Dosen Pembimbing:
Yanny Trisyani, SKp., MN., PhD
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Atas pertolongan dan
ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengelolaan
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Napas di Instalasi Gawat
Darurat ”. Shalawat serta salam, penulis limpahkan kepada Rasulullah SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah analisis
keperawatan kritis komprehensif di Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari segi
isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif
untuk perbaikan selanjutnya sangat penulis harapkan.
Penulis juga berharap atas ridha Allah terhadap apa yang sudah disusun
dalam makalah ini, hingga menjadi nilai amal ibadah di hadapan-Nya. Aamiin.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATE PENGANTAR.................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan.....................................................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.......................................................................................................................3
BAB II KONSEP DAN PEMBAHASAN.................................................................................................4
BAB III ANALISIS KASUS...................................................................................................................27
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................................36
4.1 Kesimpulan..............................................................................................................................36
4.2 Saran.........................................................................................................................................36
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
nafas sebagai penghantar udara keluar masuk paru, (3) Dinding dada yang
bertindak sebagai bellow, mendukung dan melindungi paru, (4) Otot-otot
pernafasan yang menghasilkan energi yang penting untuk pergerakan udara
keluar masuk paru, dan (5) pusat pernafasan dengan reseptor yang sensitif
beserta saraf penghubungnya, yang bertugas mengontrol dan mengatur ventilasi
(Papadakos, 2002).
Menurut Kreit dan Rogers (1995) berbagai proses patologis dapat mengenai
setiap komponen fungsional tersebut. Interaksi sistem kardiopulmoner, saraf dan
muskuloskeletal dapat terganggu oleh berbagai penyakit, pembedahan atau obat
anestesi. Gagal nafas dapat didefinisikan sebagai kegagalan kapasitas pertukaran
gas yang signifikan pada sistem pernafasan. Biasanya gagal nafas merupakan
diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah (AGD), gagal nafas
dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata dalam
bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran
CO2 (hiperkapnea, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi
tersebut. Fungsi paru yang lainnya yang bukan merupakan fungsi pernafasan
yaitu fungsi metabolik, sekresi dan imunologis
2
1.3 Manfaat Penulisan
3
BAB II KONSEP DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Medis Acute Respiratory Failure (ARF) atau Gagal Napas
1. Definisi
Gagal napas/Acute Respiratory Failure (ARF) adalah perubahan
pertukaran gas pernafasan (CO2 dan O2) sedemikian rupa sehingga fungsi
sel normal terancam (Burns, 2014). ARF didefinisikan sebagai PaO2 kurang
dari 60 mm Hg dan PaCO2 lebih besar dari 50 mm Hg dengan pH kurang
dari atau sama dengan 7,30. Nilai aktual PaO2 dan PaCO2 yang
menentukan ARF bervariasi, bergantung pada berbagai faktor yang
memengaruhi nilai gas darah arteri normal (atau dasar) pasien. Faktor-faktor
seperti usia, penyakit kardiopulmoner kronis, atau gangguan metabolik
dapat mengubah nilai gas darah "normal" untuk seorang individu,
memerlukan penyesuaian dengan definisi klasik ARF; misalnya, jika kadar
PaCO2 pada pria 75 tahun dengan PPOK biasanya 56 mm Hg, ARF tidak
akan terdiagnosis sampai pH kurang dari atau sama dengan 7,30 (Burns,
2014). Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi di mana sistem
pernapasan tidak dapat mempertahankan pertukaran gas yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan metabolik (yaitu oksigenasi dengan atau tanpa
eliminasi karbon dioksida yang memadai) (Slattery, Vasques, Srivastava, &
Camporota, 2020). Selain itu, Acute Respiratory Failure (ARF) dapat
didefinsikan sebagai sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan sistem
pernapasan untuk mempertahankan kadar O2 dan CO2 arteri yang memadai
sesuai dengan kebutuhan metabolisme sel. ARF bisa disebabkan oleh
kegagalan alat penukar, paru-paru, organ atau pompa, atau kegagalan otot
4
pernafasan. ARF dapat diklasifikasikan berdasarkan elemen disfungsional
atau waktu evolusi ketika kondisi tersebut terjadi (Castillo, 2015).
5
servikalis VI sampai ke tepi bawah kartilago krikoidea vertebra
V. Diameter di dalam sekitar 21-27 mm, panjang 10-16 c, ada
sekitar 15-20 cincin tulang rawan berbentuk C tidak Lengkap,
yang melindung trakea dan menjaga jalan nafas.
b) Bronkus dan Bronkiolus
Trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri.
Bronkus kanan lebih pendek, lebar, dan lebih vertical daripada
kiri. Selanjutnya, bronkiolus membentuk percabangan
bronkiolus terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan
silia. Bronkiolus terminalis ini kemudian menjadi bronkiolus
respiratori yang di anggap menjadi saluran tradisional antara
jalan udara transisional antara jalan udara konduksi dan jalan
udara pertukaran gas.
c) Pulmo
Pulmo (paru) adalah organ utama dalam system pernafasan,
merupakan salah satu organ sistem pernafasan yang berada di
dalam kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan pleura
viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastis dan berada dalam
rongga torak. Sifatnya ringan dan terapung di dalam air.
b. Fisiologi
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh(inspirasi) serta mengeluarkan
udara dari dalam tubuh (ekspirasi). Proses oksigenasi tersebut terdiri
atas tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas
(Muttaqin, 2012). Oksigen masuk ke saluran pernapasan melalui hidung
dan mulut, selanjutnya diedarkan melalui saluran pernapasan (faring,
trakea, dan bronkus) ke alveolus, yang merupakan pundi-pundi udara
yang dikelilingi pembuluh darah kapiler. Pembuluh darah kapiler
merupakan pembuluh darah kecil dengan dinding halus yang
mempermudah pertukaran gas. Pergantian gas dimulai ketika oksigen
yang dihrup masuk ke dinding kapiler yang dikelilingi alveolus dan
dibawa oleh sel-sel darah melalui aorta. Aorta bercabang menjadi arteri-
6
arteri kecil dan bahkan arterioles yang lebih kecil, pada akhinya
menjadi pembuluh darah kapiler. Dinding kapiler yang paling tipis
membiarkan terjadinya difusi oksigen ke dalam sel-sel dalam berbagai
jaringan tubuh.
