungkus alas tidur dengan penutup
yang kedap air dan mencuci sprei.
 Pasien dengan rhinitis alergi musiman harus menjaga agar jendela tetap
tertutup dan meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar ruangan.
Masker filter bisa dipakai saat ke kebun/memotong rumput.
TERAPI FARMAKOLOGI

ANTIHISTAMIN

 Lini pertama pengobatan alergi


 Diabsorpsi baik dan dimetabolisme di hepar
 Generasi pertama : berefek sedatif, durasi aksi
pendek
Ex : chlorpheniramine, diphenhydramine
• Generasi kedua : tidak berefek sedatif durasi aksi
lebih panjang.
Ex : Cetrizine loratadine
TERAPI FARMAKOLOGI

DEKONGESTAN

 Mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal


mengatasi rinore, efek lain
 Per oral
efedrin, fenil propanolamin, dan pseudo-efedrin
Efek SSP : gelisah, insomnia,iritabel,sakit kepala
Efek KV : palpitasi,takikardia,TD meningkat
 Topikal
tetes hidung maupun semprot hidung yaitu fenileprin,
efedrin, dan semua derivat imidazolin.
• Penggunaan secara topikal ini lebih cepat dibanding
penggunaan sistemik.
TERAPI FARMAKOLOGI

KORTIKOSTEROID

 Standar lini pertama RA sedang/berat


 Menghambat respon alergi fase awal maupun fase lambat
 Efek utama pada mukosa hidung :
 Mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator
 Mengurangi edema intra sel
 Menghambat vasokontriksi ringan dan menghambat reaksi fase
lambat yang diperentarai oleh sel mast
 Digunakan sebagai terapi awal disertai dengan penghindaran
terhadap alergen.
TERAPI FARMAKOLOGI
KROMOLIN NATRIUM

 Kromolin natrium, penstabil sel mast, tersedia sebagai obat


bebas dalam bentuk semprotan hidung untuk pencegahan gejala
dan penanganan terha-dap rinitis alergik.
 Zat ini mencegah degranulasi sel mast yang dipicu oleh antigen
dan pelepasan mediator, termasuk histamin.
 . Efek samping adalah iritasi lokal (bersin dan hidung perih).
 Dosis pakai (umur > 2 tahun) adalah satu semprotan pada tiap
lubang hidung 3-4 kali sehari dengan interval normal.
TERAPI FARMAKOLOGI
Ipratropium bromida

 Merupakan zat antikolinergik yang berguna dalam rinitis


alergik perenial.
 Zat ini mempunyai sifat antisekretori ketika diberikan secara
lokal dan gejala gejala rinorea yang berkaitan dengan alergi
dan bentuk lain rinitis kronis.
 Larutan 0,03% diberikan sebanyak dua semprotan 2-3 kali
sehari.
 Efek samping tergolong ringan seperti sakit kepala, epistaksis,
dan hidung kering.
TERAPI FARMAKOLOGI
Ontelukast

 Montelukast adalah antagonis reseptor  Waktu pemberian tergantung pada


leukotrien untuk penanganan rinitis individu.
alergik lampung.  Obat ini harus diberikan pada sakit hari
 Efektif saat diberikan tunggal atau dalam jika pasien menderita kombinasi asma
kombinasi dengan antihistamin. dan rinitis alergik penderitaan.
 Dosis untuk dewasa dan remaja berumur  Antagonis leukotrien merupakan
lebih dari 15 tahun adalah satu tablet 10 alternatif terapetik baru, tetapi zat ini
mg per hari. tidak lebih efektif dibandingkan
 Anak-anak berusia 6-14 tahun dapat antihistamin selektif perifer dan lebih
diberikan satu tablet kunyah 5 mg per kurang efektif dari kortikosteroid
hari. Anak-anak berusia 2-5 tahun dapat intranasal.
diberikan satu tablet kunyah 4 mg atau
satu bungkus serbuk per hari.
TERAPI FARMAKOLOGI
Imunoterapi

• Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya


penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam
mengatasi gejala klinis rinitis alergi.
• Pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub
lingual, oral dan lokal.
• Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen
standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada
anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis
mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan.
ASMA
DEFINISI
 Gangguan inflamasi pada saluran pernapasan yang
melibatkan peran banyak sel dan komponennya.
 Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan episode
bengek, sesak nafas, sesak dada, dan batuk.
 Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi saluran
udara yang sering reversibel baik secara spontan maupun
setelah pemberian penanganan.
 Inflamasi juga menyebabkan hiperresponsivitas bronkus
(bronchus hyperresponsiveness, BHR) terhadap berbagai
stimulus.
ASMA
DUNIA INDONESIA

