( PPOK )
1973 - 2003
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
DAFTAR ISI
Definisi
II
Permasalahan di Indonesia
4
4
5
Diagnosis
A Gambaran Klinis
B Pemeriksaan Penunjang
VI Diagnosis Banding
VII Klasifikasi
VIII Penatalaksanaan
A Penatalaksanaan Umum PPOK
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
B Penatalaksanaan PPOK Stabil
C Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
D Terapi Pembedahan
8
8
8
10
12
13
15
15
17
20
24
IX Komplikasi
25
25
25
26
27
Keadaan Khusus
A Persiapan Bedah pada PPOK
B Perjalanan Udara (Air Travel)
C Vaksinasi
XI Pencegahan
27
27
I. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan
memenuhi kriteria PPOK.
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada
tahun 1990-an
Industrialisasi
2.
3.
4.
5.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok
dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan :
0-200
Sedang : 200-600
Berat
:
>600
Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Hipereaktiviti bronkus
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
V.
DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Keluhan
Riwayat penyakit
Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A.
Gambaran Klinis
a.
Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b.
Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips
breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
B.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
< 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2.
Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3.
Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Normal
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan
lesi paru yang minimal.
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu
diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.
PPOK
SOPT
++
Sakit mendadak
++
Riwayat merokok
+/-
+++
Riwayat atopi
++
+++
++
Hipereaktiviti bronkus
+++
+/-
Reversibiliti obstruksi
++
Variabiliti harian
++
Eosinofil sputum
Neutrofil sputum
Makrofag sputum
VII. KLASIFIKASI
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan
kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1
Klasifikasi
Penyakit
Gejala
Spirometri
VEP > 80% prediksi
VEP/KVP < 75%
VEP 30 - 80%
prediksi VEP/KVP <
75%
VEP1<30% prediksi
VEP1/KVP < 75%
BERAT
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan
PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada
eksaserbasi akut.
1.
Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1.
2.
3.
4.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di
poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1.
2.
3.
4.
5.
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
Macam obat dan jenisnya
Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )
Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3.
Penggunaan oksigen
Kapan oksigen harus digunakan
Berapa dosisnya
Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4.
5.
6.
7.
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok
permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK
merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Berat
-
2.
Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b.
10
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I :
amoksisilin
makrolid
Lini II :
amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati
Gejala
Golongan Obat
Tanpa gejala
Dosis
Tanpa obat
Gejala intermiten
( pada waktu aktiviti )
Agonis 2
Bila perlu
Antikolinergik
Ipratropium bromida
20 gr
2 - 4 semprot
3 - 4 x/hari
Inhalasi Agonis 2
kerja cepat
Fenoterol
100gr/semprot
2 - 4 semprot
3 - 4 x/hari
salbutamol
100gr/semprot
2 - 4 semprot
3 - 4 x/hari
Terbutalin
0,5gr/semprot
2 - 4 semprot
3 - 4 x/hari
Prokaterol
10gr/semprot
2 - 4 semprot
3 x/hari
Ipratropium bromid
2 - 4 semprot
Kombinasi terapi
11
Inhalasi Agonis 2
kerja lambat ( tidak
dipakai untuk
eksaserbasi )
20gr+salbutamol
100gr persemprot
3 - 4 x/hari
Formoterol 6gr,
12gr/semprot
1 - 2 semprot
2 x/hari tidak
melebihi 2 x/hari
salmeterol
25gr/semprot
1 - 2 semprot
2 x/hari tidak
melebihi 2 x/hari
Atau
timbul gejala pada waktu
malam atau pagi hari
Teofilin
Anti oksidan
N asetil sistein
600mg/hr
Kortikosteroid oral
(uji kortikosteroid )
Prednison
Metil prednisolon
30 - 40mg/hr
selama 2mg
Uji kortikosteroid
memberikan respons
positif
Inhalasi
Kortikosteroid
Beklometason 50gr,
250gr/semprot
1 - 2 semprot
2 - 4 x/hari
Budesonid 100gr,
250gr,
400gr/semprot
200 - 400gr
2x/hari maks
2400gr/hari
Flutikason
125gr/semprot
125 - 250gr
2x/hari maks
1000gr/hari
Sebaiknya pemberian
kortikosteroid inhalasi
dicoba bila mungkin untuk
memperkecil efek samping
3.
Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ organ lainnya.
Manfaat oksigen
Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup
12
Indikasi
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain
Macam terapi oksigen :
Pemberian oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan
di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang
rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah
dibedakan :
Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal
kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang
sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
Nasal kanul
Sungkup venturi
Sungkup rebreathing
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas
darah pada waktu tersebut.
4.
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
ventilasi mekanik dengan intubasi
ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat
digunakan selama di rumah.
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV)
atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
13
14
Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi
akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
Penurunan berat badan
Kadar albumin darah
Antropometri
Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah,
karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat
metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori
yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)
dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen
comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK
dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi
muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang
terjadi adalah :
Hipofosfatemi
Hiperkalemi
Hipokalsemi
Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6.
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup
penderita PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
Simptom pernapasan berat
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang
terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan
fisis yang baik akan menghasilkan :
Peningkatan VO2 max
Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
Peningkatan cardiac output dan stroke volume
15
Di rumah
Latihan dinamik
Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
Rumah sakit
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 68 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang
beban latihan yang sudah dilaksanakan.
Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit,
yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu
dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama
10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu
latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi
16
2.
3.
Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat
Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan
menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih
ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.
17
d.
e.
f.
2.
3.
4.
5.
18
19
Sekunder :
Pnemonia
Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
Emboli paru
Pneumotoraks spontan
Penggunaan oksigen yang tidak tepat
Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
Nutrisi buruk
Lingkunagn memburuk/polusi udara
Aspirasi berulang
Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau
di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi
dengan cara :
Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
Menambahkan mukolitik
Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat
inap dan dilakukan di :
1.
2.
3.
4.
21
22
2.
3.
Antibiotik
Peningkatan jumlah sputum
Sputum berubah menjadi purulen
Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi
antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi
dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.
b.
Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis.
Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat
digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang
memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk
menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.
Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser,
dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai
efek samping bronkodilator.
c.
Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat
diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang
lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
4.
5.
Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan
morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi
6.
23
7.
D. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
Memperbaiki fungsi paru
Memperbaiki mekanik paru
Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
Memperbaiki kualiti hidup
-
24
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
Gagal napas kronik
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
Bronkodilator adekuat
Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
Antioksidan
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
Sputum bertambah dan purulen
Demam
Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan
X.
KONDISI KHUSUS
25
Intratorasik
Ekstratorasik
2.
3.
4.
5.
kardiovaskular
Teknik anastesi
Teknik operasi
Pencegahan rasa nyeri, terutama rangsangan pada diafragma dapat mengganggu otot respirasi
Persiapan fisioterapi sebelum operasi (latihan napas dan ekspektorasi)
Steroid
C Vaksinasi
Dianjurkan memberikan vaksinasi untuk influenza dan pneumococcus setiap tahun karena dapat
mengurangi eksaerbasi dan meningkatkan kualiti hidup.
XI. PENCEGAHAN
1.
2.
Diagnosis
PPOK adalah manifestasi dari penyakit paru kronik yang progresif dan ireversibel, sehingga pada
penampilan klinis (keluhan dan tanda klinis) yang menonjol adalah gambaran adanya perburukan
penyakit dari waktu ke waktu.
Hal yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis PPOK di puskesmas antara lain :
27
1.
Anamnesis
a. Keluhan
Sesak napas yang bertambah berat bila aktiviti
Kadang-kadang disertai mengi
Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
Rasa berat di dada
b. Riwayat penyakit
Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu
c. Faktor predisposisi
Usia > 45 tahun
Riwayat merokok aktif atau pasif
Terpajan zat beracun (polusi udara, debu pekerjaan)
Batuk berulang pada masa kanak-kanak
Berat badan lahir rendah (BBLR)
2.
Pemeriksaan fisis :
a. Secara umum
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Pernapasan pursed-lips
Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah terjadi gagal jantung
kanan
b. Toraks
Inspeksi
:
barrel chest
penggunaan otot bantu
napas
peleburan sela iga
Perkusi
:
hipersonor pada emfisema
Auskultsi :
suara napas vesikuler normal, meningkat atau melemah
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
dengan
ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
3.
Pemeriksaan penunjang
28
Jalan 6 menit, dapat dilakukan modifikasi cara evaluasi fungsi paru atau analisis gas darah
sebelum
dan sesudah pasien berjalan selama 6 menit atau 400 meter. Untuk di Puskesmas dengan
sarana yang terbatas, evaluasi yang digunakan adalah keluhan lelah yang timbul atau
bertambah sesak
Pemeriksaan darah Hb, lekosit
Foto Toraks
Fungsi paru dengan PFR bila memungkinkan
B. Penatalaksanaan
Tujuan pelaksanaan di Puskesmas
1. Mengurangi laju beratnya penyakit
2. Mempertahankan PPOK yang stabil
3. Mengatasi eksaserbasi ringan
4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit
5. Melanjutkan pengobatan dari spesialis paru atau rumah sakit rujukan
29
Edukasi
Karena keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti
keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi dan sarana
kesehatan, edukasi di Puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah beratnya penyakit dengan
cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktiviti serta
mencegah eksaserbasi.
Nutrisi
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat
Diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan meningkatnya
derajat sesak.
Pemberian karbohidrat yang berlebihan menghasilkan Co2 yang berlebihan.
Rehabiltasi
Latihan pernapasan dengan pursed-lips
Latihan ekspektorasi
Latihan otot pernapasan dan ekttremiti
2.
Kortikosteroid diberikan dalam dosis maksimal, 30 mg/hari dalam 2 minggu bila perlu dengan
dosis turut bertahap (tappering off)
3.
Antibiotik diberikan dengan dosis dan lama pemberian yang adekuat (minimal 10 hari dapat
sampai 2 minggu), dengan kombinasi dari obat yang tersedia. Pemilihan jenis antibiotik
disesuaikan dengan efek obat terhadap kuman Gram negatif dan Gram positif serta kuman
atipik.
Di Puskesmas dapat diberikan
:
Lini I
ampisilin
Kontrimoksasol
Eritromisin
Lini II :
ampisilin kombinasi kloramfenikol,
eritromisin
Kombinasi kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan eritromisin
sebagai makrolid.
30
4.
Diuretik
Diuretik pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal jantung kanan atau kelebihan cairan
5.
Cairan
Pemberian cairan harus seimbang, pada PPOK sering disertai kor pulmonal sehingga
pemberian cairan harus hati-hati.
Rujukan dari Puskesmas ke Pelayanan Kesehatan yang lebih tinggi/Rumah Sakit/Spesialis dilakukan
bila :
PPOK derajat berat
Timbul pada usia muda
Sering terjadi eksaserbasi
Memerlukan terapi oksigen
Memerlukan terapi bedah paru
Sebagai persiapan terapi pembedahan
31
- Tuberkulosis -
TUBERKULOSIS
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
1973 - 2002
1. PENDAHULUAN
2. PATOGENESIS
8. KOMPLIKASI
3. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
4. DIAGNOSIS
10. PENCEGAHAN
5. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGI
- Tuberkulosis -
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World
Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus
BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia
tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun
2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau
angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Tabel 1.Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah kasus
(Ribu)
Pembagian
daerah
WHO
Afrika
Amerika
Mediteranian
timur
Eropa
Asia
Tenggara
Pasifik Barat
Global
Semua Sputum
kasus
positif
(%)
2354 (26) 1000
370 (4)
165
622 (7)
279
Semua
kasus
(%)
350
43
124
Kematian akibat TB
(termasuk kematian
TB pada penderita
HIV)
Sputum
Jumlah Per 100
positif
000
(Ribu)
penduduk
149
556
83
19
53
6
55
143
28
472 (5)
2890 (33)
211
1294
54
182
24
81
73
625
8
39
2090 (24)
8797
(100)
939
2887
122
141
55
63
373
1823
22
29
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun
terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh
nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
B. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex
C. BIOMOLEKULER
Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat
pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah
dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
- Tuberkulosis -
sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C)
terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3
kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA
target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen
DNA ulangan seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut
panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs)
menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain
IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan
RFLP.
BAB II
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu
sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
B. TUBERKULOSIS PASCA-PRIMER
- Tuberkulosis -
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 1540 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
2.
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya
3. jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib
kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola
perjalanan seperti yang disebutkan diatas
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan penyembuhannya
- Tuberkulosis -
BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu,
kemudian dievaluasi.
- Infeksi jamur
- TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu
bulan sebelum akhir pengobatan)
- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
- Tuberkulosis -
Catatan:
Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten lain.
Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.
Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi
TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada
foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar
getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat
dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
- Tuberkulosis -
BAB IV
DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan
bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang
terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari
luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
- Tuberkulosis -
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus
inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess
Gambar paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
dikutip dari.....
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
- Tuberkulosis -
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti,
spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan
uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim
ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan
pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan
dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan
menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan
dengan cara
- Mikroskopik
- Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa
:
Mikroskopik fluoresens:
pewarnaan Ziehl-Nielsen
pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
- Tuberkulosis -
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih
baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme
asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan.
2. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah
satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup
banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka
hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun
ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
file://///Jad4/data-web/Back-Up/public_html%20-%20Klik%20PDPI-040805/konsensus/tb/tb.html (10 of 29)14/03/2006 0:39:37
- Tuberkulosis -
- Tuberkulosis -
- Tuberkulosis -
BAB V
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan
obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
- Tuberkulosis -
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o
Kapreomisin
o
Sikloserino
PAS (dulu tersedia)
o
Derivat rifampisin dan INH
o
Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis OAT (dibuat tabel oleh dr. Sudarsono) Lihat buku HIV
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Obat
R
H
Z
E
S
Dosis
(Mg/Kg
BB/Hari)
8-12
4-6
20-30
15-20
15-18
Dosis yg dianjurkan
DosisMaks (mg) Dosis (mg) / beraty badan (kg)
Harian (mg/ Intermitte (mg/Kg/
< 40
40-60
>60
kgBB / hari) BB/kali)
10
10
600
300
450
600
5
10
300
150
300
450
25
35
750
1000
1500
15
30
750
1000
1500
15
15
1000
Sesuai BB
750
1000
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan
menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB
merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer
pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1.
Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2.
Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
3.
Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
4.
Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5.
Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi
- Tuberkulosis -
Fase lanjutan
2 bulan
BB
30-37
38-54
55-70
>71
4 bulan
Atau 6 bulan
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3x/minggu
Harian
RHZE
150/75/400/275
RHZ
150/75/400
RHZ
150/150/500
RH
150/75
RH
150/150
EH
400/150
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
1,5
2
3
3
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO
merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
Efek Samping OAT :
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat
mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi
dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan
nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra)
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
- Tuberkulosis -
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna
merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila
obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema
pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 4. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping
Minor
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut
Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
Kemungkinan Penyebab
OAT diteruskan
Rifampisin
Pyrazinamid
INH
Rifampisin
Tatalaksana
Obat diminum malam sebelum tidur
Beri aspirin /allopurinol
Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mg
perhari
Beri penjelasan, tidak perlu diberi apaapa
Ethambutol
Rifampisin
- Tuberkulosis -
- Tuberkulosis -
maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan
kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal
2)
Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal
3)
Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik positif: pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang
sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji
resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten)
ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Penatalaksanaan TB paru di Rumah Sakit/ Klinik Praktek Dokter
- Tuberkulosis -
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1.
Pasien rawat jalan
a.
Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b.
Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c.
Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
2.
Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
Batuk darah (profus)
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
TB paru milier
Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat
D. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a.
Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b.
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
a.
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b.
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c.
Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan
pengobatan yang adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
E. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan
berobat.
Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi
penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
file://///Jad4/data-web/Back-Up/public_html%20-%20Klik%20PDPI-040805/konsensus/tb/tb.html (19 of 29)14/03/2006 0:39:37
- Tuberkulosis -
Kasus
- TB paru BTA +,
BTA - , lesi luas
II
- Kambuh
- Gagal pengobatan
II
III
IV
- Kronik
IV
- MDR TB
2RHZE / 4R3H3
Keterangan
-2 RHZES/1RHZE / 5 RHE
Bila streptomisin alergi,
dapat diganti kanamisin
-2 RHZES lalu sesuai hasil uji
resistensi atau
2RHZES/1RHZE / 5R3H3E3
Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama
berhenti minum obat dan keadaan klinik,
bakteriologik & radiologik saat ini (lihat
uraiannya) atau
2RHZ /4 R3H3
Sesuai uji resistensi (minimal 3 obat sensitif
dengan H tetap diberikan) atau
H seumur hidup
Sesuai uji resistensi + kuinolon atau H
seumur hidup
Catatan :
Obat yang digunakan dalam Program Nasional TB
- Tuberkulosis -
BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR) (Dr. Erlina)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat
pengobatan sebelumnya atau tidak
Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang
menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun
2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat
anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena di
lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah
dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop
lagi, demikian seterusnya
Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang
pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang
resisten
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu bioavailabiliti obat
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien
- Tuberkulosis -
MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin),
aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.
klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah
dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600 800 mg (obat dapat
diberikan single dose atau 2 kali sehari)
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu
minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-HIV,
konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan
kesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu kunci
penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.
BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan,
maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
Tanda / gejala meningitis
Sesak napas
Tanda / gejala toksik
Demam tinggi
Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 - 6
minggu.
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan kortikosteroid
Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB EKSTRA PARU (selain TB milier dan pleuritis TB)
Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB
kelenjar.
Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk :
Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
Pengobatan :* perikarditis konstriktiva
* kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk
menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu
D. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum cukup, maka pengobatan
dapat dilanjutkan
(bila perlu konsult ke ahli paru)
Gula darah harus dikontrol
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien DM
file://///Jad4/data-web/Back-Up/public_html%20-%20Klik%20PDPI-040805/konsensus/tb/tb.html (22 of 29)14/03/2006 0:39:37
- Tuberkulosis -
sering mengalami
komplikasi kelainan pada mata
Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil
urea),
sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan
E. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita AIDS. Indikasi untuk
melakukan tes HIV dapat dilihat pada
tabel 7 di bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary
Counseling and Testing/VCT)
Tabel 7. Indikasi tes darah HIV
Kombinasi dari A dan B ( 1 kelompok A dan 1
dari B)
A.
Berat badan turun drastis
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma kaposi
B.
Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat
Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis
serta jangka waktu yang tepat
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik
berat pada kulit
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada
hati
Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan
terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/
AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis
standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum
Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9
bulan setelah konversi dahak
INH diberikan terus menerus seumur hidup.
Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan MDR-TB
Waktu Memulai Terapi
Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan
rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)
Tabel 8. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
- Tuberkulosis -
Kondisi
Rekomendasi
3
TB paru, CD4 < 50 sel/mm , atau TB ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera mulai terapi ARV jika
toleransi terhadap AOT telah tercapai
3
Mulai
terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah 2 bulan
TB paru, CD4 50-200 sel/mm atau hitung limfosit
3
total < 1200 sel/mm
Mulai terapi TB. Jika memungkinkan monitor hitung
TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung limfosit
CD4. Mulai ARV sesuai indikasi* setelah terapi TB
total > 1200/mm3
selesai
*simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P. Carinii/ toksoplasmosis otak /
retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml)
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang
harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor protease.Rifampisin
jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis
nevirapin yang direkomendasikan
F.
TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI
Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping streptomisin pada
gangguan pendengaran janin
Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke
dalam ASI, akan
tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT, dianjurkan
tidak menyusui bayinya agar bayi
tidak mendapat dosis berlebihan
Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak
menggunakan kontrasepsi hormonal, karena
dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
1.
3.
Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi
akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
pengawasan kreatinin
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan
- Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
- Tuberkulosis -
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin,
SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama
itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium
normal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).
Sehingga paduan obat menjadi RHES
BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan
maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
BAB IX
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis
adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman
tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1.
Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2.
Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3.
Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly
Observed Therapy)
4.
Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5.
Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan sebagai
pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
A. Tujuan :
Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh
Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai
PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas
setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1.
Petugas kesehatan
2.
Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3.
Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat
file://///Jad4/data-web/Back-Up/public_html%20-%20Klik%20PDPI-040805/konsensus/tb/tb.html (25 of 29)14/03/2006 0:39:37
- Tuberkulosis -
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai perawatan untuk
pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
C. Langkah Pelaksanaan DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada
seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT dan
menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI, PKK,
atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :
Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat
mengambil obat dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat
pengunjung RS dll
Cara memberikan penyuluhan
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk
penatalaksanaan selanjutnya
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga
(brosur, leaflet dll)
DOTS PLUS
DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi DOTS
BAB X
PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
Terapi pencegahan
BAB XI
PENCATATAN DAN PELAPORAN
- Tuberkulosis -
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan
TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.
Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku
pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :
1.
Kartu pengobatan TB (01)
2.
Kartu identitas penderita TB (TB02)
3.
Register laboratorium TB (TB04)
4.
Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5.
Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6.
Formulir pindah penderita TB (TB09)
7.
Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan
direkap ke dalam formulir rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota
Catatan :
Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan pasien
tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra paru pada organ yang
penyakitnya paling berat
Contoh formulir terlampir
BAB XII
INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guideline program
penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat
internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar untuk diagnosis , 9 estndar
untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut
adalah :
1.
Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastiklan
penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis
2.
Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang dapat mengeluarkan
dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali.
Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3.
Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak) harus menjalani
pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus
dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4.
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani pemeriksaan dahak
secara mikrobiologi
5.
Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3 kali
pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada
respon terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb
sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan
biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6.
Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA negatif berdasarkan
foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay
positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari
file://///Jad4/data-web/Back-Up/public_html%20-%20Klik%20PDPI-040805/konsensus/tb/tb.html (27 of 29)14/03/2006 0:39:37
- Tuberkulosis -
- Tuberkulosis -
prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan
kultur dan uji sensitifity terhadap INH, Rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua. Paling kurang
diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk
memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di
bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya kontak dengan
pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai
dengan rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan
kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan keberhasilan
pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku
TUMOR
MEDIASTINUM
1973 - 2003
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN
II.
DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
B. Prosedur Radiologi
C. Prosedur Endoskopi
D. Prosedur Patologi Anatomik
E. Pemeriksaan Laboratorium
F. Tindakan Bedah
G. Pemeriksaan Lain
2
2
3
3
4
4
5
5
5
IIIPENATALAKSANAAN
A. Tumor Tinus
B. Tumor Sel Germinal
C. Tumor Neurogenik
D. Tumor Mesensimal dan Tumor Endokrin
6
6
8
9
10
10
10
DAFTAR PUSTAKA
VI LAMPIRAN
11
I. PENDAHULUAN
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang berada di
antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena,
trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.
Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan
organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. Kebanyakan tumor
mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar, disertai keluhan
dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya.
Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting :
1.
2.
3.
4.
Jenis tumor di rongga mediastinum dapat berupa tumor jinak atau tumor ganas dengan penatalaksanaan
dan prognosis yang berbeda, karenanya ketrampilan dalam prosedur diagnostik memegang peranan
sangat penting. Keterampilan yang memadai dan kerjasama antar disiplin ilmu yang baik (spesialis paru
dan pernapasan, radiologi diagnosik, patologi anatomi, bedah toraks, radioterapi dan onkologi medik)
dituntut agar diagnosis dapat cepat dan akurat. Seorang spesialis paru dan pernapasan hendaknya dapat
melakukan prosedur diagnostik standar dan bantuan sejawat lain terkadang dibutuhkan untuk melakukan
tindakan diagnostik yang subspesialistik. Karena jenis tumor sangat bervariasi dengan sifat yang
berebda-beda maka penatalaksanaan multidisiplin perlu dilakukan untuk tumor yang sering ditemukan.
Limfoma, timoma dan teratoma adalah jenis yang paling sering ditemukan, sebaliknya ada pula jenis
tumor yang jarang ditemukan. Hal itu menyebabkan penatalaksanaan untuk kasus jarang sering masih
diperdebatkan, baik di Indonesia maupun di negara lain.
Masalah lain yang didapat di lapangan adalah banyak kasus datang dengan kegawatan napas atau
kegawatan kardiovaskular, kondisi itu menyebabkan prosedur diagnosis terpaksa ditunda untuk
mengatasi masalah kegawatannya terlebih dahulu.
Data frekuensi tumor mediasinum di Indonesia antara lain didapat dari SMF Nedah Toraks RS
Persahabatan Jakarta dan RSUD Dr. Sutomo Surabaya. Pada tahun1970 - 1990 di RS Persahabatan
dilakukan operasi terhadap 137 kasus, jenis tumor yang ditemukan adalah 32,2% teratoma, 24% timoma,
8% tumor syaraf, 4,3% limfoma. Data RSUD Dr. Soetomo menjelaskan lokasi tumor pada mediastinum
anterior 67% kasus, mediastinum medial 29% dan mediastinum posterior 25,5%. Dari kepustakaan luar
negeri diketahui bahwa jenis yang banyak ditemukan pada tumor mediastinum anterior adalah limfoma,
timoma dan germ cell tumor.
Guideline ini dibuat untuk membantu pengambilan keputusan saat kasus datang dengan kondisi yang
berbeda-beda. Penatalaksanaan dalam guideline ini khusus membicarakan tumor mediastinum
nonlimfoma.
2
II. DIAGNOSIS
Untuk melakukan prosedur diagnostik tumor mediastinum perlu dilihat apakah pasien datang dengan
kegawatan (napas, kardiovaskular atau saluran cerna). Pasien yang datang dengan kegawatan napas
sering membutuhkan tindakan emergensi atau semiemergensi untuk mengatasi kegawatannya. Akibatnya
prosedur diagnostik harus ditunda dahulu sampai masalah kegawatan teratasi. Hal penting yang harus
diingat adalah jangan sampai tindakan emergensi tersebut menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkan jenis sel tumor yang dibutuhkan untuk memutuskan terapi yang tepat. Lihat alur prosedur
diagnosis dengan kegawatan dan tanpa kegawatan atau kegawatan telah dapat diatasi.
Secara umum diagnosis tumor mediastinum ditegakkan sebagai berikut:
A.
Gambaran Klinis
1.
Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat dilakukan foto
toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi peningkatan ukuran
tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur mediastinum, sedangkan tumor
ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekatan atau invasi ke struktur mediastinum.
Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat,
-
2.
batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea
dan/atau bronkus utama,
disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang
ganas dibandingkan dengan tumor jinak,
suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis diafragma
timbul apabila penekanan nervus frenikus
nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem syaraf.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya.
Kemungkinan tumor mediastinum dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan beberapa
keadaan klinis lain, misalnya:
-
B.
Prosedur Radiologi
1.
2.
Foto toraks
Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior, medial atau
posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan lokasi yang
pasti.
Tomografi
Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi pada lesi, yang
sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan kadang-kadang timoma. Tehnik ini
semakin jarang digunakan.
3.
radiasi beberapa jenis tumor mediastinum sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CTScan abdomen.
4.
5.
6.
7.
8.
C.
Flouroskopi
Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga aneurisma.
Angiografi
Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi dan
ekokardiogram.
Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke esofagus.
USG, MRI dan Kedokteran Nuklir
Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan terkadang harus dilakukan untuk
beberapa kasus tumor mediastinum.
Prosedur Endoskopi
1.
2.
3.
4.
D.
Mediastinokopi. TIndakan ini lebih dipilih untuk tumor yang berlokasi di mediastinum
anterior.
Esofagoskopi
Torakoskopi diagnostik
Pemeriksaan sitologi
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan sitologi
ialah:
biopsi, jarum halus (BJH atau fine needle aspiration biopsy, FNAB), dilakukan bila
ditemukan pembesaran KGB atau tumor supervisial.
punksi pleura bila ada efusi pleura
bilasan atau sikatan bronkus pada saat bronkoskopi
biopsi aspirasi jarum, yaitu pengambilan bahan dengan jarum yang dilakukan bila
terlihat masa intrabronkial pada saat prosedur bronkoskopi yang amat mudah
berdarah, sehingga biopsi amat berbahaya
biopsi transtorakal atau transthoracal biopsy (TTB) dilakukan bila massa dapat dicapai
dengan jarum yang ditusukkan di dinding dada dan lokasi tumor tidak dekat pembuluh
darah atau tidak ada kecurigaan aneurisma. Untuk tumor yang kecil (<3cm>, memiliki
banyak pembuluh darah dan dekat organ yang berisiko dapat dilakukan TTB dengan
tuntunan flouroskopi atau USG atau CT Scan.
2.
Pemeriksaan histologi
Bila BJH tidak berhasil menetapkan jenis histologis, perlu dilakukan prosedur di bawah ini:
biopsi KGB yang teraba di leher atau supraklavikula. Bila tidak ada KGB yang teraba,
dapat dilakukan pengangkatan jaringan KGB yang mungkin ada di sana. Prosedur ini
F.
biopsi mediastinal, dilakukan bila dengan tindakan di atas hasil belum didapat.
biopsi eksisional pada massa tumor yang besar
torakoskopi diagnostik
Video-assisted thoracic surgery (VATS), dilakukan untuk tumor di semua lokasi,
terutama tumor di bagian posterior.
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sering tidak memberikan informasi yang berkaitan
dengan tumor. LED kadang meningkatkan pada limfoma dan TB mediastinum.
Tindakan Bedah
Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik bila semua upaya diagnostik tidak berhasil
memberikan diagnosis histologis.
G.
Pemeriksaan Lain
EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma atau tumortumor lainnya. Kegunaan pemeriksaan ini adalah mencari kemungkinan miestenia gravis
atau myesthenic reaction.
III. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan sedangkan untuk tumor
ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum jenis limfoma Hodgkin's maupun non
Hondgkin's diobati sesuai dengan protokol untuk limfoma dengan memperhatikan masalah respirasi
selama dan setelah pengobatan.
Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umu adalah multimodality meski sebagian besar
membutuhkan tindakan bedah saja, karena resisten terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi banyak tumor
jenis lain membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi, sebagai terapi adjuvant atau
neoadjuvan.
Syarat untuk tindakan bedah elektif adalah syarat umum, yaitu pengukuran toleransi berdasarkan fungsi
paru, yang diukur dengan spirometri dan jika mungkin dengan body box. Bila nilai spirometri tidak sesuai
dengan klinis maka harus dikonfirmasi dengan analis gas darah. Tekanan O2 arteri dan Saturasi O2
darah arteri harus >90%.
Hb > 10 gr%
leukosit > 4.000/dl
trombosit > 100.000/dl
tampilan (performance status) >
70 Karnofsky
Jika digunakan obat antikanker yang bersifat radiosensitaizer maka radio kemoterapi dapat diberikan
secara berbarengan (konkuren). Jika keadaan tidak mengizinkan, maka kombinasi radiasi dan kemoterapi
diberikan secara bergantian (alternating: radiasi diberikan di antara siklus kemoterapi) atau sekuensial
(kemoterapi > 2 siklus, lalu dilanjutkan dengan radiasi, atau radiasi lalu dilanjutkan dengan kemoterapi).
Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi terjadinya melosupresi dan efek samping obat
atau toksisiti akibat tindakan lainnya.
A.
Tumor Tinus
1.
Klasifikasi histologis
a.
Timoma (klasifikasi Muller Hermelink)
Tipe medular
Tipe campuran
Tipe kortikal
Karsinoma timik
2.
3.
Penatalaksanaan Timoma
Stage 1 : Extended thymo thymecthomy (ETT) saja
: ETT, dilanjutkan dengan radiasi, untuk radiasi harus diperhatikan batas-batas tumor
Stage II
seperti terlihat pada CT sebelum pembedahan
Stage III : ETT dan extended resection dilanjutkan radioterapi dan kemoterapi
Stage
: Debulking dilanjutkan dengan kemoterapi dan radioterapi
IV.A
Stage
: kemoterapi dan radioterapi dilanjutkan dengan debulking
IV.B
Penatalaksanaan timoma tipe medular stage IV.A dapat diberikan kemoradioterapi adjuvant 2
siklus dilanjutkan radiasi 4000 cGy, diikuti debulking dan kemoterapi siklus berikutnya.
Penatalaksanaan timoma tipe medular stage IV.B bersifat paliatif, yaitu kemoterapi dan
radioterapi paliatif.
Penatalaksanaan timoma tipe medular stage I - II lebih dahulu dibedah, selanjutnya kemoterapi.
Pada stage III diberikan kemo/radioterapi neoadjuvant.
Pada timoma tipe campuran, penatalaksanaan disesuaikan dengan tipe histologik yang dominan.
4.
5.
Pada setiap kasus timoma, sebelum bedah harus terlebih dahulu dicari tanda miestenia gravis atau
myestenic reaction. Apabila sebelum tindakan bedah ditemukan maka dilakukan terlebih dahulu
plasmaferesis dengan tujuan mencuci antibody pada plasma darah penderita, paling cepat seminggu
sebelum operasi. Kesan yang menampakkan myesthenic reaction sebelum pembedahan harus terlebih
dahulu diobati sebagai miestenia gravis.
B.
1.
2.
Seminoma
Nonseminoma
Karsinoma embrional
Koriokarsinoma
Yolk sac carcinoma
Teratoma
Jinak (benign)
Ganas (malignant)
*
Imatur
Penatalaksanaan seminoma
Seminoma adalah tumor yang sensitif terhadap radiasi dan kemoterapi. Tidak ada indikasi bedah
untuk tumor jenis ini. Kemoterapi diberikan setelah radiasi selesai tetapi respons terapi akan lebih
baik dengan cara kombinasi radio-kemoterapi. Bila ada kegawatan napas, radiasi diberikan
secara cito, dilanjutkan dengan kemoterapi sisplatin based.
3.
4.
5.
C.
Tumor Neurogenik
1.
Klasifikasi Histologik
Berasal dari saraf tepi (peripheral nerves)
Neurofibroma
Neurilemoma (Schwannoma)
Neurosarkoma
Berasal dari ganglion simpatik (symphatetic ganglia)
Ganglioneuroma
Ganglioneuroblastoma
Neuroblastoma
Berasal dari jaringan paraganglionik
Fakreomasitoma
Kemodektoma (paraganglioma)
2.
D.
Catatan
:
Pada semua tindakan debulking, tumor mediastinum harus disiapkan pemasangan stent trakeobronkial,
untuk mencegah terjadinya kolaps bronkus setelah pembedah selesai.
Evaluasi efek samping kemoterapi dilakukan setiap akan memberikan siklus kemoterapi berikut dan/atau
setiap 5 fraksi radiasi (1000 cGy). Evaluasi untuk respons terapi dilakukan setelah pemberian 2 siklus
kemoterapi pada hari pertama siklus ke-3 atau setelah radiasi 10 fraksi (200 cGy) dengan atau foto
toraks. Jika ada respons sebagian (partial respons atau PR) atau stable disease (SD), kemoterapi dan
radiasi masih dapat dilanjutkan. Pengobatan dihentikan bila terjadi progressive disease (PD).
V. DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hainsworth JD, Greco FA. Mediastinal germ cell neoplasm. In: Roth JA, Ruckdeschel JC, Weisenburger TH. Editors. Thoracic
oncology. WB. Saunders Company. Philadelphia. 1989.p.478-89.
Masaoka A, Monden Y, Nakahara K, Tanioka T. Follow-up study of thymoma with special reference to their clinical stages. Cancer
1981: 48(11); 2485-92
McKenna WG, Bonomi P, Barnes M, Glatstein E. Malignancies of the thymus. In: Roth JA, Ruckdeschel JC, Weisenburger TH.
Thoracic oncology. WB. Saunders Company. Philadelphia. 1989.p.466-77
Nelems B. Neurogenic Tumors. In: Pearsons FG. Thoracic Surgery. Churcil Livingstone. New York. 1995.p.1475-81.
Roberts JR, Kaiser LR. Acquired lesions of the mediastinum : benign and malignant. In Fishman AP editors. Pulmonary diseases
rd
and disorders. 3 Edition. McGraww-Hill, New York. 1998.p.1509-37.
Rosenberg JC. Neoplasms of the mediastinum. In: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg JC. Editors.Cancer: principles and practice of
th
oncology. J.B. 4 edition. Lippincortt. Philadelphia 1993.p.759-74.
Waters PF. Germ cell tumors In: Pearsons FG. Thoracic Surgery. Churcil Livingstone. New York. 1995.p. 1428-38.
Wilkins EW. Thymoma. In: Pearsons FG. Thoracic Surgery. Churcil Livingstone. New York. 1995.p. 1419-27.
10
VI. LAMPIRAN
11
12
1973 - 2003
ASMA
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4
BAB II : DEFINISI ASMA ......................................................................................................... 6
BAB III : PATOGENESIS ASMA ............................................................................................. 7
INFLAMASI AKUT .......................................................................................................... 7
Reaksi Asma Tipe Cepat .......................................................................................... 7
Reaksi Fase Lambat .................................................................................................. 7
INFLAMASI KRONIK ..................................................................................................... 7
Limfosit T ................................................................................................................. 7
Epitel ......................................................................................................................... 8
EOSINOFIL ....................................................................................................................... 8
Sel Mast .................................................................................................................... 8
Makrofag .................................................................................................................. 10
AIRWAY REMODELING ................................................................................................ 10
BAB IV : EPIDEMIOLOGI ........................................................................................................
SURVEI KESEHATAN RUMAH TANGGA (SKRT) .....................................................
PENELITIAN LAIN ..........................................................................................................
RUMAH SAKIT ................................................................................................................
13
13
13
14
16
16
16
18
19
19
19
20
21
22
22
25
26
26
27
30
31
31
31
32
1
71
71
71
72
73
73
74
74
75
77
78
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan
dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktiviti
bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat
menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta
menurunkan kualiti hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan
kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan
peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena
asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis
dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan
akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan
bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth
National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health
Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan
untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan
kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman
tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti
petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di
layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah sakit dengan
fasiliti lengkap di pusat-pusat kota.
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit harus berdasarkan bukti medis (evidence based
medicine). Ada 4 kriteria bukti medis yaitu bukti A, B, C dan D. Bukti A adalah yang paling
tinggi nilainya dan sangat dianjurkan untuk diterapkan, sedangkan bukti D adalah yang paling
rendah. Pada tabel 1 dapat dilihat keempat kriteria tersebut. Petunjuk penatalaksanaan yang
dimuat di buku ini sebagian berdasarkan bukti medis.
