o Spirometri (FEV1, FEV1 prediksi, FVC, FEV1/FVC) Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengukur secara objektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pasien. Alat yang digunakan adalah spirometer. Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernapasan yang dipaksakan (forced volume capacity – FVC). Spirometri sebaiknya dilakukan pada semua orang dengan riwayat : paparan dengan rokok; dan/atau polutan lingkungan atau pekerjaan; dan/atau adanya batuk, produksi sputum atau dispnea. Klasifikasi dengan spirometri terbukti berguna dalam memprediksi: status kesehatan, penggunaan sarana kesehatan, perkembangan eksaserbasi, dan mortalitas dalam PPOK.2,6 Sebelum dilakukan spirometri, pasien harus dianamnesa dan diukur tinggi badan dan berat badannya. Pada spirometer terdapat nilai prediksi untuk orang Asia berdasarkan usia dan tinggi badan. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat presentase pencapaian terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada SVC, pasien diminta bernapas normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang di mulut) sebelum menarik napas dalam dan dihembuskan maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik napas dalam sebelum mouthpiece dimasukkan kedalam mulut dan dihembuskan secara maksimal. Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan: 1. Forced vital capacity (FVC) : jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, diukur dalam liter. 2. Forced expiratory volume in one second (FEV1) : jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, diukur dalam liter. 3. FEV1/FVC. Nilai normalnya 75-80% (± 0,7) 4. Peak expiratory flow (PEF) : kecepatan pergerakan udara keluar dari paru pada awal ekspirasi, diukur dalam liter/detik. 5. Forced expiratory flow (FEF) : kecepatan rata-rata aliran udara keluar dari paru- paru selama pertengahan pernapasan, sering disebut maximal mild-expiratory flow (MMEF). Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi): - Gangguan restriksi : vital capacity (VC) <80% nilai prediksi; FVC <80% nilai prediksi - Gangguan obstruksi : FEV1 <80% nilai prediksi; FEV1/FVC <75% nilai prediksi - Gangguan restriksi dan obstruksi : FVC <80% nilai prediksi; FEV1/FVC <75% nilai prediksi Jika spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, Arus Puncak Respirasi (APE) meter dapat digunakan sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. o Uji bronkodilator Dilakukan pada PPOK yang stabil. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada menggunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. b. Darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit) c. Radiologi Rontgen foto thorax PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru-paru lainnya. Pada emfisema terlihat gambaran: Hiperinflasi Hiperlusen Ruang retrosternal melebar Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik terlihat gambaran:
Normal Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus Pemeriksaan Khusus a. Tes Faal Paru Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat DLCO menurun pada emfisema Raw meningkat pada bronkitis kronik Sgaw meningkat Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % b. Uji latih kardiopulmoner Sepeda statis (ergocycle) Jentera (treadmill) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal c. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan. d. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. e. Analisa gas darah (AGD) Analisa gas darah diperlukan terutama pada PPOK tingkat lanjut. AGD juga wajib dilakukan jika FEV1 penderita menunjukkan nilai <40% dari nilai prediksi dan secara klinis menunjukkan tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, edema tungkai, JVP meningkat. Hasil AGD dari emfisema dan bronkitis kronik menunjukkan hasil yang berbeda. Pada emfisema, rasio ventilasi/perfusi (V/Q) tidak begitu terganggu karena baik ventilasi dan perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dna capillary bed, sehingga gambaran AGD ateri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke kiri. Sedangkan pada bronkitis kronik, AGD menunjukkan hipoksemia sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal ini menujukkan adanya shunt kanan ke kiri, ada juga hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi f. Radiologi CT-scan resolusi tinggi : mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema yang tidak terdeteksi dengan rontgen polos Scan ventilasi perfusi : mengetahui fungsi respirasi paru g. Elektrokardiografi (EKG) Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. h. Ekokardiografi Menilai fungsi jantung kanan i. Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia. j. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
2.1.1. Penilaian berdasarkan Gejala
Pada pasien PPOK perlu diukur berat dari sesak napas dengan kuisioner British Medical Research Council (mMRC) yang telah dimodifikasi untuk menilai gejala, dan mMRC dianggap berhubungan dengan ukuran status kesehatan lainnya dan dapat memprediksi risiko mortalitas. Tapi, untuk beberapa pasien PPOK didapatkan gejala selain dyspnea, maka perlu juga dilakukan penguuran lain seperti COPD Assessment Test (CAT) dan The COPD Control Quistionnaire (The CCQ). Sejak tahun 2011 GOLD juga memperkenalkan cara penilaian terbaru untuk pasien PPOK dengan menggabungan penilaian gejala dan klasifikasi spirometri pasien dan/atau risiko eksaserbasi, yang dikenal dengan istilah The “ABCD” assessment tool. Pasien harus menjalani spirometri untuk menilai keparahan pembatasan aliran udara. Kemudian, mereka harus melakukan penilaian mMRC atau gejala dengan CAT. Terakhir, riwayat eksaserbasi pasien juga harus dicatat. Tabel 2.3 Skala Modified MRC Dyspnea Scale (mMRC)2
Tabel 2.4 Skala COPD Assessment Test (CAT)2
Gambar 2.3 Skema The “ABCD” Assessment2
2.2 Diagnosis banding
Diagnosis banding PPOK, antara lain: Asma SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis) Pneumotoraks Gagal jantung kronik Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas, seperti: bronkiektasis, destroyed lung