 1992 : urutan ke 4
 1995 : 13/1000
Prevalensi 5-10% /
 Asma di RS
300 juta
Moewardi 2012-
 Kematian :
2013
250.000/ tahun
 Terkontrol : 30%
 8,8 % ke UGD
 Terkontrol
 0,7 % dirawat
sebagian : 47,31 %
 Tidak terkontrol :
22,58%
ASMA
KLASIFIKASI ASMA

ASMA INTIRNSI
ASMA EKSTRINSIK (NON ALERGIK)
(ALERGIK)  Bereaksi terhadap pencetus yang
tdk spesifik /tdk diketahui.
 Disebbkan oleh faktor-faktor Seperti udara dingin atau bisa juga
pencetus spesifik, seperti debu, disebabkan oleh adanya infeksi
serbuk, bunga, bulu binatang, saluran pernafasan dan emosi.
obat-obatan (antibiotik dan  Serangan asma ini berjalan berat
aspirin) dan spora jamur. dan sering sejalan berjalannya
 Asma ekstrinsik sering waktudan dpt berkembang menjadi
dihubungkan dengan adanya suatu bronkhitis kronik dan emfisema.
predisposisi genetik terhadap Beberapa pasien akan mengalami
alergi. asma gabungan.
ASMA
KLASIFIKASI ASMA

ASMA GABUNGAN

 Bentuk asma yang paling


umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk
alergik dan non alergik
KLASIFIKASI ASMA
Gejala Klinis Asma

● hipoventilasi, dyspnea, ● Gejala utama yang


wheezing, pusing-pusing, sering muncul adalah
sakit kepala, nausea, dipsnea, batuk dan
peningkatan nafas mengi.
pendek, kecemasan,
diaphoresis, dan
kelelahan
FAKTOR RESIKO

Alergen yang memicu Alergen yang diduga Yang dapat memperparah


reaksi sistem kekebalan meningkatkan risiko ra rhinitis alergi
jika terhirup,

Serbuk sari
Faktor keturunan,
Tungau
Memiliki alergi jenis lain,
Spora jamur atau kapang Suhu dingin
misalnya asma atau 
Debu Lingkungan yang lembab
dermatitis atopik.
Kulit dan bulu hewan Parfum atau deodorant
Sering terpapar asap
Serbuk gergaji Asap dan polusi udara
rokok.
Lateks
PATOGENESIS ASMA
Serangan asma terjadi karen adanya
gangguan pada aliran udara akibat peneympitan
pada saluran napas atau bronkiolus. Penyempitan
tersebut sebagai akibat adanya arterioskelerosis
atau penebalan dinding bronkiolus, disertai
dengan peningkataneksresi mukus atau lumen
kental yang mengisi bronkiolus, akibat udara yang
masuk akan tertahan di paru-paru sehingga pada
saat ekspirasi udara dari paru-paru sulit
dikeluarkan, sehingga otot polos akan
berkontraksi dan terjadi peningkatantekanan saat
bernapas. Karena tekanan pada saluran napas
tinggi khususnya pada saatekspirasi, maka dinding
bronkiolus tertarik kedalam (mengkerut)
sehingga diameter bronkiolus semakin kecil atau
sempit
Mekanisme Terjadinya Asma
Terapi Asma

Asma Kronik Asma Parah Akut


 Mempertahankan tingkat aktivitas normal  Pembalikan cepat
 Mempertahankan fungsi paru-paru penutupan jalan udara
(mendekati normal) (dalam hitungan menit)
 Mencegah gejala kronis yang mengganggu  Pengurangan
(cth batuk atau kesulitan bernapas pada kecenderungan penutupan
malam hari, pagi hari atau setelah latihan aliran udara yang parah
berat) tiumbul kembali.
 Mencegah memburuknya asma secara  Pengembangan rencana
berulang dan meminimalisasi masuk ICU tertulis jika keadaan
atau rawat inap memburuk.
 Memberikan farmakoterapi optimum
dengan tidak ada atau sedikit efek
samping
Algoritma
Penanganan
Pemburuka
n Asma
akut
Terapi Farmakologi Asma