C
D
Definisi
Bukti berasal dari RCTs yang dirancang dengan baik, dan
memberikan hasil dengan pola yang konsisten pada
populasi
yang
direkomendasikan.
Kategori
A
membutuhkan jumlah penelitian yang cukup dan
melibatkan jumlah partisipan yang cukup
Penelitian secara
acak dengan kontrol
(randomized
controlled trials/
RCTs)
Data terbatas
Penelitian tidak
secara acak.
Penelitian observasi
Keputusan
konsensus panel.
BAB II
DEFINISI ASMA
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Faktor-faktor risiko lingkungan (penyebab)
INFLAMASI
Hiperesponsif
jalan napas
Obstruksi jalan
napas
Pencetus
Gejala
BAB III
PATOGENESIS ASMA
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama
sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan
berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun
asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan
pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease
dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T ini
berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2
dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF
berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel
epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide
synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen
free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi.
Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6,
GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan
GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic
protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang
toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Penarikan sel
inflamasi
Sel-sel inflamasi
yang menetap
Edema &
permeabiliti
vaskular
Aktivasi sel
inflamasi
Penurunan
apoptosis
Penglepasan
mediator
inflamasi
Penglepasan
sitokin & faktor
pertumbuhan
Proliferasi otot
polos & kelenjar
mukus
Aktivasi fibroblas
& makrofag
Aktivasi dan
kerusakan sel
epitel
Peningkatan
hipereaktiviti
bronkus
Perbaikan
jaringan dan
remodeling
Gambar 3. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling
Inflamasi
akut
Gejala
(bronkokonstriksi)
Inflamasi
kronik
Airway
remodeling
Exacerbations
non-spesific
hyperreactivity
Obstruksi
persisten aliran
udara
Gambar 4. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling dengan
gejala klinis
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat
menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain
berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan
TGF-.
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan
(repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama
dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme
sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme
tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan
peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi selsel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks
ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
10
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi
atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya Airway
remodeling
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan asma.
Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi pada genotip
asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di
samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma
seperti lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat
pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat
pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi dan remodeling.
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan penglepasan
mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama
TGF- dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, plateletderived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai
mediator tersebut, TGF- adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial, sedangkan
mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF- dan efeknya
pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke submukosa.
Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan
embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit
11
(EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan
remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan remodeling yang
terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri, kelemahan
penyembuhan luka atau keduanya.
Teori TH-2 dan EMTU
Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin
proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan binatang yang menunjukkan
peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma
Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan tetapi
berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-4) yang dianggap berperan
penting dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan
remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi
.interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan
terjadinya airway remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu postulat bahwa kerusak sel
epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan gangguan fungsi
EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan remodeling
sebagai karakteristik asma kronik.
12
BAB IV
EPIDEMIOLOGI
13
RUMAH SAKIT
Rumah sakit Persahabatan, Jakarta merupakan pusat rujukan nasional penyakit paru di
Indonesia, dan salah satu rumah sakit tipe B di Jakarta, menunjukkan data perawatan penyakit
asma sebagai tergambar pada tabel 2.
Data dari RSUD dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan kasus rawat interval 4
tahun, yaitu tahun 1986, 1990, dan 1994. Didapatkan frekuensi proporsi rawat inap asma
menurun, hal tersebut kemungkinan karena keberhasilan penanganan asma rawat jalan dan
pemberian penyuluhan sehingga kasus asma yang dirawat menurun. Pada tabel 3 dapat dilihat
data rawat inap di UPF Paru RS dr. Soetomo, Surabaya.
Penelitian ISAAC mendapatkan prevalensi gejala asma dalam 12 bulan berdasarkan kuesioner
tertulis di beberapa negara. Pada gambar 5 dapat dilihat Indonesia berada di urutan paling rendah
dalam prevalensi asma.
Tabel 2. Data Layanan Asma di RS. Persahabatan, Jakarta
tahun 1998 - 2000
No Layanan Asma
1998
1999
2000
1
Rawat jalan
661
329
898
Jumlah penderita baru
2833
5213
Jumlah kunjungan
5269
2
Rawat inap
60
138
43
Jumlah penderita
3
Gawat darurat
1537
2210
Jumlah penderita
1653
4
Instalasi Perawatan
Intensif (IPI/ ICU)
10
6
3
Jumlah penderita
5
Case Fatality Rate
-3/138
1/43
Rawat inap
(2,32%) (2,17%)
14
2001
2002
2003
397
5481
104
2210
3
3/104
(2,9%)
Gawat Darurat
1/1653
(0,06%)
1/1537
(0,07%)
1/2210
(0,05%)
1/2210
(0,05%)
IPI/ ICU
1/3
33,3%)
--
2/10
(20%)
--
Tabel 3. Kasus Rawat Inap UPF Paru RSUD dr. Soetomo, Surabaya
Jawa Timur, tahun 1986 - 1990 1994
No
1986
1990
1
3
4
1994
222 (12,7%)
172 (9,3%)
153 (8,8%)
10 (4,7%)
70 %
50%
3 (1,9%)
67%
67%
2 (1,4%)
50%
50%
ALOS (hari) **
Laki/ perempuan
0,6
0,7
0,9
Gambar 7. Prevalensi asma (berdasarkan laporan gejala asma dari kuesioner tertulis) selama 12
bulan dari berbagai negara
15
BAB V
FAKTOR RISIKO
FAKTOR RISIKO TERJADINYA ASMA
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan
gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi
dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma,
Pengaruh lingkungan :
Alergen
Infeksi pernapasan
Asap rokok / polusi udara
Diet
Status sosioekonomi
Asimptomatik atau
Asma dini
FAKTOR PEJAMU
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi
genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma.
Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran
klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari
kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan
beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28,
IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat
16
dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1,
ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.
Genetik mengontrol respons imun
Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen) mempunyai ciri
dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada
kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan lainnya seperti gen TNF-. Banyak studi
populasi mengamati hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas
II dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15 dengan respons
terhadap alergen Amb av.
Genetik mengontrol sitokin proinflamasi
Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan
asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang
mengkode IFN-, mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase.
Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda pada lokus 12q,
asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Tabel 4. Faktor Risiko pada asma
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
Mite domestik
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan
17
Infeksi pernapasan
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi
terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam progresiviti inflamasi baik
pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13,
dan GMCSF. Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan
diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain
yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan
atopi.
FAKTOR LINGKUNGAN
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama
asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan
mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan
menetapnya gejala.
18
BAB VI
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal
paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
19
FAAL PARU
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya ,
demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan
pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan
penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk
menilai:
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
(APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP)
dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu
sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang
jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari
2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau
setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
20
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama
1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat
klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping itu
APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran
nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal;
kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan..
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan
nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari
sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator.
Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai
asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum
bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai
terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi
terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik (% of the
recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan
untuk menilai variabiliti.
21
Anak
KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai (tabel 5).
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan;
dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis
bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga
harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 6 menunjukkan bagaimana melakukan
penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang
dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.
22
Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai
asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten
berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten
berat dan asma intemiten (lihat tabel 6). Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma
persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi
penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian
pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai dengan
asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.
Tabel 5. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(Sebelum Pengobatan)
Derajat Asma
Gejala
Gejala Malam
I. Intermiten
II. Persisten
Ringan
III. Persisten
Sedang
IV. Persisten
Berat
Faal paru
Bulanan
* Gejala < 1x/minggu
* Tanpa gejala di luar
serangan
* Serangan singkat
APE 80%
* 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE < 20%
Mingguan
* Gejala > 1x/minggu,
tetapi < 1x/ hari
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti
dan tidur
Harian
* Gejala setiap hari
* Serangan mengganggu
aktiviti dan tidur
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinyu
* Gejala terus menerus
* Sering kambuh
* Aktiviti fisik terbatas
*
>
1x
seminggu
* Sering
APE 60 80%
60-80% nilai
/ * VEP1
prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
APE 60%
* VEP1 60% nilai prediksi
APE 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
23
Tahap 3
Persisten sedang
Tahap I : Intermiten
Gejala < 1x/ mgg
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/ bln
Faal paru normal di luar serangan
Intermiten
Persisten
Ringan
Persisten Sedang
Persisten
Ringan
Persisten
Sedang
Persisten Berat
Persisten
Sedang
Persisten Berat
Persisten Berat
Persisten
Berat
Persisten Berat
Persisten Berat
24
BAB VII
PROGRAM PENATALAKSANAAN ASMA
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti seharihari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1.
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2.
Mencegah eksaserbasi akut
3.
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4.
Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5.
Menghindari efek samping obat
6.
Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.
Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila :
1.
Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2.
Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3.
Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4.
Variasi harian APE kurang dari 20%
5.
Nilai APE normal atau mendekati normal
6.
Efek samping obat minimal (tidak ada)
7.
Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan
kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif dan
obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui
berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari
segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1.
Edukasi
2.
Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3.
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4.
Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5.
Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6.
Kontrol secara teratur
7.
Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah dan
dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi asma, yaitu :
1.
Mengenal seluk beluk asma
2.
Menentukan klasifikasi
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia
25
3.
4.
5.
6.
7.
EDUKASI
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita agar tetap
masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena berkurangnya serangan akut
terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi
tidak hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan
seperti :
profesi kesehatan (dokter, perawat, petugas farmasi, mahasiswa kedokteran dan petugas
kesehatan lain)
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma
sendiri)
meningkatkan kepuasan
Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan pertama
Kunjungan-kunjungan berikutnya
26
Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga
yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom rongga toraks dengan saluran napas dan
paru, gambar potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Hal yang
demikian mungkin diberikan di klinik konseling asma. Edukasi sudah harus dilakukan saat
kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama
mengenai cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat
dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.
Bentuk pemberian edukasi :
Ceramah
Latihan/ training
Supervisi
Diskusi
Film/video presentasi
Dll
Bagaimana meningkatkan kepatuhan penderita
Tidak dapat dipastikan bahwa penderita melakukan semua yang disarankan bila penderita
tidak menyetujuinya atau bila hanya dijelaskan satu kali/ belum memahami.
Kepatuhan dapat ditingkatkan jika penderita :
27
Kunjungan
pertama
(First followup)
Kunjungan ke
dua (second
follow-up)
Setiap
kunjungan
berikut
28
Bahan Edukasi
Demonstrasi
Diagnosis asma
Identifikasi
&
mengontrol
pencetus
Penilaian berat asma
Medikasi (apa yang dipakai,
bagaimana & kapan, adakah
masalah dengan pengobatan
tsb.)
Penanganan serangan asma di
rumah
Identifikasi & mengontrol
pencetus
Penanganan serangan asma di
rumah
Medikasi
Monitor asma (gejala & faal
paru/ APE)
Penanganan asma mandiri/
pelangi asma (bila penderita
mampu)
Strategi mengontrol pencetus
Medikasi
Monitoring asma.
Pelangi asma bila penderita
mampu
Penderita
menunjukkan
cara
menggunakan obat inhalasi &
koreksi bila perlu
Demonstrasi penggunaan
peak
flow meter (oleh penderita/ dokter)
Pelangi asma (bila dilakukan)
Penderita
menunjukkan
cara
menggunakan obat inhalasi/ spacer,
koreksi oleh dokter bila perlu
Penggunaan peak flow meter
Monitor asma & tindakan apa yang
dapat dilakukan (idem di atas)
Obat inhalasi
Peak flow meter
Monitor pelangi
dilakukan)
asma
(bila
Faktor di luar
obat
29
Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga membantu
penanganan asma terutama asma mandiri.
Frekuensi kunjungan bergantung kepada berat penyakit dan kesanggupan penderita dalam
memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up) pertama dilakukan < 1 bulan ( 1-2
minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap kunjungan layak ditanyakan kepada penderita;
apakah keadaan asmanya membaik atau memburuk dibandingkan kunjungan terakhir.
Kemudian dilakukan penilaian pada keadaan terakhir atau 2 minggu terakhir sebelum
berkunjung dengan berbagai pertanyaan.
Tabel 9. Pertanyaan kondisi terakhir/ 2 minggu terakhir sebelum berkunjung
Apakah batuk, sesak napas, mengi dan dada terasa berat dirasakan setiap hari
Berapa sering terbangun bila tidur malam karena sesak napas atau batuk atau mengi
30
dan membutuhkan obat asma. Serta bila dini hari/ subuh adakah keluhan tersebut
Apakah gejala asma yang ada seperti mengi, batuk, sesak napas mengganggu
kegiatan/ aktiviti sehari-hari, membatasi kegiatan olah raga/ exercise, dan seberapa
sering hal tersebut mengganggu
Berapa sering menggunakan obat asma pelega
Berapa banyak dosis obat pelega yang digunakan untuk melegakan pernapasan
Apa kiranya yang menimbulkan perburukan gejala asma tersebut
Apakah sering mangkir sekolah/ kerja karena asma, dan berapa sering.
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia
Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak napas)
Gejala asma pada dini hari yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 15 menit
pengobatan agonis beta-2 kerja singkat
Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru yang umumnya dapat dilakukan pada penderita usia di atas 5 tahun
adalah untuk diagnosis, menilai berat asma, dan selain itu penting untuk memonitor keadaan
asma dan menilai respons pengobatan. Penilaian yang buruk mengenai berat asma adalah salah
satu penyebab keterlambatan pengobatan yang berakibat meningkatnya morbiditi dan mortaliti.
Pemeriksaan faal paru pada asma dapat dianalogkan dengan pemeriksaan tekanan darah pada
hipertensi , atau pemeriksaan kadar gula darah pada diabetes melitus. Dengan kata lain
pemeriksaan faal paru adalah parameter objektif dan pemeriksaan berkala secara teratur mutlak
dilakukan.
Spirometri
Sebaiknya spirometri dilakukan pada :
1.
awal penilaian / kunjungan pertama
2.
setelah pengobatan awal diberikan, bila gejala dan APE telah stabil
3.
pemeriksaan berkala 1 - 2 tahun untuk menilai perubahan fungsi jalan napas,
sering bergantung berat penyakit dan respons pengobatan.
atau
lebih
31
respons pengobatan jangka panjang, justifikasi objektif dalam memberikan pengobatan dan
identifikasi pencetus misalnya pajanan lingkungan kerja.
Pemeriksaan APE mudah, sederhana, kuantitatif dan reproducible untuk menilai ada dan
berat obstruksi jalan napas. Peak flow meter relatif murah dan dapat dibawa kemana-mana,
sehingga pemeriksaan itu tidak hanya dapat dilakukan di klinik, rumah sakit tetapi dapat
dilakukan di fasiliti layanan medik sederhana (puskesmas), praktek dokter bahkan di rumah
penderita. Pengukuran APE membutuhkan instruksi yang jelas bila perlu dengan demonstrasi
yang berulang (lihat teknik pemeriksaan APE dengan peak flow meter, lampiran 1).
Pengukuran APE dianjurkan pada:
1.
Penanganan serangan akut di darurat gawat, klinik, praktek dokter, dan oleh penderita di
rumah
2.
Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik, praktek dokter
3.
Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5
tahun, terutama bagi penderita setelah perawatan di rumah sakit, penderita yang sulit/ tidak
mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
Interpretasi pengukuran APE
Nilai prediksi APE didapat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras, serta
batasan normal variabiliti diurnal berdasarkan literatur. Tetapi pada umumnya penderita asma
mempunyai nilai APE di atas atau di bawah rata-rata nilai-nilai prediksi tersebut. Sehingga
direkomendasikan, objektif APE terhadap pengobatan adalah berdasarkan nilai terbaik masingmasing penderita, demikian pula variabiliti harian penderita, daripada berdasarkan nilai
normal/prediksi. Setiap penderita mempunyai nilai terbaik yang berbeda walaupun sama berat
badan, tinggi badan, dan jenis kelamin. Penting untuk mendapat nilai terbaik tersebut, karena
rencana pengobatan sebaiknya berdasarkan nilai terbaik, bukan nilai prediksi. Kecuali pada
keadaan sulit mendapatkan nilai terbaik, misalnya penderita tidak dapat melakukan sendiri di
rumah, asma sulit terkontrol dan sebagainya ; maka dapat digunakan nilai prediksi, lihat nilai
prediksi orang Indonesia (lampiran 2).
Nilai terbaik APE dengan peak flow meter
Mendapatkan nilai APE terbaik dan variabiliti harian yang minimum adalah saat penderita
dalam pengobatan efektif dan kondisi asma terkontrol, dilakukan pengukuran APE pagi dan
malam setiap hari selama 2 minggu. Pada masing-masing pengukuran dilakukan manuver 3 kali
dan diambil nilai tertinggi, jika dalam pengobatan bronkodilator maka pengukuran APE
dilakukan sebelum dan sesudah bronkodilator. Nilai APE terbaik adalah nilai APE tertinggi yang
dapat dicapai selama periode penilaian (2 minggu) tersebut, saat dalam pengobatan efektif dan
asma terkontrol. Bila nilai APE terbaik yang didapat <80% prediksi walau setelah bronkodilator,
atau variabiliti harian > 20% (setelah bronkodilator); maka pengobatan agresif diberikan untuk
mendapatkan nilai terbaik dan monitor harian dilanjutkan. Pengobatan agresif adalah steroid oral
30 mg /hari selama 5-10 hari selain pengobatan rutin lainnya sesuai berat asma. Dalam
pengobatan agresif tersebut, monitor APE dilanjutkan dan diambil nilai APE tertinggi sebagai
nilai APE terbaik (personal best)
32
Variabiliti harian
Variabiliti APE merupakan petunjuk stabiliti dan berat asma. Salah satu metode yang
digunakan adalah nilai APE harian yaitu perbedaan nilai APE pagi dan nilai APE malam
sebelumnya. Metode lain adalah APE minimum pagi selama 2 minggu menunjukkan % the
recent best (lihat diagnosis), adalah petunjuk terbaik menilai labiliti jalan napas karena dilakukan
setiap hari, berkorelasi dengan hiperesponsif jalan napas dan perhitungannya mudah.
Penggunaan APE untuk pengelolaan asma mandiri
Untuk membantu pengelolaan asma dengan peran aktif penderita (asma mandiri) dapat
digunakan sistem zona (pelangi asma). Sistem ini berkorelasi dengan pengukuran APE dan
variabiliti harian dengan pengobatan yang sesuai untuk mendapatkan asma terkontrol. Setiap
zona (daerah warna) ditetapkan sebagai fungsi dari nilai terbaik atau nilai prediksi, berdasarkan
nilai APE tertinggi atau variabilitinya. Penekanan bukan semata-mata kepada membacanya,
tetapi lebih kepada variabilitinya dari nilai terbaik atau dari waktu satu ke waktu lainnya.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu kesepakatan dokter dan
penderita dalam pengobatan /self medication seperti:
Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat
33
Medikasi (obat-obatan)
Tahapan pengobatan
34
Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Leukotrien modifiers
Lain-lain
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada
dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan
bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya
dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin
Rute pemberian medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas
(inhalasi) adalah :
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat
bila diberikan inhalasi daripada oral.
