Anda di halaman 1dari 71

TUGAS MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS I

Intoxication and Poisioning Associated

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Keperawatan Kritis 1

Dosen Pengampu : Yanny Trisyani, M.N., Ph.D

OLEH :
MOCH. DIDIK NUGRAHA
NPM. 220120190009

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur milik Allah Swt, karena atas rahmat dan karunia-Nya,

Alhamdulillah penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah keperawatan kritis 1

yang berjudul “Intoxication and Poisioning Associated”

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah keperawatan

kritis 1 dalam keperawatan Program Magister Keperawatan Kritis Universitas

Padjajaran. Untuk itu penyusun sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah ikut serta membantu dan memberikan dukungan

sehingga makalah ini terselesaikan.

Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari

sempurna, baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi teori. Untuk itu

penyususun mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat

membangun untuk bahan perbaikan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat

khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca.

Bandung, Februari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................1
1.2 Rumusan....................................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
2.1 Definisi......................................................................................................5
2.2 Etiologi Manifestasi Klinis dan Pengobatan Spesifik dan Antidotum......6
2.3 Mekanisme Keracunan............................................................................16
2.4 Klasifikasi Racun....................................................................................17
2.5 Penggolangan Keracunan........................................................................18
2.6 Gigitan Hewan Berbisa...........................................................................20
2.7 Patofisiologi.............................................................................................31
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................50
2.9 Diagnosa Keperawatan............................................................................55
BAB III KASUS...................................................................................................62
3.1 Kasus.......................................................................................................62
3.2 Asuhan Keperawatan...............................................................................62
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................67
4.1 Kesimpulan..............................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................68

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kasus Keracunan Memberikan Kontribusi Sebesar 3,8% Kunjungan Di

Rumah Sakit. (Parmasari, Sugiyanto, & Andayani, 2014) Keracunan

merupakan suatu kondisi yang bisa saja terjadi kepada siapapun dan bisa

terjadi dimanapun. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya

keracunan, diantaranya bisa diakibatkan oleh makanan, minuman, gas

beracun, gigitan hewan berbisa dan sebagainya. Keracunan yang paling

umum dan sering terjadi pada masyarakat adalah keracunan yang disebabkan

oleh makanan serta minuman (Hamarno, 2018).

Keracunan terjadi akibat adanya paparan xenobiotik (obat, toksin,

bahan kimia sintetik, atau bahan alami) yang menyebabkan luka (injury)

(Goldfrank et al., 2006). (Parmasari et al., 2014)

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sekitar

600 juta kasus penyakit yang disebabkan oleh makanan terjadi setiap tahun di

seluruh dunia. Hal tersebut dikenal dengan penyakit bawaan makanan.

Penyakit ini ditularkan melalui makanan atau WHO menyebutnya dengan

penyakit bawaan pangan (Food Borne Diseases) yang menular atau

keracunan yang disebabkan oleh mikroba atau agen yang masuk ke dalam

badan melalui makanan yang dikonsumsi. Bentuk penyakit bawaan makanan

ini salah satunya keracunan makanan (Harsono, 2019).

1
Sepanjang bulan Juli hingga September 2017, Sentra Informasi

Keracunan Nasional (SIKerNas) telah mengumpulkan berita kejadian

keracunan dari media massa online yang terdaftar di dewan pers. Insiden

keracunan yang dilaporkan adalah berita kejadian keracunan dengan jumlah

korban lebih dari 1 orang. Terdapat 15 media massa online sebagai sumber

berita insiden keracunan. Berdasarkan sumber tersebut terdapat jumlah

insiden keracunan sebanyak 39 insiden dan jumlah korban terdokumentasi

sedikitnya 908 orang dengan korban meninggal dunia sebanyak 29 jiwa.

(Nasional, 2017)

Masalah keperawatan yang sering muncul akibat dari dampak

keracunan adalah pusing, nyeri perut, muntah dan mual, diare, lemah, sesak

sampai terjadi penurunan kesadaran bahkan bisa menyebabkan kematian.

Asuhan keperawatan kedaruratan pada kasus keracunan harus segera

ditangani dengan cepat dan tepat, hal ini disebabkan pasien yang mengalami

keracunan bisa sangat membahayakan pasien dan dapat menimbulkan

kematian. Data yang diperoleh dari hasil pengkajian bisa berupa sesak nafas,

hipoksia, kesadaran menurun, diare, badan lemah dan sebagainya. Diagnose

keperawatan yang dapat ditegakan ketika pasien mengalami keracunan yaitu

perubahan pola nafas berhubungan dengan efek racun, defisit volume cairan

berhubungan dengan efek racun, risiko terjadi disfungsi neurovaskuler perifer

berhubungan dengan efek racun dalam tubuh dan kecemasan/ketakutan

berhubungan dengan ancaman kematian, perubahan kesehatan. Tindakan

keperawatan yang dilakukan tergantung dari penyebab keracunan. Secara

2
umum tindakan yang dilakukan pada keracunan adalah mempertahankan

jalan nafas paten, pemberian oksigen, mempertahankan hemodinamik,

melakukan kumbah lambung bila keracunan makanan, serta memonitor

kesadaran. Evaluasi keperawatan yang diperlukan adalah jalan nafas,

pernafasan, sirkulasi dan kesadaran.

Oleh karena itu, penting halnya kita sebagai individu yang

mengutamakan kesehatan untuk mengetahui bagaimana dampak dari

keracunan pada tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian jika kita tidak

mengetahui jenis racun yang masuk kedalam tubudan bagaimana cara

penanganannya.

1.2 Rumusan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat

ditetapkan bahwa rumusan masalah pada makalah ini adalah Intoxication and

Poisioning Associated.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui secara mendalam mengenai keilmuan dan

permasalahan yang diakibatkan oleh keracunan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian dari intoxication

2. Mengetahui etiologi dari intoxication

3
3. Mengetahui Manifestasi Klinis dan Pengobatan Spesifik dan

Antidotum dari intoxication

4. Mengetahui mekansime dari intoxication

5. Mengetahui klasifikasi dari intoxication

6. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari intoxication

7. Mengetahui patofisiologi dari intoxication

8. Mengetahui komplikasi dari intoxication

9. Mengetahui penatalaksanaan dari intoxication

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Papyrus Ebers Kata racun ”toxic” adalah bersaral dari bahasa

Yunani, yaitu dari akar kata tox, dimana dalam bahasa Yunani berarti panah.

Dimana panah pada saat itu digunakan sebagai senjata dalam peperangan,

yang selalu pada anak panahnya terdapat racun (Wirasuta & Niruri, 2006)

Keracunan makanan merupakan suatu proses masuknya zat toxic

(racun) dari bahan yang kita makan ke dalam tubuh dan tidak hanya melalui

saluran cerna, melainkan bisa melalui kulit, inhalasi, atau dengan cara lainnya

yang menimbulkan tanda dan gejala klinis. Pada kasus keracunan makanan,

gejala-gejala timbul karena racun masuk melalui saluran pencernaan yang

ikut tertelan bersama dengan makanan. Umumnya pada keracunan makanan,

gejala-gejala terjadi tak lama setelah menelan bahan beracun tersebut, bahkan

dapat segera setelah menelan bahan beracun itu dan tidak melebihi 24 jam

setelah tertelannya racun. (Hardisman, 2014)

Keracunan dapat diartikan sebagai proses masuknya zat kedalam tubuh

kita yang dapat mengganggu kesehatan bahkan dapat menimbulkan kematian.

Pada hakikatnya semua zat asing dapat berlaku sebagai racun, tergantung

pada dosis dan cara pemberiannya. Hampir semua racun bekerja segera dan

karena itu setiap kasus keracunan merupakan keadaan gawat darurat dan

harus mendapatkan pertolongan secara segera.

5
Menurut Taylor, “Racun adalah setiap bahan atau zat yang dalam

jumlah tertentu bila masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi kimiawi

yang akan menyebabkan penyakit dan kematian” (Rahayu, 2018).

Menurut Dorland Dictionary: Racun adalah setiap zat yang bila dalam

jumlah sedikit ditelan atau dihirup atau diserap atau dioleskan atau

disuntikkan ke dalam tubuh atau dihasilkan dalam tubuh, memiliki aksi

kimiawi dan menyebabkan kerusakan pada struktur atau gangguan fungsi

yang menimbulkan gejala, penyakit atau kematian. (Rahayu, 2018).

Racun (poison) adalah zat yang memiliki efek berbahaya pada

organisme hidup. Sedangkan toksin adalah racun yang diproduksi oleh

organisme hidup. “Bisa”(venom) adalah racun yang disuntikkan dari

organisme hidup ke makhluk lain. “Bisa” (venom) adalah toksin dan toksin

adalah racun, tidak semua racun adalah toksin, tidak semua toksin adalah

venom. (Rahayu, 2018).

2.2 Etiologi Manifestasi Klinis dan Pengobatan Spesifik dan Antidotum

Jenis Racun Gejala Tindakan


Asam/Basa kuat 1. Dapat mengenai kulit 1. Jangan lakukan emesis atau
1. Asam klorida mata atau ditelan. bilas Iambung.
2. Asam sulfat Tanda korosi pada 2. Netralisasi: asam kuat
3. Natrium hidroksida mulut dan farings: dengan antasid. jangan
4. Kalium hidroksida sangat nyeri dan dengan NaHCO3 karena
5. Asam cuka pekat kecoklatan. Muntah menghasilkan gas. Basa
dan diare: cairan kuat dengan sari buah atau
kahitaman. asam cuka 10%. bila tidak
diketahui: beri susu atau air

6
2. Nyeri dada dan perut biasa.
3. Antibiotik: Penisilin
800.000-1,2 juta U/hari.
Streptomisin 25-50 mg/hari.
4. Kortikosteroid: kortison
300-500 mg/hari atau
prednison 60 mg/hari
dengan tapering 0ff selama
2-3 minggu
5. Perhatikan kemungkinan
perforasi dan striktur
esofagus.
Alkohol Emosi labil. kulit merah, 1. Emesis dan bilas lambung
(etil alkohol) minuman muntah depresi dengan air/NaHCOa 5%
keras pemapasan, stupor, beri kopi pahit
koma. 2. Infus glukosa untuk
menghindari hipoglikemi
Arsenikum LD 200-300 Tenggorokan tercekik, 1. Bilas lambung, bila ada
mg AS203 TD 100 mg disfagi, kolik usus, dengan NaHCO3 1%
AS203 muntah & diare, oliguri, 2. BAL 10% in oil 2,5 mg/kg
syok. BB IM setiap 4 jam, 4 kali.
Alkaloid beladona Mulut kering, kulit 1. Emesis dan bilas lambung.
1. Atropin merah dan panas, bila ada dengan asam tanat
2. Skopolamin midriasis. hiperpireksi. 4%, Ialu berikan activated
3. Hiosin takikardia, delirium. charcoal dalam Iambung.
koma. 2. Kateterisasi kandung
kencing
3. Fisostigmin salisilat 0,5-2.0
mg IM/IV lambat.
Amfetamin Mulut kering, hiperaktif, 1. Bilas lambung masih efektif
hiperrefleksi anoreksi, setelah 4 jam,
takikardia. an’tmia, 2. Klorpromazin 0.5-1 mg/ kg

