Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

KERACUNAN PESTISIDA DAN PENGENDALIANNYA

SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

DOSEN PENGAMPU: Agus Joko Susanto, SKM., MKKK.

Disusun oleh:
Kelompok 6 1D3/B

1. Muhammad Ryan Rifa’I P21345121048


2. Nadiyah Saidah P21345121053
3. Nindya Tri Ambarwati P21345121057
4. Raihan Ahmad Syamlan P21345121060
5. Sepiya Handayani P21345121067
6. Tazkia Hayatinnisa P21345121074
7. Muhammad Rangga Putra P23133017070

PROGRAM STUDI D3 JURUSAN KESEHATAN

LINGKUNGAN POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENKES JAKARTA II

Jakarta, 2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Keracunan Pestisida dan
Pengendaliannya” ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir kepada kita di hari akhir
kelak.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Toksikologi Lingkungan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Toksikologi Lingkungan bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami
mengucapkan terima kasih kepada bapak Agus Joko Susanto, SKM., MKKK selaku dosen mata
kuliah Toksikologi Lingkungan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang
kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 9 April 2022

Kelompok 6

i
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................................................................................. i

Daftar Isi ........................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................................1

1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

2.1 Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Sifat Kimia.............................................................3

2.2 Sifat-sifat umum, Absorbsi, Distribusi, Eksresi, Sistem Monitoring, Efek


Kesehatan, dan Upaya-upaya Pengendaliannya ...........................................................................4

2.2.1 Sifat-sifat umum ............................................................................................... 5

2.2.2 Absorbsi ............................................................................................................ 5

2.2.3 Distribusi .......................................................................................................... 9

2.2.4 Ekskresi .......................................................................................................... 10

2.2.5 Sistem Monitoring .......................................................................................... 11

2.2.6 Efek Kesehatan dan Upaya-upaya Pengendaliannya ...................................... 13

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 16

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 16

3.2 Saran .......................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 18

ii
BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan
penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah


Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat memberikan akibat sampingkeracunan. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan penggunaan pestisida antara lain tingkat
pengetahuan, sikap/perilaku pengguna pestisida, penggunaan alat pelindung, serta kurangnya
informasi yang berkaitan dengan resiko penggunaan pestisida. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan setiaptahun terjadi sekitar 25 juta kasus keracunan pestisida atau sekitar
68.493kasus setiaphari. (Remembering Injured, dalam Raini) memperkirakan setiap tahun
terjadisekitar 25 juta kasus keracunan pestisida atau sekitar 68.493 kasus setiap hari. Data dari
Rumah Sakit Nishtar, Multan Pakistan, selama tahun 1996-2000 terdapat 578 pasien yang
keracunan, di antaranya 370 pasien karena keracunan pestisida (54 orangmeninggal). Pada
umumnya korban keracunan pestisida merupakan petani atau pekerja pertanian, 81% di antaranya
berusia 14-30 tahun (Ahad, dkk dalam Raini).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak dampak negatif dari penggunaan
pestisida, penggunaan pestisida dengan dosisi besar dan dilakukandengan terus menerus akan
menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produk-
produk pertanian, pencemaran padalingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan
pada hewan, keracunan pada manusia yang berdampak buruk terhadap kesehatan. Manusia akan
mengalamikeracunan baik akut maupun kronis yang berdampak pada kematian. Kenyataan
yangada di masyarakat selama ini. umumnya masyarakat tidak menyadari gejalakeracunan
pestisida karena gejala yang ditimbulkan tidak spesifik seperti pusing, mual, muntah, demam dan
Iain-lain namun secara kronis dapat menimbulkan penyakit yang serius seperti kanker.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana klasifikasi pestisida berdasarkan sifat kimia?


2. Bagaimana sifat-sifat umum, absorbsi, distribusi, eksresi, sistem monitoring, efek kesehatan
dan upaya-upaya pengendaliannya?

1
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Memahami klasifikasi pestisida berdasarkan sifat kimia.

2. Mengetahui sifat-sifat umum, absorbsi, distribusi, eksresi, sistem monitoring, efek kesehatan
dan upaya-upaya pengendaliannya.

2
BAB II PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai klasifikasi pestisida berdasarkan sifat kimia dan
sifat-sifat umum, absorbsi, distribusi, eksresi, sistem monitoring, efek kesehatan dan upaya-upaya
pengendaliannya.

2.1 Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Sifat Kimia


Berdasarkan komposisi senyawa kimianya dan pengaruhnya terhadap fisiologi, pestisida
dapat diklasifikasikan mejadi organoklorin, organofosfat, karbamat dan piretroid.

