Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MAGISTER KEPERAWATAN

KEPERAWATAN KRITIS I

KEGAWAT DARURATAN PADA KASUS ACUTE KIDNEY INJURY

MAKALAH

Disusun Oleh : Aggi Gregia Muhammad Iqbal

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniannya kepada penulis, tak lupa solawat berserta salam semoga
tercurah limpah kepada Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Kegawatdaruratan pada Acute Kidney Injury”.

Penulis ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua


pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan Makalah ini, penulis berharap
semoga yang disajikan dalam Makalah ini dapat berguna bagi semua pihak khususnya
bagi penulis sendiri. Semoga jasa dan budi baik pihak – pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan Makalah ini mendapat balasan dari Allah SWT.

Akhir kata penulis juga mohon maaf kepada semua pihak dan juga sumbang
saran serta kritiknya akan penulis terima dengan hati terbuka agar penyusunan
selanjutnya akan lebih baik.

Bandung, Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Apabila hanya 10% dari
ginjal yang berfungsi, pasien dikatakan sudah sampai pada penyakit ginjal end
stage renal disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir. Awitan gagal
ginjal mungkin akut, yaitu berkembang sangat cepat dalam beberapa jam atau
dalam beberapa hari. Gagal ginjal juga dapat kronik, yaitu terjadi perlahan dan
berkembang perlahan, mungkin dalam beberapa tahun. Di Amerika Serikat,
sekitar 5% dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami AKI dan 30%
dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif menderita AKI. Pada
pasien AKI, 50% mengalami oliguria dan 80% pasien ini meninggal. Dari
kasus AKI intrinsik, 90% adalah nekrosis tubular akut.

2. Tujuan Penulisan
Tujuan Instruksional Umum :
Setelah mempelajari kasus kegawatan pada sistem perkemihan yakni AKI
(Acute Kidney Injury), diharapkan mahasiswa/i mampu menjelaskan konsep
kegawatan pada pasien AKI.

Tujuan Instruksional Khusus :


Setelah mempelajari kasus dalam modul ini, diharapkan :
1) Mahasiswa/i mampu menjelaskan definisi, etiologi, manifestasi klinis,
patofisiologi dan pemeriksaan penunjang (Diagnostik dan Laboratorium) pada
kasus AKI
2) Mahasiswa/i mampu menjelaskan asuhan keperawatan kegawat daruratan pada
kasus AKI
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Acute Kidney Injury (AKI)

1. Definisi

AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju


filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal
(AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD).
Dahulu, hal diatas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi
operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal
akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu
menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian
untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang
diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda
biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja.
2. Klasifikasi Etiologi
2.1 Prerenal
a. Hipovolemia
 Perdarahan
 Dehidrasi
 Muntah, diare dan diaforesis
 Pengisapan lambung
 Diabetes melitus dan diabetes insipidus
 Luka bakar dan drainase luka
 Sirosis
 Pemakaian diuretik yang tidak sesuai
 Peritonitis
b. Penurunan Curah Jantung
 Gagal jantung kongestif
 Infark miokard
 Tamponade jantung
 Disritmia
c. Vasodilatasi Sistemik
 Sepsis
 Asidosis
 Anafilaksis
d. Hipotensi dan Hipoperfusi
 Gagal jantung
 Syok
2.2 Intrarenal
a. Kerusakan Nefron
 Nekrosis tubular akut
 glomerulonefritis
b. Perubahan Vaskular
 Koagulopati
 Hipertensi malignant
 Stenosis
c. Nefrotoksin
 Antibiotik (gentamisin, tobramisin, neomisin, kanamisin dan
vankomisin)
 Kimiawi (karbon tetraklorida dan timbal)
 Logam berat (arsenik dan merkuri)
 Nefritis interstitial akibat obat (tetrasiklin, furosemid, tiasid dan
sulfanomid)
2.3 Postrenal
a. Obstruksi Ureter dan Leher Kandung Kemih
 Kalkuli
 Neoplasma
 Hiperplasia prostat

Tabel. 1 Etiologi dari Ketiga Tipe AKI

Perubahan Patologi Etiologi


Prerenal Kondisi yang disebabkan oleh
Penurunan aliran darah ke ginjal penurunan cardiac output :
hingga menimbulkan iskemia pada  Shock
nefron, bila hipoperfusi  CHF
berkepanjangan maka dapat  Emboli pulmonali
emnimbulkan nekrosis pada tubular  Anafilaksis
dan terjadinya AKI  Jantung tamponade
 Sepsis
Intrarenal (Intrinsik)  Nefritis internal akut
Kerusakan jaringan ginjal yang  Terpapar nefrotoksin
disebabkan oleh proses inflamasi dan  Glomerulonefritis akut
imunologi atau dari hipoperfusi yang  Vasculitis
berkepanjangan  Syndrome hepatorenal
 Akut tubular nekrosis
 Stenosis/ trombosis arteri
atau vena ginjal
Postrenal  Kanker pada uretra atau
Obstruksi pada sistem ginjal dari bladder
batu kalkuli uretra/ dimanapun  Batu/ kalkuli ginjal
letaknya  Atony bladder
Obstruksi pada bladder secara  Kanker atau hiperplasia
bilateral yang menyebabkan prostat
kegagalan pada postrenal, tidak  Kanker cervix
hanya pada satu fungsi ginjal.  Striktura uretra
From Ignatavicius, D. D., Workman, M. L, & Mishler, M. A. (1995). Medical surgical nusring

(2nd ed, p. 2148). Philadelphia : W. B Saunders. Used with permission.