1. Antialergika 2. Bronchodilator
 Adalah zat zat yang berkerja  Mekanisme kerja obat ini adalah
menstabilkan mastcells , hinnga tidak merangsang sistem adrenergic
pecah dan melepaskan histamine sehingga memberikan efek
Obat ini sangat berguna untuk bronkodilatasi.
mencegah serangan asma dan rhinitis  Digunakan sebagai obat utama
alergis (hay fever). dalam bentuk aerosol. Termasuk
 Termasuk kelompok ini adalah kedalamnya adalah :
kromoglikat. adrenergika,antikolinergika, dan
derivat xantin.
3. Antikolinergik
 Ex : Ipratropium,tiotropiumdan
deftropin
 Di dalam sel sel otot polos terdapat
keseimbangan antara sistem
adrenergic dan sistem kolinergis. Bila
karena sesuatu sebab reseptor beta-2 4. Kortikosteroid
dari sistem adrenergic akan berkuasa
dengan akibat bronchokonsttriksi.  Ex : prednison, metilprednisolon,
Antikolinergika memblock reseptor hidrokortison, dexametason
muskarin dari saraf saraf kolinergik di  blockade enzim fosfolipase A2, sehingga
otot polos bronchi, hingga aktivitas pembentukan mediator peradangan
saraf adrenergic menjadi dominan prostaglandin dan leukotrien dari asam
dengan efek bronchodilatasi. arachidonat tidak terjadi.
Kortikosteroid menghambat mekanisme
kegiatan allergen yang melalui IgE dapat
menyebabkan degranulasi mastcells,
juga meningkatkan kepekaan reseptor
beta 2 hingga efek beta mimetika
diperkuat.
5. Derivate Xantin
 Ex : Teofilin, Aminofilin
 Xantin juga merangsang saraf pusat dan pernafasan,
mendilatasi pembuluh pulmolar dan koronaria, dan
menyebabkan diuresis karena efeknya terhadap
respirasi dan pembuluh pulmolar
 Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan
blockade reseptor adenosine. Selain itu, teofilin
seperti kromoglikat mencegah meningkatnya
hiperreaktivitas dan berdasarkan ini bekerja
profilaktis.
6. Pendekatan Baru Terapi Asma

a. mukolitika dan expetoransia


 Ex :Asetil-krbosistein, Mesna,
bromheksin,dan ambroksol,kaliummiodida
dan amoniumklorida.

 mengurangi kekentalann dahak, mukolitik


 kalimiodida sebaiknya jangan digunakan
untuk jangka waktu lama berhubung efek
sampingnya udema, urticaria, acna.
 menghirup uap air panas dapat membantu
pencairan dahak yang kental sehingga
mudah di keluarkan.
6. Pendekatan Baru Terapi Asma

b. Antihistaminika
 Ex : Ketotipen, oksatomida

 Memblokir reseptor histamine dengan demikian


mencegah efek bronchokonstriksinya.
 Efeknya terhadap asma terbatas dan kurang memuaskan
karena antihistaminika tidak menghambat
bronchokonstriksi dari mediator lain yang di lepaskan
mastcells.
 Ketotifen dan oksatomida berdaya menstabilkan
mastcell, oksatomida bahkan bekerja sebagai
antiserotonin dan antiluekortin. Antihistamin lain
(cetrizin, azelastin) memiliki khasiat antiluekotrin.
6. Pendekatan Baru Terapi Asma

Antihistaminika generasi pertama


 Ex : klorpeniramin.prometazin
 kerja antimuskarin dapat menumbus barrier darah otak sehinnga mengakibatkan
mabuk dan gangguan penggerakan.

Antihistamin genrasi kedua


 Ex : ketotifen, terfenadin, astemizol, loratadin, setirizin, akrivastin, dan
azelastin
 ketotifen digunakan untuk profililaksis untuk mengontrol asma.

Zat-zat antileukotrien (LT)


 Pada pasien asma leoukotrien turut menimbulkan bronchokonstriksi dan sekresi
mucus
 Kerja penghambatan sintesa LT dengan jalan blockade enzim lipoksigenase atau
berdasarkan penempatan resptor LT dengan LTC4 /D4-blocker.
 Leukotrien merupakan mediator yang bersifat bronkokontsriktor (memicu
asma) . Obat ini bekerja dengan cara menghambat bronkokontsriktor dan
leukotrien .
 Contoh Obat : Zafirlukast 20mg/tab.
Terapi Non Farmakologi
• Memberikan edukasi atau penjelasan kepada penderita/ yang
merawat penderita mengenai berbagai hal tentang asma,
misalnya tentang terjadinya asma, bagaimana mengenal
pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal keparahan.
• Mengenali dan mengontrol faktor-faktor pemicu serangan
asma
• Mengatur kegiatan aktifitas fisik
• Melakukan olahraga  secara teratur, misalnya senam asma
untuk latihan pernafasan.
• Selain obat obatan yang dikonsumsi terdapat alat-alat bantu
yang biasa digunakan untuk membantu memudahkan
pernapasan pada anak.
• Perawatan ini umumnya diberikan 4 kali sehari dan dalam
waktu 10-15 menit. Namun frekuensinya tergantung kapada
dokter.
Alat Bantu Untuk Asma

