Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

KEGAWATDARURATAN DIABETIK

Diserahkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan kritis 1
Dosen: Yanny Trisyani Wahyuningsih, S.Kp., MNS., Ph.D

Oleh
Budi Mulyana
NPM. 220120190050
Peminatan: Keperawatan Kritis

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan karunianya
sehingga makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada dengan
Kegawatdaruratan Diabetik” dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan kritis 1.

Pada kesempatan ini, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang sudah
membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini, kepada Ibu Yanny Trisyani
Wahyuningsih, S.Kp., MNS., Ph.D sebagai dosen kordinator mata kuliah
keperawatan kritis 1 untuk dukungan dan motivasi dan juga kepada teman-teman
yang sudah berkontribusi dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu
penulis berharap saran untuk memperbaiki makalah ini.

Bandung, Maret 2020

Budi Mulyana

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang...................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................... 2
BAB II LITERATURE REVIEW
A. Anatomi fisiologi sistem endokrin........................................................ 3
B. Konsep penyakit diabetes melitus........................................................ 11
C. Konsep penyakit hiperglikemia hyperosmolar state (HHS)................. 14
D. Konsep penyakit diabetik ketoacidosis (DKA).................................... 16
E. Konsep penyakit hypoglikemia............................................................ 18
F. Farmakologi.......................................................................................... 21
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian keperawatan....................................................................... 24
B. Diagnosa keperawatan.......................................................................... 24
C. Intervensi keperawatan......................................................................... 25
D. Discharge planning............................................................................... 31
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan............................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tiga dari empat orang hidup dengan diabetes (352 juta orang) yang berusia
produktif (yaitu antara 20 dan 64 tahun). Jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 417 juta pada 2030 dan menjadi 486 juta pada 2045. Pada
2019, perkiraan jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun dengan diabetes
adalah 111 juta. Satu dari lima orang dewasa dalam kelompok usia ini
diperkirakan menderita diabetes. Diproyeksikan bahwa pada tahun 2030
jumlah orang di atas 65 dengan diabetes akan semakin meningkat menjadi
195 juta. Pada 2045, itu akan mencapai 276 juta. Data ini menunjukkan
peningkatan substansial dalam populasi diabetes masyarakat lanjut usia dalam
25 tahun ke depan, serta tantangan kesehatan masyarakat dan ekonomi yang
tak terhindarkan yang akan ditimbulkannya. Diperkirakan 1,1 juta anak-anak
dan remaja (berusia di bawah 20) memiliki diabetes tipe 1. Ada beberapa
bukti bahwa diabetes tipe 2 di antara anak-anak dan remaja meningkat di
beberapa negara, tetapi saat ini tidak mungkin untuk memperkirakan angka
karena kurangnya data (Federation, 2020).
Indonesia menduduki peringkat keenam dengan penderita penyakit diabetes
mellitus (DM) di dunia, menurut data International Diabetes Federation
menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta penduduk Indonesia menderita
penyakit DM di tahun 2017. Kemudian laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang menunjukkan prevalensi DM pada penduduk dewasa
Indonesia sebesar 6,9% di tahun 2013, dan meningkat ke angka 8,5% di tahun
2018. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO),
memprediksikan penyakit DM akan menimpa lebih dari 21 juta penduduk
Indonesia di tahun 2030 (UI, 2019).
Ancaman penyakit DM menjadi salah satu masalah kesehatan utama yang
menjadi perhatian besar di Indonesia. Obesitas dan diabetes merupakan dua
kondisi yang saling berhubungan erat. Faktor utama yang perlu ditekankan
dalam pencegahan dan penatalaksanaan penyakit DM adalah menjaga berat
badan ideal. Sayangnya, Indonesia mengalami dua hal yang berlawanan
dalam hal permasalahan gizi, di mana Indonesia dihadapkan dengan masalah
kekurangan gizi (seperti malnutrisi dan stunting) dan kelebihan gizi (seperti
overweight dan obesitas) (UI, 2019).
Menurut pakar endokrinologi anak FKUI-RSCM, Dr. dr. Aman Bhakti
Pulungan, SpA(K), permasalahan obesitas dan DM umumnya sudah mulai
berakar sejak usia anak. Kelebihan berat badan pada usia anak yang dibiarkan

1
terus menerus akan menimbulkan konsekuensi resistensi insulin, yang
kemudian menyebabkan intoleransi glukosa dan pada akhirnya menjadi
diabetes mellitus tipe 2 di usia dewasa. Semakin muda usia anak mengalami
obesitas, semakin dini pula usia anak yang berisiko mengidap DM. Bahkan,
saat ini diabetes mellitus tipe 2 sudah dapat ditemukan pada anak usia 7-8
tahun di Indonesia (UI, 2019).
Diabetes merupakan gangguan metabolic yang kompleks dan kronik yang
ditandai dengan hiperglikemia dan gangguan sekresi insulin. Komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular jangka panjang yang meliputi retinopati,
neuropati, nefropati dan penyakit jantung merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian pada penderita diabetes. Proses patogenik yang
dihubungkan dengan diabetes berkisar dari penghancuran autoimun islet sel
beta pancreas (tipe 1) sampai resistansi insulin (tipe 2). Gangguan metabolism
karbohidrat, protein dan lemak. Semuanya merupakan akibat deficit kerja
insulin pada organ target. Efek utamanya adalah hiperglikemia.
Hiperglikemia dimanifestasikan sebagai polyuria, polidipsi, polifagi
penurunan berat badan dan pandangan kabur. Penyakit akut dan kritis yang
berhubungan dengan diabetes adalah hiperglikemia disertai ketoasidosis dan
status nonketosis hyperosmolar (Morton, 2013).
Penyebab diabetes tipe 1 adalah defisiensi mutlak sekresi insulin akibat
penghancuran sel beta pancreas secara autoimun dan factor genetic. Penderita
ini berkisar 10 – 20% dari seluruh kasus diabetes terutama selama anak-anak
atau saat pubertas. Penderita ini mengalami ketoacidosis sebagai manifestasi
pertama. Diabetes tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin yang sering kali
merupakan defisiensi insulin yang bersifat relative dari pada mutlak.
Penderita ini awalnya tidak membutuhkan insulin dan tidak ditemukan
adanya penghancuran sel beta pancreas. Sebagian besar penderita mengalami
kegemukan dan kegemukan berkontribusi menyebabkan resistensi insulin.
Hiperglikemik hyperosmolar (HHS) biasa terjadi pada pasien diabetes tipe 2.
Akhirnya, penderita diabetes membutuhkan insulin seiring perburukan
penyakitnya (Morton, 2013).
Ketoasidosis diabetikum (DKA), hiperosmolar hiperglikemia state (HHS) dan
hipoglikemia sering terjadi dan komplikasi serius yang timbul di antara
pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) dan diabetes tipe 2 mellitus
(T2DM). Di AS, ~ 145.000 kasus DKA terjadi setiap tahun. Tingkat rawat
inap untuk HHS lebih rendah, terhitung <1% dari semua diabetes terkait
penerimaan. Frekuensi kunjungan ruang gawat darurat untuk hipoglikemia
mirip dengan yang dilaporkan hiperglikemia berat. Di antara individu yang
dirawat di rumah sakit, hipoglikemia adalah komplikasi yang sering terjadi
pengobatan dari pada hiperglikemia, dengan kejadian yang dilaporkan 5–28%
dalam uji coba unit perawatan intensif (ICU) (tergantung pada intensitas

2
kontrol glikemik) dan 1-33% di uji coba non-ICU menggunakan terapi insulin
subkutan (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
DKA, HHS dan hipoglikemia berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
yang substansial, serta tinggi biaya perawatan kesehatan. DKA adalah
penyebab utama kematian di antara anak-anak dan dewasa muda dengan
T1DM, akuntansi untuk ~ 50% dari semua kematian dalam populasi ini.
Secara keseluruhan Angka kematian DKA yang tercatat di AS <1%, tetapi a
tingkat yang lebih tinggi dilaporkan di antara pasien berusia> 60 tahun dan
individu yang mengancam jiwa secara bersamaan penyakit Kematian terjadi
pada 5-16% pasien dengan HHS, tingkat yang ~ 10 kali lipat lebih tinggi dari
yang dilaporkan untuk DKA4. Demikian pula, hipoglikemia dikaitkan dengan
dua kali lipat hingga tiga kali lipat peningkatan angka kematian, terutama
sebagai bertambahnya usia dan di antara pasien yang memiliki riwayat
episode hipoglikemik parah. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa
kematian di negara bagian hiperglikemia bukan disebabkan oleh kekacauan
metabolisme melainkan mencerminkan faktor pencetus. Dalam kasus
hipoglikemia, mortalitas di rumah sakit dilaporkan lebih sering di antara
pasien dengan hipoglikemia spontan dibandingkan dengan mereka yang
diinduksi insulin atau iatrogenic hipoglikemia; namun, klaim ini telah
disengketakan16– 19. Perawatan dari keadaan darurat diabetes merupakan
beban ekonomi yang substansial. Misalnya, dalam AS, biaya rata-rata
mengelola DKA adalah US $ 17.500 per pasien, yang mewakili total biaya
rumah sakit tahunan $ 2,4 miliar. Demikian pula, hipoglikemia dikaitkan
dengan hasil klinis yang merugikan segera dan tertunda, serta peningkatan
biaya ekonomi (Umpierrez & Korytkowski, 2016).

B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep penyakit
diabetes militus dan komplikasinya serta tatalaksana pada keadaan emergensi
dan kritis.

3
BAB II
LITERATURE REVIEW

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin


Jalur penghubung antara sistem didalam tubuh dilakukan dengan tiga cara.
Metode penghubung pertama adalah sistem saraf, metode keduanya adalah
sekresi zat kimia selular yang dilepaskan kedalam cairan interstisial seperti
histamin, komplemen dan prostaglandin. Metode penghubung yang ketiga
adalah sekresi zat kimia seluler yang diedarkan ke dalam aliran darah yaitu
endokrin sistem (Morton, 2013). Sistem saraf dan sistem endokrin bekerja
sama untuk mempertahankan homeostasis internal dan mengintegrasikan
respom tubuh terhadp lingkungan eksternal. Aktivitas dan fungsi keduanya
terkait erat sehingga akan lebih tepat jika menyebutkan sistem neuroendokrin.