2.4 KLASIFIKASI AKI

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE


yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan
fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal,
seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli, 2007)

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi


2007

Kategor Peningkatan Penurunan Kriteria


i kadar SCr LFG OU
Risk >1,5 kali >25% Nilai <0,5 mL/kg/jam,
nilai dasar dasar >6 jam

Injury >2,0 kali >50% Nilai <0,5 mL/kg/jam,


nilai dasar dasar >12 jam

Failure >3,0 kali >75% Nilai <0,5 mL/kg/jam,


nilai dasar dasar >24 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4


minggu

End Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3


Stage Bulan

2.5 Rumus Laju Filtrasi Glomerulus

The National Kidney Foundation merekomendasi bahwa estimated GFR


(eGFR) dapat diperhitungkan sesuai dengan kreatinin serum. Perhitungan GFR
berdasarkan kreatinin serum, usia, ukuran tubuh, jenis kelamin, dan ras tanpa
membutuhkan kadar kreatinin urin menggunakan persamaan Cockcroft and Gault.

( 140−usia ) ×Weight ( Kg ) ×(0,85 pada perempuan)


GFR mL /min ¿
72× S cr ( Mg /dL)
Klirens kreatinin merupakan pemeriksaan yang mengukur kadar kreatinin yang
difiltrasi di ginjal. GFR dipergunakan untuk mengukur fungsi ginjal.

The Abbreviated Modifi cation of Diet in Renal Disease (MDRD) mempunyai


persamaan untuk mengukur GFR dengan meliputi empat variabel, yaitu kreatinin
plasma, usia, jenis kelamin, dan ras. Persamaan MDRD digunakan untuk mengukur
estimated glomerular filtration rate (eGFR), yaitu :

mL
eGFR (
menit 2
1,73 )
m =175( Scr )−1.54 ×(usia)−0.203 × ( 0,742 pada perempuan ) × 1,210 pada ras African− American

Hasil dari persamaan ini diperhitungkan dengan permukaan tubuh (1,73 m2 ).


Persamaan MDRD cocok untuk pasien dewasa usia 18 tahun sampai dengan 70 tahun.

Stadium Akute Kidney Injury GFR (mL/menit per luas permukaan


tubuh 1,73 m 2 )
1. Kerusakan ginjal (albuminuria,
hematuria, atau gambaran ginjal ≥90
abnormal) dengan eGFR normal

2. Kerusakan ginjal dengan disfungsi 60-89


ginjal ringan
3. AKI stadium menengah 30-59
4. AKI stadium berat 15-29
5. AKI stadium terminal (ESKD) <15

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada AKI seperti : pucat (anemia), oliguria, edema,
hipertensi, muntah, letargi, gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung
kongestif atau edema paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, hematemesis
dengan atau tanpa melena akibat gastritis atau tukak lambung, kejang,
kesadaran menurun sampai koma.
Fase Acute Kidney Injury :
 Fase oliguria atau anuria : jumlah urine berkurang sampai 10-30 ml/ hari,
dapat berlangsung 4-5 hari, kadang-kadang sampai 1 bulan. Terdapat gejala
uremia nyata seperti pusing, muntah, apatis sampai somnolen, haus, nafas
kussmaul, kejang dan lainnya. Ditemukan hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, hiponatremia dan asidosis metabolik.
 Fase diuretik : poliuria, dapat timbul dehidrasi. Berlangsung sekitar 2 minggu.
 Fase penyembuhan atau pascadiuretik : poliuria dan gejala uremia berkurang.
Faal glomerulus dan tubulus membaik dalam beberapa minggu, tetapi masih
ada kelainan kecil. Yang paling lama terganggu adalah daya mengkonsentrasi
urine. Kadang-kadang faal ginjal tidak menjadi normal lagi dan albuminuria
tetap ditemukan.
4. Patofisiologi

Postrenal
Prerenal Intrarenal

Vasodilatasi Hyperplasia
Hipovolemia kalkuli
sistemik Kerusakan Nefrotoksik prostat
↓ curah nerfon/ Perubahan
Hipotensi & vaskuler Neoplasma
jantung tubular
hipoperfusi

Obstruksi pada saluran perkemihan


Aliran darah
ginjal terganggu Urin tdk dpat melewati obstruksi

↓ TD Kongesti yg menyebabkan
tekanan retrogard melalui system
Laju GFR↓
kolegentes dan nefron