1. INHALER
 untuk mengatar obat kedalam tubh melalui paru
paru.pada umum nya inhaler merupakan
sistim yang bergantung pada kekuatan dari
liquid gas yang berkompresi untuk
menularkan isi dari kontainer.
 Aerosol terdiri dari 2 komponen yaitu :
• Produk terkonsentrat yang terdiri dari zat aktif
obat atau campuran dari zat aktif dan bahan
penting lainnya seperti pelarut
antioksidan,dan surfaktan.
• Propellant (penndorong obat)

 
Selain itu dapat digunakan alat sebagai berikut :

1. Masker wajah
 Untuk anak dibawah usia empat tahun.
 Saat anak mengalami kesulitan bernapas
masker wajah yang disambungkan pada
spacer atau tabung semprot sebelum
2. Inhaler dengan dosis terukur
anak mulai menghirup obat asma.
 Inhaler dengan ukuran segenggaman
tangan digunakan untuk
 
menyemprotkan obat kedalam
mulut.
 Alat ini dapat digunakn pada anak usia
sekolah.
Selain itu dapat digunakan alat sebagai berikut :

3. Nebulizer
 Untuk menyemprotkan obat dalam 4. Inhaler dengan bubuk
dosis tinggi ke paru-paru.
kering
 Sering digunakan untuk anak-anak dan
Bubuk yang dihirup ini lebih umum
dapat mengubah obat menjadi
digunakan untuk anak anak di atas
partikel kecil yang dihirup melalui
usia empat tahun karena
masker wajah.
memerlukan teknik pernapasan
 Pada balita, alat ini digunakan dengan
dalam.
dosis yang lebih ringan.

 
BATUK PILEK
DEFINISI

Batuk pilek adalah infeksi primer


nasofaring dan hidung yang sering mengenai
bayi dan anak. Penyakit batuk pilek pada
balita cenderung berlangsung lebih berat
karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga bawah, dan nasofaring
disertai demam yang tinggi. Penyakit ini
sebenarnya merupakan self limited diseased
yang sembuh sendiri 5- 6 hari jika tidak
terjadi invasi kuman lain. (Ngastiyah,
1997:12).
ETIOLOGI

 Penyebab batuk pilek hampir selalu


virus.
 Lebih dari dua ratus virus dikenal
sebagai penyebab batuk-pilek
(termasuk rhinovirus, virus
parainfluenza, dan virus sinsitial
pernafasan), dan diduga ada lebih
dari 1.500 virus batuk pilek atau
kombinasi virus.
Patofisiologi

 Banyak virus yang dapat menyebabkan batuk


 Terjadinya pembengkakan pada pilek, tetapi yang paling sering adalah rinovirus
submukosa hidung yang disertai (terdapat 100 jenis rinovirus berbeda yang
vasodilatasi pembuluh darah. dapat menginfeksi manusia, diikuti dengan
 Terdapat infiltrasi leukosit, mula- respiratory sincytial virus (RSV), dan
mula sel monokleus kemudian juga adenovirus.
polimorfonukleus.  Virus yang masuk ke tubuh dan menginfiltrasi
 Sel epitel superfisial banyak yang saluran nafas di hidung sampai tenggorokan
lepas dan regenerasi epitel sel baru kita akan memicu rangkaian reaksi sitem imun
terjadi setelah lewat stadium akut (pertahanan tubuh) dan bermanifestasi
sebagai gejala-gejala yang dialami
Tanda dan Gejala

Batuk pilek ditandai dengan:


 Hidung berair (pengeluaran
bersifat cair dan bening)
 Hidung tersumbat
 Bersin
 Panas tidak lebih dari 38°C
(Einsenberg, 1998:635)
Klasifikasi Batuk Pilek

1. Batuk pilek ringan


2. Batuk pilek sedang
 Bila timbul batuk tidak mengganggu tidur,
Dahak kental berwarna kuning kehijauan,
dahak encer, ingus encer berwarna
ingus kental berwarna kehijauan,
bening, mata berair, panas tak begitu
panas tinggi lebih dari 38°C,
tinggi atau tidak lebih dari 38°C
tenggorokan sakit pada saat menelan.
 Batuk pilek ini berlangsung selama 5 – 6
hari
 