1. Organoklorin

Organoklorin merupakan kelompok pestisida pertama yang di sintetis untuk digunakan di


bidang pertanian dan kesehatan masyarakat (Yadav, 2017). Golongan ini terdiri atas karbon, klorin
dan hidrokarbon. Golongan ini sering disebut chlorinated hydrocarbons, chlorinated organics,
chlorinated insecticides atau chlorinated synthetics. Secara kimia golongan ini termasuk
insektisida dengan toksisitas relatif rendah tetapi mampu bertahan lama di lingkungan (Sudarmo,
2007).

Insektisida ini digunakan untuk mengontrol hama serangga dan dapat mengganggu sistem saraf
pada serangga yang menyebabkan kejang dan kelumpuhan, diakhiri dengan kematian. Contoh
paling umum dari pestisida jenis ini yaitu: DDT, lindane, endosulfan, aldrin, dieldrin dan
chlordane. Penggunaan DDT sudah banyak dilarang di beberapa negara, termasuk Amerika
Serikat. Namun di sebagian besar negara berkembang tropis, DDT masih digunakan untuk
pengendalian vektor (terutama malaria) (Yadav, 2017).

2. Organofosfat

Organofosfat sering disebut sebagai organic phosphates, phosphorus insecticides, phosphates,


phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoric acid esters (Sudarmo, 2007).
Pestisida golongan ini memliki spektrum luas yang dapat mengendalikan berbagai hama karena
berbagai fungsi yang dimilikinya. Organofosfat memiliki karakteristik sebagai racun lambung,
racun kontak dan racun fumigant yang mempengaruhi saraf.

Pestisida ini dapat terurai (biodegradable), menimbulkan polusi lingkungan yang rendah, dan
resisten lambat terhadap hama. Organofosfat lebih toksik terhadap hewan vertebrata dan

3
invertebrata. Efek yag ditimbulkan adalah pergerakan otot secara cepat (kejang), sehingga
menyebabkan kelumpuhan dan kematian. Insektisida organofosfat yang sering digunakan yaitu
parathio, malathion, diazinon dan glyphosphate (Yadav, 2017).

Pestisida golongan organofosfat tidak tahan terhadap suhu tinggi dan cahaya matahari,
khususnya spektrum ultraviolet. Dengan demikian apabila organofosfat diaplikasikan dengan
interval waktu yang lama sebelum masa panen, maka residu yang terdapat pada produk pertanian
akan semakin sedikit karena adanya proses degradasi yang dipengaruhi oleh suhu dan cahaya
matahari (Dewi, 2017).

3. Karbamat

Secara struktur, karbamat mirip dengan organofosfat. Namun karbamat berasal dari carbamic
acid atau dimethyl N –methyl carbamic acid yang digunakan sebagai insektisida, herbisida,
fungisida, dan nematisida. Persistensi karbamat lebih rendah dibandingkan dengan organoklorin
dan organofosfat (Garcia, dkk, 2012). Prinsip kerja pestisida karbamat mirip dengan organofosfat
yaitu dengan mempengaruhi transmisi sinyal saraf sehingga mengakibatkan kematian hama karena
keracunan. Karbamat dapat dengan mudah terdegradasi di lingkungan dengan menghasilkan
sedikit polusi. Beberapa pestisida yang termasuk dalam golongan ini yaitu carbaryl, carbofuran,
propoxur, dan aminocarb (Yadav, 2017).

4. Piretroid

Piretroid merupakan insektisida alami yang terbuat dari ekstrak piretrum dari bunga krisan,
yang lebih dikenal sebagai piretrin. Kemudian, pestisida ini diproduksi secara sintetis dan
diproduksi secara komersial (Garcia,2012). Piretroid sintetis bersifat lebih stabil dengan efek
residu yang lebih panjang dibandingkan piretroid alami. Piretroid sintetis akan bersifat sangat
toksik bagi serangga dan ikan, dibandingkan bagi mamalia dan burung. Pestisida ini bersifat non-
persisten dan mudah pecah strukturnya apabila terkena cahaya. Piretroid sintetis dianggap
insektisida paling aman digunakan dalam makanan. Cypermethrin dan permethrin merupakan jenis
piretroid sintetis yang paling banyak digunakan (Yadav, 2017)

2.2 Sifat-sifat umum, Absorbsi, Distribusi, Eksresi, Sistem Monitoring, Efek Kesehatan, dan
Upaya-upaya Pengendaliannya

4
2.2.1 Sifat-sifat umum

Pestisida memiliki sifat sendiri-sendiri satu dengan lainnya. Pestisida sering


digambarkan tingkat bahaya nya dengan tingkat bahaya racun dan toksisitasnya terhadap dampak
kesehatan manusia. Toksisitas (toxicity) merupakan daya racun pestisida artinya pestisida
memiliki potensi bawaan yang dapat menimbulkan kematian pada hewan yang tingkat tinggi
termasuk manusia.