7
psikosis, kegagalan BB IM atau oral, dapat
pemapasan dan sirkulasi. diulang setiap 30 menit
3. Kurangi rangsang luar
4. Cegah edema otak.
Aminopoirin Edema angionerotik dan Antihistamin dan epinefn'n
Antalgin kelainan kulit Iain, 1/1000 0.3 mL SC.
Novalgin gelisah, kadang-kadang
agranulositosis.
Anilin, Asetaminofen, Sianosis, 1. Bilas lambung, bila ada
Fenasetin methemoglobinemia, dengan KMnO4 1/5000
urtikaria, dispnea, 2. Biru metilen 1% 1 mg/kg
muntah, delirium, BB IV.
kegagalan pemapasan 3. Vitamin C 1 gr IV.
dan sirkulasi.
Antihistamin Mulut kering, takikardia, Sedatif hanya bila kejang.
disorientasi, rangsang/
depresi susunan saraf
pusat, hiperpireksi.
Barbiturat Kekacauan mental, 1. Jangan gunakan emetik
LD 5 gr fenobarbital 3 gr mengantuk, hiporetleksi. 2. Bilas lambung masih efektif
sekobarbital bullae berisi serum. sampai 24 jam, lalu berikan
hipotensl, delirium, Na-sulfat/Mg-sulfat 30 gr
depresi pemapasan. dalam lambung
syok, koma. 3. Beri kopi pahit
4. Untuk depresi pemapasan
dapat berikan amfetamin, 4-
10 mg IM.
Digitalis Anoreksi, mual, diare 1. KCI 2 gfjarn oral atau
LD 3 digitalis delirium, nadi lambat larutan 0.3% dalam glukosa
3 mg digitoksin hipotensi, aritmia. 5% IV
5-7 mg digitoksin 2. Propanolol (Indera|®) 4 kali
10-30 mg/hari oral atau 1

8
mg IV.
3. Monitor EKG
Deterjen-anionik sabun Muntah dan diare 1. Emesis dan bilas lambung
dan deterjen ruma hanya bila tertelan dalam
tangga jumlah besar.
2. Biasanya tidak berbahaya.
Deterjen kationik Mual, muntah, diare, Bilas lambung dengan air sabun
deterjen bakterisid di kejang, syok, koma. biasa.
rumah sakit (zephiren)
Deterjen-non ionik Tidak barbahaya
Deterjen untuk mesin Serupa dengan basa kuat 1. Lihat hal asam/basa kuat
cuci Kalsium glukonat 10% 5 mL
IV bila tetani.
2. Pencahar setalah bila:
lambung
1. Papaverin 60 mg IV atau
amil nitrlt 0.3 mL inhalasi.
Ergot Ergotamin® Haus. muntah, diare. 1. Bilas lambung hati-hafl, bila
Methergin® klaudikasio kejang, ada dengan minyak
hipotensi, koma zaitun/activaled charcoal.
2. Relatif jarang menimbulkan
Fenol TD + t 1 gr Korosi, berbau khas Struktur esofagus.
Asam karbol
kresol
Lysol®
Fenotiazin Mulut kering, anoreksi, 1. Difenhidrarnin (Benadrym
CPZ (klorpromazin) mual, sumbatan hidung, 2-3 mg/kg BB lV/IM.
Trifluoperazin hipotensi. takikardia, 2. Jangan gunakan epinefrin
ataksi, tremor, atau levarterenol
hipotermi, kegagalan
pemapasan, koma,
leukopeni, gangguan,
pembekuan darah,

9
ikterus.
Formaldehid Inhalasi: 1. Bilas lambung, bila ada
formalin Iritasi mata, hidung & dengan Iarutan amonia 0,2%
(Iarutan 40%) saluran pemapasan, Ialu beri activated charcoal
LD 60 mL formalin edema dan spasme atau susu.
lan'ng, disfagi, bronkitis, 2. Hati-hati asidosis.
pneumoni.
Kulit
lritasi, nekrosis,
dennatitis.
Ditelan:
Nyeri perut, mual,
hematemesis,
hematuri /anuri syok,
koma, kegagalan
pemapasan.
Insektisida-CHC Muntah. parestesi, 1. Pencahar,setelah bilas
DDT tremenkejang. edema lambung jangan gunakan
Dieldrin® paru, fibrilasi ventrikal, minyak kastroli
Chlordane® kegagaian pemapasan. 2. Jangan gunakan epinefrin
Endrin® koma. 3. Kalsium glukonat 10% 10
LD 15-30 g DDT mL IV lambat
1g Endrin
Insektisida-Karbamat Mual, muntah, nyeri 1. Atropin sulfat 2 mg SC/IM
Sevin® perut, hipersalivasi, senap 15 menit sampai
nyeri kepala, miosis. tercapai (muka merah,
kekacauan mental. midriasis. takikardi,
bronkokonstriksi. hipersalivasi berhenti)
hipotensi, depresi 2. Jangan berikan pralidoksin.
pemapasan, kejanq.
Insektisida Sama dengan karbamat, Penolong harus berhati-hati,
Organofosfat tetapi lebih berat. Dapat jangan sampal terkontaminasi

10
Malamion® diserap melalui kulit Atropin sulfat 2 mg SC/IM
Parathion® setiap 15 menit sampai
DDVP atropinisasi; bila gejala kembali
Diazinon® dapat diulang.
TEPP -Pralidoksin (Protopam®) 1 g
LD 20 mg IV lambat; anak 0.25 g IV dapat
Parahion® 1000 mg diulang setiap 12 jam
Malathion® Jangan berikan morfin atau
aminofIIin.
Hidrokarbon, Inhalasi: Jangan lakukan emesis
senyawa, Nyeri kepala, mual, Bilas lambung hati-hati, lalu
bensin minyak tanah lemah, dispnea, depresi berikan pencahar.
pemapasan. Depresi pernapasan dapat
Ditelan: diatasi dengan kafein 200-500
Korosi, muntah, diare. mg IM.
Sangat berbahaya bila Perhatikan kemungkinan edema
terjadi aspirasi. paru/pneumoni aspirasi.
Karbon monoksida Nyeri dan pusing kepala. Pernapasan dengan oksigen
dispnea kekacauan murni bertekanan,
mental, midriasis, Jangan gunakan stimulan
kejang. Perhatikan kemungkinan edema
depresi pemapasan. otak.
koma.
Kulit & mukosa:
berwarna merah terang.
Kalium Permanganat Pewarnaan coklat. Jangan lakukan emesis
korosif, edema epiglotis Bilas lambung lalu berikan
hipotensi. demulsen
Jangan berikan morfln
Kokain Rangsang susunan saraf Bilas lambung dengan KMnO4
pusat, halusinasi, mual, 1/5000 dan activated charcoal
midriasis, takikardia, Antitoksin 10.000 U diencerkan

11
kejang, depresi 10 kali IV lambat setiap 4 jam,
pernapasan koma. syok. waspada reaksi terhadap serum.
Dapat digunakan untuk
pencegahan (10.000 U)
Makanan-Botulisma Masa laten 18-36 jam 1. Sedatif: fenobarbital 3 kali
Makanan dalam kaleng lemah, gangguan 30-60 mg oral/IM Jangan
yang tidak sempurna penglihatan, refleks gunakan morfin
Cegah dengan pupil (-), paresis bulber 2. Perhatikan kemungkinan
memanaskan 80°C (disartri disfagi, pneumoni aspirasi karena
selama 30 menit. regurgitasi nasal), kesulitan menelan.
Kausa: CIostium kelemahan otot lurik. 3. Bila perlu hisap sekret
botulinum. tidak ada gangguan orofarings secara teratur.
pencemaan dan
gangguan kesadaran.
Makanan-bongkrek Mengantuk nyeri perut, Hanya simtomatik
Kausa: berkeringat, dispnea,
Pseudomonas spasme otot, vertigo,
Cocovenenans koma.
Makanan ikan Masa Iaten 1/2 -4 jam Emesis dan bilas lambung
panas sekitar mulut, rasa dengan KMnO4 1/5000 Ialu
baal pada ekstremitas, berikan pencahar.
mual, muntah, diare
nyeri perut, nyeri sendi,
pruritus, demam,
kelemahan otot umum,
paralisa otot pernapasan.
Makanan jamur Masa laten kurang 2 Idem keracunan ikan.
Amanita Muscarina jam, lakrimasi, salivasi, 1. Atropin sulfat1 mg SC/IM
Amanita phalloidine keringat, miosis, diulang setiap 1-2 jam sampai
muntah, nyeri perut, atropinisasi
diare, pusing, kejang,
koma. 2. Hati-hati hipoglikemi, beri

12
Masa laten 6-24 jam infus glukosa 10%
mual, muntah, melena,
dehidrasi, ikterik,
anemia, syok, koma.
Makanan jengkol Kolik ureter, hematuri, 1. Na-bikarbonat 4 x 2 g
oliguri/anuri hati-hati oral/hari
uremi 2. Infus NaHC03 1.5%.
Makanan kontaminan Tergantung jenis
kontaminan
Makanan singkong Lihat hal sianida
Makanan stafilokokal Masa Iaten 2-8 jam Obati seperti gastroenteritis
(tersering) mual, muntah, diare. akut.
nyeri parut. Nyeri
kepala, demam,
dahidrasi.
Dapat menyerupai
disentri.
Marijuana (ganja) Serupa atropin dengan Cukup simtomatik, kesadaran
halusinasi nyata, mulut akan pulih dalam ½ - 1 hari
kering, midriasis tidak
begitu jelas
Metil alkohol (metanol) Masa laten 8-32 Jam 1. Bilas Iambung dengan
dalam spiritus bakar 5- nyeri kepala dan pusing, NaHCO3 hanya efektif dalam
10% nyeri perut. kulit dingin, 2 jam
LD30 mL metanol kekacauan mental, 2. Etanol 50% (wiski) 30 mL
kejang. bradikardi, setiap 3-4 jam
gangguan penglihatan, 3. NaHC03 4 g oral setiap 15
sampai buta, asidosis, menit atau 4 mEq/kg BB IV
koma. setiap 4 jam.
Naftalena (Kamper) LD Kontak: dematitis, ulkus 1. Prednison: 30-50 mg/hari
2g komea Inhalasi: nyeri untuk mengatasi hemolisis.
kepala, muntah, dispnea, 2. Alkalisasi urine dengan
kekacauan mental. NaHC03 oral.

13
Ditelan: nyeri perut,
muntah, nyeri kepala,
kekacauan mental,
disuri, hemolisis
intravaskular, kejang.
Natrium Hipoklorit Korosi Demulsen: susu, antasid
pemutih (3-6%) LD 30 Jangan beri NaHCO3 / asam
mL larutan 15% Beri Na-sulfat 5% 200 mL oral.

Narkotik Mual, muntah, pusing. 1. Jangan Iakukan emesi


heroin kulit dingin, pin point 2. Nalokson 5 ug/kg BB IV
morfin pupil, pemapasan atau nalomine 0.1 mg/kg
kodein dangkal, koma. BB IV setiap 5 menit
LD 120-150 mg (maksimal 40 mg dalam 4
jam) atau levalorpan 0,02
mg/kg BB IV
3. Obat terpilih: nalokson
karena tidak mendepresi
pernapasan dan
memperbaiki kesadaran.
Nikotin LD 60 mg Gelisah, nyeri dan Bilas Iambung dengan KMnO4
(setara dengan 3 batang pusing kepala, tremor, atau activated charcoal, lalu
rokok) kejang, paralisa, beripencahan
pemapasan, palpitasli,
koma.
Salisilat LD 20-30 g Tinitus, demam, 1. Emesis dan bilas Iambung
Aspirin® hiperventilasi, keringat, masih efektif sampai 6-8
muntah, delirium, jam, lalu beri pencahar.
kejang, koma, depresi 2. lnfus glukosa 10%: NaCl
pernapasan. Pada anak- 0,9 % = 2 : 1
anak: asidosis-metabolik 3. Bila asidosis: NaHC03 1-2
Dewasa: mEq/kg BB IV; anakanak

14
alkalosis respiratorik. 3-4 mEq/Kg BB IV
4. KCI 3-5 mEq/kg BB/24 jam
IV VIt.K 25-50 mg/hari IM.

Sianida singkong racun Nyeri kepala, mual, Inhalasi amilnitrit 0.2 mL setiap
lnhalasi amilnitrit 0,2 2 menit (kecuali bila-sistolik
mL mengantuk, kurang 80 mmHg)
hipotensi, setiap 2 menit Na-nitrit 3% 10 mL IV dalam 3
(kecuali takikardia, menit dan
dispnea, biIa-sistolik Na-tiosulfat 25% 50 mL IV
kurang kejang, koma. 80 dalam 10 menit.
mmHg)
Timah hitam Plumbum Inhalasi akut: insomnia. Pencahar
(Pb) nyeri kepala, ataksia, Ca-glukonat 10% 10 mL IV dan
manik, kejang. Ca-diNa-EDTA 25-35 mg/kg
Ditelan akut: haus, rasa BB dalam Iarutan 3% per drip
terbakar di perut, mual, selama 1 jam, 2 x / hari seiama
diare, ataksia. manik, 5 - 7 hari. Ulangi setelah
kejang. istirahat 7 hari dan
Kronik: rasa metal Penisilamin 2 x 15-20 mgl kg
dalam mulut lead line di BB oral.
gusi, kolik usus, diare,
basophilic stippling,
kopropomrin uri,
ensefalopati.
Yodium tingtura LD 30- Korosi. pewamaan Bilas Iambung dengan air tajin
60 mL larutan 7% coklat, kolaps dan susu: bila ada dengan Na-
sirkulatorik, nefritis, tiosulfat 10%.
delirium, stupor.
Sumber : (Purwadianto, 2013)

15
2.3 Mekanisme Keracunan

Mekanisme terjadinya keracunan diakibatkan oleh absorpsi racun

ditandai oleh masuknya racun dari tempat paparan menuju sirkulasi sistemik

tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah racun

yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Racun

dapat terabsorpsi umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau

terdispersi molekular. Jalur utama absorpsi racun adalah saluran cerna, paru-

paru dan kulit. Setelah racun mencapai sistemik, ia bersama darah akan

diedarkan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan terdistribusi

lebih jauh melewati membran sel menuju sistem organ atau ke jaringan-

jaringan tubuh. Selanjutnya racun akan mengalami reaksi biotransformasi

(metabolisme) dan ekskresi racun melalui ginjal, empedu, saluran

pencernaan, dan jalur ekskresi lainnya (kelenjar keringat, kelenjar mamae,

kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang paling penting adalah

eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan ekskresi melalui ginjal

(Wirasuta & Niruri, 2006)

2.4 Klasifikasi Racun

Menurut Chadha racun dapat diklasifikasikan berdasarkan dari aksinya,

pertama bisa berdasar karena racun korosif, kedua racun iritan, ketiga racun

saraf, keempat racun jantung, kelima racun asphyxiants (gas asfiksia)

16
1. Racun Korosif merupakan agen pengiritasi yang sangat aktif dan biasanya

menyebabkan peradangan dan ulserasi pada jaringan. Kelompok racun ini

biasanya yaitu asam kuat dan basa.

2. Racun Iritan merpuakan penyebab gejala sakit pada perut dan biasanya

menyebabkan mual dan muntah, raucn ini terbagi menjadi beberapa

bagian, diantaranya :

- Racun anorganik : Logam meliputi arsen, merkuri, timbal, tembaga

dan antimon. Sedangkan untuk non logam yaitu fosfor, klorin, bromin

dan iodin

- Racun Organik : Tumbuh-tumbuhan : minyak jarak sedangkan hewan

yaitu ular, kalajengking dan laba-laba.

- Racun Mekanik : Bubuk kaca dan debu berlian

3. Racun saraf, racun ini beraksi disistem saraf pusat. Adapun gejala yang

biasa ditimbulkan yaitu sakit kepala, ngantuk, pusing, delirium, kejang,

koma dan stupor.

- Racun serebral : opium, alkohol, agen sedatif, gen hipnotik, anestetik.

- Racun spinal : strychinine

- Perifal : Curare

4. Racun Jantung : Rokok dan digitalis

5. Asphyxiants : Gas batubara, CO, CO2, war gasses

6. Lain-lain : Analgesik, antipiretik, penenang dan antidepresan. (Chadha,

2003)

17
2.5 Penggolangan Keracunan

2.5.1 Menurut cara terjadinya

1. Meracuni diri (Self poisoning). Penderita berusaha bunuh diri

dengan tujuan menarik perhatian saja. Penderita biasanya menelan

racun dalam dosis besar untuk membahayakan dirinya. Contohnya

adalah keracunan baygon.

2. Usaha bunuh diri (attempted suicide). Dalam hal ini penderita

ingin benar-benar bunuh diri dan dapat berakhir dengan kematian.

3. Keracunan akibat kecelakaan (accidental poisoning). Keracunan

ini terjadi benar-benar karena kecelakan dan tidak ada unsur

kesengajaan

4. Keracunan akibat pembunuhan (homicidal poisoning). Terjadi

akibat tindakan criminal yaitu diracuni pasien.

5. Keracunan akibat ketergantungan obat. Keracunan terjadi akibat

sifat toleransi obat sehingga memerlukan peningkatan dosis.

Peningkatan dosis yang tidak terukur/ tidak terkendali

menimbulkan overdosis yang fatal (Anonim, 2009).

2.5.2 Menurut cepat lambatnya proses keracunan

1) Keracunan akut : Gejala keracunan muncul dengan cepat

segera setelah korban menelan atau kontak dengan zat racun

misalnya keracunan makanan, sianida dan insektisida

2) Keracunan kronik : Gejala muncul dalam waktu relative lama

sehingga korban sering tidak sadar mengalami keracunan.

18
Keracunan kronis yang sering terjadi antara lain keracunan

bromid, salisilat, fenitoin dan digitalis karena tidak diawasi

2.5.3 Menurut organ yang terkena

Keracunan dapat dibedakan menurut organ yang terkenan

yaitu neurotoksik (racun saraf), kardiotoksik (racun pada jantung),

nefrotoksik dan hepatotoksik. Satu zat racun dapat mempengaruhi

beberapa organ sekaligus misalnya CCl4 mempengaruhi hepar,

ginjal dan jantung

2.5.4 Bahan kimia

Zat kimia dalam golongan sejenis biasanya menimbulkan

gejala keracunan yang sama seperti keracunan alkohol, logam

berat, fenol dan organofosfat (Anonim, 2009).

2.6 Gigitan Hewan Berbisa

Gigitan atau sengatan binatang berbisa, seperti ular, laba-laba atau

binatang berbisa lainnya, pada umumnya menyebabkan nyeri lokal dan tidak

memerlukan perawatan, namun anak-anak mempunyai risiko tinggi terjadi

reaksi berat. Reaksi klinis berat pada anak sering terjadi karena volume tubuh

lebih kecil untuk penyebaran racun/ bisadibandingkan dengan orang dewasa.

Pada setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitan ular, harus dipastikan

apakah gigitan tersebut disebabkan ular berbisa. Hal tersebut dapat ditentukan

19
antara lain dari luka bekas gigitan yang terjadi. Jika identifikasi sulit

ditentukan, gejala dan tanda akibat gigitan bisa ular menjadi dasar untuk

menegakkan diagnosis. Dalam menghadapi kasus gigitan ular berbisa

diperlukan tata laksana yang cepat, baik dalam menegakkan diagnosis

maupun terapinya, oleh karena dapat menimbulkan kecacatan dan

mengancam jiwa.

Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar

45.000 kasus, namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.

Selama 3 tahun terakhir, the American Association of Poison Control Centers

melaporkan bahwa dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan

gigitan ular berbisa Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus

dan biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus

yang tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. Pasien korban gigitan

20
ular berbisa 15% sampai 40% akan meninggalkan gejala sisa. Menurut

catatan medik RSCM, kejadian kasus gigitan ular berbisa selama 5 tahun

terakhir (1998 – 2002) sebanyak 37 pasien. Pada umumnya korban gigitan

ular adalah lakilaki dengan usia antara 17 sampai tahun, seringkali dalam

kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas berkebun, atau sedang

menangkap bahkan bermain dengan ular. Waktu gigitan biasanya terjadi pada

malam hari dan gigitan lebih sering terjadi pada ekstremitas. Malik dkk, pada

tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban gigitan ular, mendapatkan

tempat gigitan pada tungkai atau kaki (83,3%) dan lengan atau tangan

(17,7%). Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya termasuk ular

berbisa. Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae

(ular laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae). Kasus

gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae.

Ular jenis Crotalidae disebut juga Viperidae atau pit vipers karena kepala

berbentuk triangular, pupil matanya elips, serta terdapat lubang antara hidung

dan mata. Lubang tersebut pada jenis pit viper berfungsi sebagai organ

sensoris terhadap panas. Pit viper mudah dikenal dari taringnya yang cukup

panjang, sekitar 3-4 cm.3 Jenis ular berbisa dari famili Elapidae misalnya

coral snake mempunyai kepala kecil dan bulat, dengan pupil bulat dan taring

lebih kecil sekitar 1-3 mm. Coral snake mudah diidentifikasi karena warnanya

terang, misalnya belang hitam dan merah atau kuning.

2.6.1 Patofisiologi

21
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan

protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi

tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan

resisten terhadap perubahan temperatur. Secara mikroskop elektron

dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat

menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah,

sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen

peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada

pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah

sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang

terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan

pelepasan bradykinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi,

mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat

yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan

menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A

menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah.

Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat.

Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada kasus yang berat

bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi

bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili

Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis

jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari

bisa ular jenis ini mempunyai dampak hampir pada semua sistem

22
organ. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama

bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare

yang memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Aliran

dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular

tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.

2.6.2 Klasifikasi

Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4

skala, yaitu derajat 1 (minor) = tidak ada gejala, derajat 2 (moderate) =

gejala lokal, derajat 3 (severe) = gejala berkembang ke daerah

regional, derajat 4 (major) = gejala sistemik. Tabel 1 ini adalah tabel

skor dari derajat beratnya kasus gigitan ular berbisa dari famili

Crotalidae dan famili Elapidae. Pada umumnya gejala yang

ditimbulkan oleh bisa ular terjadi dalam 2-6 jam setelah gigitan. Infark

serebri sering terjadi karena gigitan ular dari famili Crotalidae/

Viperidae, terjadi dalam waktu 7 jam sampai 1 minggu setelah gigitan.

Lalloo DG dkk, pada tahun 1992 melaporkan bahwa gejala klinis

timbul mulai 15 menit sampai 6 jam (dengan median 1 jam) setelah

gigitan.

2.6.3 Manifestasi klinis

Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala

pada tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi

23
dalam beberapa menit, bisa akan menjalar ke proksimal, selanjutnya

terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat dapat timbul bula dan

jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah,

kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Pasien jarang

mengalami syok, edem generalisata atau aritmia jantung, tetapi

perdarahan sering terjadi. Boyer LV dkk, melaporkan bahwa dari 38

korban gigitan ular Viperidae, 29 (76%) mengalami koagulopati,

dengan 20 (53%) terdapat beberapa kelainan komponen koagulopati

(misalnya hipofibrinogenemia dan trombositopenia). Gigitan akibat

Elapidae biasanya tidak menimbulkan nyeri hebat. Namun demikian

tidak adanya gejala lokal atau minimal, tidak berarti gejala yang lebih

serius tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan

biasanya gejala berkembang dalam 12 jam. Bisa yang bersifat

neurotoksik, mempunyai dapat sangat cepat dalam beberapa jam,

mulai dari perasaan mengantuk sampai kelumpuhan nervus kranialis,

kelemahan otot dan kematian karena gagal napas. Pemeriksaan

laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil,

limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta

penurunan jumlah fibrinogen. Kadar kreatinin kinase serum normal

pada hari pertama dan kedua setelah perawatan. Mioglobin plasma

dan kadar kreatinin mempunyai korelasi yang kuat. Pada pemeriksaan

urinalisis dapat terjadi proteinuria (83%), serta hematuria mikroskopik

(50,9%). Hemoglobinuria dan mioglobinuria umumnya dapat

24
dideteksi dan dapat terjadi leukosituria (56,4%). Penelitian

Ramachandram S dkk, pada tahun 1995 mendapatkan kadar Hb dan

leukosit normal pada semua pasien, 3% terjadi trombositopenia (<

75.000/µL). Kadar ureum darah meningkat pada pasien dengan gejala

gagal ginjal. Natrium, kalium, klorida, calsium, serta glukosa darah

masih dalam batas normal pada semua pasien. Hasil EEG abnormal

ditemukan pada 96% dan berhubungan dengan ukuran ular, tetapi

tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di lokasi gigitan,

adanya manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal. Perubahan

EEG segera terjadi setelah gigitan dan akan kembali normal dalam 1-2

minggu. Pada pemeriksaan EKG, umumnya terjadi kelainan seperti

bradikardia dan inversi septal gelombang T. Hasil EKG yang

abnormal termasuk tanda-tanda utama gejala gigitan ular berbisa,

selain perdarahan, koagulopati dan paralisis.

Famili Crotalidae Famili Elapidae


Deraja Derajat Gejala dan tanda Derajat Gejala dan tanda
t
1 Minor Terdapat tada bekas 0 – none RIwayat digigit
gigitan atau taring, ular,
tidak ada edem, tidak pembengkakan
nyeri, tidak ada gejala local dengan
sistemik, tidak ada tanda guratan,
koagulapati tidak ada
gangguan
neurologis
2 Moderate Terdapat tanda bekas 1 – Derajat 0
gigitan / taring, edem moderate ditambah gejala
local, tidak ada gejala neurologisatau
sistemik, tidak ada disertai eforia,
koagulapati mual, muntah,
paresthesia,
ptosis,

25
kelemahan otot,
paralisis, sesak
3 Severe Terdapat tanda bekas 2 - Gejala pada
gigitan, edem regional severe derajat 1
(2 segmen dari ditambah
ekstremitas), nyeri paralisis otot
yang tidak teratasi pernapasan
oleh analgesic, tdak dalam 36 jam
ada tanda sistemik, pertama
terdapat tanda
koagulapati
4 Major Terdapat tanda bekas
gigitan , edem yang
luas terdapat tanda
sistemik (muntah,
sakit kepala, nyeri
pada perut dan dada,
syok), trombosis
sistemik

2.6.4 Diagnosis

Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan

berdasarkan identifikasi ular yang menggigit dan adanya

manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya dibawa dalam

keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular.

Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak

berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan

yang ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang

menggigit, manifetasi klinis menjadi hal yang utama dalam

menegakkan diagnosis.

2.6.5 Terapi

Terapi yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di

tempat gigitan dan di rumah sakit. Tata laksana di tempat gigitan

26
termasuk mengurangi atau mencegah penyebaran racun dengan

cara menekan tempat gigitan dan imobilisasi ekstremitas. Selain itu

diusahakan transportasi yang cepat untuk membawa pasien ke

rumah sakit terdekat, pasien tidak diberikan makan atau minum.

Saat ini eksisi dan penghisapan bisa tidak dianjurkan bila dalam 45

menit pasien dapat sampai di rumah sakit. Di rumah sakit diagnosis

harus ditegakkan dan segera pasien dipasang dua jalur intravena

untuk memasukkan cairan infus dan jalur yang lain disiapkan

untuk keadaan darurat. Segera dilakukan pemeriksaan laboratorium

seperti darah perifer lengkap, PT, APTT, fibrinogen, elektrolit,

urinalisis dan kadar ureum serta kreatinin darah. Pasien diberikan

suntikan toksoid tetanus dan dipertimbangkan pemberian serum

anti bisa ular. Pengukuran pada tempat gigitan perlu dinilai untuk

mengetahui progresivitasnya. Kadang perlu dilakukan eksisi dan

penghisapan bisa pada saat luka dibersihkan. Saat ini masih

diperdebatkan tentang tindakan operasi (fasciotomy) pada pasien

gigitan ular berbisa. Fasciotomy dilakukan bila ada edem yang

makin luas dan terjadi compartment syndrome (keadaan iskemik

berat pada tungkai yang mengalami revaskularisasi. Klasifikasi

gigitan ular berbisa Famili Crotalidae 9 Famili Elapidae 6 Derajat

Derajat Gejala dan tanda Derajat Gejala dan tanda 1. Minor

Tredapat tanda bekas 0 – none Riwayat digigit ular, gigitan /

taring, tidak pembengkakan lokal ada edem, tidak nyeri, dengan

27
tanda guratan, tidak ada gejala sistemik, tidak ada gangguan tidak

ada koagulopati. neurologis 2. Moderate Terdapat tanda bekas 1 –

moderate Derajat 0 ditambah gigitan/taring, edem gejala neurologis

atau lokal, tidak ada gejala disertai eforia, mual, sistemik, tidak ada

muntah, parestesia, koagulopati ptosis, kelemahan otot, paralisis,

sesak 3. Severe Terdapat tanda bekas 2 – severe Gejala pada

derajat 1 gigitan, edem regional ditambah paralisis otot (2 segmen

dari ekstremitas), pernapasan dalam 36 nyeri yang tidak teratasi

oleh jam pertama analgesik, tidak ada tanda sistemik, teradapat

tanda koagulopati. 4. Major Terdapat tanda bekas gigitan, edem

yang luas terdapat tanda sistemik (muntah, sakit kepala, nyeri pada

perut dan dada, syok), trombosis sistemik 97 Sari Pediatri, Vol. 5,

No. 3, Desember 2003 menimbulkan edem, disebabkan

peningkatan permeabilitas kapiler dan keadaan hiperemia). Pada

semua kasus gigitan ular, perlu diberikan antibiotik spektrum luas

dan kortikosteroid, meskipun pemberian kortikosteroid masih

diperdebatkan. Di Amerika hanya terdapat 3 anti bisa yang

diproduksi dan disetujui oleh FDA, yaitu antivenim polyvalen

crotalidae, antivenon untuk coral snake (Elapidae) dan antivenon

untuk black widow spider. Semua anti bisa ular adalah derivat

serum binatang, tersering berasal dari serum kuda, berupa

imunoglobulin yang mengikat secara langsung dan menetralkan

protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar pada pasien dalam

28
jumlah besar dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe cepat

dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat terjadi

pada 20-25% pasien, bahkan dapat terjadi kematian karena

hipotensi dan bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi pada

50-75% pasien dengan gejala serum sickness seperti demam, ruam

yang difus, urtikaria, artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam

beberapa hari. Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria,

namun efek samping yang serius jarang terjadi. Pemberian anti bisa

ular harus dilakukan di rumah sakit yang tersedia alat-alat

resusitasi. Penggunaan adrenalin, steroid dan antihistamin dapat

mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-30%.

Profilaksis yang hanya menggunakan promethazine tidak dapat

mencegah reaksi yang cepat.19 Anak-anak lebih sering

memerlukan jumlah data anti bisa yang banyak oleh karena

kecilnya rasio antara volume tubuh dan bisa ular yang terdistribusi.

Pada tahun 2000 bulan Desember terdapat produk baru yaitu

Crotalinae Polyvalent Immune Fab (ovine) antivenon yang berasal

dari serum domba. Serum Fab ini ternyata lima kali lebih poten dan

efektif sebagai anti bisa dan jarang terdapat komplikasi akibat

pemberiannya. Penggunaan serum Fab dianjurkan diencerkan

dalam 250 ml NaCl 0,9% dan pemberiannya lebih dari satu jam

melalui intravena. Untuk pasien yang masih sangat kecil (berat

badan kurang dari 10 kg), volume cairan dapat disesuaikan. Jumlah

29
penggunaan anti bisa ular tergantung derajat beratnya kasus. Kasus

dengan derajat none tidak diberikan anti bisa, untuk kasus dengan

derajat minimal diberikan 1-5 vial sedangkan moderate dan severe

lebih dari 15 vial.6 Antibiotik diberikan secara rutin, karena dapat

terjadi infeksi pada tempat gigitan. Pemberian antibiotik masih

kontroversi, namun Blaylock tahun 1999 dari penelitiannya

mendapatkan 18 diantara 20 pasien mempunyai biakan darah

positif bakteria gram negatif aerob.

2.6.6 Prognosis

Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan

keadaan yang berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat

untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau bagian tubuh yang

mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan,

fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan

skin graft (Niasari & Latief, 2003)

2.7 Patofisiologi

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan

proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses

ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi,

toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi

xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu

diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh

30
organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada

organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik

pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme

terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik.

Pembagian beberapa fase dalam mekanisme intoksikasi dapat

diuraiakan dengan beberapa fase, diantaranya fase eksposisi, fase toksikinetik

dan fase toksodinamik. Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme

dengan xenobiotika, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi

efek toksik/ farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya

tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat

terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek obat,

fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika

meliputi hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut,

terdispersi molekular di tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam

keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini sangat ditentukan

oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan farmasi.

Berikutnya adalah fase toksikinetik, fase ini disebut juga dengan fase

farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika,

pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah

atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah

atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik

(reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan

31
termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu

menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.

Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor

(tempat kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada

akhirnya muncul efek toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor

umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini

mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika

tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel,

terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara

xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi

kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia

kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari

subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti

pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka

kimia pada substrat biologi.

32
Sumber : (Wirasuta & Niruri, 2006)

2.7.1 Fase Eksposisi

Dalam fase ini terjadi kotak antara xenobiotika dengan organisme atau

dengan lain kata, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini

dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau

penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme (injeksi). Jika

suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu xenobiotika, maka, kecuali

senyawa radioaktif, efek biologik atau toksik akan muncul, jika xenobiotika

tersebut telah terabsorpsi menuju sistem sistemik. Umumnya hanya

xenobiotika yang terlarut, terdistribusi molekular, yang dapat diabsorpsi.

Dalam hal ini akan terjadi pelepasan xenobiotika dari bentuk

farmaseutikanya. Misalnya paparan xenobiotika melalui oral (missal sediaan

dalam bentuk padat: tablet, kapsul, atau serbuk), maka terlebih dahulu

kapsul/tablet akan terdistegrasi (hancur), sehingga xenobiotika akan telarut

di dalam cairan saluran pencernaan. Xenobiotika yang terlarut akan siap

terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan ditranspor

melalui pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika menuju

33
hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Penyerapan xenobiotika sangat

tergantung pada konsentrasi dan lamanya kontak antara xenobiotika dengan

permukaan organisme yang berkemampuan untuk mengaborpsi xenobiotika

tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah xenobitika yang terabsorpsi

akan menentukan potensi efek biologik/toksik. Pada pemakaian obat, fase

ini dikenal dengan fase farmaseutika, yaitu semua proses yang berkaitan

dengan pelepasan senyawa obat dari bentuk farmasetikanya (tablet, kapsul,

salep, dll). Bagian dosis dari senyawa obat, yang tersedia untuk diabsorpsi

dikenal dengan ketersediaan farmaseutika. Pada kenyataannya sering

dijumpai, bahwa sediaan tablet dengan kandungan zat aktif yang sama dan

dibuat oleh fabrik farmasi yang berbeda, dapat memberikan potensi efek

farmakologik yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan

ketersediaan farmaseutikanya. Perbedaan ketersediaan farmaseutika suatu

sediaan ditentukan oleh sifat fisiko-kimia, umpamanya ukuran dan bentuk

kristal, demikian pula jenis zat pembantu (tambahan pada tablet) dan

metode fabrikasi. Disamping bentuk farmaseutika yang berpengaruh jelas

terhadap absorpsi dan demikian pula tingkat toksisitas, sifat fisiko-kimia

dari xenobiotika (seperti bentuk dan ukuran kristal, kelarutan dalam air atau

lemak, konstanta disosiasi) tidak boleh diabaikan dalam hal ini. Laju

absorpsi suatu xenobiotika ditentukan juga oleh sifat membran biologi dan

aliran kapiler darah tempat kontak. Suatu xenobiotika, agar dapat

diserap/diabsorpsi di tempat kontak, maka harus melewati membran sel di

tempat kontak. Suatu membran sel biasanya terdiri atas lapisanbiomolekular

34
yang dibentuk oleh molekul lipid dengan molekul protein yang tersebar

diseluruh membran. Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran

cerna, paru-paru, dan kulit. Namun pada keracunan aksidential, atau

penelitian toksikologi, paparan xenobiotika dapat terjadi melalui jalur

injeksi, seperti injeksi intravena, intramuskular, subkutan, intraperitoneal,

dan jalur injeksi lainnya.

A. Eksposisi melalui kulit.

Eksposisi (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim terhadap

manusia atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik,

produk rumah tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran

industri di tempat kerja, ialah pemejanan sengaja atau tidak sengaja pada

kulit. Kulit terdiri atas epidermis (bagian paling luar) dan dermis, yang

terletak di atas jaringan subkutan. Tebal lapisan epidermis adalah relatif

tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm, sedangkan dermis sekitar 2 mm.

Dua lapisan ini dipisahkan oleh suatu membran. Lapisan epidermis terdiri

atas lapisan sel basal (stratum germinativum), yang memberikan sel baru

bagi lapisan yang lebih luar. Sel baru ini menjadi sel duri (stratum

spinosum) dan, natinya menjadi sel granuler (stratum granulosum). Selain

itu sel ini juga menghasilkan keratohidrin yang nantinya menjadi keratin

dalam stratum corneum terluar, yakni lapisan tanduk. Epidermis juga

mengandung melanosit yang mengasilkan pigmen dan juga sel langerhans

35
yang bertindak sebagai makrofag dan limfosit. Dua sel ini belakangan

diketahui yang terlibat dalam berbagai respon imun.

Dermis terutama terdiri atas kolagen dan elastin yang merupakan

struktur penting untuk mengokong kulit. Dalam lapisan ini ada beberapa

jenis sel, yang paling banyak adalah fibroblast, yang terlibat dalam

biosintesis protein berserat, dan zat-zat dasar, misalnya asam hialuronat,

kondroitin sulfat, dan mukopolisakarida. Disamping sel-sel tersebut,

terdapat juga sel lainnya antara lain sel lemak, makrofag, histosit, dan

mastosit. Di bawah dermis terdapat jaringan subkutan. Selain itu, ada

beberapa struktur lain misalnya folikel rambut, kelenjar keringan, kelenjar

sebasea, kapiler pembuluh darah dan unsur syaraf. Pejanan kulit terhadap

tokson sering mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang

tokson dapat juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem sistemik.

B. Eksposisi melalui jalur inhalasi.

Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui

penghirupan xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada

36
dalam bentuk gas, uap, butiran cair, dan partikel padat dengan ukuran yang

berbeda-beda. Disamping itu perlu diingat, bahwa saluran pernafasan

merupakan sistem yang komplek, yang secara alami dapat menseleksi

partikel berdasarkan ukurannya. Oleh sebab itu ambilan dan efek toksik dari

tokson yang dihirup tidak saja tergantung pada sifat toksisitasnya tetapi juga

pada sifat fisiknya.

Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus,

serta acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran

alveolar, dan alveoli (lihat gambar 2.4). Nasofaring berfungsi membuang

partikel besar dari udara yang dihirup, menambahkan uap air,dan mengatur

suhu. Umumnya partikel besar ( >10 µm) tidak memasuki saluran napas,

kalau masuk akan diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap,

dihembuskan dan berbangkis. Saluran trakea dan bronkus berfungsi sebagai

37
saluran udara yang menuju alveoli. Trakea dan bronki dibatasi oleh epiel

bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis lendir yang disekresi dari sel tertentu

dalam lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya, lapisan ini dapat

mendorong naik partikel yang mengendap pada permukaan menuju mulut.

Partikel yang mengandung lendir tersebut kemudian dibuang dari saluran

pernafasan dengan diludahkan atau ditelan. Namun, butiran cairan dan

partikel padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi dan fagositosis.

Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik.

Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik. Partikel-

partikel yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah.

Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi xenobiotika yang

berbentuk gas, seperti carbon monoksida, oksida nitrogen, belerang dioksida

atau uap cairan, seperti bensen dan karbontetraklorida. Kemudahan absorpsi

ini berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah, dan

dekatnya darah dengan udara alveoli. Laju absorpsi bergantung pada daya

larut gas dalam darah. Semakin mudah larut akan semakin cepat diabsorpsi.

C. Eksposisi melalui jalur saluran cerna.

Pemejanan tokson melalui saluran cerna dapat terjadi bersama

makanan, minuman, atau secara sendiri baik sebagai obat maupun zat kimia

murni. Pada jalur ini mungkin tokson terserap dari rongga mulut (sub

lingual), dari lambung sampai usus halus, atau eksposisi tokson dengan

sengaja melalui jalur rektal. Kecuali zat yang bersifat basa atau asam kuat ,

atau zat yang dapat merangsang mukosa, pada umumnya tidak akan

38
memberikan efek toksik kalau tidak diserap. Cairan getah lambung bersifat

sangat asam, sehingga senyawa asam-asam lemah akan berada dalam bentuk

non-ion yang lebih mudah larut dalam lipid dan mudah terdifusi, sehingga

senyawa-senyawa tersebut akan mudah terserap di dalam lambung. Berbeda

dengan senyawa basa lemah, pada cairan getah lambung akan terionkan oleh

sebab itu akan lebih mudah larutdalam cairan lambung. Senyawa basa

lemah, karena cairan usus yang bersifat basa, akan berada dalam bentuk

non-ioniknya, sehingga senyawa basa lemah akan lebih mudah terserap

melalui usus ketimbang lambung. Pada umumnya tokson melintasi

membran saluran pencernaan menuju sistem sistemik dengan difusi pasif,

yaitu transpor dengan perbedaan konsentrasi sebagai daya dorongnya.

Namun disamping difusi pasif, juga dalam usus, terdapat juga transpor aktif,

seperti tranpor yang tervasilitasi dengan zat pembawa (carrier), atau

pinositosis.

39
2.7.2 Fase Toksokinetik

Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya

dikelompokkan ke dalam proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari

absorpsi, transpor, dan distribusi, sedangkkan evesi juga dikenal dengan

eleminasi. Absorpsi suatu xenobiotika adalah pengambilan xenobiotika dari

permukaan tubuh (disini termasuk juga mukosa saluran cerna) atau dari

tempat-tempat tertentu dalam organ dalaman ke aliran darah atau sistem

pembuluh limfe. Apabila xenobiotika mencapai sistem sirkulasi sistemik,

xenobiotika akan ditranspor bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi.

WEISS (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi (transpor xenobiotika

bersama peredaran darah) dan difusi (difusi xenobiotika di dalam sel atau

jaringan). Sedangkan eliminasi (evesi) adalah semua proses yang dapat

40
menyebabkan penurunan kadar xenobiotika dalam sistem biologi / tubuh

organisme, proses tersebut reaksi biotransformasi dan ekskresi. Sederetan

proses tersebut sering disingkat dengan ADME, yaitu: adsorpsi, distribusi,

metabolisme dan eliminasi. Proses absorpsi akan menentukan jumlah

xenobiotika (dalam bentuk aktifnya) yang dapat masuk ke sistem sistemik

atau mencapai tempat kerjanya. Jumlah xenobiotika yang dapat masuk ke

sistem sistemik dikenal sebagai ketersediaan biologi / hayati. Keseluruhan

proses pada fase toksokinetik ini akan menentukan menentukan efficacy

(kemampuan xenobiotika mengasilkan efek), efektifitas dari xenobiotika,

konsentrasi xenobiotika di reseptor, dan durasi dari efek

farmakodinamiknya.Farmakokinetik dapat juga dipandang suatu bidang

ilmu, yang mengkaji perubahan konsentrasi (kinetika) dari xenobiotika di

dalam tubuh organisme sebagai fungsi waktu. Secara umum toksokinetik

menelaah tentang laju absorpsi xenobiotika dari tempat paparan ke sistem

peredaran darah, distribusi di dalam tubuh, bagaimana enzim tubuh

memetabolismenya, dari mana dan bagaimana tokson atau metabolitnya

dieliminasi dari dalam tubuh.

A. Absorpsi

Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat

kontak (paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe.

Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem

sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi

umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular.

41
Absorpsi sistemik tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-

sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi (sifat membran biologis dan

aliran kapiler darah tempat kontak), serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan

bentuk farmseutik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol, suspensi atau

larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan

kulit. Pada pemasukan tokson langsung ke sistem sirkulasi sistemik

(pemakaian secara injeksi), dapat dikatakan bahwa tokson tidak mengalami

proses absorpsi. Absorpsi suatu xenobiotika tidak akan terjadi tanpa suatu

transpor melalui membran sel, demikian halnya juga pada distribusi dan

ekskresi. Oleh sebab itu membran sel (membran biologi) dalam absorpsi

merupakan sawar „barier“ yaitu batas pemisah antara lingkungan dalam

dan luar. Pada awalnya membran biologi dipandang sebagai susunan sel,

yang tersusun dengan cara yang sama. Namun hasil penelitian

menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan yang jelas dalam struktur

membran pada berbagai jaringan. Pandangan ini pertama kali dikemukakan

oleh LEONARD dan SINGER dengan model FluidMosaik-nya (gambar

2.2). Menurut model ini membran terdiri atas lapisan rangkap lipid dan

protein, seperti pulau, terikat di dalamnya atau di atasnya dan dengan

demikian membentuk mosaik. Seluruh protein yang mencapai membran

membentuk pori dalam lapisan rangkap lipid. Dengan demikian telah

digambarkan bahwa membran biologik tidak statik melainkan dinamik,

yang diartikan berubah secara terus menerus. Transpor xenobiotika lewat

membran sel. Penetrasi xenobiotika melewati membran dapat berlangsung

42
melalui: (a) difusi pasif, (b) filtrasilewat pori-pori membran ”poren”, (c)

transpor dengan perantara molekul pengemban ”carrier”, (d) pencaplokan

oleh sel ”pinositosis” (a) Difusi pasif. Difusi pasif merupakan bagian

terbesar dari proses transmembran bagi umumnya xenobiotika. Tenaga

pendorong untuk difusi ini adalah perbedaan konsentrasi xenobiotika pada

kedua sisi membran sel dan daya larutnya dalam lipid. Menurut hukum

difusi Fick, molekul xenobiotika berdifusi dari daerah.

B. Distribusi

Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama

darah akan diedarkan/ didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi

sistemik ia akan terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sitem

organ atau ke jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam

tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor reversibel suatu

xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di dalam tubuh. Di beberapa

buku reference juga menjelaskan, bahwa distribusi adalah proses dimana

xenobiotika secara reversibel meninggalkan aliran darah dan masuk menuju

interstitium (cairan ekstraselular) dan/atau masuk ke dalam sel dari jaringan

atau organ. Guna mempermudah pengertian tentang proses distribusi, para

ahli farmakokinetik menggambar-kan tubuh terdiri dari beberapa ruang

distribusi, yang didukung oleh model sederhana. Model yang paling

sederhana untuk itu adalah model kompartimen tunggal. Dimana pada

model ini tubuh dipandang sebagai satu ruang yang homogen (seperti satu

ember besar), dalam hal ini distribusi xenobiotika hanya ditentukan oleh

43
daya konveksi di dalam ember. Namun pada kenyataannya, agar xenobitika

dapat ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel

pada jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yaitu membran

yang menyeliputi sel-sel di dalam tubuh. Fakta menyatakan, bahwa suatu

transpor transmembran dapat terjadi apabila minimal terdapat dua ruang

yang dibatasi oleh membran. Sehingga lebih lanjut tubuh minimal dibagi

menjadi dua ruang sebut saja kompartimen intraselular dan ekstraselular.

Sekitar 75% dari bobot tubuh manusia merupakan ruang intrasel, sedangkan

sisanya sekitar 22% merupakan ruang ekstrasel. Ruang intrasel termasuk

cairan intrasel dan komponen sel yang padat. Ruang ekstrasel dibagi atas:

air plasma, ruang usus, dan cairan transsel (seperti cairan serebrospinalia, air

humor, perilimfe, dan endolimfe serta cairan dalam rongga tubuh dan

organel berrongga). Perlu diingat disini, bahwa pembagian kompartimen ini

hanya merupakan langkah abstraksi guna memudahkan pemahaman ruang

distribusi xenobiotika di dalam tubuh. Lebih lanjut dasar pengertian dan

pemanfaat tentang pembagian ruang distribusi ”kompartimen” akan dibahas

lebih dalam dalam bahasan pemodelan farmakokinetik. Distribusi

xenobiotika di dalam tubuh umumnya melalui proses transpor, yang pada

mana dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi

(transpor xenobiotika bersama aliran darah) dan transmembran (transpor

xenobiotika melewati membran biologis). Distribusi suatu xenobiotika di

dalam tubuh dipengaruhi oleh: tercampurnya xenobiotika di dalam darah,

laju aliran darah, dan laju transpor transmembran. Umumnya faktor

44
tercampurnya xenobiotika di darah dan laju aliran darah ditentukan oleh

faktor psikologi, sedangkan laju transpor transmembran umumnya

ditentukan oleh faktor sifat fisiko-kimia xenobiotika. Transpor

transmembran dapat berlangsung melalui proses difusi pasif, difusi

terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi melalui poren, atau proses fagositisis.

C. Eliminasi

Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang

dimaksud proses eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam

tubuh organisme. Eliminasi suatu xenobiotika dapat melalui reaksi

biotransformasi (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui ginjal,

empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar keringan,

kelenjar mamai, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang paling

penting adalah eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi

melalui ginjal.

Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam tubuh,

xenobiotika/tokson dapat dikeluarkan dengan capat atau perlahan.

Xenobiotika dikeluarkan baik dalam bentuk asalnya maupun sebagai

metabolitnya. Jalus ekskresi utama adalah melalui ginjal bersama urin,

tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting bagi tokson

tertentu. Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain yang kurang penting

seperti, kelenjar keringan, kelenjar ludah, dan kelenjar mamai. Ekskresi

urin. Ginjal sangat memegang peranan penting dalam mengekskresi baik

senyawa eksogen (xenobiotika) maupun seyawa endogen, yang pada

45
umumnya tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Proses utama ekskresi renal dari

xenobiotika adalah: filtrasi glumerula, sekresi aktif tubular, dan resorpsi

pasif tubular. Pada filtrasi glumerular, ukuran melekul memegang peranan

penting. Molekul-molekul dengan diameter yang lebih besar dari 70 Å atau

dengan berat lebih besar dari 50 kilo Dalton (k Da) tidak dapat melewati

filtrasi glumerular. Oleh sebab itu hanya senyawa dengan ukuran dan berat

lebih kecil akan dapat terekskresi. Xenobiotika yang terikat dengan protein

plasma tentunya tidak dapat terekskresi melalui ginjal. Resorpsi pasiv

tubular ditentukan oleh gradien konsentrasi xenobitika antara urin dan

plasma di dalam pembuluh tubuli. Berbeda dengan resorpsi tubular, sekresi

tubular melibatkan proses transpor aktif. Suatu tokson dapat juga

dikeluarkan lewat tubulus ke dalam urin dengan difusi pasif. Ekskresi

empedu. Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi

xenobiotika, terutama untuk senyawa-senyawa dengan polaritas yang tinggi

(anion dan kation), kojugat yang terikat pada protein plasma, dan senyawa

dengan berat molekul lebih besar dari 300. Umumnya, begitu senyawa

tersebut terdapat dalam empedu, mereka tidak akan diserap kembali ke

dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Namun terdapat pengecualian

konjugat glukuronida, dimana konjugat ini oleh mikroflora usus dapat

dipecah menjadi bentuk bebasnya dan selanjunya akan diserap kembali

menuju sistem sirkulasi sistemik. Peran pentingnya ekskresi empedu telah

ditunjukkan oleh beberapa percobaan, dimana toksisitas dietilstibestrol

meningkat 130 kali pada tikus percobaan yang saluran empedunya diikat.

46
Ekskresi paru-paru. Zat yang pada suhu badan berbentuk gas terutama

diekskresikan lewat paru-paru. Cairan yang mudah menguap juga mudah

keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang sangat mudah larut lemak seperti

kloroform dan halotan mungkin diekskresikan sangat lambat, karena mereka

tertimbun dalam jaringan lemak dan karena keterbatasan volume ventilasi.

Ekskresi xenobiotika melalui paru-paru terjadi secara difusi sederhana lewat

membran sel. Jalur lain. Jalur ekskresi ini umumnya mempunyai peranan

yang sangat kecil dibandingkan jalur utama di atas, jalur-jalur ekskresi ini

seperti, ekskresi cairan bersama feses, ekskresi tokson melalui kelenjar

mamai (air susu ibu, ASI), keringan, dan air liur. Jalur ekskresi lewat

kelenjar mamai menjadi sangat penting ketika kehadiran zat-zat racun dalam

ASI akan terbawa oleh ibu kepada bayinya atau dari susu sapi ke manusia.

Karena air susu bersifat agak asam, maka senyawa basa akan mencapai

kadar yang lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma, dan sebaliknya

untuk senyawa yang bersifat asam. Senyawa lipofilik, misalnya DDT dan

PCB juga mencapai kadar yang lebih tinggi dalam susu karena kandungan

lemaknya dalam susu yang relatif tinggi. Metabolisme Xenobiotika yang

masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim tubuh, sehingga

senyawa tersebut akan mengalami perubahan struktur kimia dan pada

akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami

oleh ”xenobiotika” dikenal dengan reaksi biotransformasi yang juga dikenal

dengan reaksi metabolisme. Biotransformasi atau metabolisme pada

umumnya berlangsung di hati dan sebagian kecil di organ-organ lain seperti:

47
ginjal, paru-paru, saluran pencernaan, kelenjar susu, otot, kulit atau di darah.

Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu

fase I (reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase

pertama ini tokson akan mengalami pemasukan gugus fungsi baru,

pengubahan gugus fungsi yang ada atau reaksi penguraian melalui reaksi

oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi, deaminasi, desulfurisasi, pembentukan

oksida, hidroksilasi, oksidasi alkohol dan oksidasi aldehida); rekasi reduksi

(reduksi azo, reduksi nitro reduksi aldehid atau keton) dan hidrolisis

(hidrolisis dari ester amida). Pada fase II ini tokson yang telah siap atau

termetabolisme melalui fase I akan terkopel (membentuk konjugat) atau

melalui proses sintesis dengan senyawa endogen tubuh, seperti: Konjugasi

dengan asam glukuronida asam amino, asam sulfat, metilasi, alkilasi, dan

pembentukan asam merkaptofurat. Enzim-enzim yang terlibat dalam

biotransformasi pada umumnya tidak spesifik terhadap substrat. Enzim ini

(seperti monooksigenase, glukuroni-dase) umumnya terikat pada membran

dari retikulum endoplasmik dan sebagian terlokalisasi juga pada

mitokondria, disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim terlarut (seperti

esterase, amidase, sulfoterase). Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I

umumnya terdapat di dalam retikulum endoplasmik halus, sedangkan sistem

enzim yang terlibat pada reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol.

Disamping memetabolisme xenobiotika, sistem enzim ini juga terlibat

dalam reaksi biotransformasi senyawa endogen (seperti: hormon steroid,

biliribun, asam urat, dll). Selain organ-organ tubuh, bakteri flora usus juga

48
dapat melakukan reaksi metabolisme, khususnya reaksi reduksi dan

hidrolisis.

2.7.3 Fase Toksodinamik

Dalam fase toksodinamik atau farmakodinamik akan membahas

interaksi antara molekul tokson atau obat pada tempat kerja spesifik, yaitu

reseptor dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya timbul

efek toksik atau terapeutik. Kerja sebagian besar tokson umumnya melalui

penggabungan dengan makromolekul khusus di dalam tubuh dengan cara

mengubah aktivitas biokimia dan biofisika dari makromolekul tersebut.

Makromolekul ini sejak seabad dikenal dengan istilah reseptor, yaitu

merupakan komponen sel atau organisme yang berinteraksi dengan tokson

dan yang mengawali mata rantai peristiwa biokimia menuju terjadinya suatu

efek toksik dari tokson yang diamati. Interaksi tokson - reseptor umumnya

merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan

perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari

tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula

interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat

biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika

dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat

irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat

dari suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida.

Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.

Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkan kerusakan sistem biologi,

49
seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga

pertumbuhan sel yang tidak normal, seperti karsinoma, mutasi gen.

Umumnya efek irreversibel ”nirpulih” akan menetap atau justru bertambah

parah setelah pejanan tokson dihentikan.

2.8 Penatalaksanaan

Racun dapat mengganggu fungsi tubuh atau bahkan menghentikan

fungsi tubuh yang berakibat terjadinya penurunan kesehatan dalam kondisi

gawat darurat. Penatalaksanaan keracunan membutuhkan terapi yang tepat

sehingga dapat menyelamatkan nyawa pasien dan membuat pengobatan

menjadi efektif dan efisien. (Safitrih, Kusuma, & Wibawa, 2016)

Prinsip penatalaksanaan menurut Purwadianto yaitu dapat mencegah

atau menghentikan penyerapan racun, kemudian mampu mengeluarkan racun

yang telah diserap, pengobatan somatik, pengobatan spesifik dan antidotum.