Gambar 2.1
Anatomi Sistem Endokrin

4
1. Hormon
Sekresi dari sel endokrin disebut hormone. Hormone adalah molekul yang
dibentuk dan disekresi oleh sel tertentu dan dilepaskan ke dalam pembuluh
darah untuk menghasilkan efek biokimia pada sel target yang jauh dari lokasi
asal. Hormone mengendalikan metabolism, transport zat melintas membrane
sel, keseimbangan cairan dan elektrolit, tumbuh kembang, adaptasi dan
reproduksi (Morton, 2013). Hormone yang dihasilkan di dalam tubuh
memiliki kriteria sebagai berikut; (Karch, 2003).
a. Diproduksi dalam jumlah yang sedikit
b. Disekresikan secara langsung ke dalam aliran darah
c. Mengalir melalui darah ke tempat reseptor spesifik di seluruh tubuh
d. Bekerja untuk meningkatkan atau menurunkan proses metabolic normal
dari sel pada saat bereaksi dengan tempat reseptor spesifiknya.
e. Dipecah dengan segera
Produksi hormone dipertahankan oleh mekanisme lengkung umpan balik
yang meliputi sistem hipotalamus-hipofisis. Pelepasan hormone tertentu
terjadi ketika kadar hormone tersebut rendah dalam sirkulasi (umpan balik
positif). Sebaliknya, ketika kadar hormone dalam sirkulasi tinggi, pelepasan
hormone di hambat (umpan balik negative) sampai tercapai kadar yang lebih
rendah. Sistem ini diatur oleh sensor khusus didalam hipotalamus yang secara
terus menerus memantau kadar hormone untuk mempertahankan homeostasis
(Morton, 2013).
Hormone dapat bereaksi dengan tempat reseptor spesifik pada membrane sel
untuk menstimulasi monofosfat adenosin siklik (cyclic adenosine
monophosphate, cAMP) nukleotida di dalam sel untuk menimbulkan suatu
efek. Sebagai contoh, ketika insulin bereaksi dengan tempat reseptor insulin,
hormone ini mengaktivasi enzim intraseluler yang menyebabkan berbagai
efek, termasuk mengubah permeabilitas membrane sel terhadap glukosa.
Hormone-hormon seperti insulin yang tidak memasuki sel bekerja dengan
sangat cepat. Hormone lainnya, seperti estrogen, memasuki sel dan bereaksi
dengan tempat resptor didalam sel untuk mengubah RNA kurir dan
memengaruhi fungsi sel (Karch, 2003).
Disfungsi endokrin dapat digolongkan ke dalam salah satu dari lima kategori
berikut (Karch, 2003).
a. Produksi hormone subnormal akibat kerusakan atau malformasi kelenjar
b. Kelebihan hormone
c. Produksi hormone abnormal akibat mutase gen

5
d. Gangguan reseptor hormone akibat proses autoimun
e. Gangguan transport atau metabolisme hormone, akibat peningkatan kadar
hormone “bebas di dalam darah”.
2. Hipotalamus
Hipotalamus adalah pusat koordinasi untuk respon saraf dan endokrin
terhadap stimulus internal dan eksternal. Hipotalamus secara konstan
memantau homeostasis tubuh dengan menganalisis masukan dari sistem saraf
pusat (SSP) dan perifer serta mengkordinasi respon tersebut melalui sistem
otonom, endokrin dan sistem saraf. Hipotalamus menjadi kelenjar utama dari
sistem neuroendokrin (Karch, 2003).
Karena terdapat dibagian dasar otak depan, hipotalamus sebenarnya
menerima masukan dari semua area di otak, termasuk sistem limbik dan
korteks serebri. Karena posisinya, hipotalamus dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh emosi dan pikiran. Hipotalamus terdapat disuatu area
didalam otak yang dilindungi secara buruk oleh sawar darah otak sehingga
dapat bekerja sebagai sensor terhadap berbagai elektrolit, zat kimia dan
hormone yang berada di dalam sirkulasi dan tidak mempengaruhi area lain
diotak. Hipotalamus memiliki berbagai neurosenter, area yang secara spesifik
sensitive terhadap stimulasi tertentu yang mengatur sejumlah fungsi tubuh,
termasuk suhu tubuh, rasa haus, lapar, retensi air, tidur dan terjaga, tekanan
darah, pernapsan, reproduksi dan reaksi emosional (Karch, 2003).
Hipotalamus mempertahankan homeostasis internal dengan merasakan kimia
darah dan menstimulasi atau mensupresi aktivitasa endokrin, autonomic dan
SSP. Intinya, hipotalamus dapat menjalankan atau menghentikan sistem sarah
otonom dan efeknya. Hipotalamus juga memproduksi dan mensekresi
sejumlah factor atau hormone pelepas yang menstimulasi kelenjar hipofisis
untuk menstimulasi atau menghambat berbagai kelenjar endokrin diseluruh
tubuh. Hormone Pelepas tersebut antara lain growth hormone releasing
hormone (GNRH), thyrotropin releasing hormone (TRH), gonadotropin
releasing hormone (GnRH), corticotropin releasing hormone (CRH), prolactin
releasing factor (PIF). Hipotalamus juga menghasilkan dua factor
penghambat yang bekerja sebagai pengatur untu menghentikan produksi
hormone pada saat kadarnya terlalu tinggi seperti factor penghambat
pelepasan hormone pertumbuhan (Somatostin) dan prolactin inhibit factor
(PIF) (Karch, 2003).
Hipotalamus menghasilkan dua hormone lainnya, hormone antidiuretic
(ADH) dan oksitosin yang terdapat di hipofisis posterior dan akan dilepaskan
jika terstimulasi oleh hipotalamus. Hipotalamus terhubung dengan kelenjar
hipofisis melalui dua jaringan yaitu jaringan vascular yang membawa factor
pelepas hipotalamik secara langsung ke dalam hipofisis anterior dan jaringan

6
neurologis yang mengirim ADH dan oksitosin ke hipofisis posterior untuk
disimpan (Karch, 2003).
3. Hipofisis
Kelenjar hipofisis terdapat disela tursika bertulang yang berada di bawah
lapisan dura mater. Kelenjar ini terbagi menjadi tiga lobus: lobus anterior,
lobus posterior dan lobus intermediat. Hipofisis anterior menghasilkan enam
hormone hipofisis anterior utama. Hormone tersebut adalah GH, ACTH,
FSH, LH, PRL, TSH. Hormone hormone ini penting bagi pengaturan
pertumbuhan, reproduksi dan beberapa proses metabolic. Defisiensi atau
produksi berlebihan dari hormone-hormon ini akan mengganggu pengaturan
tersebut (Karch, 2003).
1. Hipofisis anterior
Hormone hipofisis anterior dilepaskan secara teratur ke dalam aliran darah.
Sekresinya bervariasi sesuai dengan waktu harian (irama diurnal) atau sesuai
kondisi fisiologi seperti latihan fisik atau tidur. Pelepasan nya dipengaruhi
oleh aktivitas di SSP, oleh hormone hipotalamik, oleh hormone kelenjar
endokrin perifer, oleh penyakit tertentu yang dapat mengubah fungsi endokrin
dan oleh berbagai obat yang dapat secara langsung atau tidak langsung
mengacaukan homeostasis didalam tubuh dan menyebabkan respon endokrin
(Karch, 2003).
2. Hipofisi posterior
Hipofisis posterior menyimpan dua hormone yang diproduksi oleh
hipotalamus dan ditempatkan dalam lobus posterior melalui akson saraf
tempat keduanya diproduksi. Kedua hormone tersebut adalah hormone ADH,
disebut juga sebagao vasopressin dan oksitosin. ADH dilepaskan secara
langsung sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas plasma atau
penurunan volume darah (yang sering menyebabkan peningkatan
osmolaritas). Osmoreseptor pada hipotalamus menstimulasi pelepasan ADH.
Oksitosin menstimulasi kontraksi otot polos uterus pada fase akhir kehamilan
dan juga menyebabkan pelepasan ASI pada wanita yang menyusui (Karch,
2003).
3. Lobus intermediat
Lobus intermediat pada hipofisis menghasilkan endorphin dan enkefalin yang
dilepaskan sebagai respon terhadap nyeri yang berat atau stress dan
menempati tempat resptor endorphin spesifik pada batang otak untuk
menghambat persepsi nyeri. Hormone ini juga diproduksi dalam jaringan
diarea perifer dan area otak lainnya. Hormone ini dilepaskan sebagai respons
terhadap hipersaktivitas saraf nyeri, stimulasi simpatis, stimulasi
transkutaneus, imajinasi terbimbing dan latihan berlebihan (Karch, 2003).

7
4. Pankreas endokrin
Pancreas memiliki fungsi endokrin dan eksokrin yang diatur oleh kelompok
sel yang berbeda. Bagian endokrin terbatas pada kelompok jaringan
glandular, pulan lengerhans, yang mensekresi hormone peptide yang terlibat
dalam pengaturan glukosa darah. Istilah pulau Langerhans mengacu pada
lebih dari satu juta pulau (kelompok) sel berbentuk oval yang tersebar di
seluruh pancreas, terutama pada bagian belakang. Karena penyebaran sel-sel
pulau Langerhans ini, serangan akut pada pankreatitis yang biasanya
menyerang bagian belakang, cenderung mengurangi jumlah sel pulau
Langerhans. Akibatnya, tahap ini menyebabkan kerusakan sel pulau
Langerhans dan diabetes. Setiap kelompok sel disuplai oleh kepiler yang
sangat banyak, kedalamnya hormone disekresi. Sel pulau Langerhans terdiri
atas empat jenis sel yaitu sel alfa yang mensekresi glucagon, sel beta yang
mensekresi insulin, sel delta yang mensekresi somatostatin dan sel f yang
mensekresi polipeptida pancreas (Morton, 2013).
Tabel 2.1
Hormon Pankreas
Hormon Sel Stimulan Respons
Insulin Beta Glukosa ↓ kadar glukosa
↑ penyimpanan lemak
↑ sintesis protein
↓ glukoneogenesis
Glukagon Alfa Penurunan kadar ↑ kadar glukosa
glukosa, olah raga
↑ glukoneogenesis
↑ glikogenolisis
Somatostatin Delta Hiperglikemia ↑ glukosa
↑ glikogen
Polipeptida F Hipoglikemia akut ↑ kontraksi kandung
pankreas kemih
↑ enzim pancreas

8
Gambar 2.2
Anatomi Pankreas
a. Insulin
Insulin, hormone anabolic, diatur oleh sejumlah factor stimulatorik dan
inhibitorik. Insulin berfungsi dalam pengaturan konsentrasi glukosa darah dan
penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak. Insulin membantu penggunaan
glukosa sebagai sumber energi utama untuk jaringan tubuh. Selain itu, insulin
juga membantu peningkatan transport seluler glukosa, asam amino dan asam
lemak melintasi membrane sel dan mengatur metabolism intraseluler
pembentukan asam nukleat (Morton, 2013).
Secara umum, insulin memungkinkan glukosa untuk dapat digunakan untuk
oksidasi aerob didalam otot, jaringan adiposa dan sel-sel jaringan ikat.
Fasilitas penggunaan glukosa sebagai bahan bakar berarti bahwa sel tidak
perlu mengoksidasi lemak atau asam amino. Sebaliknya lemak dan asam
amino dapat disimpan. Sintesis protein dan penyimpanan lemak meningkat
dihati, otot dan jaringan adiposa, pemecahan lemak dan protein menurun.
Gluconeogenesis hati juga turun atau berhenti dan sintesis glikogen
meningkat (Morton, 2013).
Ikatan insulin dengan receptor insulin menstimulasi kerja fisiologis insulin
pada sel. Komplek insulin-reseptor dibawa ke dalam sitoplasma oleh
endositosis dan dihancurkan dalam 14 sampai 15 jam oleh enzim lisosom.
Reseptor baru menggantikan reseptor yang dihancurkan di dalam membrane
sel. Insulin plasma memiliki waktu paruh sekitar 5 menit dan 80% insulin
yang beredar dalam sirkulasi dikatabolisme oleh sel hati dan ginjal (Morton,
2013).
Stimulasi kronik sel beta, seperti diet tinggi karbohidrat selama beberapa
minggu, dapat menyebabkan hipertrofi dalam jumlah yang terbatas dan