Berikut gejala keracunan yang disebabkan pestisida pada umumnya menurut UNESCO
(1991) adalah:

a. Tanda dan gejala keracunan ringan, yaitu mual, lemas, pusing, sakit kepala, iritasi
hidung dan tenggorokan, iritasi kulit, iritasi mata, banyak keluar keringat, diare dan tidak
bergairah.

b. Tanda dan gejala keracunan sedang, yaitu mata berkunang-kunang, denyut nadi
lemah, kejang perut, muntah, gemetar, sesak napas, banyak keluar keringat, pupil mata menyempit,
dan lemas.

c. Tanda dan gejala keracunan berat, yaitu hilang kesadaran, detak jantung lambat,
semakin lama dapat menyebakan kematian.

2.2.2 Absorbsi

Absorpsi adalah suatu proses transfer toksikan (xenobiotika) melalui/melewati sistem


(sel) organ tubuh hingga ke dalam darah atau sistem sirkulasi limfatik. Tempat utama terjadinya
absorpsi adalah saluran pencernaan, paru-paru, dan kulit. Namun, absorpsi juga dapat terjadi
melalui tempat lain seperti subkutis, peritoneum, atau otot. Profesional eksperimentalis dan medis
membedakan antara pemberian obat atau xenobiotik melalui admistrasi parenteral dan enteral.
Administrasi enteral mencakup semua rute yang berkaitan dengan saluran pencernaan (sublingual,
oral, dan rektal), sedangkan administrasi parental mencakup semua rute lain (intravenous,
intraperitoneal, intramuscular, subcutaneous, dan lain-lain) (Klaassen, 2013). Kemudahan suatu
zat diabsorpsi ke dalam tubuh dapat berbeda-beda, tergantung dari beberapa faktor seperti berikut:

• Mekanisme pajanan ke target sistem organ


• Konsentrasi zat

5
• Sifat fisik dan kimia zat tersebut
Sebagai contoh, serbuk DDT sulit diabsorpsi melalu kulit, namun jika tertelan,
persentase absorpsinya menjadi tinggi.

Mudah atau tidaknya suatu toksikan terabsorpsi ke dalam tubuh tergantung dari sifat
permeabilitas membran. Permeabilitas membran merupakan kemampuan membran untuk mengatur lalu
lintas zat kimia melalui membran. Ada tiga jenis permeabilitas, yaitu:

1. Permeabel
Suatu membran dikatakan permeabel apabila pori-pori membran besar, sehingga molekul berukuran
besar maupun kecil dapat melintasinya.

2. Semipermeabel
Suatu membran dikatakan semipermeabel jika pori-pori membran lebih kecil, sehingga hanya molekul
yang berukuran kecil yang mampu melintasinya.

3. Nonpermeabel
Suatu membran dikatakan nonpermeabel apabila tidak ada lubang di dalam membran, sehingga tidak
ada molekul yang dapat melintasinya.

Transpor sel terbagi menjadi transpor pasif, transpor aktif, dan bulk transport

1. Transpor pasif merupakan pergerakan zat terlarut karena adanya gradien konsentrasi (yaitu
dari konsentrasi tinggi ke rendah), sehingga transportasi ini tidak memerlukan energi
(Kulbacka and Satkauskas, 2017). Transpor pasif berupa difusi, osmosis, dan difusi
terfasilitasi.
2. Transpor aktif adalah transportasi zat ke dalam atau ke luar sel dengan menggunakan energi
yaitu ATP. Energi dibutuhkan karena perpindahan zat yang terjadi berlawanan dengan gradien
konsentrasi (NIH, 2018a). Mekanisme transpor aktif ini penting dalam mekanisme
pengangkutan xenobiotik menuju hati, ginjal, dan sistem syaraf pusat, serta dalam
mempertahankan keseimbangan elektrolit dan nutrien. Pembawa yang terlibat dalam transpor
ini disebut sebagai pompa ion. Semua sel memiliki pompa ion spesifik yang mengangkut
natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Ada juga pompa tertentu yang dapat membawa
masuk serta mengeluarkan ion dari sel, ini merupakan protein pembawa khusus yang disebut
exchange pumps contohnya adalah sodium-potassium exchange pump atau sodiumpotassium