Transport CO2 ke alveolus berhubungan langsung dengan
kecepatan aliran masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang
dihirup (tekanan parsial O2 pada udara inspirasi;FIO2). Pada umumnya,
tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan peningkatan tekanan
O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari alveolus
ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah yang
memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh
darah kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan ( Cardiac
output) dan ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolism) (Muttaqin, 2012).
Sirkulasi paru dimulai dari pembuluh trunkus pulmonalis yang
menerima darah vena dari ventrikuler kanan, kemudian bercabang
secara dikotom sesuai dengan cabang-cabang saluran nafas sampai
bronkiolus terminalis dan mulai bercabang banyak seperti jaringan
meliputi dinding alveolus dengan susunan yang sangat tepat untuk
pertukaran gas (Muttaqin, 2012). Darah yang sudah teroksigenasi
disalurkan oleh vena pulmonalis yang berjalan diantara lobulus-lobulus
dan bergabung menjadi vena pulmonalis ke atrium kiri jantung. Secara
absolut jumlah darah yang beredar di dalam paru pada orang dewasa
sebanyak lebih kurang 900ml. aliran darah nutrisi untuk jaringan paru
berasal dari arteria bronkialis, kemudian darah vena kembali ke jantung
melalui dua lintasan yaitu mengikuti aliran darah pulmonalis ke jantung
kiri dan aliran vena azygos ke vena kava inferior selanjutnya ke jantung
kanan (Muttaqin, 2012).
3. Klasifikasi
Kegagalan pernafasan secara tradisional diklasifikasikan menjadi tipe I
dan tipe II. Kegagalan napas tipe I yakni kegagalan oksigenasi, secara klasik
menyebabkan hipoksemia dengan normokapnia, sedangkan kegagalan napas
7
tipe II yakni hipoksemia dengan kegagalan ventilasi, ditandai dengan
hipoventilasi alveolar dan hiperkapnia predominan berikutnya. Kedua tipe
tersebut bisa akut atau kronis (Slattery et al., 2020).
a. Gagal pernapasan hipoksemia (tipe I)
Kegagalan napas ini berasal dari efek satu atau lebih dari lima
mekanisme patofisiologis. Gagal nafas tipe I merupakan kegagalan
oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai dengan tekanan parsial O 2
arteri yang rendah. Pasien dengan gagal napas tipe I biasanya
mengalami gangguan pertukaran gas dengan PaO2 rendah, kapasitas
residu fungsional rendah, dan penurunan komplians paru. Ventilasi
menit meningkat sebagai respons terhadap stimulasi reseptor paru,
asidosis metabolik, dan hipoksemia berat, yang menurunkan PaCO2.
b. Gagal Pernapasan hiperkapnia (gagal napas tipe II)
Kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan peningkatan
tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan
diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena
itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah. Tipe II dapat
didiagnosis bila kadar PCO2 dalam gas darah arteri meningkat; namun,
penting untuk disadari bahwa kedua jenis dapat hidup berdampingan.
Dalam kondisi normal PaCO2 dipertahankan dalam batas (4,8-5,9 kPa)
karena ventilasi alveolar (Va) tetap proporsional dengan produksi
karbon dioksida (VCO2) meskipun ventilasi menit sangat bervariasi.
Jika kapasitas ventilasi terganggu, peningkatan produksi karbon
dioksida menyebabkan peningkatan PaCO2 melalui pengurangan
pembersihan, dan menyebabkan kegagalan pernapasan. Mekanisme di
balik ini diringkas di bawah ini (Slattery et al., 2020).
4. Etiologi
Terlepas dari penyebab spesifik yang mendasari gagal napas,
patofisiologi gagal nafas dapat dibagi menjadi empat komponen utama:
gangguan ventilasi, gangguan pertukaran gas, obstruksi jalan napas, dan
kelainan ventilasi-perfusi.
8
a. Etiologi gangguan ventilasi: Cedera sumsum tulang belakang (C4 atau
lebih tinggi), Kerusakan saraf frenikus, Blokade neuromuskuler,
Sindrom Guillain-Barré, Depresi SSP, Overdosis obat (narkotika,
sedatif, obat-obatan terlarang), Peningkatan tekanan intracranial, Agen
anestesi, dan Kelelahan otot pernapasan.
b. Etiologi pertukaran gas terganggu: Edema paru, ARDS, dan Pneumonia
aspirasi
c. Etiologi obstruksi jalan nafas: Aspirasi benda asing, Tumor toraks,
Asma, Bronkitis, dan Radang paru-paru.
d. Etiologi kelainan ventilasi-perfusi: Emboli paru dan Emfisema
5. Patofisiologi
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa patofisiologi gagal napas dibagi
menjadi empat, antara lain sebagai berikut (Burns, 2014).
a. Gangguan Ventilasi
Kondisi yang mengganggu otot pernapasan atau kontrol neurologisnya
dapat mengganggu ventilasi dan menyebabkan terjadinya gagal nafas.