Jumlah cairan tubulus lebih lambat

 reabsorsi natrium dan air

Memperbesar reabsorsi
Pembuangan dari Menekan dan
 tonusitas
dari cairan tubular distal AKI
interstisium medulla merusak nefron
medular
renalis ↓
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1 Pemeriksaan Diagnosis
a. Rontgen Thorax
b. Ultrasonografi ginjal
c. Test Doppler
d. CT Scan
e. ECG (Electrocardiogram)
f. CVP (Central Venous Pressure)
g. Renal Arteriogram
5.2 Pemeriksaan Laboratorium
a. Lab darah lengkap : WBC, RBC, HCT, Platelet
b. Analisa Elektrolit : Sodium, potassium, calsium, kalium, natrium
c. AGD : PCO2, PO2, HCO3, Saturasi O2, PH
d. BUN, Creatinin, klirens kreatinin
e. Enzim hepar : SGOT, SGPT
f. Urinalisis : berat jenis urine, osmolalitas dan natrium urine

6. Penatalaksanaan Kegawatan
Penatalaksanaan utama kerusakan fungsi ginjal diarahkan pada penatalaksanaan
khusus dan adekuat dari keadaan hipoperfusi. Ketiga penyebab yang paling pada penurunan
fungsi ginjal adalah penurunan curah jantung, perubahan tahanan vaskuler perifer, dan
hipovolemia. Faktor-faktor seperti disritmia jantung, infark miokard akut, dan temponande
prikardial akut,semuanya ini menurunkan curah jantung, mungkin berhubungan dengan
penurunan aliran darah ginjal. Oleh karenanya reversibilitas (kemampuan untuk kembali ke
keadaan normal) dari gagal ginjal tergantung pada kemampuan untuk meningkatkan fungsi
jantung.
Pada kondisi ini, curah jantung biasanya terganggu secara akut dan sangat payah. Bila
curah jantung terganggu sampai batas yang lebih kecil selama periode waktu yang lama,
bagaimana pun, terjadi gambaran gagal jantung kongestif. Sekali lagi, disini terjadi penurunan
perfusi ginjal meskipun sampai batas yang terkecil. Gambaran utama dari keadaan ini, dari
aspek ginjal, makin menyerap natrium, yang mengakibatkan peningkatan volume cairan
ekstraselular, kenaikan tekanan vena sentral, dan edema.
Beberapa mekanisme bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi tubular
terhadap natrium. Pertama, terjadi penurunan lebih besar dalam aliran darah ginjal daripada
dalam filtrasi glomerulus, membawa ke mekanisme yang telah dibicarakan sebelumnya.
Kedua, telah diduga bahwa aliran darah ke kortek superficial menurun, sementara aliran darah
kearea kortikal dalam meningkat. Selain itu, diperkirakan bahwa nefron pada region kortikal
dalam menyerap natrium terfiltrasi dalam presentase yang lebih besar daripada nefron di
korteks luar ginjal.
Faktor-faktor lain termasuk peningkatan reabsorpsi natrium tubulus distal dan
proksimal. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi natrium
tubulus proksimal sebagian besar tergantung pada peningkatan tekanan onkotik
posglomerular; namun aldosteron paling bertanggung terhadap peningkatan reabsorpsi
natrium tubulus distal. Dapat dilihat bahwa berbagai mekanisme yang bertanggung jawab
terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubular pada gagal jantung kongesti.
Terapi diarahkan terutama pada meningkatkan ekskresi natrium urine. Kadang-
kadang, keadaan ini dapat diselesaikan dengan memperbaiki curah jantung , yang selanjutnya
meningkatkan perfusi ginjal. Namun hal ini tidak selalu memungkinkan. Diuretic sering
digunakan untuk meningkatkan ekskresi natrium. Agen ini secara langsung menghambat
reabsorpsi natrium dalam tubulus ginjal. Potensi diuretic ditentukan terutama oleh tempatdi
tubulus ginjal dimana reabsorpsi natrium di hambat.
Kedua diuretic yang paling poten yang sekarang ada adalah furosemmid (Lasix;
Hoechst-Roussel Pharmaceuticals, Somerville, NJ) dan asam etakrinik (Edcrin; Merck Sharp
& Dohme, West Point, PA). Agen ini menghambat reabsorpsi natrium pada parsasenden ansa
Henle dan pada tubulus distal. Masih belum jelas apakah agen ini juga mempunyai efek pada
tubulus proksimal. Diuretic tiazid mempunyai kerja utama pada tubulus distal dan oleh
karenanya agen ini agak kurang poten daripada agen diatas.
Diuretic lain yang umum lain adalah spironokolakton (Aldactone; Searle
Laboratories, Chicago, IL), yang meningkatkan natrium urine dengan menghambat efek
aldosteron di tubulus ginjal. Spironolakton harus di gunakan dengan hari-hari pada pasien
dengan penurunan curah jantung dan perfusi ginjal yang lemah karena diuretic ini
menurunkan ekskresi kalium dan dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam hidup
pada pasien seperti ini. Keadaan yang sama juga terjadi untuk triamteren, diuretic hemat
kalium.
Penatalaksanaan Nekrosis Tubular akut :

Karena NTA Terus menerus berhubungan dengan tingginya mortalitas sasaran


yang penting adalah pencegahan komplikasi ini. Nekrosis Tubular Akut dapat dicegah
pada pasien yang mengalami cedera traumatik mayor dengan penggantian kehilangan
darah dan perbaikan gangguan cairan dan elektrolit. Sama halnya, pasien yang
menerima agen yang kemungkinan nefrotoksik harus menjalani serangkaian
pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi ginjal selama pemberian agen tersebut. Hal
ini ditangani lebih mudah dengan mengukur kadar kreatinin dengan jadwal dua hari
sekali. Bila kreatinin serum mulai meningkat, obat harus dihentikan.pada kebanyakan
pasien, pada penyimpanan fungsi dapat distabilkan dan pasien sembuh tanpa
mengalami kerusakan fungsi ginjal berat.

