Anda di halaman 1dari 61

DIAGNOSIS DAN

TATALAKSANA
INHALASI ZAT
TOKSIK AKUT

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia


(PDPI)
Tahun 2018
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
INHALASI ZAT TOKSIK AKUT

TIM PENYUSUN

Agus Dwi Susanto, Muhtar Ikhsan, Winariani, Feni Fitriani,


Erlang Samoedro, Faisal Yunus, Apri Lyanda, Fanny Fachruca,
Prasenohadi, Nurfanida Librianty, Fadhlia Majidiah, Triwahyu Astuti,
Ida Bagus Ngurah Rai, Nuryunita Nainggolan,
Ummi Zidayatul Faizah, Sri Indah Indriani

POKJA PARU KERJA

Agus Dwi Susanto, Muhtar Ikhsan, Winariani, Feni Fitriani,


Erlang Samoedro, Faisal Yunus, Ida Bagus Ngurah Rai, Nuryunita
Nainggolan, Triwahyu Astuti, Dedi Herman, Fahrial Harahap, Suradi,
Satria Pratama, Surya Hajar Fitriadana, Didiek M. Junus,
Maimunah,Prasetyo Hariadi, Reza Kurniawan, Satria Pratama,
Supriyantoro, Suradi

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia


(PDPI)
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
INHALASI ZAT TOKSIK AKUT

TIM PENYUSUN

Agus Dwi Susanto, Muhtar Ikhsan, Winariani, Feni Fitriani,


Erlang Samoedro, Faisal Yunus, Apri Lyanda, Fanny Fachruca,
Prasenohadi, Nurfanida Librianty, Fadhlia Majidiah, Triwahyu Astuti,
Ida Bagus Ngurah Rai, Nuryunita Nainggolan, Ummi Zidayatul Faizah,
Sri Indah Indriani

Hak cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau
seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin
penulis dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh:


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Jakarta, 2018

Percetakan buku ini dikelola oleh:


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Jl. Cipinang Bunder No. 19 Cipinang Pulogadung Jakarta
SAMBUTAN
KETUA UMUM
PERHIMPUNAN DOKTER PARU INDONESIA

Assalamu’alakum Wr Wb

Di tahun 2018 ini, kembali Perhimpunan Dokter Paru Indonesia


(PDPI) menerbitkan buku baru tentang Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut. Buku ini adalah salah satu hasil kerja dari
Kelompok Kerja (Pokja) Paru Kerja dan Lingkungan PDPI. Dengan
terbitnya buku ini maka bertambah pula kepustakaan ilmu tentang paru
kerja dan lingkungan yang dan akan melengkapi buku-buku pedoman
diagnosis dan tatalaksana (guideline) PDPI yang telah terbit
sebelumnya.

Saat ini, masalah inhalasi toksik akut belumlah popular di


kalangan kedokteran dan pemerhati kesehatan di Indonesia. Menurut
National Occupational Exposure Survey (NOES) tahun 2000, lebih dari
satu juta pekerja di Amerika Serikat diperkirakan berada dalam risiko
pajanan terhadap zat-zat iritan tiap tahunnya meskipun demikian data
dari NOES menunjukkan cedera inhalasi terjadi lebih sering pada
lingkungan rumah daripada lingkungan kerja. Sementara, ditahun 2003,
kecelakaan okupasi di Amerika terjadi pada industri logam dan pekerja
pertambangan mencapai jumlah 1,24 per 100 pekerja pada tahun 2004.
Di Indonesia prevalens kejadian inhalasi toksik akut belum ada data
yang valid, tetapi informasi berkaitan dengan kecelakaaan akibat
inhalasi toksik akut saat ini hanya terekspos di media massa. Sebagai
Dokter Spesialis Paru, kita merasa perlu turut memperhatikan persoalan
inhalasi toksik utamanya turut mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang karakter zat-zat toksik, mekanisme penyakit dan memberikan
penatalaksanaan jika menemukan kasus inhalasi toksik akut di
masyarakat

Sekali lagi kami memberikan penghargaan yang setinggi-


tingginya kepada Tim Pokja Paru Kerja dan Lingkungan PDPI yang
telah mendedikasikan keilmuannya dalam bidang kedokteran
pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi khususnya di bidang
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana i
Inhalasi Zat Toksik Akut
penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Akhirnya, semoga buku ini dapat
bermanfaat untuk kita semua para pelaku dan pemerhati kesehatan,
khususnya bagi seluruh Dokter Spesialis Paru di Indonesia.

Wasalamu’alaikum Wr.Wb

DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR


Ketua Umum

________________________________________________________
ii Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
KATA PENGANTAR

Assalamu’alakum Wr Wb

Syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa atas limpahan


karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan buku tentang
Diagnosis dan Tatalaksana Inhalasi Zat Toksik Akut. Buku ini
merupakan hasil kerja Pokja Paru Kerja yang dalam salah satu
rancangan kerjanya adalah untuk menghasilkan buku pedoman tentang
Inhalasi Toksik Akut. Penulisan buku ini juga diharapkan dapat
melengkapi buku pedoman diagnosis dan tatalaksana yang telah ada
sebelumnya sehingga dapat menambah mozaik keilmuan di bidang
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi.

Masalah inhalasi toksik akut masih belum cukup popular


pembahasannya di Indonesia. Pada negara-negara industri kejadian
cukup sering terjadi. Seperti di Amerika Serikat tiap tahun 23.000
kecelakaan terjadi dengan 5000-10.000 kematian akibat inhalasi toksik
akut. Di Indonesia prevalens belum diketahui, tetapi di media massa
sering diberitakan kasus kecelakaan akibat inhalasi toksik akut. Hal ini
memerlukan perhatian dikalangan dokter atau tenaga medis untuk bisa
mengenali karakter zat-zat toksik, mekanisme penyakit dan
memberikan penatalaksanaan jika menemukan kasus inhalasi toksik
akut di masyarakat.

Dalam buku pedoman ini akan membahas mengenai etiologi,


patogenesis, diagnosis, tatalaksana dan komplikasi kasus inhalasi
toksik akut. Semoga buku pedoman ini dapat memberikan manfaat bagi
dokter dan tenaga medis untuk bisa mengenali, mendiagnosis dan
menatalaksana inhalasi toksik akut dalam melakukan pelayanan
kesehatan sehari-hari kepada masyarakat.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Tim Penyusun

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana iii
Inhalasi Zat Toksik Akut
________________________________________________________
iv Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
DAFTAR ISI

SAMBUTAN KETUA UMUM PDPI …………….......…… i


KATA PENGANTAR ……………………………………….. iii
DAFTAR ISI …………………………………………………… iv
BAB I. PENDAHULUAN ……….………………………. 1

BAB II. ETIOLOGI ………..………………………..…….. 3

BAB III. PATOGENESIS ……….…………………………. 15

BAB IV. DIAGNOSIS ……….………………………………. 28

BAB V. TATALAKSANA .………………………………… 37


BAB VI. KOMPLIKASI …………………………………… 45
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………. 48

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana v
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB I
PENDAHULUAN

Zat toksik menurut definisi dari National Occupational Exposure


Survey (NOES) adalah semua substansi dalam jumlah tertentu yang
dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia baik secara
langsung maupun waktu tertentu setelah terpajan. Pajanan toksik
seringkali terjadi melalui inhalasi, kontak langsung dengan kulit, mata
dan tertelan. Zat yang masuk melalui inhalasi lebih banyak dilaporkan
dari seluruh kejadian fatal yang terjadi. Sumber zat toksik dapat berasal
dari alam dan aktivitas manusia. Sumber zat toksik dari alam meliputi
aktivitas gunung berapi, kebakaran hutan, badai debu dan radiasi zat
radioaktif dari alam seperti radon. Zat toksik yang berasal dari aktivitas
manusia meliputi berbagai sumber yaitu kendaraan bermotor,
pembakaran bahan bakar fosil pada tempat yang tidak bergerak,
pembakaran sampah, pembuangan limbah, proses industri. Sumber zat
toksik juga dapat berasal dari aktivitas manusia di dalam ruangan
seperti merokok, penggunaan kompor, pemanas air berbahan gas atau
minyak, mesin foto kopi dan mesin cetak.

Berbagai bahan terinhalasi baik gas, debu, uap, asap, ataupun


substansi inhalasi lainnya dapat menyebabkan reaksi toksik pada
saluran napas dan paru baik akut maupun kronik. Gas dan uap
merupakan substansi yang paling sering terinhalasi meskipun demikian
cairan dan zat padat juga dapat terinhalasi dalam bentuk asap, aerosol
atau debu. Substansi yang terinhalasi dapat secara langsung
mengakibatkan cedera pada berbagai tingkatan saluran napas yang
mengakibatkan gangguan yang sangat bervariasi mulai dari trakeitis
dan bronkiolitis hingga edema paru. Efek toksik zat yang paling sering
mengenai saluran napas menyebabkan trakeitis, bronkitis dan
bronkiolitis. Efek yang paling berat adalah terjadinya cedera paru akut
yang bisa berakhir dengan acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Selain itu, inhalasi bisa menjadi cara masuknya zat toksik ke
dalam tubuh dengan target utama organ di luar paru, menyebabkan
asfiksia atau bahkan menimbulkan efek sistemik.

Pajanan zat atau bahan inhalasi berbahaya bisa terjadi di


lingkungan industri, rumah, tempat umum dan lingkungan lainnya.
Inhalasi zat toksik sering dilaporkan akibat kecelakaan di tempat kerja
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 1
Inhalasi Zat Toksik Akut
atau di lingkungan seperti bocornya tangki gas, pipa gas atau tangki truk
yang mengangkut amonia, klorin atau zat toksik lainnya. Beratnya efek
terhadap kesehatan yang diakibatkan zat inhalasi tidak dapat diukur
mudah. Menurut NOES tahun 2000, lebih dari satu juta pekerja di
Amerika Serikat diperkirakan berada dalam risiko pajanan terhadap zat-
zat iritan tiap tahunnya meskipun demikian data dari NOES
menunjukkan cedera inhalasi terjadi lebih sering pada lingkungan
rumah daripada lingkungan kerja. Jumlah orang yang terkena bervariasi
tergantung pada lingkungan dan dapat mencapai sepuluh juta orang
dalam kasus polusi udara dengan kadar berbahaya, misalnya pada
rusaknya lapisan ozon. Tidak ada data definitif mengenai jumlah cedera
inhalasi zat toksik yang dicatat NOES. Menurut data yang ditampilkan
oleh Social Security System (sistem keamanan sosial) Amerika Serikat,
pada tahun 2003 kecelakaan okupasi terjadi paling sering pada industri
logam dan pekerja pertambangan mencapai jumlah 1,24 per 100 pekerja
pada tahun 2004. Meskipun demikian jumlah pajanan inhalasi belum
jelas.

Inhalasi zat toksik bisa terjadi akibat asap pada proses


pembakaran atau kebakaran. Pada kondisi tersebut dapat terjadi cedera
inhalasi. Pada cedera inhalasi terjadi kerusakan akibat panas pada
daerah supraglotik, iritasi akibat bahan kimia pada traktus respiratorius,
toksisitas akibat gas karbonmonoksida dan sianida, serta kombinasi dari
semuanya. Respon inflamasi yang dihasilkan dapat berupa disfungsi
paru yang progresif, penggunaan ventilator yang lama, peningkatan
risiko pneumonia dan ARDS. Sekitar 50% kematian akibat kasus
kebakaran berhubungan dengan cedera inhalasi dan hipoksia dini.
Intoksikasi gas karbon monoksida (CO) diperkirakan menjadi
penyebab 80% kasus yang fatal dari trauma inhalasi.

Gejala klinis yang timbul akibat inhalasi zat toksik seringkali


tidak spesifik sehingga membuat diagnosis menjadi sulit. Riwayat yang
rinci menjadi penting dan membantu dalam penanganan. Klinisi harus
memahami karakter zat toksik, mekanisme, perjalanan penyakit,
komplikasi, penanganan serta pencegahan yang dapat dilakukan bila
menemukan kasus inhalasi zat toksik akut.

________________________________________________________
2 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB II
ETIOLOGI

Inhalasi toksik akut secara garis besar disebabkan oleh zat iritan,
penyebab asfiksia dan toksik sistemik. Inhalasi berbagai gas, kabut,
aerosol, asap atau debu dapat mengkibatkan cedera akibat iritasi paru,
asfiksia atau efek sistemik lainnya. Selain itu inhalasi toksik dapat
disebabkan oleh bahan toksik metal, produk kebakaran (smoke
inhalation), dan bahan-bahan lainnya. Beberapa kasus inhalasi akut
dapat terjadi akibat lebih dari satu bahan atau lebih dari satu
mekanisme. Penggunaan bahan kimia industri dengan potensi toksisitas
mengalami peningkatan. Tumpahan zat kimia, ledakan dan api dapat
mengakibatkan pajanan kompleks terhadap substansi tersebut yang
akibatnya bagi kesehatan belum seluruhnya diketahui.

Tabel 1. Bentuk zat yang dapat terinhalasi

Gas Benda tak berbentuk materi dan menempati suatu ruang


Aerosol Sebuah suspensi relatif stabil dari tetesan cairan atau partikel padat
dalam medium gas
Uap Bentuk gas dari zat cairan atau padat dapat berubah kembali
menjadi cair atau padat oleh peningkatan tekanan di lingkungan
atau penurunan suhu
Fume Sebuah aerosol partikel padat umumnya kurang dari 0,1
mikrometer yang timbul dari suatu reaksi kimia atau kondensasi
uap
Asap Produk gas dan partikulat dari pembakaran, ukuran partikel
umumnya kurang dari 0,5 mikrometer
Dikutip dari (2)

Zat terinhalasi dapat berbentuk gas, uap, debu, aerosol atau asap.
Masing-masing mempunyai karakteristik fisis yang berbeda. Gas
merupakan cairan tidak berbentuk yang dapat meluas memenuhi tempat
yang tersedia. Uap merupakan bentuk padat mudah menguap yang
mengembun pada udara dingin. Debu adalah suspensi partikel padat
pada media gas. Asap terjadi pada proses pembakaran karbon tidak
sempurna. Aerosol adalah butiran cairan atau partikel padat yang dapat
bercampur di udara dalam waktu lama.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 3
Inhalasi Zat Toksik Akut
A. IRITAN

Zat iritan di tempat kerja dan lingkungan merupakan penyebab


tersering inhalasi akut. Zat iritan adalah bahan yang bersifat iritatif yang
akhirnya menyebabkan terjadi kerusakan sel yang luas dalam saluran
napas dan paru. Beberapa gas berikut masuk dalam kategori iritan
seperti amonia, klorin, sulfur dioksida, nitrogen oksida, hidrogen
klorida, hidrogen florida, hidrogen sulfida, fosgen, ozon, kadmium,
merkuri, zink klorida dan gas air mata.

Klorin (Cl2)
Sumber klorin antara lain dari bahan pemutih, limbah disinfektan
air dan produk-produk pembersih. Klorin banyak diproduksi di
Amerika dari pabrik untuk bahan pemutih bubur kayu, sanitasi bahan
buangan dan pabrik farmasi. Klorin juga digunakan pada kolam renang
untuk mengurangi jumlah bakteri patogen. Klorin adalah sebuah gas
berwarna kuning kehijauan, konsistensi padat dan berbau tajam yang
mudah dikenali melalui bau dan warnanya walaupun pada konsentrasi
yang sangat rendah yaitu sekitar 0,06 ppm. Klorin tidak mudah terbakar
dapat larut pada suhu ruangan dan pada tekanan atmosfir. Klorin adalah
sebuah gas oksidan reaktif dan mempunyai daya larut pada air.

Gas klorin adalah satu diantara zat tersering untuk pajanan


inhalasi iritan tunggal pada area okupasi dan lingkungan. Gas ini
dihasilkan saat natrium hipoklorit berkontak dengan asam, gas klorin
sendiri dapat sangat merusak mukosa saluran napas. Kelarutannya
dalam air sedang, sehingga melepaskan hidrogen klorida (HCl) dan
radikal bebas oksigen (hipoklorida, HOCl) saat berkontak dengan air
mengakibatkan mekanisme yang menyebabkan kerusakan akut pada
saluran napas atas dan bawah. Klorin larut pada cairan pelapis epitel/
ephitel lining fluid/ELF bereaksi dengan molekul biologisnya seperti
low-molecular-weight antioxidants.