Gerakan otot pernafasan yang menurun atau tidak ada mungkin karena
kelelahan akibat penggunaan yang berlebihan, atrofi karena tidak
digunakan, radang saraf, kerusakan saraf (misalnya, kerusakan bedah
pada saraf vagus selama operasi jantung), depresi neurologis, keadaan
penyakit progresif seperti Guillian-Barré atau amyotrophic lateral
sclerosis (ALS), atau setelah pemberian agen penghambat
neuromuskuler. Gerakan otot pernafasan yang terganggu menurunkan
pergerakan gas ke paru-paru, mengakibatkan hipoventilasi alveolar.
Ventilasi alveolar yang tidak memadai menyebabkan retensi CO2 dan
hipoksemia
b. Pertukaran Gas yang Terganggu
Kondisi yang merusak membran alveolar-kapiler mengganggu
pertukaran gas. Kerusakan langsung pada sel-sel yang melapisi alveoli
dapat disebabkan oleh penghirupan zat beracun (gas atau isi lambung),
pneumonia, dan / atau kondisi paru lainnya yang menyebabkan dua
9
perubahan alveolar yang merugikan. Yang pertama adalah peningkatan
permeabilitas alveolar, meningkatkan potensi kebocoran cairan
interstitial ke dalam alveoli dan menyebabkan edema paru nonkardiak.
Perubahan alveolar kedua adalah penurunan produksi surfaktan oleh sel
alveolar tipe II, yang meningkatkan tegangan permukaan alveolar, yang
menyebabkan kolapsnya alveolar.
c. Obstruksi Jalan Napas
Kondisi yang menghalangi saluran udara meningkatkan resistensi aliran
udara ke paru-paru, menyebabkan hipoventilasi alveolar dan penurunan
pertukaran gas. Obstruksi jalan nafas dapat disebabkan oleh kondisi
yang: (1) menghalangi lumen jalan nafas bagian dalam (misal, sekresi
atau cairan yang berlebihan di jalan nafas, benda asing yang terhirup),
(2) meningkatkan ketebalan dinding jalan nafas (misal, edema atau
fibrosis) atau penurunan lingkar jalan napas (mis., bronkokonstriksi)
seperti yang terjadi pada asma, atau (3) peningkatan kompresi
peribronkial jalan napas (mis., pembesaran kelenjar getah bening,
edema interstisial, tumor).
d. Kelainan Ventilasi-Perfusi
Kondisi yang mengganggu ventilasi alveolar atau perfusi kapiler
menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Ini menurunkan
efisiensi proses pertukaran gas pernapasan. Dalam upaya untuk
menjaga rasio ventilasi dan perfusi seimbang, dua perubahan
kompensasi terjadi: (1) untuk menghindari ventilasi alveolar yang
terbuang ketika perfusi kapiler menurun (misalnya, dengan emboli paru
[PE]), kolaps alveolar terjadi untuk membatasi ventilasi ke alveoli
dengan perfusi kapiler yang buruk atau tidak ada; (2) untuk
menghindari perfusi kapiler alveoli yang tidak berventilasi memadai
(mis., dengan atelektasis), penyempitan arteriol (yaitu vasokonstriksi
hipoksia) terjadi dan mengalirkan darah dari alveoli yang
terhipoventilasi ke alveoli berventilasi normal. Ketika jumlah unit
alveolar-kapiler yang dipengaruhi oleh perubahan kompensasi ini
meningkat, pertukaran gas akhirnya terpengaruh secara negatif.
10
6. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari gagal nafas adalah sebagai berikut (Burns,
2014).
- Hipoksemia (Pao2 <60 mm Hg)
- Kegelisahan
- Takipnea
- Dispnea
- Takikardia
- Kebingungan
- Diaforesis
- Kecemasan
- Hypercarbia (Paco2> 50 mm Hg)
- Hipertensi
- Iritabilitas
- Somnolence (terlambat)
- Sianosis (terlambat)
- Kehilangan kesadaran (terlambat)
- Kulit pucat atau sianosis
- Penggunaan otot aksesori pernapasan
- Suara napas tidak normal (berderak, mengi)
7. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis Gas Darah. Analisis gas darah arteri sangat penting dalam
diagnosis karena memastikan tingkat PaCO2, PaO2, dan pH darah.
Umumnya gagal napas akut diterima sebagai ada ketika. Pada
pasien dengan Kadar PaCO2 yang meningkat secara kronis, kriteria
ini harus diperluas untuk mencakup pH kurang dari 7,35. Modalitas
diagnostik lain dapat digunakan sesuai dengan kondisi yang
mendasari pasien, termasuk bronkoskopi untuk pengawasan jalan
napas atau pengambilan spesimen, radiografi dada, ultrasonografi
toraks, dan tomografi terkomputasi toraks (Lamba, Sharara, Leap,
& Singh, 2016).
11
2) Pulse Oximetry. Alat ini mengukur perubahan cahaya yang
ditransmisikan melalui aliran darah arteri yang berdenyut.
3) Capnography. Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa
konsentrasi kadar karbondioksida darah secara kontinu.
Penggunaannya antara lain untuk konfirmasi intubasi trakeal,
mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan fungsi paru.
4) Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang
menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia
menunjukkan gagal napas kronik.
5) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena
hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-
sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti
kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat gejala gagal
napas.
6) Pemeriksaan kadar kreatinin serum daan troponin I dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas. Kadar kreatinin
serum yang meningkat dengan kadar troponin I yang normal
menunjukkan terjadinya miositis yang dapat menyebabkan gagal
napas.
7) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH
serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang
dapat menyebabkan gagal napas reversibel.
8) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah
pengukuran kadar albumin serum, prealbumin, transferin, total
iron-binding protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin dan
jumlah limfosit total.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Radiografi Dada
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal
napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoiner
kardiogenik dan nonkardiogenik
2) Ekokardiografi
12
Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya
dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena
penyakit jantung. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding
dada yang abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan
edema pulmoner kardiogenik. Ukuran jantung yang normal, fungsi
sistolik dan diastolic yang normal pada pasien dengan edema
pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan akut.
Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapni
kronik.
3) Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas
kronik (Burns, 2014).
- Nilai forced expiratory volume in one second (FEV 1) dan forced
vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan
di pusat kontrol napas.
- Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan
napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang
tetap menunjukkan penyakit paru restriktif.
- Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai
FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru
restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L.
13
Dukungan fungsi pernafasan yang agresif diperlukan, sampai kondisi
yang mendasarinya membaik.
1) Berikan O2 tambahan untuk mempertahankan Pao2 lebih besar dari
60 mm Hg. Penggunaan metode non-invasif untuk pemberian O2
(nasal kanul atau face mask) lebih disukai jika kadar Pao2 yang
dapat diterima dapat dicapai.
2) Tingkatkan ventilasi dengan pemberian bronkodilator dan
modalitas manajemen jalan napas lainnya (penyedotan, pemosisian,
mobilisasi) sesuai indikasi. Penggunaan fisioterapi dada secara
rutin belum terbukti didukung oleh literatur dan tidak
direkomendasikan.
3) Intubasi dan mulai ventilasi mekanis jika metode non-invasif gagal
memperbaiki hipoksemia dan hiperkarbia atau jika terjadi
ketidakstabilan kardiovaskular. Modus ventilasi mekanis,
kecepatan, dan volume tidal bervariasi, bergantung pada yang
mendasarinya penyebab gagal napas dan berbagai faktor klinis.
Mode ventilasi yang menurunkan kerja pernapasan (control,
assist/control, synchronized intermittent mandatory ventilation
[SIMV] dengan minute ventilation [MV] tinggi, and pressure
support [PS]) biasanya digunakan untuk 24 jam pertama karena
otot pernapasan kelelahan biasa terjadi. Level Positive end-
expiratory pressure (PEEP) lebih dari 5 cm H2O mungkin
diperlukan jika kadar Fio2 di atas 0,5 diperlukan untuk
menghilangkan hipoksemia. Pantau dengan cermat status
kardiovaskular selama peningkatan PEEP, yang dapat menurunkan
aliran balik vena dan curah jantung. Lakukan analgesia dan sedasi
untuk kenyamanan pasien. Blokade neuromuskuler mungkin
diperlukan pada awalnya untuk mencegah disinkroni ventilator dan
untuk memaksimalkan pertukaran gas.
4) Selama suction, amati dengan cermat tanda dan gejala komplikasi:
oksigenasi (Spo2, Svo2), aritmia jantung, gangguan pernapasan
(bronkospasme, peningkatan laju pernapasan), peningkatan tekanan
14
darah atau tekanan intrakranial, kecemasan, nyeri, atau perubahan
status mental. Hiperoksigenasi dengan oksigen 100%
menggunakan manual resuscitation bag (MRB) yang
menghasilkan 100% O2 sebaik katup PEEP ketika tingkat
ventilator PEEP lebih dari 5 cm H2O dan / atau gunakan tombol
manual 100% Fio2 pada ventilasi. Suction hanya boleh dilakukan
jika ada indikasi klinis, dan tidak pernah dalam jadwal rutin.
Penggunaan kateter hisap in-line dianjurkan karena kateter tidak
mempengaruhi oksigenasi secara dramatis seperti pemutusan
sambungan lengkap dan mengurangi potensi kontaminasi dari
klinisi yang melakukan suction.
5) Sebelum pemindahan ke dalam rumah sakit, pastikan kecukupan
peralatan pendukung ventilasi untuk menjaga stabilitas
kardiopulmoner. Verifikasi bahwa PEEP pada peralatan
transportasi dipertahankan. Beberapa ventilator yang digunakan
untuk transportasi tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan
mode ventilasi yang lebih canggih (misalnya, PS, rasio I: E
terbalik, pelepasan tekanan, kontrol volume yang diatur tekanan).
Oleh karena itu, ketika beralih dari mode lanjutan ke mode yang
lebih tradisional sebelum pengangkutan, berikan waktu "stabilisasi"
singkat sebelum meninggalkan unit perawatan kritis.
b. Mengobati Keadaan Penyakit yang Mendasari
Lakukan koreksi penyebab gagal nafas secepat mungkin.
c. Mengurangi Kecemasan
Pertahankan lingkungan yang tenang dan mendukung untuk
menghindari eskalasi kecemasan yang tidak perlu. Berikan penjelasan
singkat tentang kegiatan dan pendekatan yang dilakukan untuk
meredakan gagal nafas. Kewaspadaan dan kehadiran penyedia layanan
kesehatan selama periode cemas sangat penting untuk menghindari
kepanikan pasien dan anggota keluarga yang berkunjung. Ajarkan
pernapasan diafragma untuk memperlambat laju dan meningkatkan
kedalaman pernapasan. Letakkan satu tangan di perut pasien. Anjurkan
15
pasien untuk menarik napas dalam-dalam, menyebabkan tangan di perut
terangkat. Selama pernafasan, minta pasien untuk merasakan tangan di
perut turun ke arah tulang belakang. Jelaskan bahwa dada harus
bergerak sedikit. Setelah satu atau dua menit, minta pasien untuk
meletakkan tangannya di perut untuk melanjutkan latihan. Jika perlu,
berikan dosis anxiolytics ringan (yaitu, lorazepam atau diazepam) yang
tidak menekan pernapasan.
d. Mencegah dan Mengelola Komplikasi
1) Aspirasi paru: Pastikan tabung manset endotrakeal mengembang
dengan benar setiap saat. Lihat strategi pencegahan tambahan
untuk pneumonia terkait ventilator (VAP).