Pada kasus tersebut tidak bisa dikategorikan dari tidak berbahaya sampai

yang paling berbahaya, karena setiap kasus mempunyai tingkat kesulitan dan

kefatalan masing-masing. (Purwadianto, 2013)

Mencegah dan menghentikan penyerapan racun apabila racun tertelan

atau ditelan :

1. Encerkan racun yang ada dalam lambung, sekaligus menghalangi

penyerapannya. Cairan yang dapat dipakai:

1) Air biasa.

2) Susu dan/ atau telur mentah.

50
3) Activated charcoal (Norit®) 2 sendok teh penuh dalam 1 gelas air.

4) Universal antidote terdiri dari:

- 2 bagian activated charcoal (dapat diganti dengan roti yang dibakar

hangus).

- 1 bagian asam tanat (dapat diganti dengan teh pekat).

- 1 bagian MgO (dapat diganti dengan antasida).

2. Kosongkan lambung.

Tindakan ini hanya efektif bila dilakukan dalam 4 jam setelah racun ditelan.

1) Emesis, dilakukan dengan cara:

a. Mekanik: dengan merangsang dinding farings dengan jari dapat

dikombinasi dengan pemberian emetik.

b. Obat-obatan

a) Air garam/mustard pekat i 1-2 sendok makan dalam 1 gelas air

hangat per oral.

b) Sirup ipekak 15-20 mL dalam 1 gelas air hangat per oral; untuk

anak <2 tahun cukup 8 mL; dapat diulang 2-3 kali setiap 15 menit;

atau

c) Apomorfm 0,06 mg/kg BB IM atau 0,01 mg/ kg BB IV; atau

d) CuSO4 0,25 gr/ 100 mL air peroral atau ZnSO4 1-2 gr/200 mL air

peroral.

Kontra indikasi:

a. Keracunan zat korosif; asam/basa kuat, fenol, striknin

b. Keracunan senyawa hidrokarbon: minyak tanah, bensin

51
c. Penumnan kesadaran

d. Kejang.

2) Bilas lambung

Cara:

a. Penderita telungkup dengan kepala dan bahu lebih rendah.

b. Pasang mouth gag dan bila terdapat penunman kesadaran atau

bahaya aspirasi iritan dapat dipasang cuffed endotracheal tube

c. Gunakan pipa lambung yang cukup besar (misalnya no. 30).

d. Cairan pembilas yang dapat digunakan: air, kalium permanganat,

asam asetat/sitrat 5%.

e. Natrium Bikarbonat 5%, larutan activated charcoal (norit).

f. Bilas dengan cairan pembilas yang hangat :1: 250 mL setiap kali,

sampai kira-kira 20 kali. Cairan yang terakhir dimasukkan

ditinggalkan saja dalam lambung.

Kontra indikasi:

a. Keracunan zat korosif.

b. Kejang

3. Bilas usus besar, dengan:

1) Pencahar : Natrium sulfat/magnesium sulfat 20 gr dalam 200 mL air,

untuk anak 3-4 gr dalam 200 mL air per oral.

2) Klisma : air sabun/gliserin per rektal.

Mencegah dan menghentikan penyerapan racun apabila racun melalui kulit/mata:

1. Pakaian yang terkena kontaminasi dilepas.

52
2. Cuci/bilas bagian yang terkena dengan air dan sabun; dapat digunakan asam

cuka encer atau natrium bikarbonat encer untuk netralisasi basa atau asam kuat.

Jangan digunakan zat lain.

3. Perhatikan jangan sampai penolong ikut terkontaminasi.

Mencegah dan menghentikan penyerapan racun apabila racun melalui inhalasi:

1. Pindahkan penderita ke tempat yang aman.

2. Pernapasan buatan penting untuk mengeluarkan udara beracun yang terhisap.

jangan lakukan pernapasan buatan secara mulut ke mulut.

Mencegah dan menghentikan penyerapan racun apabila racun melalui suntikan:

1. Pasang turniket proksimal tempat suntikan: jaga agar denyut arteri bagian

distal masih teraba dan lepaskan selama 1 menit setiap 15 menit.

2. Beri epinefrin 1/ 1000 dengan dosis 0,3-0,4 mg SC/IM. atau kompres dingin

di tempat suntikan.

Mengeluarkan racun yang telah diserap:

1. Forced diurais:

a. Furosemid (Lasix) 40 mg IV atau

b. Larutan manitol mula-mula 50 mL lamtan 25% IV, diikuti dengan infus

larutan 5-10% dengan kecepatan 5-10 mL/menit.

a. Dialisa: hemodialisa atau dialisa peritoneal.

b. Exchange transfusion.

Pengobatan simtomatik:

1. Fungsi pernapasan dan sirkulasi:

a. Berikan resusitasi bila perlu (Lihat Bab tentang resusitasi).

53
b. Edema laring diatasi dengan

a) Epinefrin 1/1000 0,3 mg SC, dapat diulang.

b) Trakeotomi

c. Edema paru diatasi dengan

a) Oksigen

b) Deksametason 1 mg/m2 luas permukaan badan / 6 jam

d. Cegah dan atasi syok dan hipotensi.

2. Fungsi susunan saraf pusat:

a. Bila terdapat gejala penekanan (depresi), tidak perlu diberi obat stimulan

atau analgetik, kecuali bila disebabkan oleh keracunan narkotik.

b. Bila terdapat gejala rangsangan (stimulasi), berikan diazepam 5-10 mg IV

(anal: O,1-O,2 mg/kg BB IV) atau fenobarbital 100-200 mg IM (anak 4-7

mg/kg BB).

c. Edema otak diatasi dengan manit0120% 5-10 mL/ kg BB IV secara

lambat, dan atau deksametason 1 mg/m2 luas permukaan badan/ 6 jam

atau di dalam infus.

3. Nyeri : berikan (bila tidak ada kontraindikasi):

a. Salisilat (Aspirin) 0,1-O,6 g oral setiap 2-4 jam.

b. Kodein 8-32 mg oral.

c. Meperidin (Pethidine) 59-100 mg oral/IM setiap 2-4 jam.

Antidotum yang dapat digunakan sesuai dengan kasus atau agen penyebab

diantaranya :

54
Sumber : (Marik, 2015)

2.9 Diagnosa Keperawatan

Untuk mendiagnosa keracunan dapat ditinjau dari riwayat pasien, uji fisik,

pemeriksaan laboratorium dan toxicological screening.

a. Riwayat

Diagnosa berdasarkan riwayat pasien merupakan indikator yang paling

penting untuk racun yang tertelan. Dengan mengetahui riwayat pasien kita

dapat mengidentifikasi racun, jumlah obat dan lama waktu terpapar. Informasi

tentang peresepan obat yang diterima pasien, obat bebas dan zat berbahaya

lain harus diketahui. Teman, pasien terdekat dan health care providers harus

ditanyakan dan pengobatan yang diterima diidentifikasi. Obat yang ditemukan

disekitar pasien harus dijauhkan dan meminta pertanggungjawaban toko

obat/apotek yang menjual obat tersebut tentang obat-obatan yang diberikan ke

pasien

55
b. Uji fisik

Evaluasi jalan nafas, respirasi dan sirkulasi. Status mental, suhu tubuh,

ukuran pupil, otot, refleks, kulit dan aktivitas peristaltik juga harus segera

diperiksa kemudian tentukan status pasien apakah termasuk dalam depressed

status atau agitated status. Obat yang menyebabkan depressed status adalah

sympatholytics seperti adrenergic blockers, anti-aritmia, anti hipertensi, anti-

psikotik, kolinergik seperti nikotin, karbamat, organofosfat, fisostigmin,

pilokarpin. Obat yang menyebabkan agitated status adalah symptomatic

seperti agonis adrenergik, amfetamin, kafein, teofilin, MAO-inhibitors, anti

spasmodik, antikolinergik seperti antihistamin obat anti-parkinson

c. Evaluasi laboratorium

Data laboratorium klinik yang menggambarkan keracunan terdiri atas

yaitu :

1) Anion gap

Menggambarkan perbedaan antara kation dan anion. [Na+]- [Cl-] –

[HCO3-]. Nilai normal = 12±4 meqL-1. Adanya anion gap

mengindikasikan adanya kelebihan kation dibanding anion

2) Osmolal gap

Beberapa obat dan racun yang memiliki berat molekul rendah

menyebabkan perbedaan antara osmolaritas plasma yang diukur dengan

yang dihitung. Osmolaritas plasma normal = 285-295 mosmL-1

3) Arterial oksigen saturation gap

56
Racun yang berhubungan dengan peningkatan Arterial oksigen saturation

gap [> 5% perbedaan antara saturasi dihitung dari ABG dan saturasi diukur

dengan co-oximetery] termasuk karbon monoksida dan methemoglobin.

Racun ini menghambat oksigen mengikat hemoglobin dan dengan

demikian secara signifikan menurunkan kadar oksigen tanpa menurunkan

PaO2

d. Toxicological Screening

Dengan uji ini kita dapat mengetahui dengan pasti racun apa yang

tertelan namun langkah-langkah pertolongan awal tidak boleh menunggu hasil

uji tersebut. Toxicological Screening digunakan sebagai dasar untuk

menyediakan pengobatan dengan antidot yang spesifik atau metode untuk

meningkatkan eliminasi obat dan juga mengidentifikasi obat yang digunakan

untuk terapi selanjutnya serta mencari tanda-tanda karakteristik dari berbagai

jenis keracunan sementara tindakan pengobatan di awal juga dilakukan

(Chadha, 2003).

Dibawah ini merupakan kemungkinan penegakan diagnosa keperawatan

menurut NANDA NIC dan NOC (Herdman, 2015)

1. Diagnosa

1) (00132) Nyeri akut b/d agen cedera biologis.

2) (00032) Pola nafas tidak efektif b/d distress pernafasan.

3) (00002) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake

tidak adekuat (anoreksia, mual dan muntah), kesulitan menelan.

4) (00027) Defisit volume cairan b/d muntah, diare.

57
5) (00085) Hambatan mobilitas fisik b/d paralisis, ketidakmampuan otot

berkontraksi.

6) (00092) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik.

2. Intervensi

No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Setelah dilakukan tindakan 1) Lakukan pengkajian nyeri secara
keperawatan 1x 24 jam diharapkan komprehensif termasuk lokasi, durasi
nyeri berkurang, menghilang frekuensi, karakteristik, kualitas dan
dengan kriteria hasil: faktor presipitasi
Pain level, dibuktikan dengan 2) Observasi reaksi nonverbal dari
respon nonverbal pasien ketidaknyamanan
menunjukkan tidak ada nyeri, tanda 3) Bantu pasien dan keluarga untuk
vital dalam batas normal, tidak ada mencari dan menemukan dukungan
masalah pola tidur, pasien 4) Kontrol lingkungan yang dapat
melaporkan nyeri berkurang. mempengaruhi nyeri seperti suhu
Pain control, dibuktikan dengan ruangan, pencahayaan dan
pasien dapat melakukan teknik kebisingan
nonfarmakologis untuk mengurangi 5) Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyeri. 6) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
7) Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
8) Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri:
9) Tingkatkan istirahat
10) Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa lama

58
nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
11) Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
2. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor vital sign
keperawatan 1x 24 jam diharapkan 2) Identifikasi kebutuhan insersi jalan
pola nafas menjadi efektif dengan nafas buatan
kriteria hasil: 3) Posisikan pasien untuk
NOC : Status Pernapasan : memaksimalkan ventilasi
Pertukaran Gas tidak akan 4) Monitor status respirasi: adanya suara
terganggu dibuktikan dengan : nafas tambahan
Kesadaran composmentis, TTV 5) Kolaborasi dengan tim medis:
menjadi normal, pernafasan pemberian oksigen
menjadi normal yaitu tidak
mengalami nafas
Dangkal
3. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output
keperawatan selama 1 x 24 jam makanan/cairan dan hitung masukan
pemenuhan nutrisi dapat kalori perhari sesuai kebutuhan
adekuat/terpenuhi dengan kriteria 2) Kaji kebutuhan nutrisi parenteral
hasil: 3) Pilih suplemen nutrisi sesuai
Status Gizi Asupan Makanan dan kebutuhan
Cairan ditandai pasien nafsu 4) Bantu pasien memilih makanan yang
makan meningkat, mual dan lunak dan lembut
muntah hilang, pasien tampak segar 5) Berikan nutrisi yang dibutuhkan
Status Gizi; Nilai Gizi terpenuhi sesuai batas diet yang dianjurkan
dibuktikan dengan BB meningkat, Kolaborasikan pemberian anti emesis
BB tidak turun. sesuai indikasi
4. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output, karakter
keperawatan selama 1x24 jam serta jumlah feses
diharapkan kebutuhan cairan 2) Observasi kulit kering berlebihan dan

59
terpenuhi dengan kriteria hasil: membran mukosa, penurunan turgor
a. Tidak adanya tanda-tanda kulit
dehidrasi 3) Anjurkan klien untuk meningkatkan
Vital sign dalam batas normal asupan cairan per oral
6) Kolaborasi pemberian cairan
paranteral sesuai indikasi
5. Setelah dilakukan tindakan 1) Tentukan batasan pergerakan sendi
keperawatan selama 1x24 jam dan efeknya terhadap fungsi sendi
diharapkan kemampuan mobilitas 2) Monitor lokasi dan kecenderungan
fisik meningkat dengan kriteria adanya nyeri dan ketidaknyamanan
hasil: selama pergerakan/aktivitas
a. Kekuatan otot meningkat 3) Lakukan latihan ROM pasif atau
b. Tidak ada kaku sendi ROM dengan bantuan, sesuai indikasi
Dapat bergerak dengan mudah 4) Jelaskan pada pasien atau keluarga
manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
4) Dukung pasien untuk melihat gerakan
tubuh sebelum memulai latihan
6. Setelah dilakukan tindakan 1) Observasi adanya pembatasan klien
keperawatan selama 1x24 jam dalam melakukan aktivitas
diharapkan klien dapat memenuhi 2) Kaji adanya fakor yang menyebabkan
kebutuhan dirinya dengan kriteria kelelahan
hasil: 3) Monitor nutrisi dan sumber energi
a. Ketidaknyamanan setelah yang adekuat
beraktivitas berkurang 4) Bantu klien dalam memenuhi
Dapat memenuhi kebutuhan sehari- kebutuhannya
hari 5) Bantu klien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari

60
BAB III

KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus

Ny. K 36 tahun di bawa ke Rumah Sakit oleh suaminya. Suami pasien

mengatakan pasien mengalami muntah-muntah setelah mengkonsumsi

singkong rebus sekitar 5 jam yang lalu. Pasien terlihat lemas dan pucat, klien

mengalami penurunan kesadaran somnolen, muntah, diare, dehidrasi dan

pusing. Dari hasil pengkajian sementara didapatkan Tekanan darah : 100/60

mmHg , BB : 50 kg, Nadi : 120 x/ menit, RR : 38 x/menit, Suhu : 36 OC Suami

pasien mengatakan bahwa istrinya tidak memiliki riwayat elergi sebelumnya.

Pasien dianjurkan untuk dilakukan tindakan bilas lambung.

3.2 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Diagnosa Medis : Keracunan
Nama : Ny. K Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 36 Thn
Agama : Islam Status Perkawinan : Kawin Pendidikan : SMP
: :
Pekerjaan : IRT Sumber Informasi Alamat
Pasien/Keluarga Bandung
TRIAGE P1 P2 P3

P4
GENERAL IMPRESSION / PRIMARY SURVEY
Keluhan Utama : Muntah-muntah
DS : Pasien mengeluh lemas
DO : Suami pasien mengatakan pasien mengalami muntah-muntah setelah mengkonsumsi
singkong rebus sekitar 5 jam yang lalu.
Pasien terlihat lemas dan pucat, klien mengalami penurunan kesadaran somnolen, muntah,
diare, dehidrasi dan pusing.

61
Dari hasil pengkajian sementara didapatkan Tekanan darah : 100/60 mmHg , BB : 50 kg,
Nadi : 120 x/ menit, RR : 38 x/menit, Suhu : 360C
Suami pasien mengatakan bahwa istrinya tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya.
Pasien dianjurkan untuk dilakukan tindakan bilas lambung.

1. Pengkajian Primer

a. Airway

Tidak ada sumbatan jalan nafas. RR: 38 x/ menit, cepat dan dangkal.

b. Breathing

Irama pernafasan cepat, Kedalaman dangkal, RR: 38x/menit.

c. Circulation

Tekanan Darah pasien : 100/60 mmHg (kuat dan regular), Nadi : 67

x/menit, capillary refill : <2 dtk, EKG menunjukkan sinus bradikardia.

d. Disability

Reaksi pupil kiri/kanan (+) terhadap cahaya, besar pupil kanan 2/kiri 2.

Tingkat kesadaran somnolen.

2. Pengkajian Sekunder. Pengkajian dilakukan alloanamnesa dengan

keluarga klien.

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Suami klien mengatakan bahwa klien muntah 5 jam yang lalu setelah

makan singkong rebus

b. Riwayat Kesehatan Dahulu

Suami klien mengatakan klien belum pernah dirawat dirumah sakit.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

62
Dalam keluarga klien tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang

sama dengan klien.

d. Anamnesa singkat

Suami klien mengatakan bahwa klien memiliki riwayat alergi.

e. Pemeriksaan head to toe

1) Kepala: mesosephal, klien berambut lurus dan panjang, dan tidak

rontok.

2) Mata: besar pupil kanan kiri 2 dan reaksi pupil keduanya (+)

terhadap cahaya kunjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.

3) Telinga: bersih tidak terdapat serumen dan tidak mengalami

gangguan pendengaran

4) Hidung: Bentuk hidungnya simetris, tidak terdapat polip pada

hidung.

5) Wajah: wajah klien tampak simetris.

6) Mulut: tampak hipersekrasi kelenjar ludah, mukosa mulut basah,

bibir basah.

7) Leher: Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid

8) Dada: Simetris, tidak ada kelainan bentuk, RR 32 x/menit, cepat dan

dangkal, HR 55x/menit, suara jantung S1 dan S2 tunggal

9) Abdomen: tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak asites, tidak

ada luka memar, peristaltik usus 8x/mnit, perkusi hipertimpani.

10) Ekstremitas: Tidak terdapat luka, capilari revil <2 detik, akral dingin

11) Genetalia: Bersih tidak ada kelainan, Tidak terdapat luka/ulkus, tidak

terpasang kateter.

63
f. Pemeriksaan tanda-tanda vital:

1) TD : 100/60 mmHg

2) BB : 50 kg

3) Nadi : 120 x/ menit

4) RR : 38 x/menit

5) Suhu : 36oC

A. DIAGNOSA

1. Pola nafas tidak efektif b/d distress pernafasan.

2. Defisit volume cairan b/d muntah, diare.

B. INTERVENSI

No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor vital sign
keperawatan 1x 24 jam diharapkan 2) Identifikasi kebutuhan insersi jalan
pola nafas menjadi efektif dengan nafas buatan
kriteria hasil: 3) Posisikan pasien untuk
NOC : Status Pernapasan : memaksimalkan ventilasi
Pertukaran Gas tidak akan 4) Monitor status respirasi: adanya
terganggu dibuktikan dengan : suara nafas tambahan
Kesadaran composmentis, TTV 5) Kolaborasi dengan tim medis:
menjadi normal, pernafasan menjadi pemberian oksigen
normal yaitu tidak mengalami nafas
Dangkal
2. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output, karakter
keperawatan selama 1x24 jam serta jumlah feses
diharapkan kebutuhan cairan 2) Observasi kulit kering berlebihan
terpenuhi dengan kriteria hasil: dan membran mukosa, penurunan
a. Tidak adanya tanda-tanda turgor kulit

64
dehidrasi 3) Anjurkan klien untuk meningkatkan
b. Vital sign dalam batas normal asupan cairan per oral
4) Kolaborasi pemberian cairan
paranteral sesuai indikasi

65
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Keracunan terjadi akibat adanya paparan xenobiotik (obat, toksin,

bahan kimia sintetik, atau bahan alami) yang menyebabkan luka (injury).

Keracunan makanan merupakan suatu proses masuknya zat toxic (racun) dari

bahan yang kita makan ke dalam tubuh dan tidak hanya melalui saluran cerna,

melainkan bisa melalui kulit, inhalasi, atau dengan cara lainnya yang

menimbulkan tanda dan gejala klinis. Pada kasus keracunan makanan, gejala-

gejala timbul karena racun masuk melalui saluran pencernaan yang ikut

tertelan bersama dengan makanan. Umumnya pada keracunan makanan,

gejala-gejala terjadi tak lama setelah menelan bahan beracun tersebut, bahkan

dapat segera setelah menelan bahan beracun itu dan tidak melebihi 24 jam

setelah tertelannya racun.

66
DAFTAR PUSTAKA

Chadha, I. A. (2003). Poisoning. Indian J. Anaesth., 47, 402-411. Retrieved from


http://www.ijaweb.org.
Hamarno, R. (2018). Praktek Klinik Keperawatan Gawat Darurat.
Hardisman. (2014). Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Harsono, F. H. (2019, 8 Jun 2019, 15:00 WIB). Hari Keamanan Pangan Sedunia,
Kasus Keracunan Makanan Masih Hantui Indonesia. Retrieved from
https://www.liputan6.com/health/read/3985201/hari-keamanan-pangan-
sedunia-kasus-keracunan-makanan-masih-hantui-indonesia
Herdman, T. H. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017
Edisi 10. Jakarta: EGC.
Marik, P. E. (2015). Evidence-Based Critical Care. London: Acid-free paper.
Nasional, S. I. K. (2017). Berita Keracunan Bulan Juli - September 2017.
Niasari, N., & Latief, A. (2003). Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri, 05 No 3, 7.
Parmasari, M., Sugiyanto, & Andayani, T. M. (2014). Evaluasi Penyebab dan
Penatalaksanaan Terapi Pada Kasus Keracunan Serta Analisis Biaya.
Manajemen dan Pelayan Farmasi, 04, 207-212.
Purwadianto, A. (2013). Kedaruratan Medik (L. Saputra Ed.). Tangerang Selatan:
Binarupa Aksara.
Rahayu, M. (2018). Toksikologi Klinik. In. Jakarta Selatan: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Safitrih, L., Kusuma, A. M., & Wibawa, M. I. N. A. (2016). Angka Kejadian dan
Penatalaksanaan Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo Purwokerto Tahun 2012-2014. Media Litbangkes, 26,
175-180.
Wirasuta, I. M. A. G., & Niruri, R. (2006). Toksikologi Umum: Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

67

Anda mungkin juga menyukai