Klorin ketika larut dalam air menghasilkan asam hidroklorat pada


membran mukosa yang basah. Toksisitas klorin tidak terbatas pada
efeknya yang diakibatkan oleh asam hidroklorat karena Cl2 lebih
beracun 20 kali lipat pada saluran napas daripada asam hidrolorat.
Klorin merupakan gas dengan tingkat iritan yang tinggi serta tingkat
________________________________________________________
4 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
kelarutan sedang sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada saluran
napas besar maupun kecil dan parenkim paru. Keracunan akibat
terpajan Cl2 dapat menjadi buruk seiring dengan lamanya dan jumlah
konsentrasi pajanannya. Pelepasan Cl2 baik secara sengaja ataupun
tidak sengaja ke permukaan atmosfir saat terjadinya bencana di tempat
industri berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Kepadatan Cl2
lebih besar dari udara sehingga memiliki kecenderungan menempati
daerah yang rendah.

Asam hidroklorat, yang sangat larut dalam air menyerang epitel


konjungtiva mata dan membran mukosa saluran napas atas. Serupa
dengan itu, asam hipoklorida sangat larut dalam air, memberikan sifat
toksik klorin elemental dan asam hidroklorat terhadap tubuh manusia.
Inflamasi akut konjungtiva, hidung, faring, laring, trakea dan bronkus
merupakan beberapa efek segera toksisitas gas klorin. Edema lokal
yang terjadi sekunder akibat hiperemia kapiler dan arteri aktif terjadi
akibat iritasi mukosa saluran napas, sekresi plasma, alveol terisi dengan
cairan edema yang mengakibatkan kongesti paru dan cedera sel epitel .
Saluran napas atas dan mata teriritasi pada tingkat pajanan rendah.
Edema paru terjadi dalam 6 hingga 24 jam pajanan yang lebih tinggi.
Tanda paling penting dari suatu cedera paru berhubungan dengan
toksisitas klorin adalah edema paru, yang bermanifestasi sebagai
hipoksia. Edema paru nonkardiogenik dapat terjadi pada hilangnya
integritas kapiler paru dan transudasi cairan ke dalam alveol. Efek
toksik klorin dapat terjadi dalam hitungan menit hingga beberapa jam
setelah pajanan tergantung pada beratnya pajanan.

Hidrogen Klorida (HCl)


Hidrogen klorida adalah suatu gas tak berwarna kadang berwarna
sedikit kekuningan dengan bau khas digunakan untuk membersihkan,
pengawetan dan pembuatan plat logam, dan pembuatan sabun. Selain
itu digunakan juga untuk produksi polimer, plastik, karet, pupuk,
pewarna dan bahan pewarna. Zat ini dapat dibentuk pada pembakaran
plastik. Inhalasi merupakan jalur masuk yang penting pada pajanan
terhadap HCl. Hidrogen klorida bersifat larut air dan sangat iritatif
terhadap membran mukosa hidung, tenggorok dan saluran napas karena
sifatnya yang asam. Iritasi membran mukosa dapat terjadi pada pajanan
akut 5 hingga 10 juta permil (ppm), pajanan singkat terhadap 35 ppm
dapat menyebabkan iritasi tenggorok dan pada tingkat 50 hingga 100
ppm hampir tidak dapat ditoleransi selama 1 jam. Pajanan dalam jumlah
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 5
Inhalasi Zat Toksik Akut
besar dapat mengakibatkan akumulasi cairan dalam paru. Akibat lain
dari pajanan HCl adalah Reactive Airways Dysfunction Syndrome.

Amonia (NH3)
Sumber amonia adalah pabrik pupuk, pendingin, pabrik pewarna,
plastik dan nilon. Amonia adalah gas tidak berwarna yang larut dalam
air, sangat iritan dengan bau tajam yang mencekik, secara mudah dapat
dikenali. Pada tekanan tertentu, gas ini berubah menjadi cairan tidak
berwarna. Sifatnya yang sangat terlarut dalam air membentuk larutan
kaustik, hampir 80% digunakan pada pupuk. Bentuk cair zat ini dapat
berisiko terjadinya banyak kecelakaan saat dipindahkan dari tangki ke
peralatan pertanian sehingga menimbulkan gejala pada mata, hidung
dan tenggorok yang menimbulkan batuk dan bronkospasme meskipun
dalam konsentrasi rendah. Adaptasi dapat terjadi dan membuat zat ini
lebih tidak terdeteksi.

Amonia bereaksi dengan air pada mukosa, membentuk alkali


kuat, amonium hidroksida (NH4OH) yang juga merupakan bentuk
komersial amonia. Gejala klinis berat yang diakibatkan adalah
obstruksi saluran napas atas termasuk laringospasme segera dan edema
laring. Edema laring tanpa disertai tanda klinis terbakar yang lain dapat
terjadi. Individu yang terpajan berat bahan kimia ini dapat
menunjukkan gejala edema paru dalam beberapa jam hingga beberapa
hari pajanan. Meskipun individu ini dapat bertahan hidup, mereka
seringkali mengalami penyakit paru kronik, seperti bronkitis persisten,
bronkiektasis, sumbatan jalan napas dan fibrosis.

Hidrogen florida (HF) dan asam hidrofluorat


Hidrogen florida (HF) adalah suatu gas tidak berwarna yang
sangat iritatif dengan bau khas. Zat ini sangat mudah larut dalam air
membentuk asam hidrofluorat. Jika dibandingkan dengan kebanyakan
asam mineral, asam hidrofluorat bersifat lemah namun tetap dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan serius melalui pajanan berbagai
rute, kebanyakan melalui kontak kulit dengan asam hidrofluorat. Ion
florida berpenetrasi ke jaringan dalam mengakibatkan destruksi selular
lokal dan toksisitas sistemik. Zat ini memiliki efek pada saluran napas
dan efek pada kulit. Efek pada paru yang ditimbulkan memiliki onset
cepat, biasanya pasien datang dengan gangguan pernapasan akut.
Pajanan terhadap zat ini meskipun dalam jumlah sedikit dapat
________________________________________________________
6 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
mengakibatkan iritasi mata, hidung dan tenggorok onset cepat karena
sifatnya yang larut air. Inhalasi dapat mengakibatkan pneumonitis,
edema paru onset lambat dan kematian.

Sulfur dioksida (SO2)


Sumber sulfur dioksida adalah gunung berapi dan proses industri.
Batu bara dengan kualitas rendah dan khususnya petroleum
mengandung senyawa sulfur dan menghasilkan sulfur dioksida saat
terbakar. Zat ini menjadi salah satu penyebab polusi udara pada tingkat
tertinggi. Sulfur dioksida mengakibatkan gangguan napas terutama
pada anak-anak dan usia tua, memicu penyakit jantung dan paru yang
telah ada sebelumnya, terutama asma. Cedera pada laring, trakea,
bronkus dan alveol terjadi pada pajanan besar di atas 50 ppm. Respons
terhadap zat ini sangat bervariasi. Subjek yang paling rentan adalah
subjek dengan asma dan atopi. Lebih lanjut, pajanan sebelumnya
terhadap ozon dapat meningkatkan efek sulfur dioksida pada pasien
asma. Gejala klasik akibat pajanan zat ini adalah rasa terbakar pada
mata, hidung dan tenggorok yang berkembang dengan cepat disertai
batuk, nyeri dada, sesak dan rasa berat di dada disertai konjungtivitis,
rasa terbakar pada kornea dan edema faring. Gejala di atas dapat diikuti
oleh edema paru beberapa jam kemudian. Bronkiolitis obliterans dapat
terjadi 2 hingga 3 minggu setelah pajanan.

Nitrogen Oksida (NOx)


Nitrogen oksida dapat berasal dari hasil pembakaran diesel,
pengelasan, pabrik pewarna, wall paper. Nitrogen oksida terbentuk dari
campuran nitrogen dan oksigen dalam bentuk gas. Bentuk nitrogen
oksida yang paling beracun adalah nitrit oksida (NO) dan nitrogen
dioksida (NO2), keduanya tidak dapat terbakar dan tidak berwarna
kadang kecoklatan pada suhu kamar. Jutaan pekerja menghadapi cedera
pernapasan fatal saat terpajan NOx atau gas sejenis. Petani yang bekerja
dekat dengan lumbung, pemadam kebakaran, penambang batu bara
setelah proses pembakaran atau ledakan, tukang las yang bekerja
dengan obor asetilen pada ruangan tertutup, personil militer, pekerja
arena hockey dan pekerja bahan kimia yang terpajan dengan hasil
samping asam pada manufaktur pewarna dan pelitur kayu mempunyai
risiko untuk terpajan zat ini.
Saluran napas bawah yang merupakan lokasi primer toksisitas
NOx dapat teriritasi meskipun dalam konsentrasi rendah 15 hingga 25
ppm dan pada awalnya dapat mengakibatkan sesak dan batuk. Setelah
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 7
Inhalasi Zat Toksik Akut
beberapa jam hingga beberapa hari, korban dapat mengalami
bronkospasme dan edema paru. Pneumonitis toksik dapat terjadi pada
pajanan dengan tingkat 25 hingga 150 ppm, seringkali dengan gejala
sesak dan tercekik. Pajanan di atas 150 ppm, seringkali fatal akibat
blonkiolitis obliterans, pneumonitis kimia dan edema paru. Keadaan
yang harus diawasi termasuk gejala dengan onset lambat dan relaps
yang dapat terjadi 3 hingga 6 minggu setelah pajanan awal dengan
gejala batuk, menggigil, demam dan sesak .

Fosgen (COCl2)
Fosgen adalah suatu gas yang sangat toksik dan juga dikenal
sebagai karbonil klorida, karbon oksiklorida, karbonil diklorida dan
klorida kloroformil. Zat ini dikombinasi dengan gas klorin digunakan
selama perang dunia I. Fosgen terbentuk dalam proses produksi
isosianat, pestisida dan pewarna. Zat ini digunakan secara luas pada
rumah tangga. Fosgen tidak berwarna dan memiliki bau serupa dengan
jagung muda atau alang-alang yang baru dipotong pada konsentrasi
rendah. Pada konesntrasi tinggi zat ini memiliki bau yang tajam dan
mencekik.

Keracunan fosgen paling sering terjadi karena terinhalasi.


Meskipun baunya memberikan peringatan konsentrasi bahaya, bau ini
memiliki sifat iritasi ringan dan lambat sehingga seseorang dapat
terpajan dalam jangka waktu lama. Fosgen sulit terlarut dalam air dan
memiliki sifat hidrolisis lambat sehingga zat ini hanya menyebabkan
gejala iritasi mata dan saluran napas ringan pada konsentrasi rendah.
Jika terdeposit pada paru bagian distal. Zat ini akan terhidrolisis
membentuk asam hidroklorat yang dapat mengakibatkan kerusakan
epitel dan nekrosis seluler pada bronkus dan bronkiolus, dan
menghasilkan karbon dioksida.

Hidrogen Sulfida (H2S)


Hidrogen sulfida dihasilkan secara alami dari pembusukan bahan
organik oleh proses industri. Zat ini tidak berwarna, mudah terbakar dan
mudah meledak. Zat ini merupakan salah satu iritan saluran napas dan
penyebab asfiksia yang juga dikenal sebagai gas rawa dengan bau telur
busuk yang dapat terdeteksi pada konsentasi rendah 0,5 ppm. Gas ini
tidak memberikan peringatan yang cukup terhadap konsentrasi
berbahaya karena korban dapat mengalami kelelahan olfaktorius. Jalur

________________________________________________________
8 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
tersering pajanan hidrogen sulfida adalah inhalasi. Gas ini sedikit lebih
berat dibandingkan udara dan cepat diserap oleh paru.

Keracunan gas ini pada pengeboran minyak dan pembuangan


limbah terjadi karena gas alami dan kebocoran ladang gas. Inhalasi
hidrogen sulfida kebanyakan mengganggu saluran napas bawah dengan
gejala batuk sulit bernapas dan perdarahan bronkus. Konsentrasi gas ini
yang lebih tinggi dapat menyebabkan bronkitis dan edema paru yang
terjadi segera atau dalam 72 jam. Edema paru sering terjadi pada
konsentrasi 250 ppm. Efek sistemik dan neurologis dapat terjadi pada
konsentrasi di atas 700 ppm dan 1000 ppm dengan penurunan
kesadaran dan bahkan kematian akibat asfiksia.

B. ZAT PENYEBAB ASFIKSIA (ASPHYXIANT)

Zat penyebab asfiksia adalah bahan yang menyebabkan asfiksia


dengan menghambat distribusi oksigen ke jaringan. Tidak seperti bahan
kimia iritan, zat ini memiliki mekanisme yang berbeda. Meskipun
demikian, beberapa zat ini seperti hidrogen sulfida dapat memiliki efek
iritan kimia juga. Berdasarkan efeknya, zat ini dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu asphyxiant sederhana yang memiliki efek dengan
meniadakan oksigen dari udara inspirasi sehingga terjadi penurunan
fraksi oksigen inspirasi yang mengkibatkan hipoksemia. Kelompok
kedua adalah asphyxiant kimia, seperti karbon monoksida dan hidrogen
sianida. Meskipun demikian, gas apapun dalam konsentrasi tinggi dapat
bertindak sebagai zat penyebab asfiksia (asphyxiants), contohnya
methana, etana, argon dan helium adalah gas yang tidak berbahaya pada
konsentrasi rendah, pada pajanan dengan konsentrasi tinggi, gas-gas ini
dapat mengganti oksigen atau menghalangi reaksi oksidasi sitokrom
atau hemoglobin, sehingga mengganggu pernapasan seluler dan
transpor oksigen.

Karbon Monoksida
Karbon monoksida adalah gas yang tidak berbau, tidak berasa
serta tidak menimbulkan iritasi, dihasilkan oleh pembakaran yang tidak
sempurna. Karbon monoksida ini terabsorbsi secara cepat segera
setelah terhirup. Intoksikasi karbon monoksida adalah penyebab utama
morbiditas awal pada pasien luka bakar. Karbon monoksida mengikat
bagian yang mengandung heme, yaitu hemoglobin. Afinitas karbon
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 9
Inhalasi Zat Toksik Akut
monoksida dengan hemoglobin 200-250 kali lebih besar dari oksigen.
Senyawa karboksihemoglobin merupakan kompleks senyawa yang
stabil dapat menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin dan
menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri sehingga semakin
mengurangi oksigen yang dilepaskan ke jaringan.

Intoksikasi karbon monoksida sulit untuk dideteksi. Spektrum


karboksihemoglobin dan oksihemoglobin sangat mirip. Nilai PaO2
yang terlihat dalam analisis gas darah arteri (AGDA) mencerminkan
jumlah oksigen terlarut dalam plasma, tetapi tidak mencerminkan
kuantitas saturasi hemoglobin, penentu paling penting dari kapasitas
oksigen dalam darah. Jumlah karboksihemoglobin dapat diukur secara
langsung dengan CO-oxymeter, tetapi tes ini jarang tersedia di tempat
kejadian. Karena tertundanya pemeriksaan ini, sehingga
karboksihemoglobin yang terukur pada saat pasien tiba di fasilitas
kesehatan tidak mencerminkan tingkat keparahan dari intoksikasi gas
yang terjadi.

Karbon Dioksida (CO2)


Karbondioksida termasuk kelompok asphyxiant sederhana. Pada
konsentrasi yang tinggi meniadakan oksigen di udara sehingga
konsentrasi oksigen di udara bebas berkurang. Karbondioksida (CO2)
adalah gas tidak berwarna, tidak berbau dan tidak iritatif, yang banyak
digunakan pada pemadam kebakaran, pabrik pembuatan es, dan pada
kegiatan menyelam (tempat rekreasi atau pekerjaan). Potensial
toksisitas yang berat akibat karbondioksida pernah dilaporkan pada
bencana di Kamerun tahun 1986. Banyak penduduk meninggal oleh
pelepasan karbondioksida dari gunung berapi di Kamerun tahun 1986
tersebut.

Hidrogen Sianida
Hidrogen sianida (HCN) merupakan gas yang tidak berwarna dan
memiliki bau seperti bitter almond. Hidrogen sianida dihasilkan
melalui pembakaran material rumah tangga yang terdiri dari karbon dan
nitrogen, seperti bahan polimer sintetik, akrilonitril, nilon, melamin,
wol dan kapas. Pembakaran tidak sempurna kapas yang menghasilkan
130 μg HCN/g, pada kertas sekitar 1100 μg HCN/g dan pada wol sekitar
6300 μg HCN/g. Produksi hidrogen sianida juga akan terus berlangsung
walaupun sudah berbentuk bara api.

________________________________________________________
10 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Sianida adalah racun intraseluler. Eritrosit mengkonversi
tiosianat menjadi sianida, karena sianida hanya terikat pada eritrosit,
sehingga autolisis sel eritrosit akan meningkatkan kadar sianida darah.
Pada orang normal, kadar sianida darah berkisar antara 0,3 mg/L pada
bukan perokok dan 0,5 mg/L pada perokok. Petugas pemadam
kebakaran, meskipun selalu terpajan asap secara kronik, memiliki
kandungan sianida dalam darah yang relatif normal. Sianida biasanya
akan sedikit meningkat pada korban kebakaran. Pada korban yang
tertelan atau terhirup sianida didapatkan kadar sianida dalam darahnya
mencapai 7-9 mg/L.

Hidrogen Sulfida
Hidrogen sufida (H2S) adalah gas tidak berwarna, dan mudah
terbakar. Gas H2S merupakan gas dengan bau menyengat seperti telur
busuk. Terdapat potensi pajanan H2S yang besar di tempat kerja, seperti
perusahaan pengolahan air dan oli. Hidrogen sulfida juga banyak
ditemukan pada fasilitas pengolahan limbah, gas vulkanik,
pertambangan batubara, sumber air panas alami. Hidrogen sulfida
mempunyai sifat gas yang menyebabkan asfiksia dan juga dapat
memiliki efek iritan kimia. Gas H2S berikatan secara selektif dengan
enzim pada respirasi tingkat sel yang menyebabkan pergeseran ke arah
respirasi anaerob. Hidrogen sulfida menyebabkan asfiksia jaringan
dengan menghambat oksidasi sitokrom, meningkatkan kerusakan pada
rantai transport elektron dan menghasilkan metabolisme anaerob.

Propane
Propane (C3H8) adalah gas yang tidak berwarna dan kurang
berbau. Propane sangat mudah terbakar dan eksplosif. Propane dapat
menyebabkan asfiksia karena menggantikan oksigen di udara dan
konsekuensinya terjadi hipoksia atau bahkan anoksia.

C. TOKSIK SISTEMIK

Zat toksik sistemik merupakan bahan yang diinhalasi melalui


saluran napas dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ. Pada
inhalasi toksik sistemik, saluran napas dan paru bisa hanya menjadi
jalur masuknya zat toksik ke dalam tubuh dengan target organ utama
organ di luar paru dan menimbulkan efek sistemik. Meskipun begitu,
beberapa toksik sistemik juga mempunyai dampak pada saluran napas
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 11
Inhalasi Zat Toksik Akut
dan paru. Beberapa zat berikut merupakan toksik sistemik antara lain
hidrokarbon, organofosfat dan asap metal.

Hidrokarbon
Hidrokarbon adalah zat dengan senyawa yang mengandung unsur
karbon (C) dan atom hidrogen (H). Beberapa contoh zat golongan
hidrokarbon adalah benzene, toluene, xylene, metana, etana, dan lain
lain. Hidrokarbon banyak ditemukan pada penyalahguna inhalan
(toluene, benzene, freon), aerosol, lem, bahan bakar mobil, pembersih
pewarna kuku, cairan tip-ex, bensin dan cairan pembersih.
Hidrokarbon menyebabkan efek narkotik dan anestesi pada sistem
saraf pusat dan sistem saraf perifer.

Organofosfat
Organofosfat banyak ditemukan pada bahan pestisida dan gas
saraf. Organofosfat termasuk dalam kategori pestisida berdasarkan
sifat kimianya. Organofosfat merupakan pestisida yang banyak
digunakan di perkebunan dan daerah pemukiman untuk mencegah dan
mengendalikan hama. Organofosfat bersama organoklorin, dan
insektisida piretroid bersifat neurotoksin. Pembagian kategori pestisida
berdasarkan sifat kimia adalah organoklorin (OC), karbamat,
ditiokarbamat, piretroid, penoxyl, triazin, amida, dan senyawa
kaumadin. Pestisida juga dapat dikelompokkan menjadi herbisida,
insektisida, fungisida, bakterisida, dan rodentisida. Fumigan sulfur,
turunan urea dan produk botani serta biologi digunakan sebagai
pestisida.

Asap metal
Asap metal berasal dari oksidasi metal seng, perak, magnesium
dan pada pembuatan permata. Merkuri dan kadmium merupakan
contoh metal yang paling sering menyebabkan inhalasi akut. Pajanan
kadmium terjadi pada proses pengelasan, mematri atau memotong
logam dalam ruangan berventilasi buruk. Risiko pajanan merkuri
terjadi saat proses reklamasi logam panas. Komponen metal seperti
antimony, mangan, berilium, vanadium dan tributyltin lebih jarang
meyebabkan cedera inhalasi akut.

________________________________________________________
12 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
D. INHALASI ASAP KEBAKARAN (SMOKE INHALATION)

Kasus inhalasi asap kebakaran sering terjadi di tempat kerja,


rumah/tempat tinggal ataupun lingkungan. Pada inhalasi asap
kebakaran (smoke inhalation) terjadi pajanan terhadap panas, bahan
partikulat dan gas toksik. Pada inhalasi asap kebakaran, produksi panas
selama proses pembakaran atau kebakaran dapat menyebabkan cedera
panas pada saluran napas atas. Bahan partikulat yang dihasilkan dapat
mengiritasi saluran napas dan menyebabkan refleks bronkokonstriksi.
Berbagai gas penyebab asfiksia bisa dilepaskan selama dekomposisi
panas tersebut seperti karbon monoksida (CO) dan hidrogen sianida.
Produk-produk pembakaran yang bersifat iritan maupun toksik sistemik
dari mebel, kain katun (aldehid) atau karet dan plastik (gas klorin,
amonia, hidrokarbon, berbagai asam dan keton) juga dilepaskan pada
asap kebakaran.

Kondisi tempat terbakar yang tertutup dan kondisi tidak sadar


sering menjadi penyebab cedera inhalasi. Sekitar 20-30% korban
kebakaran mengalami komplikasi paru dengan rata-rata insidens
tersebut berhubungan dengan beratnya luka bakar dan ruangan yang
tertutup. Kerusakan trakeobronkial dan komplikasi paru sering terjadi
dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas.

E. SENJATA KIMIA DAN PENGONTROL KERUSUHAN

Senjata kimia dan bahan pengontrol kerusuhan pada masa lalu


khususnya pada perang dunia I dan II adalah gas seperti gas mustar,
fosgen dan kloropirin. Saat ini senjata kimia armamentarium termasuk
toksik sistemik yang merupakan turunan dari pestisida organofosfat.
Selain bersifat neurotoksik yang sangat letal, zat-zat ini juga memiliki
efek respiratorik yang penting, seperti bronkorea dan bronkospasme,
yang terjadi melalui stimulasi reseptor muskarinik. Bahan pengontrol
kerusuhan, bahan pengontrol massa seperti gas air mata ditujukan untuk
melemahkan orang malalui iritasi membran mukosa dalam waktu
singkat. Kloroasetofenon dan ortoklorobenzamalonitrit adalah bahan
yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Bahan ini telah
dilaporkan memiliki efek terhadap membran mukosa dan menyebabkan
cedera saluran napas bawah. Kontras dengan gas air mata, seng klorida
yang komponen utamanya terdiri dari bom asap, merupakan iritan
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 13
Inhalasi Zat Toksik Akut
saluran pernapasan bawah yang kuat dan dapat mengakibatkan edema
paru berat.

F. INHALASI BAHAN KOMPLEKS

Individu yang mengalami cedera inhalasi sering terpajan terhadap


komponen campuran berbagai zat toksik, bukan hanya zat toksik
tunggal. Campuran bahan kompleks tersebut dapat mengandung
produk-produk hasil pembakaran, produk pirolisis, logam-logam,
partikulat dan gas. Beberapa bahan kompleks tersebut menunjukkan
potensi untuk terjadinya lesi/kerusakan pada saluran napas dan
interstitial paru yang bervariasi.

________________________________________________________
14 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB III
PATOGENESIS

Inhalasi zat toksik dapat terjadi akibat berbagai bentuk zat.


Kelainan patologis yang terjadi akibat respons terhadap zat toksik
bergantung pada beberapa faktor. Faktor tersebut termasuk konsentrasi
zat, sifat zat (seperti kelarutannya pada air, tingkat keasamannya serta
ukuran partikel zat tersebut), lama waktu pajanan dan tempat terjadinya
pajanan (apakah ditempat dengan ventilasi cukup atau tidak). Sifat zat
inhalasi toksik juga dibedakan atas sifat fisik dan kimia yang
mempengaruhi tingkat keracunan dan tempat aksinya. Faktor yang
perlu dipertimbangkan juga adalah faktor pejamu yang antara lain
adalah umur, status merokok, terdapatnya penyakit paru maupun ekstra
paru, penggunaan alat pelindung pernapasan dan respons individual
terhadap zat toksik tersebut.

A. IRITAN

Zat toksik iritan yang terinhalasi dibagi menjadi 3 menurut


kelarutan dengan air. Semakin larut dengan air semakin mengiritasi
pada saluran napas. Distribusi gas iritan dan lokasi cedera saluran
pernapasan menurut ukuran partikel dan kelarutan dalam air dapat
dilihat pada gambar 1. Jumlah gas yang diabsorpsi ke epitel jalan napas
juga bergantung pada tingkat kelarutan gas tersebut di cairan pelapis
epitel (ephitel lining fluid/ELF) yaitu selapis cairan tipis di permukaan
saluran napas dan sel epitel paru bagian distal yang menurunkan tingkat
kelarutan gas tersebut.

Inhalasi gas dengan potensi efek iritan bermanifestasi pada


berbagai lokasi anatomi yang berbeda di saluran napas. Kerusakan
sistem respirasi sangat tergantung pada kelarutan gas dan ukuran
partikel. Secara umum, gas yang mudah larut dalam air – seperti
amonia, sulfur dioksida, hidrogen florida - dapat menyebabkan cedera
secara cepat di saluran napas, kulit dan membran mukosa lain.
Sedangkan gas yang sukar larut dalam air seperti fosgen, ozon dan
nitrogen oksida mempunyai efek akut yang kecil di saluran napas atas,
lebih sering toksik pada bronkiolus terminal dan alveol.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 15
Inhalasi Zat Toksik Akut
Sangat larut air
Sangat iritasi

Akreli, amonia, formaldehid,


HCl, HF, Metil bromida, asam
sodium, sulfur dioksida

Setengah larut air


Klorin

Kurang larut air


Kurang Iritasi

Kadmium, Merkuri ,
Gas mustar, Nikel karbonil,
NO, Ozone, Fosgen

Gambar 1. Distribusi gas iritan dan lokasi cedera, ukuran partikel


dan kelarutan dalam air

Dikutip dari (17)

Selain kelarutan, ukuran partikel memegang peranan penting


dalam patogenesis cedera inhalasi toksik. Aerosol, debu, uap dan asap
dapat menyebabkan cedera saluran napas atas dan juga parenkim paru.
Lokasi dan luasnya cedera tergantung lama pajanan dan ukuran
partikel. Partikel dengan ukuran < 5 um mempunyai kemampuan
penetrasi sampai saluran napas bawah dan sering menyebabkan cedera
bermakna pada bronkiolus terminal dan alveol.

________________________________________________________
16 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Bahan – bahan iritan merusak sel melalui mekanisme non
imunologi dan inflamasi. Sel mengalami kerusakan akibat pengendapan
atau pembentukan (1) asam (klorin, hidrogen klorida, nitrogen oksida,
fosgen dan sulfur dioksida), (2) alkali/basa (ammonia) serta (3) reactive
oxygen species (ROS) (ozone, nitrogen oksida dan klorin). Kerusakan
utama terjadi pada jaringan epitel saluran napas tetapi dapat terjadi pula
kerusakan yang luas pada daerah subepitel dan alveol. Kerusakan akibat
asam menyebabkan terjadinya proses koagulasi di jaringan sedangkan
kerusakan akut akibat zat alkali merupakan akibat mukosa yang
mencair dan lesi yang menembus ke dalam saluran napas. Reactive
oxygen species adalah oksigen yang dihasilkan dari metabolisme
(hidrogen peroksida dan asam hidroklorida) dan oksigen yang
dihasilkan dari radikal bebas (anion superoksida dan hidroksil radikal).
Peroksidasi lipid dapat merusak sel secara langsung dan menyebabkan
mediator inflamasi meluas sehingga terjadi kerusakan yang menetap.
Sitokin proinflamasi dapat diaktifkan melalui mekanisme ini.
Kerusakan dan perbaikan epitel saluran napas yang terjadi terus
menerus dapat menurunkan kemampuan pejamu untuk mencegah
terjadi infeksi ataupun iritasi akibat inhalasi dikemudian hari
(Gambar 2).

Pada inhalasi nitrogen oksida (NOx), patogenesis kerusakan


paru terjadi melalui (1) dikonversi menjadi asam nitrat (HNO3) dan
asam nitrit (HNO2) pada saluran napas distal dan secara langsung
merusak berbagai sel fungsional dan struktural, (2) menginisiasi
terbentuknya radikal bebas yang mengakibatkan oksidasi protein,
peroksidasi lipid dan kerusakan membran sel dan (3) menurunkan
resistensi terhadap infeksi dengan mengganggu makrofag dan fungsi
kekebalan tubuh .

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 17
Inhalasi Zat Toksik Akut
Gambar 2. Skema patogenesis inhalasi zat iritan

Dimodifikasi dari (55,56,57)

Saluran napas atas dan bronkus


Pada zat yang bersifat iritan, cedera terjadi pada saluran napas dan
paru. Klorin, fosgen, sulfur dioksida, hidrogen klorida atau sulfida,
nitrogen dioksida, ozon dan amonia merupakan gas iritan terpenting.
Sebagian besar gas yang larut dalam air secara cepat menyebabkan
iritasi membran mukosa. Efek cedera inhalasi akut pada saluran napas
atas dapat bersifat ringan, iritasi sementara sampai membahayakan.
Respons refleks terhadap iritan meliputi sekresi mukus, bersin,
penutupan glotis, apnea dan peningkatan tonus bronkomotor.
Kerusakan sel dan inflamasi pada hidung menimbulkan kerusakan sel
epitel, sambungan sel epitel dan inflamasi lokal. Hal ini menyebabkan
obstruksi nasal sampai epistaksis. Membran mukosa mulut, faring dan
laring dapat dirusak oleh iritan sehingga timbul faringitis dan laringitis
dengan berbagai tingkat edema dan spasme. Efek kronik dapat timbul

________________________________________________________
18 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
rinitis kronik, faringitis kronik, laringitis kronik, sinusitis serta perforasi
nasal.

Jika zat toksik melewati saluran napas konduksi, kerusakan sel


dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap zat lain,
meningkatkan inflamasi dan pada akhirnya terjadi kerusakan sel.
Bronkokonstriksi dapat timbul akibat rangsangan secara langsung saraf
simpatis atau menyebabkan inflamasi lokal dan melepaskan mediator.
Hal ini dapat menimbulkan eksaserbasi pada pasien yang mempunyai
penyakit paru dasar seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Selain itu, pajanan terus menerus dapat langsung
menyebabkan konstriksi pada individu tanpa riwayat hipereaktivitas
bronkus sebelumnya. Obstruksi dapat memberat dalam 24 jam pertama
seiring dengan berkembangnya inflamasi. Efek kronik iritasi saluran
napas konduksi dapat menyebabkan bronkitis kronik dan trakeitis serta
RADS.

Saluran napas bawah dan parenkim paru


Pada saluran napas bawah kerusakan terjadi pada epitel mukosa
dan submukosa, sel alveol, jaringan penunjang dan vaskular. Inflamasi
bronkiolar difus dan atelektasis dapat terjadi. Peningkatan
permeabilitas kapiler dan pelepasan mediator inflamasi menyebabkan
alveol dipenuhi cairan protein dan menimbulkan edema paru.
Pneumonitis merupakan manifestasi cedera yang sering pada parenkim
paru. Kerusakan biasanya difus dan bilateral dengan gejala batuk, sesak
dan hipoksemia. Kondisi ini dapat membaik sendiri namun bila cedera
yang parah dapat menimbulkan ARDS. Kematian dapat terjadi bila ada
edema paru masif dalam beberapa menit setelah pajanan.10 Pada
beberapa kondisi, individu yang bisa bertahan hidup melewati fase
kerusakan alveol difus mungkin berkembang menjadi bronkiolitis
obliterans konstriktif ireversibel 10-14 hari setelah pajanan awal.

Pasien dengan kerusakan paru akibat inhalasi toksik berisiko


tinggi terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Pneumonia bakteri mungkin
terjadi dalam beberapa hari setelah pajanan. Hal ini terjadi karena
disfungsi silia meningkatkan akumulasi debris di saluran napas.
Kaskade inflamasi diawali dengan infiltrasi neutrofil. Makrofag di
alveol rusak diikuti dengan proliferasi bakteri. Rusaknya barier epitel
lebih lanjut memfasilitasi timbulnya pneumonia. Hipoksemia timbul
akibat penurunan konsentrasi oksigen inspirasi, gangguan mekanis
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 19
Inhalasi Zat Toksik Akut
pada pertukaran gas karena obstruksi saluran napas atau akibat
kerusakan parenkim paru.

B. ZAT PENYEBAB ASFIKSIA (ASPHYXIANT)

Gas toksik yang menyebabkan asfiksia dibedakan atas asfiksia


fisis dan asfiksia kimia. Termasuk asfiksia fisis antara lain nitrogen,
karbondioksida, metana, eter, gas argon, neon dan helium. Sedangkan
yang termasuk asfiksia kimia adalah karbonmonoksida, hidrogen
sianida dan hidrogen sulfida. Gas yang bersifat asfiksia fisis
menyebabkan anoksia jaringan dengan menggantikan secara mekanis
oksigen bebas yang ada di lingkungan. Hal ini biasanya terjadi bila
terinhalasi gas toksik dosis tinggi pada ruang tertutup. Gas yang bersifat
asfiksia kimia menyebabkan hipoksia jaringan dengan menghambat
distribusi oksigen atau ambilan oksigen oleh jaringan.

Karbon monoksida (CO)


Karbon monoksida (CO) berikatan dengan hemoglobin
membentuk karboksihemoglobin sehingga menghambat distribusi
oksigen ke jaringan. Karbon monoksida mengikat bagian yang
mengandung heme – yaitu hemoglobin. Afinitas karbon monoksida
dengan hemoglobin 200-250 kali lebih besar dari oksigen. Karbon
monoksida akan bersaing dengan oksigen untuk mengikat hemoglobin
dan akan menggeser kurva oksihemoglobin disosiasi ke arah kiri dan
mengubah bentuknya. Ikatan ini akan membentuk karboksihemoglobin.
Transport oksigen ke jaringan terganggu karena berkurangnya
kapasitas oksigen dalam darah dan disosiasi yang kurang efisien pada
tingkat jaringan yang akan menurunkan kapasitas penghantaran
oksigen. Hal tersebut menyebabkan hipoksia jaringan karena
hemoglobin kurang mengangkut oksigen. Kadar karboksihemoglobin
sebesar 0-10% biasanya tidak menunjukkan gejala, 10-20%
menyebabkan keluhan nyeri kepala ringan dan sesak yang tidak khas,
kadar 20-30% menyebabkan nyeri kepala dan ganguan konsentrasi,
kadar 30-40% menyebabkan nyeri kepala berat dan kesulitan berpikir,
kadar 40-50% menyebabkan gangguan kesadaran dan iskemi jantung,
kadar 50-60% menyebabkan gagal napasdan kejang sedangkan kadar
>70% dapat menyebabkan koma sampai kematian.

________________________________________________________
20 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Karbon monoksida menyebabkan gangguan pemanfaatan oksigen
akibat terganggunya fosforilasi oksidatif pada tingkat mitokondria.
Karbon monoksida secara kompetitif menghambat sistem enzim
sitokrom oksidase intrasel, terutama sitokrom P-450 yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memanfaatkan oksigen.

Karbon monoksida juga bereaksi dengan mioglobin sehingga


mengganggu ambilan oksigen oleh jaringan dengan menurunkan difusi
oksigen ke otot. Selain itu, kabon monoksida dapat berikatan dengan
mioglobin jantung sehingga menggangu penyimpanan oksigen di otot,
hal ini dapat menginduksi terjadinya cedera miokard. Karbon
monoksida mengikat mioglobin jantung lebih kuat daripada mengikat
hemoglobin yang menyebabkan depresi miokard dan hipotensi yang
menyebabkan hipoksia jaringan. Besarnya kerusakan tergantung pada
konsentrasi karbon monoksida, durasi pajanan dan status kesehatan
individu. Sering terjadi misdiagnosis pada kasus intoksikasi gas CO
karena gejalanya tidak khas dan banyak manifestasi klinis yang timbul,
sehingga perlu ketelitian dalam menangani pasien intoksikasi gas CO.
Pasien dengan trauma inhalasi dan pasien luka bakar harus dicurigai
terpajan atau keracunan gas CO.

Beberapa penelitian mengindikasikan CO dapat menyebabkan


peroksidasi lipid otak dan perubahan inflamasi di otak yang dimediasi
oleh lekosit. Proses tersebut dapat dihambat dengan terapi hiperbarik
oksigen. Pada intoksikasi berat, pasien menunjukkan gangguan sistem
saraf pusat termasuk demielinisasi substansia alba. Hal ini
menyebabkan edema dan nekrosis fokal. Pada konsentrasi 100 ppm,
karbon monoksida juga menyebabkan pelepasan radikal bebas nitrogen
monoksida dari platelet dan lapisan endotel vaskular yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan edema serebri.

Karbon Dioksida (CO2)


Karbon dioksida (CO2) merupakan zat penyebab asfiksia yang
termasuk asphyxiant sederhana, memiliki efek meniadakan /
mengurangi oksigen di udara bebas, sehingga saat inspirasi terjadi
penurunan fraksi oksigen inspirasi dan mengkibatkan hipoksemia.
Karbon dioksida pada konsentrasi tinggi mempunyai efek toksik
langsung terutama pada stimulasi simpatetik, seperti peningkatan
denyut jantung, curah jantung, rata-rata tekanan arteri pulmoner, dan
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 21
Inhalasi Zat Toksik Akut
resistensi vaskuler pulmoner yang berimplikasi pada peningkatan
beban miokard.

Hidrogen sianida
Hidrogen sianida diabsorbsi segera setelah terhirup. Hidrogen
sianida menghambat fungsi enzim oksidatif dan mengganggu ambilan
oksigen oleh jaringan. Sianida menyebabkan asfiksia dengan
menghambat oksidasi sitokrom intraselular. Sianida menghambat
fosforilasi oksidasi tahap akhir dan mencegah penggunaan oksigen oleh
mitokondria. Sel yang terpengaruh mengkonversi metabolisme anaerob
dan asidosis laktat terjadi.

Hidrogen sianida menghambat sistem sitokrom oksidase


sehingga menyebabkan gangguan utilisasi oksigen. Intoksikasi sianida
berhubungan dengan kondisi asidosis yang persisten. Hidrogen sianida
akan menghambat fosfolirasi oksidatif sehingga menghambat respirasi
aerob dan memicu terjadinya respirasi anaerob, asidosis metabolik dan
kematian sel. Perubahan ini sangat mengganggu sistem kardiovaskular
dan susunan syaraf pusat. Hidrogen sianida akan berikatan dengan ion
Fe di Sitokrom A3 oksidase yang terletak di mitokondria dengan
afinitas yang tinggi sehingga terjadi gangguan respirasi seluler.
Keadaan ini berlanjut kepada metabolism anaerob yang mengakibatkan
meningkatknya kadar laktat dan menurunkan konsumsi oksigen.
Intoksikasi sianida juga berhubungan dengan kondisi asidosis yang
persisten.

Hidrogen sulfida
Hidrogen sulfida menghambat fungsi enzim oksidatif dan
mengganggu ambilan oksigen oleh jaringan. Hidrogen sulfida
menyebabkan asfiksia jaringan dengan menghambat sitokrom oksidase,
meningkatkan kerusakan pada rantai transport elektron dan
menghasilkan metabolisme anaerob.

Pada konsentrasi yang cukup tinggi, kematian karena hidrogen


sulfida terjadi akibat depresi pusat pernapasan di otak. Pada konsentrasi
yang lebih rendah kematian disebabkan oleh edema paru. Korban yang
hidup dengan riwayat tidak sadar kemungkinan mengalami sekuele
neurologi permanen seperti hilangnya memori. Pajanan tinggi yang
mendekati konsentrasi letal pada binatang coba menunjukkan
kerusakan epitel hidung. Pajanan konsentrasi tinggi juga dapat
________________________________________________________
22 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
menyebabkan iritasi mata sehingga dikenal sebagai gas mata.
Konsentrasi yang rendah (5-10 ppm) menyebabkan pergeseran
pernapasan ke arah respiarsi anaerob dan hal ini meningkatkan
terbentuknya asam laktat.

Propane
Propane (C3H8) termasuk adalah zat penyebab asfiksai kelompok
asphyxiant sederhana yang memiliki efek meniadakan/mengurangi
oksigen di udara bebas, sehingga inspirasi terjadi penurunan fraksi
oksigen yang mengkibatkan hipoksemia. Inhalasi propane berimplikasi
terjadinya hipoksia bahkan anoksia. Penurunan konsentrasi oksigen di
udara akibat propane bila berlanjut dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan risiko kematian. Kematian dapat terjadi
bukan karena sifat toksik langsung gas propane, tetapi penurunan
oksigen di udara bebas.

C. TOKSIK SISTEMIK

Toksik sistemik terjadi akibat zat toksik diinhalasi melalui saluran


napas, kemudian diabsorbsi dan selanjutnya merusak sistem organ.
Inhalasi gas yang bersifat toksik sistemik menyebabkan kerusakan
organ target dengan mekanisme bervariasi.

Hidrokarbon
Toksisitas pajanan hidrokarbon tergantung dari dosis pajanan dan
sifat fisis dari zat tersebut seperti kelarutan, viskositas, volatilitas dan
tegangan permukaan. Viskositas berhubungan dengan resistensi zat
terhadap aliran, contohnya bensin dan minyak mineral. Meningkatnya
viskositas suatu zat maka potensi aspirasi akan menurun. Volatilitas
berhubungan dengan kemampuan zat tersebut mengalami vaporasi.
Semakin tinggi volalitas zat tersebut maka semakin mudah zat tersebut
terinhalasi. Hidrokarbon yang memiliki sifat volatilitas yang tinggi dan
viskositas yang rendah akan mudah terinhalasi atau teraspirasi. Zat
yang lebih lipofilik mudah melewati sawar darah otak sehingga
memiliki efek gangguan di sistem saraf pusat. Hidrokarbon aromatik
sepeti benzene, toluene, xylene mudah diabsorbsi melalui mukosa
saluran napas dan saluran cerna sehingga akan menimbulkan efek
sistemik.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 23
Inhalasi Zat Toksik Akut
Hidrokarbon akan diabsorbsi melalui paru dan selanjutnya
memasuki pembuluh darah. Hidrokarbon akan ikut bersirkulasi ke
seluruh tubuh sampai ke sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan
efek narkotik di sistem saraf pusat. Sebagian besar dari bahan kimia
golongan hidrokarbon memiliki efek depresi terhadap sistem saraf
pusat. Pajanan akut akan meningkatkan fungsi gamma-aminobutyric
acid (GABA) dan glisin sehingga dapat mempengaruhi perasaan dan
memberikan efek euforia. Pajanan hidrokarbon yang akut juga akan
mengaktifkan sistem dopamin di mesolimbik sehingga menimbulkan
efek adiktif.

Hidrokarbon menyebabkan efek narkotik dan anestesi pada SSP


dan sistem saraf perifer. Hidrokarbon menyebabkan iritasi
gastrointestinal difus, neuropati perifer dengan kelemahan umum,
koma, kematian mendadak, pneumonitis kimia, abnormalitas SSP,
kardiomiopati dan toksisitas ginjal. Kematian akibat menghirup asap
hidrokarbon yang sengaja dan tidak disengaja biasanya disebabkan oleh
serangan jantung mendadak atau depresi sistem saraf pusat.

Inhalasi hidrokarbon juga akan menyebabkan kerusakan pada sel


di saluran napas dan lapisan surfaktan. Kondisi ini memicu terjadinya
kaskade inflamasi sehingga menyebabkan gangguan pertukaran
oksigen dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Komplikasi
yang dapat terjadi adalah hipoksia, pneumonitis dan ARDS.

Organosfosfat
Organofosfat banyak ditemukan pada bahan pestisida dan gas
saraf. Organofosfat termasuk dalam kategori pestisida berdasarkan sifat
kimianya. Organofosfat merupakan pestisida yang banyak digunakan di
perkebunan dan daerah pemukiman untuk mencegah dan
mengendalikan hama.. Organofosfat bersama organoklorin, dan
insektisida piretroid bersifat neurotoksin. Pembagian kategori pestisida
berdasarkan sifat kimia adalah organoklorin (OC), karbamat,
ditiokarbamat, piretroid, penoxyl, triazin, amida, dan senyawa
kaumadin. Pestisida juga dapat dikelompokkan menjadi herbisida,
insektisida, fungisida, bakterisida, dan rodentisida. Fumigan sulfur,
turunan urea dan produk botani dan biologi digunakan sebagai
pestisida.

________________________________________________________
24 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Asap metal
Pajanan inhalasi asap atau uap dari logam tertentu dapat
menyebabkan terjadinya pneumonitis akut. Pneumonitis karena metal
terjadi karena kerusakan enzimatik dan kerusakan fungsi-fungsi seluler
penting lainnya di saluran napas dan paru. Pajanan dari asap seng dan
tembaga dapat menyebabkan gejala klinis yang dikenal dengan metal
fume fever. Metal fume fever (MFF) merupakan manifestasi sistemik
akibat inhalasi metal oxides yang terus menerus. Penyebab paling
sering berhubungan dengan inhalasi uap seng saat proses pelapisan baja
pada seng oksida dengan menggunakan temperatur tinggi. Patogenesis
metal fume fever masih belum dipahami sepenuhnya namun kondisi ini
berhubungan dengan deposisi partikulat logam halus di alveol. Keadaan
ini selanjutnya akan memicu proses inflamasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Kuschner dkk pada beberapa pekerja yang terpajan
menunjukkan bahwa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor
(TNF)-a, interleukin (IL)-6 dan interleukin (IL)-8 mempunyai peranan
dalam menginisiasi terjadinya metal fume fever.

D. INHALASI ASAP KEBAKARAN (SMOKE INHALATION)

Cedera inhalasi dapat terjadi akibat akibat asap kebakaran (smoke


inhalation). Cedera yang ditimbulkan pada saluran napas terjadi melalui
beberapa mekanisme yaitu (1) udara panas akibat kebakaran
menyebabkan thermal injury pada saluran napas bagian atas, (2)
particulate matter yang menghasilkan jelaga yang menyumbat dan
mengiritasi saluran napas sehingga menyebabkan bronkokonstriksi dan
(3) asfiksia akibat gas yang dihasilkan oleh bahan yang terbakar seperti
gas karbon monoksida (CO) dan sianida. Selanjutnya adalah (4)
terdapatnya bahan lain yang terinhalasi baik iritan maupun toksik
sistemik dari produk pembakaran dan mebel, kain katun (aldehid) atau
karet dan plastik (gas klorin, amonia, hidrokarbon, berbagai asam dan
keton) dapat juga menyebabkan cedera saluran napas dan paru.

Efek panas langsung dapat terjadi pada saluran napas terutama


saluran napas atas yaitu berupa obstruksi saluran napas atas yang terjadi
pada 12 jam pertama setelah terinhalasi. Cedera terhadap saluran napas
atas ditandai dengan eritema, edema dan ulkus pada mukosa saluran
napas yang dapat menyebabkan perdarahan lokal ataupun obstruksi
(Gambar 3) Beberapa komponen kimia dan gas iritan terlarut
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 25
Inhalasi Zat Toksik Akut
dilepaskan pada kejadian smoke inhalation. Komponen kimia dalam
asap akan bereaksi dengan komponen membran sel. Reaksi kimia ini
memproduksi radikal oksigen dan merusak membran sel, merusak
endotel saluran napas dan paru yang pada akhirnya menyebabkan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular. Komponen gas seperti
amonia, hidrogen klorida dan sulfur dioksida berikatan dengan
membran mukosa dan membentuk asam korosif dan basa yang
menyebabkan kerusakan sel, ulserasi dan edema.

Gambar 3. Patogenesis inhalasi asap kebakaran (smoke


inhalation) dan efeknya berdasarkan tipe dan lama
pajanan
Dikutip dari (32)

Perubahan pertama adalah kerusakan mukosa langsung yang


menyebabkan kerusakan aktivitas silia saluran napas. Hal ini
________________________________________________________
26 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
menyebabkan gangguan kemampuan membersihkan mukus dan
particulate matter. Sistem mukosilier yang tidak efektif disertai
produksi debris selular menyebabkan hipersekresi mukus (bronkorea).
Fase lanjut akan terjadi destruksi jaringan dan nekrosis yang
menyebabkan pengikisan mukosa baik pada saluran napas besar atau
kecil yang menyebabkan terjadi hiperksekresi mukus. Edema bronkus
disertai bronkorea menyebabkan obstruksi parsial atau total pada
saluran napas, yang pada akhirnya menyebabkan atelektasis, air-
trapping dan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (mismatch).

Faktor penting yang berperan pada patofisiologi inhalasi asap


kebakaran (smoke inhalation) adalah penurunan keteregangan paru
melebihi 50%. Penurunan ini terjadi pada 24 jam pertama disertai
peningkatan cairan ekstravaskuler dan aliran limfe pulmoner. Cedera
inhalasi juga menyebabkan inaktivasi surfaktan yang menyebabkan
mikroatelektasis sehingga terjadi ventilation perfusion mismatch. Pirau
dapat terjadi pada trauma yang berat sehingga menyebabkan
hipoksemia dan peningkatan cairan transvaskuler yang akan
menghasilkan ARDS (Gambar 3).

Gas CO dan sianida yang dihasilkan dari bahan yang terbakar


dapat menyebabkan asfiksia. Intoksikasi gas karbon monoksida (CO)
diperkirakan menjadi penyebab 80% kasus yang fatal dari cedera
inhalasi. Gas CO merupakan penyebab utama kematian akibat kasus
keracunan di Amerika Serikat dan lebih dari separuh penyebab
keracunan fatal lainnya di seluruh dunia. Hidrogen sianida dapat
dihasilkan oleh proses pembakaran bahan rumah tangga alami atau
sintetis. Bersama- sama dengan karbon monoksida, hidrogen sianida
mempunyai peranan penyebab mortalitas awal pasien dengan cedera
inhalasi.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 27
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB IV
DIAGNOSIS

A. ANAMNESIS

Diagnosis biasanya memerlukan anamnesis gejala dan riwayat


yang cermat. Penilaian gas penyebab yang akurat penting dilakukan,
paling penting adalah riwayat pajanan yang cermat (mekanisme terjadi
pajanan misalnya di ruang tertutup, material yang menimbulkan). Pada
kasus cedera inhalasi, anamnesis yang mendukung temasuk mekanisme
pajanan seperti api, listrik, trauma ledakan, uap atau cairan panas,
kualitas dari gas iritan yang terhirup (berasal dari kebakaran rumah atau
gas beracun dari industri), durasi paparan, komplikasi yang menyertai
misalnya hilangnya kesadaran dan trauma fisis lainnya.

Dasar evaluasi klinis cedera inhalasi terdiri dari beberapa tahap


yaitu anamnesis riwayat pajanan secara menyeluruh. Perlu diperhatikan
sifat dan senyawa yang terinhalasi, mengukur kemungkinan kondisi
pajanan termasuk derajat dan durasi pajanan. Tentukan kelarutan dalam
air zat yang terinhalasi dan tentukan apakah individu terpajan oleh iritan
multipel serta zat yang menyebabkan asfiksia secara berurutan seperti
pada kasus pemadam kebakaran atau subyek lain yang terpajan asap.
Melalui tahapan di atas zat penyebab dapat ditentukan dengan akurat
dan pajanan campuran dapat disingkirkan.

Iritan
Gejala yang timbul akibat inhalasi zat toksik yang bersifat iritan
dan larut dalam air biasanya menyebabkan rasa terbakar di hidung,
tenggorokan, trakea dan bronkus utama. Batuk kering, batuk darah,
mengi dan sesak dapat terjadi. Dapat terjadi sekresi mukus, bersin,
penutupan glotis, apnea dan peningkatan tonus bronkomotor akibat
respons refleks terhadap iritan yang masuk. Obstruksi nasal sampai
epistaksis dapat juga timbul. Faringitis dan laringitis dengan berbagai
tingkat edema dan spasme dapat terjadi. Beratnya gejala yang timbul
berhubungan dengan dosis pajanan. Pada gas yang tidak larut dalam air
jarang timbul gejala akut tetapi dapat timbul sesak atau batuk. Pada
beberapa individu yang terpajan, gejala paru mungkin tidak terlihat,
namun dalam 8-12 jam kemudian dapat timbul sesak napas, sianosis
dan bahkan edema paru. Kerusakan pada generasi saluran napas yang
________________________________________________________
28 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
bervariasi dapat menyebabkan gagal napas yang terjadi dalam waktu 5
jam sampai 7 hari setelah pajanan. Zat-zat yang sangat larut air atau
zat-zat dengan partikel lebih besar menyebabkan rasa terbakar pada
mata, hidung, ternggorok, saluran napas besar dalam hitungan beberapa
menit pajanan. Zat-zat ini juga menyebabkan gejala saluran napas atas
seperti rinitis, epistaksis, faringitis, batuk, muntah dan sesak. Gejala
sakit kepala disertai nyeri dada dan emesis terjadi pada inhalasi sistemik
seperti sianida dan hidrogen sulfat.

Pada inhalasi fosgen dapat timbul keluhan berupa rasa kering dan
rasa terbakar pada tenggorok serta batuk yang terjadi akibat iritasi
saluran napas ringan. Meskipun demikian, gejala ini dapat menghilang
bila pasien dipindahkan dari pajanan, namun harus diingat bahwa
setelah interval tanpa gejala yang berlangsung 30 menit hingga
beberapa jam, nyeri dada, bronkospasme, hipoventilasi, dan bradikardi
dapat terjadi.

Asphyxiant
Pada inhalasi zat yang bersifat asfiksia, gejala yang timbul
disebabkan oleh penurunan tekanan oksigen dalam darah dan jaringan
yang menimbulkan sakit kepala, hiperventilasi, mual, takikardia,
kejang, penurunan kesadaran, henti jantung, apnea dan kematian. Sakit
kepala dan gangguan keseimbangan yang disertai dengan nyeri dada
dan muntah dapat menunjukkan keracunan sitemik, seperti sianida atau
hidrogen sulfida.

Toksik sistemik
Pada inhalasi gas toksik sistemik gejala tergantung bahan yang
terinhalasi. Contohnya pajanan asap metal seperti seng dan tembaga
dapat menyebabkan gejala klinis yang dikenal dengan metal fume fever
(MFF). Gejala umumnya seperti flu (flu-like symptoms) yaitu demam,
mialgia, lemah. Gejala MFF disertai dengan menggigil, demam,
malaise dan mialgia dengan onset 4 hingga 8 jam setelah menghirup
asap atau debu secara terus menerus. Gejala ini juga disertai dengan
gejala respirasi seperti batuk dan sesak napas.
Manifestasi klinis inhalasi organofosfat bervariasi tergantung
kepada spesifik komponen yang terinhalasi, jumlah, jalur dan lama
pajanan serta usia dan kondisi kesehatan pasien yang terpajan. Pada
kondisi akut pajanan organofosfat terjadi stimulasi yang berlebihan
pada reseptor kolinergik khususnya reseptor muskarinik sehingga
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 29
Inhalasi Zat Toksik Akut
menyebabkan toksisitas dan disfungsi saraf kolinergik. Hal tersebut
dapat menyebabkan gejala sistemik seperti pusing, muntah, kelelahan,
sakit kepala, sakit perut, tremor, kejang, ataksia parestesia dan disfungsi
organ lainnya. Organofosfat juga menghambat asetilkolinesterase
sehingga menyebabkan gejala pernapasan seperti nyeri dada, batuk,
pilek, mengi, kesulitan bernapas, sesak napas dan iritasi pada
tenggorokan.

Inhalasi asap kebakaran (smoke inhalation)


Gejala inhalasi asap kebakaran merupakan kombinasi gejala
bahan-bahan yang terinhalasi baik yang iritan, asphyxiant ataupun
toksik sistemik. Gejala dan tanda akibat pajanan smoke inhalation
sangat bervariasi tergantung jenis bahan yang terinhalasi. Gejala yang
paling sering ditemukan pada inhalasi asap kebakaran adalah batuk
produktif, suara serak, sesak napas,dan mengi. Gejala-gejala inhalasi
zat iritan umumnya akan muncul pada inhalasi asap kebakaran. Bila
bahan yang diinhalasi mengandung zat menyebabkan asfiksia (seperti
CO) akan timbul gejala-gejala yang cenderung mempengaruhi sistem
saraf pusat (sefalgia, gangguan visual, penurunan kesadaran) dan
jantung (takikardi, angina, aritmia).

B. PEMERIKSAAN FISIS

Inhalasi zat iritan akan menyebabkan iritasi di membran mukosa.


Membran mukosa mata, hidung, faring dan kulit harus menjadi fokus
pemeriksaan fisis. Konjungtivitis, faringitis, laringotrakheitis, dan
mengi ekspirasi dapat terdeteksi. Pada saluran napas proksimal, mengi,
stridor dan perubahan suara dapat membantu mendukung diagnosis.
Edema juga dapat terlihat pada hidung, faring posterior dan laring.
Pasien dapat mengeluhkan suara serak dan kesulitan berbicara dengan
cedera laring yang lebih berat dan terkadang terdapat stridor pada
pemeriksaan fisis. Auskultasi yang teliti pada paru diperlukan untuk
mendeteksi stridor, mengi dan ronki.
Pada cedera inhalasi asap kebakaran, temuan fisis yang dapat
terlihat misalnya luka bakar pada wajah dan rambut, bulu hidung yang
hangus atau rusak. Dapat ditemukan jelaga pada orofaring, luka bakar
orofaring, eritema atau bercak kemerahan pada membran mukosa,
stridor, suara serak, disfagia, batuk, sputum berkarbon, takipnea,
retraksi atau sianosis penting diperhatikan pada pemeriksaan fisis.
________________________________________________________
30 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Pemeriksaan mata harus dilakukan dengan slit-lamp untuk luka bakar
kornea pada pasien dengan gejala okuler. Tanda-tanda inhalasi zat iritan
lainnya juga ditemukan pada inhalasi asap kebakaran.

Pada kasus intoksikasi gas yang menyebabkan asfiksia seperti


CO, dapat ditemukan gejala takikardi, hipertensi atau hipotensi,
hipertermia, takipnea pada pemeriksaan fisis. Perubahan warna kulit
seperti cheery red dan lesi kulit berupa eritema dan bula dapat juga
ditemukan. Korban yang tidak sadar dan ditemukan pada ruang tertutup
harus dipikirkan terpajan lebih lama dibandingkan korban yang sadar
karena tidak terlindunginya saluran napas dan pajanan yang
terkonsentrasi. Manifestasi klinis dan sumber zat iritan dapat dilihat
pada tabel 2.

Tabel 2. Gas Iritan dan manifestasi klinisnya

Gas Iritan Manifestasi Klinis

Amonia Iritasi pada mata dan saluran napas atas, obstruksi


saluran napas atas, seperti edema laring,
bronkospasme dan edema pulmoner non kardiogenik
dapat terjadi
Hidrogen Klorin Edema laring, trakeobronkitis
Hidrogen Sulfida Iritasi saluran napas dan asfiksia
Hidrogen Florida Pneumonitis, dapat menyebabkan hipokalsemia
Sulfur dioksida Bronkokonstriksi, edema saluran napas, asma,
pneumonitis, bronkitis obliterans
Klorin Trakeobronkitis, ARDS
Nitrogen Oksida Bronkokonstriksi, edema saluran napas, asma,
pneumonitis, bronkitis obliterans
Fosgen Iritasi saluran napas bawah, edema paru non
kardiogenik

Dikutip dari (17)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa metode pemeriksaan penunjang yang dapat membantu


menilai penyebab antara lain pemeriksaan laringoskopi, foto toraks,
laboratorium, bronkoskopi serta toksikologi gas penyebab. Pada
pajanan inhalasi berat atau yang dicurigai pneumonia aspirasi, monitor
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 31
Inhalasi Zat Toksik Akut
elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan foto toraks serta analisis
gas darah harus dilakukan.

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium termasuk analisis gas darah dengan
karboksihemoglobin, methemoglobin, kadar laktat dan kadar sianida
sel darah merah diperlukan jika asidosis yang menetap terjadi. Kadar
karboksihemoglobin harus diambil pada semua korban kebakaran dan
ledakan.

Pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai ada tidaknya pirau


intraplumoner. Terdapatnya hipoksemia dan tekanan parsial oksigen
yang normal dapat menunjukkan keracunan karbon monoksida.
Asidosis metabolik dapat mengindikasikan keracunan sianida atau
hidrogen sulfida. Pada pemeriksaan analisis gas darah sering didapatkan
tekanan oksigen arteri (PaO2) tetap normal karena PaO2 tidak akurat
menggambarkan derajat keracunan CO atau terjadinya hipoksia seluler.
PaO2 menggambarkan oksigen terlarut dalam darah yang tidak
terganggu oleh hemoglobin yang mengikat CO. Saturasi oksigen hanya
akurat bila diperiksa langsung.

Analisis kadar HbCO digunakan untuk memastikan kadar


karbonmonoksida yang terikat pada hemoglobin. Analisis ini
membutuhkan alat ukur spektrofotometer yang khusus. Kadar HbCO
yang meningkat menunjukkan ada pajanan gas
tersebut, sedangkan kadar yang rendah belum dapat menyingkirkan
kemungkinan terpajan, khususnya bila pasien telah mendapat terapi
oksigen 100% sebelumnya atau jarak pajanan dengan pemeriksaan
terlalu lama.

Pemeriksaan radiologi
Foto toraks yang diambil segera setelah kejadian biasanya
menunjukkan hasil yang normal. Pemeriksaan radiologi tetap
diperlukan pada awal kejadian untuk membantu diagnosis segera
mungkin. Pemeriksaan ini terutama untuk melihat apakah terdapat
infiltrat baru selama fase subakut maupun kronik ataupun infiltrat difus
pada ARDS. Pemeriksaan foto toraks dilakukan bila dampak pajanan
tergolong berat atau yang dicurigai pneumonia aspirasi. Edema paru,
atelektasis atau infiltrat dapat dideteksi pada foto toraks. Pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan pada kasus-kasus keracunan gas dan saat
________________________________________________________
32 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Terdapatnya gambaran ground-
glass appearance, perkabutan parahiler, dan edema intra alveol
menunjukkan prognosis yang lebih buruk.
Pemeriksaan CT sken kepala perlu dilakukan pada kasus
keracunan berat gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang
tidak pulih dengan cepat. Dari hasil CT sken dapat ditemukan edema
serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada basal ganglia dan hal
tersebut dapat memprediksi adanya komplikasi neurologis.
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT sken untuk
mendeteksi lesi fokal dan demielinisasi substansia alba dan sering
digunakan untuk tindak lanjut pasien. Pemeriksaan CT sken juga dapat
membantu untuk mengevaluasi fibrosis yang permanen.

Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan salah satu alat diagnostik untuk
memastikan diagnosis trauma inhalasi. Bronkoskopi memiliki akurasi
100% untuk mendiagnosis cedera inhalasi. Keterbatasan dari
bronkoskopi adalah tidak dapat mengevaluasi kerusakan pada saluran
napas distal. Bronkoskopi merupakan standar untuk diagnosis trauma
inhalasi dan mengevaluasi derajat kerusakan trauma inhalasi (Tabel 3).
Bronkoskopi memudahkan klinisi dalam melakukan evaluasi area
supraglotis, mengidentifikasi edema, mengidentifikasi pasien yang
berisiko mengalami obstruksi saluran napas akut. Evaluasi saluran
napas dapat menegakkan diagnosis trauma inhalasi pada traktus
trakeobronkial dengan ditemukannya jelaga, gambaran inflamasi pada
mukosa seperti edema, ulserasi dan lain lain. Pemeriksaan bronkoskopi
sebaiknya dilakukan 8 jam setelah masuk rumah sakit.

Bronkoskopi juga memiliki peran untuk mengambil cairan


bronchoalveolar lavage/BAL, untuk kultur dan untuk memprediksi
hasil. Temuan klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
bronkoskopi serat optik yang dapat dilakukan dalam waktu 24 jam.
Bronkoskopi serat optik digunakan untuk mengidentifikasi trauma
inhalasi pada daerah supraglotik dan infraglotik, dengan akurasi 86%
dan tidak akan menyebabkan hasil positif palsu. Bronkoskopi serat
optik merupakan pemeriksaan penunjang yang penting dalam
mendiagnosis dan menentukan derajat trauma inhalasi. Namun tindakan
ini memiliki keterbatasan apabila dilakukan pada pasien anak-anak
karena sulitnya melakukan bronkoskopi pada saluran napas yang kecil.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 33
Inhalasi Zat Toksik Akut
Dari hasil penelitian didapatkan bukti bahwa penggunaan
bronkoskopi efektif dalam penanganan cedera inhalasi. Terdapatnya
cedera inhalasi yang terlihat pada gambaran bronkoskopi dapat sebagai
prediktor risiko kerusakan paru akut dan membutuhkan resusitasi cairan
yang lebih besar. Penelitian terbaru menunjukkan korelasi antara
derajat keparahan cedera inhalasi yang terlihat pada bronkoskopi serat
optik dengan mortalitas pasien. Pasien dengan 30-59% luka bakar dan
pneumonia yang menjalani bronkoskopi memiliki durasi penggunaan
ventilasi mekanik yang lebih singkat dibandingkan dengan pasien yang
tidak dilakukan bronkoskopi. Pasien yang menjalani bronkoskopi
dilaporkan memiliki masa rawat yang lebih pendek di unit perawatan
intensif, penurunan risiko kematian 18%, biaya yang lebih rendah
dibandingkan mereka yang tidak menjalani bronkoskopi.

Tabel 3. Derajat cedera inhalasi berdasarkan gambaran bronkoskopi

Grade Kelas Keterangan


0 Tidak ada cedera Tidak ada deposit karbon, eritema, edema,
bronchorea atau obstruksi

1 Cedera ringan Kelainan minor eritema /patchy, , deposit


karbon, bronchorea atau obstruksi

Kelainan moderat eritema, deposit karbon,


2 Cedera sedang bronchorea atau obstruksi

Kelainan berat peradangan, deposit karbon,


3 Cedera berat bronchorea atau obstruksi

Terdapat pengelupasan mukosa, nekrosis


4 Cedera masif dan obstruksi endoluminal

Dikutip dari (75)

Bronkoskopi lentur serat optik (BSOL) adalah salah salah satu


tindakan invasive di bidang respirasi yang digunakan untuk tujuan
diagnostic maupun terapetik. Temuan bronkoskopik pada cedera
________________________________________________________
34 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
inhalasi ringan yaitu eritema dan edema mukosa saluran napas,
sedangkan pada cedera inhalasi yang berat tampak mukosa saluran
napas berwarna kelabu disertai erosi, ulserasi dan/atau deskuamasi. Apa
yang tampak pertama kali pada saat dilakukan bronkoskopi seperti
cedera ringan, pada pemeriksaan ulang bronkoskopi dapat menjadi
cedera yang lebih berat. Cedera inhalasi adalah suatu kondisi penyakit
yang dinamis dan pemeriksaan dengan bronkoskopi dapat memberikan
hasil negatif palsu sehingga pemeriksaan dengan bronkoskopi perlu
dilakukan 24 hingga 48 jam pasca cedera terjadi. Jika diagnosis masih
belum dapat dipastikan maka tindakan biopsi dapat membantu hal
tersebut, meskipun tindakan ini tidak banyak dilakukan.

Pemeriksaan dengan BSOL merupakan baku emas untuk


menegakkan diagnosis cedera inhalasi. Beberapa peneliti telah
mengajukan derajat beratnya cedera inhalasi berdasarkan temuan
pemeriksaan BSOL. Tabel 4 merupakan salah satu sistem penderajatan
cedera inhalasi berdasarkan temuan hasil pemeriksaan BSOL yang
banyak digunakan.

Tabel 4. Skema grading gambaran bronkoskopi fiberoptik pada


cedera inhalasi
Grade Gambaran bronkoskopi Mortalitas %
0 Normal 0
B Positif berdasarkan hasil biopsi 0
1 Hiperemi 2
2 Edema berat dan hiperemi 15
3 Cedera berat, ulserasi dan nekrosis 62
Dikutip dari (79)

Pemeriksaan fungsi paru


Pada fase akut, pemeriksaan fungsi paru sulit dilakukan karena
rasa nyeri, pasien kurang kooperatif, otot pernapasan yang lemah,
penggunaan obat sedatif dan opioid yang menyebabkan kurangnya
akurasi pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru pada cedera
inhalasi akan didapatkan hasil normal pada stadium awal dan akan
menurun pada stadium kronik karena terjadi restriksi yang disebabkan
oleh penurunan keteregangan paru dan peningkatan resistensi saluran
napas.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 35
Inhalasi Zat Toksik Akut
Penurunan volume ekspirasi paksa satu detik pertama (VEP1)
dan perbandingan kapasitas vital dengan VEP1 menandakan
terdapatnya obstruksi saluran napas yang disebabkan akumulasi bahan
yang terkandung dalam smoke dan edema mukosa saluran napas.
Pemeriksaan fungsi paru juga berfungsi untuk pemantauan
progresivitas penyakit dan evaluasi hasil terapi (ventilator, obat-obatan,
fisioterapi). Uji provokasi bronkus dengan metakolin dapat membantu
menilai terdapatnya RADS pada individu dengan gejala yang menetap
selama beberapa bulan setelah pajanan.

Pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dapat dilakukan. Pada
pemeriksaan EKG sering didapatkan sinus takikardia dan anemia. Hal
tersebut dapat disebabkan karena hipoksia iskemia atau infark. Pada
penderita penyakit kardiovaskular, kadar HbCO yang rendah sekalipun
dapat menyebabkan suatu gangguan yang serius. Pemeriksaan
toksikologi gas penyebab dapat juga dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan radioisotop, tetapi seringkali tidak tersedia dibanyak
fasilitas kesehatan.

D. DIAGNOSIS BANDING

Cedera panas dan infeksi pada epiglotis, jika gejalanya berat


dapat menjadi dasar diagnosis banding dan gangguan saluran napas
atas. Gejala lain seperti reaksi anafilaktik juga dapat menyerupai
pajanan inhalasi kecuali bila edema lebih jelas. Saluran napas bawah
bereaksi terhadap cedera inhalasi dalam bentuk kerusakan alveol difus
(DAD), patologi yang sama dengan yang ditemukan pada ARDS.
Diagnosis RADS dapat dipertimbangkan pada individu dengan gejala
yang menetap selama beberapa bulan setelah pajanan.

________________________________________________________
36 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB V
TATALAKSANA

TATALAKSANA UMUM

Secara umum pengobatan cedera inhalasi zat toksik adalah


suportif. Batasan terapi suportif yang dibutuhkan tergantung sifat dan
luasnya cedera yang timbul. Terapi umum merupakan upaya tatalaksana
yang bertujuan menjaga tanda vital, menurunkan pajanan zat toksik,
meningkatkan eliminasi zat toksik tetapi tidak spesifik terhadap zat
penyebab. Setelah pajanan pada bahan tertentu, dekontaminasi
mungkin dibutuhkan. Dekontaminasi tidak diperlukan pada pajanan
inhalasi yang tidak menyebabkan iritasi mata dan kulit. Harus diingat
bahwa korban dengan kontaminasi pada kulit atau pakaian yang banyak
mengandung zat yang mudah menguap dapat mengkontaminasi petugas
kesehatan.
. Pertolongan pertama dan tatalaksana kegawatdaruratan dilakukan
sesuai dengan langkah berikut :
1. Pindahkan pasien ke tempat yang hangat, jauh dari pajanan dan
segera bawa pasien ke tempat memungkinkan untuk memberikan
pertolongan pertama.
2. Prinsip dasar bantuan hidup (life support) harus dikerjakan
dengan cepat.
3. Pemeliharaan sistem respirasi termasuk menjaga patensi saluran
napas, ventilasi paru serta oksigenasi yang adekuat harus
diberikan pada kasus inhalasi zat toksik. Jika diperlukan lakukan
pernapasan mulut ke mulut atau dengan bantuan resusitasi
portabel.
4. Sirkulasi harus dijaga untuk mencegah hipotensi dan syok. Bila
terjadi syok, pertolongan pertama dapat dilakukan dengan
meletakkan pasien pada posisi telentang dengan bagian bawah
dinaikkan serta badan harus dihangatkan dengan selimut atau
jaket. Jika memungkinkan segera lakukan resusitasi cairan
dengan pemberian cairan intravena.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 37
Inhalasi Zat Toksik Akut
TATALAKASANA KHUSUS

Evaluasi luasnya cedera inhalasi dan tingkat hipoksemia yang


terjadi pada pasien yang mengalami inhalasi zat toksik harus segera
dilakukan. Meskipun tidak ada gejala awal, biasanya tetap diobservasi
selama 4-12 jam dengan pemantauan ketat. Setelah dipulangkan harus
diintruksikan segera kembali ke rumah sakit bila ada gejala. Gejala
yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas dan kesulitan
bernapas harus segera dipantau di rumah sakit karena edema dan
obstruksi yang terjadi dapat mengalami perburukan dalam 24-48 jam
kemudian.

Apabila gejala saluran napas atas muncul, dan terdapat riwayat


terpajan bahan dengan kelarutan tinggi, pasien harus diobservasi
minimal 6 jam. Beberapa bahan dapat menyebabkan edema paru
dengan onset lambat (seperti fosgen dan nitrogen oksida) yang
merupakan bahan dengan kelarutan rendah di air. Bahan tersebut
menyebabkan iritasi atau kesulitan bernapas yang lambat, berbeda
dengan bahan dengan kelarutan tinggi seperti amonia dan hidrogen
klorida yang onsetnya cepat. Edema paru nonkardiogenik onset lambat
dapat terjadi 12 sampai 72 jam kemudian, oleh karena itu diperlukan
observasi lebih lama untuk orang yang terpajan bahan dengan kelarutan
air yang rendah.

Beberapa kondisi berikut merupakan indikasi perawatan rumah


sakit pada kasus cedera inhalasi :
1. Riwayat pajanan di tempat tertutup > 10 menit
2. Produksi sputum kehitaman (carboneous)
3. Hasil analisis gas darah, nilai PaO2 < 60 mmHg
4. Asidosis metabolik
5. COHb > 15%
6. Perbedaan oksigen arteri-vena (pada pemberian oksigen 100%)
> 100 mmHg
7. Bronkospasme
8. Odinofagia
9. Luka Bakar di area muka

________________________________________________________
38 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Terapi pemeliharaan diperlukan untuk menjaga fungsi organ vital
tetap baik dalam jangka panjang selama perawatan di rumah sakit.
Upaya terapi tersebut :
● Selama perawatan, patensi saluran napas, ventilasi paru serta
pemberian oksigen harus dijaga tetap adekuat. Oksigen harus
diberikan dengan konsentrasi yang tinggi selama perawatan. Pada
kasus inhalasi zat penyebab asfiksia seperti CO, pemberian
oksigen konsentrasi tinggi (100%) harus dilakukan.
● Tatalaksana kelainan organ lain yang mungkin timbul akibat
inhalasi zat toksik seperti gagal jantung dan henti jantung,
gangguan sistem saraf pusat, gangguan air dan elektrolit,
gangguan ginjal serta gastrointestinal harus ditatalaksana dengan
maksimal.

Bronkoskopi
Bronkoskopi selain untuk diagnositk juga untuk terapetik. Selain
diagnosis penggunaan bronkoskopi juga merupakan tindakan terapeutik
seperti melakukan evakuasi seret, cloting (bekuan) darah, debris yang
menutupi lumen traktus tracheobronkus. Pada trauma inhalasi,
bronkoskopi sering diperlukan untuk membantu pembersihan sekresi,
kotoran atau materi karbon berlebihan di saluran napas. Penggunaan
bronkoskopi yang agresif sangat efektif dalam mengambil partikel
asing dan sekret yang terakumulasi yang dapat memperburuk respon
inflamasi dan menghambat ventilasi. Bronkoskopi dapat dimulai untuk
lakukan pada cedera inhalasi karena asap (smoke inhalation) dalam 18
sd 72 jam setelah rawat rumah sakit. Bronkoskopi dapat diulang sampai
saluran napas bersih dari jelaga dan sekret kehitaman (carbonaceous).

Tindakan BSOL merupakan hal penting pada cedera inhalasi.


Temuan yang didapat dari tindakan ini dapat dianalisis dan
berhubungan dengan gambaran klinis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tindakan BSOL dini dapat membatu mendiagnosis
cedera inhalasi dengan cepat. Selain itu gambaran kelainan yang
didapat dari tindakan BSOL dapat diklasifikasikan untuk menetukan
prognosis dan penatalaksanaan yang akan dilakukan selanjutnya.
Tindakan BSOL merupakan prosedur yang aman, efektif dan ekonomis
dalan mendiagnosis sedini mungkin cedera inhalasi. BSOL dapat
memprediksi terjadinya cedera paru aku (acute lung injury/ALI) dan
memperbaiki prognosis pasien.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 39
Inhalasi Zat Toksik Akut
Baku emas dalam mendiagnosis cedera inhalasi adalah tindakan,
bronkoskopi dengan keakuratan mencapai 86%. Temuan bronkoskopik
yang sesuai dengan cedera inhasi seperti penumpukan karbon
(carbonaceous debris), mukosa pucat, ulserasi atau eritema. Tindakan
kumbah saluran napas (pulmonary toilet) dapat mengurangi akibat dari
cedera. Cairan hasil kumbahan tersebut dapat dikirm ke laboratorium
untuk pemeriksaan mikroskopi dan kultur.

Seringkali BSOL digunakan untuk mengangkat sumbatan tetapi


pencegahan terjadinya pembentukan selaput (cast) atau kerusakan di
saluran napas lebih penting dalam penatalaksaaan cedera inhalasi.
Aliran darah ke bagian paru yang mengalami atelektasis menyebabkan
oksigenasi terganggu dan berakibat terjadinya pirua (shunt). Masalah
klini akan muncul akibat gangguan pertukaran gas yang berat yang
disebabkan oleh ketidak imbangan ventilasi dan perfusi.

Intubasi
Tindakan intubasi atau trakeostomi penting bila terdapat gawat
napas. Pada cedera saluran napas atas intubasi harus dipertimbangkan
bila dicurigai sudah terjadi edema karena akan mengalami progresivitas
dalam 24-48 jam. Bila terlambat dilakukan akan menyulitkan
melakukan intubasi. Jika intubasi diperlukan, ventilasi diatur dengan
volume tidal 6 mL/kgBB, yang bertujuan untuk proteksi paru.

Pada kasus trauma inhalasi, pipa endotrakeal disarankan pada


pasien yang mengalami edema wajah, suara serak, stridor atau pada
pasien dengan luka bakar luas karena edema wajah dikhawatirkan akan
bertambah dengan tindakan resusitasi. Intubasi juga diperlukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan untuk proteksi jalan napas.
Berikutnya yang paling penting adalah menjaga stabilitas pipa
endotrakeal, karena reintubasi pada kasus edema saluran napas sangat
sulit.

Bronkodilator
Bronkodilator digunakan untuk mengurangi tahanan saluran
napas dan meningkatkan komplain dinamik. Seperti trauma paru karena
sebab lainnya, bronkokonstriksi lebih lanjut dapat memperburuk
pertukaran gas yang sudah terganggu pada alveol yang rusak.
Penggunaan bronkodilator bertujuan memperbaiki bronkokonstriksi
________________________________________________________
40 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
yang terjadi. Dalam sebuah studi, Palmieri et al. menemukan bahwa
inhalasi dengan albuterol dapat menurunkan tahanan saluran napas dan
meningkatkan rasio PaO2/FiO2. Studi lain oleh Lange et al. juga
menemukan inhalasi epineprin tiap 4 jam dapat menurunkan tekanan
dan meningkatkan rasio PaO2/FiO2.

Trauma inhalasi juga menyebabkan respons parasimpatis melalui


reseptor muskarinik pada paru mengakibatkan konstriksi otot polos
saluran napas dan melepaskan berbagai sitokin serta menstimulasi
glandula submukosa. Mekanisme di atas dapat dihambat dengan
pemberian agonis reseptor muskarinik seperti tiotropium. Pemberian
beta agonis bersama sama dengan anti muskarinik dapat menurunkan
respons inflamasi, meningkatkan proliferasi silia bronkus dan glandula
submukosa.

Kortikosteroid
Pada pasien dengan bukti terdapat obstruksi saluran napas,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk mengurangi
inflamasi. Penggunaan kortikosteroid pada fase akut edema paru dan
kerusakan alveol difus masih kontroversi. Meskipun begitu, dengan
timbulnya kerusakan saluran napas yang disertai bronkospasme,
penggunaan kortikosteroid dan bronkodilator dapat dibenarkan sebagai
dasar tatalaksana obstruksi saluran napas. Pada kasus pasien dengan
riwayat eksaserbasi penyakit paru yang mendasari seperti asma dan
PPOK, penggunaan steroid ada tempatnya. Pada kasus inhalasi asap,
penggunaan steroid dilaporkan tidak berguna. Pada kasus inhalasi
nitrogen dioksida, pemberian steroid dapat dilanjutkan 6-8 minggu
untuk mencegah episode berulang edema paru dan timbulnya
bronkiolitis obliterans.

Antibiotik
Antibiotik hanya diberikan bila terbukti ada infeksi. Antibiotik
diberikan bila ada bukti radiologi, leukosit dan pemeriksaan sputum.
Pasien dengan kerusakan paru akibat inhalasi zat toksik berisiko terjadi
infeksi sekunder. Infeksi sekunder seringkali sulit dibedakan dengan
efek inhalasi akut karena keduanya menimbulkan demam, peningkatan
leukosit dan abnormalitas foto toraks. Pemberian antibiotik parenteral
untuk profilaksis dapat dipertimbangkan. Antibiotik diberikan bila ada
bukti mikrobiologi pada kasus yang tidak respons dengan terapi suportif
yang agresif atau bila terjadi perburukan klinis dalam 72 jam dengan
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 41
Inhalasi Zat Toksik Akut
dugaan infeksi. Meskipun begitu penggunaan antibiotik profilaksis
masih belum menunjukkan efikasi yang baik.

Ventilasi mekanis
Sebanyak 20-30% pasien dengan trauma inhalasi mengalami
obstruksi saluran napas dengan derajat yang bervariasi karena edema
faring yang memburuk secara cepat. Hal ini juga berlaku pada pasien
yang menerima resusitasi cairan intravena dalam jumlah besar.
Menjaga kebersihan bronkus sangat diperlukan pada pasien dengan
trauma inhalasi. Ambulasi segera, fisioterapi dada, suction saluran
napas dan bronkoskopi terapetik sangat diperlukan. Tidak ada alat
bantu napas yang ideal untuk pasien dengan trauma inhalasi. Ventilator
digunakan untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.

Ventilasi noninvasif
Penggunaan ventilasi non invasif banyak dipilih karena dapat
mencegah intubasi endotrakea dengan segala risikonya. Tanpa pipa
endotrakeal, pasien dapat berkomunikasi dengan lebih efektif,
membutuhkan obat sedasi yang lebih rendah dan lebih nyaman. Selain
itu kebersihan mulut dapat dijaga. Trauma yang diakibatkan intubasi
atau komplikasi lain saat ekstubasi juga dapat dihindari. Keuntungan
ventilasi non invasif ini yaitu penurunan insidens, biaya dan mortalitas
dari kejadian pneumonia.

Ventilasi non invasif digunakan pada pasien yang sadar,


kooperatif, dan dapat bernapas spontan. Kondisi hemodinamik tidak
stabil, gangguan irama jantung, kondisi tidak sadar, trauma berat pada
wajah, ketidakmampuan untuk batuk dan mengeluarkan lendir
merupakan kontraindikasi penggunaan ventilasi non invasif. Pasien
yang tidak kooperatif untuk selalu memakai masker, batuk saat
diperlukan dan membuka masker saat muntah juga tidak disarankan
menggunakan ventilasi non invasif.

Ventilasi mekanis diganti dengan ventilasi non invasif ketika


tanda dan gejala hipoksemia atau hiperkarbia membaik. Pada jam-jam
awal trauma inhalasi, risiko edema pada jaringan yang terbakar dan
tidak terbakar sangat besar. Ventilasi non invasif dapat dianggap
sebagai strategi profilaksis selama resusitasi pada pasien berisiko tinggi
bahkan sebelum tanda-tanda insufisiensi pernapasan terjadi.
Komplikasi yang paling serius dari ventilasi noninvasif adalah
________________________________________________________
42 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
ketidakmampuan mengenali kapan ventilasi ini sudah tidak adekuat
memberikan oksigenasi yang memadai. Tertundanya intubasi dapat
memperburuk kondisi pasien.

Terapi oksigen hiperbarik (Hyperbaric oxygen/HBO)


Terapi oksigen hiperbarik masih menjadi kontroversi dalam
penatalaksanaan keracunan gas CO. Eliminasi HbCO dengan HBO
terbukti dapat mengurangi dan menunda defek neurologis, edema
serebri, perubahan patologis sistem saraf pusat. Secara teori HBO
bermanfaat untuk terapi keracunan CO karena oksigen bertekanan
tinggi dapat mengurangi kadar HbCO dalam darah dengan cepat,
meningkatkan transportasi oksigen intraseluler, mengurangi aktivitas
daya adhesi neutrofil dan dapat mengurangi peroksidase lipid.
Oksigenasi hiperbarik mengurangi secara bermakna waktu paruh
karboksihemoglobin.

Pemberian HBO dalam 24 jam pertama difokuskan untuk


melepaskan ikatan CO dari sitokrom c oksidase di otak dan
mempercepat pembersihan CO dari hemoglobin di aliran darah perifer.
Suatu penelitian yang dilakukan perkumpulan HBO di Amerika
menunjukkan kriteria untuk HBO adalah pasien koma, riwayat
kehilangan kesadaran, gambaran iskemia pada EKG, defisit neurologis
fokal, uji neuropsikiatri yang abnormal, kadar HbCO diatas 40%,
kehamilan dengan kadar HbCO >25%, dan gejala yang menetap setelah
pemberian oksigen normobarik. Kontraindikasi relatif untuk terapi
hiperbarik adalah mengi dan debris pada saluran napas, karena
dikhawatirkan dapat meningkatkan emboli gas dan pneumotoraks. Pada
beberapa kasus intoksikasi hidrogen sulfida berat juga diperlukan HBO.

Antidotum
Tatalaksana spesifik terhadap zat penyebab dapat dilakukan pada
bahan tertentu antara lain bila pajanan seperti asam hidroflorik,
mungkin pengobatan dengan antidotum spesifik sangat berguna.
Penggunaan asam ethyleneediaminic tetraacetic dianjurkan pada
inhalasi toksik kadmium. Oksigen dan natrium tiosulfat sering
digunakan sebagai antidotum sianida. Inhalasi asap yang mengandung
hidrogen sianida, penggunaan inhalasi amyl nitrit diikuti dengan
natrium nitrit intravena dan natrium tiosulfat mungkin dapat membantu.
Antidotum lain yang dapat digunakan pada inhalasi sianida adalah

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 43
Inhalasi Zat Toksik Akut
hidroksikobalamin dan dicobalt ethylenediaminetetraacetic acid
(EDTA).

Hidroksikobalamin merupakan antidotum yang efektif, dengan


dosis 100 mg/kgBB. Kadar sianida 1 mg / L dalam darah dianggap
fatal. Hidroksikobalamin dan etate dicobalted digunakan bersama-
sama untuk mengeliminir sianida dalam darah. Dosis standard
pengobatan adalah 5 g yang diberikan secara intravena. Pada
intoksikasi berat dan respons pengobatan yang buruk, pemberian obat
dapat diulang dengan dosis 5 g. Efek samping yang mungkin muncul
antara lain sakit kepala, reaksi alergi, perubahan warna kulit dan urin,
serta hipertensi atau refleks bradikardia.

Antikoagulan
Obstruksi saluran napas merupakan manifestasi klinis tersering
pada cedera inhalasi. Obstruksi terbentuk dari sel epitel yang terlepas,
mukus, inflamasi dan fibrin. Fibrin menjadi target penelitian untuk
mencegah terjadinya obstruksi. Enkhabataar et al. menggunakan
inhalasi tissue plasminogen activator (TPA) sebagai agen fibrinolitik
pada kasus inhalasi asap kebakaran. Hasilnya adalah edema paru
berkurang serta obstruksi saluran napas lebih sedikit pada hewan
domba. Kombinasi heparin dan N-asetil sistein pada studi Desai et al.
menunjukkan penurunan mortalitas pada pasien anak dengan cedera
inhalasi. Akan tetapi, studi yang berbeda mendapatkan hasil tidak ada
perbaikan klinis signifikan antara pasien dengan inhalasi heparin dan
asetil sistein. Efikasi inhalasi heparin pada cedera inhalasi memerlukan
penelitian lebih lanjut.

Terapi lain
Pada inhalasi gas klorin, nebulisasi dengan natrium bikarbonat
menunjukkan manfaat pada periode awal dalam hal uji fungsi paru dan
kualitas hidup pada kasus dengan RADS. Pada intoksikasi hidrogen
sulfida berat, segera berikan inhalasi amil nitrit dan injeksi natrium
nitrit 3% serta berikan oksigen murni karena oksigen meningkatkan
metabolisme sulfida.

________________________________________________________
44 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB VI
KOMPLIKASI

Individu yang terpajan secara tidak sengaja pada gas beracun


biasanya pulih sempurna. Meskipun demikian, terkadang komplikasi
akut yang mengancam nyawa atau komplikasi kronik dapat terjadi.
Kematian akibat gagal napas akut adalah komplikasi yang paling
ditakuti. Hal ini dapat disebabkan oleh cedera laring berat dan edema
paru nonkardiogenik. Selain itu berbagai komplikasi paru kronik juga
dapat terjadi. Sebanyak kurang dari 10% dari seluruh korban yang
terpajan.

Pneumonia
Pneumonia merupakan komplikasi yang umum terjadi.
Pneumonia bakteri dapat terjadi dalam beberapa hari setelah pajanan
karena disfungsi silia meningkatkan akumulasi debris di saluran napas.
Kaskade inflamasi diawali dengan infiltrasi neutrofil. Makrofag di
alveol rusak diikuti dengan proliferasi bakteri. Rusaknya barier epitel
lebih lanjut memfasilitasi timbulnya pneumonia. Sejumlah besar pasien
yang mengalami intoksikasi gas dan menggunakan ventilator
mengalami pneumonia. Strategi pencegahan meliputi elevasi kepala
pasien, perubahan posisi berkala dan menjaga kebersihan mulut.
Penggunaan antibiotik untuk profilaksis tidak disarankan dan dapat
meningkatkan risiko infeksi.

Thermal injury pada inhalasi asap kebakaran akan mengaktifkan


respons inflamasi, kerusakan langsung paru membuat saluran
pernapasan sangat berisiko untuk terjadi infeksi. Cedera inhalasi dapat
merusak silia sehingga silia terlepas dari sel epitel saluran napas. Epitel
saluran napas mengalami eksfoliasi akibat iritasi kimia gas, hal ini
mengganggu fungsi imun paru. Produksi surfaktan dan makrofag paru
terganggu menyebabkan peningkatan risiko infeksi saluran napas.
Ketika diagnosis penumonia ditegakkan, pemberian antibiotik harus
segera diberikan setelah sputum diambil untuk dikultur.

Bronkiolitis obliterans (BO)


Bronkiolitis obliterans (BO) yang juga dikenal dengan
bronkiolitis obliteratif atau bronkiolitis konstriktif adalah komplikasi
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 45
Inhalasi Zat Toksik Akut
yang jarang namun telah dilaporkan terjadi setelah pajanan terhadap
nitrogen oksida misalnya gas lumbung atau sulfur dioksida. Penyebab
lain BO adalah pajanan di tempat kerja atau lingkungan terhadap klorin,
amonia, forgen dan merkuri. Penyakit ini timbul setelah 1-3 minggu
cedera paru akibat inhalasi zat toksik. Sesak napas progresif dalam
beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah pajanan menunjukkan
obstruksi saluran napas pada uji fungsi paru. Foto toraks dapat terlihat
normal atau terdapat hiperinflasi.

Kortikosteroid oral dianjurkan untuk terapi meskipun uji klinis


dengan kontrol masih diperlukan. Pasien dengan BO dalam beberapa
minggu pajanan seringkali mendapat manfaat dari steroid karena
mereka memiliki bronkiolitis tipe proliferatif tidak seperti bronkiolitis
konstriktif atau jaringan parut. Cryptogenic Organizing Pneumonia
(COP) yang juga dikenal sebagai Bronchiolitis Obliterans dengan
Organizing Pneumonia (BOOP) jarang terjadi setelah cedera inhalasi.
Pajanan terhadap nitrogen oksida telah dilaporkan sebagai penyebab
utama. Gejala yang ditemukan pada korban yang datang beberapa
minggu setelah pajanan adalah sesak saat aktivitas dan konsolidasi paru
multifokal pada foto toraks. Pada kelainan ini terapi diberikan seperti
pada BOP idiopatik.

Bronkiektasis
Bronkiektasis merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
Pertama kali dilaporkan terjadi setelah pajanan dosis besar amonia.
Tanda klinis dan tatalaksana tidak berbeda dengan bronkiektasis yang
disebabkan oleh faktor lainnya.

Reactive Airway Disfunction Syndrome (RADS)


Reactive Airway Dysfunction Syndrome (RADS) adalah bentuk
asma okupasi yang terjadi pada individu yang terpajan secara akut oleh
produk iritan konsentrasi tinggi menimbulkan reaktivitas saluran napas
yang menetap. Korban pajanan dapat mengalami gejala pernapasan dan
hipereaktivitas bronkus dalam beberapa menit atau beberapa jam.
Pajanan berulang dapat menyebabkan patologi yang serupa. Reactive
Airway Dysfunction Syndrome merupakan sekuele tersering dari cedera
paru akibat inhalasi akut. Reactive Airway Dysfunction Syndrome
menunjukkan gejala seperti asma yang menetap selama beberapa bulan
hingga beberapa tahun. Beberapa pasien secara permanen mengalami
gangguan fisis dan klinis. Menghindari pajanan iritan adalah kunci
________________________________________________________
46 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
tatalaksana. Terapi dengan natrium bikarbonat (NaHCo3) telah
menunjukkan bermanfaat pada periode awal, tapi tidak untuk jangka
panjang.

Stenosis trakea
Komplikasi yang sering muncul pada trakea dapat berupa
trakeitis, ulserasi dan pembentukan granuloma. Lokasi stenosis
biasanya di sekitar subglotis pada sisi balon pipa endotrakea. Setelah
ekstubasi mungkin saja timbul masalah berupa cedera laring dan trakea
yang terjadi saat melakukan intubasi. Kasus stenosis trakea atau
trakeomalasia dapat timbul tanpa gejala tapi dapat juga mengakibatkan
obstruksi saluran napas yang berat sehingga memerlukan tindakan
bedah.

Komplikasi jangka panjang intoksikasi CO


Morbiditas jangka pendek dan jangka panjang dari intoksikasi
karbon monoksida melibatkan neurologis dan vaskular. Gejala sisa
neurologis dibagi menjadi dua sindrom: 1) gejala neurologis persisten
dan 2) gejala neurologis tertunda. Gejala neurologis persisten termasuk
defisit neurologi yang terjadi setelah pajanan karbon monoksida dan
dapat memberat dari waktu ke waktu. Sedangkan gejala sisa neurologis
tertunda merupakan gejala neurologi yang muncul kembali setelah
beberapa waktu sesudah perbaikan terjadi. Sangat sulit untuk
membedakan keduanya. Gejala intoksikasi karbon monoksida yang
kronik adalah kelelahan, kondisi afektif, gangguan emosi, defisit
memori, kesulitan bekerja, gangguan tidur, vertigo, neuropati,
parestesia, infeksi berulang, polisitemia, sakit perut dan diare.

Sekuele neuropsikologi umum terjadi setelah intoksikasi karbon


monoksida. Sebanyak 40% pasien intoksikasi karbon monoksida yang
mendapatkan terapi oksigen normobarik, memiliki gangguan kognitif
setelah 6 minggu pengamatan, sedangkan yang lain mengalami
gangguan afektif. Komplikasi yang lain adalah gangguan motor gait,
neuropati perifer, gangguan pendengaran dan kelainan vestibular,
demensia dan psikosis. Gangguan ini dapat menetap.

Pasien dengan intoksikasi karbon monoksida harus tetap ditindak


lanjut setelah terapi. Pemulihan pasien setelah intoksikasi sangat
bervariasi, sering diikuti dengan komplikasi yang dapat terjadi dalam
beberapa minggu setelahnya. Tidak ada terapi spesifik untuk
komplikasi ini.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 47
Inhalasi Zat Toksik Akut
DAFTAR PUSTAKA

1. Susanto AD. Inhalasi zat toksik. Dalam: Kosasih A, Susanto AD,


Pakki TR, Martini T.editors. Diagnosis dan tatalaksana
kegawatdaruratan paru. Perhimpunan Dokter Paru Cabang
Banten. Sagung Seto. 2008. p.69-78.
2. Schwartz DA, Blaski CA. Toxic inhalations. In:
Fishman’s.Editor. Pulmonary diseases and disorders. 3rd ed. New
York: McGraw-Hill;1998. p.925-40.
3. Epler GR. Environmental and occupational lung diseases.
Diunduh dari: http://www.epler.com/occu1.html pada tanggal 25
oktober 2017.
4. Serebrisky D, Nazarian EB, Sharma GD, Windle ML, Callahan
C, Cataletto ME et.al. Inhalation injury. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/ped/topic1189.htm pada tanggal 22
November 2017.
5. Hendrick DJ. Toxic lung injury: inhaled agents. In: Gibson GJ,
Geddes DM, Costabel U, Sterk PJ, Corrin B. editors. Respiratory
medicine. 3rd ed. British: Saunders; 2003. p.807-24.
6. Toxic inhalation injury. Diunduh dari :
http://www.merck.com/mmpe/sec05/ch057/ch057j.html pada
tanggal 11 Desember 2017.
7. Pohan MYH, Swidarmoko B. Cedera inhalasi akut. J Respir Indo
2006;26:159-64.
8. Blanc PD. Acute pulmonary responses to toxic exposures. Dalam:
Murray JF, Nadel JA. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2000.p.1903-14.
9. Hodgson E, Levi PE. Absorption and distribution of toxicants. In:
Hodgson E, Levi PE editors. A textbook of Modern Toxicoloy.
2nd ed. Boston: McGraw-Hill;2000. p.27-56.
10. Spiro SG. Smoke inhalation injury: pulmonary implication.
Diunduh dari : http://www.medscape.com/viewarticle/408744_5
pada tanggal 6 November 2017.
11. Inhalation injury. Diunduh dari:
http://www.medbc.com/meditline/review/acta/vol_42/num_4/te
xt/vol42n4p115.asp pada tanggal 14 Desember 2017.
12. Harrison RJ. Chemical and gases. Primary Care. 2000;27:1-44.
13. Hodgson E. Diagnosis and treatment of toxicity. In: Hodgson E,
Levi PE editors. A textbook of Modern Toxicoloy. 2nd ed.Boston:
McGraw-Hill; 2000. p.373-88.
________________________________________________________
48 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
14. Agency for Toxic substances and disease registry. Diunduh dari:
http://www.atsdr.cdc.gov. Pada tanggal 5 Mei 2012.
15. Glazer CS. Acute inhalational injury. In: Hanley ME, Welsh CH
editors. Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine.
International Ed. New York: Mc-Graw Hill;2003. p.354-60.
16. National Occupational Exposure Survey (NOES 2000-2001).
Diunduh dari : http://www.cdc.gov/noes pada tanggal 10 Mei
2012.
17. Gorguner M, Akgun M. Acute inhalational injury. EAJM.
2010;42:28-35.
18. Newman LS, Gottschall EB. Toxic inhalational lung injury. In:
Albert RK, Spiro SG, Jett JR; editors. Clinical Respiratory
Medicine. 2nd ed. Philadelphia: Mosby;2004. p.759-64.
19. Arwood R, Hammond J, Ward GG: Ammonia inhalation. J
Trauma.2005;25:444-7.
20. Kales SN, Christiani DC. Current concepts: acute chemical
emergencies. N Engl J Med.2004;350:800-8.
21. Newman LS. Current concepts: occupational illness. N Engl J
Med.1995;333:1128-34.
22. Miller K, Chang A. Acute inhalation injury. Emerg Med Clin
North Am. 2003;21:533-57.
23. Das R, Blanc PD: Chlorine gas exposure and the lung: a review.
Toxicol Ind Health. 2003;9:439-55.
24. Gorguner M, Aslan S, Inandi T, Cakir Z. Reactive airways
dysfunction syndrome in housewives due to a bleach-
hydrochloric acid mixture. Inhal Toxicol. 2004;16:87-91.
25. Reisz GR, Gammon RS. Toxic pneumonitis from mixing
household cleaners. Chest. 2006;89:49-52.
26. Aslan S, Kandis H, Akgun M, Cakir Z, Inandi T, Gorguner M.
The effect of nebulised NaHCO3 treatment on RADS due to
chlorine gas inhalation. Inhal Toxicol. 2006;18:895-900.
27. Burgess JL, Pappas GP, Robertson WO: Hazardous materials
incidents: the Washington Poison Center experience and
approach to exposure assessment. J Occup Environ Med.
2007;39:760-6.
28. Hartzell GE: Overwiew of combustion toxicology. Toxicology.
2006;115:7-23.
29. Ainsile G. Inhalational injuries produced by smoke and nitrogen
dioxide. Respir Med. 2003;87:169-74.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 49
Inhalasi Zat Toksik Akut
30. Gordon T, Fine JM. Metal fume fever. Occup Med. 2008;8:504-
17.
31. Alberts WM, Do Picco GA. Reactive airways dysfunction
syndrome. Chest. 2006; 09:1618-26.
32. Murakami K, Traber D. Pathophysiological basis of smoke
inhalation injury. News Physiol Sci. 2003;18:125-9
33. Susanto AD. Management of acute toxic inhalation. Presented at
Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Ilmue Kedokteran Respirasi
(PIPKRA) 2017. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. Jakarta.2017.
34. Dries DJ, Endorf FW. Inhalation injury: epidemiology,
pathology, treatment strategies. Scand J Trauma, Resusc Emerg
Med. 2013;19:21-31.
35. Walker PF, Buehner MF, Wood LA, Boyer NL, Driscoll IR,
Lundy JB, et al. Diagnosis and management of inhalation injury :
an update review. Critical care. 2015:19:351.
36. Metin G, Metin A. The Eur J Med. 2010;42:28-35.
37. Rogerio S, Carlos J, Joao MS, Carlos RRC. Smoke inhalation
injury. J Bras Pneumol. 2004;30:557-65.
38. Schwartz LR, Balakrishan C. Thermal Burns. In: Tintinalli JE,
Kelen GD, Stapczynski JS editors. Emergency medicine: a
comprehensive study guide. 6th ed. New York: The Mc Graw Hill
Companies; 2004. p.1220-6.
39. Shusterman D. Upper and lower airway sequelae of irritant
inhalations. Clin Pul Med.1999;6:18-31.
40. Bosse GM.Nebulized sodium bicarbonate in the treatment of
chlorinegas inhalation. J Toxicol Clin Toxicol. 1994;32:233-41.
41. Myers JL, Colby TV. Pathological manifestation of bronchiolitis,
constrictive bronchiolitis, cryptogenic organizing pneumonia,
and diff use panbronchiolitis. Clin Chest Med. 1993;14:611-22.
42. Sheridan R. Spesific therapies for inhalation injury. Crit Care
Med. 2002;30:718-9.
43. Winder C. The toxicology of chlorine. Environ Res.
2001;85:105–14.
44. Martinez TT, Long C. Explosion risk from swimming pool
chlorinators and review of chlorine toxicity. J Toxicol Clin
Toxicol. 1995;33:349–54.
45. Ho MP, Yang CC, Cheung WK, Liu CM, Tsai KC. Chlorine gas
exposure manifesting lung injury. J Intern Med Taiwan.
2010;21:210-15.
________________________________________________________
50 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
46. Sheridan R. Fire-related inhalation injury. NEJM. 2016: 375:464-
9.
47. Weaver LK, Valentine KJ, Hopkins RO: Carbon monoxide
poisoning: risk factors for cognitive sequelae and the role of
hyperbaric oxygen. Am J Respir Crit Care Med. 2007;176:491-
7.
48. Tanizaki S. Assessing inhalation injury in the emergency room.
Open Access Emerg Med. 2015;7:31–7.
49. Souza R, Jardim C, Salge JM, Carvalho CRR. Smoke inhalation
injury. J Bras Pneumol. 2004;30:557-65.
50. Gill P, Martin RV. Smoke inhalation injury. BJA
Education.2015;15:143–8.
51. Lawson-Smith P, Jansen EC, Hyldegaard O. Cyanide
intoxication as part of smoke inhalation - a review on diagnosis
and treatment from the emergency perspective. Scand J Trauma,
Resusc Emerg Med. 2011;19:1-5.
52. Vadde R, Salhan D, Schmidt MFJ. Hydrocarbon Inhalation
Injury. Diunduh dari :
https://emedicine.medscape.com/article/1005903-overview pada
tanggal 15 Maret 2018.
53. Sanborn MD, Cole D, Abelsohn A, Weir E. Identifying and
managing adverse environmental health effects pesticides.
CMAJ. 2002;166:1431–36.
54. Kizer KW. Toxic inhalations. Emerg Med Clin North Am.
1984;2:649–66.
55. Schwartz DA. Toxic tracheitis, bronchitis and bronchiolitis. In:
Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors.
Occupational disorders of the lung: recognition, management and
prevention. London: WB Saunders; 2002.p.94-103.
56. Schwartz DA. Acut inhalational injury. Occup Med. 1987;2:297-
318.
57. Morgan M, Frank R. Uptake of pollutant gases in the respiratory
system. In: Brain J, Proctor D, Reid L,editors. Respiratory
defence mechanisms. 1st ed. New York: Marcel Dekker;
1977.p.157-86.
58. Perdanakusuma D, Soekamto T. Intoksikasi karbonmonoksida. J
Rekons Est. 2012;1:1-5.
59. Kealey GP. Carbon monoxide toxicity. J Burn Care Res.
2009;30:146–7.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 51
Inhalasi Zat Toksik Akut
60. Oettmeier W. Herbicide resistance and supersensitivity in
photosystem II. Cell Mol Life Sci. 1999;55:1255–77.
61. Keifer MC, Firestone J. Neurotoxicity of pesticides. J Agromed.
2007;12:17–25.
62. Fryer AD, Lein PJ, Howard AS, Yost BL, Beckles RA, Jett DA.
Mechanisms of organophosphate insecticide-induced airway
hyperreactivity. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.
2004;286:963 – 9.
63. Kuschner WG, D’Alessandro A, Wong H, Blanc PD. Early
pulmonary cytokine responses to zinc oxide fume inhalation.
Environ Res. 1997;75:7-11.
64. Tormoehlen LM, Tekulve KJ, Nanagas KA. Hydrocarbon
toxicity: a review. Clin Toxic. 2014;52:479-89.
65. Mickiewicz M, Gomez HF. Hydrocarbon toxicity: general review
and management guidelines. Air Med J. 2001;20:8-11.
66. Chen Y. Organophosphate-induced brain damage: Mechanisms,
neuropsychiatric and neurological consequences, and potential
therapeutic strategies. Neuro Toxic. 2012;33:391–400.
67. Ramnarine M, Santoriello LM. Hydrocarbons toxicity. Diunduh
dari : https://emedicine.medscape.com/article/1010734-overview
pada tanggal 14 oktober 2017.
68. Damalas CA. Pesticide exposure, safety issues and risk
assessment indicators. Int J Environ Res Public Health.
2011;8:1402–19.
69. Enkhabaatar P, Pruitt BA, Suman O, Mlcak R,Wolf SE, Sakurai
H, et al. Patophysiology, reasearch challege, and clinical
management of smoke inhalation injury. Lancet. 2016;388:1437-
46.
70. Marek K, Piotr W, Stanislaw S, Stefan G, Justyna G, Mariusz N,
et al. Fiberoptic bronchoscopy in routine clinical practice in
confirming the diagnosis and treatment of inhalation burns.
Burns. 2007;33:554–60.
71. Huzar TF, George T, Cross JM. Carbon monoxide and cyanide
toxicity : etiology, patophysiology and treatment in inhalation
injury. Expet Rev Respir Med. 2013;7(2):159-70.
72. Woodson LC. Diagnosis and grading of inhalation injury. J
Burn Care Res. 2009;30:143–5.
73. Jonkam C, Zhu Y, Jacob S, Rehberg S, Kraft E, Hamahata A, et
al. Muscarinic receptor antagonist therapy improves acute

________________________________________________________
52 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
pulmonary dysfunction after smoke inhalation injury in sheep.
Crit Care Med. 2010;38:2339–44.
74. Tan KH, Wang TL. Asphyxiants: simple and chemical. Ann
Disaster Med. 2005;4:35- 40.
75. Bai chong, Huang haidong, Yao Xiaopeng Zhu , Shihui , Li Bing,
Hang Jingqing et al. Application of flexible bronchoscopy in
inhalation lung injury. Diag Path Biomed Cent. 2013;8:174
76. Jing J, Schwartz DA. Acute and chronic responses to toxic
inhalations. In: Fishman’s editor. Pulmonary diseases and
disorders. 5th ed. New York: McGraw-Hill;2015. p.1369-85.
77. Summerhill EM, Hoyle GW, Jordt SE, Jugg BJ, Martin JG,
Matalon S, et al. An Official American Thoracic Society
Workshop Report: Chemical inhalational disasters. Ann Am
Thorac Soc. 2017;14:1060-72.
78. Cancio LC, Batchinsky AI, Dubick MA, Park MS, Black IH,
Go´mez R, Faulkner JA, Pfannenstiel TJ, Wolf SE. Inhalation
injury. Burns. 2007;33:681–92.
79. Cancio LC. Airway Management and Smoke Inhalation Injury in
the Burn Patient. Clin Plastic Surg. 2009;36:555–67.
80. Chou SH, Lin SD, Chuang HY, Cheng YJ, Kao EL, Huang MF.
Fiberoptic bronchoscopic classification of inhalation injury.
Prediction of acute lung injury. Surg Endosc. 2004;18:1377–9.
81. Gill P, Martin RV. Smoke inhalation injury. Brit J Anaesth. BJA
Education 2015;15(3):143–8.
82. Capdevila AA, Irraza´bal CL. Smoke inhalation injury of indoor
fire. Clin Pulm Med. 2009;16:16–20.

________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 53
Inhalasi Zat Toksik Akut

Anda mungkin juga menyukai