KEPERAWATAN KRITIS I
MAKALAH
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniannya kepada penulis, tak lupa solawat berserta salam semoga
tercurah limpah kepada Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Kegawatdaruratan pada Acute Kidney Injury”.
Akhir kata penulis juga mohon maaf kepada semua pihak dan juga sumbang
saran serta kritiknya akan penulis terima dengan hati terbuka agar penyusunan
selanjutnya akan lebih baik.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Apabila hanya 10% dari
ginjal yang berfungsi, pasien dikatakan sudah sampai pada penyakit ginjal end
stage renal disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir. Awitan gagal
ginjal mungkin akut, yaitu berkembang sangat cepat dalam beberapa jam atau
dalam beberapa hari. Gagal ginjal juga dapat kronik, yaitu terjadi perlahan dan
berkembang perlahan, mungkin dalam beberapa tahun. Di Amerika Serikat,
sekitar 5% dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami AKI dan 30%
dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif menderita AKI. Pada
pasien AKI, 50% mengalami oliguria dan 80% pasien ini meninggal. Dari
kasus AKI intrinsik, 90% adalah nekrosis tubular akut.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan Instruksional Umum :
Setelah mempelajari kasus kegawatan pada sistem perkemihan yakni AKI
(Acute Kidney Injury), diharapkan mahasiswa/i mampu menjelaskan konsep
kegawatan pada pasien AKI.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal
(AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD).
Dahulu, hal diatas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi
operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal
akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu
menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian
untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang
diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda
biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja.
2. Klasifikasi Etiologi
2.1 Prerenal
a. Hipovolemia
Perdarahan
Dehidrasi
Muntah, diare dan diaforesis
Pengisapan lambung
Diabetes melitus dan diabetes insipidus
Luka bakar dan drainase luka
Sirosis
Pemakaian diuretik yang tidak sesuai
Peritonitis
b. Penurunan Curah Jantung
Gagal jantung kongestif
Infark miokard
Tamponade jantung
Disritmia
c. Vasodilatasi Sistemik
Sepsis
Asidosis
Anafilaksis
d. Hipotensi dan Hipoperfusi
Gagal jantung
Syok
2.2 Intrarenal
a. Kerusakan Nefron
Nekrosis tubular akut
glomerulonefritis
b. Perubahan Vaskular
Koagulopati
Hipertensi malignant
Stenosis
c. Nefrotoksin
Antibiotik (gentamisin, tobramisin, neomisin, kanamisin dan
vankomisin)
Kimiawi (karbon tetraklorida dan timbal)
Logam berat (arsenik dan merkuri)
Nefritis interstitial akibat obat (tetrasiklin, furosemid, tiasid dan
sulfanomid)
2.3 Postrenal
a. Obstruksi Ureter dan Leher Kandung Kemih
Kalkuli
Neoplasma
Hiperplasia prostat
mL
eGFR (
menit 2
1,73 )
m =175( Scr )−1.54 ×(usia)−0.203 × ( 0,742 pada perempuan ) × 1,210 pada ras African− American
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada AKI seperti : pucat (anemia), oliguria, edema,
hipertensi, muntah, letargi, gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung
kongestif atau edema paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, hematemesis
dengan atau tanpa melena akibat gastritis atau tukak lambung, kejang,
kesadaran menurun sampai koma.
Fase Acute Kidney Injury :
Fase oliguria atau anuria : jumlah urine berkurang sampai 10-30 ml/ hari,
dapat berlangsung 4-5 hari, kadang-kadang sampai 1 bulan. Terdapat gejala
uremia nyata seperti pusing, muntah, apatis sampai somnolen, haus, nafas
kussmaul, kejang dan lainnya. Ditemukan hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, hiponatremia dan asidosis metabolik.
Fase diuretik : poliuria, dapat timbul dehidrasi. Berlangsung sekitar 2 minggu.
Fase penyembuhan atau pascadiuretik : poliuria dan gejala uremia berkurang.