2) Perdarahan gastrointestinal (GI): Lindungi mukosa lambung pada
pasien ventilator dengan menggunakan profilaksis penyakit ulkus
peptikum dan / atau pemberian selang.
3) Barotrauma: Hindari peningkatan tekanan jalan napas yang tidak
perlu (misalnya, pasien / ventilator tidak sinkron, batuk berlebihan)
dan kaji tanda dan gejala pneumotoraks, pneumomediastinum, dan
komplikasi barotrauma lainnya.
4) Volutrauma: Mencegah kerusakan alveolar akibat volume tidal
yang berlebihan.
16
a. Terapi oksigen hidung aliran tinggi (HFNO) (di ICU): HFNO adalah
terapi yang direkomendasikan untuk hipoksia terkait penyakit COVID-
19, selama staf memakai APD yang ditularkan melalui udara secara
optimal. Risiko penularan melalui udara ke staf rendah dengan sistem
HFNO baru yang dipasang dengan baik saat APD yang optimal dan
tindakan pencegahan pengendalian infeksi lainnya sedang digunakan.
Ruang tekanan negatif lebih disukai untuk pasien yang menerima terapi
HFNO. Pasien dengan hiperkapnia yang memburuk, asidemia,
kelelahan pernafasan, ketidakstabilan hemodinamik atau mereka
dengan status mental yang berubah harus dipertimbangkan untuk
ventilasi mekanis invasif dini jika sesuai.
b. Ventilasi non-invasif: Penggunaan ventilasi non-invasif (NIV) rutin
tidak disarankan. Pengalaman saat ini menunjukkan bahwa NIV untuk
COVID-19 gagal napas hipoksia dikaitkan dengan tingkat kegagalan
yang tinggi, intubasi tertunda, dan kemungkinan peningkatan risiko
aerosolisasi dengan pemasangan masker yang buruk. Pasien yang
memburuk harus dipertimbangkan untuk intubasi endotrakeal dini dan
ventilasi mekanis invasif. Jika NIV sesuai untuk presentasi klinis
alternatif COVID-19 (misalnya COPD bersamaan, APO), ini harus
diberikan dengan menggunakan tindakan pencegahan yang sama seperti
untuk HFNO. Kamar single bertekanan negatif lebih disukai untuk
pasien yang menerima NIV. Untuk semua pasien yang menerima NIV,
tentukan rencana yang jelas untuk kegagalan pengobatan.
c. Ventilasi mekanis: Ventilasi mekanis pelindung paru-paru (MV)
direkomendasikan untuk pengelolaan gagal napas akut. Ventilasi
mekanis harus digunakan dengan menggunakan strategi volume tidal
rendah (perkiraan 4-8ml / kg berat badan) dan membatasi tekanan
plateu hingga kurang dari 30 cmH2O. Hiperkapnia permisif biasanya
dapat ditoleransi dengan baik dan dapat mengurangi volutrauma.
Tingkat PEEP yang lebih tinggi (lebih dari 15 cmH2O)
direkomendasikan. Mode ventilasi alternatif seperti APRV dapat
dipertimbangkan berdasarkan preferensi dokter dan pengalaman lokal.
17
Filter virus (bukan HME) harus digunakan, dan sirkuit harus
dipertahankan selama diizinkan (bukan perubahan rutin).
d. Blokade neuromuskuler (NMB): NMB dapat dipertimbangkan dalam
keadaan hipoksia atau hiperkapnia yang memburuk dan dalam situasi di
mana dorongan pernapasan pasien tidak dapat dikelola dengan sedasi
saja yang mengakibatkan disinkronisasi ventilator dan dekruitment
paru.
e. Posisi prone: Laporan saat ini menunjukkan ventilasi rawan efektif
dalam meningkatkan hipoksia yang terkait dengan COVID-19). Ini
harus dilakukan dalam konteks pedoman rumah sakit yang mencakup
APD yang sesuai untuk staf, dan yang meminimalkan risiko kejadian
buruk, misalnya ekstubasi tidak disengaja.
f. Manajemen cairan: Sebuah strategi manajemen cairan restriktif
direkomendasikan. Tujuannya adalah untuk mengurangi air paru
ekstravaskular. Jika memungkinkan hindari cairan intravena
'pemeliharaan', nutrisi enteral volume tinggi, dan bolus cairan untuk
hipotensi.
g. Pembebasan dari ventilasi mekanis: Protokol penyapihan standar harus
diikuti. HFNO dan / atau NIV (masker wajah yang dipasang dengan
baik dengan anggota badan inspirasi dan ekspirasi terpisah) dapat
dianggap sebagai terapi penghubung pasca ekstubasi tetapi harus
dilengkapi dengan APD udara yang ketat.
h. Trakeostomi: Ini merupakan prosedur aerosolisasi dan harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan klinis. APD yang
optimal harus digunakan setiap saat.
i. Pengisapan: Disarankan kateter pengisap inline tertutup. Setiap
pemutusan pasien dari ventilator harus dihindari untuk mencegah
kerusakan paru dan aerosolisasi. Jika perlu, tabung endotrakeal harus
dijepit dan ventilator dinonaktifkan (untuk mencegah aerosolisasi).
j. Nebulisasi: Penggunaan nebuliser tidak dianjurkan dan penggunaan
inhaler dosis terukur lebih disukai jika memungkinkan.
18
k. Bronkoskopi: Bronkoskopi diagnostik tidak dianjurkan. Hal ini tidak
diperlukan untuk mendiagnosis pneumonia virus dan harus dihindari
untuk meminimalkan risiko aerosolisasi. Sampel aspirasi trakea untuk
diagnosis COVD-19 sudah cukup dan BAL biasanya tidak diperlukan.
l. Antibiotik: Meskipun pasien diduga menderita COVID-19, antibiotik
empiris yang sesuai tetap harus diberikan dalam waktu satu jam setelah
identifikasi sepsis atau syok septik. Beberapa pasien dengan infeksi
COVID-19 akan datang dengan infeksi saluran pernapasan bawah
akibat bakteri sekunder.
m. Terapi Penyelamatan: Nitrit oksida dan prostasiklin yang dihirup: Tidak
ada bukti untuk penggunaan rutin oksida nitrat inhalasi, prostasiklin
atau vasodilator paru selektif lainnya pada gagal napas akut. Namun,
selama wabah penyakit menular yang muncul ketika sumber daya habis,
oksida nitrat dan prostasiklin yang dihirup dapat dianggap sebagai
ukuran temporising ketika pasien mengalami hipoksemia refrakter
meskipun rawan ventilasi, atau dengan adanya kontraindikasi terhadap
ventilasi rawan atau ECMO.
n. Manuver rekrutmen: Meskipun bukti saat ini tidak mendukung
penggunaan rutin manuver rekrutmen pada ARDS non-COVID-19, hal
itu dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-19 berdasarkan kasus
per kasus. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pasien
COVID-19 dapat merespons intervensi ini dengan baik dan
penerapannya mungkin sesuai jika pasien belum merespons intervensi
lain. Mereka hanya boleh disediakan oleh dokter yang berpengalaman
dalam melakukan manuver ini, menangani potensi komplikasi dan
menggunakan sistem tertutup.
o. Dukungan kehidupan ekstrakorporeal (ECLS): VV-ECMO dini tidak
disarankan. Laporan saat ini menunjukkan bahwa pasien COVID-19
merespons dengan baik strategi ventilator yang tercantum di atas.
Kriteria pemilihan pasien yang ditetapkan untuk penggunaan VV-
ECMO pada gagal napas berat harus diterapkan, dengan pemberian
19
ECLS di pusat ahli dengan keahlian dan pengalaman yang memadai.
Diskusikan dengan spesialis ECMO lebih awal.
9. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada kegagalan napas adalah cedera paru
akibat ventilator (VILI). Ventilasi mekanis adalah perawatan yang
menyelamatkan jiwa. Namun, seperti kebanyakan intervensi medis, ventilasi
mekanis dikaitkan dengan potensi komplikasi. Di antaranya, cedera paru
akibat ventilator (VILI) adalah 'istilah umum' yang mengidentifikasi
kerusakan paru fungsional dan anatomis yang dapat berkembang dengan
ventilasi mekanis. Ini berkisar dari perubahan matriks paru mikroskopis atau
derajat variabel edema paru, hingga barotrauma atruptur berat (yaitu
pneumotoraks). VILI berasal dari interaksi antara pasien dan ventilator.
20
(bunyi udara beriringan dengan denyut jantung menandakan udara
di mediastinum), hipertensi atau hipotensi
2) Sistem pernafasan. Gejala: riwayat trauma dada, penyakit paru
kronis, inflamasi paru , keganasan, batuk. Tanda: takipnea,
peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori, penurunan
bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di
atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan
(hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak seimbang, reduksi
ekskursi thorak.
3) Sistem integumen. Sianosis, pucat, krepitasi sub kutan, gangguan
mental, cemas, gelisah, bingung, stupor.
4) Sistem musculoskeletal. Edema pada ektremitas atas dan bawah,
kekuatan otot dari 2- 4.
5) Sistem endokrin. Terdapat pembesaran kelenjar tiroid
6) Sistem gastrointestinal. Adanya mual atau muntah, kadang disertai
konstipasi.
7) Sistem neurologi. Sakit kepala
8) Sistem urologi. Penurunan haluaran urine
9) Sistem reproduksi. Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada
gangguan pada rahim/serviks.
10) Sistem indera. Penglihatan: penglihatan buram, diplopia, dengan
atau tanpa kebutaan tiba-tiba; Pendengaran: telinga berdengung;
Penciuman: tidak ada masalah dalam penciuman; Pengecap: tidak
ada masalah dalam pengecap; Peraba: tidak ada masalah dalam
peraba, sensasi terhadap panas/dingin tajam/tumpul baik.
11) Sistem abdomen. Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam.
12) Nyeri/Kenyamanan. Gejala: nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat
napas dalam, dapat menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan
tiba-tiba saat batuk. Tanda: Melindungi bagian nyeri, perilaku
distraksi, ekspresi meringis
13) Keamanan. Gejala: riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat
radiasi/kemoterapi
14) Penyuluhan/pembelajaran. Gejala: riwayat factor resiko keluarga
dengan tuberculosis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya
fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas.
21
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume
penurunan ekspansi paru.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan
kemungkinan thrombus atau emboli.
e. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT
f. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas
stress.
3. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi
jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Airway suction
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan jalan nafas efektif. 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
Kriteria Hasil suctioning
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
nafas yang bersih suctioning.
2. Tidak ada sianosis dan dyspnea 3. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang suctioning
3. Mampu mengeluarkan sputum
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
4. Mampu bernafas dengan mudah, dilakukan.
Menunjukkan jalan nafas yang paten
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal
5. Irama nafas regular untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
6. Frekuensi pernafasan 16-20x/menit, SPO2 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan
> 98% tindakan
7. Tidak ada suara nafas abnormal) 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
dalam setelah kateter dikeluarkan dari
8. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah nasotrakeal
factor yang dapat menghambat jalan nafas
8. Monitor status oksigen pasien
22
apabila pasien menunjukkan bradikardi,
peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management
23
4. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien 4. Pasang mayo bila perlu
tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
tidak ada suara nafas abnormal)
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
5. Tanda Tanda vital dalam rentang normal suction
(tekanan darah, nadi, pernafasan)
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
6. mudah suara tambahan
7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan cuping 8. Lakukan suction pada mayo
hidung dan pursed lips
9. Berikan bronkodilator bila perlu
Oxygen therapy
24
bandingkan
6. Mampu bernafas dengan mudah 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan cuping 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
hidung dan pursed lips tambahan
25
10. Barikan pelembab udara
Respiratory Monitoring
1. Monitro IV line
26
7. Lakukan terapi oksigen
27
3. Jumlah leukosit dalam batas normal meninggalkan pasien
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
4. Batasi pengunjung
28
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
sesuai resep
6. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas stress.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
29
membahayakan
30
BAB III ANALISIS KASUS
Seorang laki-laki, Tn. K berusia 35 tahun, pekerjaan sebagai pegawai swasta, suku Jawa,
beragama Islam, berdomisili di Karawang Timur, dirujuk ke IGD RSUD Karawang dengan
diagnosis near drowning dan mengeluh sesak napas. Sesak napas dirasa sejak 3 jam SMRS.
Sesak napas setelah pasien tenggelam di Irigasi . Pasien tenggelam kira-kira 25 menit. Ketika
dikeluarkan dari irigasi pasien batuk disertai sedikit darah dan lumpur. Pasien pingsan dan
kebiruan. Pasien segera dibawa ke puskesmas terdekat , setelah diberi oksigen pasien sempat
sadar.
Breathing : frekuensi nafas 44×/menit, , inspeksi pergerakan dada simetris. Pada palpasi
didapatkan fremitus raba menurun pada kedua lapang paru. Perkusi didapatkan keredupan pada
kedua lapang paru. Auskultasi didapatkan suara bronkovesikuler pada kedua lapang paru.
Didapatkan ronki basah halus pada kedua lapang paru,
Circulation : tekanan darah 100/60 mmHg, , nadi 130×/menit, Pada pemeriksaan jantung, suara
jantung S1 dan S2 tunggal, tidak didapatkan bising jantung maupun irama galop.
Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, tidak didapatkan massa intra abdomen
dan nyeri tekan, serta bising usus dalam batas normal. Pemeriksaan anggota gerak tidak
didapatkan edema, tidak didapatkan jari tabuh, serta tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah
bening di ketiak maupun lipatan paha.
31
Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium darah didapatkan : Hb 16,6 g/dL, SGOT 38/μL,
Leukosit 3.300/ μL, SGPT 15/μL, PLT 409.000/μL, Albumin 3,73 g/dL. Granulosit 76,6%, BUN
7,3 mg/dL, Hct 48,1%, SK 0,86%, PTT 12,3 detik, Natrium 133 mmol/L, APTT 27,9 detik,
Kalium 3,3 mmol/L, GDA 286 mg/dL, Klorida 98 mmol/L. Pemeriksaan Analisa gas darah
(Oksigen Jackson Rees 10 lpm): pH 7,17, pCO2: 51 mmHg, pO2 80 mmHg, HCO3 16,6
mmol/L, BE - 9,9 dan SO2 92,2%.
Berdasarkan pemeriksaan foto toraks didapatkan perselubungan pada kedua lapang paru, dan
berkonsultasi pada SMF Ilmu Penyakit Jantung, didapatkan edema paru non cardiogenic yang
bisa disebabkan penyakit dasarnya (drowning), Pasien didiagnosis sementara Sesak napas.