3. Batuk pilek berat


Panas tinggi di sertai sesak napas ngorok, stridor,
kadang-kadang disertai penurunan kesadaran
(contoh: pneumonia)
 
Terapi Non Farmakologi

 Menjaga pola hidup sehat, makan makanan bernutrisi


 Istirahat cukup
 Hindari asap rokok
 Menjaga kebersihan
 Menjauhi penggunaan kompor kayu yang mengotori udara
karena asap dari pembakaran kayu dapat mengurangi daya
tahan anak sehingga anak mudah terserang batuk pilek
 Sebisa mungkin menjauhi anak balita dari orang yang sedang
terkena batuk pilek
 Membiasakan anak mencuci tangan sebelum dan sesudah
memegang sesuatu yang telah tersentuh oleh orang yang
sedang terinfeksi batuk pilek.
TERAPI FARMAKOLOGI

DEKONGESTAN

 Adalah stimulan reseptor alpha-1 adrenergik.


 Bekerja melalui vasokonstriksi pembuluh darah hidung
sehingga mengurangi sekresi dan pembengkakan membran
mukosa saluran hidung.
 Dikontraindikasikan bagi penderita hipertensi yang tidak
terkontrol, hipertiroid serta penderita penyakit jantung.
 Dekongestan bertujuan melegakan hidung tersumbat.
TERAPI FARMAKOLOGI

ANTIHISTAMIN

 untuk meredakan gejala bersin-bersin


 antagonis reseptor H1 berikatan dengan H1 tanpa mengaktivasi
reseptor, sehingga mencegah terjadi ikatan dan kerja histamin.
 Kebanyakan antihistamin bersifat larut lemak dan melewati
sawar otak dengan mudah.
 Beberapa antihistamin yang dapat diperoleh tanpa resep dokter
antara lain: klorfeniramin maleat (CTM), Loratadin, cetirizin,
promethazin, triprolidin.
TERAPI FARMAKOLOGI

Analgesik dan Antipiretik

 Parasetamol adalah analgesik-antipiretik yang terdapat dalam


komposisi produk obat flu untuk mengatasi nyeri dan demam, dan
umumnya dapat ditoleransi dengan baik.
 Dosis yang dapat diberikan untuk anak 2 – 6 tahun adalah 1 – 2
sendok teh atau 120 – 250 mg dan untuk anak 6–12 tahun di
minum setiap 4 atau 6 jam.
 Efek samping kerusakan hati
TERAPI FARMAKOLOGI

ANTITUSIF

 Adalah obat batuk yang digunakan untuk batuk tidak berdahak atau
batuk kering.
 Obat tersebut bekerja dan menaikkan ambang rangsang batuk. Ketika
batuk tidak produktif dapat ditekan dengan antitusif yang bekerja
dengan menekan sistem saraf pusat.
 Beberapa antitusif dapat diperoleh tanpa resep dokter diantaranya,
difenhidramin HCl dan dextrometorpan yang efektif untuk pilek. Dosis
yang diberikan pada anak usia 2 – 12 tahun, 2,5 – 5 ml, 3 – 4 kali sehari.
TERAPI FARMAKOLOGI

Ekspektoran dan Mukolitik

 Ekspektoran untuk mempermudah pengeluaran dahak pada batuk


kering (nonproduktif) agar menjadi lebih produktif.
 Ekspektoran bekerja dengan cara membasahi saluran napas sehingga
mukus (dahak) menjadi lebih cair dan mudah dikeluarkan (dibatukkan).
 Contoh ekspektoran yang dapat digunakan amonium klorida, gliseril
guaiakolat, dan succus liquiritiae yang merupakan salah satu komponen
dari obat batuk hitam
TERAPI FARMAKOLOGI

Ekspektoran dan Mukolitik

 Mukolitik untuk mempermudah pengeluaran dahak.


 Mukolitik memecahkan ikatan protein mukus,
sehingga mukus menjadi cair dan mudah dikeluarkan.
 Ex : bromheksin, ambroxol, dan N-asetilsistein.
TERAPI FARMAKOLOGI

VITAMIN

 Suplemen yang dapat diberikan seperti vitamin C, jus lemon,


teh herbal, bioflavonoid, betakaroten.
 Vitamin C pada dosis tinggi (1-1,5 mg) berkhasiat
meringankan gejala, mempersingkat lamanya infeksi dan
sebagai stimulan sistem imun.
 Pada dosis tinggi limfosit dirangsang perbanyakan
aktivitasnya sehingga pembasmian virus berlangsung lebih
cepat. Dosis yang dapat diberikan 50-75 mg.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai