PENGOBATAN TUBERKULOSIS
MONORESISTAN INH DI INDONESIA
Pada tahun 2021, Surat Edaran Direktur Jenderal P2P Nomor HK.
02.02/III.I/936/2021 tentang Perubahan Alur Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis di
Indonesia mengamanatkan pengobatan TBC Monoresistan INH menjadi bagian dari
Program Penanggulangan TBC Nasional. Tatalaksana pasien TBC Monoresistan INH
dilaksanakan dengan prinsip berpusat pada pasien (patient centered approach) dengan
menggunakan paduan standar yang berkualitas di fasilitas pelayanan kesehatan baik di
Rumah Sakit maupun Puskesmas.
Kami ucapkan terima kasih kepada tim penyusun dan semua pihak terkait yang
telah berkontribusi dalam penyusunan Petunjuk Teknis Pengobatan TBC Monoresistan
INH di Indonesia. Semoga dokumen ini berperan dalam mewujudkan Indonesia bebas
TBC.
ii
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab :
dr. Imran Pambudi, MPHM Direktur P2PM
dr. Tiffany Tiara Pakasi Tim Kerja TBC & ISPA Dit P2PM
Kontributor :
Endang Lukitosari, dr, MPH Tim Kerja TBC & ISPA Dit P2PM
Meilina Farikha, dr, M.Epid Tim Kerja TBC & ISPA Dit P2PM
Mikyal Faralina, SKM WHO Indonesia
Editor :
Retno Kusuma Dewi, dr, MPH Tim Kerja TBC & ISPA Dit P2PM
Hanifah Rizky Purwandini S, SKM Tim Kerja TBC & ISPA Dit P2PM
Yusie Permata, dr, MIH STAR TBC/USAID
Tim Penyusun :
iii
Austin Agung Krisna Devanata, S.Kom Tim Kerja TBC & ISPA
iv
Setiawan Jatilaksono, dr., WHO Indonesia
Vini Gokana Clara Manurung, SKM Tim Kerja TBC & ISPA
Yani Jane Sugiri, Dr. dr., Sp.P(K) RSUD dr Saiful Anwar Malang
Yudi Permana, ST Tim Kerja TBC & ISPA
Yusie Permata, dr, MIH STAR TBC/USAID
Diterbitkan Oleh :
Kementerian Kesehatan RI
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. ii
vi
6. Manajemen Efek Samping Obat Aktif ............................................................. 29
7. Dukungan Pengobatan ................................................................................... 30
8. Hasil Akhir Pengobatan .................................................................................. 32
1. Pengelolaan Logistik.......................................................................................... 48
LAMPIRAN .............................................................................................................. 60
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR SINGKATAN
x
TAT Turn Around Time
TBC RO Tuberkulosis resistan obat
TBC RR Tuberkulosis resistan rifampicin
TBC SO Tuberkulosis sensitif obat
TBC XDR Tuberkulosis Extensively Druf Resistant
TBC Tuberkulosis
TBC-HIV Ko-infeksi tuberkulosis HIV
TCM Tes cepat molekuler
TDL Tidak dapat dilakukan/tidak dapat diisi
WHO World Health Organization
XDR Extensive drug resistance
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir yang digunakan pada tatalaksana TBC Monoresistan INH ......... 60
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Isoniazid merupakan salah satu obat lini pertama utama yang digunakan untuk
pengobatan TBC aktif dan infeksi laten TBC karena memiliki kemampuan bakterisidal
dan tingkat keamanan yang baik. Adanya kuman TBC yang resistan terhadap INH akan
menurunkan efektivitas pengobatan TBC. Pada tahun 2018, WHO memperkirakan
jumlah kasus TBC Monoresistan INH sebesar 7,4% pada TBC baru dan 11,4% pada TBC
pengobatan ulang. TBC Monoresistan INH berhubungan dengan peningkatan risiko
resistan obat didapat dan berkembang menjadi TBC MDR (resistan terhadap INH dan
rifampisin). Perhatian terhadap TBC Monoresistan INH masih sangat sedikit, meskipun
berbagai studi menunjukkan bahwa angka kegagalan pengobatan pada TBC
Monoresistan INH lebih tinggi dibandingkan pada TBC sensitif obat.
Selain rifampisin, isoniazid adalah obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama yang
utama karena kemampuan bakterisidal awalnya, sehingga bila terjadi resistansi terhadap
isoniazid maka efikasi pengobatan dapat menurun. Pada tahun 2018, WHO
mengeluarkan rekomendasi paduan pengobatan TBC Monoresistan INH yang terdiri dari
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan levofloksasin dan diberikan selama 6
bulan.
1
2. Pengertian TBC Monoresistan INH
TBC Monoresistan INH adalah TBC resistansi tunggal terhadap INH. Diperkirakan
sekitar 8% pasien TBC di seluruh dunia memiliki TBC yang rentan terhadap rifampisin
dan resistan isoniazid.
2
BAB II
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
1. Tujuan
Tatalaksana TBC Monoresistan INH bertujuan untuk menemukan dan mengobati
semua kasus TBC Monoresistan INH serta menyediakan layanan pengobatan yang
berkualitas dan mudah diakses oleh semua pasien.
3
BAB III
ALUR DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
MONORESISTAN INH
Pemeriksaan TCM
Pemeriksaan Pemeriksaan
Pemeriksaan radiologis / ulang TCM ***)
Uji kepekaan Pemeriksaan uji kepekaan antibiotik
molekler lini dua paket standar uji INH pasien dengan
(SL LPA / TCM XDR spektrum luas
kepekaan riwayat pengobatan
dll.) fenotipik sebelumnya Pemeriksaan ulang
TCM dan sesuaikan
pengobatan
berdasarkan hasil
TCM
*) Inisiasi pengobatan TBC-RO untuk kasus dengan riwayat **) Inisiasi pengobatan ***) Pengulangan hanya 1 kali.
pengobatan TBC. Sementara itu Hasil MTB pos Rif resistan dari kriteria dengan OAT lini satu Hasil pengulangan yang menjadi
terduga TBC baru harus diulang dan hasil pengulangan (yang acuan
memberikan hasil MTB pos) yang menjadi acuan
4
b. Permohonan pemeriksaan uji kepekaan INH (LPA lini satu) dan uji kepekaan lini dua
(LPA lini dua) untuk pasien TBC yang memiliki riwayat pengobatan dan hasil TCM
menunjukan Rif Sen, dilakukan sekaligus dalam 1 (satu) permohonan laboratorium
dari fasyankes pengirim ke laboratorium pemeriksa. Namun, pemeriksaan uji
kepekaan lini dua (SL LPA) hanya akan dilakukan oleh laboratorium jika pasien telah
terkonfirmasi resistan INH dari LPA lini satu (FL LPA).
5
Pada kecurigaan TBC Ekstra Paru dengan Monoresistan INH, spesimen non dahak
tertentu dapat diperiksa LPA. Jenis spesimen yang dapat diperiksa mengikuti
ketentuan spesimen yang dapat diperiksa untuk pemeriksaan molekuler.
Pemeriksaan LPA dari spesimen non dahak dilakukan melalui isolat. Tidak
diperbolehkan melakukan LPA langsung dari spesimen non dahak. Diperlukan
koordinasi dengan laboratorium rujukan biakan agar isolat dapat dikirimkan ke
laboratorium rujukan LPA.
6
Pemeriksaan LPA merupakan tes berbasis molekuler menggunakan strip DNA yang
dapat menentukan jenis resistansi obat terhadap M.TBC. Tes tersebut dilakukan
melalui pengikatan hasil amplifikasi terhadap probe target. Pemeriksaan LPA lini
satu adalah uji in vitro kualitatif untuk identifikasi M. tuberculosis kompleks dan
resistansi terhadap obat rifampisin dan isoniasid, dari spesimen dahak dengan BTA
positif atau negatif dan biakan.
Resistansi INH pada pemeriksaan LPA lini satu dideteksi dengan adanya mutasi
pada gen InhA (terkait dengan resistansi INH pada konsentrasi rendah) atau mutasi
gen KatG (terkait dengan resistansi INH pada konsentrasi tinggi), sedangkan
resistansi Rifampisin dideteksi dengan adanya mutase pada gen rpoB. Mutasi pada
pemeriksaan LPA dideteksi dengan adanya pengikatan amplikon ke probe target
yang biasanya sering terjadi pada probe MUT atau terjadinya penurunan pengikatan
hibridisasi yang ditandai dengan munculnya pita pada strip tes. Rerata waktu
pemeriksaan LPA lini satu adalah 1-2 hari. Waktu tunggu hasil pemeriksaan (TAT=
Turn Around Time) LPA lini satu yang didefinisikan sebagai jarak waktu dari
spesimen diterima di laboratorium sampai hasil pemeriksaan tercatat di sistem
pencatatan pelaporan adalah 7 hari.
Sensitivitas dan spesifitas LPA lini satu untuk tiap obat berbeda. Berdasarkan
pedoman Global Laboratory Initiative (2018), kemampuan LPA lini satu untuk
deteksi resistansi isoniasid (H) menunjukkan sensitivitas 90,2% dan spesifitas
99,2%, sedangkan kemampuan LPA lini satu untuk deteksi resistansi rifampisin (R)
mempunyai sensitivitas sebesar 96,7% dan spesifisitas 98,8%. Hasil LPA lini satu
dapat dilihat sesuai tabel 1 dibawah ini:
7
Tabel 1. Ringkasan Hasil Interpretasi LPA Lini Satu
Item Uji Hasil Uji Kesimpulan Tindaklanjut / Keterangan
Invalid Pemeriksaan invalid Perlu dilakukan pengulangan
LPA lini 1 pemeriksaan LPA lini satu
Valid Pemeriksaan valid Lihat hasil uji MTB, H dan R
MTB MTB Detected (D) MTB Pos M. tuberculosis terdeteksi
MTB Not Detected (ND) MTB Neg M. tuberculosis tidak terdeteksi
Resistance Detected
H Resistan -
(RD)
Resistance Not
H (Isoniazid) H Sensitif -
Detected (RND)
Dosis
Dilakukan pengulangan
Rendah (low) Res Inferred (RI) H Inferred
pemeriksaan LPA lini satu
Dilakukan pengulangan
Indeterminate (IDT) H indeterminate
pemeriksaan LPA lini satu
H (Isoniazid) Resistance Detected
H Resistan -
Dosis Tinggi (RD)
(high) Resistance Not
H Sensitif -
Detected (RND)
Dilakukan pengulangan
Res Inferred (RI) H Inferred
pemeriksaan LPA lini satu
Dilakukan pengulangan
Indeterminate (IDT) H indeterminate
pemeriksaan LPA lini satu
R Resistance Detected
R Resistan -
(Rifampisin) (RD)
Resistance Not
R Sensitif -
Detected (RND)
Dilakukan pengulangan
Res Inferred (RI) R Inferred
pemeriksaan LPA lini satu
Indeterminate (IDT) R Indeterminate Dilakukan pengulangan
pemeriksaan LPA lini satu
Eto Resistance Detected
R Resistan -
(Etionamid) (RD)
Resistance Not
R Sensitif -
Detected (RND)
Dilakukan pengulangan
Res Inferred (RI) R Inferred
pemeriksaan LPA lini satu
Indeterminate (IDT) R Indeterminate Dilakukan pengulangan
pemeriksaan LPA lini satu
Pto Resistance Detected
R Resistan -
(Protionamid) (RD)
Resistance Not
R Sensitif -
Detected (RND)
Dilakukan pengulangan
Res Inferred (RI) R Inferred
pemeriksaan LPA lini satu
Indeterminate (IDT) R Indeterminate Dilakukan pengulangan
pemeriksaan LPA lini satu
8
Keterangan:
Jika terdapat > 1 hasil pemeriksaan LPA maka hasil akhir yang diambil adalah hasil
gabungan dari pemeriksaan ke-1 dan ke-2
9
KM Resistance NOT KM Sen
DETECTED
KM Resistance KM Indet
INDETERMINATE
CM Resistance DETECTED CM Res
CM Resistance NOT CM Sen
6 Kapreomisin (CM) DETECTED
CM Resistance CM Indet
INDETERMINATE
ETH Resistance DETECTED ETH Res
7 Etionamid (ETH) ETH Resistance NOT ETH Sen
DETECTED
10
(2) Uji kepekaan OAT lini dua untuk pasien TBC yang terkonfirmasi TBC
Rifampisin Resistan sebagai pemeriksaan baseline untuk mengetahui
resistansi terhadap OAT lini dua golongan fluoroquinolone (FQ) dan
SLID (Second Line Injection Drugs).
Keterangan:
Pemeriksaan LPA lini satu dan dua digunakan dalam Program TBC sampai
tersedia kartrid TCM MTB/XDR. Implementasi penggunaan kartrid TCM
MTB/XDR secara nasional akan diinformasikan terpisah.
Terduga TBC
2 (dua)
spesimen
TCM
• LPA lini 2
• TCM XDR jika sudah
tersedia
11
Keterangan alur rujukan pemeriksaan INH dengan LPA lini satu:
a. Terduga TBC dilakukan pemeriksaan TCM. Pada terduga TBC dengan
hasil akhir TCM Rifampisin Resistan (Rif Res) maka akan mengikuti alur
tatalaksana pasien TBC RR/MDR.
b. Terduga TBC yang memiliki riwayat pengobatan dengan hasil TCM Rif Sen
akan dilakukan pemeriksaan uji kepekaan INH menggunakan metode LPA
lini satu. Permohonan pemeriksaan uji kepekaan LPA lini satu dan lini dua
di SITB dilakukan sekaligus dalam 1 (satu) permohonan laboratorium dari
fasyankes pengirim ke laboratorium pemeriksa.
*) Jika pasien terduga Monoresistan INH telah terkonfimasi resistan INH
dari pemeriksaan LPA lini satu maka dilanjutkan pemeriksaan uji kepekaan
lini dua (SL LPA)/TCM MTB/XDR, jika masih terbukti sensitif INH maka
tidak dilanjutkan pemeriksaan LPA lini dua/TCM MTB/XDR.
c. Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk pemeriksaan LPA bagi terduga
Monoresistan INH adalah 2 (dua) dahak yaitu Sewaktu-Sewaktu, Sewaktu
– Pagi maupun Pagi – Sewaktu, dengan jarak 1 jam dari pengambilan
dahak pertama ke pengambilan dahak kedua. Standar kualitas dahak yang
digunakan adalah dahak dengan volume 3-5 ml dan mukopurulen.
d. Pemeriksaan LPA lini satu dilakukan pada 1 (satu) dahak berkualitas baik.
Pemeriksaan LPA lini dua untuk uji kepekaan OAT lini dua (Lfx) pada
pasien Monoresistan INH dapat dilakukan dari DNA ekstraksi yang berasal
dari pemeriksaan LPA lini satu sebelumnya. Dahak kedua/lainnya
digunakan sebagai cadangan jika diperlukan pengulangan pemeriksaan
LPA (lini satu dan dua) pada pasien dengan hasil Invalid, Inferred, dan
Indeterminate.
e. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan LPA untuk uji kepekaan INH
harus dilengkapi dengan form TBC.05 SITB dan salinan hasil pemeriksaan
TCM yang menunjukkan hasil Rif Sen bagi terduga Monoresistan H.
• Jika data pasien dan permohonan pemeriksaan laboratorium sudah
diregister di SITB sebelum batas waktu 7 hari, maka fasyankes
pengirim harus menginformasikan hal tersebut kepada laboratorium.
12
• Jika dalam waktu > 7 hari kalender data terduga / pasien belum
terdaftar di Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) maka laboratorium
tidak akan melakukan pemeriksaan LPA dan membuang spesimen
tersebut.
• Laboratorium LPA akan menyimpan spesimen yang belum ada
permohonan pemeriksaan laboratorium di SITB dalam bentuk sputum
dan disimpan pada suhu 2-8o C.
Informasi Tambahan:
Pada hasil MTB Not Detected dari hasil pemeriksaan LPA lini satu
dan/atau lini dua tidak perlu dilakukan pengulangan pemeriksaan karena
spesimen telah berasal dari pasien TBC dengan hasil Rif Res ataupun Rif
Sen.
Pembagian wilayah rujukan spesimen untuk pemeriksaan LPA lini satu dan
dua dengan 7 (tujuh) laboratorium rujukan dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Pembagian ini dimungkinkan berubah sesuai pengaturan yang dilakukan oleh
Program Pengendalian TBC.
13
Tabel 3. Rujukan Pemeriksaan LPA Lini Satu dan Dua (7 laboratorium)
No Laboratorium LPA Lini dua Jejaring Rujukan Provinsi / Fasyankes
Pengirim
1 Laboratorium Mikrobiologi RSUP Persahabatan
RSUP Persahabatan
2 BBLK Surabaya • Jawa Timur
• Bali
• Nusa Tenggara Barat
• Nusa Tenggara Timur
• Kalimantan Barat
• Kalimanten Tengah
• Kalimantan Timur
• Kalimantan Utara
• Papua
• Papua Barat
3 Laboratorium Tuberkulosis • Seluruh RS di wilayah Provinsi DKI
UKK LMK FKUI Jakarta (Kecuali RSUP Persahabatan)
• Aceh
• Sumatera Utara
• Sumatera Barat
• Kepulauan Riau
• Banten
• Kalimantan Selatan
• RSP Gunawan, Cisarua
4 Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (kecuali RSP Gunawan, Cisarua)
Provinsi Jawa Barat
14
4) Ketentuan pengulangan pemeriksaan LPA pada terduga / pasien TBC
Monoresistan INH
Pemeriksaan LPA lini satu dan dua dapat dilakukan pengulangan jika hasil
interpretasi pemeriksaan adalah invalid, indeterminate, dan inferred (lihat
detail ketentuan pengulangan pada Petunjuk Teknis Pemeriksaan LPA Lini
satu dan dua.
15
BAB IV
PENGOBATAN TBC MONORESISTAN INH
1. Prinsip Pengobatan
Pasien TBC Monoresistan INH dapat ditata laksana di fasilitas pelayanan kesehatan
baik di rumah sakit maupun Puskesmas di instalasi rawat jalan TBC oleh dokter umum
terlatih maupun dokter spesialis terkait (paru, penyakit dalam). Semua OAT untuk
pengobatan TBC Monoresistan INH harus ditelan setiap hari dengan pengawasan
langsung oleh anggota keluarga pasien yang ditunjuk sebagai pengawas menelan obat
(PMO). Rumah sakit / Puskesmas dapat membekali obat pasien TBC Monoresistan INH
selama 2 minggu untuk 1 bulan pertama, selanjutnya obat dapat diberikan setiap bulan.
2. Paduan Pengobatan
INH merupakan salah satu obat utama pada pengobatan TBC. Pada pasien TBC
Monoresistan INH, idealnya obat INH tidak diberikan lagi dalam paduan pengobatan.
Namun, mengingat paket obat yang disediakan oleh Program TBC Nasional adalah
sediaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT), obat INH masih diberikan dalam pengobatan
pasien TBC Monoresistan INH.
Paduan pengobatan bagi pasien TBC Monoresistan INH adalah kombinasi obat
rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan levofloksasin (Lfx) atau
R-H-Z-E-Lfx yang diberikan selama 6 bulan. Bila di fasyankes tersedia obat TBC lepasan,
pasien dapat diberikan paduan pengobatan tanpa INH (R-Z-E-Lfx).
6 R-(H)-Z-E-Lfx
16
b. Isoniazid.
Isoniazid, yang disebut juga dengan isonikotinat hidrazid (INH), merupakan obat
TBC bersifat bakterisidal yang efektif membunuh kuman yang sedang aktif
bereplikasi.
c. Pirazinamid.
Pirazinamid merupakan obat TBC yang bersifat bakterisidal dan diketahui
berperan dalam memperpendek durasi pengobatan TBC.
d. Etambutol.
Etambutol merupakan obat TBC bersifat bakteriostatik yang bekerja dengan
menghambat pembentukan dinding sel bakteri.
e. Levofloksasin.
Levofloksasin merupakan obat golongan fluorokuinolon yang menjadi pilihan untuk
paduan pengobatan TBC Monoresistan INH dibandingkan dengan moksifloksasin
(Mfx) karena alasan berikut:
• Kombinasi rifampisin dan Mfx akan menyebabkan konsentrasi Mfx berkurang
signifkan dibandingkan dengan kombinasi rifampisin dan Lfx,
• Efek pemanjangan interval QT dari Lfx lebih rendah dibandingkan Mfx.
Pada kondisi dimana obat Lfx tidak dapat digunakan karena terjadi intoleransi berat
(KTD serius) atau terdapat kontra indikasi, pengobatan yang diberikan ialah paduan R-
H-Z-E selama 6 bulan. Kondisi yang menyebabkan pengobatan TBC Monoresistan INH
dapat diberikan tanpa levofloksasin antara lain:
a. Tendinitis berat,
b. Pemanjangan interval QT yang berlanjut ke disritmia fatal,
c. Insomnia berat,
d. Mual muntah berat
yang sudah dilakukan tata laksana medikamentosa efek samping yang adekuat
namun tidak ada perbaikan klinis.
17
Bila pengobatan TBC Monoresistan INH tidak dapat menggunakan Lfx, pemberian
INH dosis tinggi pada paduan R-H-Z-E dapat dipertimbangkan bila diketahui resistansi
INH yang dialami pasien adalah dosis rendah (mutasi gen inhA) dan bila obat INH dosis
tinggi tersedia. Pasien TBC Monoresistan INH yang akan diberikan INH dosis tinggi perlu
dirujuk ke Fasyankes TBC RO. Obat injeksi golongan aminoglikosida (streptomisin,
kanamicyn, amikasin) dan kapreomisin tidak boleh ditambahkan pada paduan
pengobatan TBC Monoresistan INH.