9
akhirnya meningkatkan kapasitas produksi-insulin. Namun, stimulasi yang
berlebihan menyebabkan kelelahan pada sel beta. Stimulasi pada sel yang
kelelahan ini menyebabkan kematian sel beta dan menurunkan cadangan sel
beta. Aktivitas sel beta juga menurun akibat pemberian insulin eksogen.
Penurunan aktivitas tersebut memungkinkan sel untuk beristirahat dan
mengakibatkan produksi berlebihan yang sifatnya sementara setelah
penghentian pemberian insulin eksogen (Morton, 2013).
Tabel 2.2
Kerja Utama Insulin pada Sel Adiposa dan Sel Otot
Sel Otot Sel Adiposa
↑ entri glukosa ↑ entri glukosa
↑ ambilan K+ ↑ ambilan K+
↑ sintesis glikogen ↑ entri dan sistesis asam lemak
↑ entri asama amino ↑ simpanan lemak
↑ peningkatan sintesis protein ↑ pengubahan glukosa menjadi asam
lemak
↓ katabolisme protein Penghambat lipolisis
↑ entri keton kedalam sel
b. Glucagon
Waktu paruh glucagon plasma adalah 5 sampai 10 menit. Glucagon
memengaruhi system enzim di hati, lemak dan sel-sel otot dan diurai terutama
oleh hati. Fungsi utama glucagon adalah meningkatkan kadar glukosa darah
dan kemudian memungkinkan glukosa plasma ini untuk masuk dan
digunakan oleh sel-sel tubuh. Untuk meningkatkan kadar glukosa darah,
glucagon menstimulasi sel hati untuk melakukan glikogenelisis dan
gluconeogenesis (Morton, 2013).
5. Kontrol Endokrin
a. Aksis hipotalamus-hipofisis
Karena posisinya di dalam otak, hipotalamus distimulasi oleh berbagai hal,
seperti cahaya, emosi, aktivitas korteks serebri dan berbagai stimulasi kimia
dan hormonal. Secara Bersama-sama, hipotalamus dan hipofisis menjalankan
fungsinya secara erat untuk mempertahankan aktivitas endokrin di sepanjang
aksis hipotalamus-hipofisis (HPA). Aksis ini berfungsi melalui serangkaian
system umpan balik (Karch, 2003).

10
Gambar 2.3
Hipotalamus Pituitari Axis

b. Hipotalamus pituitary adrenal axis

11
Gambar 2.4
Hipotalamus Pituitari Adrenal Axis

c. Renin angiotensin aldosterone system

Gambar 2.5
Renin Angiotensin Aldosteron Sistem
B. Konsep Penyakit Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolism yang ditandai dengan
hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolism
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan
komplikasi kronis mikrovaskular dan makrovaskular (NIC-NOC, 2015)
Tabel 2.3
Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes Tipe 1 Diabetes Tipe 2
Etiologi Penghancuran autoimun sel Resistensi insulin (Obesitas
Langerhans (Genetik, & Usia)
Hereditas, lingkungan)
Insiden 10% 90%
Usia awitan Biasanya sebelum 35 tahun Biasanya setelah 35 tahun
Kecepatan Biasanya cepat Biasanya bertahap
awitan

12
Status nutrisi Biasanya penderita kurus Biasanya kelebihan BB &
kegemukan
Insulin Tidak ada Rendah
endogen
Gejala Poliuria, polydipsia, Polydipsia, polyuria, polifagi,
polifagia, penurunan BB pandangan kabur, kelelahan
Ketosis Sering terjadi bila jarang Jarang terjadi
dikontrol
Tujuan Penatalaksanaan insulin Penurunan BB, olah raga,
pengobatan eksogen meningkatkan resistensi
insulin
Pengobatan Insulin eksogen, control, Agens oral, control makanan,
makanan, olah raga, olah raga, penurunan BB
mempertahankan BB

2. Gejala klinis
Gejala klasik diabetes melitus (DM) adalah polyuria, polydipsia dan
penurunan berat badan meskipun terdapat polifagia. Manifestasi sebagian
besar kasus DM tipe 1 bersifat akut dan terdiagnosa segera setelah onset
penyakit. Pasien sering tidak stabil secara metabolis dan berkembang menjadi
ketoasidosis diabetic jika dibiarkan tidak diobati manifestasi DM tipe 2 jauh
lebih tersembunyi dan berbahaya. Penting untuk diingat bahwa gejala
pertama untuk DM dapat berupa ketoasidosis (Greenberg, 2012).

3. Patofisiologi
Untuk memahami konsep DM, baiknya memahami aspek sel dalam proses
penuaan. Ada beberapa teori yaitu; (Nucum, 2010).
a. Cellular clock theory bahwa setelah melewati waktu yang sudah
ditentukan atau setelah cell berdevisi dalam jumlah yang telah ditentukan
maka cell akan mati.
b. Death genes theory percaya bahwa kehadiran sebuah “death genes” yang
diaktivasi pada akhir hidup menyebabkan sel untuk mati.
c. DNA damage theory bahwa paparan terhadap sinar UV, mutagenic
pollutants dan kehadiran radical bebas menyebabkan sel mati
Pada DM tipe 1, sel-sel pulau beta pancreas dihancurkan (kemungkinan
melalui mekanisme autoimun), menyebabkan hilangnya sekresi insulin secara
cepat. Asal mula DM tipe 2 melibatkan gangguan sekresi insulin, peningkatan
produksi glukosa hepatic dan penurunan ambilan glukosa otot. Skrining untuk
DM tipe 2 dianjurkan, karena onset penyakit ini sering terjadi 10-12 tahun

13
sebelum diagnose klinisnya dan 50% pasien mengalami komplikasi saat
diagnose ditegakkan (Greenberg, 2012).
4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan temuan konsentrasi glukosa acak yang
lebih dari atau sama dengan 200 mg/dL, nilai glukosa plasma puasa lebih dari
atau sama dengan 126 mg/dL atau nilai glukosa 2 jam pada uji toleransi
glukosa oral 75 g lebih dari atau sama dengan 200 mg/dL. Ujia ini harus
diulang pada hari lain untuk konfirmasi pasti (NIC-NOC, 2015)
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam paska pembedahan dibagi menjadi 3
yaitu:
a. <140 mg/dL = normal
b. 140 - < 200 mg/dL = toleransi glukosa terganggu
c. > 200 mg/dL = diabetes
Kriteria diagnosis DM
a. Gejala klasik DM + GDS > 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
b. Gejala klasik DM + GDP (8 jam) > 126 mg/dL (7 mmol/L)
c. Gejala klasik + GDP (2 jam) pada TTGO > 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Cara pelaksanaan TTGO
a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa (dengan
karbohidrat yang cukup)
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
c. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
d. Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1.75 gr/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
f. Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok
5. Pemeriksaan penunjang
a. Kadar glukosa darah
Tabel 2.4
Kadar Glukosa Darah

14
GDS (mg/dL) DM Belum pasti DM
Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100

GDP (mg/dL) DM Belum pasti DM


Plasma vena >120 100-120
Darah kapiler >110 90-110

b. Tes untuk mendeteksi komplikasi


1) Mikroalbuminuria : urin
2) Ureum, kreatinin, asam urat
3) Kolesterol, LDL, HDL dan trigliseride
4) CKMB
6. Komplikasi Klinis
Komplikasinya dapat berupa penyakit makrovaskular (misalnya pembentukan
plak kardiovaskular) atau dapat menyebabkan penyakit mikrovaskular
(misalnya retinopati diabetic, neuropati, nefropati). Control glikemik ketat
efektif dalam mengontrol progresi penyakit makrovaskular, tetapi tidak
ditemukan bukti yang jelas ketika berhubungan dengan komplikasi
makrovaskular. Retinopati diabetic adalah penyebab utama kebutaan,
nefropati diabetic adalah penyebab lazim gagal ginjal stadium akhir dan
neuropati diabetic adalah suatu komplikasi pelemahan kronis yang dapat
sangat nyeri (NIC-NOC, 2015).
7. Tata Laksana
DM tipe 1 diobati dengan insulin eksogen, menggunakan berbagai preparat
dan jadwal suntikan. Pengobatan DM tipe 2 berkisar dari modifikasi makanan
dan olahraga sampai penggunaan campuran obat oral. Regimen kombinasi
dari obat hipoglikemik oral dianjurkan untuk pasien dengan DM yang sulit
dikontrol. Pasien diabetes tipe 2 mungkin memerlukan insulin eksogen jika
obat-obat oral gagal mempertahankan ueglikemia (NIC-NOC, 2015).
C. Konsep Penyakit Hyperosmolar Hyperglicemic State (HHS)
1. Definisi
HHS adalah komplikasi akut yang terjadi padai DM tipe 2. HHS adalah
kedaruratan medis serius yang mengancam jiwa dan memiliki angka kematian
tertinggi dibanding DKA. HHS ditandai dengan osmolaritas plasma 340
mOsm/L atau lebih (n: 280 – 300 mOsm/L), naiknya kadar glukosa darah
dengan cepat (> 600 mg/dL) dan sering 1000-2000 mg/dL) (LeMone, 2012).
2. Etiologi

15
Factor pemicu terkait HHS adalah infeksi, penyakit akut, penyakit kronis dan
agens teraputik yang menyebabkan hiperglikemia (Greenberg, 2012).
3. Gejala klinis
Manifestasi HHS dapat lambat munculnya, dengan kisaran awitan dari 24 jam
hingga 2 minggu. Manifestasi dimulai dengan hyperglekemia yang
menyebabkan peningkatan haluaran urine. Dengan peningkatan haluaran
urine, volume plasma berkurang dan laju filtrasi glomerulus (GFR) turun.
Akibatnya, glukosa ditahan dan air hilang, glukosa dan natrium menumpuk di
darah dan meningkatkan osmolaritas serum. Hiperosmolaritas serum
mengakibatkan dehidrasi berat, yang mengurangi air intraseluler di semua
jaringan, termasuk otak (LeMone, 2012). Manifestasi lainnya adalah
polydipsia, polyuria, perubahan status mental, takikardia, hipotensi dan
penurunan berat badan. Deficit neurologis dapat mencakup hipertermia,
kerusakan motoric dan sensorik, tanda Babinski positif dan kejang. Asidosis
metabolic dan keton tidak terjadi pada HHS karena masih adanya produksi
insulin untuk mencegah proses ini. Telah dilaporkan keluhan-keluhan yang
menyerupai penyakit neurologis, termasuk stroke, kejang dan pada kasus
yang sangat berat terjadi koma (Greenberg, 2012).
4. Patofisiologi
HHS adalah suatu keadaan kedaruratan diabetic yang hiperglikemia dan
hiperosmolalitasnya menyebabkan dehidrasi berat. Hiperglikemia berat yang
menyebabkan diuresis osmotic berat biasa terjadi. Diuresis yang diinduksi
glukosa menyebabkan hypovolemia dan pelepasan respon stress oleh
hormone-hormon counterregulatory insulin, seperti hormone pertumbuhnan,
epinefrin dan yang terpenting yaitu glucagon. Hypovolemia berat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dan ketidakmampuan
mengekskresi glukosa, sehingga memperburuk hiperglikemia. Karena pasien-
pasien ini biasanya merupakan penyandang diabetes tipe 2. Pasien tersebut
membuat sedikit insulin yang cukup untuk mencegah lipolysis dan
ketoasidosis diabetic (Greenberg, 2012).
Pasien dengan HHS juga kekurangan insulin; Namun, mereka menunjukkan
konsentrasi insulin yang lebih tinggi (ditunjukkan oleh kadar peptida C basal
dan terstimulasi) daripada pasien dengan DKA. Selain itu, pasien dengan
HHS memiliki konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon pertumbuhan
dan glukagon yang lebih rendah daripada pasien dengan DKA. Onset HHS
yang lebih lambat (beberapa hari) versus DKA (<1-2 hari) menghasilkan
manifestasi hiperglikemia, dehidrasi, dan hiperosmolalitas plasma yang lebih
parah, yang semuanya berkorelasi dengan penurunan tingkat kesadaran
(Umpierrez & Korytkowski, 2016).

16
5. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada pengukuran osmolalitas serum dan kadar glukosa.
Hasil pengukuran glukosa biasanya lebih dari 600 mg/dL dan osmolalitas
serum lebih dari 320 mOsm/dL. Nilai PH seharusnya lebih dari 7.3
(Greenberg, 2012).
Kriteria diagnostik untuk HHS meliputi kadar glukosa plasma> 33,3 mmol / l,
osmolalitas serum efektif> 320 mmol / kg dan tidak adanya asidosis
metabolik dan ketonaemia. Berbeda dengan formula asli yang digunakan
untuk memperkirakan osmolalitas serum total (2 [Na] + [Glukosa] / 18 +
[BUN] /2,8, di mana [Glukosa] dan [BUN] diukur dalam mg / dl), beberapa
laporan dan kon Pedoman ¬ sensus telah merekomendasikan penggunaan
osmolalitas serum yang efektif (2 [diukur Na + dalam mEq / l)] + [glu¬cose
in mmol]), tidak mempertimbangkan urea, karena didistribusikan secara
merata di semua kompartemen tubuh dan akumulasinya. tidak menginduksi
gradien osmotik melintasi membran sel. Gejala ensefalopati biasanya hadir
ketika kadar natrium serum melebihi 160 mmol / l dan ketika osmolalitas
efektif yang dihitung adalah> 320 mmol / kg15. Perkiraan menunjukkan
bahwa ~ 20-30% dari pasien yang hadir dengan HHS menunjukkan
peningkatan asidosis metabolik gap sebagai akibat dari ketoasidosis
bersamaan, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan peningkatan kadar
laktat dalam serum (Umpierrez & Korytkowski, 2016).

6. Komplikasi klinis
Mortalitas yang dihubungkan dengan HHS dibagai menjadi tipe dini
(sebelum 72 jam) dan tipe lanjut (setelah 72 jam). Penyebab awal mortalitas
meliputi syok, sepsis dan kematian akibat penyebab yang mendasari.
Mortalitas lanjut paling sering disebabkan oleh kejadian tromboembolik
pembuluh besar seperti infark (serebri atau miokard), embolisme paru,
thrombosis pembuluh mesenteric atau koagulopati intravascular diseminata
(Greenberg, 2012).
7. Tata laksana / Management HHS
HHS merupakan kondisi metabolic serius yang mengancam jiwa. Prioritas
tertinggi pengobatan adalah memperbaiki volume sirkulasi. Deficit air tubuh
total rata-rata yang terjadi pada pasien dengan HHS adalah sekitar 9 L.
meskipun salin normal relative hipotonik pada pasien HHS, beberapa klinisi
menganjurkan pemberian 50% salin normal sampai osmolalitas menjadi
kurang dari 320 Osm/dL. Restorasi volume menyebabkan kadar glukosa
turun meskipun tanpa insulin, karena peningkatan LFG. Oleh karena itu,

17
pasien HHS cenderung cepat merespon insulin, sementara perbaikan cairan
sedang terjadi. Kalium merupakan ketidakseimbangan elektrolit paling serius
yang memerlukan penggantian. Karena resiko tinggi tromboembolisme,
profilaksis dengan heparin dosis rendah telah dianjurkan (Greenberg, 2012).
Menurut (LeMone, 2012) pada umumnya modalitas terapi mencakup berikut:
a. Menetapkan dan mempertahankan ventilasi yang memadai
b. Mengoreksi syok dengan cairan intravena yang memadai
c. Mempertahankan volume cairan dengan larutan isotonic atau koloid
intravena
d. Memberikan kalium lewat intravena untuk menggantikan kehilangan
e. Memberikan insulin untuk menurunkan glukosa darah, biasanya
menghentikan pemberian ketika kadar glukosa darah mencapai 250
mg/dL (karena ketosis tidak terjadi maka tidak perlu melanjutkan insulin,
seperti pada DKA)
D. Konsep Penyakit Diabetik Ketoasidosis
1. Definisi
Ketoasidosis diabetikum (DKA) adalah penyakit kritis yang ditandai dengan
hiperglikemia berat, asidosis metabolic dan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Peningkatan secara bersamaan hormone pertumbuhan, kortisol,
epinefrin dan glucagon memperburuk kondisi yang menyebabkan
hiperglikemia dan hiperosmolalitas lebih berat, ketoasidosis dan penurunan
volume cairan. DKA terjadi ketika patofisiologi DM tipe 1 yang tidak diobati
berlanjut (Greenberg, 2012).
2. Gejala klinis
Gejala awal ketoasidosis diabetic (diabetic ketoacidosis, DKA) meliputi
gejala hiperglikemia, seperti polyuria, polydipsia dan kelelahan. Pasien dapat
mengalami tanda-tanda atau gejala yang lebih berat, seperti mual dan muntah,
takikardia, takipnea, pernapasan kussmaul dan hipotensi, ketika terjadi
asidosis, ketosis dan dehidrasi. Napas dapat “berbau buah” yang khas aseton.
Evaluasi laboratorium memperlihatkan asidosis anion gap, serta berbagai
kelainan elektrolit (Greenberg, 2012).
Keluhan lainnya adalah kulit hangat dan kering dengan turgor buruk, bola
mata lunak, membrane mukosa kering, kelemahan, letargi sampai koma
(LeMone, 2012).
3. Etiologi
DKA terjadi bila terdapat kekurangan insulin mutlak dan peningkatan
hormone kontraregulator terstimulasi (kortisol). DKA juga dapat terjadi pada

18
orang yang terdiagnosa DM saat kebutuhan tenaga meningkat selama stress
fisik atau emosi. Keadaan stress memicu pelepasan hormone glukoneogenik
yang menghasilkan pembentukan karbohidrat, protein atau lemak. Berikut
beberapa kondisi pemicu DKA; (LeMone, 2012)
a. Iskemia (infark miokard akut)
b. Insulinopenia ( onset baru/noncompliant)
c. Infeksi
d. Iatrogenik (kortikosteroid)
4. Patofiologi
DKA dapat dicetus oleh stressor seperti sepsis, pankreatitis, infark miokard
atau pembedahan atau dapat timbul dalam bentuk diabetes melitus onset baru.
Pada 2-10% kasus, tidak ada penyebab yang dapat diperoleh. Tidak adanya
efek insulin, baik yang disebabkan oleh tidak adanya insulin maupun
hilangnya respons reseptor insulin, menyebabkan produksi glukosa oleh hati
meningkat, pemakaian glukosa perifer berkurang, mobilisasi lemak
meningkat, ketogenesis dirangsang yang menyebabkan hiperglikemia.
Oksidasi asam lemak pasa adiposity menyebabkan produksi keton dan
asidosis. Hiperglikemia dapat menyebabkan diuresis osmotic dan dehidrasi
ketika reabsorpsi aktif glukosa dalam ginjal menjadi jenuh (Greenberg, 2012).
Peningkatan konsentrasi keton dan peningkatan pelepasan asam lemak
mengakibatkan kehilangan bikarbonat sehingga terjadi metabolic asidosis.
Keton dan asidosis dapat menyebabkan depresi system saraf pusat (SSP) yang
akhirnya koma dan kematian (LeMone, 2012).
DKA menyebabkan 4 masalah metabolic yaitu; hiperosmolaritas akibat
hiperglikemia dan dehidrasi, asidosis metabolic akibat penumpukan asam
laktat, penurunan volume ektraseluler akibat diuresis osmotic dan
ketidakseimbangan elektrolit (Na & K) akibat diuresis osmotic (LeMone,
2012).
Kekurangan insulin yang parah berkorelasi dengan peningkatan aktivitas
lipase hormon-sensitif dalam jaringan adipose, yang pada gilirannya
menyebabkan pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan sirkulasi tinggi
kadar asam lemak bebas. Di hati, asam lemak bebas dioksidasi menjadi tubuh
keton, suatu proses yang sebagian besar distimulasi oleh glukagon.
Peningkatan konsentrasi glukagon levulus hepatik bawah Malonil koenzim A
(CoA), enzim pembatas tingkat pertama dalam sintesis asam lemak de novo.
Berkurangnya kadar malonil-CoA kemudian menstimulasi enzim pembatas
laju ketogenesis (carnitine O palmitoyl transferase 1, isoform hati (CPT1 L)),
yang mempromosikan transesterifikasi lemak asil karnitin dan oksidasi asam
lemak bebas ke badan keton (asetoasetat dan β hidroksibutirat). Dengan