6
ATPase. Pompa ini mengkonsumsi sekitar 40% ATP yang diproduksi oleh sel. Selain itu, suatu
zat juga dapat dibawa masuk ke dalam sel dengan membentuk vesikula atau kantung berlapis
membran kecil untuk membawa zat tersebut. Proses membawa masuk zat dengan vesikula
disebut endositosis, sedangkan proses membawa keluar disebut eksositosis (Premkumar,
2004).
Tempat utama terjadinya absorpsi adalah saluran pencernaan, paru-paru, dan kulit.
Namun, absorpsi juga dapat terjadi melalui tempat lain seperti subkutis, peritoneum, atau otot.
Profesional eksperimentalis dan medis juga membedakan antara pemberian obat atau xenobiotik
melalui admistrasi parenteral dan enteral. Administrasi enteral mencakup semua rute yang
berkaitan dengan saluran pencernaan (sublingual, oral, dan rektal), sedangkan administrasi
parental mencakup semua rute lain (intravenous, intraperitoneal, intramuscular, subcutaneous, dan
lain-lain) (C. D. Klaassen, 2013).

a. Absorpsi melalui Saluran Pencernaan


Banyak bahan kimia dapat masuk ke saluran pencernaan melalui makanan dan minuman
atau sebagai obat serta jenis bahan kimia lainnya. Penyerapan dapat terjadi di sepanjang saluran
pencernaan. Lambung merupakan tempat penyerapan yang paling signifikan, terutama untuk asam
lemah yang bersifat diffusible, nonionized, dan lipid-soluble. Sementara itu, basa lemah akan
sangat terionisasi dalam asam lambung sehingga basa lemah tidak mudah diserap di lambung. Pada
usus, asam lemah akan muncul dalam bentuk yang terionisasi, sehingga kurang mudah diserap.
Sementara basa lemah akan muncul dalam bentuk yang tidak terionisasi sehingga lebih mudah
diserap. Peningkatan penyerapan pada usus akan terjadi selaras dengan lamanya waktu kontak dan
luas permukaan area karena adanya vili dan mikrovili pada usus. Beberapa toksikan seperti 5-
fluorouracil, thallium, dan timbal diketahui dapat diserap melalui usus dengan sistem transport
aktif. Selanjutnya, partikulat seperti azo dyes dan polystyrene latex dapat masuk ke sel usus
melalui pinositosis (Lu and Kacew, 2010).

b. Absorpsi melalui Sistem Pernapasan


Respirasi adalah mekanisme absorpsi melalui membran kapiler pulmonal, pada peristiwa
ini terjadi pertukaran gas antara udara dalam alveoli dan udara dari dalam darah.
Mekanisme difusi pada respirasi eksternal adalah sebagai berikut:

7
• Difusi oksigen dari udara ke darah, terjadi karena tekanan oksigen pada alveoli tinggi dan
tekanan oksigen pada kapiler-kapiler pulmonalis rendah.
• Difusi karbondioksida dari darah ke udara, terjadi karena tekanan karbondioksida pada alveoli
rendah dan tekanan tekanan karbondioksida pada kapiler pulmonalis tinggi.
Sedangkan respirasi internal adalah pertukaran gas yang terdapat di dalam kapiler
pembuluh darah dan gas dalam cairan jaringan (sel). Mekanisme difusi pada respirasi internal
adalah sebagai berikut:

• Difusi oksigen dari darah ke cairan jaringan (sel), terjadi ketika tekanan oksigen dalam
kapiler-kapiler sistemik tinggi dan tekanan oksigen dalam cairan jaringan (sel) rendah.
• Difusi karbondioksida dari cairan jaringan (sel) ke darah, terjadi ketika tekanan
karbondioksida pada kapiler sistemik rendah dan tekanan karbondioksida pada cairan
jaringan (sel) tinggi.
Respon toksik bahan kimia dapat terjadi akibat adanya pajanan secara inhalasi.
Contohnya adalah keracunan karbon monoksida dan silikosis. Toksisitas ini diakibatkan oleh
adanya penyerapan (absorpsi) atau pengendapan racun dari udara di paru-paru. Kelompok toksikan
utama yang diabsorpsi melalui paru-paru adalah gas (seperti karbon monoksida, nitrogen dioksida,
dan sulfur dioksida), uap dari cairan yang mudah menguap (benzena dan karbon tetraklorida) dan
aerosol (Klaassen, 2013).

c. Absorbsi melalui kulit


Untuk diserap dalam kulit, pertama-tama bahan kimia akan melewati stratum korneum dan
selanjutnya melewati enam lapisan kulit lainnya. Senyawa lipofilik umumnya akan diserap lebih
cepat, sebanding dengan sifat kelarutan lemaknya namun berbanding terbalik dengan berat
molekulnya. Sedangkan senyawa hidrofilik akan diserap lebih lambat oleh stratum korneum, oleh
karena itu senyawa hidrofilik lebih cenderung menembus kulit melalui pelengkap kulit seperti
folikel rambut. Permeabilitas kulit tergantung pada koefisien difusi dan ketebalan stratum
korneum. Fase kedua terdiri dari difusi melalui lapisan bawah epidermis dan dermis, selanjutnya
bahan kimia akan masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah dermis (Klaassen and
Watkins III, 2015).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan toksikan melalui kulit, meliputi
integritas stratum korneum; kondisi hidrasi stratum korneum; suhu lingkungan; pelarut yang

8
berfungsi sebagai pembawa; dan ukuran molekul (Klaassen and Watkins III, 2015). Beberapa zat
kimia (toksikan) relatif lebih mudah diserap oleh kulit, contohnya seperti SARIN, CCl4,
insektisida, dan benzena.

2.2.3 Distribusi

Distribusi adalah proses pergerakan toksikan tersirkulasi dari tempat asal pajanan ke
daerah lain di dalam tubuh baik melalui sistem peredaran darah maupun limfatik (Klaassen and
Watkins III, 2015). Setelah melalui proses absorpsi, toksikan akan terdistribusi melalui sistem
peredaran darah maupun limfatik menuju ke jaringan di dalam tubuh. Proses pergerakan ini akan
mengikuti mekanisme transportasi toksikan melewati membran sel. Toksikan yang mudah larut
dalam lemak akan lebih banyak ditemukan pada jaringan lemak tubuh. Sedangkan toksikan yang
mudah larut dalam air akan lebih banyak terdapat di darah. Beberapa faktor yang mempengaruhi
distribusi toksikan adalah sebagai berikut:

• Laju aliran darah ke jaringan


• Pergerakan melewati saluran kapiler
• Pergerakan melewati membran sel
• Kemampuan jaringan untuk mengikat toksikan
• Transpor aktif jaringan
• Kelarutan dalam lemak
Penyimpanan Toksikan

Toksikan di dalam tubuh dapat disimpan di beberapa lokasi yaitu:

a. Protein Plasma
Beberapa protein plasma mengikat xenobiotic serta beberapa konstituen endogen tubuh.
Albumin adalah protein utama dalam plasma dan dapat berikatan dengan banyak jenis senyawa
dibandingkan dengan protein lain dalam plasma seperti globulin, lipoprotein, dan glikoprotein
(Klaassen and Watkins III, 2015).

b. Hati dan Ginjal


Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengikat banyak bahan kimia.
Karakteristik ini mungkin terkait dengan fungsi metabolism dan ekskresi yang dimiliki oleh hati

9
dan ginjal. Protein tertentu yang memiliki sifat pengikat spesifik teridentifikasi berada pada kedua
organ ini, yaitu metallothionein. Metallothionein berperan pada pengikatan kadmium di hati dan
ginjal serta transfer logam dari hati ke ginjal (Lu and Kacew, 2010).

c. Lemak
Sifat lipofilik yang dimiliki oleh suatu senyawa akan menyebabkan senyawa tersebut
mengelami penetrasi oleh membrane sel dan penyerapan oleh jaringan secara cepat. Toksikan yang
bersifat sangat lipofilik akan didistribusikan dan terkonsentrasi di lemak tubuh dimana mereka
dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Senyawa yang biasanya disimpan pada jaringan
lemak misalnya DDT, dieldrin, dan polychlorinated biphenyls (PCB) (Klaassen, 2013).

d. Tulang
Tulang adalah tempat penyimpanan utama bagi toksikan seperti fluorida, timbal, dan
strontium. Penyimpanan terjadi melalui reaksi adsorpsi pertukaran antara cairan interstisial dan
kristal hidroksiapatit dari mineral tulang. Berdasrakan kesamaan ukuran dan muatan, F- dapat
dengan mudah menggantikan OH-, dan kalsium dapat digantikan oleh timbal atau strontium. Zat
yang disimpan ini dapat dilepaskan melalui pertukaran ionik dan melalui pelarutan kristal tulang
saat terjadi osteoklas (Lu and Kacew, 2010).

2.2.4 Ekskresi

Toksikan dapat keluar dari dalam tubuh melalui berbagai macam cara, antara lain
melalui urin, empedu, ekspirasi, feses, cairan serebrospinal, air susu ibu (ASI), keringat, serta
saliva.