Faal glomerulus dan tubulus membaik dalam beberapa minggu, tetapi masih
ada kelainan kecil. Yang paling lama terganggu adalah daya mengkonsentrasi
urine. Kadang-kadang faal ginjal tidak menjadi normal lagi dan albuminuria
tetap ditemukan.
4. Patofisiologi
Postrenal
Prerenal Intrarenal
Vasodilatasi Hyperplasia
Hipovolemia kalkuli
sistemik Kerusakan Nefrotoksik prostat
↓ curah nerfon/ Perubahan
Hipotensi & vaskuler Neoplasma
jantung tubular
hipoperfusi
↓ TD Kongesti yg menyebabkan
tekanan retrogard melalui system
Laju GFR↓
kolegentes dan nefron
Memperbesar reabsorsi
Pembuangan dari Menekan dan
tonusitas
dari cairan tubular distal AKI
interstisium medulla merusak nefron
medular
renalis ↓
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1 Pemeriksaan Diagnosis
a. Rontgen Thorax
b. Ultrasonografi ginjal
c. Test Doppler
d. CT Scan
e. ECG (Electrocardiogram)
f. CVP (Central Venous Pressure)
g. Renal Arteriogram
5.2 Pemeriksaan Laboratorium
a. Lab darah lengkap : WBC, RBC, HCT, Platelet
b. Analisa Elektrolit : Sodium, potassium, calsium, kalium, natrium
c. AGD : PCO2, PO2, HCO3, Saturasi O2, PH
d. BUN, Creatinin, klirens kreatinin
e. Enzim hepar : SGOT, SGPT
f. Urinalisis : berat jenis urine, osmolalitas dan natrium urine
6. Penatalaksanaan Kegawatan
Penatalaksanaan utama kerusakan fungsi ginjal diarahkan pada penatalaksanaan
khusus dan adekuat dari keadaan hipoperfusi. Ketiga penyebab yang paling pada penurunan
fungsi ginjal adalah penurunan curah jantung, perubahan tahanan vaskuler perifer, dan
hipovolemia. Faktor-faktor seperti disritmia jantung, infark miokard akut, dan temponande
prikardial akut,semuanya ini menurunkan curah jantung, mungkin berhubungan dengan
penurunan aliran darah ginjal. Oleh karenanya reversibilitas (kemampuan untuk kembali ke
keadaan normal) dari gagal ginjal tergantung pada kemampuan untuk meningkatkan fungsi
jantung.
Pada kondisi ini, curah jantung biasanya terganggu secara akut dan sangat payah. Bila
curah jantung terganggu sampai batas yang lebih kecil selama periode waktu yang lama,
bagaimana pun, terjadi gambaran gagal jantung kongestif. Sekali lagi, disini terjadi penurunan
perfusi ginjal meskipun sampai batas yang terkecil. Gambaran utama dari keadaan ini, dari
aspek ginjal, makin menyerap natrium, yang mengakibatkan peningkatan volume cairan
ekstraselular, kenaikan tekanan vena sentral, dan edema.
Beberapa mekanisme bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi tubular
terhadap natrium. Pertama, terjadi penurunan lebih besar dalam aliran darah ginjal daripada
dalam filtrasi glomerulus, membawa ke mekanisme yang telah dibicarakan sebelumnya.
Kedua, telah diduga bahwa aliran darah ke kortek superficial menurun, sementara aliran darah
kearea kortikal dalam meningkat. Selain itu, diperkirakan bahwa nefron pada region kortikal
dalam menyerap natrium terfiltrasi dalam presentase yang lebih besar daripada nefron di
korteks luar ginjal.
Faktor-faktor lain termasuk peningkatan reabsorpsi natrium tubulus distal dan
proksimal. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi natrium
tubulus proksimal sebagian besar tergantung pada peningkatan tekanan onkotik
posglomerular; namun aldosteron paling bertanggung terhadap peningkatan reabsorpsi
natrium tubulus distal. Dapat dilihat bahwa berbagai mekanisme yang bertanggung jawab
terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubular pada gagal jantung kongesti.
Terapi diarahkan terutama pada meningkatkan ekskresi natrium urine. Kadang-
kadang, keadaan ini dapat diselesaikan dengan memperbaiki curah jantung , yang selanjutnya
meningkatkan perfusi ginjal. Namun hal ini tidak selalu memungkinkan. Diuretic sering
digunakan untuk meningkatkan ekskresi natrium. Agen ini secara langsung menghambat
reabsorpsi natrium dalam tubulus ginjal. Potensi diuretic ditentukan terutama oleh tempatdi
tubulus ginjal dimana reabsorpsi natrium di hambat.
Kedua diuretic yang paling poten yang sekarang ada adalah furosemmid (Lasix;
Hoechst-Roussel Pharmaceuticals, Somerville, NJ) dan asam etakrinik (Edcrin; Merck Sharp
& Dohme, West Point, PA). Agen ini menghambat reabsorpsi natrium pada parsasenden ansa
Henle dan pada tubulus distal. Masih belum jelas apakah agen ini juga mempunyai efek pada
tubulus proksimal. Diuretic tiazid mempunyai kerja utama pada tubulus distal dan oleh
karenanya agen ini agak kurang poten daripada agen diatas.
Diuretic lain yang umum lain adalah spironokolakton (Aldactone; Searle
Laboratories, Chicago, IL), yang meningkatkan natrium urine dengan menghambat efek
aldosteron di tubulus ginjal. Spironolakton harus di gunakan dengan hari-hari pada pasien
dengan penurunan curah jantung dan perfusi ginjal yang lemah karena diuretic ini
menurunkan ekskresi kalium dan dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam hidup
pada pasien seperti ini. Keadaan yang sama juga terjadi untuk triamteren, diuretic hemat
kalium.
Penatalaksanaan Nekrosis Tubular akut :
Masih ada perdebatan yang tajam berkenaan tentang efektifitas manitol dan
furosemid dalam mencegah AKI. Pada kenyataannya, berapa bukti telah dikumpulkan
yang menunjukkan bahwa furosemid secara nyata dapat meningkatkan toksisitas
agen-agen nefrotoksik tertentu. Namun kebanyakan peneliti setuju bahwa percobaan
furosemid harus diberikan intravena sampai 500 mg. Seringkali hal ini dapat
memperbaiki oliguria menjadi AKI nonoliguria, yang secara klinis lebih mudah
ditangani.
a) Penggantian volume
Setelah terjadi NTA, pertimbangan utama adalah pemeliharaan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Selama masa oliguria, volume urine biasanya kurang dari
300 ml perhari. Kehilangan yang tidak terlihat rata-rata 800-1000 ml perhari dan
sebenarnya bebas elektrolit.
Secara umum, pengantian cairan harus mendekati 500 ml perhari. Selain air
akan dari air yang terdapat dalam makanan di tambah air oksidari dari
metabolisme. Karena pengguanaan protein dan lemak tubuh, pasien idealnya harus
kehilangan 2,2 lb (1kg) perhari untuk mempertahankan keseimbangan air. Bahaya
kelebihan air dengan akibat gagal jantung kongesti dan edema paru terdapat
sepanjang periode oliguria.sebaliknya, selama NTA fase diuretik, pemborosan
natrium lebih jauh dapat terjadi berkaitan dengan peningkatan volume urine. Itulah
sebabnya perlu untuk mempertahankan pencatatan asupan dan haluaran secara
akurat dan penimbangan berat badan tiap hari pada kedua fase. Hal ini teruama
penting bila ada kesempatan lain untuk kehilangan cairan dan elektrolit seperti
muntah, diare, penghisapan nasogastrik, dan drainase oleh dari fistula. Secara
umum, kehilangan terjadi sebagai akibat dari masalah-masalah ini harus di ganti
penuh.
b) Terapi Nutrisi
Selain penggantian cairan dan elektrolit ,masukan di arahkan pada pensuplaian
pasien dengan kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak untuk menurunkan
pemecahan protein tubuh. Karena 1 gr urea dibentuk setiap 6 gr protein yang di
metabolisme, asupan protein biasanya dibatasi untuk mencegah peningkatan BUN
yang terlalu cepat.
Dengan pengembangan tim nutrisi ,telah terjadi kecenderungan berkembangan
untuk memberikan lebih banyak kalori dan protein dalam bentuk parenteral atau
hiperalimensasi enteral dalam upaya untuk meningkatkan kondisi umum pasien
dan untuk mempercepat pemulihan fungsi ginjal. Diit mengandung 2000 sampai
3000 kalori/hari dengan 40 sampai 60 gr protein atau asam amino esensial telah
digunakan dengan frekuensi yang meningkat. Diet ini mengandung lebih dari 500
ml cairan yang di anjurkan sebelumnya. Oleh karenanya,hiperalimentasi
memerlukan lebh dialisis ,khususnya pada periode oliguria, sering dalam
kombinasi dengan hemofiltrasi.
c) Kontrol asidosis
Asidosis metabolik dengan keparahan sedang biasanya terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal .hal ini merupakan akibat dari ketidakmampuan ginjal untuk
mengekskresikan ikatan asam (H2PO4) yang dihasilkan dari proses metabolik
normal. Asidosis biasanya dapat dikontrol dengan mudah dengan memberi pasien
natrium bikarbonat 30 sampai 60 mEq setiap hari tetapi tidak memerlukan
pengobatan kecuali HCO3- turun dibawah 12 sampai 15 mEq/L.
d) Kontrol Hiperkalemia
7. Komplikasi AKI
Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait
AKI yang ringan dan sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya
saat awal. Pada tabel berikut dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan
penangannya untuk AKI.
Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<
1L/hari)
Hiponatremia Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari
infuse larutan hipotonik
Hiperkalemia Batasi asupan diet K (<40 mmol/hari),
hindari diuretic hemat kalium
Asidosis metabolic Natrium bikarbonat ( upayakan
bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH
>7.2 )
Hiperfosfatemia Batasi asupan diet fosfat (<800
mg/hari)
Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,
kalsium karbonat) Kalsium karbonat;
kalsium glukonat (
10-20 ml larutan 10% )
Hipokalsemia Batasi asupan protein (0,8-1
g/kgBB/hari) jika tidak dalam kondisi
katabolic
Nutrisi Karbohidrat 100 g/hari
Nutrisi enteral atau parenteral, jika
perjalanan klinik lama atau katabolik
8. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
Diagnosa
Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Perubahan perfusi Pasien akan stabil secara 1. Pantau TD, nadi, pernapasan,
jaringan b.d hipovolemia hemodinamik Tekanan Arteri Pulmonari
sekunder terhadap AKI (TAP), tekanan desak kapiler
pulmonari (TDKP), tekanan vena
sentral (TVS), curah jantung,
indeks jantung setiap jam sampai
stabil, kemudian setiap 2 jam.
2. Pantau laporan laboratorium (Na,
K, Hb, Ht, pemeriksaan
koagulasi SDP).
3. Pantau terhadap kekeringan
membran mukosa.
4. Pertahankan catatan asupan dan
haluaran.
5. Berat badan harian.
6. Berikan cairan dan darah sesuai
program dokter.
7. Pantau kelebihan cairan dan/
reaksi transfusi.
8. Timbang pasien setipa hari
9. Instruksikan untuk meningkatkan
masukan cairan 2000 ml/hari
10. Pantau tanda-tanda dan gejala
hiponatremia
11. Pantau haluaran urine untuk
volume yang adekuat setiap jam
sampai haluaran > 30 ml/hari,
kemudian setiap 2 jam lalu setiap
4 jam
12. Periksa berat jenis urine setiap
pergantian dinas. Laporkan
adanya abnormalitas
13. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan sirkulasi
(perubahan posisi, pertahankan
kehangatan)
14. Atau suhu dan warna kulit setiap
jam sampai stabil, kemudian
setiap 2 jam
15. Pantau adanya perubahan fungsi
mental (letargi, stupor)
16. Orientasikan kembali terhadap
realita sesering mungkin. Panggil
dengan namanya, beritahu pasien
nama anda, orientasikan terhadap
lingkungan sekitar.