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Nama : Tn. K
Tgl.Lahir : 14 April
PENGKAJIAN 1986
KEPERAWATAN JK : Laki -Laki
DI RUANG IGD No RM : 7782398
Alamat : Kampung Muara
Jonggol
RIWAYAT KESEHATAN
Alasan Masuk Rumah Sakit :
Seorang laki-laki, Tn. K berusia 35 tahun, pekerjaan sebagai pegawai swasta, suku Jawa, beragama
Islam, berdomisili di Karawang Timur, dirujuk ke IGD RSUD Karawang dengan diagnosis near
drowning dan mengeluh sesak napas. Sesak napas dirasa sejak 3 jam SMRS. Sesak napas setelah
32
pasien tenggelam di Irigasi . Pasien tenggelam kira-kira 25 menit. Ketika dikeluarkan dari irigasi
pasien batuk disertai sedikit darah dan lumpur. Pasien pingsan dan kebiruan. Pasien segera dibawa
ke puskesmas terdekat , setelah diberi oksigen pasien sempat sadar
Breathing ( Pernafasan )
Circulation ( Sirkulasi )
33
Keluhan Lain: Pada pemeriksaan jantung, suara jantung S1 dan S2 tunggal, tidak didapatkan bising
jantung maupun irama galop
Disability ( Kesadaran )
Keluhan Lain : … …
Eksposure
SECONDARY SURVEI
34
Makan Minum Terakhir:
Even/Peristiwa Penyebab:
Pasien sedang mengendarai sepedah motor dari arah berlawanan
Tanda Vital :
TD : 100/60 mmHg N : 130x/menit S: 35oC RR : 44x/menit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
35
pCO2 51 mmHg 35.0-45.0
pO2 80 mmHg 80-100
HCO3 16,6 Mmol/L 22-26
SaO2 89 % 95%
1. EKG
Nornal: Terdapat perubahan irama jantung
2. Radiologi
Hasil : Terdapat perselubungan pada kedua lapang paru , edema paru non cardio
TERAPI
36
- GCS (E2M3V3)
- Ronchi +/+
- Dispnea Terisinya Alveoli Oleh cairan
- WOB +
- Spo2 : 89%
- RR : 44x/menit Penurunan ekspansi paru
- Nadi: 130x/menit
PCO2 : 51 mmhg
- Po2 : 80 mmhg
2. DS : Pasien tenggelam Gangguan pertukaran
gas
DO :
- Kesadaran Aspirasi Cairan Masuk ke saluran
Somonolen pernafasan
- GCS (E2M3V3)
- Ronchi +/+
- Dispnea Terisinya Alveoli Oleh cairan
- WOB +
- Spo2 : 89%
- RR : 44x/menit Penurunan ekspansi paru yang
- Nadi: 130x/menit mengakibatkan alveoli tidak akan
- AGD : bertemu dengan kapiler
PH : 7.17 mmhg
PCO2 : 51 mmhg
Po2 : 80 mmhg
HCO3 : 16,6 Mmol/
L
37
- Identifkasi efek
perubahan posisi
terhadap status
pernafasan
Terapuetik
- Pertahankan
kepatenan jalan nafas
- Berikan oksigenasi
sesuai kebutuhan
Kolaborasi
- Pasang ETT
- Pasang Alat bantu
nafas / ventilator jika
perlu
Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan Tindakan Pemantauan Respirasi
Keperawatan selama 1 x 24 jam
masalah Gangguan Spontan Dapat Observasi
teratasi dengan Kriteria Hasil
1. Frekuensi Nafas dalam batas Monitor frekuensi,
Normal ( 16-24 x/menit ) irama, kedalaman dan
2. Penggunaan WOB menurun
upaya napas
3. SaO2 dalam batas Normal ( >
96%) Monitor pola napas
4. PaO2 dalam Batas Normal
(seperti bradipnea,
(80-100)
5. PaCO2 dalam Batas Normal takipnea,
(35.0-45.0) hiperventilasi,
kusmaul, sheyne-
stokes, bot, ataksik)
Monitor kemampuan
batuk efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan napas
Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
38
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray
toraks
Dukungan ventilasi
Manajemen ventilasi
mekanik
Pencegahan aspirasi
Pemberian obat
Manajemen Asam-
Basa
Manajemen jalan
napas
Pengambilan sampel
darah arteri
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kegagalan pernapasan secara luas dapat diklasifikasikan menjadi tipe I atau tipe II
(hipoksia saja atau hipoksia, gagal napas hiperkapnikus). Tingkat keparahannya dapat
diklasifikasikan menggunakan indeks klinis dan numerik oksigenasi dan ventilasi.
39
2. Eskalasi awal pasien ke area perawatan yang ditingkatkan sangat penting,
memungkinkan inisiasi dukungan non-invasif tepat waktu dalam bentuk NHFO atau
ventilasi mekanis non-invasif.
3. Ventilasi mekanis invasif, sementara menyelamatkan nyawa, jika diterapkan secara
tidak hati-hati menempatkan pasien pada risiko cedera paru lebih lanjut dan komplikasi.
4. Dalam kasus yang paling parah posisi prone dini dan blokade neuromuskuler
mengurangi cedera paru dan kematian secara keseluruhan
5. ECMO dan dukungan ekstrakorporeal harus dipertimbangkan sejak dini untuk pasien
dengan proses penyakit yang reversibel tidak menanggapi terapi awal.
6. Penatalaksanaan gagal napas akut bervariasi menurut etiologinya. Pemahaman yang
jelas tentang fisiologi pernapasan dan mekanisme patofisiologis dari gagal napas adalah
wajib untuk menangani pasien ini. Tingkat kelainan nilai gas darah arteri merupakan hasil
keseimbangan antara tingkat keparahan penyakit dan tingkat kompensasi oleh sistem
kardiopulmoner. Gas darah normal tidak berarti tidak adanya penyakit karena sistem
homeostatis dapat mengimbangi. Namun, nilai gas darah arteri yang abnormal
mencerminkan penyakit tanpa kompensasi yang mungkin mengancam nyawa.
4.2 Saran
Dengan mempelajari lebih dalam mengenai pengelolaan kasus gagal nafas, diiharapkan
tenaga medis dapat melakukan tindakan pengelolaan dengan memperhatikan algoritme
terbaru dan selalu mengupdate ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Burns. (2014). AACN: Essentials of Critical Care Nursing (Vol. 1). Virginia: MC graw hill
medical.
Castillo. (2015). Acute Respiratory Failure: Pathophysiological Basis From A Multidisciplinary
Clinical Approach. The Open Respiratory Medicine Journal, 9(2), 81-81.
Lamba, T. S., Sharara, R. S., Leap, J., & Singh, A. C. (2016). Management of Respiratory
Failure. Crit Care Nurs Q, 39(2), 94-109. doi:10.1097/CNQ.0000000000000103
40
Marini, J. J., & Gattinoni, L. (2020). Management of COVID-19 Respiratory Distress. JAMA.
doi:10.1001/jama.2020.6825
Muttaqin, A. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Slattery, M., Vasques, F., Srivastava, S., & Camporota, L. (2020). Management of acute
respiratory failure. Medicine, 48(6), 397-403. doi:doi:10.1016/j.mpmed.2020.03.010
41