1. Urin
Organ tubuh yang berperan penting terhadap ekskresi toksikan melalui urin adalah ginjal.
Banyak toksikan yang dimetabolisme oleh ginjal menjadi lebih larut dalam air agar lebih
mudah diekskresi melalui urin. Prosesnya berupa filtrasi glomerulus pasif, difusi tubuler pasif,
dan sekresi tubuler aktif.
2. Empedu
Ekskresi melalui empedu berasal dari metabolisme toksikan oleh organ hati. Hati merupakan
organ terpenting dalam metabolisme toksikan, termasuktoksikan yang telah diabsorpsi
melalui saluran pencernaan (gastrointestinal tract/ GIT), karena darah dari GIT akan melewati

10
terlebih dahulu sebelum akhirnya sampai pada sirkulasi darah sistemik. Metabolit dari hati
diekskresikan langsung ke empedu.
3. Paru-Paru
Toksikan yang tetap berada pada suhu tubuh akan diekskresikan melalui paru-paru. Contoh
toksikan yang diekskresikan melalui paru-paru antara lain:
a. Cairan yang mudah menguap, misalnya dietil eter
b. Gas dengan kelarutan rendah dalam darah, misalnya etilen
c. Gas dengan kelarutan tinggi dalam darah, misalnya kloroform
d. Gas anestesi dengan kelarutan tinggi, misalnya halotan dan metoksifluran
4. Feses
Feses merupakan salah satu jalur ekskresi toksikan hasil metabolisme pada saluran
gastrointestinal. Toksikan yang diekskresikan melalui feses umumnya berupa toksikan yang
sangat lipofil, seperti insektisida organoklor, TCDD, dan PCB.
5. Air susu
Ekskresi toksikan melalui air susu sangat berbahaya karena dapat memindahkan toksikan dari
ibu kepada anaknya atau dari hewan (misalnya sapi) kepada manusia. Toksikan diekskresikan
ke air susu melalui proses difusi.
6. Keringat dan saliva
Keringat dan saliva merupakan jalur minor untuk ekskresi toksikan.

2.2.5 Sistem Monitoring

Biological Monitoring

Biological Monitoring atau Biomonitoring adalah pengambilan sampel dari cairan tubuh
dan terkadang jaringan tubuh dengan tujuan mengetahui atau memperkirakan dosis internal
paparan bahan kimia di tempat kerja pada individu atau untuk menilai kisaran paparan internal
dalam populasi tertentu terhadap polutan di lingkungan. Selain untuk mengetahui atau
memperkirakan dosis internal dan menilai paparan dalam populasi, biomonitoring juga bertujuan
untuk menilai tingkat paparan toksikan dan risiko kesehatan yang dapat terjadi, serta mengetahui
efektivitas program pencegahan dan pengendalian risiko keselamatan dan kesehatan kerja.
Biomonitoring merupakan bagian dari program surveilans kesehatan kerja. Dalam melakukan
pengambilan sampel untuk diteliti, biasanya menggunakan urin, darah, rambut, udara yang

11
dihembuskan dari tubuh, dan air liur (saliva) (Klaassen, 2013). Sampel urin merupakan sampel
yang mudah untuk diambil di tempat kerja. Dalam mengambil sampel perlu diperhatikan waktu
pengambilan sampel sesuai yang ditetapkan ACGIH dalam setiap BEI. Waktu pengambilan
sampel menurut ACGIH meliputi:

a. Prior to shift
Pengambilan sampel 16 jam setelah selesai terpapar, tetapi sebelum terpapar apapun
pada hari pengambilan sampel.
b. Prior to last shift
Pengambilan sampel sebelum shift terakhir pada satu minggu kerja.
c. Increase during shift
Merupakan pengambilan sampel yang memerlukan sampel sebelum dan sesudah shift.
d. During shift
Pengambilan sampel kapanpun setelah 2 jam terpapar.
e. End of shift
Pengambilan sampel secepatnya setelah paparan selesai.
f. End of the workweek
Pengambilan sampel setelah 4 atau lima hari kerja berturut-turut terpapar.
g. Discretionary/Not critical
Pengambilan sampel yang dapat dilakukan kapan saja, dipengaruhi faktor waktu paruh
yang panjang dan tingkatannya mungkin memerlukan waktu bermingguminggu, berbulan-bulan,
atau bertahun-tahun setelah seorang pekerja pertama kali mulai bekerja sampai mendekati kondisi
aman dan sebanding dengan BEI. Perlu dilakukan pencatatan sampel dari awal karir pekerja yang
apabila menunjukkan adanya peningkatan dan memungkinkan adanya peningkatan paparan, maka
harus ditangani meskipun nilai paparannya masih di bawah BEI.
Untuk memastikan apakah terdapat toksikan dalam sampel yang diambil, harus dipahami
proses toksikokinetik toksikan yang akan diteliti dan memahami metabolit spesifik yang harus
diperiksa agar dapat mengetahui toksikan yang tepat berdasarkan sampel yang diambil. Dalam
pengambilan sampel urin, batas yang dapat diterima pada sampel urin adalah sebagai berikut.