35
Breath-actuated MDI
Turbuhaler
Nebuliser
Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan
menarik napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar
penderita trampil. Penggunaan alat Bantu (spacer) mengatasi kesulitan tersebut dan memperbaiki
penghantaran obat melalui IDT (bukti A). Selain spacer juga mengurangi deposit obat di mulut
dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila
dalam inhalasi kortikosteroid (bukti A); serta mengurangi bioavailibiliti sistemik dan risiko efek
samping sistemik.(bukti B). Berbagai studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi
agonis beta-2 kerja singkat dengan IDT dan spacer `memberikan efek bronkodilatasi yang sama
dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dan spacer terbukti memberikan
efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui DPI (bukti B).
Kelebihan dry powder inhalation/DPI adalah tidak menggunakan campuran yaitu propelan
freon, dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi hanya dibutuhkan
kecepatan aliran udara inspirasi minimal, oleh sebab itu DPI sulit digunakan saat eksaserbasi,
sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi
mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung klorofluorokarbon sehingga lebih
baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi. Klorofluorokarbon
(CFC) pada IDT, sekarang telah diganti hidrofluoroalkan (HFA). Pada obat bronkodilator dosis
dari CFC ke HFA adalah ekivalen; tetapi pada kortikosteroid, HFA menghantarkan lebih banyak
partikel yang lebih kecil ke paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan juga efek samping
sistemiknya. Dengan DPI obat lebih banyak terdeposit dalam saluran napas dibanding IDT,
tetapi studi menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang
sama melalui DPI (bukti B). Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat
antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT
atau sebaliknya.
Pengontrol
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan
aman pada dosis yang direkomendasikan.
36
Dosis tinggi
>1000 ug
>800 ug
>2000 ug
>500 ug
>2000 ug
Dosis tinggi
>800 ug
>400 ug
>1250 ug
>500 ug
>1200 ug
Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah inhalasi, pada tabel
11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glukokortikosteroid berdasarkan perbedaan
tersebut.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis
steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru,
hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila
dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan
derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol lainnya daripada
meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut (bukti A).
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah
dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar
setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru.
Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan
dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh
berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi
berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid
dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran.
Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping
sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi
tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan
metabolisme kalsium dan densiti tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid
inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia
37
efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa
harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum
terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan
steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di
Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten
sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya
mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
Cepat
Fenoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat
Lama
Formoterol
Salmeterol
39
glukokortikosteroid inhalasi tersebut (bukti A). Karena pengobatan jangka lama dengan agonis
beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti A). Penambahan agonis beta-2 kerja
lama inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi, memperbaiki gejala,
menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis beta-2 kerja
singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma (bukti A). Berbagai studi
menunjukkan bahwa penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi (salmeterol atau formoterol)
pada asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi,
akan memperbaiki faal paru dan gejala serta mengontrol asma lebih baik daripada meningkatkan
dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat (bukti A). Berbagai penelitian juga menunjukkan
bahwa memberikan glukokortikosteroid kombinasi dengan agonis beta-2 kerja lama dalam satu
kemasan inhalasi adalah sama efektifnya dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi
yang terpisah (bukti B); hanya kombinasi dalam satu kemasan (fixed combination) inhaler lebih
nyaman untuk penderita, dosis yang diberikan masing-masing lebih kecil, meningkatkan
kepatuhan, dan harganya lebih murah daripada diberikan dosis yang ditentukan masing-masing
lebih kecil dalam 2 kemasan obat yang terpisah.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada
pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah
salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi
sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak.
Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme
kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya
zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya
montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator
minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa
penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid
inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan
asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Diketahui
sebagai terapi tambahan tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama
(bukti B). Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah
diberikan. Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan
pengobatan leukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor
fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.
Pelega
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah
beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
40
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja
sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari
sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise-induced asthma (bukti A). Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan
bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari
adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula,
gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja
singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral..
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral.
Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan
terapi inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan
agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat (bukti A).
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis
adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan
dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu
dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat
dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya
tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui
dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus
kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan
iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan
bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan
menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna (bukti B). Oleh karena disarankan
menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang
respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak
bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang
menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia
41
dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai
efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis
beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus
dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside
monitoring).
Metode alternatif pengobatan asma
Selain pemberian obat pelega dan obat pengontrol asma, beberapa cara dipakai orang untuk
mengobati asma. Cara`tersebut antara lain homeopati, pengobatan dengan herbal, ayuverdic
medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi, buteyko, akupuntur,
hypnosis dan lain-lain. Sejauh ini belum cukup bukti dan belum jelas efektiviti metode-metode
alternatif tersebut sebagai pengobatan asma.
Tahapan penanganan asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti telah dijelaskan
sebelumnya (lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi
seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui
pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk
glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan
agonis beta-2 kerja lama untuk segera mengontrol asma (bukti D); setelah asma terkontrol dosis
diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma
terkontrol. Cara itu disebut stepdown therapy. Pendekatan lain adalah step-up therapy yaitu
memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan
untuk mencapai asma terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy untuk
penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya menekan inflamasi jalan napas dan
mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi sampai seminimal
mungkin dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan asma yang tetap tidak terkontrol
dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah 1 bulan terapi), maka pertimbangkan
untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan pengobata asma sesuai beratnya
gejala.
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen, asmanya
kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula penderita exerciseinduced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut
gejala tidak ada dan faal paru normal.
42
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila
terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma persisten
sedang (bukti B).
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan (bukti A),
atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene
modifiers (bukti B); atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin (bukti B). Bila
terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja
singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau
antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.
Tabel 13. Pengobatan sesuai berat asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma
Medikasi
Alternatif / Pilihan lain
Alternatif lain
pengontrol harian
Asma
Tidak perlu
-------------Intermiten
Asma Persisten
Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat
-----Ringan
inhalasi
Kromolin
(200-400 ug BD/hari Leukotriene modifiers
atau ekivalennya)
Asma Persisten Kombinasi inhalasi
Ditambah agonis
Glukokortikosteroid
Sedang
glukokortikosteroid
beta-2 kerja lama
inhalasi (400-800 ug BD
(400-800 ug BD/hari
oral, atau
atau ekivalennya)
atau ekivalennya)
ditambah Teofilin lepas
dan
lambat ,atau
Ditambah teofilin
agonis beta-2 kerja
lepas lambat
lama
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
43
Asma Persisten
Berat
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(> 800 ug BD atau
ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja
lama, ditambah 1 di
bawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Prednisolon/
metilprednisolon oral
selang sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral, ditambah
teofilin lepas lambat
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan
kondisi asma tetap terkontrol
Tabel 14. Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang
Tujuan:
Asma yang terkontrol
Menghilangkan atau meminimalkan gejala
kronik, termasuk gejala malam
Menghilangkan/ meminimalkan serangan
Meniadakan kunjungan ke darurat gawat
Meminimalkan penggunaan bronkodilator
Aktiviti sehari-hari normal, termasuk
latihan fisis (olahraga)
Meminimalkan/ menghilangkan efek
samping obat
Tujuan:
Mencapai kondisi sebaik mungkin
44
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan
sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan pelega/
bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat
menjadi tahapan berikutnya.
Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya)
terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari (bukti A). Jika penderita hanya
mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau ekivalennya) dan
belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya.
Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan
menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu
kemasan (fix combination) agar lebih mudah.
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan ,
tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat
dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita
telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan
mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik,
variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai
hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu
pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug
BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari (bukti A). Kadangkala
kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari
daripada 2 kali sehari (bukti A).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat sebagai
alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi
yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi) (bukti B). Jika
sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal
mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian
budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi
glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti
sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid
nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.
Indikator asma tidak terkontrol
Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau exercise-induced
asthma)
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia
45
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda (indikator) tersebut di atas,
alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka tetapkan langkah terapi, apakah perlu
ditingkatkan atau tidak.
Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol :
Kepatuhan
: Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita
menggunakan obat-obatan asma
Lingkungan
: Tanyakan penderita, adakah perubahan di
sekitar lingkungan penderita atau lingkungan
tidak terkontrol
Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis, bronkitis dan lainlain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain.
Penanganan Asma Mandiri
Hubungan penderita-dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk terjadi kepatuhan dan
efektif penatalaksanaan asma. Dengan kata lain dokter penting untuk berkomunikasi dengan
penderita/ keluarga, dengarkan mereka, ajukan pertanyaan terbuka dan jangan melakukan
penilaian sebelumnya, lakukan dialog sederhana dan berikan nasehat atau komentar sesuai
kemampuan/ pendidikan penderita. Komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan
keluhan atau pernyataan penderita adalah kunci keberhasilan pengobatan.
Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/
memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma. Bila memungkinkan, ajaklah
perawat, farmasi, tenaga fisioterapi pernapasan dan lain-lainnya untuk membantu memberikan
edukasi dan menunjang keberhasilan pengobatan penderita.
Tabel 15. Pelangi asma
Pelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri
Hijau
Kondisi baik, asma terkontrol
Tidak ada / minimal gejala
APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaik
Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada
pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi
Kuning
Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/ eksaserbasi
Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat
baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaik
Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi
46
Merah
Berbahaya
Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari.
APE < 60% nilai dugaan/ terbaik
Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati
dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau
ke rumah sakit.
Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi kronik dan
bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita memantau kondisinya sendiri,
identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita
membutuhkan bantuan medis/ dokter. Penderita diperkenalkan kepada 3 daerah (zona) yaitu
merah, kuning dan hijau dianalogkan sebagai kartu menuju sehat balita (KMS) atau lampu lalu
lintas untuk memudahkan pengertian dan diingat penderita. Zona`merah berarti berbahaya,
kuning hati-hati dan hijau adalah baik tidak masalah. Pembagian zona berdasarkan gejala dan
pemeriksaan faal paru (APE) .Agar penderita nyaman dan tidak takut dengan pencatatan tersebut,
maka diberikan nama pelangi asma. Setiap penderita mendapat nasehat/ anjuran dokter yang
bersifat individual bergantung kondisi asmanya, akan tetapi aturan umum pelangi asma adalah
seperti pada tabel 15.
47
Ringan
Berjalan
Berat
Istirahat
Duduk
Duduk membungkuk
Beberapa kata
Gelisah
<20/ menit
< 100
10 mmHg
-
20-30/ menit
100 120
+ / - 10 20 mmHg
> 30/menit
> 120
+
> 25 mmHg
+
Akhir ekspirasi
APE
Akhir ekspirasi
paksa
> 80%
60 80%
Inspirasi dan
ekspirasi
< 60%
PaO2
> 80 mHg
80-60 mmHg
< 60 mmHg
< 45 mmHg
< 45 mmHg
> 45 mmHg
> 95%
91 95%
< 90%
Cara berbicara
Kesadaran
Frekuensi napas
Nadi
Pulsus paradoksus
Otot Bantu Napas dan
retraksi suprasternal
Mengi
PaCO2
SaO2
Dapat tidur
terlentang
Satu kalimat
Mungkin gelisah
Keadaan
Mengancam jiwa
Mengantuk, gelisah,
kesadaran menurun
Bradikardia
Kelelahan otot
Torakoabdominal
paradoksal
Silent Chest
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan,
apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada obat
tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan
dokternya (lihat bagan penatalaksanaan asma di rumah). Bila sampai membutuhkan
pertolongan dokter dan atau fasiliti rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan
memberikan penanganan yang tepat (lihat bagan penatalaksanaan asma akut di rumah sakit).
Kondisi di Indonesia dengan fasiliti layanan medis yang sangat bervariasi mulai dari
puskesmas sampai rumah sakit tipe D A, akan mempengaruhi bagaimana penatalakasanaan
asma saat serangan akut terjadi sesuai fasiliti dan kemampuan dokter yang ada. Serangan yang
ringan sampai sedang relatif dapat ditangani di fasiliti layanan medis sederhana, bahkan
serangan ringan dapat diatasi di rumah. Akan tetapi serangan sedang sampai berat sebaiknya
dilakukan di rumah sakit (lihat bagan penatalaksanaan serangan akut sesuai berat serangan
dan tempat pengobatan)
48
Pengobatan awal
Oksigenasi dengan kanul nasal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis
beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator
- dalam kortikosteroid oral
Respons baik
Pem.fisis normal
Pulang
Dirawat di RS
Dirawat di ICU
Perbaikan
Tidak perbaikan
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik.
Tetap berikan pengobatan oral atau
inhalasi
Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6 12 jam
49
Mengancam jiwa
Gagal napas
50
Respons baik
Gejala (batuk/ berdahak/ sesak/ mengi ) membaik
Perbaikan dengan agonis beta-2 & bertahan selama
4 jam. APE > 80% prediksi / nilai terbaik
Respons buruk
Gejala menetap atau bertambah
berat
APE < 60% prediksi / nilai
terbaik
Tambahkan
kortikosteroid oral
Segera
Ke dokter / IGD/ RS
51
PENGOBATAN
Terbaik:
Inhalasi agonis beta-2
Alternatif:
Kombinasi oral agonis beta-2
dan teofilin
SEDANG
Jalan jarak jauh
timbulkan gejala
Berbicara beberapa
kata dalam satu napas
Nadi 100-120
APE 60-80%
Terbaik
Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam
Alternatif:
-Agonis beta-2 subkutan
-Aminofilin IV
-Adrenalin 1/1000 0,3ml SK
TEMPAT PENGOBAT
Di rumah
Di praktek dokter/
klinik/ puskesmas
Darurat Gawat/ RS
Klinik
Praktek dokter
Puskesmas
Terbaik
Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam
Alternatif:
-Agonis beta-2 SK/ IV
-Adrenalin 1/1000 0,3ml SK
MENGANCAM JIWA
Kesadaran berubah/
menurun
Gelisah
Sianosis
Gagal napas
52
Darurat Gawat/ RS
Klinik
Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi dapat
berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau nebulisasi. IDT dengan spacer
menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih cepat, efek
samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah
dikerjakan di rumah maupun di darurat gawat/ rumah sakit (bukti A). Walaupun pada beberapa
keadaan pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di rumah tidak
tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral agonis
kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot setiap 3-4 jam,
atau oral setiap 6-8 jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan tersebut di atas
menghasilkan respons komplet (APE > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan respons tersebut bertahan
minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48 jam. Pada penderita dalam
inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 , tingkatkan dosis steroid inhalasi, maksimal sampai
dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya. Anjurkan penderita untuk mengunjungi dokter. Bila
memberikan respons komplet, pertahankan terapi tersebut sampai dengan 5-7 hari bebas
serangan, kemudian kembali kepada terapi sebelumnya. Pada serangan asma sedang -berat,
bronkodilator saja tidak cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya terjadi
bronkospasme tetapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena itu mutlak dibutuhkan
kortikosteroid. Dengan kata lain pada keadaan tidak ada respons dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat dianjurkan menggunakan glukokortikosteroid
oral 0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama, dan segera ke dokter.
Penatalaksanaan di Rumah sakit
Serangan akut berat adalah darurat gawat dan membutuhkan bantuan medis segera,
penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/ gawat darurat.
Penilaian
Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan termasuk gejala, pemeriksaan
fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru; untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat.
Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan
keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan.
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah digunakan, respons
pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya
risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu:
Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam satu tahun
terakhir
Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja menghentikan
salbutamol atau ekivalennya
Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk penggunaan sedasi
53
dan bila dianjurkan penilaian fungsi paru yaitu APE. Pada serangan asma, VEP1 atau APE
sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan, tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemantauan
saturasi oksigen sebaiknya dilakukan terutama pada penderita anak, karena sulitnya melakukan
pemeriksaan APE/ VEP1 pada anak dan saturasi O2 92 % adalah prediktor yang baik yang
menunjukkan kebutuhan perawatan di rumah sakit. Pemeriksaan analisis gas darah, tidak rutin
dilakukan, tetapi sebaiknya dilakukan pada penderita dengan APE 30-50% prediksi/ nilai terbaik,
atau tidak respons dengan pengobatan awal, dan penderita yang membutuhkan perawatan.
Demikian pula dengan pemeriksaan foto toraks, tidak rutin dlakukan, kecuali pada keadaan
penderita dengan komplikasi proses kardiopulmoner (pneumonia, pneumomediastinum,
pneumotoraks, gagal jantung, dan sebagainya), penderita yang membutuhkan perawatan dan
penderita yang tidak respons dengan pengobatan.
Pengobatan
Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut.
Oksigen:
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen 90%
dan dipantau dengan oksimetri.
Agonis beta-2:
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek
samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat (bukti
A). Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi (bukti B) dan sebaiknya diberikan sebelum
pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit (bukti
A) dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1) (bukti B). Alternatif pemberian adalah pemberian
injeksi (subkutan atau intravena), pada pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat
(bedside monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin)
subkutan atau intramuskular. Bila dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin
intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan
NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang
menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya; untuk
mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9
mg/ kgBB/ jam.
Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma
derajat manapun kecuali serangan ringan (bukti A), terutama jika:
Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak memberikan
respons
perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 6080 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam
perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat (bukti B).
Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari . Pengamatan
menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu
lama sampai beberapa minggu (bukti B).
Antibiotik
Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia, bronkitis
akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang
sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada
keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/ gangguan pernapasan kronik) dan
bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram
positif dan atipik; yaitu makrolid , golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/ amoksisilin
dengan asam klavulanat.
Lain-lain
Mukolitik tidak menunjukkan manfaat berarti pada serangan asma, bahkan memperburuk
batuk dan obstruksi jalan napas pada serangan asma berat. Sedasi sebaiknya dihindarkan karena
berpotensi menimbulkan depresi napas. Antihistamin dan terapi fisis dada (fisioterapi) tidak
berperan banyak pada serangan asma.
Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas), bergantung
kepada fasiliti yang tersedia :
Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi)
Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan pertolongan saat itu
Penderita dirawat inap bila VEP1 atau APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/
prediksi; atau VEP1 /APE < 40% nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal diberikan
Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60% nilai terbaik/
prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut adekuat dan kepatuhan
berobat.
Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE > 60% nilai terbaik/
prediksi, umumnya dapat dipulangkan
55
Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan adekuat
Gagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2 < 60 mmHg dan atau PaCO2 >
45 mmHg, saturasi O2 90% pada penderita anak. Gagal napas dapat terjadi dengan PaCO2
rendah atau meningkat.
Intubasi dan Ventilasi mekanis
Intubasi dibutuhkan bila terjadi perburukan klinis walau dengan pengobatan optimal,
penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2 meningkat terus. Tidak ada kriteria absolut untuk
intubasi, tetapi dianjurkan sesuai pengalaman dan ketrampilan dokter dalam penanganan
masalah pernapasan. Penanganan umum penderita dalam ventilasi mekanis secara umum adalah
sama dengan penderita tanpa ventilasi mekanis, yaitu pemberian adekuat oksigenasi,
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik.
KONTROL TERATUR
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan oleh dokter
yaitu :
1.
Tindak lanjut (follow-up) teratur
2.
Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila diperlukan
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya bila terjadi serangan akut,
tetapi kontrol teratur terjadual, interval berkisar 1- 6 bulan bergantung kepada keadaan asma. Hal
tersebut untuk meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan mengupayakan penurunan terapi
seminimal mungkin.
Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :
Tanda dan gejala tidak jelas(atipik), atau masalah dalam diagnosis banding, atau
komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis, polip hidung, aspergilosis
(ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK
Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji kulit (uji
alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih (kardiopulmonary
exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.
melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan asma akibat olahraga, maka dianjurkan
menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan olahraga.
Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena
melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga
umumnya. Senam asma Indonesia dikenalkan oleh Yayasan Asma Indonesia dan dilakukan di
setiap klub asma di wilayah yayasan asma di seluruh Indonesia. Manfaat senam asma telah
diteliti baik manfaat subjektif (kuesioner) maupun objektif (faal paru); didapatkan manfaat yang
bermakna setelah melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3 6 bulan, terutama
manfaat subjektif dan peningkatan VO2max.
(Senam Asma Indonesia : lihat Bab Yayasan .Asma Indonesia)
Berhenti atau tidak pernah merokok
Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan menyebabkan ketidak
seimbangan protease antiprotease. Penderita asma yang merokok akan mempercepat perburukan
fungsi paru dan mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau emfisema sebagaimana
perokok lainnya dengan gambaran perburukan gejala klinis, berisiko mendapatkan kecacatan,
semakin tidak produktif dan menurunkan kualiti hidup. Oleh karena itu penderita asma
dianjurkan untuk tidak merokok. Penderita asma yang sudah merokok diperingatkan agar
menghentikan kebiasaan tersebut karena dapat memperberat penyakitnya.
Lingkungan Kerja
Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor pencetus serangan asma, terutama
pada penderita asma kerja. Penderita asma dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang tidak
mengandung bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan asma. Apabila serangan asma sering
terjadi di tempat kerja perlu dipertimbangkan untuk pindah pekerjaan. Lingkungan kerja
diusahakan bebas dari polusi udara dan asap rokok serta bahan-bahan iritan lainnya.
57
BAB VIII
OBAT ASMA
Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan asma yang bertujuan
mengurangi dampak penyakit dan kualiti hidup; yang dikenal dengan tujuan pengelolaan asma.
Pemahaman bahwa asma bukan hanya suatu episodik penyakit tetapi asma adalah suatu penyakit
kronik menyebabkan pergeseran fokus penanganan dari pengobatan hanya untuk serangan akut
menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan, mengontrol atau
mengubah perjalanan penyakit.
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu antiinflamasi
merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan
dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan pengobatan saat serangan untuk
mengatasi eksaserbasi/ serangan, dikenal dengan pelega.
Tabel 18. Obat asma yang tersedia di Indonesia (tahun 2004)
Jenis Obat
Golongan
Nama Generik
Pengontrol
Antiinflamasi
Steroid Inhalasi
Flutikason propionat
Budesonide
Kromolin
Nedokromil
Zafirlukast
Metilprednisolon
Prednisolon
Prokaterol
Bambuterol
Formoterol
IDT
IDT, Turbuhaler
IDT
IDT
Oral (tablet)
Oral ,Injeksi
Oral
Oral
Oral
Turbuhaler
Salbutamol
Sodium kromoglikat
Nedokromil
Antileukotrin
Kortikosteroid sistemik
Agonis beta-2 kerja lama
Pelega
Bronkodilator
Prokaterol
Fenoterol
Ipratropium bromide
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat
Formoterol
Metilprednisolon
Prednison
IDT, Solutio
Oral
Oral, Injeksi
Oral
Turbuhaler
Oral, injeksi
Oral
Keterangan tabel 18
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose Inhaler / MDI , dapat digunakan bersama dengan spacer
Solutio: larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebulizer
Oral : dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi : dapat untuk pengggunaan subkutan, im dan iv
58
Sediaan obat
Dosis dewasa
Dosis anak
Keterangan
Tablet
4 , 8, 16 mg
Tablet 5 mg
Short-course :
20-40 mg /hari
dosis tunggal atau
terbagi selama 3-10 hari
Pemakaian jangka panjang dosis 45mg/ hari atau 8-10 mg selang sehari
untuk mengontrol asma , atau sebagai
pengganti steroid inhalasi pada kasus
yang tidak dapat/ mampu
menggunakan steroid inhalasi
Short-course :
1-2 mg /kgBB/ hari
Maks. 40 mg/hari,
selama 3-10 hari
Kromolin &
Nedokromil
Kromolin
IDT
5mg/ semprot
1-2 semprot,
3-4 x/ hari
1 semprot,
3-4x / hari
Nedokromil
IDT
2 mg/ semprot
2 semprot
2-4 x/ hari
2 semprot
2-4 x/ hari
IDT 25 mcg/
semprot
Rotadisk 50 mcg
2 4 semprot,
2 x / hari
1-2 semprot,
2 x/ hari
1 X 10 mg / hari, malam
--
Tablet 10mg
Bambuterol
Tablet 25, 50 mcg
Sirup 5 mcg/ ml
Prokaterol
2 x 50 mcg/hari
2 x 25 mcg/hari
2 x 5 ml/hari
2 x 2,5 ml/hari
IDT 4,5 ; 9
mcg/semprot
Formoterol
4,5 9 mcg
1-2x/ hari
2x1 semprot
(>12 tahun)
Metilxantin
Aminofilin lepas
lambat
Tablet 225 mg
2 x 1 tablet
-1 tablet,
2 x/ hari
(> 12 tahun)
Tablet
125, 250, 300 mg
2 x/ hari;
2 x125 300 mg
2 x 125 mg
(> 6 tahun)
400 mg
200-400 mg
1x/ hari
Zafirlukast
Tablet 20 mg
2 x 20mg/ hari
---
Medikasi
Sediaan obat
Dosis dewasa
Dosis anak
Keterangan
Antileukotrin
Steroid inhalasi
Flutikason propionat
59
semprot
Budesonide
IDT , Turbuhaler
100, 200, 400 mcg
IDT, rotacap,
rotahaler, rotadisk
Beklometason
dipropionat
berat asma
100 800
mcg/ hari
100 800
mcg/ hari
Tabel 20. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma
Medikasi
Sediaan obat
Dosis dewasa
Dosis anak
Keterangan
0,25-0,5 mg,
3-4 x/ hari
Inhalasi
0,25 mg
3-4 x/ hari
(> 12 tahun)
oral
0,05 mg/ kg BB/ x,
3-4 x/hari
inhalasi
200 mcg
3-4 x/ hari
oral 1- 2 mg,
3-4 x/ hari
200 mcg
3-4 x/ hari
10-20 mcg,
2-4 x/ hari
2 x 50 mcg/hari
2 x 5 ml/hari
40 mcg,
3-4 x/ hari
20 mcg,
3-4x/ hari
Salbutamol
Fenoterol
Prokaterol
100 mcg
3-4x/ hari
0,05 mg/ kg BB/ x,
3-4x/ hari
Untuk mengatasi
eksaserbasi , dosis
pemeliharaan
berkisar 3-4x/ hari
100 mcg,
3-4x/ hari
10 mcg,
2 x/ hari
2 x 25 mcg/hari
2 x 2,5 ml/hari
Antikolinergik
Ipratropium bromide
Diberikan kombinasi
dengan agonis beta-2 kerja
singkat, untuk mengatasi
serangan
Kombinasi dengan agonis
beta-2 pada pengobatan
jangka panjang, tidak ada
manfaat tambahan
Kortikosteroid sistemik
Metilprednisolon
Tablet 4, 8,16 mg
Prednison
Tablet 5 mg
Short-course :
24-40 mg /hari
dosis tunggal atau
terbagi selama 3-10
hari
Short-course:
1-2 mg/ kg BB/
hari, maksimum
40mg/ hari selama
3-10
hari
Short-course efektif
utk mengontrol asma pada
terapi awal, sampai
tercapai APE 80% terbaik
atau gejala mereda,
umumnya membutuhkan
3-10 hari
Medikasi
Sediaan obat
Dosis dewasa
Dosis anak
Keterangan
Metilsantin
Teofilin
Aminofilin
3-5mg/kgBB kali,
3-4 x/ hari
Kombinasi teofilin
/aminoflin dengan agonis
beta-2 kerja singkat
(masing-masing dosis
minimal), meningkatkan
efektiviti dengan efek
samping minimal
60
BAB IX
KONDISI KHUSUS
Penatalaksanaan asma jangka panjang di dasarkan pada klasifikasi berat penyakit, dengan
mengikuti pedoman pengobatan sesuai berat penyakit diharapkan asma dapat dikontrol. Pada
beberapa keadaan seperti pada penyakit tertentu (hipertensi, diabetes mellitus) atau kondisi
tertentu seperti kehamilan, puasa, menjalani tindakan bedah perlu perhatian khusus atau
perubahan penatalaksanaan dari hal yang sudah digariskan dalam pedoman penatalaksanaan.
Kehamilan
Selama kehamilan berat penyakit asma dapat berubah sehingga penderita memerlukan
pengaturan jenis dan dosis obat asma yang dipakai. Penelitian retrospektif memperlihatkan
bahwa selama kehamilan 1/3 penderita mengalami perburukan penyakit, 1/3 lagi menunjukkan
perbaikan dan 1/3 sisanya tidak mengalami perubahan. Meskipun selama kehamilan pemberian
obat-obat harus hati-hati, tetapi asma yang tidak terkontrol bisa menimbulkan masalah pada bayi
berupa peningkatan kematian perinatal, pertumbuhan janin terhambat dan lahir prematur,
peningkatan insidensi operasi caesar, berat badan lahir rendah dan perdarahan postpartum.
Prognosis bayi yang lahir dari ibu menderita asma tapi terkontrol sebanding dengan prognosis
bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita asma. Oleh sebab itu mengontrol asma selama
kehamilan sangat penting untuk mencegah keadaan yang tidak diinginkan baik pada ibu maupun
janinnya. Pada umumnya semua obat asma dapat dipakai saat kehamilan kecuali komponen
adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin.. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan (bukti B). Bila terjadi
serangan, harus segera ditanggulangi secara agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta-2,
oksigen dan kortikosteroid sistemik.
Pemilihan obat pada penderita hamil, dianjurkan :
1.
Obat inhalasi
2.
Memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang sudah
terdokumentasi dan terbukti aman.
Pembedahan
Hiperesponsif jalan napas, gangguan aliran udara dan hipersekresi mukosa pada penderita
asma merupakan faktor predisposisi timbulnya komplikasi respirasi selama dan sesudah tindakan
bedah. Komplikasi pembedahan pada asma tergantung pada beberapa faktor yaitu berat penyakit
saat pembedahan, jenis pembedahan (bedah toraks dan abdomen bagian atas mempunyai risiko
lebih tinggi) dan jenis anestesi (anestesi umum dan penggunaan pipa endotrakeal mempunyai
risiko lebih tinggi). Faktor-faktor tersebut perlu dinilai/ evaluasi termasuk pemeriksaan
spirometri. Jika memungkinkan evaluasi penilaian tersebut dilakukan beberapa hari sebelum
operasi, untuk memberikan kesempatan pengobatan tambahan. Bila didapatkan VEP1 < 80% nilai
terbaik/ prediksi, maka pemberian kortikosteroid akan mengurangi obstruksi jalan napas (bukti
C). Pada penderita yang mendapat kortikosteroid sistemik dalam 6 bulan terakhir, sebaiknya
diberikan kortikosteroid sistemik selama operasi yaitu hidrokortison IV 100 mg atau ekivalennya
setiap 8 jam dan segera diturunkan dalam 24 jam pembedahan. Harus diperhatikan pemberian
kortikosteroid jangka lama dapat menghambat penyembuhan luka (bukti C).
61
Untuk penderita asma stabil yang akan di bedah dianjurkan pemberian aminofillin infus 4
jam sebelum operasi dan kortikostroid injeksi 2 jam sebelum pembedahan untuk mencegah
terjadi bronkospasme.
Asma dalam ibadah haji
Beberapa hal yang berhubungan dengan ibadah haji dan berkaitan dengan penyakit asma:
1.
Menunaikan ibadah haji adalah suatu perjalanan panjang yang harus dibicarakan bersama
antara dokter dan penderita untuk antisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi berkaitan
dengan keadaan asma penderita.
2.
Berbagai hal layak dipahami seperti perjalanan jauh dengan pesawat udara (ketinggian di
atas 8000 kaki), perubahan cuaca, suhu yang ekstrim, kegiatan fisis yang sulit dibatasi,
infeksi pernapasan terutama infeksi virus dan alergen terutama indoor allergen.
3.
Pengobatan sesuai berat penyakit asma, dengan mengupayakan kondisi asma terkontrol
jauh sebelum keberangkatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dokter sebaiknya memberikan pengertian kepada calon jemaah penderita asma untuk :
memahami penyakit asma dan mengenali faktor pencetusnya
mengantisipasi apa yang mungkin dapat menjadi pencetus asma baginya (individual) dan
bagaimana mengatasinya
obat apa yang harus dibawa , bagaimana serta kapan digunakan.
obat diletakkan di tempat yang mudah dijangkau dan selalu dibawa oleh penderita
mengetahui kepada siapa dan dimana bantuan medis dapat diminta.
dapat mengatasi saat serangan akut terjadi, serta kapan penderita perlu meminta bantuan
tenaga medis.
merokok
paduan penatalaksanaan asma jangka panjang yang tidak optimal, misal inhalasi steroid
dosis terlalu rendah tidak sesuai berat asma
menggunakan steroid oral untuk mengontrol asma, bukan steroid inhalasi sebagaimana
seharusnya
Pada kondisi penderita menggunakan steroid oral jangka panjang, sebaiknya diupayakan
untuk meminimalkan kebutuhannya dan bila mungkin menghentikannya, dengan cara :
stop merokok
62
Bila setelah melalui tahapan tesebut, upaya menurunkan steroid secara bertahap tidak
berhasil, maka berikan pengobatan inhalasi steroid dosis maksimal kombinasi agonis beta-2
kerja lama dengan disertai antiinflamasi lainnya yang optimal, dengan pengawasan ketat terhadap
efek samping. Bila tetap membutuhkan steroid oral walau telah dilakukan berbagai upaya
tersebut, maka kondisi tersebut disebut asma yang tergantung dengan steroid.
Pada keadaan tergantung steroid dan telah terjadi efek samping steroid sistemik, maka
pertimbangkan pemberian steroid sparing agent dengan maksud untuk mengurangi dosis steroid
dengan tetap mengontrol asma. Sebelum memberikan obat tersebut pertimbangkan sungguhsungguh mengenai risiko-manfaat obat tersebut, risiko obat tersebut dibandingkan risiko steroid
oral sendiri, biaya dan manfaat pemberian obat tersebut.
Obat-obat yang dikenal sebagai steroid sparing agents adalah :
Metotreksat (MTX)
Siklosporin (CSA)
Gold (auranofin)
Troleandomisin (TAO)
63
menyebabkan terjadi asma yang resisten steroid antara lain ada defek selular pada respons
steroid.
Penatalaksanaan asma yang resisten steroid adalah sama dengan asma yang tergantung
dengan steroid (steroid dependent asthma) yaitu mengupayakan penatalaksanaan seoptimal
mungkin (lihat tahapan penatalaksanaan asma yang tergantung dengan steroid), dan bila perlu
menggunakan obat imunosupresif sebagai antiinflamasi yaitu metotreksat atau siklosporin.
Asma Kerja
Asma adalah kelainan respirasi yang berhubungan dengan pekerjaan yang paling sering
ditemukan di negara-negara industri. Definisi asma kerja ialah asma yang disebabkan oleh
pajanan zat di tempat kerja. Pekerja yang mempunyai risiko tinggi terjadi asma kerja adalah
mereka yang bekerja di perkebunan, pertanian, pengecatan, pembersihan dan industri plastik.
Dikenal 2 jenis asma kerja yaitu asma kerja yang diperantarai mekanisme imunologis dan
yang tidak diperantarai mekanisme imunologis. Asma kerja yang diperantarai mekanisme
imunologis terjadi lebih sering dan mempunyai periode laten beberapa bulan sampai beberapa
tahun sesudah pajanan, mekanisme yang pasti belum diketahui, kemungkinan melibatkan reaksi
alergik yang diperantarai IgE dan juga sel-sel inflamasi. Asma yang tidak melalui mekanisme
imunologis atau asma yang diinduksi oleh iritan tidak mempunyai periode laten; contohnya
reactive airway dysfunction syndrome (RADS). Gejala yang khas berhubungan dengan obstruksi
dan hiperesponsif jalan napas terjadi dalam 24 jam sesudah pajanan konsentrasi tinggi zat iritan,
gas, uap atau bahan kimia pada individu yang sebelumnya sehat selama paling lama tiga bulan.
Diagnosis asma kerja sebaiknya dipertimbangkan pada setiap penderita dewasa baru atau
mengalami perburukan. Deteksi asma kerja memerlukan pengamatan sistematik mengenai
pekerjaan penderita dan pajanan zat. Perbaikan gejala ketika keluar dari lingkungan kerja dan
memburuk ketika kembali ke tempat kerja adalah dugaan yang kuat terdapat hubungan asma
dengan lingkungan kerja. Mengingat penanganan asma kerja seringkali berkaitan dengan pindah
lingkungan kerja, maka diagnosisnya harus mempertimbangkan dampak sosioekonomi dengan
selalu melakukan konfirmasi diagnosis secara objektif, salah satu cara adalah mengukur APE
paling kurang 4 kali selama 2 minggu saat penderita bekerja dan 2 minggu lagi saat ia tidak
bekerja. Pengukuran tersebut dilakukan sendiri oleh penderita, pemeriksaan tambahan berupa uji
provokasi bronkus dengan bahan nonalergen menguatkan hasil bahwa perubahan APE pada
perubahan lingkungan adalah disebabkan asma kerja.
Bila diagnosis asma kerja ditegakkan maka penatalaksanaan yang ideal adalah menghindari
bahan pajanan yang relevan secara total. Asma kerja mungkin tidak reversibel penuh meskipun
setelah bertahun-tahun dihindari dari bahan penyebab utama, terutama bila gejala sudah
berlangsung lama sebelum dijauhkan dari pajanan. Pajanan yang terus berlanjut dapat
memperburuk penyakit dan berpotensi menimbulkan serangan yang fatal, kemungkinan kecil
untuk terjadi remisi dan kelainan fungsi paru menetap. Obat-obat farmakologi pada asma kerja
sama dengan obat untuk asma secara umumnya, bersama-sama dengan menghindari pajanan
secara adekuat. Penanganan asma sebaiknya berkonsultasi dengan spesialis paru atau spesialis
kesehatan kerja.
Atopi dan kebiasaan merokok meningkatkan risiko sensitisasi bahan kerja yang berpotensi
menimbulkan gangguan pernapasan. Pencegahan yang paling efektif adalah membatasi atau
mengurangi pajanan bahan kerja dengan cara mengganti dengan bahan yang aman bila mungkin,
dan melakukan higiene lingkungan kerja yang adekuat.
64
Refluks Gastroesofagus
Hubungan antara gejala asma yang meningkat terutama malam hari dengan refluks
gastroesofagus adalah masih diperdebatkan, walaupun kejadian refluks gastroesofagus pada
penderita asma hampir 3 kali lebih banyak dibandingkan pada bukan penderita asma. Sebagian
besar penderita asma dengan gangguan tersebut, mempunyai hernia hiatus, yang dipikirkan akibat
penggunaan metilsantin yang mempunyai sifat merelaksasi cincin bawah esofagus.