Masih ada perdebatan yang tajam berkenaan tentang efektifitas manitol dan
furosemid dalam mencegah AKI. Pada kenyataannya, berapa bukti telah dikumpulkan
yang menunjukkan bahwa furosemid secara nyata dapat meningkatkan toksisitas
agen-agen nefrotoksik tertentu. Namun kebanyakan peneliti setuju bahwa percobaan
furosemid harus diberikan intravena sampai 500 mg. Seringkali hal ini dapat
memperbaiki oliguria menjadi AKI nonoliguria, yang secara klinis lebih mudah
ditangani.

a) Penggantian volume
Setelah terjadi NTA, pertimbangan utama adalah pemeliharaan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Selama masa oliguria, volume urine biasanya kurang dari
300 ml perhari. Kehilangan yang tidak terlihat rata-rata 800-1000 ml perhari dan
sebenarnya bebas elektrolit.
Secara umum, pengantian cairan harus mendekati 500 ml perhari. Selain air
akan dari air yang terdapat dalam makanan di tambah air oksidari dari
metabolisme. Karena pengguanaan protein dan lemak tubuh, pasien idealnya harus
kehilangan 2,2 lb (1kg) perhari untuk mempertahankan keseimbangan air. Bahaya
kelebihan air dengan akibat gagal jantung kongesti dan edema paru terdapat
sepanjang periode oliguria.sebaliknya, selama NTA fase diuretik, pemborosan
natrium lebih jauh dapat terjadi berkaitan dengan peningkatan volume urine. Itulah
sebabnya perlu untuk mempertahankan pencatatan asupan dan haluaran secara
akurat dan penimbangan berat badan tiap hari pada kedua fase. Hal ini teruama
penting bila ada kesempatan lain untuk kehilangan cairan dan elektrolit seperti
muntah, diare, penghisapan nasogastrik, dan drainase oleh dari fistula. Secara
umum, kehilangan terjadi sebagai akibat dari masalah-masalah ini harus di ganti
penuh.
b) Terapi Nutrisi
Selain penggantian cairan dan elektrolit ,masukan di arahkan pada pensuplaian
pasien dengan kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak untuk menurunkan
pemecahan protein tubuh. Karena 1 gr urea dibentuk setiap 6 gr protein yang di
metabolisme, asupan protein biasanya dibatasi untuk mencegah peningkatan BUN
yang terlalu cepat.
Dengan pengembangan tim nutrisi ,telah terjadi kecenderungan berkembangan
untuk memberikan lebih banyak kalori dan protein dalam bentuk parenteral atau
hiperalimensasi enteral dalam upaya untuk meningkatkan kondisi umum pasien
dan untuk mempercepat pemulihan fungsi ginjal. Diit mengandung 2000 sampai
3000 kalori/hari dengan 40 sampai 60 gr protein atau asam amino esensial telah
digunakan dengan frekuensi yang meningkat. Diet ini mengandung lebih dari 500
ml cairan yang di anjurkan sebelumnya. Oleh karenanya,hiperalimentasi
memerlukan lebh dialisis ,khususnya pada periode oliguria, sering dalam
kombinasi dengan hemofiltrasi.
c) Kontrol asidosis
Asidosis metabolik dengan keparahan sedang biasanya terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal .hal ini merupakan akibat dari ketidakmampuan ginjal untuk
mengekskresikan ikatan asam (H2PO4) yang dihasilkan dari proses metabolik
normal. Asidosis biasanya dapat dikontrol dengan mudah dengan memberi pasien
natrium bikarbonat 30 sampai 60 mEq setiap hari tetapi tidak memerlukan
pengobatan kecuali HCO3- turun dibawah 12 sampai 15 mEq/L.
d) Kontrol Hiperkalemia