• Creatinine concentration: > 0,3 g/L dan < 3,0 g/L, atau
• Specific gravity: >1,010 dan <1,030

12
Apabila sampel berada di luar rentang tersebut harus dibuang dan diambil spesimen lain
atau diulang kembali. Jika ada pekerja yang spesimen urinnya tidak sesuai atau tidak berada pada
pada rentang tersebut, perlu dilakukan evaluasi medik pada pekerja tersebut (ACGIH, no date).

2.2.6 Efek Kesehatan dan Upaya-upaya Pengendaliannya

Tanda-tanda Peringatan
Semua pestisida toksik. Perbedaan toksisitas adalah pada derajat atau tingkat toksisitas.
Pestisida akan berbahaya jika tejadi paparan yang berlebih. Pada label kemasan pestisida terdapat
4 tanda-tanda peringatan yang menunjukkan derajat pestisida tersebut. Tanda peringatan ini
menunjukkan potensi resiko pengguna pestisida bukan keampuhan produk pestisida.

Petunjuk yang Harus Diikuti bagi Pengguna Pestisida

1. Selalu menyimpan pestisida dalam wadah asli yang berlabel.


2. Jangan menggunakan mulut untuk meniup lubang pada alat semprot.
3. Jangan makan, minum atau merokok pada tempat penyemprotan dan sebelum
mencuci tangan.
Penanganan Keracunan Pestisida

Setiap orang yang pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida seperti petani,
buruh penyemprot dan Iain-lain harus mengenali gejala dan tanda keracunan pestisida dengan baik.
Tindakan pencegahan lebih baik dilakukan untuk menghindari keracunan. Setiap orang yang
berhubungan dengan pestisida harus memperhatikan hal-halberikut:

1. Kenali gejala dan tanda keracunan pestisida dan pestisida yang sering digunakan.
2. Jika diduga keracunan, korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat.
3. Identifikasi pestisida yang memapari korban, berikan informasi ini pada rumah sakit atau
dokter yang merawat.
4. Bawa label kemasan pestisida tersebut. Pada label tertulis informasi pertolongan pertama
penanganan korban.
5. Tindakan darurat dapat dilakukan sampai pertolongan datang atau korban dibawa ke rumah
sakit.
Pertolongan Pertama yang Dilakukan

13
1. Hentikan paparan dengan memindahkan korban dan sumber paparan, lepaskan
pakaian korban dan cuci/mandikan korban.
2. Jika, terjadi kesulitan pernafasan maka korban diberi pernafasan buatan. Korban
diinstruksikan agar tetap tenang. Dampak serius tidak terjadi segera, ada waktu untuk menolong
korban
3. Korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat. Berikan informasi
tentang pestisida yang memapari korban dengan membawa label kemasan pestisida
4. Keluarga seharusnya diberi pengetahuan/ penyuluhan tentang pesticida sehingga
jika terjadi keracunan maka keluarga dapat memberikan pertolongan pertama.
Dampak Pestisida bagi Kesehatan

Pestisida yang masuk ke tubuh dapat merusak sel dan mengganggu fungsi organ. Jika
terjadi secara terus-menerus, paparan pestisida berisiko menimbulkan beberapa masalah kesehatan
bagi manusia, seperti:

1. Gangguan reproduksi

Pestisida dapat meneyebabkan gangguan reproduksi, baik pada pria maupun wanita. Pada pria,
pestisida dapat menyebabkan gangguan hormon yang kemudian bisa mengakibatkan penurunan
produksi sperma.

Sementara itu, wanita yang sering terpapar pestisida berisiko mengalami gangguan kesuburan dan
melahirkan secara prematur.

2. Gangguan kehamilan dan perkembangan janin

Pestisida mengandung bahan kimia yang dapat merusak sistem saraf. Oleh karena itu, ibu hamil
disarankan untuk menghindari paparan pestisida, terutama pada trimester pertama kehamilan.