19
demikian, produksi badan keton dipercepat sebagai hasil dari peningkatan asil
lemak CoA dan aktivitas CPT1 L. Selain itu, metabolisme dan pembersihan
badan keton menurun pada keadaan DKA. Badan keton adalah asam kuat
yang jika ada pada kadar tinggi, dapat menyebabkan asidosis metabolik. Baik
hiperglikemia dan tingginya kadar badan keton menyebabkan diuresis
osmotik, yang mengarah pada hipovolemia dan penurunan laju filtrasi
glomerulus, yang pada akhirnya semakin memperburuk hiperglikemia
(Umpierrez & Korytkowski, 2016).
5. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada asidosis serum dan ketosis dengan adanya
peningkatan glukosa dan kadar bikarbonat rendah <15 mEq/l. Konsentrasi
glukosa biasanya lebih dari 250-300 mg/dL dan pH seharusnya kurang dari
7.35. Kadar natrium, kalium dan klorida serum tidak normal, ada keton dalam
serum dan ada keton serta glukosa dalam urine (LeMone, 2012).
Pasien dengan DKA biasanya hadir dalam beberapa jam hingga beberapa hari
setelah mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan. Mual,
muntah, dan sakit perut terdeteksi pada 40 75% kasus. Pemeriksaan fisik
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, perubahan status mental, hipotermia dan
aroma aseton pada napas pasien. Pola pernapasan dalam yang bekerja
(respirasi Kussmaul) diamati di antara pasien dengan asidosis metabolik yang
parah. DKA terdiri dari trias hiperglikemia, hiperketonaemia dan asidosis
metabolik. Kondisi ini dapat diklasifikasikan sebagai ringan, sedang atau
berat, tergantung pada sejauh mana asidosis metabolik dan perubahan
sensorium atau mental yang didapat. Kriteria diagnostik utama adalah
peningkatan konsentrasi serum badan keton. Meskipun mayoritas pasien
dengan DKA hadir dengan kadar glukosa plasma> 16,7 mmol / l, beberapa
pasien hanya menunjukkan sedikit peningkatan kadar glukosa plasma
(disebut 'eugly¬cemic DKA') setelah menahan atau mengurangi dosis insulin
dalam konteks pengurangan asupan makanan atau penyakit (Umpierrez &
Korytkowski, 2016).
Euglycaemic DKA juga diamati selama kehamilan, di antara pasien dengan
gangguan glukoneogenesis karena penyalahgunaan alkohol atau gagal hati,
dan di antara pasien yang diobati dengan inhibitor SGLT2. Dengan demikian,
kadar glukosa plasma tidak menentukan keparahan DKA. Konfirmasi
peningkatan produksi tubuh keton dilakukan menggunakan reaksi
nitroprusside atau pengukuran langsung β hydroxybutyrate. Reaksi
nitroprusside memberikan estimasi semiquantitatif kadar acetoacetate dan
aseton dalam plasma atau urin, tetapi tidak mendeteksi keberadaan β
hydroxybutyrate, yang merupakan badan keton dominan di antara pasien
dengan DKA. Meskipun lebih mahal daripada evaluasi badan keton urin,

20
pengukuran langsung β hydroxybutyrate - baik melalui layanan laboratorium
atau melalui penggunaan meteran perawatan - adalah pilihan yang lebih
disukai untuk mendiagnosis ketoasidosis (≥ 3 mmol / l), juga untuk mengikuti
respons pasien terhadap pengobatan (Umpierrez & Korytkowski, 2016)
6. Komplikasi klinis
Komplikasi DKA meliputi tromboembolisme, gastroparesis, rabdomiolisis,
kejang, koma dan kematian. Komplikasi pengobatan dapat meliputi resusitasi
berlebih (overresuscitation) cairan (edema serebri, edema paru, dan cedera
paru akut), koreksi berlebih hiperglikemia (hipoglekimia) dan kelainan
elektrolite (hypokalemia dan hipofosfatemia) (Greenberg, 2012).
7. Tata laksana / management DKA
Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi penyebab ketosis dan asidosis dan
memperbaiki volume sirkulasi bersamaan dengan ketidakseimbangan
elektrolit. Kadar glukosa harus diperiksa setiap jam dan tingkat insulin
disesuaikan. Elektrolit seharusnya dipantau sekurang-kurangnya setiap 2 jam
selama infus insulin diberikan. Jika ketosis menetap meskipun
normoglikemia. Drip insulin harus dilanjutkan dengan pemberian glukosa
supplemental untuk menghindari hipoglikemia (Greenberg, 2012)
a. Modalitas pengobatan untuk ketoasidosis diabetic
b. Obati stressor yang mendasari secara tepat
c. Lakukan koreksi hipoksia
d. Berikan insulin
e. Lakukan rehidrasi
f. Perbaiki kelainan elektrolit (misalnya kalium, fosfat)
Terapi DKA membutuhkan perhatian medis segera. Perawatan di rumah sakit
diperlukan ketika seseorang memiliki glukosa darah lebih dari 250 mg/dL,
mengalami penurunan pH, dan ad aketon dalam urine. Jika pasien waspada
dan sadar, cairan dapat diganti lewat oral. Pada 12 jam pertama terapi, orang
dewasa biasanya membutuhkan 9-10 L cairan untuk menggantikan
kehilangan akibat polyuria dan muntah. Penggantian cairan awal dapat
dilakukan dengan memberikan larutan salin 0,9% dengan kecepatan 500-1000
ml/jam. Setelah 2-3 jam (atau ketika tekanan darah kembali normal.
Pemberian salin 0.45% pada 200-500 ml/jam dapat dilanjutkan selama
beberapa jam. Ketika kadar glukosa darah mencapai 250 mg/dL, dekstrose
ditambahkan untuk mencegah penurunan glukosa, ada resiko edema serebral
yang mematikan jika cairan diberikan terlalu cepat atau berlebihan (LeMone,
2012).

21
Insulin regular digunakan dalam penatalaksanaan DKA dan dapat diberikan
melalui berbagai rute, yang bergantung pada keparahan kondisi. Ketosis
ringan dapat ditangani dengan insulin subkutan, sementara ketosis berat
membutuhkan infus insulin intravena. Ketika fungsi ginjal dan tekanan darah
kembali, kalium dan natrium dapat dikoreksi. Masalah utama pada
ketidakseimbangan elektrolite adalah penurunan cadangan kalium tubuh.
Awalnya kalium serum dapat normal, tetapi menurun selama terapi. Insulin
menyebabkan kalium berpindah ke dalam sel, yang meningkatkan
hypokalemia. Pada DKA (dan dari rehidrasi), tubuh kehilangan kalium akibat
peningkatan haluaran urine, asidosis, keadaan metabolic dan muntah atau
diare. Penggantian kalium dimulai lebih awal pada perjalanan terapi, biasanya
dengan menambahkan kalium ke cairan rehidrasi. Pergantian amat penting
untuk mencegah disritmia jantung sekunder akibat hypokalemia. Irama
jantung dan kadar kalium harus dipantau setiap 2-4 jam (LeMone, 2012).

Diagram 2.1
Protokol untum Management Pasien Dewasa dengan DKA dan HHS
Rekomendasi American Diabetes Association (ADA)
Variabilitas yang cukup ada dalam presentasi pasien dengan DKA dan HHS.
Tujuan manajemen meliputi pemulihan volume sirkulasi dan perfusi jaringan,

22
penghentian ketogenesis, koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan resolusi
hiperglikemia. Banyak pasien dengan DKA dapat dikelola dengan aman di
unit perawatan menengah kecuali mereka hadir dengan perubahan status
mental yang parah atau dengan penyakit kritis (misalnya, infark miokard,
perdarahan gastrointestinal atau sepsis) yang memerlukan perawatan di ICU.
Keputusan tentang di mana individu yang terkena diperlakukan sering
didasarkan pada ketersediaan tenaga keperawatan yang memadai untuk secara
hati-hati memantau pasien dan untuk mengelola insulin dan pemberian cairan
intravena yang diperlukan untuk keberhasilan penyelesaian DKA. Karena
peningkatan risiko kematian dan adanya komorbiditas, sebagian besar pasien
dengan HHS dirawat di ICU (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Cairan. Penggantian cairan yang hilang adalah langkah penting pertama
dalam manajemen DKA dan HHS. Defisit air yang diperkirakan adalah ~ 100
ml / kg berat badan di antara pasien dengan DKA dan ~ 100–200 ml / kg di
antara pasien dengan HHS. Defisit air diperkirakan sebagai berikut: defisit air
= (0,6) (berat badan dalam kg) × (1– [natrium terkoreksi / 140]). Terapi
cairan mengembalikan volume intravaskular dan perfusi ginjal dan
mengurangi tingkat hormon yang berlawanan dengan pengaturan dan
hiperglikemia. Saline isotonik diinfuskan pada kecepatan 500-1000 ml / jam
selama 2-4 jam pertama, diikuti oleh infus saline 0,9% pada 250-500 ml / jam
atau salin 0,45%, tergantung pada konsentrasi natrium serum dan kadar
keadaan hidrasi. Setelah kadar glukosa plasma mencapai ~ 11,1-13,9 mosm /
l, cairan pengganti harus mengandung 5-10% dekstrosa untuk memungkinkan
pemberian insulin terus menerus sampai ketonaemia dikontrol, sambil
menghindari hipoglikemia (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Insulin. Setelah inisiasi cairan intravena, pemberian insulin adalah langkah
penting berikutnya dalam memulihkan metabolisme seluler, mengurangi
glukoneogenesis hepatik dan menekan lipolisis dan ketogenesis. Pemberian
insulin oleh jalur intravena, intramuskular atau subkutan aman dan efektif
untuk memperbaiki DKA. Infus insulin manusia reguler secara intravena
terus menerus adalah pengobatan pilihan di antara pasien yang sakit kritis dan
mereka yang tingkat kesadarannya menurun (mental tertimbun). Kebanyakan
algoritma pengobatan merekomendasikan pemberian dosis bolus intravena
0,1 U / kg, diikuti oleh infus intravena kontinu 0,1 U / kg / jam (5-10 U /
jam). Perlunya bolus awal telah dipertanyakan oleh satu penelitian yang
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hasil atau risiko hipoglikemia di
antara kelompok 157 pasien yang baik atau tidak menerima bolus insulin
awal. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian insulin dan
hidrasi paksa menghasilkan penurunan konsentrasi glukosa plasma yang
cukup dapat diprediksi pada tingkat 3,6-6,9 mmol / l / jam. Tingkat insulin
harus diturunkan menjadi 0,05 U / kg / jam dan dekstrosa harus ditambahkan

23
ke cairan intravena ketika konsentrasi glukosa plasma mencapai ~ 11,1–13,9
mmol / l. Laju infus insulin harus disesuaikan untuk mempertahankan kadar
glukosa plasma 8,3-11,1 mmol / l sampai ketoacidia diselesaikan,
sebagaimana dibuktikan dengan normalisasi pH vena dan celah anion. Infus
insulin harus dilanjutkan di antara pasien dengan HHS sampai didapatnya
mental dan keadaan hiperosmolar dikoreksi (Umpierrez & Korytkowski,
2016).
Penggunaan analogue insulin kerja cepat subkutan (aspis dan lisproor),
diberikan setiap 1-2 jam, sama efektifnya dengan penggunaan insulin
manusia reguler intravena di antara pasien dengan DKA ringan hingga sedang
tanpa komplikasi. Setelah dosis subkutan bolus awal 0,2-0,3 U / kg,
pemberian lispro atau aspart (dosis subkutan 0,1 U / kg / jam atau 0,2 U / kg /
2 jam) memunculkan penurunan yang sama dalam konsentrasi glukosa seperti
dicapai dengan menggunakan rute intravena. Setelah kadar glukosa mencapai
~ 13,8 mmol / l, dosis insulin subkutan harus dikurangi setengahnya dan
dilanjutkan pada interval yang sama sampai DKA sembuh. Administrasi
insulin intramuskular juga efektif dalam pengobatan DKA; Namun, rute ini
cenderung lebih menyakitkan daripada injeksi subkutan dan mungkin
meningkatkan risiko perdarahan di antara pasien yang menerima terapi
antikoagulasi. Penggunaan analog insulin subkutan kerja cepat tidak
dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi berat atau pasien dengan DKA atau
HHS berat. Belum ada penelitian acak pro-spektif yang membandingkan
infus subkutan analog insulin kerja cepat dengan infus intravena insulin
manusia biasa di antara pasien yang dirawat di ICU (Umpierrez &
Korytkowski, 2016).
Kalium. Pasien dengan DKA dan HHS memiliki defisit kalium total tubuh ~
3-5 mmol / kg. Meskipun defisit ini, kadar kalium serum yang diukur pada
penerimaan di rumah sakit sering dalam kisaran normal atau bahkan
meningkat karena pergeseran kalium intraseluler ke kompartemen ekstra sel
dalam pengaturan hipertonisitas, defisiensi insulin dan asidosis. Terapi insulin
menurunkan kadar kalium serum dengan mempromosikan pergerakan kalium
kembali ke kompartemen intraseluler. Oleh karena itu, penggantian kalium
harus dimulai ketika konsentrasi serum <5,0 mmol / l untuk mempertahankan
tingkat 4-5 mmol / l. Pemberian 20-40 mmol kalium per liter cairan sudah
cukup untuk sebagian besar pasien; Namun, dosis yang lebih rendah
diperlukan untuk pasien dengan gagal ginjal akut atau kronis. Di antara
pasien dengan kadar kalium serum <3,3 mmol / l, penggantian harus dimulai
pada tingkat 10-20 mmol / jam dan terapi insulin harus ditunda sampai
tingkat kalium naik di atas 3,3 mmol / l untuk mencegah memburuknya
hipokalaemia (Umpierrez & Korytkowski, 2016).

24
Bikarbonat. Infus bikarbonat jarang diperlukan dalam pengelolaan DKA.
Memang, hasil tinjauan sistematis 12 studi klinis acak tentang kemanjuran
terapi bikarbonat dalam pengobatan asidemia berat di DKA melaporkan
bahwa pemberian bikarbonat tidak memberikan keuntungan dalam
meningkatkan hasil baik atau tingkat pemulihan hiperglikemia dan
ketoasidosis. Terapi bikarbonat juga memiliki potensi untuk meningkatkan
risiko hipokalaemia dan edema serebral. Namun demikian, pedoman klinis
merekomendasikan pemberian 50-100 mmol natrium bikarbonat sebagai
larutan isotonik (dalam 200 ml air) di antara pasien dengan pH vena ≤6,9.
Pasien dengan DKA dan pH vena> 7,0 dan pasien dengan HHS tidak boleh
menerima terapi bikarbonat (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Fosfat. Replesi fosfat hampir tidak pernah diperlukan dalam manajemen
DKA karena derajat hipofosfatemia ringan biasanya mengoreksi diri begitu
pasien telah melanjutkan makan. Kebutuhan repletion terbatas pada pasien
dengan bukti gangguan pernapasan atau jantung yang memiliki kadar serum
fosfat <0,32 mmol / l. Penelitian telah gagal menunjukkan efek
menguntungkan dari penggantian fosfat pada hasil klinis. Selain itu, terapi
fosfat agresif dapat berpotensi berbahaya, seperti yang ditunjukkan dalam
laporan kasus anak-anak dengan DKA yang mengalami hipokalsemia
sekunder akibat pemberian fosfat intravena (Umpierrez & Korytkowski,
2016).
E. Konsep Penyakit Hypoglikemia
1. Diagnosis
Hipoglikemia umum terjadi pada penyandang DM tipe 1 dan terkadang
terjadi pada penyandang DM tipe 2 yang diobati dengan agens hipoglikemia
oral tertentu. Kondisi ini sering kali disebut syok insulin, reaksi insulin atau
penurunan pada pasien DM tipe 1. Hipoglikemia terutama disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara asupan insulin (missal kesalahan dosis insulin),
aktivitas fisik dan kurang tersedianya karbohidrat. Asupan alcohol dan obat-
obatan seperti kloramfenikol, coumadin, inhibitor monoamine oksidase
(MAO), probenesid, salisilat dan sulfonamide juga dapat menyebabkan
hipoglikemia (LeMone, 2012).
Manifestasi hypoglikemia yang disebabkan oleh respons system saraf otonom
adalah rasa lapar, mual, cemas, kulit pucat dan dingin, berkeringat, gemetar,
iritabilitas, nadi cepat dan hipotensi. Manifestasi yang disebabkan oleh
kerusakan fungsi serebral adalah rasa aneh atau tidak biasa, sakit kepala, sulit
berpikir, tidak mampu berkonsentrasi, perubahan perilaku emosional, bicara
pelo, penglihatan buram, kenjang dan koma (LeMone, 2012).
Terapi hipoglikemia ringan. Orang yang mengalami hipoglikemia harus
makan sekitar 15 g gula kerja-cepat, jumlah gula ini dijumpai misalnya dalam

25
tiga tablet glukosa, ½ cangkir (4 ons) jus buah atau soda regular, 8 oz susu
skim, 5 permen. Jika manifestasi berlanjut, aturan 15/15 harus diikuti: tunggu
15 menit, pantau glukosa darah dan jika rendah makan 15 g karbohidrat lain.
Prosedur ini dapat diulangi sampai kadar glukosa darah mencapai > 70 mg/dL
karena kadar glukosa akan mulai turun lagi setelah 1 jam. Penyandang DM
harus memiliki sumber karbohidrat yang tersedia setiap saat sehingga
manifestasi hipoglikemia dapat diatasi dengan cepat (LeMone, 2012).
Terapi hipoglikemia berat. Peyandang DM yang mengalami hipoglikemia
berat sering kali dirawat di rumah sakit. Kriteria perawatan dirumah sakit
meliputi satu atau lebih dari beberapa kriteria berikut:
a. Glukosa darah < 50 mg/dL dan terapi cepat hipoglikemia tidak
menghasilkan perbaikan sensorium
b. Pasien mengalami koma, kejang atau perubahan perilaku
c. Hipoglikemia telah diatasi tetapi orang dewasa yang bertanggung jawab
tidak dapat mendampingi pasien selama 12 jam berikutnya.
d. Hipoglikemia disebabkan oleh onat-obatan sulfonylurea
Jika pasien sadar dan waspada, 10-15 gram karbohidrat oral dapat diberikan.
Jika psien mengalami perubahan tingkat kesadaran, glukosa atau glucagon
parenteral dapat diberikan. Glukosa diberikan secara intravena sebagai larutan
50% (D50%) 50 ml, biasanya dengan kecepatan 10 ml selama 1 menit
melalui bolus intravena. Ini adalah metode tercepat meningkatkan gula darah.
Glucagon adalah agens antihipoglikemia yang menaikan glukosa darah
dengan meningkatkan konversi glikogen hati menjadi glukosa. Digunakan
pafa hipoglikemia berat yang diinduksi insulin dan dapat diberikan dalam
dosis yang direkomendasikan sebanyak 1 mg lewat rute subkutan, IM atau
IV. Glucagon memiliki periode kerja yang singkat, karbohidrat oral (jika
pasien sadar) atau IV harus diberikan setelah glucagon untuk mencegah
berulang hipoglikemia. Jika pasien tidak sadar, glucagon dapat menyebabkan
muntah ketika kesadaran kembali (LeMone, 2012).
2. Management Hypoglikemia
Dokter harus memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang
cara mengenali dan mengobati kejadian hipoglikemik ringan dan berat ketika
terjadi.
Baik dalam pengaturan rawat jalan dan rawat inap, peristiwa hipo-glikemik
ringan dapat diobati dengan pemberian oral karbohidrat yang cepat diserap,
tablet glukosa atau gel glukosa. Kejadian ringan dapat segera diobati dalam
pengaturan rawat jalan dengan menggunakan apa yang disebut ‘rule of 15.’
Aturan ini merekomendasikan konsumsi 15 g karbohidrat; memungkinkan 15
menit untuk penyerapan nutrisi dan mengembalikan glukosa plasma ke

26
tingkat dalam kisaran normal; dan ulangi pengukuran glukosa setelah 15
menit. Beberapa episode hipoglikemik dapat membutuhkan ≥30 g karbohidrat
untuk mengembalikan normoglikemia. Dalam pengaturan rawat inap,
pengenalan protokol perawatan hipoglikemia diarahkan perawat memandu
pemberian oral 15-30 g karbohidrat cepat diserap untuk pengobatan segera
dari setiap tingkat glukosa <3,9 mmol / l96. Beberapa institusi telah
memasukkan rejimen pengobatan hipoglikemik ke dalam rangkaian pesanan
terkomputerisasi atau standar yang memandu peresepan terapi insulin basal,
bolus dan koreksi yang dijadwalkan (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Kejadian hipoglikemik parah yang berhubungan dengan perubahan tingkat
kesadaran membutuhkan bantuan pihak ketiga. Oleh karena itu, semua pasien
yang diobati dengan insulin harus diberi kit glukagon dan anggota keluarga,
teman, dan rekan kerja mereka yang dididik dalam penggunaannya jika
terjadi hipoglikemia berat (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Dalam pengaturan rawat inap, episode hipoglikemik parah di antara pasien
yang tidak bangun atau tidak mampu menelan nutrisi oral memerlukan
pemberian solusi intravena yang mengandung dekstrosa. Dosis spesifik
pemberian glukosa oral atau intravena yang diperlukan untuk mengatasi
hipoglikemia sambil menghindari rebound hiperglikemia tidak jelas. Dalam
satu studi, 54 pasien yang mengalami hipoglikemia terkait dengan penurunan
status mental secara acak ditugaskan untuk menerima 10% atau 25% larutan
dekstrosa, diberikan dalam 5 g alikuot 50 ml atau 5 ml, masing-masing. Dosis
diulangi dalam interval 1 menit sampai pasien sadar kembali atau dosis
maksimum 25 g diberikan. Meskipun kadar glukosa pra-perawatan serupa,
kelompok yang menerima 10% larutan dekstrosa membutuhkan median total
dosis 10 g, sedangkan kelompok yang menerima 25% larutan dekstrosa
membutuhkan dosis 25 g. Tidak ada perbedaan antara kelompok yang diamati
dalam waktu untuk resolusi perubahan mental staf (8 menit); Namun, kadar
glukosa pasca perawatan adalah yang terendah di antara pasien yang
menerima larutan dekstrosa 10% (Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Pemberian glukagonagon subkutan atau intramuskular (1 mg) memberikan
opsi yang efektif untuk pengobatan dalam kasus di mana akses intravena
tidak segera tersedia (misalnya, pasien yang mengalami gangguan mental
atau tidak dapat mengambil suplementasi oral). Namun, terapi glukagon tidak
dianjurkan untuk pasien yang kekurangan glikogen, seperti mereka yang
menggunakan alkohol berat atau mengikuti olahraga tingkat tinggi (misalnya,
setelah menyelesaikan lomba maraton). Pertanyaan telah diajukan mengenai
perlunya untuk mengobati pasien dengan riwayat penggunaan alkohol berat
atau defisiensi nutrisi berat dengan tiamin sebelum pemberian glukosa
intravena. Rekomendasi ini didasarkan pada keprihatinan untuk
mengendapkan ensefalopati Wernicke, gangguan neurologis yang terkait

27
dengan delirium, disfungsi okuli dan ataksia yang dapat diendapkan secara
iatrogenik dengan pemuatan glukosa di antara pasien dengan defisiensi
tiamin. Dalam pengaturan hipoglikemia, koreksi glukosa darah
direkomendasikan sebagai pengobatan awal, diikuti dengan pemberian awal
tiamin intravena di antara pasien yang diduga berisiko ensefalopati Wernicke
(Umpierrez & Korytkowski, 2016).
Hipoglikemia yang berhubungan dengan sulfonilurea dapat berlangsung lama
dan berat, terutama di antara pasien dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. Penggunaan pemberian glukosa oral dan parenteral memiliki
potensi untuk memperburuk hipoglikemia di antara pasien dengan
hipoglikemia terkait sulfonilurea karena obat ini memediasi sekresi insulin
yang distimulasi glukosa. Penggunaan octreotide short-acting (50-75 μg yang
diberikan secara subtu atau intravena) dapat menghambat sekresi insulin
secara akut, yang meniadakan kebutuhan akan dosis berulang glukosa oral
atau intravena sambil menunggu efek sulfonilurea menghilang (Umpierrez &
Korytkowski, 2016).
Diagram 2.2
Patofisiologi DM sampai Kegawatdaruratan (NIC-NOC, 2015)

- Faktor genetic Kerusakan sel beta Ketidakseimbanga Gula darah tidak


- Infeksi virus n produksi insulin dapat dibawa
- Pengrusakan masuk dalam sel
imunologik

Batas melebihi Anabolisme


Glukosuria Hiperglikemia
ambang ginjal protein menurun

Dieresis osmotik Vikositas darah Syok Kerusakan


meningkat hiperglikemik antibodi
Polyuria → retensi
urin Aliran darah Koma diabetik Kekebalan tubuh ↓
lambat
Kehilangan
elektrolite dalam Iskemik jaringan Resiko infeksi Neuropati sensori
sel perifer
Ketidakefektifan
Dehidrasi perfusi jaringan Nekrosis luka Klien tidak
perifer merasakan sakit

Resiko syok Kehilangan kalori Gangrene Kerusakan


integritas jaringan
Sel kekurangan
Merangsang bahan untuk Protein dan lemak BB ↓
hipotalamus metabolisme dibakar

Pusat lapar dan


Pemecahan protein Keletihan
haus Katabolisme lemak

Polydipsia & 28 Keton Ureum


Asam lemak
polipagia

Ketidakseimbanga ketoasidosis
F. Farmakologi
1. Insulin pengganti
Insulin pengganti digunakan untuk mengobati DM tipe 1 dan pada orang
dewasa yang tidak berespon terhadap diet, latihan fisik dan agen oral (Karch,
2003).
a. Farmakodinamik dan indikasi terapeutik
Insulin adalah hormone yang meningkatkan penyimpanan bahan bakar tubuh,
memfasilitasi transport berbagai metabolit dan ion menembus sel dan
menstimulasi sintesis glikogen dari glukosa, lemak dari lipid dan protein dari
asam amino. Insulin melakukan tugasnya dengan cara bereaksi terhadap sisi
reseptor spesifik pada sel. Insulin pengganti digunakan untuk DM tipe 1, DM
tipe 2 tidak respon dengan obat, DKA berat, hyperkalemia dengan infus
glukosa, pasien DM yang akan melalui operasi (Karch, 2003).
b. Farmakokinetik
Insulin tidak menembus plasenta dan menjadi obat pilihan untuk
penatalaksanaan DM selama kehamilan. Insulin masuk ke ASI, tetapi
dihancurkan di dalam saluran GI dan tidak mempengaruhi bayi yang
menyusui (Karch, 2003).
c. Kontraindikasi dan peringatan
Selama kehamilan dan laktasi perawat harus cermat dalam memantau kadar
glukosa secara ketat dan menyesuaikan kadar insulin dengan tepat. Pasien
alergi insulin hewan harus menggunakan insulin manusia (Karch, 2003).
d. Efek merugikan
Efek merugikan yang paling banyak terjadi pada penggunaan insulin adalah
hipoglikemia dan ketoasidosis yang dapat dikontrol dengan penyesuaian dosis
(Karch, 2003).
2. Agens antidiabetic oral
Obat oral berhasil mengendalikan diabetes tipe 2 pada pasien yang
pankreasnya masih berfungsi (Karch, 2003).
a. Famakodinamik dan indikasi terapeutik
1) Sulfonylurea
Sulfonylurea berikatan dengan saluran kalium pada sel beta pancreas untuk
meningkatkan sekresi insulin, meningkatkan jumlah reseptor insulin (Karch,
2003).
a) Generasi pertama

29
Sulfonylurea generasi pertama meliputi klorpropamid, tulbutamid,
asetoheksamid dan tolazamide (Karch, 2003).
Tabel 2.5
Golongan obat sulfonylurea dan indikasi

Nama obat Penggunaan


Klorpropamid Banyak digunakan karena
memiliki efek yang paling dapat
diandalkan
Tolbutamid Untuk pasien memiliki
disfungsi ginjal
Asetoheksamid Diberikan apabila 2 obat diatas
terbukti tidak efektif
Obat generasi pertama dikaitkan dengan peningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular.

b) Generasi kedua
Obat ini memiliki kelebihan dibandingkan obat generasi pertama, antara
lain: generasi kedua diekskresikan melalui urine dan empedu,
membuatnya lebih aman untuk pasien yang menderita disfungsih ginjal,
sedikit berinteraksi dengan banyak obat lain dan protein dan memiliki
durasi kerja yang lebih lama. Obat generasi kedua antara lain:
glimepiride, glipizide dan gliburid (Karch, 2003).
b. Farmakodinamik dan indikasi terapeutik
Sulfonylurea menstimulasi pelepasan insulin dari sel beta pancreas. Obat ini
memperbaiki ikatan insulin dengan reseptor insulin dan dapat benar-benar
meningkatkan sejumlah reseptor insulin (Karch, 2003).
c. Farmakokinetik
Obat ini diabsorpsi dengan cepat dari saluran GI dan dimetabolisme di hati
serta dieksresikan melalui urine. Karena risiko hipoglikemia mempengaruhi
bayi, obat ini tidak boleh diberikan selama laktasi (Karch, 2003).
d. Kontraindikasi dan peringatan
Obat ini dikontraindikasikan jika terdapat alergi terhadap salah satu
sulfonylurea dan pada diabetes dengan komplikasi demam, infeksi berat,
trauma berat, bedah mayor, ketoasidosis, penyakit ginjal atau hati berat,
kehamilan dan laktasi serta DM tipe 1 (Karch, 2003).
e. Efek merugikan

30
Efek merugikan yang paling sering terjadi terkait dengan penggunaan obat ini
adalah hipoglikemia (Karch, 2003).
2) Nonsulfonylurea
Agen oral yang secara structural tidak berhubungan dengan sulfonylurea.
Obat ini sering kali efektif jika digunakan dalam kombinasi dengan
sulfonylurea atau insulin. Obat ini meliputi; acarbose inhibitor glukosida alfa,
miglitol, biguanid, metformin, meglitinide repaglinide, nateglinid dan
tiazolidinedion, pioglitazone dan rosiglitazone (Karch, 2003).
Tabel 2.6
Golongan obat nonsulfonylurea dan fungsinya
Akarbosa & miglitol Menunda absorpsi glukosa
metformin Menurunkan produksi dan
meningkatkan ambilan glukosa
Repaglinide & nateglinid Meningkatkan pelepasan insulin
tiazolidinedion Mengurasi resistensi insulin

Gambar 2.6
Tempat kerja obat yang digunakan untuk mengobati diabetes

31
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Diabetes mellitus merupakan kondisi kronis dan rencana asuhan ditujukan untuk
mencegah komplikasi dan mempertahankan kualitas hidup. Respons penyandang
DM terhadap penyakit sering kali kompleks dan bersifar individual, melibatkan
berbagai system tubuh. Pengkajian, perencanaan dan implementasi berbeda bagi
penyandang yang baru didiagnosis DM, penyandang DM jangka Panjang dan
penyandang dengan komplikasi akut DM. rencana asuhan dan isi penyuluhan juga
berbeda bergantung tipe DM, usia dan budaya orang tersebut, serta intelektual,
psikologis dan sumber-sumber social orang tersebut. Perawat yang memiliki
spesialisasi DM dan perawat umum mengandalkan penyuluhan pasien agar
berhasil hidup dengan DM. dalam memberikan penyuluhan dan dukungan pada
pasien sebagai upaya mereka menatalaksanaan DM, semua perawat perlu
memahami DM, mempelajari strategi perubahan perilaku efektif dan mengetahui
intervensi yang tepat (LeMone, 2012).
A. Pengkajian Keperawatan
Data berikut dikumpulkan melalui riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
Pengkajian terfokus lanjutan diuraikan kemudian dengan intervensi
keperawatan. Ketika mengkaji pasien lansia, perhatikan perubahan normal
pada penuaan di semua system tubuh yang dapat mengubah penafsiran hasil
(LeMone, 2012).
1. Riwayat kesehatan: riwayat DM dalam keluarga, riwayat hipertensi atau
masalah kardiovaskular lain, riwayat adanya perubahan penglihatan atau
wicara, pusing, kebas atau kesemutan ditangan atau kaki, nyeri saat berjalan,
sering berkemih, perubahan BB, nafsu makan, infeksi dan penyembuhan,
masalah dengan fungsi gastro intestinal atau perkemihan, atau perubahan
fungsi seksual.
2. Pengkajian fisik: rasio tinggi badan/berat badan, TTV, ketajaman penglihatan,
saraf kranial, kemampuan sensorik (sentuhan, panas/dingin, vibrasi)
ekstremitas, nadi perifer, kulit dan membrane mukosa (rambut rontok,
penampilan, lesi, ruam, rasa gatak dan rabas vagina).
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan
keseimbangan insulin, makanan dan aktivitas jasmani
2. Resiko syok b.d ketidakseimbangan elektrolite kedalam sel tubuh,
hypovolemia
3. Kerusakan integritas jaringan b.d nekrosis

32
4. Retensi urine b.d inkomplit pengosongan kandung kemih, sfingter kuat
dan polyuria
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah ke
perifer, proses penyakit (DM)
6. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d gejala polyuria dan dehidrasi
7. Keletihan
C. Intervensi Keperawatan
Promosi kesehatan adalah intervensi yang penting untuk mencegah
komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup. Aktivitas promosi kesehatan
utamanya berfokus pada pencegahan awitan dan komplikasi DM. pencegahan
penyakit tipe 2 telah ditunjukan dalam uji coba terkontrol acak dapat dicapai
pada orang berisiko dengan jumlah signifikan. Kombinasi perubahan gaya
hidup (penurunan BB dan peningkatan aktivitas fisik) dan medikasi
(khususnya metformin) mencegah atau menundah awitan DM tipe 2.
Pencegahan perubahan DM bergantung pada orang yang berisiko menerima
tanggung jawab untuk belajar dan mempertahankan perubahan gaya hidup
melalui penyuluhan penatalaksanaan diri, konseling dan bimbingan.
Penapisan glukosa darah interval 3 tahun yang dimulai pada usia 45 tahun
direkomendasikan bagi mereka yang tidak berada dalam kelompok risiko
tinggi. Adapun promosi kesehatan yang dapat diberika adalah memakai
sepatu dan stoking, menginspeksi kaki dengan rutin, merawat kuku kaki
(LeMone, 2012).

33
Tabel 2.7
Intervensi Keperawatan Nanda, Noc dan NIC (NIC-NOC, 2015)

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari - Nutrisional status Nutrition management
kebutuhan tubuh - Nutritional status : food and fluid - Kaji adanya alergi makanan
Definisi: asupan nutrisi tidak cukup intake - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
untuk memenuhi kebutuhan metabolic - Nutritional status: nutrient intake menentukan jumlah kalori dan nutrisi
Batasan karakteristik: - Weight control yang dibutuhkan pasien
- Kram abdomen - Anjurkan pasien untuk meningkatkan
- Nyeri abdomen Kriteria hasil protein dan vitamin C
- Menghindari makanan - Adanya peningkatan BB sesuai - Berikan substansi gula
- BB 20% atau < BB ideal dengan tujuan - Yakinkan diet yang dimakan
- Kerapuhan kapiler - BB ideal sesuai dengan TB mengandung tinggi serat untuk
- Diare - Mampu mengidentifikasi kebutuhan mencegah konstipasi
- Kehilangan rambut berlebihan nutrisi - Berikan makanan yang terpilih (ahli
- Bising usus hiperaktif - Tidak ada tanda-tanda malnutrisi gizi)
- Kurang makanan - Menunjukan peningkatan fungsi - Ajarkan pasien bagaimana membuat
- Kurang informasi pengecapan dan menelan catatan makanan harian
- Kurang minat pada makanan - Tidak terjadi penurunan BB yang - Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
- Penurunan BB dengan asupan berarti kalori
makanan adekuat - Berikan informasi tentang kebutuhan
- Kesalahan konsepsi nutrisi
- Kesalahan informasi - Kaji kemampuan pasien untuk
- Membrane mukosa pucat mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

34
- Mengeluh asupan makanan kurang
dari RDA (recommended daily Nutrisi monitoring
allowance) - BB pasien dalam batas normal
- Monitor adanya penurunan BB
Factor-faktor yang berhubungan - Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
- Factor biologis biasa dilakukan
- Factor ekonomi - Jadwalkan pengobatan dan tindakan
- Ketidakmampuan untuk tidak selama jam makan
mengabsorpsi nutrient - Monitor kulit kering dan perubahan
- Ketidakmampuan untuk mencerna pigmentasi
makanan - Monitor turgor kulit
- Factor psikologis - Monitor kadar albumin, protein total,
Hb dan kadar Ht
- Monitor kalori dan intake nutrisi
- Catat adanya edema, hiperemik
2 Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer - Circulation status Peripheral sensation management
Definisi: penurunan sirkulasi darah ke - Tissue perfusion: cerebral - Monitor adanya daerah tertentu yang
perifer yang dapat mengganggu hanya peka terhadap panas/dingin/
kesehatan Kriteria hasil tajam
Batasan karakteristik: - Mendemonstrasikan status sirkulasi - Monitor adanya paretesis
- Tidak ada nadi yang ditandai dengan: - Instruksikan keluarga untuk
- Perubahan fungsi motoric - Systole & diastole dalam rentang mengobservasi kulit jika ada lesi
- Perubahan karakteristik kulit yang diharapkan - Gunakan ssarung tangan untuk proteksi
(warna, elastisitas, rambut, - Tidak ada ortostatik hipertensi - Batasi Gerakan pada kepala. Leher dan
kelembapan, kuku, sensasi dan - Tidak ada tanda tanda peningkatan punggung
suhu) TIK - Monitor kemampuan BAB
- Index ankle-brakial <0.90 - Mendemonstrasikan kemampuan - Kolaborasi pemberian analgetik
- Perubahan tekanan darah kognitif yang ditandai dengan - Monitor adanya tromboplebitis

35
diekstremitas - Berkomunikasi dengan jelas dan
- Capillary refill > 3 detik sesuai dengan kemampuan
- Klaudikasi - Menunjukan perhatian,
- Warna tidak kembali ke tungkai konsentrasi dan orientasi
saat tungkai diturunkan - Memproses informasi
- Kelambatan penyembuhan luka - Membuat keputusan dengan
perifer benar
- Penurunan nadi - Menunjukan fungsi sensori motor
- Edema cranial yang utuh: tingkat kesadaran
- Nyeri ekstremitas membaik, tidak ada gerakan Gerakan
- Bruit femoral involunter
- Perestesia
- Warna kulit pucat saat elevasi

Factor yang berhubungan


- Kurang pengetahuan tentang factor
pemberat (rokok dll)
- Kurang pengetahuan tentang proses
penyakit
- DM
- Hipertensi
- Gaya hidup monoton
- Merokok
3 Resiko ketidakseimbangan elektrolit - Fluid balance Fluid management
Definis: berisiko mengalami perubahan - Hydration - Pertahankan catatan intak dan output
kadar elektrolit serum yang dapat - Nutritional status : food and fluid - Monitor status hidrasi
mengganggu kesehatan - Intake - Monitor TTV
Faktor risiko: - Monitor makanan dan hitung kalori

36
- Defisiensi volume cairan Kriteria hasil: harian
- Diare - Mempertahankan urine output sesuai - Monitor status nutrisi
- Disfungsi endokrin dengan usia dan BB, BJ urine - Kolaborasi pemberian cairan IV
- Kelebihan volume cairan normal, HT normal
- Gangguan mekanisme regulasi - TTV batas normal Hypovolemia management
(DM) - Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, - Monitor intake dan output cairan
- Disfungsi ginjal elastisitas turgor kulit baik, - Mempertahankan IV line
- Efek samping obat membrane mukosa lembab, tidak - Monitor tingkat Hb dan Ht
- Muntah ada rasa haus yang berlebihan - Monitor TTV
- Monitor BB
- Monitor respon pasien terhadap
penambahan cairan
- Monitor adanya tanda gagal ginjal
- Monitor adanya tanda-tanda kelebihan
cairan
4 Resiko syok - Syok prevention Syok prevention
Definisi: beresiko terhadap - Syok management - Monitor sirkulasi TD, suhu, denyut
ketidakcukupan aliran darah kejaringan jantung, HR dan ritme, nadi perifer dan
tubuh, yang dapat mengakibatkan Kriteria hasil: kapiler refill.
disfungsi seluler yang mengancam jiwa - TTV dalam batas normal - Monitor tanda inadekuat oksigenasi
- Irama jantung dan pernafasan normal - Monitor input dan output
Factor resiko: - Elektrolit (Na, K, Cl, Ca, Mg) dalam - Pantau nilai labor
- Hipotensi batas normal - HB, HT, AGD dan elektrolite
- Hipovolemia - PH darah normal - Monitor hemodinamik invasi yang
- Hipoksemia sesuai
- Hipoksia Hidrasi - Monitor tanda dan gejala asites
- Infeksi - Tanda-tanda dehidrasi tidak terjadi - Monitor tanda dan gejala awal syok
- Sepsis - Supine dan kaki lebih tinggi

37
- Sindrom respon inflamasi sistemik - Berikan vasodilator yang tepat
- Berikan cairan iv yang tepat
Syok management
- Monitor fungsi neurologis
- Monitor fungsi renal
- Monitor TTV
- Monitor status cairan
- Lakukan AGD
- Monitor EKG
- Monitor CVP, MAP
- Berikan cairan dan elektrolitr

38
D. Discharge Planning
a. Lakukan olahraga secara rutin dan pertahankan BB yang ideal
b. Kurangi konsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan
karbohidrat
c. Jangan mengurangi jadwal makan atau menunda waktu makan krena hal
ini akan menyebabkan fluktuasi (ketidakstabilan) kadar gula darah
d. Pelajari mencegah infeksi : kebersihan kaki dan hindari perlukaan
e. Perbanyak konsumsi makanan yang banyak mengandung serat, seperti
sayuran dan sereal
f. Hindari konsumsi makanan tinggi lemak dan yang mengandung banyak
kolesterol LDL antara lain: daging merah, produk susu, kuning telur,
mentega, saus salad dan makanan pencuci mulut berlemak lainnya.
g. Hindari minuman yang berakohol dan kurangi konsumsi garam

39
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin, tidak dapat
memproduksi insulin dan kurangnya sensitivitas reseptor insulin. DM dapat
mengakibatkan komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut meliputi
hipoglikemia, diabetes ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemia hyperosmolar
state (HHS). Komplikasi kronis meliputi makrovaskular (otak, jantung dan
ekstremitas) dan mikrovaskular (mata, ginjal dan neuropati).

40
DAFTAR PUSTAKA

Federation, I. D. (2020). Demographic and Geographic Outline of Diabetes. Retrieved


from https://idf.org/
Greenberg, I. M. (2012). Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid 3 (Vol. 3). Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Karch, A. K. (2003). Buku Ajar Farmakologi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: EGC.
LeMone, P., Karen M. Burke and Gerene Bauldoff. (2012). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC.
Morton, P. G. (2013). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Volume 2 (8 ed.
Vol. Volume 2). Jakarta: EGC.
NIC-NOC, N. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis &
Nanda Nic-Noc (Vol. Volume 1): MediAction Publishing.
Nucum, Z. T. (2010). Simplified Biochemistry. Quezon City, Philippines: C & E Publishing,
Inc.
UI, H. F. (2019). Hari Diabetes Nasional 2019: Atasi Obesitas, Hindari Diabetes. Retrieved
from https://fk.ui.ac.id/berita/hari-diabetes-nasional-2019-atasi-obesitas-
hindari-diabetes.html
Umpierrez, G., & Korytkowski, M. (2016). Diabetic emergencies — ketoacidosis,
hyperglycaemic hyperosmolar state and hypoglycaemia. Macmillan Publishers
Limited, Volume 12. doi:doi:10.1038/nrendo.2016.15

41

Anda mungkin juga menyukai