Kelebihan volume Pasien akan 1. Amati haluaran urine
cairan b.d AKI, filtrasi mempertahankan 2. Catat dan kaji masukan dan
buruk dan masukan keseimbangan cairan haluaran
intravena Kondisi pasien akan 3. Kaji urine terhadap hematuria,
dipertahankan berat jenis.
4. Berikan keamanan bila terjadi
kenaikan kadar BUN dan
kreatinin
5. Pantau tanda-tanda dan
akumulasi toksik obat
6. Kaji bunyi paru terhadap krakles
dan edema perifer
BAB III
PEMBAHASAN
1. Tinjauan Kasus
Ny. R usia 62 tahun mengalami perdarahan hebat setelah tertusuk pisau oleh mantan
suaminya, kondisi sudah tidak sadarkan diri ketika di RS. Nafasnya pun pendek dan cepat,
sekitar 30x/menit. Setelah di berikan intervensi oleh tenaga kesehatan dari pemasangan
infus kateter dan oksigen, tenaga kesehatan melihat adanya penurunan produksi urin.. TD
90/ 60 mmHg. Nadi 115 x/ menit, suhu Badan 36,8 C.
1. Pengumpulan Data
a. Identitas klien
Nama :Ny.R
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Dx medis : shock hipovolemi
Tanggal masuk RS : 10-03-2020
Tanggal pengkajian : 11-03-2020
Alamat :jl.Kumbangsari IV no.12
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn.A
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Swasta
Alamat : jl.kumbangsari IV no.12
Hub.dengan klien : Anak
a. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : tidak sadar
2) Tingkat kesadaran
GCS : 3. coma
E=1
M=1
V=
TB = 162 cm
BB = 72 kg
3) Tanda-tanda vital
T : 90 / 50 mm Hg
N : 115x / menit
R : 30x / menit
S : 36,8ºC
4) Kepala
Inspeksi
Simetris, rambut tidak rontok, tidak ada tanda kekurangan gizi (rambut jagung),
rambut berwarna hitam, distribusi rambut merata, tidak ada alopesia.
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
5) Mata
Inspeksi
Simetris kika, sclera berwarna putih, konjungtiva anemis, pupil isokor, lapang
pandang 90º, tidak ikterik, edema (+)
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Fungsi
Penglihatan klien normal, terbukti klien dapat membaca name tag perawat dengan
jarak ± 30 cm
6) Telinga
Inspeksi
Bentuk dan posisi simetris kika, warna sama dengan kulit lain, integritas kulit
bagus, tidak pakai alat bantu dengar, tidak ada tanda infeksi dan tidak ada
serumen.
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Fungsi
Pendengaran klien baik, terbukti klien dapat mendengar gesekan kertas
7) Hidung
Inspeksi
Simetris kika,warna kulit sama dengan kulit lain, tidak ada polip, tidak ada secret,
tidak ada pernafasan cuping hidung
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada epitaksis
Fungsi
Penciuman klien baik terbukti dapat membedakan bau minyak kayu putih dan
alkohol
8) Mulut
Inspeksi
Mukosa bibir kering,tidak ada stomatitis, gigi lengkap, tidak ada tanda kekurangan
gizi, langit-langit utuh, opula baik
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Fungsi
Pengecapan klien baik, terbukti klien dapat membedakan rasa manis dan asin
9) Leher
Inspeksi
Warna sama dengan kulit lain, integritas kulit baik, simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar betah bening/tiroid
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
10) Dada
Inspeksi
Simetris, bentuk dan postur normal, warna kulit sama dengan kulit lainnya, tidak
ada edema
Auskultasi
Suara paru vesikuler
Perkusi
Suara paru normal
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, ekspansi simetris, teknik traktil premitus baik, tidak ada
benjolan
11) Abdomen
Inspeksi
Simetris, warna sama dengan kulit lain,