Pasalnya, pada 3 bulan pertama kehamilan, sistem saraf janin sedang berkembang pesat. Bila ibu
hamil terpapar pestisida pada masa ini, risiko terjadinya komplikasi kehamilan, cacat pada janin,
dan keguguran bisa meningkat.

3. Penyakit Parkinson

14
Penelitian menunjukkan bahwa pestisida diduga mampu meningkatkan risiko seseorang menderita
penyakit Parkinson, terutama bila paparannya tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang
lama. Hal ini disebabkan oleh racun di dalam pestisida yang dapat merusak saraf tubuh.

4. Pubertas dini

Ini juga merupakan bahaya pestisida lainnya. Bahan kimia pada pestisida diduga dapat
meningkatkan produksi hormon testosteron yang dapat menyebabkan pubertas dini pada anak laki-
laki.

5. Penyakit kanker

Telah banyak penelitian yang mengaitkan paparan pestisida dalam jangka panjang dengan
kemunculan kanker, seperti kanker ginjal, kulit, otak, limfoma, payudara, prostat, hati, paru-paru,
dan leukimia. Para pekerja pertanian adalah yang paling rentan terhadap risiko ini.

15
BAB III PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran.

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan komposisi senyawa kimianya dan pengaruhnya terhadap fisiologi, pestisida
dapat diklasifikasikan mejadi organoklorin, organofosfat, karbamat dan piretroid. Pestisida
memiliki sifat sendiri-sendiri satu dengan lainnya. Pestisida sering digambarkan tingkat bahaya
nya dengan tingkat bahaya racun dan toksisitasnya terhadap dampak kesehatan manusia.
Toksisitas (toxicity) merupakan daya racun pestisida artinya pestisida memiliki potensi bawaan
yang dapat menimbulkan kematian pada hewan yang tingkat tinggi termasuk manusia.

Absorpsi adalah suatu proses transfer toksikan (xenobiotika) melalui/melewati sistem (sel)
organ tubuh hingga ke dalam darah atau sistem sirkulasi limfatik. Tempat utama terjadinya
absorpsi adalah saluran pencernaan, paru-paru, dan kulit. Distribusi adalah proses pergerakan
toksikan tersirkulasi dari tempat asal pajanan ke daerah lain di dalam tubuh baik melalui sistem
peredaran darah maupun limfatik. Toksikan dapat keluar dari dalam tubuh melalui berbagai
macam cara, antara lain melalui urin, empedu, ekspirasi, feses, cairan serebrospinal, air susu ibu
(ASI), keringat, serta saliva. Biological Monitoring atau Biomonitoring adalah pengambilan
sampel dari cairan tubuh dan terkadang jaringan tubuh dengan tujuan mengetahui atau
memperkirakan dosis internal paparan bahan kimia di tempat kerja pada individu atau untuk
menilai kisaran paparan internal dalam populasi tertentu terhadap polutan di lingkungan. Semua
pestisida toksik.

Perbedaan toksisitas adalah pada derajat atau tingkat toksisitas. Pestisida akan berbahaya jika
tejadi paparan yang berlebih. Pada label kemasan pestisida terdapat 4 tanda-tanda peringatan yang
menunjukkan derajat pestisida tersebut. Tanda peringatan ini menunjukkan potensi resiko
pengguna pestisida bukan keampuhan produk pestisida. penanganan keracunan pestisida
diantaranya itu, Kenali gejala dan tanda keracunan pestisida dan pestisida yang sering digunakan,
Jika diduga keracunan, korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat, Identifikasi
pestisida yang memapari korban, berikan informasi ini pada rumah sakit atau dokter yang merawat,
Bawa label kemasan pestisida tersebut. Pada label tertulis informasi pertolongan pertama

16
penanganan korban, Tindakan darurat dapat dilakukan sampai pertolongan datang atau korban
dibawa ke rumah sakit.

3.2 Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh
dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

17
Daftar Pustaka

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/16342/05.2%20bab%202.pdf?sequence=7&i
sAllowed=y

http://repository.unimus.ac.id/1024/3/BAB%20II.pdf

https://www.scribd.com/document/365153433/Makalah-Keracunan-Pestisida

Kurniawidjaja, L. Meily, dkk. 2021. Konsep Dasar Toksikologi Industri. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Rahayu, Muji, dkk. 2018. Toksikologi Klinik. Jakarta: PPSDMK BPPSDMK.

https://www.fkm.ui.ac.id/wp-content/uploads/2021/files/Buku_Toksikologi_Industri.pdf

https://www.alodokter.com

4532-1-8645-2-10-20180216.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai