TATALAKSANA
INHALASI ZAT
TOKSIK AKUT
TIM PENYUSUN
TIM PENYUSUN
Assalamu’alakum Wr Wb
Wasalamu’alaikum Wr.Wb
________________________________________________________
ii Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
KATA PENGANTAR
Assalamu’alakum Wr Wb
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Tim Penyusun
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana iii
Inhalasi Zat Toksik Akut
________________________________________________________
iv Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
DAFTAR ISI
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana v
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB I
PENDAHULUAN
________________________________________________________
2 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB II
ETIOLOGI
Inhalasi toksik akut secara garis besar disebabkan oleh zat iritan,
penyebab asfiksia dan toksik sistemik. Inhalasi berbagai gas, kabut,
aerosol, asap atau debu dapat mengkibatkan cedera akibat iritasi paru,
asfiksia atau efek sistemik lainnya. Selain itu inhalasi toksik dapat
disebabkan oleh bahan toksik metal, produk kebakaran (smoke
inhalation), dan bahan-bahan lainnya. Beberapa kasus inhalasi akut
dapat terjadi akibat lebih dari satu bahan atau lebih dari satu
mekanisme. Penggunaan bahan kimia industri dengan potensi toksisitas
mengalami peningkatan. Tumpahan zat kimia, ledakan dan api dapat
mengakibatkan pajanan kompleks terhadap substansi tersebut yang
akibatnya bagi kesehatan belum seluruhnya diketahui.
Zat terinhalasi dapat berbentuk gas, uap, debu, aerosol atau asap.
Masing-masing mempunyai karakteristik fisis yang berbeda. Gas
merupakan cairan tidak berbentuk yang dapat meluas memenuhi tempat
yang tersedia. Uap merupakan bentuk padat mudah menguap yang
mengembun pada udara dingin. Debu adalah suspensi partikel padat
pada media gas. Asap terjadi pada proses pembakaran karbon tidak
sempurna. Aerosol adalah butiran cairan atau partikel padat yang dapat
bercampur di udara dalam waktu lama.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 3
Inhalasi Zat Toksik Akut
A. IRITAN
Klorin (Cl2)
Sumber klorin antara lain dari bahan pemutih, limbah disinfektan
air dan produk-produk pembersih. Klorin banyak diproduksi di
Amerika dari pabrik untuk bahan pemutih bubur kayu, sanitasi bahan
buangan dan pabrik farmasi. Klorin juga digunakan pada kolam renang
untuk mengurangi jumlah bakteri patogen. Klorin adalah sebuah gas
berwarna kuning kehijauan, konsistensi padat dan berbau tajam yang
mudah dikenali melalui bau dan warnanya walaupun pada konsentrasi
yang sangat rendah yaitu sekitar 0,06 ppm. Klorin tidak mudah terbakar
dapat larut pada suhu ruangan dan pada tekanan atmosfir. Klorin adalah
sebuah gas oksidan reaktif dan mempunyai daya larut pada air.
Amonia (NH3)
Sumber amonia adalah pabrik pupuk, pendingin, pabrik pewarna,
plastik dan nilon. Amonia adalah gas tidak berwarna yang larut dalam
air, sangat iritan dengan bau tajam yang mencekik, secara mudah dapat
dikenali. Pada tekanan tertentu, gas ini berubah menjadi cairan tidak
berwarna. Sifatnya yang sangat terlarut dalam air membentuk larutan
kaustik, hampir 80% digunakan pada pupuk. Bentuk cair zat ini dapat
berisiko terjadinya banyak kecelakaan saat dipindahkan dari tangki ke
peralatan pertanian sehingga menimbulkan gejala pada mata, hidung
dan tenggorok yang menimbulkan batuk dan bronkospasme meskipun
dalam konsentrasi rendah. Adaptasi dapat terjadi dan membuat zat ini
lebih tidak terdeteksi.
Fosgen (COCl2)
Fosgen adalah suatu gas yang sangat toksik dan juga dikenal
sebagai karbonil klorida, karbon oksiklorida, karbonil diklorida dan
klorida kloroformil. Zat ini dikombinasi dengan gas klorin digunakan
selama perang dunia I. Fosgen terbentuk dalam proses produksi
isosianat, pestisida dan pewarna. Zat ini digunakan secara luas pada
rumah tangga. Fosgen tidak berwarna dan memiliki bau serupa dengan
jagung muda atau alang-alang yang baru dipotong pada konsentrasi
rendah. Pada konesntrasi tinggi zat ini memiliki bau yang tajam dan
mencekik.
________________________________________________________
8 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
tersering pajanan hidrogen sulfida adalah inhalasi. Gas ini sedikit lebih
berat dibandingkan udara dan cepat diserap oleh paru.
Karbon Monoksida
Karbon monoksida adalah gas yang tidak berbau, tidak berasa
serta tidak menimbulkan iritasi, dihasilkan oleh pembakaran yang tidak
sempurna. Karbon monoksida ini terabsorbsi secara cepat segera
setelah terhirup. Intoksikasi karbon monoksida adalah penyebab utama
morbiditas awal pada pasien luka bakar. Karbon monoksida mengikat
bagian yang mengandung heme, yaitu hemoglobin. Afinitas karbon
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 9
Inhalasi Zat Toksik Akut
monoksida dengan hemoglobin 200-250 kali lebih besar dari oksigen.
Senyawa karboksihemoglobin merupakan kompleks senyawa yang
stabil dapat menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin dan
menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri sehingga semakin
mengurangi oksigen yang dilepaskan ke jaringan.
Hidrogen Sianida
Hidrogen sianida (HCN) merupakan gas yang tidak berwarna dan
memiliki bau seperti bitter almond. Hidrogen sianida dihasilkan
melalui pembakaran material rumah tangga yang terdiri dari karbon dan
nitrogen, seperti bahan polimer sintetik, akrilonitril, nilon, melamin,
wol dan kapas. Pembakaran tidak sempurna kapas yang menghasilkan
130 μg HCN/g, pada kertas sekitar 1100 μg HCN/g dan pada wol sekitar
6300 μg HCN/g. Produksi hidrogen sianida juga akan terus berlangsung
walaupun sudah berbentuk bara api.
________________________________________________________
10 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Sianida adalah racun intraseluler. Eritrosit mengkonversi
tiosianat menjadi sianida, karena sianida hanya terikat pada eritrosit,
sehingga autolisis sel eritrosit akan meningkatkan kadar sianida darah.
Pada orang normal, kadar sianida darah berkisar antara 0,3 mg/L pada
bukan perokok dan 0,5 mg/L pada perokok. Petugas pemadam
kebakaran, meskipun selalu terpajan asap secara kronik, memiliki
kandungan sianida dalam darah yang relatif normal. Sianida biasanya
akan sedikit meningkat pada korban kebakaran. Pada korban yang
tertelan atau terhirup sianida didapatkan kadar sianida dalam darahnya
mencapai 7-9 mg/L.
Hidrogen Sulfida
Hidrogen sufida (H2S) adalah gas tidak berwarna, dan mudah
terbakar. Gas H2S merupakan gas dengan bau menyengat seperti telur
busuk. Terdapat potensi pajanan H2S yang besar di tempat kerja, seperti
perusahaan pengolahan air dan oli. Hidrogen sulfida juga banyak
ditemukan pada fasilitas pengolahan limbah, gas vulkanik,
pertambangan batubara, sumber air panas alami. Hidrogen sulfida
mempunyai sifat gas yang menyebabkan asfiksia dan juga dapat
memiliki efek iritan kimia. Gas H2S berikatan secara selektif dengan
enzim pada respirasi tingkat sel yang menyebabkan pergeseran ke arah
respirasi anaerob. Hidrogen sulfida menyebabkan asfiksia jaringan
dengan menghambat oksidasi sitokrom, meningkatkan kerusakan pada
rantai transport elektron dan menghasilkan metabolisme anaerob.
Propane
Propane (C3H8) adalah gas yang tidak berwarna dan kurang
berbau. Propane sangat mudah terbakar dan eksplosif. Propane dapat
menyebabkan asfiksia karena menggantikan oksigen di udara dan
konsekuensinya terjadi hipoksia atau bahkan anoksia.
C. TOKSIK SISTEMIK
Hidrokarbon
Hidrokarbon adalah zat dengan senyawa yang mengandung unsur
karbon (C) dan atom hidrogen (H). Beberapa contoh zat golongan
hidrokarbon adalah benzene, toluene, xylene, metana, etana, dan lain
lain. Hidrokarbon banyak ditemukan pada penyalahguna inhalan
(toluene, benzene, freon), aerosol, lem, bahan bakar mobil, pembersih
pewarna kuku, cairan tip-ex, bensin dan cairan pembersih.
Hidrokarbon menyebabkan efek narkotik dan anestesi pada sistem
saraf pusat dan sistem saraf perifer.
Organofosfat
Organofosfat banyak ditemukan pada bahan pestisida dan gas
saraf. Organofosfat termasuk dalam kategori pestisida berdasarkan
sifat kimianya. Organofosfat merupakan pestisida yang banyak
digunakan di perkebunan dan daerah pemukiman untuk mencegah dan
mengendalikan hama. Organofosfat bersama organoklorin, dan
insektisida piretroid bersifat neurotoksin. Pembagian kategori pestisida
berdasarkan sifat kimia adalah organoklorin (OC), karbamat,
ditiokarbamat, piretroid, penoxyl, triazin, amida, dan senyawa
kaumadin. Pestisida juga dapat dikelompokkan menjadi herbisida,
insektisida, fungisida, bakterisida, dan rodentisida. Fumigan sulfur,
turunan urea dan produk botani serta biologi digunakan sebagai
pestisida.
Asap metal
Asap metal berasal dari oksidasi metal seng, perak, magnesium
dan pada pembuatan permata. Merkuri dan kadmium merupakan
contoh metal yang paling sering menyebabkan inhalasi akut. Pajanan
kadmium terjadi pada proses pengelasan, mematri atau memotong
logam dalam ruangan berventilasi buruk. Risiko pajanan merkuri
terjadi saat proses reklamasi logam panas. Komponen metal seperti
antimony, mangan, berilium, vanadium dan tributyltin lebih jarang
meyebabkan cedera inhalasi akut.
________________________________________________________
12 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
D. INHALASI ASAP KEBAKARAN (SMOKE INHALATION)
________________________________________________________
14 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB III
PATOGENESIS
A. IRITAN
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 15
Inhalasi Zat Toksik Akut
Sangat larut air
Sangat iritasi
Kadmium, Merkuri ,
Gas mustar, Nikel karbonil,
NO, Ozone, Fosgen
________________________________________________________
16 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Bahan – bahan iritan merusak sel melalui mekanisme non
imunologi dan inflamasi. Sel mengalami kerusakan akibat pengendapan
atau pembentukan (1) asam (klorin, hidrogen klorida, nitrogen oksida,
fosgen dan sulfur dioksida), (2) alkali/basa (ammonia) serta (3) reactive
oxygen species (ROS) (ozone, nitrogen oksida dan klorin). Kerusakan
utama terjadi pada jaringan epitel saluran napas tetapi dapat terjadi pula
kerusakan yang luas pada daerah subepitel dan alveol. Kerusakan akibat
asam menyebabkan terjadinya proses koagulasi di jaringan sedangkan
kerusakan akut akibat zat alkali merupakan akibat mukosa yang
mencair dan lesi yang menembus ke dalam saluran napas. Reactive
oxygen species adalah oksigen yang dihasilkan dari metabolisme
(hidrogen peroksida dan asam hidroklorida) dan oksigen yang
dihasilkan dari radikal bebas (anion superoksida dan hidroksil radikal).
Peroksidasi lipid dapat merusak sel secara langsung dan menyebabkan
mediator inflamasi meluas sehingga terjadi kerusakan yang menetap.
Sitokin proinflamasi dapat diaktifkan melalui mekanisme ini.
Kerusakan dan perbaikan epitel saluran napas yang terjadi terus
menerus dapat menurunkan kemampuan pejamu untuk mencegah
terjadi infeksi ataupun iritasi akibat inhalasi dikemudian hari
(Gambar 2).
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 17
Inhalasi Zat Toksik Akut
Gambar 2. Skema patogenesis inhalasi zat iritan
________________________________________________________
18 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
rinitis kronik, faringitis kronik, laringitis kronik, sinusitis serta perforasi
nasal.
________________________________________________________
20 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Karbon monoksida menyebabkan gangguan pemanfaatan oksigen
akibat terganggunya fosforilasi oksidatif pada tingkat mitokondria.
Karbon monoksida secara kompetitif menghambat sistem enzim
sitokrom oksidase intrasel, terutama sitokrom P-450 yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memanfaatkan oksigen.
Hidrogen sianida
Hidrogen sianida diabsorbsi segera setelah terhirup. Hidrogen
sianida menghambat fungsi enzim oksidatif dan mengganggu ambilan
oksigen oleh jaringan. Sianida menyebabkan asfiksia dengan
menghambat oksidasi sitokrom intraselular. Sianida menghambat
fosforilasi oksidasi tahap akhir dan mencegah penggunaan oksigen oleh
mitokondria. Sel yang terpengaruh mengkonversi metabolisme anaerob
dan asidosis laktat terjadi.
Hidrogen sulfida
Hidrogen sulfida menghambat fungsi enzim oksidatif dan
mengganggu ambilan oksigen oleh jaringan. Hidrogen sulfida
menyebabkan asfiksia jaringan dengan menghambat sitokrom oksidase,
meningkatkan kerusakan pada rantai transport elektron dan
menghasilkan metabolisme anaerob.
Propane
Propane (C3H8) termasuk adalah zat penyebab asfiksai kelompok
asphyxiant sederhana yang memiliki efek meniadakan/mengurangi
oksigen di udara bebas, sehingga inspirasi terjadi penurunan fraksi
oksigen yang mengkibatkan hipoksemia. Inhalasi propane berimplikasi
terjadinya hipoksia bahkan anoksia. Penurunan konsentrasi oksigen di
udara akibat propane bila berlanjut dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan risiko kematian. Kematian dapat terjadi
bukan karena sifat toksik langsung gas propane, tetapi penurunan
oksigen di udara bebas.
C. TOKSIK SISTEMIK
Hidrokarbon
Toksisitas pajanan hidrokarbon tergantung dari dosis pajanan dan
sifat fisis dari zat tersebut seperti kelarutan, viskositas, volatilitas dan
tegangan permukaan. Viskositas berhubungan dengan resistensi zat
terhadap aliran, contohnya bensin dan minyak mineral. Meningkatnya
viskositas suatu zat maka potensi aspirasi akan menurun. Volatilitas
berhubungan dengan kemampuan zat tersebut mengalami vaporasi.
Semakin tinggi volalitas zat tersebut maka semakin mudah zat tersebut
terinhalasi. Hidrokarbon yang memiliki sifat volatilitas yang tinggi dan
viskositas yang rendah akan mudah terinhalasi atau teraspirasi. Zat
yang lebih lipofilik mudah melewati sawar darah otak sehingga
memiliki efek gangguan di sistem saraf pusat. Hidrokarbon aromatik
sepeti benzene, toluene, xylene mudah diabsorbsi melalui mukosa
saluran napas dan saluran cerna sehingga akan menimbulkan efek
sistemik.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 23
Inhalasi Zat Toksik Akut
Hidrokarbon akan diabsorbsi melalui paru dan selanjutnya
memasuki pembuluh darah. Hidrokarbon akan ikut bersirkulasi ke
seluruh tubuh sampai ke sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan
efek narkotik di sistem saraf pusat. Sebagian besar dari bahan kimia
golongan hidrokarbon memiliki efek depresi terhadap sistem saraf
pusat. Pajanan akut akan meningkatkan fungsi gamma-aminobutyric
acid (GABA) dan glisin sehingga dapat mempengaruhi perasaan dan
memberikan efek euforia. Pajanan hidrokarbon yang akut juga akan
mengaktifkan sistem dopamin di mesolimbik sehingga menimbulkan
efek adiktif.
Organosfosfat
Organofosfat banyak ditemukan pada bahan pestisida dan gas
saraf. Organofosfat termasuk dalam kategori pestisida berdasarkan sifat
kimianya. Organofosfat merupakan pestisida yang banyak digunakan di
perkebunan dan daerah pemukiman untuk mencegah dan
mengendalikan hama.. Organofosfat bersama organoklorin, dan
insektisida piretroid bersifat neurotoksin. Pembagian kategori pestisida
berdasarkan sifat kimia adalah organoklorin (OC), karbamat,
ditiokarbamat, piretroid, penoxyl, triazin, amida, dan senyawa
kaumadin. Pestisida juga dapat dikelompokkan menjadi herbisida,
insektisida, fungisida, bakterisida, dan rodentisida. Fumigan sulfur,
turunan urea dan produk botani dan biologi digunakan sebagai
pestisida.
________________________________________________________
24 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Asap metal
Pajanan inhalasi asap atau uap dari logam tertentu dapat
menyebabkan terjadinya pneumonitis akut. Pneumonitis karena metal
terjadi karena kerusakan enzimatik dan kerusakan fungsi-fungsi seluler
penting lainnya di saluran napas dan paru. Pajanan dari asap seng dan
tembaga dapat menyebabkan gejala klinis yang dikenal dengan metal
fume fever. Metal fume fever (MFF) merupakan manifestasi sistemik
akibat inhalasi metal oxides yang terus menerus. Penyebab paling
sering berhubungan dengan inhalasi uap seng saat proses pelapisan baja
pada seng oksida dengan menggunakan temperatur tinggi. Patogenesis
metal fume fever masih belum dipahami sepenuhnya namun kondisi ini
berhubungan dengan deposisi partikulat logam halus di alveol. Keadaan
ini selanjutnya akan memicu proses inflamasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Kuschner dkk pada beberapa pekerja yang terpajan
menunjukkan bahwa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor
(TNF)-a, interleukin (IL)-6 dan interleukin (IL)-8 mempunyai peranan
dalam menginisiasi terjadinya metal fume fever.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 27
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB IV
DIAGNOSIS
A. ANAMNESIS
Iritan
Gejala yang timbul akibat inhalasi zat toksik yang bersifat iritan
dan larut dalam air biasanya menyebabkan rasa terbakar di hidung,
tenggorokan, trakea dan bronkus utama. Batuk kering, batuk darah,
mengi dan sesak dapat terjadi. Dapat terjadi sekresi mukus, bersin,
penutupan glotis, apnea dan peningkatan tonus bronkomotor akibat
respons refleks terhadap iritan yang masuk. Obstruksi nasal sampai
epistaksis dapat juga timbul. Faringitis dan laringitis dengan berbagai
tingkat edema dan spasme dapat terjadi. Beratnya gejala yang timbul
berhubungan dengan dosis pajanan. Pada gas yang tidak larut dalam air
jarang timbul gejala akut tetapi dapat timbul sesak atau batuk. Pada
beberapa individu yang terpajan, gejala paru mungkin tidak terlihat,
namun dalam 8-12 jam kemudian dapat timbul sesak napas, sianosis
dan bahkan edema paru. Kerusakan pada generasi saluran napas yang
________________________________________________________
28 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
bervariasi dapat menyebabkan gagal napas yang terjadi dalam waktu 5
jam sampai 7 hari setelah pajanan. Zat-zat yang sangat larut air atau
zat-zat dengan partikel lebih besar menyebabkan rasa terbakar pada
mata, hidung, ternggorok, saluran napas besar dalam hitungan beberapa
menit pajanan. Zat-zat ini juga menyebabkan gejala saluran napas atas
seperti rinitis, epistaksis, faringitis, batuk, muntah dan sesak. Gejala
sakit kepala disertai nyeri dada dan emesis terjadi pada inhalasi sistemik
seperti sianida dan hidrogen sulfat.
Pada inhalasi fosgen dapat timbul keluhan berupa rasa kering dan
rasa terbakar pada tenggorok serta batuk yang terjadi akibat iritasi
saluran napas ringan. Meskipun demikian, gejala ini dapat menghilang
bila pasien dipindahkan dari pajanan, namun harus diingat bahwa
setelah interval tanpa gejala yang berlangsung 30 menit hingga
beberapa jam, nyeri dada, bronkospasme, hipoventilasi, dan bradikardi
dapat terjadi.
Asphyxiant
Pada inhalasi zat yang bersifat asfiksia, gejala yang timbul
disebabkan oleh penurunan tekanan oksigen dalam darah dan jaringan
yang menimbulkan sakit kepala, hiperventilasi, mual, takikardia,
kejang, penurunan kesadaran, henti jantung, apnea dan kematian. Sakit
kepala dan gangguan keseimbangan yang disertai dengan nyeri dada
dan muntah dapat menunjukkan keracunan sitemik, seperti sianida atau
hidrogen sulfida.
Toksik sistemik
Pada inhalasi gas toksik sistemik gejala tergantung bahan yang
terinhalasi. Contohnya pajanan asap metal seperti seng dan tembaga
dapat menyebabkan gejala klinis yang dikenal dengan metal fume fever
(MFF). Gejala umumnya seperti flu (flu-like symptoms) yaitu demam,
mialgia, lemah. Gejala MFF disertai dengan menggigil, demam,
malaise dan mialgia dengan onset 4 hingga 8 jam setelah menghirup
asap atau debu secara terus menerus. Gejala ini juga disertai dengan
gejala respirasi seperti batuk dan sesak napas.
Manifestasi klinis inhalasi organofosfat bervariasi tergantung
kepada spesifik komponen yang terinhalasi, jumlah, jalur dan lama
pajanan serta usia dan kondisi kesehatan pasien yang terpajan. Pada
kondisi akut pajanan organofosfat terjadi stimulasi yang berlebihan
pada reseptor kolinergik khususnya reseptor muskarinik sehingga
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 29
Inhalasi Zat Toksik Akut
menyebabkan toksisitas dan disfungsi saraf kolinergik. Hal tersebut
dapat menyebabkan gejala sistemik seperti pusing, muntah, kelelahan,
sakit kepala, sakit perut, tremor, kejang, ataksia parestesia dan disfungsi
organ lainnya. Organofosfat juga menghambat asetilkolinesterase
sehingga menyebabkan gejala pernapasan seperti nyeri dada, batuk,
pilek, mengi, kesulitan bernapas, sesak napas dan iritasi pada
tenggorokan.
B. PEMERIKSAAN FISIS
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium termasuk analisis gas darah dengan
karboksihemoglobin, methemoglobin, kadar laktat dan kadar sianida
sel darah merah diperlukan jika asidosis yang menetap terjadi. Kadar
karboksihemoglobin harus diambil pada semua korban kebakaran dan
ledakan.
Pemeriksaan radiologi
Foto toraks yang diambil segera setelah kejadian biasanya
menunjukkan hasil yang normal. Pemeriksaan radiologi tetap
diperlukan pada awal kejadian untuk membantu diagnosis segera
mungkin. Pemeriksaan ini terutama untuk melihat apakah terdapat
infiltrat baru selama fase subakut maupun kronik ataupun infiltrat difus
pada ARDS. Pemeriksaan foto toraks dilakukan bila dampak pajanan
tergolong berat atau yang dicurigai pneumonia aspirasi. Edema paru,
atelektasis atau infiltrat dapat dideteksi pada foto toraks. Pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan pada kasus-kasus keracunan gas dan saat
________________________________________________________
32 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Terdapatnya gambaran ground-
glass appearance, perkabutan parahiler, dan edema intra alveol
menunjukkan prognosis yang lebih buruk.
Pemeriksaan CT sken kepala perlu dilakukan pada kasus
keracunan berat gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang
tidak pulih dengan cepat. Dari hasil CT sken dapat ditemukan edema
serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada basal ganglia dan hal
tersebut dapat memprediksi adanya komplikasi neurologis.
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT sken untuk
mendeteksi lesi fokal dan demielinisasi substansia alba dan sering
digunakan untuk tindak lanjut pasien. Pemeriksaan CT sken juga dapat
membantu untuk mengevaluasi fibrosis yang permanen.
Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan salah satu alat diagnostik untuk
memastikan diagnosis trauma inhalasi. Bronkoskopi memiliki akurasi
100% untuk mendiagnosis cedera inhalasi. Keterbatasan dari
bronkoskopi adalah tidak dapat mengevaluasi kerusakan pada saluran
napas distal. Bronkoskopi merupakan standar untuk diagnosis trauma
inhalasi dan mengevaluasi derajat kerusakan trauma inhalasi (Tabel 3).
Bronkoskopi memudahkan klinisi dalam melakukan evaluasi area
supraglotis, mengidentifikasi edema, mengidentifikasi pasien yang
berisiko mengalami obstruksi saluran napas akut. Evaluasi saluran
napas dapat menegakkan diagnosis trauma inhalasi pada traktus
trakeobronkial dengan ditemukannya jelaga, gambaran inflamasi pada
mukosa seperti edema, ulserasi dan lain lain. Pemeriksaan bronkoskopi
sebaiknya dilakukan 8 jam setelah masuk rumah sakit.
Pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dapat dilakukan. Pada
pemeriksaan EKG sering didapatkan sinus takikardia dan anemia. Hal
tersebut dapat disebabkan karena hipoksia iskemia atau infark. Pada
penderita penyakit kardiovaskular, kadar HbCO yang rendah sekalipun
dapat menyebabkan suatu gangguan yang serius. Pemeriksaan
toksikologi gas penyebab dapat juga dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan radioisotop, tetapi seringkali tidak tersedia dibanyak
fasilitas kesehatan.
D. DIAGNOSIS BANDING
________________________________________________________
36 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB V
TATALAKSANA
TATALAKSANA UMUM
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 37
Inhalasi Zat Toksik Akut
TATALAKASANA KHUSUS
________________________________________________________
38 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
Terapi pemeliharaan diperlukan untuk menjaga fungsi organ vital
tetap baik dalam jangka panjang selama perawatan di rumah sakit.
Upaya terapi tersebut :
● Selama perawatan, patensi saluran napas, ventilasi paru serta
pemberian oksigen harus dijaga tetap adekuat. Oksigen harus
diberikan dengan konsentrasi yang tinggi selama perawatan. Pada
kasus inhalasi zat penyebab asfiksia seperti CO, pemberian
oksigen konsentrasi tinggi (100%) harus dilakukan.
● Tatalaksana kelainan organ lain yang mungkin timbul akibat
inhalasi zat toksik seperti gagal jantung dan henti jantung,
gangguan sistem saraf pusat, gangguan air dan elektrolit,
gangguan ginjal serta gastrointestinal harus ditatalaksana dengan
maksimal.
Bronkoskopi
Bronkoskopi selain untuk diagnositk juga untuk terapetik. Selain
diagnosis penggunaan bronkoskopi juga merupakan tindakan terapeutik
seperti melakukan evakuasi seret, cloting (bekuan) darah, debris yang
menutupi lumen traktus tracheobronkus. Pada trauma inhalasi,
bronkoskopi sering diperlukan untuk membantu pembersihan sekresi,
kotoran atau materi karbon berlebihan di saluran napas. Penggunaan
bronkoskopi yang agresif sangat efektif dalam mengambil partikel
asing dan sekret yang terakumulasi yang dapat memperburuk respon
inflamasi dan menghambat ventilasi. Bronkoskopi dapat dimulai untuk
lakukan pada cedera inhalasi karena asap (smoke inhalation) dalam 18
sd 72 jam setelah rawat rumah sakit. Bronkoskopi dapat diulang sampai
saluran napas bersih dari jelaga dan sekret kehitaman (carbonaceous).
Intubasi
Tindakan intubasi atau trakeostomi penting bila terdapat gawat
napas. Pada cedera saluran napas atas intubasi harus dipertimbangkan
bila dicurigai sudah terjadi edema karena akan mengalami progresivitas
dalam 24-48 jam. Bila terlambat dilakukan akan menyulitkan
melakukan intubasi. Jika intubasi diperlukan, ventilasi diatur dengan
volume tidal 6 mL/kgBB, yang bertujuan untuk proteksi paru.
Bronkodilator
Bronkodilator digunakan untuk mengurangi tahanan saluran
napas dan meningkatkan komplain dinamik. Seperti trauma paru karena
sebab lainnya, bronkokonstriksi lebih lanjut dapat memperburuk
pertukaran gas yang sudah terganggu pada alveol yang rusak.
Penggunaan bronkodilator bertujuan memperbaiki bronkokonstriksi
________________________________________________________
40 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
yang terjadi. Dalam sebuah studi, Palmieri et al. menemukan bahwa
inhalasi dengan albuterol dapat menurunkan tahanan saluran napas dan
meningkatkan rasio PaO2/FiO2. Studi lain oleh Lange et al. juga
menemukan inhalasi epineprin tiap 4 jam dapat menurunkan tekanan
dan meningkatkan rasio PaO2/FiO2.
Kortikosteroid
Pada pasien dengan bukti terdapat obstruksi saluran napas,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk mengurangi
inflamasi. Penggunaan kortikosteroid pada fase akut edema paru dan
kerusakan alveol difus masih kontroversi. Meskipun begitu, dengan
timbulnya kerusakan saluran napas yang disertai bronkospasme,
penggunaan kortikosteroid dan bronkodilator dapat dibenarkan sebagai
dasar tatalaksana obstruksi saluran napas. Pada kasus pasien dengan
riwayat eksaserbasi penyakit paru yang mendasari seperti asma dan
PPOK, penggunaan steroid ada tempatnya. Pada kasus inhalasi asap,
penggunaan steroid dilaporkan tidak berguna. Pada kasus inhalasi
nitrogen dioksida, pemberian steroid dapat dilanjutkan 6-8 minggu
untuk mencegah episode berulang edema paru dan timbulnya
bronkiolitis obliterans.
Antibiotik
Antibiotik hanya diberikan bila terbukti ada infeksi. Antibiotik
diberikan bila ada bukti radiologi, leukosit dan pemeriksaan sputum.
Pasien dengan kerusakan paru akibat inhalasi zat toksik berisiko terjadi
infeksi sekunder. Infeksi sekunder seringkali sulit dibedakan dengan
efek inhalasi akut karena keduanya menimbulkan demam, peningkatan
leukosit dan abnormalitas foto toraks. Pemberian antibiotik parenteral
untuk profilaksis dapat dipertimbangkan. Antibiotik diberikan bila ada
bukti mikrobiologi pada kasus yang tidak respons dengan terapi suportif
yang agresif atau bila terjadi perburukan klinis dalam 72 jam dengan
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 41
Inhalasi Zat Toksik Akut
dugaan infeksi. Meskipun begitu penggunaan antibiotik profilaksis
masih belum menunjukkan efikasi yang baik.
Ventilasi mekanis
Sebanyak 20-30% pasien dengan trauma inhalasi mengalami
obstruksi saluran napas dengan derajat yang bervariasi karena edema
faring yang memburuk secara cepat. Hal ini juga berlaku pada pasien
yang menerima resusitasi cairan intravena dalam jumlah besar.
Menjaga kebersihan bronkus sangat diperlukan pada pasien dengan
trauma inhalasi. Ambulasi segera, fisioterapi dada, suction saluran
napas dan bronkoskopi terapetik sangat diperlukan. Tidak ada alat
bantu napas yang ideal untuk pasien dengan trauma inhalasi. Ventilator
digunakan untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.
Ventilasi noninvasif
Penggunaan ventilasi non invasif banyak dipilih karena dapat
mencegah intubasi endotrakea dengan segala risikonya. Tanpa pipa
endotrakeal, pasien dapat berkomunikasi dengan lebih efektif,
membutuhkan obat sedasi yang lebih rendah dan lebih nyaman. Selain
itu kebersihan mulut dapat dijaga. Trauma yang diakibatkan intubasi
atau komplikasi lain saat ekstubasi juga dapat dihindari. Keuntungan
ventilasi non invasif ini yaitu penurunan insidens, biaya dan mortalitas
dari kejadian pneumonia.
Antidotum
Tatalaksana spesifik terhadap zat penyebab dapat dilakukan pada
bahan tertentu antara lain bila pajanan seperti asam hidroflorik,
mungkin pengobatan dengan antidotum spesifik sangat berguna.
Penggunaan asam ethyleneediaminic tetraacetic dianjurkan pada
inhalasi toksik kadmium. Oksigen dan natrium tiosulfat sering
digunakan sebagai antidotum sianida. Inhalasi asap yang mengandung
hidrogen sianida, penggunaan inhalasi amyl nitrit diikuti dengan
natrium nitrit intravena dan natrium tiosulfat mungkin dapat membantu.
Antidotum lain yang dapat digunakan pada inhalasi sianida adalah
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 43
Inhalasi Zat Toksik Akut
hidroksikobalamin dan dicobalt ethylenediaminetetraacetic acid
(EDTA).
Antikoagulan
Obstruksi saluran napas merupakan manifestasi klinis tersering
pada cedera inhalasi. Obstruksi terbentuk dari sel epitel yang terlepas,
mukus, inflamasi dan fibrin. Fibrin menjadi target penelitian untuk
mencegah terjadinya obstruksi. Enkhabataar et al. menggunakan
inhalasi tissue plasminogen activator (TPA) sebagai agen fibrinolitik
pada kasus inhalasi asap kebakaran. Hasilnya adalah edema paru
berkurang serta obstruksi saluran napas lebih sedikit pada hewan
domba. Kombinasi heparin dan N-asetil sistein pada studi Desai et al.
menunjukkan penurunan mortalitas pada pasien anak dengan cedera
inhalasi. Akan tetapi, studi yang berbeda mendapatkan hasil tidak ada
perbaikan klinis signifikan antara pasien dengan inhalasi heparin dan
asetil sistein. Efikasi inhalasi heparin pada cedera inhalasi memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Terapi lain
Pada inhalasi gas klorin, nebulisasi dengan natrium bikarbonat
menunjukkan manfaat pada periode awal dalam hal uji fungsi paru dan
kualitas hidup pada kasus dengan RADS. Pada intoksikasi hidrogen
sulfida berat, segera berikan inhalasi amil nitrit dan injeksi natrium
nitrit 3% serta berikan oksigen murni karena oksigen meningkatkan
metabolisme sulfida.
________________________________________________________
44 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
BAB VI
KOMPLIKASI
Pneumonia
Pneumonia merupakan komplikasi yang umum terjadi.
Pneumonia bakteri dapat terjadi dalam beberapa hari setelah pajanan
karena disfungsi silia meningkatkan akumulasi debris di saluran napas.
Kaskade inflamasi diawali dengan infiltrasi neutrofil. Makrofag di
alveol rusak diikuti dengan proliferasi bakteri. Rusaknya barier epitel
lebih lanjut memfasilitasi timbulnya pneumonia. Sejumlah besar pasien
yang mengalami intoksikasi gas dan menggunakan ventilator
mengalami pneumonia. Strategi pencegahan meliputi elevasi kepala
pasien, perubahan posisi berkala dan menjaga kebersihan mulut.
Penggunaan antibiotik untuk profilaksis tidak disarankan dan dapat
meningkatkan risiko infeksi.
Bronkiektasis
Bronkiektasis merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
Pertama kali dilaporkan terjadi setelah pajanan dosis besar amonia.
Tanda klinis dan tatalaksana tidak berbeda dengan bronkiektasis yang
disebabkan oleh faktor lainnya.
Stenosis trakea
Komplikasi yang sering muncul pada trakea dapat berupa
trakeitis, ulserasi dan pembentukan granuloma. Lokasi stenosis
biasanya di sekitar subglotis pada sisi balon pipa endotrakea. Setelah
ekstubasi mungkin saja timbul masalah berupa cedera laring dan trakea
yang terjadi saat melakukan intubasi. Kasus stenosis trakea atau
trakeomalasia dapat timbul tanpa gejala tapi dapat juga mengakibatkan
obstruksi saluran napas yang berat sehingga memerlukan tindakan
bedah.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 47
Inhalasi Zat Toksik Akut
DAFTAR PUSTAKA
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 49
Inhalasi Zat Toksik Akut
30. Gordon T, Fine JM. Metal fume fever. Occup Med. 2008;8:504-
17.
31. Alberts WM, Do Picco GA. Reactive airways dysfunction
syndrome. Chest. 2006; 09:1618-26.
32. Murakami K, Traber D. Pathophysiological basis of smoke
inhalation injury. News Physiol Sci. 2003;18:125-9
33. Susanto AD. Management of acute toxic inhalation. Presented at
Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Ilmue Kedokteran Respirasi
(PIPKRA) 2017. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. Jakarta.2017.
34. Dries DJ, Endorf FW. Inhalation injury: epidemiology,
pathology, treatment strategies. Scand J Trauma, Resusc Emerg
Med. 2013;19:21-31.
35. Walker PF, Buehner MF, Wood LA, Boyer NL, Driscoll IR,
Lundy JB, et al. Diagnosis and management of inhalation injury :
an update review. Critical care. 2015:19:351.
36. Metin G, Metin A. The Eur J Med. 2010;42:28-35.
37. Rogerio S, Carlos J, Joao MS, Carlos RRC. Smoke inhalation
injury. J Bras Pneumol. 2004;30:557-65.
38. Schwartz LR, Balakrishan C. Thermal Burns. In: Tintinalli JE,
Kelen GD, Stapczynski JS editors. Emergency medicine: a
comprehensive study guide. 6th ed. New York: The Mc Graw Hill
Companies; 2004. p.1220-6.
39. Shusterman D. Upper and lower airway sequelae of irritant
inhalations. Clin Pul Med.1999;6:18-31.
40. Bosse GM.Nebulized sodium bicarbonate in the treatment of
chlorinegas inhalation. J Toxicol Clin Toxicol. 1994;32:233-41.
41. Myers JL, Colby TV. Pathological manifestation of bronchiolitis,
constrictive bronchiolitis, cryptogenic organizing pneumonia,
and diff use panbronchiolitis. Clin Chest Med. 1993;14:611-22.
42. Sheridan R. Spesific therapies for inhalation injury. Crit Care
Med. 2002;30:718-9.
43. Winder C. The toxicology of chlorine. Environ Res.
2001;85:105–14.
44. Martinez TT, Long C. Explosion risk from swimming pool
chlorinators and review of chlorine toxicity. J Toxicol Clin
Toxicol. 1995;33:349–54.
45. Ho MP, Yang CC, Cheung WK, Liu CM, Tsai KC. Chlorine gas
exposure manifesting lung injury. J Intern Med Taiwan.
2010;21:210-15.
________________________________________________________
50 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
46. Sheridan R. Fire-related inhalation injury. NEJM. 2016: 375:464-
9.
47. Weaver LK, Valentine KJ, Hopkins RO: Carbon monoxide
poisoning: risk factors for cognitive sequelae and the role of
hyperbaric oxygen. Am J Respir Crit Care Med. 2007;176:491-
7.
48. Tanizaki S. Assessing inhalation injury in the emergency room.
Open Access Emerg Med. 2015;7:31–7.
49. Souza R, Jardim C, Salge JM, Carvalho CRR. Smoke inhalation
injury. J Bras Pneumol. 2004;30:557-65.
50. Gill P, Martin RV. Smoke inhalation injury. BJA
Education.2015;15:143–8.
51. Lawson-Smith P, Jansen EC, Hyldegaard O. Cyanide
intoxication as part of smoke inhalation - a review on diagnosis
and treatment from the emergency perspective. Scand J Trauma,
Resusc Emerg Med. 2011;19:1-5.
52. Vadde R, Salhan D, Schmidt MFJ. Hydrocarbon Inhalation
Injury. Diunduh dari :
https://emedicine.medscape.com/article/1005903-overview pada
tanggal 15 Maret 2018.
53. Sanborn MD, Cole D, Abelsohn A, Weir E. Identifying and
managing adverse environmental health effects pesticides.
CMAJ. 2002;166:1431–36.
54. Kizer KW. Toxic inhalations. Emerg Med Clin North Am.
1984;2:649–66.
55. Schwartz DA. Toxic tracheitis, bronchitis and bronchiolitis. In:
Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors.
Occupational disorders of the lung: recognition, management and
prevention. London: WB Saunders; 2002.p.94-103.
56. Schwartz DA. Acut inhalational injury. Occup Med. 1987;2:297-
318.
57. Morgan M, Frank R. Uptake of pollutant gases in the respiratory
system. In: Brain J, Proctor D, Reid L,editors. Respiratory
defence mechanisms. 1st ed. New York: Marcel Dekker;
1977.p.157-86.
58. Perdanakusuma D, Soekamto T. Intoksikasi karbonmonoksida. J
Rekons Est. 2012;1:1-5.
59. Kealey GP. Carbon monoxide toxicity. J Burn Care Res.
2009;30:146–7.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 51
Inhalasi Zat Toksik Akut
60. Oettmeier W. Herbicide resistance and supersensitivity in
photosystem II. Cell Mol Life Sci. 1999;55:1255–77.
61. Keifer MC, Firestone J. Neurotoxicity of pesticides. J Agromed.
2007;12:17–25.
62. Fryer AD, Lein PJ, Howard AS, Yost BL, Beckles RA, Jett DA.
Mechanisms of organophosphate insecticide-induced airway
hyperreactivity. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.
2004;286:963 – 9.
63. Kuschner WG, D’Alessandro A, Wong H, Blanc PD. Early
pulmonary cytokine responses to zinc oxide fume inhalation.
Environ Res. 1997;75:7-11.
64. Tormoehlen LM, Tekulve KJ, Nanagas KA. Hydrocarbon
toxicity: a review. Clin Toxic. 2014;52:479-89.
65. Mickiewicz M, Gomez HF. Hydrocarbon toxicity: general review
and management guidelines. Air Med J. 2001;20:8-11.
66. Chen Y. Organophosphate-induced brain damage: Mechanisms,
neuropsychiatric and neurological consequences, and potential
therapeutic strategies. Neuro Toxic. 2012;33:391–400.
67. Ramnarine M, Santoriello LM. Hydrocarbons toxicity. Diunduh
dari : https://emedicine.medscape.com/article/1010734-overview
pada tanggal 14 oktober 2017.
68. Damalas CA. Pesticide exposure, safety issues and risk
assessment indicators. Int J Environ Res Public Health.
2011;8:1402–19.
69. Enkhabaatar P, Pruitt BA, Suman O, Mlcak R,Wolf SE, Sakurai
H, et al. Patophysiology, reasearch challege, and clinical
management of smoke inhalation injury. Lancet. 2016;388:1437-
46.
70. Marek K, Piotr W, Stanislaw S, Stefan G, Justyna G, Mariusz N,
et al. Fiberoptic bronchoscopy in routine clinical practice in
confirming the diagnosis and treatment of inhalation burns.
Burns. 2007;33:554–60.
71. Huzar TF, George T, Cross JM. Carbon monoxide and cyanide
toxicity : etiology, patophysiology and treatment in inhalation
injury. Expet Rev Respir Med. 2013;7(2):159-70.
72. Woodson LC. Diagnosis and grading of inhalation injury. J
Burn Care Res. 2009;30:143–5.
73. Jonkam C, Zhu Y, Jacob S, Rehberg S, Kraft E, Hamahata A, et
al. Muscarinic receptor antagonist therapy improves acute
________________________________________________________
52 Diagnosis dan Tatalaksana
Inhalasi Zat Toksik Akut
pulmonary dysfunction after smoke inhalation injury in sheep.
Crit Care Med. 2010;38:2339–44.
74. Tan KH, Wang TL. Asphyxiants: simple and chemical. Ann
Disaster Med. 2005;4:35- 40.
75. Bai chong, Huang haidong, Yao Xiaopeng Zhu , Shihui , Li Bing,
Hang Jingqing et al. Application of flexible bronchoscopy in
inhalation lung injury. Diag Path Biomed Cent. 2013;8:174
76. Jing J, Schwartz DA. Acute and chronic responses to toxic
inhalations. In: Fishman’s editor. Pulmonary diseases and
disorders. 5th ed. New York: McGraw-Hill;2015. p.1369-85.
77. Summerhill EM, Hoyle GW, Jordt SE, Jugg BJ, Martin JG,
Matalon S, et al. An Official American Thoracic Society
Workshop Report: Chemical inhalational disasters. Ann Am
Thorac Soc. 2017;14:1060-72.
78. Cancio LC, Batchinsky AI, Dubick MA, Park MS, Black IH,
Go´mez R, Faulkner JA, Pfannenstiel TJ, Wolf SE. Inhalation
injury. Burns. 2007;33:681–92.
79. Cancio LC. Airway Management and Smoke Inhalation Injury in
the Burn Patient. Clin Plastic Surg. 2009;36:555–67.
80. Chou SH, Lin SD, Chuang HY, Cheng YJ, Kao EL, Huang MF.
Fiberoptic bronchoscopic classification of inhalation injury.
Prediction of acute lung injury. Surg Endosc. 2004;18:1377–9.
81. Gill P, Martin RV. Smoke inhalation injury. Brit J Anaesth. BJA
Education 2015;15(3):143–8.
82. Capdevila AA, Irraza´bal CL. Smoke inhalation injury of indoor
fire. Clin Pulm Med. 2009;16:16–20.
________________________________________________________
Diagnosis dan Tatalaksana 53
Inhalasi Zat Toksik Akut