Auskultasi
Bising usus 8x/menit,
Palpasi
Tidak ada benjolan,tidak ada asites, ada nyeri tekan
Perkusi
Timpani
12) Reproduksi
Inspeksi
Terpasang kateter, simetris, hiperpigmentasi, haluaran urine sedikit
Palpasi
Tidak terkaji
13) Ektremitas atas
Inspeksi
Terpasang infus RL 20tpm ditangan kanan, CRT <2 detik, edema (-)
Palpasi
Reflek bisep trisep
Perkusi: Kekuatan otot -/-
Ekremitas bawah
Inspeksi
CRT > 2 detik
Palpasi
Reflek patella, tes babynski
Perkusi: Kekuatan otot -/-
PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian Masalah / Dx. Kep. Tindakan Evaluasi
Keperawatan Keperawatan
A. Airway □ Memasang semi-
□ Bebas □ Aktual rigrid cervical
□ Tidak Bebas □ Risiko collar, head
□ Palatum mole strap/support
jatuh Bersihan jalan □ Membersihkan
□ Sputum nafas inefektif jalan nafas
□ Darah □ Memberikan posisi
□ Spasme Kriteria Objektif: nyaman fowler / --------------------
□ Benda asing 1. Menunjukkan jalan nafas semi-fowler ----------
Suara Nafas: kembali bebas/spontan. □ Mengajarkan teknik
□ Normal 2. Suara nafas normal batuk efektif
□ Gargling □ Melakukan
□ Stridor penghisapan
□ Tidak ada suara lendir / suction
nafas □ Memasang oro/naso
□ Lain-lain faringeal airway
……………. □ Melakukan
auskultasi paru
secara periodic
□ Memberikan posisi
miring mantap jika
pasien tidak sadar
□ Melakukan jaw
thrust, chin lift,
head tilt
□ Kolaborasi:
Pemberian
bronchodilator /
nebulizer
□ Kolaborasi:
Pemasangan ETT,
LMA atau
thacheastomy
□ Lain-lain
………………...
Pengkajian Masalah / Jam Tindakan Evaluasi
Keperawatan Dx. Kep. Keperawatan
√⃣ Kolaborasi:
Melakukan
pemeriksaan
Saturasi O2.
Hasil: Saturasi O2
90%.
-⃣ Melakukan
fisioterapi dada
jika tidak ada
kontra indikasi
-⃣ Memberikan
bantuan pernafasan
dengan bag-valve
mask
-⃣ Kolaborasi:
Intubasi
Lain-lain:
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratium
a) WBC 18.000 (5000-10.000 /mm3), RBC 2.8 (4,2-5,4 juta/µL), Hb 7,0
(12-16 gr/dl), HTC 24% (36-46%), Platelet 18.000 (150.000-400.000
mm3)
b) AGD : pH 7,20 (7,4-7,5), PaO2 78 mmHg (71,0-104,0), PaCO2 30
mmHg (35,0-46,0), HCO3 16 mmol/L (22,0-26,0), SaO2 90% ( >85%)
2. Hasil Diagnostik :
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
AKI merupakan kegawatan pada sistem perkemihan yang tentunya akan
mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penyebab AKI
dijabarkan menjadi etiologi prerenal, intrarenal dan postrenal. Fase AKI terbagi atas
fase oliguria, diuretik dan pemulihan. Intervensi kegawatan yang harus dilakukan
tentunya berdasarkan pada primary survey dan secondary survey.
Baradero, Mary, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hopfer Deglin, Judith & Hazard Vallerand, April. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat (Edisi
4). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kunz Howard, Patricia & A Steinmann, Rebecca. 2003. Sheehy’s Emergency Nursing
Principles and Practice (Sixth Edition). USA : Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran (Edisi Ketiga, Jilid Kedua). Jakarta :
Media Aesculapius FK UI.
M. Hudak, Carolyn & M. Gallo, Barbara. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik
(Edisi VI, Volume II). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat (Plus Contoh Askep dengan Pendekatan
NANDA, NIC, NOC). Yogyakarta : Nuha Medika.
ENA (Emergency Nurses Association). 2000. Emergency Nursing Core Curriculum (Fifth
Edition). Philadelphia : W.B Saunders Company.