Hiperkalemia umumnya terjadi pada pasien dengan NTA .ini merupakan


konsekuensi baik karena penurunan kemampuan ginjal mengekresi kalium dan
pelepasan kalium intraseluler karena asidosis dan kerusakan jaringan. Asidosis
mengakibatkan perpindahan ion hidrogen ke dalam sel, sehingga mengantikan
kalium ke dalam cairan intraselular. Keadaan ini mempertahankan netralitas
elektron tetapi meningkatkan keadaan hiperkalemia.
Selain mekanisme untuk menyebabkan hiperkalemia, sering di abaikan pada
pasien sakit akut , adalah pembatasan kalori ,terutama pembatasan glukosa .
perpindahan glukosa dan asam amino ke dalam sel sel disertai dengan kalium
.pada sakit akut, pasien katabolik, bila asupan diit di batasi atau terapi cairan
intravena dihentikan , kegagalan perpindahan kalium intraselular dapat menunjang
hiperkalemia. Karena proses ini membutuhkan insuline, maka defisiensi insuline
mempunyai konsekuensi sama, dan penderita diabetik dapat lebih rentan untuk
mengalami gangguan akut kesemimbangan kalium bila terjadi gagal ginjal.
Dengan menggangu translokasi catecholamine-induced kalium ke dalam sel-
sel ,β-bloker juga dapat memperberat hiperkalemia dan harus dihindari pada
pasien AKI. Hiperkalemia secara klinis di manifestasikan oleh perubahan jantung
dan neuromaskular .baik gangguan konduksi jantung maupun kaudriplegia flaksid
akut merupakan komplikasi yang mengancam hidup .perubahan hiperkalemia ini
cepat dapat pulih dengan pemberian kalsium glukonas intravena ,yang mempunyai
efek antagonis langsung dalam aksi kalium. Kalium serum dapat diturunkan
dengan pemberian natrium bikarbonat intravena untuk pengobatan asidosi. Selain
itu, pemberian glukosa dan insuline dengan sering di gunakan sebagai metode
tambahan perpindahan kalium ekstraseluar ke intraselular.

Natrium polistiren sulfonat resin (Kayexalate; winthrop pharmaceuticals) di


berikan peroral (25 gr empat kali sehari dalam 10 ml sorbitol 10 %) dapat
mengurangi kelebihan kalium tubuh lebih lambat dan harus dilakukan bila
hiperkalemia mulai terjadi. Selain itu, bila hiperkalemia yang mengancam hidup
terjadi dan pengobatan ini gagal atau tidak memperbaiki kalium serum menjadi
normal , harus intervensi kedaruratan baik hemodialisis atau dialisis peritoneal
,dialisis peritoneal umumnya dapat dilakukan lebih cepat. karena kalium plasma di
seimbangkan dengan cepat oleh cairan peritoneal, kalium serum dapat diturunkan
dengan cepat.

Hiperkalemia selalu dapat dicegah dengan menghindari suplemen kalium,


pemberian teraapi kronik untuk asidosis , dan penggunaan natrium polistiren
sulfonat resin bila kalium serum agak sedikit meningkat.

7. Komplikasi AKI
Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait
AKI yang ringan dan sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya
saat awal. Pada tabel berikut dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan
penangannya untuk AKI.

Komplikasi dan penanganan pada AKI

Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<
1L/hari)
Hiponatremia Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari
infuse larutan hipotonik
Hiperkalemia Batasi asupan diet K (<40 mmol/hari),
hindari diuretic hemat kalium
Asidosis metabolic Natrium bikarbonat ( upayakan
bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH
>7.2 )
Hiperfosfatemia Batasi asupan diet fosfat (<800
mg/hari)
Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,
kalsium karbonat) Kalsium karbonat;
kalsium glukonat (
10-20 ml larutan 10% )
Hipokalsemia Batasi asupan protein (0,8-1
g/kgBB/hari) jika tidak dalam kondisi
katabolic
Nutrisi Karbohidrat 100 g/hari
Nutrisi enteral atau parenteral, jika
perjalanan klinik lama atau katabolik
8. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Diagnosa
Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Perubahan perfusi Pasien akan stabil secara 1. Pantau TD, nadi, pernapasan,
jaringan b.d hipovolemia hemodinamik Tekanan Arteri Pulmonari
sekunder terhadap AKI (TAP), tekanan desak kapiler
pulmonari (TDKP), tekanan vena
sentral (TVS), curah jantung,
indeks jantung setiap jam sampai
stabil, kemudian setiap 2 jam.
2. Pantau laporan laboratorium (Na,
K, Hb, Ht, pemeriksaan
koagulasi SDP).
3. Pantau terhadap kekeringan
membran mukosa.
4. Pertahankan catatan asupan dan
haluaran.
5. Berat badan harian.
6. Berikan cairan dan darah sesuai
program dokter.
7. Pantau kelebihan cairan dan/
reaksi transfusi.
8. Timbang pasien setipa hari
9. Instruksikan untuk meningkatkan
masukan cairan 2000 ml/hari
10. Pantau tanda-tanda dan gejala
hiponatremia
11. Pantau haluaran urine untuk
volume yang adekuat setiap jam
sampai haluaran > 30 ml/hari,
kemudian setiap 2 jam lalu setiap
4 jam
12. Periksa berat jenis urine setiap
pergantian dinas. Laporkan
adanya abnormalitas
13. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan sirkulasi
(perubahan posisi, pertahankan
kehangatan)
14. Atau suhu dan warna kulit setiap
jam sampai stabil, kemudian
setiap 2 jam
15. Pantau adanya perubahan fungsi
mental (letargi, stupor)
16. Orientasikan kembali terhadap
realita sesering mungkin. Panggil
dengan namanya, beritahu pasien
nama anda, orientasikan terhadap
lingkungan sekitar.
Kelebihan volume Pasien akan 1. Amati haluaran urine
cairan b.d AKI, filtrasi mempertahankan 2. Catat dan kaji masukan dan
buruk dan masukan keseimbangan cairan haluaran
intravena Kondisi pasien akan 3. Kaji urine terhadap hematuria,
dipertahankan berat jenis.
4. Berikan keamanan bila terjadi
kenaikan kadar BUN dan
kreatinin
5. Pantau tanda-tanda dan
akumulasi toksik obat
6. Kaji bunyi paru terhadap krakles
dan edema perifer
BAB III

PEMBAHASAN

1. Tinjauan Kasus

Ny. R usia 62 tahun mengalami perdarahan hebat setelah tertusuk pisau oleh mantan
suaminya, kondisi sudah tidak sadarkan diri ketika di RS. Nafasnya pun pendek dan cepat,
sekitar 30x/menit. Setelah di berikan intervensi oleh tenaga kesehatan dari pemasangan
infus kateter dan oksigen, tenaga kesehatan melihat adanya penurunan produksi urin.. TD
90/ 60 mmHg. Nadi 115 x/ menit, suhu Badan 36,8 C.

1. Pengumpulan Data
a. Identitas klien
Nama :Ny.R
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Dx medis : shock hipovolemi
Tanggal masuk RS : 10-03-2020
Tanggal pengkajian : 11-03-2020
Alamat :jl.Kumbangsari IV no.12
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn.A
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Swasta
Alamat : jl.kumbangsari IV no.12
Hub.dengan klien : Anak

Triase status : Merah


Kesadaran : tidak sadar
c. Air way : baik
d. Breathing : sesak
e. Circulation : perdarahan hebat
1) Anamnesis
Keluhan utama
Pada saat datang ke RS pasien sudah tidak sadarkan diri dengan adanya
perdarahan hebat di paha kiri,

a. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : tidak sadar
2) Tingkat kesadaran
GCS : 3. coma
E=1
M=1
V=
TB = 162 cm
BB = 72 kg
3) Tanda-tanda vital
T : 90 / 50 mm Hg
N : 115x / menit
R : 30x / menit
S : 36,8ºC
4) Kepala
Inspeksi
Simetris, rambut tidak rontok, tidak ada tanda kekurangan gizi (rambut jagung),
rambut berwarna hitam, distribusi rambut merata, tidak ada alopesia.
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
5) Mata
Inspeksi
Simetris kika, sclera berwarna putih, konjungtiva anemis, pupil isokor, lapang
pandang 90º, tidak ikterik, edema (+)
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Fungsi
Penglihatan klien normal, terbukti klien dapat membaca name tag perawat dengan
jarak ± 30 cm
6) Telinga
Inspeksi
Bentuk dan posisi simetris kika, warna sama dengan kulit lain, integritas kulit
bagus, tidak pakai alat bantu dengar, tidak ada tanda infeksi dan tidak ada
serumen.
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Fungsi
Pendengaran klien baik, terbukti klien dapat mendengar gesekan kertas
7) Hidung
Inspeksi
Simetris kika,warna kulit sama dengan kulit lain, tidak ada polip, tidak ada secret,
tidak ada pernafasan cuping hidung
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada epitaksis
Fungsi
Penciuman klien baik terbukti dapat membedakan bau minyak kayu putih dan
alkohol
8) Mulut
Inspeksi
Mukosa bibir kering,tidak ada stomatitis, gigi lengkap, tidak ada tanda kekurangan
gizi, langit-langit utuh, opula baik
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
Fungsi
Pengecapan klien baik, terbukti klien dapat membedakan rasa manis dan asin
9) Leher
Inspeksi
Warna sama dengan kulit lain, integritas kulit baik, simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar betah bening/tiroid
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
10) Dada
Inspeksi
Simetris, bentuk dan postur normal, warna kulit sama dengan kulit lainnya, tidak
ada edema
Auskultasi
Suara paru vesikuler
Perkusi
Suara paru normal
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, ekspansi simetris, teknik traktil premitus baik, tidak ada
benjolan
11) Abdomen
Inspeksi
Simetris, warna sama dengan kulit lain,
Auskultasi
Bising usus 8x/menit,
Palpasi
Tidak ada benjolan,tidak ada asites, ada nyeri tekan
Perkusi
Timpani
12) Reproduksi
Inspeksi
Terpasang kateter, simetris, hiperpigmentasi, haluaran urine sedikit
Palpasi
Tidak terkaji
13) Ektremitas atas
Inspeksi
Terpasang infus RL 20tpm ditangan kanan, CRT <2 detik, edema (-)
Palpasi
Reflek bisep trisep
Perkusi: Kekuatan otot -/-
Ekremitas bawah
Inspeksi
CRT > 2 detik
Palpasi
Reflek patella, tes babynski
Perkusi: Kekuatan otot -/-

PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian Masalah / Dx. Kep. Tindakan Evaluasi
Keperawatan Keperawatan
A. Airway □ Memasang semi-
□ Bebas □ Aktual rigrid cervical
□ Tidak Bebas □ Risiko collar, head
□ Palatum mole strap/support
jatuh Bersihan jalan □ Membersihkan
□ Sputum nafas inefektif jalan nafas
□ Darah □ Memberikan posisi
□ Spasme Kriteria Objektif: nyaman fowler / --------------------
□ Benda asing 1. Menunjukkan jalan nafas semi-fowler ----------
Suara Nafas: kembali bebas/spontan. □ Mengajarkan teknik
□ Normal 2. Suara nafas normal batuk efektif
□ Gargling □ Melakukan
□ Stridor penghisapan
□ Tidak ada suara lendir / suction
nafas □ Memasang oro/naso
□ Lain-lain faringeal airway
……………. □ Melakukan
auskultasi paru
secara periodic
□ Memberikan posisi
miring mantap jika
pasien tidak sadar
□ Melakukan jaw
thrust, chin lift,
head tilt
□ Kolaborasi:
Pemberian
bronchodilator /
nebulizer
□ Kolaborasi:
Pemasangan ETT,
LMA atau
thacheastomy
□ Lain-lain
………………...
Pengkajian Masalah / Jam Tindakan Evaluasi
Keperawatan Dx. Kep. Keperawatan

B. Breathing √⃣ 09.00 √⃣ Memberikan S:


Pola nafas: Aktual posisi semi fowler -
□ Apneu □ Risiko jika tidak ada
□ Bradipneu Pola nafas kontraksi indikasi O:
□ Orthopneu inefektif b.d Hasil: pernafaswan RR 24x/m,
□ Dyspneu gangguan masih tetap tinggi Tidak ada
√⃣ aliran darah 09.15 retraksi
Takipneu dan O2 √⃣ Kolaborasi: dinding dada,
Frekuensi Melakukan irama nafas
nafas: … Pemberian O 2: teratur, suara
x/m Pemberian O2 per nafas
SaO2: 88 % □ Aktual NRM 10 L/m vesikuler,
Bunyi □ Risiko selama 6 jam pengembangan
Nafas: Gangguan pertama dada simetris,
√⃣ pertukaran Hasil: Terapi O2 SaO2 100%.
Vesikuler gas terlaksana sesuai
□ Wheezing instruksi, O2 A:
□ Stridor Kriteria masuk ke Masalah
□ Ronkhi Objektif: pernafasan pasien. teratasi
Irama Nafas: 1. Nafas teratur Nafas mulai stabil sebagian.
√⃣ dengan frekuensi Spo2 100%
Teratur 16-20 x/menit P:
□ Tidak 2. Tidak ada √⃣ Mengobservasi Intervensi
Teratur penggunaan otot 10.00 frekuensi, irama, dilanjutkan.
Penggunaan bantu pernafasan dan kedalaman
Otot Bantu 3. Tidak ada bunyi suara nafas
Nafas: nafas abnormal Hasil: RR 24x/ m
√⃣ 4. SaO2 98-100%. Irama pernafasan
Retraksi teratur
Dada Suara nafas
□ Cuping Vesikuler
Hidung
Jenis 11.15 √⃣ Mengobservasi
Pernafasan: penggunaan otot
√⃣ bantu pernafasan
Pernafasan Hasil: Tidak ada
Dada penggunaan otot
□ bantu pernafasan
Pernafasan
Perut √⃣
Hasil AGD: Memperhatikan
pengembangan
dinding dada
Hasil:
Lain-lain: Pengembangan
dada simetris

√⃣ Kolaborasi:
Melakukan
pemeriksaan
Saturasi O2.
Hasil: Saturasi O2
90%.

-⃣ Melakukan
fisioterapi dada
jika tidak ada
kontra indikasi

-⃣ Memberikan
bantuan pernafasan
dengan bag-valve
mask

-⃣ Kolaborasi:
Intubasi

Pengkajian Keperawatan Masalah / Jam Tindakan Evaluasi


Dx. Kep. Keperawatan
C. Circulation √⃣ 09.0 √⃣ S:
Akral: Aktual 0 -
pemasangan
□ Hangat √⃣ Dingin □ Risiko O:
Pucat: Hipovolemi infus dan Urine
√⃣ Ya □ Tidak a b.d outpuit
Cianosis: perdarahan pemberian masih
□ Ya √⃣ Tidak terus cairan enteral sedikit
Pengisian Kapiler: menerus
< 2 detik TTV:
Hasil: urine Nadi
√⃣ > 2 detik
Nadi: output masih 100x/m
√⃣ Teraba Kriteria TD 100/60
□ Tidak teraba Objektif: sedikit mmHg
Frekuensi: 115 x/menit 1. Status cairan RR 24x/m
Irama: membaik
√⃣ Reguler □ 10.1 A:
Ireguler 0 Masalah
√⃣ dept luka teratasi
Kekuatan:
Kuat √⃣ Lemah dan sebagiam
Tekanan Darah: .90/50
perawatan P:
mmHg luka Lanjutkan
Adanya riwayat Intervensi
kehilangan cairan dalam
jumlah besar: Hasil: perdarahan
□ Diare berhenti
□ Muntah
□ Luka Bakar
√⃣ Perdarahan
Tidak
Perdarahan:
√⃣ Ya Tidak
Jika Ya:
Lokasi perdarahan: paha
kiri………………………
Kelembaban Kulit:
√⃣ Lembab □
Kering
Turgor:
Normal √⃣
Kurang
Edema:
□ Ya √⃣ Tidak
Output urine: -…….
ml/jam
Luka bakar: ………..%
Grade:
Lain-lain:

Pengkajian Keperawatan Masalah / Dx. Tindakan Evaluasi


Kep. Keperawatan
D. Disability □ Aktual √⃣ Memonitor
Tingkat Kesadaran: □ Risiko TTV
…………coma… √⃣
Nilai GCS: Gangguan Mengobservasi /
Pada Dewasa, GCS: perfusi jaringan memonitor
E 1 V 1 M …1 serebral perubahan tingkat S:-
Pada Anak, GCS: kesadaran
A…V…P…U… Kriteria Objektif: □ Mengobservasi O : terdapat
Pupil: 1. Terjadi peningkatan adanya tanda- peningkatan
√⃣ Normal □ tingkat keadaran tanda PTIK kesadaran
Tidak 2. GCS: 9-12 (penurunan E:2
Respon cahaya: + / +. 3. Pupil seimbang dan kesadaran, HPT, M:3
Ukuran pupil: reaktif bradikardia, sakit V:2
√⃣ Isokor □ kepala, muntah,
Anisokor papiledema &
palsi N. cranial
Diameter: VI)
□ 1 mm □ 1 mm √⃣ Meninggikan
□ 2 mm □ 2 mm kepala 150-300 jika
□ 3 mm □ 3 mm tidak ada
□ 4 mm □ 4 mm kontraindikasi
□ 5 mm □ 5 mm √⃣
Penilaian ekstremitas: Mengobservasi
Sensorik: kecukupan cairan
□ Ya □ Tidak Kolaborasi:
Motorik √⃣ Pemberian O2:
□ Ya □ Tidak per NRM 10 lpm
Kekuatan otot: √⃣ Pemasangan
infuse
√⃣ Intubasi (GCS
≤ 8)
√⃣ Monitor hasil
AGD dan
Lain-lain: laporkan hasilnya
□ Memberikan terapi
sesuai indikasi
□ Lain-lain

Pengkajian Masalah / Dx. Kep. Tindakan Evaluasi


Keperawatan Keperawatan
E. Exposure □ Aktual □ Mengkaji
(untuk kasus □ Risiko karakteristik nyeri,
trauma) gunakan
Adanya trauma Nyeri pendekatan PQRST
pada daerah: □ Observasi reaksi
………………... Kriteria Objektif: non verbal dari
Adanya jejas/luka 1. Nyeri teratasi ketidaknyamanan
pada daerah: 2. Luka menunjukkan □ Mengajarkan teknik
………………... adanya perbaikan manajemen nyeri
Ukuran luka: 3. Tidak ada tanda-tanda non farmakologi:
………… infeksi relaksasi, distraksi,
Kedalaman luka: kompres
……… hangat/dingin
Keluhan nyeri: □ Imobilisasi /
□ Ya □ membatasi aktivitas
Tidak yang meningkatkan
Pengkajian nyeri: intensitas nyeri
P: □ Monitor TTV
terutama saat
Q: sebelum dan
sesudah pemberian
R: analgetik
□ Kolaborasi untuk
S: pemberian terapi:
□ Analgetik
T: □ Oksigen
□ Infus
EKG: □ Rekaman EKG
□ Lain-lain:

Lain-lain:
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratium
a) WBC 18.000 (5000-10.000 /mm3), RBC 2.8 (4,2-5,4 juta/µL), Hb 7,0
(12-16 gr/dl), HTC 24% (36-46%), Platelet 18.000 (150.000-400.000
mm3)
b) AGD : pH 7,20 (7,4-7,5), PaO2 78 mmHg (71,0-104,0), PaCO2 30
mmHg (35,0-46,0), HCO3 16 mmol/L (22,0-26,0), SaO2 90% ( >85%)
2. Hasil Diagnostik :

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan
AKI merupakan kegawatan pada sistem perkemihan yang tentunya akan
mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penyebab AKI
dijabarkan menjadi etiologi prerenal, intrarenal dan postrenal. Fase AKI terbagi atas
fase oliguria, diuretik dan pemulihan. Intervensi kegawatan yang harus dilakukan
tentunya berdasarkan pada primary survey dan secondary survey.

2. Kritik dan Saran


Kami ucap syukur Alhamdulillah pada Allah SWT dan terimakasih kepada
dosen pembimbing serta rekan-rekan dimana dapat terselesaikannya laporan
kegawatan sistem perkemihan yang terkait dengan Acute Kidney injury. saya
menyadari laporan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya memohon kritik dan
saran yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hopfer Deglin, Judith & Hazard Vallerand, April. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat (Edisi
4). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kunz Howard, Patricia & A Steinmann, Rebecca. 2003. Sheehy’s Emergency Nursing
Principles and Practice (Sixth Edition). USA : Mosby Elsevier.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran (Edisi Ketiga, Jilid Kedua). Jakarta :
Media Aesculapius FK UI.

M. Hudak, Carolyn & M. Gallo, Barbara. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik
(Edisi VI, Volume II). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat (Plus Contoh Askep dengan Pendekatan
NANDA, NIC, NOC). Yogyakarta : Nuha Medika.

ENA (Emergency Nurses Association). 2000. Emergency Nursing Core Curriculum (Fifth
Edition). Philadelphia : W.B Saunders Company.

Anda mungkin juga menyukai