Diagnosis refluks gastroesofagus dengan melakukan pemeriksaan pH esofagus dan fungsi
paru secara bersamaan. Berikan pengobatan untuk mengatasi gejala refluks dan anjurkan pola
makan jumlah sedikit tetapi sering, hindari makan (snack) dan minum di antara makanan utama
dan waktu tidur, hindari makanan berlemak, alkohol, teofilin, agonis beta-2 oral, beri
pengobatan untuk meningkatkan tekanan esofagus bagian bawah seperti antagonis H2 atau
penghambat pompa proton dan bila tidur dengan posisi kepala tinggi.
Peran pengobatan dengan antirefluks dalam mengontrol asma adalah belum jelas, dibutuhkan
penelitian yang lebih cermat dan terarah.
65
BAB X
PENCEGAHAN
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang
menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan /
bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal
merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer penyakit asma.
Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi
pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga
pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus
berlangsung dan menjanjikan.
Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen (antigen
presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute
yang paling mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke
amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi
daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat mungkin
berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu hamil dengan
risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan makanan tersebut
menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada
pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.
Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama difokuskan pada
makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian
besar studi menunjukkan mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat
ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien
dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut
lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik
saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin
pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan
berisiko menimbulkan gangguan tumbuh kembang.
Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis
atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi lanjutan (bukti C).
Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi. Akan
tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini
mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan
anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang tersebut.
66
Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial
sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut
mendatangkan pikiran bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai
keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen.
Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan imunomodulasi menggunakan sel
Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen yang berkaitan dengan IL-12 atau IFN-, pemberian
mikroorganisme usus yang relevan melalui oral (berhubungan dengan kolonisasi flora mikrobial
usus). Semua strategi tersebut masih sebagai hipotesis dan membutuhkan penelitian yang tepat.
Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada kesakitan
saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan
kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu
merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu
perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam tahun pertama
kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok
selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam
kehamilan berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi
nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal
(perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi (bukti A).
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian
antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk
menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini
mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah
lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus
berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
67
Kontrol Lingkungan
Cuci sarung bantal, guling, sprei, selimut dengan air panas (5560C) paling lama 1 minggu sekali
Ganti karpet dengan linoleum atau lantai kayu
Ganti furnitur berlapis kain dengan berlapis kulit
Bila gunakan pembersih vakum, pakailah filter HEPA dan
kantung debu 2 rangkap
Cuci dengan air panas segala mainan kain
Kecoa
Jamur
68
Kontrol Lingkungan
Tidak merokok di dalam rumah
Hindari berdekatan dengan orang yang sedang
merokok
Upayakan ventilasi rumah adekuat
Hindari memasak dengan kayu
Hindari menggunakan spray pembersih rumah
Hindari menggunakan obat nyamuk yang
menimbulkan asap atau spray dan mengandung
bahan polutan
Mengontrol Pencetus
Refluks gastroesofagus
Obat-obatan
69
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
70
Woolcock AJ, Konthen PG. Lung function and asthma in Balinese and Australian children. Joint International
Congress, 2nd Asian Pacific of Respirology and 5th Indonesia Association of Pulmonologists. Bali July 1- 4
1990.p.72 (abstract).
Mangunnegoro H, Syafiuddin T, Yunus F, Wiyono WH. Upaya menurunkan hipereaktivitas bronkus pada
penderita asma; Perbandingan efek budesonid dan ketotifen. Paru 1992; 12:10-8.
National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication, 1995
Dasawarsa Yayasan Asma Indonesia 1985-1995.
Busse WW, Coffman RL, Gelfand EW, Kay AB, Rosenwasser LJ. Mechanism of Persisten Airway
Inflammation in Asthma. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:388-93.
Davis DE, Wicks J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. Airway remodeling in asthma. New Insights. J
Allergy Clin Imunol 2003.;111(2). Available from http//www.mosby.com/jaci.
Ikhsan M, Yunus F, Mangunnegoro H. Efek beklometason propianat dan ketotifen terhadap hipereaktivitas
bronkus pada penderita asma. Paru 1995; 15:146-55.
National Institute of Health, National Heart, Lung and Blood Institute. National Asthma Education and
Prevention Program, 1997.
National Heart, Lung, and Blood Institute. Expert Panel 2: Guidelines For The Diagnosis and Management of
Asthma, 1997.
Holgate ST. The celluler and mediator basis of asthma in relation to natural history. Lancet 350 1997; (suppl
II) : 5-9.
National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication, 1998
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI. Lokakarya Tahunan, Jakarta 1998
Barnes PJ, Chung KF, Page CP. Inflammatory Mediators of Asthma. Pharmalocogical Reviews 1999; 50 (4):
515-96.
Busse W, Elias J, Sheppard D, Banks-Schlegel S. Airway Remodeling and Repair. Am J Respir Crit Care
Med 1999; 160:1035-42.
Lokakarya Tahunan Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta 1999
Rogayah R, Jusuf A, Nawas A, Kosen S. Pengaruh penyuluhan dan Senam Asma Indonesia terhadap
pengetahuan, sikap, perilaku dan gejala klinik penderita asma. J Respir Indo 1999; Suppl.116-24.
Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma from Bronchoconstriction to Airways
Inflammation and Remodeling. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161: 172045.
Lazarus SC. Airway Remodeling in Asthma. American Academi of Allergy, Asthma and Immunology 56th
Annual Meeting, 2000. Available from http//www.medscape.com.
Lokakarya Tahunan Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta 2000
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI. Lokakarya Tahunan, Jakarta 2001
Fajriwan, Yunus F, Wiyono WH, Wawolumaja C, Jusuf A. Manfaat pemberian antagonis-H1 (loratadin) pada
penderita asma alergi persisten ringan yang mendapat pengobatan salbutamol inhaler di RSUP Persahabatan.
Maj Kedokt Indon 2001; 51:284-92.
Yunus F, Anwar J, Fachrurodji H, Wiyono WH, Jusuf A. Pengaruh Senam Asma Indonesia terhadap
penderita asma.
J Respir Indo 2001; 22:118-25.
National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication, 2002.
Susanti F, Yunus F, Giriputro S, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A. Efikasi steroid nebulisasi
dibandingkan steroid intravena pada penatalaksanaan asma akut berat. Maj Kedokt Indon 2002; 52: 24754.
Yunus F, Antaria R, Rasmin M, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A. Asthma prevalence among high
school students in East Jakarta, 2001, based on ISAAC questionnaire. Med J Indones 2003; 12:178-86.
RINGKASAN
PEDOMAN PENATALAKSANAAN ASMA
Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Faktor Risiko
Bakat yang diturunkan:
Asma
Atopi/ Alergik
Hipereaktiviti bronkus
Faktor yang memodifikasi
penyakit genetik
Pengaruh lingkungan :
Alergen
Infeksi pernapasan
Asap rokok / polusi udara
Diet
Status sosioekonomi
Asimptomatik atau
Asma dini
71
Gejala
I. Intermiten
II. Persisten
Ringan
III. Persisten
Sedang
IV. Persisten
Berat
72
Gejala Malam
Faal paru
Bulanan
* Gejala < 1x/minggu
* Tanpa gejala di luar
serangan
* Serangan singkat
APE 80%
* 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE < 20%
Mingguan
* Gejala > 1x/minggu,
tetapi < 1x/ hari
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti
dan tidur
Harian
* Gejala setiap hari
* Serangan mengganggu
aktiviti dan tidur
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinyu
* Gejala terus menerus
* Sering kambuh
* Aktiviti fisis terbatas
*
>
1x
seminggu
* Sering
APE 60 80%
/ * VEP1
60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
APE 60%
* VEP1 60% nilai prediksi
APE 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
Tahap 3
Persisten sedang
Tahap I : Intermiten
Gejala < 1x/ mgg
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/ bln
Faal paru normal di luar serangan
Intermiten
Persisten
Ringan
Persisten Sedang
Persisten
Ringan
Persisten
Sedang
Persisten Berat
Persisten
Sedang
Persisten Berat
Persisten Berat
Persisten
Berat
Persisten Berat
Persisten Berat
73
74
Asma Persisten
Sedang
Tidak perlu
Glukokortikosteroid
inhalasi
(200-400 ug BD/hari
atau ekivalennya)
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari
atau ekivalennya)
dan
agonis beta-2 kerja
lama
--------
-------
Teofilin lepas
lambat
Kromolin
Leukotriene
modifiers
------
Glukokortikosteroi
d inhalasi (400-800
ug BD atau
ekivalennya)
ditambah Teofilin
lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroi
d inhalasi (400-800
ug BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau
Glukokortikosteroi
d inhalasi dosis
tinggi (>800 ug BD
atau ekivalennya)
atau
Glukokortikosteroi
d inhalasi (400-800
ug BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Ditambah
agonis beta-2
kerja lama
oral, atau
Ditambah
teofilin lepas
lambat
75
Asma Persisten
Berat
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(> 800 ug BD atau
ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja
lama, ditambah 1 di
bawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Prednisolon/
metilprednisolon oral
selang sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral, ditambah
teofilin lepas lambat
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan
kondisi asma tetap terkontrol
Pelangi asma
Pelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri
Hijau
Kondisi baik, asma terkontrol
Tidak ada / minimal gejala
APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaik
Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan
dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan,
maka pertimbangkan turunkan terapi
Kuning
Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan
akut/ eksaserbasi
Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk,
mengi, dada terasa berat baik saat aktiviti maupun istirahat)
dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaik
Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan
medikasi
Merah
Berbahaya
Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari.
APE < 60% nilai dugaan/ terbaik
Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana
pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila
tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah
sakit.
76
Ringan
Berjalan
Posisi
Dapat tidur
terlentang
Duduk
Duduk
membungkuk
Cara berbicara
Satu kalimat
Beberapa kata
Kesadaran
Frekuensi napas
Mungkin
gelisah
Gelisah
Gelisah
Keadaan
Mengancam jiwa
Mengantuk,
gelisah, kesadaran
menurun
<20/ menit
20-30/ menit
> 30/menit
< 100
100 120
> 120
Bradikardia
Pulsus paradoksus
10 mmHg
+ / - 10 20
mmHg
+
> 25 mmHg
Kelelahan otot
Torakoabdominal
paradoksal
Akhir
ekspirasi
paksa
Akhir
ekspirasi
Inspirasi dan
ekspirasi
Silent Chest
APE
> 80%
60 80%
< 60%
PaO2
> 80 mHg
6080 mmHg
< 60 mmHg
< 45 mmHg
< 45 mmHg
> 45 mmHg
> 95%
91 95%
< 90%
Nadi
PaCO2
SaO2
77
Respons baik
Gejala (batuk/ berdahak/ sesak/ mengi ) membaik
Perbaikan dengan agonis beta-2 & bertahan selama
4 jam. APE > 80% prediksi / nilai terbaik
Respons buruk
Gejala menetap atau bertambah
berat
APE < 60% prediksi / nilai
terbaik
Tambahkan
kortikosteroid oral
Segera
Ke dokter / IGD/ RS
78
1973 - 2003
KANKER PARU
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
DAFTAR ISI
1
2
3
Pendahuluan
Pencegahan
Diagnosis dan Penderajatan :
Deteksi dini
Prosedur diagnostik
Gambaran klinis
Gambaran radiologis
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan lain
Jenis histologis
Penderajatan (Staging)
2
2
3
3
3
Pengobatan
Pembedahan
Radioterapi
Kemoterapi
Immunoterapi
Hormonoterapi
Terapi gen
8
8
9
9
11
11
11
Pengobatan paliatif
Rehabilitasi medik
11
11
9
6
7
Obstruksi bronkus
Metastasis
12
13
13
15
16
16
16
17
17
17
8
9
Daftar Kepustakaan
Lampiran
18
19
3
5
5
6
7
7
7
7
I.
PENDAHULUAN
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah satu masalah
kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka kesakitan penyakit
keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 %
pada 19901. Data yang dibuat WHO menunjukan bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan
yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya
pada laki laki tetapi juga pada perempuan2. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat
dengan jarangnya penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal
penyakit. Hasil penelitian pada penderita kanker paru pascabedah menunjukkan bahwa, rerata angka
tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II,
apalagi jika dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang
cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak
sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama
yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli
radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau
penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis
pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan
diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang
lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan terapi harus
dapat segera dilakukan, mengingat buruknya respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan.
Bahkan dalam beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan penangan sesegera mungkin
meski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan. Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit
keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar
paru (metastasis tumor di paru). Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud dengan kanker
paru ialah kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma
bronkus (bronchogenic carcinoma). Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel
normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi
onkogen dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel.Perubahan
atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau kurang/hilangnya
fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak terkendali. Perubahan ini
berjalan dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan
pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme
ketidak normalan pertumbuhan sel pada sel kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat dikenal
beberapa onkogen yang berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru, antara lain gen myc, gen
k-ras sedangkan kelompok gen tumor suppresor antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan
kromosom pada lokasi 1p, 3p dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru.
II.
PENCEGAHAN
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung asap rokok itu
bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara kebiasaan merokok
dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi menghindarkan asap rokok adalah kunci
keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan. Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat
dengan data bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi
daripada mereka yang tidak terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar
bahwa pencegahan utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan
seorang perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif. Pencegahan
2
harus diusahakan sebagai usaha perang terhadap rokok dan dilakukan terus menerus. Program
pencegahan seharusnya diikuti dengan tindakan nyata anti-rokok yang melibatkan tenaga medis dan
mahasiswa FK dan non-FK
III.
Tujuan pemeriksaan diagnosis adalah untuk menentukan jenis histopatologi kanker, lokasi tumor serta
penderajatannya yang selanjutnya diperiukan untuk menetapkan kebijakan pengobatan.
Deteksi dini
Keluhan dan gejala penyakit ini tidak spesifik, seperti batuk darah, batuk kronik, berat badan menurun
dan gejala lain yang juga dapat dijurnpai pada jenis penyakit paru lain. Penernuan dini penyakit ini
berdasarkan keluhan saja jarang terjadi, biasanya keluhan yang ringan terjadi pada mereka yang telah
memasuki stage II dan III. Di Indonesia kasus kanker paru terdiagnosis ketika penyakit telah berada
pada staging lanjut. Dengan rneningkatnya kesadaran masyarakat tentang penyakit ini, disertai dengan
meningkatnya pengetahuan dokter dan peralatan diagnostik maka pendeteksian dini seharusnya dapat
dilakukan.
Sasaran untuk deteksi dini terutama ditujukan pada subyek dengan risiko tinggi yaitu:
Laki -laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok
Paparan industri tertentu
dengan satu atau lebih gejala: batuk darah, batuk kronik, sesak napas,nyeri dada dan berat badan
menurun.
Golongan lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan perokok pasif dengan salah satu gejala di atas
dan seseorang yang dengan gejala klinik : batuk darah, batuk kronik, sakit dada, penurunan berat
badan tanpa penyakit yang jelas. Riwayat tentang anggota keluarga dekat yang menderita kanker paru
juga perlu jadi faktor pertimbangan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk deteksi dini ini, selain
pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan radio toraks dan pemeriksaan sitologi sputum. Jika ada
kecurigaan kanker paru, penderita sebaiknya segera dirujuk ke spesialis paru agar tindakan diagnostik
lebih lanjut dapat dilakukan lebih cepat dan terarah.
Prosedur diagnostik
Gambaran Klinik
A. Anamnesis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari
keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan perjalanan
penyakit, serta faktorfaktor lain yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama
dapat berupa :
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru,
seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang
kaki.
Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :
Skema
Foto toraks
(+)
(+)
(+)
(+)
Sitologi sputum
B. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat
bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di
perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar,
terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena
kava akan memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data
untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis ke
4
organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi
peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.
Gambaran radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk
menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem
TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan,
Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor
dan metastasis.
a.
Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan
ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding
dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita penyakit paru
dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang
tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1
bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia
yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan
kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut
Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan pengosongan isi
pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor
primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan
serohemoragik.
b.CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada
foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat
penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah
terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan,
keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran
KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis
intrapulmoner.
c. Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu
mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain,
misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau
bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut.
Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat
mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada
tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan mukosa
tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan yang
abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau
kerokan bronkus.
Pemeriksaan lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
b. Pemeriksaan biologi molekuler
Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai
ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53, bcl2,
dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis
penyakit.
Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis menurut WHO tahun
1999 (Lampiran 1), tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya dapat diketahui :
1.
2.
3.
4.
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami kesulitan
menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan pemilihan jenis terapi,
minimal harusditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK atau small cell lung
cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer,
NSCLC).
Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif yang dapat dinilai oleh
dokter. Ada beberapa skala international untuk menilai tampilan ini, antara lain berdasarkan Karnofsky
Scale yang banyak dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai skala tampilan WHO (Lampiran. 4).
Tampilan inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.
IV. PENGOBATAN
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi). Kenyataanya pada saat
pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja
tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga
merupakan faktor yang amat menentukan.
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan juga
merupakan bagian dari combine modality therapy, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK
stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker
paru dengan sindroma vena kava superiror berat.
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB
intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya
dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk
memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi
sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis.
Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui toleransi
penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita yang akan dibedah
dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah
(AGD) :
Syarat untuk reseksi paru
.
Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi kuratif, radioterapi
menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stadium IIIA. Pada kondisi tertentu,
radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan keluhan penderita,
seperti sindroma vena kava superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis
tumor di tulang atau otak.
Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor
1.
2.
3.
Staging penyakit
Status tampilan
Fungsi paru
Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 6000 cGy, dengan cara pemberian 200 cGy/x, 5
hari perminggu.
Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :
1.
2.
3.
Hb > 10 g%
Trombosit > 100.000/mm3
Leukosit > 3000/dl
PS < 70.
Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.
Fungsi paru buruk.
Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus ditentukan jenis
histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dan 60 menurut skala Karnosfky atau 2
menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam
kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat
dilakukan.
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah:
1.
2.
3.
4.
Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia lanjut, dapat diberikan obat antikanker
dengan regimen tertentu dan/atau jadual tertentu.
2.
Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb < 10 g% tidak pertu
tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan penyebab anemia.
3.
4.
5.
6.
Dosis obat anti-kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan farmakologik masing masing. Ada yang
menggunakan rumus antara lain, mg/kg BB, mg/luas permukaan tubuh (BSA), atau obat yang
menggunakan rumusan AUC (area under the curve) yang menggunakan CCT untuk rumusnya.
Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan menggunakan parameter tinggi badan dan berat badan, lalu
dihitung dengan menggunakan rumus atau alat pengukur khusus (nomogram yang berbentuk mistar)
Untuk obat anti-kanker yang mengunakan AUC ( misal AUC 5), maka dosis dihitung dengan
menggunakan
rumus
atau
nnenggunakan
nomogram.
Dosis (mg) = (target AUC) x ( GFR + 25) Nilai GFR atau gromenular filtration rate dihitung dari kadar
kreatinin dan ureum darah penderita.
Evaluasi hasil pengobatan
Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikius/sekuen, bila penderita menunjukkan respons yang
memadai. Evaluasi respons terapi dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA
setelah pemberian (sikius) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakan CT-Scan toraks
setelah 4 kali pemberian.
Evaluasi dilakukan terhadap
-
10
1.
2.
3.
4.
Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi tumor hilang 100% dan keadan ini
menetap lebih dari 4 minggu.
Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran tumor > 50% tetapi < 100%.
Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau mengecil > 25% tetapi < 50%.
Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan ukuran tumor > 25% atau muncul
tumor/lesi baru di paru atau di tempat lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan datam pemberian kemoterapi adalah timbulnya efek samping atau
toksisiti. Berat ringannya efek toksisiti kemoterapi dapat dinilai berdasarkan ketentuan yang dibuat WHO
(lampiran. 5).
Imunoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian di Indonesia
yang menyokong manfaatnya.
Hormonoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian di Indonesia
yang menyokong manfaatnya.
Terapi Gen
Tehnik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian.
Untuk penderita kanker paru yang akan dibedah perlu dilakukan rehabilitasi medik prabedah dan
pascabedah, yang bertujuan membantu memperoleh hasil optimal tindakan bedah, terutama untuk
mencegah komplikasi pascabedah (misalnya: retensi sputum, paru tidak mengembang) dan mempercepat
mobilisasi. Tujuan program rehabilitasi medik untuk kasus yang nonoperabel adalah untuk memperbaiki
11
dan mempertahankan kemampuan fungsional penderita yang dinilai berdasarkan skala Karnofsky. Upaya
ini juga termasuk penanganan paliatif penderita kanker paru dan layanan hospis (dirumah sakit atau
dirumah).
Angka kekambuhan (relaps) kanker paru paling tinggi terjadi pada 2 tahun pertarna, sehingga evaluasi
pada pasien yang telah diterapi optimal dilakukan setiap 3 bulan sekali. Evaluasi meliputi pemeriksaan
klinis dan radiologis yaitu foto toraks PA / lateral dan Ct-scan thoraks, sedangkan pemeriksaan lain
dilakukan atas indikasi.
Alur Penatalaksnaan Kanker Paru Jenis Karsinoma bukan sel kecil
12
13
Bila tumor primer berasal dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk T4,
tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan berbagai
pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat
dibuktikan, maka EPG dianggap berasal dari paru. Apabila tumor primer diternukan di luar paru, maka
EPG ini termasuk gejala sisternik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan penatalaksanaan
untuk pengobatan kanker primernya.
Alur Diagnosis Efusi Pleura Ganas
14
Bila belum ada hasil pemeriksaan patotogi anatomi : radiasi 2-3 Gy perfraksi, dengan penilaian klinis
setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respons tidak mernuaskan.
15
Obstruksi Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau tumor diluar bronkus menekan
bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan intrabronkial dapat parsial atau total dan kadang-kadang
diperlukan tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
Gambaran klinis
Keluhan sesak napas disertai napas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi yang hebat. Keluhan akan
bertambah bila disertai mucus plug. Pada pemeriksaan jasmani akan ditemukan bunyi napas melemah
pada sisi paru yang sakit, dan dapat dijumpai pula bunyi napas patologis, misalnya mengi pada ekspirasi
dan inspirasi, suara ekspirasi memanjang atau stidor bila sumbatan pada jalan napas yang besar.
Penatalaksanan
Lakukan bronchial toilet bila terdapat mucus plug. Bronkoskopi lase diikuti pemasangan stent dapat
dilakukan bila tebal sumbatan intrabronkial nnasih dapat diketahui. Hal Inl diperlukan agar komplikasi
tindakan laser tidak terjadi dan juga dibutuhkan untuk mengetahui ukuran stent yang diperlukan. Bila
sumbatan disebabkan oleh penekanan massa ekstrabronkial, atau sumbatan intrabronkial tidak dapat
diatasi dengan bronkoskopi laser dan pemasangan stent maka tindakan bedah perlu dipikirkan. Pada
keadaan tertentu dapat diberikan radiasi endobronkial (brachytherapy) pada batas proksimal dan distal 3
cm dari penyempitan, dosis : (5 - 8 Gy) 1 cm dari sumbu sumber radio aktif. Apabila radiasi endobronkial
tidak dapat dikerjakan, maka dapat diberikan radiasi ekstemal di daerah bronkus yang menyempit dan
daerah mukosa dengan dosis 3-4 Gy/fraksi subjek.
Invasi Dinding Toraks
Tidak jarang tumor yang berada di perifer paru menunjukkan invasi ke dinding toraks sehingga
menimbulkan keluhan nyeri yang sangat, misalnya pada tumor Pancoast. Keluhan juga dapat terjadi
akibat proses metastasis ke berbagai tulang yang membentur rongga dads Tindakan radiasi segera
untuk mengurangi keluhan dapat diberikan Target volume ialah lokasi yang menimbulkan keluhan dengar
mediastinum yang berdekatan. Dosis radiasi : 3-4 Gy perfraksi.
Batuk Darah (Hemoptisis)
Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena dapat mengancam nyawa.
Pada batuk darah masif harus dilakukan segera tindakan bronkoskopi, selain untuk membuang bekuan
darah ( stool cell), tindakan ini juga perlu untuk mengetahui sumber perdarahan yang bermanfaat bila
diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah salah satu noninvasiv untuk batuk
darah.Target volume dan dosis seperti pada obstruksi bronkus.
16
17
18
IX. LAMPIRAN
Papillary
Clear cell
Small cell
Basaloid
2.
3.
Acinar
Papillary
Bronchoalveolar carcinoma
* Non-mucinous
* Mucinous
* Mixed mucinous and non-mucinous or intermenate
4.
Basaloid carcinoma
Lymphoepithelioma-like carcinoma
5.
6.
7.
Carcinosarcoma
Pulmonary blastoma
Other types
Carcinoid tumours
Typical carcinoid
Atypical carcinoid
19
8.
9.
Mucoepidermoid carcinoma
Other types
Unclassified carcinoma
Stage
occult carcinoma
0
IA
IB
IIA
IIB
IIIA
:
:
:
:
:
:
IIIB
IV
Tx
N0
Tis
N0
T1
N0
T2
N0
T1
N1
T2
N1
T3
N0
T3
N2
seberang
N3
T
T4
sebarang N
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
: sebarangTsebarang N sebarang
T
:Tumor Primer
:Tidak ada bukti ada tumor primer.
Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada
sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.
Tx
Tis
:Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada
sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.
:Karsinoma in situ
T1
Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura
viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak
lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai
ke bronkus lobus (belum sampai ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang ukuran
dengan komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus
utama
T2
:Setiap
tumor
dengan
ukuran
atau
perluasan
sebagai
berikut
:
Garis
tengah
terbesar
lebih
dari
3
cm
- Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina mengenai pleura
viseral
- Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke daerah
hilus, tetapi belum mengenai seluruh paru.
T3
20
:Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada (termasuk tumor sulkus
superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus utama yang jaraknya kurang
dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang berhubungan dengan atelektasis atau
:Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh besar, trakea,
esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau satelit
tumor nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.
Nilai Skala
WHO
90 - 100
70 - 80
50 - 60
30 - 40
10 - 20
0 - 10
0
1
2
3
4
-
Keterangan
Aktifiti normal
Ada keluhan tetapi masih aktif dan dapat mengurus diri sendiri.
Cukup aktif, namun kadang memerlukan bantuan.
Kurang aktif, perlu rawatan.
Tidak dapat meninggalkan tempat tidur, perlu rawat di rumah sakit.
Tidak sadar
Hematological
(adults)
Hemoglo-bine
Leucocytes
g/100mL
> 11.0
9.5 - 10.9
8.0 - 9.4
6.5 - 7.9
< 6.5
g/L
> 110
95 - 109
80
- 94
65 - 79
< 65
mmol/L
> 6.8
5.8 - 6.7
4.95 - 5.8
4.0 - 4.9
< 4.0
>4
3.0 - 3.9
2.0 - 2.9
1.0 - 1.9
< 1.0
1.0 - 1.4
0.5 - 0.9
< 0.5
50
25 - 49
< 25
1000/mm
Granulocy-tes
1000/mm
> 2.0
Platelets
1000/mm
> 100
1.5 - 1.9
75 - 99
- 74
21
1000/mm
None
Petechiae
Mild blood
loss
Gross
blood loss
Debilitating
blood loss
Bilirubin
ULNx
< 1.25
1.26 2.5
2.6 5
5.1 - 10
> 10
Transami-nase
ULNx
< 1.25
1.26 2.5
2.6 5
5.1 10
> 10
ULNx
< 1.25
1.26 2.5
2.6 5
5.1 10
> 10
No
change
Soreness/
Erythema,
ulcers,
can eat
solit
Ulcers,
requires
liquid only
diet
Alimentation not
possible
Hemorrage
Gastrointestinal
rythema
Nausea/
None
Nausea
Transient
vomiting
Vomiting
requiring
therapy
Intractable
vomiting
none
Transient
Tolerable
but > 2
days
Intorable,
requiring
therapy
Hemorrhagic
dehydration
Nephrotic
syndrome
Vomiting
Diarrhea
< 2 days
Renal
22
ULNx
< 1.25
1.26 2.5
Proteinurea
Dipstick
No
change
+1
2-3+
4+
g%
< 0.3
0.3 1.0
> 1.0
g/L
<3
< 3 - 10
> 10
Hematuria
No
change
Microscopic
Gross
Gross +
clots
Obstructive
uropathy
Pulmonary
No
change
Mild
symptoms
Exertional
dyspnea
Dyspnea
at rest
Complete
bed rest
required
none
Fever
Fever
Fever
< 38 C
38C
40C
> 40C
Fever with
hypotension
Allergic
No
change
Edema
Bronchos
pasm,
parenteral
therapy
needed
Bronchos
pasm, no
parenteral
therapy
needed
Anaphylaxis
Cutaneous
No
change
Erythema
Dry
desquam
ation,
versiculati
on,
pruritis
Moist
desquam
ation,
ulceration
Exfoliative
dermatitis,
necrosis
requiring
surgical
intervention
Hair
No
change
Minimal
hair loss
Moderate,
patchy
alopecia
Complete
alopecia
but
reversible
Nonreversible
alopecia
Infection
None
Minor
infection
Moderate
infection
Major
infection
Major
infection
with
hypotensi-
(specify site)
on
Pain
None
Mild
Moderate
Severe
Intractable
23
40 mg/m2
= ...............mg
60mg/m2
= ...............mg
Cisplatin
Pukul
00.30
04.30
08.00
08.30
.
.
.
.
.
Rincian
09.00
13.00
. Lasix 20 mg, IV
. Nacl 0,9%, infus 6 jam/kolf, (Kolf IV)
. Zofran 1 amp 8 mg), IV
19.00
24
= ...............mg, hari 1
Rincian
22.00
01.00
04.00
07.00
08.00
13.00
15.45
16.00
16.30
20.30
.
.
.
.
.
Rincian
25
Hari ke-1
Pukul
22.00
01.00
07.00
08.00
12.00
12.30
15.30
18.30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rincian
08.00
11.30
17.30
26
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rincian
Carboplatin : AUC- 5
Pukul
00.00
06.00
07.30
08.00
10.45
11.00
= ................mg
Rincian
27
Carboplatin : AUC- 5
Hari ke 1
Pukul
06.00
07.30
08.00
Rincian
Catatan : Pada pemberian hari ke-1, terkadang tidak dibutuhkan premedikasi, cukup primperan 1 ampul, IV saja
Hari ke 8
Pukul
00.00
06.00
07.30
08.00
08.00
Rincian
Jika kemungkinan lakukan pemeriksaan Platelet, leukosit dan hitung granulosit setiap minggu pada
pasien yang diterapi dengan gemcitabine. Jika terjadi toksik hematologik maka dilakukan penyesuaian
dosis untuk pemberian berikutnya (lihat tabel).
28
Absolut granulocytecount
(x 103 / L)
Platelet
x 103 / L)
% full of dose
1.000
100.000
100
500 - 1.000
50.000100.000
75
500
50.000
hold
00.00
06.00
07.30
08.00
11.00
15.00
= ...............mg,
Rincian
29
Hari ke 1
Pukul
00.00
07.30
08.00
.
.
.
.
.
.
.
08.30
12.30
.
.
.
.
06.00
Rincian
Hari ke 8
Pukul
07.30
08.00
Rincian
. Primperan 1 ampul, IV
. Gemcitabine....mg dilarutkan dalam cairan 250ml NaCl 0,9%
Diberikan dalam drip selama 30 menit
Catatan : Pada pemberian hari ke-8, terkadang tidak dibutuhkan premedikasi, cukup primperan 1 ampul, IV saja
Jika memungkinkan lakukan pemeriksaan Platelet, leukosit dan hitung granulosit setiap minggu pada
pasien yang diterapi dengan gemcitabine. Jika terjadi toksik hematologik maka dilakukan penyesuaian
dosis untuk pemberian berikutnya (lihata tabel).
Absolut granulocytecount
(x 103 / L)
>1.000
500 - 1.000
<500
30
Platelet count
(x 103 / L)
>100.000
50.000- 100.000
<50.000
% full of dose
100
75
hold
Paclitaxel
Carboplatin AUC- 5
= ................mg hari ke 1
Hari ke-1
Pukul
00.00
06.00
07.30
08.00
10.45
11.00
Rincian
07.30
08.00
10.45
Rincian
31
Cisplatin
30 mg/ m2
Pukul
00.00
07.30
08.00
.
.
.
.
.
.
08.30
12.30
.
.
.
.
06.00
Rincian
Jika memungkinkan lakukan pemeriksaan Platelet, leukosit dan hitung granulosit setiap minggu pada
pasien yang diterapi dengan gemcitabine. Jika terjadi toksik hematologik maka dilakukan penyesuaian
dosis untuk pemberian berikutnya (lihat tabel).
Absolut granulocytecount
(x 103 / L)
>1.000
500 - 1.000
<500
32
Platelet count
(x 103 / L)
>100.000
50.000- 100.000
<50.000
% full of dose
100
75
hold
Paclitaxel
Carboplatin AUC- 5
Hari ke-1
Pukul
00.00
06.00
07.30
08.00
11.00
Rincian
07.30
08.00
Rincian
33
Hari ke 1
Pukul
00.00
06.00
07.30
08.00
11.00
Rincian
Hari ke 8
Pukul
06.00
07.30
08.00
Rincian
Cacatan : Pada pemberian hari ke-8, terkadang tidak dibutuhkan premedikasi, cukup primperan 1 ampul, IV saja
Jika memungkinan lakukan pemeriksaan Platelat, leukosit dan hitung granulosit setiap minggu pada
pasien yang diterapi dengan gemcitabine. Jika terjadi toksik hematologik maka dilakukan penyesuaian
dosis untuk pemberian berikutnya (lihat tabel).
Absolut granulocytecount
(x 103 / L)
>1.000
500 - 1.000
<500
34
Platelet count
(x 103 / L)
>100.000
50.000- 100.000
<50.000
% full of dose
100
75
hold
Hari ke 1 dan 8
Pukul
07.30
08.00
08.30
.
.
.
.
Rincian
Primperan 1 ampul, IV
Gemcitabine.......mg dilarutkan dalam cairan 250 ml NaCl 0,9%
Diberikan dalam drip selama 30 menit.
Primperan tablet 3 x 1 (kalau perlu)
Jika memungkinan lakukan pemeriksaan Platelat, leukosit dan hitung granulosit setiap minggu pada
pasien yang diterapi dengan gemcitabine. Jika terjadi toksik hematologik maka dilakukan penyesuaian
dosis untuk pemberian berikutnya (lihat tabel).
Absolut granulocytecount
(x 103 / L)
>1.000
500 - 1.000
<500
Platelet count
(x 103 / L)
>100.000
50.000- 100.000
<50.000
% full of dose
100
75
hold
35
Gemcitabine 75 mg/m2
= ..............mg,
Carboplatin
= ..............mg,
AUC -6
Catt : pasien diberi dexamethason 2x8 mg oral selama 3 hari, dimulai hari H-1
Pukul
00.00
07.00
08.00
09.00
09.00
Rincian
36
Docetaxel 75 mg/m2
= ..............mg,
Catt : pasien diberi dexamethason 2 x 8 mg oral selama 3 hari, dimulai hari H-1
Pukul
00.00
07.00
08.00
09.00
09.00
Rincian
37
Ifosfamid
3000 mg/m2
= ..............mg
Mitomycin-C
6 mg/m2
= ..............mg
. Cisplatin
60 mg/m2
= ..............mg
. Mesna
400 mg/m2
= ..............mg/x
Pukul
00.00
08.00
08.30
09.00
12.30
`
13.00
17.00
18.00
19.00
00.00
Rincian
38
Ifosfamid
2gr /m2 /x
Mitomycin-C
6 mg/m2
. Mesna
400 mg/m2 /x
= ..............mg
Hari ke-1
Pukul
00.00
08.00
09.30
13.30
17.30
17.30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rincian
13.30
17.30
17.30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rincian
39
PNEUMONIA
NOSOKOMIAL
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
1973 - 2003
Daftar Isi
PENDAHULUAN .....................................................................................................................
DEFINISI ...................................................................................................................................
ETIOLOGI .................................................................................................................................
PATOGENESIS .........................................................................................................................
DIAGNOSIS ..............................................................................................................................
10
10
PROGNOSIS .............................................................................................................................
13
13
LAMPIRAN I ............................................................................................................................
14
LAMPIRAN II ...........................................................................................................................
15
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
PENDAHULUAN
Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat
di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini
berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit.
Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi
lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada
pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan
P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia
yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa
pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan
pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari.
Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 10 per 1000 kasus yang dirawat.
Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka
kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar
20 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar
dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil.
DEFINISI
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di
rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah
pemasangan intubasi endotrakeal.
ETIOLOGI
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia
nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR)
misalnya
S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR
misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan
Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial
yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.
Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan
antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta
dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo
(lihat Lampiran I) hanya menunjukkan pola kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini
belum dapat dikatakan sebagai infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto
toraks pada saat pasien masuk ruang rawat intensif.
Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara
invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi
transtrakea.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
PATOGENESIS
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya
mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :
1.
Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia
lanjut
2.
Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
3.
Hematogenik
4.
Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami
pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran
napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat
menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu
(endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah
bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%.
Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang
penting untuk terjadi pneumonia.
Faktor risiko
endogen
Kolonisasi
orofaring
Kolonisasi
Lambung
Pasien:
Umur > 60
tahun
Aspirasi
Inhalasi
Penyakit yang
mendasari
Faktor
Bakteremia
Faktor risiko
eksogen
Intervensi
Pembedahan
Prosedur
invasif
Obat-obatan
Translokasi
kebiasaan
hidup
Kondisi akut
Mekanisme
pertahanan paru
(seluler, humoral)
Trakeobronkitis
Pneumonia
Kontrol infeksi
Kolonisasi
silang
Desinfeksi
alat tidak
adekuat
Kontaminasi
air & cairan
Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap
Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh,
pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan
saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di
orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif.
Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan
meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.
c.
Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat
bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
d.
e.
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
DIAGNOSIS
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis pneumonia
nosokomial adalah sebagai berikut :
1.
Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua
infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit
2.
Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari
selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan
106 colony-forming units/ml dari sputum, 105 106 colony-forming units/ml dari aspirasi
endotrracheal tube, 104 105 colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) ,
103 colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming
units/ml dari vena kateter sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang
berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen
pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi
di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur
darah.
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila
ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.
2.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
3.
Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan
cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage
(BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.
Tidak
Kultur (-)
Kultur (+)
Cari:
Patogen lain
Diagnosis lain
Infeksi lain
Komplikasi
Kultur (+)
Ya
Kultur (-)
Pertimbangkan
penghentian
antibiotik
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
TERAPI ANTIBIOTIK
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
1.
Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu
mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan
pola resistensi setempat
2.
Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara
pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis
harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi
saluran cerna yang baik.
3.
Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang
berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4.
Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR
5.
Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk
6.
Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons
klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan
uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang
memuaskan.
Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP
pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan
semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004)
Patogen potensial
Streptocoocus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Metisilin-sensitif
Staphylocoocus aureus
Antibiotik sensitif basil Gram
negatif enterik
- Escherichia coli
- Klebsiella pneumoniae
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP
untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut
atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS /
IDSA 2004)
Patogen potensial
Patogen MDR tanpa atau
dengan patogen pada Tabel 1
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella pneumoniae
(ESBL)
Acinetobacter sp
Methicillin resisten
Staphylococcus aureus
(MRSA)
Dosis
1-2 gr setiap 8 12 jam
2 gr setiap 8 jam
1 gr setiap 8 jam
1 gr setiap 8 jam
500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8
jam
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
Aminoglikosida
Gentamisin
Tobramisin
Amikasin
7 mg/kg BB/hr
7 mg/kg BB/hr
20 mg/kg BB/hr
Kuinolon antipseudomonal
Levofloksasin
Siprofloksasin
Vankomisin
Linesolid
Teikoplanin
Tidak
Ya
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
LAMA TERAPI
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan
P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka
lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan
Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari.
RESPONS TERAPI
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis
terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik
dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata.
Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik
mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian
antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil
pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan
kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman
(seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain).
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi
dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi
bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten.
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang
diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang
memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto
toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.
Penyebab Perburukan
Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang
diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik,
Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru ,
pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.
Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang
lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik
sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis
bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan
antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau
bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain
seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan
pada pemberian antibiotik.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
10
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru dan empiema.
Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang bersamaan seperti sinusitis,
infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat
dapat menetap karena berbagai hal seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.
Penilaian kasus tidak respons
Salah diagnosis
Gagal jantung
Emboli paru
ARDS
Perdarahan
Neoplasma
Komplikasi
Empiema atau abses
paru
Kolitis
Enfeksi occult
Demam
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
11
Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat menyebabkan berkembangnya
koloni abnormal di orofaring, hal ini akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR)
Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral dan
topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia
nosokomial, tetapi hal ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien
misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima donor organ tetapi hal ini
masih membutuhkan survailans mikrobiologi
2.
Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 O ) tinggi untuk mencegah aspirasi isi
lambung
Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro esofagal
Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam saluran
napas bawah
Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui selang
makanan ke usus halus
3.
Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk
menghindari infeksi silang
Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien misalnya
alat-alat bantu napas, pipa makanan dll
Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang
makanan , jarum infus dll
4.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
12
PROGNOSIS
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1.
Umur > 60 tahun
2.
Koma waktu masuk
3.
Perawatan di IPI
4.
Syok
5.
Pemakaian alat bantu napas yang lama
6.
Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7.
Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8.
Penyakit yang mendasarinya berat
9.
Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia, Acinetobacter spp.
atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan perdarahan usus
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
13
11.
12.
13.
14.
15.
Guidelines for the management of hospitalized adults patients with pneumonia in the Asia Pacific
region. 2nd Consensus Workshop. Phuket, Thailand 1998
Niederman MS. Hospital aquired pneumonia in and on out off the intensive care unit. In :
Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J ed. Respiratory Infections 2 nd ed. Philadelphia ;
Lippincott Williams & Wilkins , 2001:197-214
Read RC, Morrissey I, Ambler JE. Clinicians manual on Respiratory tract infections and
fluoroquinolones. Science Press 2000. pp 25-27, 45-7.
Sprunt K, Redman W. Evidence suggesting the importance of bacterial inhibition in maintaining
the balance of normal flora. Ann Intern Med. 2000; 68 : 579-90.
American Thoracic Society . Guideline for the Managerment of Adults with Hospital-aquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005;
171: 388-416
LAMPIRAN I
Pola kuman yang didapat dari sputum pasien di ruang rawat
intensif RS Persahabatan tahun 2004
Nama kuman
Klebsiella
Pseudomonas
Acinetobacter
Klebsiella spp
Psedomonas spp
Acinetobacter spp
Staphylococcus auresus
E.coli
Pseudomonas aeruginosa
Streptococcus spp
Enterobacter spp
Jumlah
Persen
40
37
21
18
10
10
9
9
5
3
1
Pola kuman yang didapat dari sputum pasien di ruang rawat intensif
RS Dr. Soetomo tahun 2002
Nama mikroba
Jumlah
Persen
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella spp
Pseudomonas spp
Escherichia coli
Enterobacter aerogenes
Staphylococcus aureus
Candida
20
8
5
3
2
2
1
Jumlah
41
48.78
19.51
12.2
7.32
4.89
4.89
2.44
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
14
LAMPIRAN II
Pembagian pneumonia nosokomial menurut The Japanese Respiratory Society (2004)
1.
2.
3.
Kel I
Kel II
Kel III
:
:
:
4.
Kel IV
Keterangan :
Faktor risiko :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
CVD
Penyakit saluran napas kronik
Gagal jantung
Diabetes, gagal ginjal, penyakit hati kronik
Pemakaian penghambat H2 atau antasid
Pemakaian antibiotik jangka lama
Umur 65 tahun
Keganasan
Parameter
Ringan
Sedang
Berat
1.
Infiltrat
< 1 paru
Tidak ringan
maupun berat
2.
Suhu tubuh
< 37,50C
Tidak ringan
maupun berat
> 38,60C
3.
Nadi
< 100/m
Tidak ringan
maupun berat
> 130/m
4.
Pernapasan
< 20/m
Tidak ringan
maupun berat
> 30/m
5.
Dehidrasi
Tidak ada
Ada / tidak
Ada
6.
Leukosit
< 10.000/mm3
Tidak ringan
maupun berat
> 20.000/mm3
< 4000/m3
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
15
7.
CRP
< 10./mg/dl
Tidak ringan
maupun berat
> 20mg/dl
8.
PaO2
> 70 torr
Tidak ringan
maupun berat
Pengobatan empirik pneumonia nosokomial menurut the Japanese Respiratory Society (2004)
Kelompok
Antibiotik
1. Sefalosporin 2G,3G tanpa
I
Pneumonia
ringanaktiviti pseudomonal
sedang tanpa faktor
2. Fluorokuinolon oral atau iv
risiko
3. Klindamisin + monobaktam
II
Pneumonia ringan
dengan faktor risiko
III
Pneumonia
sedang
dengan faktor risiko
berat atau pneumonia
1.
2.
3.
Sefalosporin
4G
dengan
aktiviti antipseudomonal dan
karbapenem + fluorokuinolon
atau aminoglikosid
Fluorokuinolon iv +
karbapenem
Bila MRSA Vankomisin atau
teikoplanin
________________________________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
16
PNEUMONIA KOMUNITI
1973 - 2003
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
DAFTAR ISI
A
B
C
D
Pendahuluan
Mekanisme Pertahanan Paru
Definisi
Etiologi
1. Cara pengambilan bahan
2. Cara pengambilan dan pengiriman dahak yang benar
2
2
3
3
4
4
E
F
G
H
Patogenesis
Patologi
Klasifikasi Pneumonia
Diagnosis
1. Gambaran klinis
2. Pemeriksaan penunjang
4
5
5
6
6
6
I
J
Pengobatan
Komplikasi
6
8
Pneumonia Komuniti
1. Etiologi
2. Diagnosis
3. Penatalaksanaan
4. Prognosis
5. Pencegahan
8
8
9
12
15
15
L
M
Lampiran-lampiran
Daftar Pustaka
16
23
A.
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan,
baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic
2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,
nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi
saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah
12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang
dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan
awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah
menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan
tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah
kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus
infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus
infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data
sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti
menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
B.
Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya infeksi saluran napas.
paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah bakteri agar tidak masuk kedalam paru.
mekanisme pembersihan tersebut adalah :
1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi :
Reepitelisasi saluran napas
Aliran lendir pada permukaan epitel
Bakteri alamiah atau "ephitelial cell binding site analog"
Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
Komponen mikroba setempat
Sistem transpor mukosilier
Reflek bersin dan batuk
Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme pertahanan melalui barier
anatomi dan mekanisme terhadap masuknya mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong
mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan.
Bila terjadi disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa nasogastrik dan
pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan baktri
patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi infeksi nosokomial atau "Hospital Acquired Pneumonia".
2. Mekanisme pembersihan di "Respiratory exchange airway", meliputi :
Penarikan netrofil
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru (saluran napas
atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari total protein sekret hidung).
Penderita defisiensi IgA memiliki resiko untuk terjadi infeksi saluran napas atas yan berulang. Bakteri
yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan
2
merusak IgA. Bakteri gram negatif (P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.penumoniae)
mempunyai kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen pertahan saluran
napas atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya infeksi saluran napas
bawah.
3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik
Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik, humoral dan
komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari glotis merupakan pertahanan utama
terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran
napas bagian bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa Nasogastrik, alat
trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen secara langsung ke saluran napas bawah.
Gangguan fungsi mukosiliar dapat memudahkan masuknya bakteri patogen ke saluran napas bawah,
bahkan infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.Influenzae dan virus dapat merusak gerakan silia.
4.Mekanisme pembersihan di"respiratory gas exchange airway"
Bronkiolus dan alveol mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut :
a. Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-A, SP-B, SP-C, SP-D
yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing terhadap bakteri oleh makrofag.
b. Aktifiti anti bakteri (non spesifik) : FFA, lisozim, iron binding protein.
Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB, P. aeruginosa)
Mediator biologi
Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a, produksi dari makrofag alveolar,
sitokin, leukotrien
C.
DEFINISI
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme
(bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
D.
ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur
dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak
disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram
negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
1.
Cara pengambilan bahan untuk pemeriksaan bakteriologik dapat secara noninvasif yaitu
dibatukkan (dahak), atau dengan cara invasif yaitu aspirasi transtorakal, aspirasi transtrakeal,
bilasan / sikatan bronkus dan BAL. Diagnosis pasti bila dilakukan dengan cara yang steril, bahan
didapatkan dari darah, cairan pleura, aspirasi transtrakeal atau aspirasi transtorakal, kecuali
ditemukan bakteri yang bukan koloni di saluran napas atas seperti M. tuberkulosis, Legionella, P.
carinii. Diagnosis tidak pasti (kemungkinan) : dahak, bahan yang didapatkan melalui bronkoskopi
(BAL, sikatan, bilasan bronkus dll).
Cara invasif walaupun dapat menemukan penyebab pasti tidak dianjurkan, hanya digunakan
pada kasus tertentu. Untuk penderita rawat inap dianjurkan, hanya digunakan pada kasus tertentu.
Untuk penderita rawat inap dianjurkan pemeriksaan rutin kultur dahak pada kasus berat, sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Pemeriksaan Gram harus dilakukan sebelum pemeriksaan
kultur.
2.
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya. Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh
lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl
3%.
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu
bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk
E.
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan
ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi
proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan
infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi
pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian
bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
F.
PATOLOGI
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga
terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan
tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN
yang banyak.
4. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan
alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah
konsolodasi yang luas.
G.
KLASIFIKASI PNEUMONIA
a.
a.
H.
1.
DIAGNOSIS
Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat
melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak
napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada
perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium
resolusi.
2.
Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja
tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke
arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari
10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
I.
PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita
pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena
beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik
berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Tikarsilin, Piperasilin
Siprofloksasin, Levofloksasin
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon
J.
KOMPLIKASI
Efusi pleura.
Empiema.
Abses Paru.
Pneumotoraks.
Gagal napas.
Sepsis
K. PNEUMONIA KOMUNITI
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini
merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.
1. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif
dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan
bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta,
Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :
o Klebsiella pneumoniae 45,18%
o Streptococcus pneumoniae 14,04%
o Streptococcus viridans 9,21%
o Staphylococcus aureus 9%
o Pseudomonas aeruginosa 8,56%
o Steptococcus hemolyticus 7,89%
o Enterobacter 5,26%
o Pseudomonas spp 0,9%
2. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto
toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat
infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500
Penilaian derajat Kiparahan penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti
tabel di bawah ini :
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
10
Uji serologi
Cold agglutinin
untuk membantu secara klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik dan tipik dapat dilihat
pada tabel 2, walaupun tidak selalu dijumpai gejala-gejala tersebut.
11
3. Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor
modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen
yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah: (ATS 2001)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Pecandu alkohol
c. Pseudomonas aeruginosa
Bronkiektasis
Gizi kurang
12
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat
distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka
penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan
disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
13
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan
penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti :
14
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada perbaikan, kita harus
meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri
penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 1.
4. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab dan
penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita
pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat
di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan
pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan
bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas.
Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999
adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.
5. Pencegahan
Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit
jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek
samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitiviti tipe 3
15
M. LAMPIRAN-LAMPIRAN
16
TERAPI EMPIRIK C A P
17
18
19
berikut ini dicantumkan pola bakteri dari beberapa pusat pendidikan Pulmologi di Indonesia.
20
21
22
N. DAFTAR PUSTAKA
American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of
severity,
antimicrobial
therapy,
and
prevention.
Am
J
Respir
Crit.Care
Med
2001;
163:
1730-54.
American thoracic Society. Hospital-acquired pneumonia in adults. Diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy
and
preventive
strategis.
Am
J
Respir
Crit
Care
Med
1995;
153:
1711-25
Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice guidelines for management community-acquiredd
pneumonia
in
adults.
Clin
infect
Dis
2000;
31:
347-82
Berezin
EB.
Treatment
and
prevention
of
nosocomial
pneumonia.
Chest
1995;
108:
S-16S
Christian J et al; Alveolar macrophage function is selectively altered after endotoxemia in rats; Infect Immun 56; 1254-9; 1988
Craven DE, Steger KA. Epidemiology of nosocomial pneumonia new perspectives on an old disease. Chest 1995; 108 : I S-16S
Crompton GK. Diagnosis and Management of respiratory disease. Oxford: -Black Scientific Publications. 1980 : 73-89
Ewig S, Ruiz M, Mensa J, Marcos MA, Martinez JA, Aranbica F, Niederman MS. Severe community-acquired pneumonia
assessment
of
severity
criteria.
Am
J
Respir
Crit
Care
Med
1998;
158:
1102-08
Gerberding JL, Sande MA. Infection Diseases of the lung dalam Murray JF, Nadel JA ed . Texbook of respiratory Mdecine,
Philadelphia,
Tokyo:
WB
Saunders
Co,
2000:
73
5
-45
Green
et
al;
Defense
mechanism
in
respiratory
membrane;
Am
Rev
Resp
Dis
115;
Guidelines for the management of hospitalised adults patients with pneumonia in the Asia Pacific region. 2
Phuker,
Thailand
nd
479-503;
1977
Concensus Workshop.
1998.
Hadiarto M, Anwar Y, Priyanti ZS, Zubedah T.Protekt study an International antimikrobial survailance study in community acquired
respiratory tract (Carti) pathogens.2000-2001
Hadiarto M, Wibowo S, Sardikin G, Sianturi. Peran sparfloksasin pada pengobatan infeksi saluran napas bawah di komuniti. Journal
Respirologi
Indonesia
2000:
20;
156-60
Hadiarto M. A multinational, multicentre, prospective, randomized, double blind, study to compare the efficacy and safety of two
dosis of bay 12-8039 oral tablets to klaritromisin oral tablets in the treatment of patients with community acquired pneumonia.
Jakarta
Region,
1997
Hadiarto M. Pneumonia atipik, masalah dan penatalaksanaannya. Simposium konsep baru. dalam terapi antibiotik, program
pendidikan
ilmu
kedokteran
berkelanjutan
FKUI,
Jakarta
1995
Huxley E et al; Pharingeal aspiration in normal adults and patient with depressed conciousness; Am J Med 64; 564-8; 1978
Jabang M. Pengaruh pencucian bronkus dahak terhadap pola bakteri penderita infeksi saluran napas bawah non TB. Journal
Respirologi
Indonesia
2000,
20:94-108
Kirby JG, New House MT. Bronchiectasis dalam Cherniak RM ed. Current Therapy of Respiratory disease-2, Toronto, Philadelphia:
BC
Decker
Inc,
1986:
139-42
Laporan
Lehrer
tahunan
R
et
bagian
al;
Pulmonologi
Neutrophil
and
FKUI/RSUP
host
defense;
Persahabatan,
Ann
Intern
Jakarta
Med
109;
tahun
2000
127-142;
1988
Mandell LA, Marrie TJ, Grossman RF, Chow AW, Hyland RH and The Canadian-acquired pneumonia working group. Canadian
guidelines for the initial management of community acquired pneumonia, and evidence based up date by the Canadian infectious
disease
society
and
the
Canadian
thoracic
society.
Clin
Infect
Dis
2000;
31
:
383-421
Mason C et al; Pulmonary host defenses : Implications for therapy; Clinics in Chest Med ;Sep; 475-88; 1999
Millazo F et al; Immunoglobulin A proteolysis in Gram negatif bacteri isolated from human urinary tract infections; Infect Immun 43;
11-3;
1984
Mulks M et al; Spesific proteolysis of human Ig A by Streptococcus pneumoniae and Hemophilus influenzae; J infect Dis 141; 450-6;
1980
Nathwani
D.
Sequential
switch
therapy
for
lower
respiratory
tract
infections.
Chest
1998;
113:211
s-218s
23
M.
Spectrum
bakteri
pada
infeksi
saluran
napas
bawah.
nd
Tesis
Bagian
Pulmonologi
FKUI
Jakarta
1990
Reynold HY. Host Defense Impairments That May Lead to Respiratory Infections dalam Niederman MS ed. Clinic in chest Medicine,
Respiratory
Infections,
Philadelphia,
Tokyo
:
WB
Saunders
Co,
1987
:
339-58
Reynolds H et al; Immunoglobulin G and its function in the human respiratory tract; Mayo Clin Proc 63; 161-74; 1988
Reynolds H et al; Normal and defective respiratory host defenses; Resp infections : Diagnosis and management ed 2; New York;
Raven
1989
Rouby L et al; Risk factor and clinical relevance of nosocomial maxillary sinusitis in the critically ill; Am J Respir Crit Care Med 150;
776-83;
1994
Soepandi P, Mangunnegoro H, Yunus F, Gunawan J. The pattern of microorganisms and efficacy of new makrolid in acute LRTI.
Respirology
1998;
3:
113-7
Sunarya N. Spektrum bakteri dan pola kepekaanya terhadap antimikroba pada infeksi paru non TB dapat dari amperasi transtrakeal.
Tesis
Bagian
Pulmonologi
FKUI
Jakarta,
1978
Supriyantoro. Perbandingan hasil pemeriksaan bakteriologis dari dahak dan sikatan bronkus penderita infeksi saluran napas akut
(ISNA).
Tesis
Bagian
Pulmonologi
FKUI,
Jakarta
1989
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI, Jakarta 1995.
24