Semua obat pada pengobatan TBC Monoresistan INH diberikan setiap hari selama
6 bulan. Ringkasan mengenai durasi pemberian obat pada pengobatan TBC
Monoresistan INH dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
1
Rifampisin 6 bulan
2
Isoniazid 6 bulan
3
Etambutol 6 bulan
4
Pirazinamid 6 bulan
5
Levofloksasin 6 bulan
Pemanjangan durasi pengobatan TBC Monoresistan INH menjadi 9–12 bulan dapat
dipertimbangkan pada kasus tertentu seperti TBC paru lesi luas, TBC milier, TBC paru
konversi lambat (lebih dari 2 bulan, untuk konversi BTA maupun kultur), serta TBC
ekstraparu berat (TBC meningitis, TBC tulang, TBC spondilitis, TBC perikarditis, dan TBC
abdomen). Perlu diperhatikan bahwa pemanjangan durasi pengobatan dapat
meningkatkan risiko toksisitas.
18
Obat TBC Monoresistan INH diberikan sesuai dengan dosis berdasarkan kelompok
berat badan pasien. Pada tabel 5 di bawah dapat dilihat dosis OAT berdasarkan berat
badan untuk paduan pengobatan TBC Monoresistan INH yang menggunakan KDT
maupun obat lepasan.
b. Gangguan Hati
1) Tatalaksana TBC Monoresistan INH pada pasien dengan Gangguan Hati
Dari semua OAT lini pertama yang digunakan pada pengobatan TBC
monoresisten INH, obat yang memiliki efek hepatotoksik adalah Rifampisin dan
PZA. Pada beberapa kepustakaan, PZA memiliki efek yang paling
hepatotoksik.
Pasien dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, OAT yang bersifat
hepatotoksis (yaitu Rifampisin dan PZA) dapat ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan TB berat untuk sementara
dapat diberikan paduan less hepatotoksik yaitu Etambutol dan Fluoroquinolon
19
dan Streptomisin. Setelah keadaan membaik, berikan paduan standar dari
awal atau melanjutkan dari paduan sebelumnya.
Pada pasien dengan penyakit hati kronik lanjut, pemeriksaan fungsi hati
lengkap harus dilakukan sebelum pengobatan dimulai dan secara berkala
selama pengobatan. Apabila kadar SGOT dan/ SGPT > 3x normal dan / atau
Bilirubin total > 2 mg/dl sebelum terapi dimulai maka paduan obat berikut ini
perlu dipertimbangkan. Paduan obat yang dapat diberikan adalah dapat
mengandung 2 obat hepatotoksik (R Z E Lfx), 1 obat hepatotoksik (R E Lfx atau
Z E Lfx S) atau tanpa obat hepatotoksik (S E Lfx).
Pemantauan fungsi hati lengkap harus dilakukan pada semua pasien sirosis
hepatitis (penyakit hati kronik) tiap bulannya karena cidera hati akibat OAT
lebih sering dijumpai pada pasien yang menderita sirosis hepatitis (penyakit
hati kronik) dibanding pasien yang tidak dan pengobatan dapat diubah
berdasarkan nilai fungsi hati. Pada keadaan TB dengan komorbid kelainan hati
dianjurkan untuk rawat Bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam /
dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi.
20
untuk menambahkan OAT lini kedua lainnya yang non hepatotoksik seperti
Clofazimine dan Sikloserin.
21
c. Kehamilan
Pada dasarnya gambaran TBC pada wanita hamil mirip dengan orang yang tidak
hamil, dengan manifestasi penyakit yang paling umum adalah TBC paru. Langkah
paling penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan adalah identifikasi faktor
risiko TBC dan pertanyaan spesifik tentang gejala yang mengarah pada infeksi.
TBC dikaitkan dengan peningkatan komplikasi pada ibu hamil dan bayi.
Keterlambatan diagnosis dan pengobatan TBC akan memberikan hasil yang tidak
menguntungkan. Pengobatan TBC pada ibu hamil yang tidak adekuat dapat
menimbulkan komplikasi seperti preeklamsia, perdarahan vagina, keguguran,
persalinan prematur, dan kematian. Meskipun TBC kongenital tidak umum, hal ini
terkait dengan cacat bawaan dan komplikasi neonatal lainnya termasuk berat
badan lahir rendah, prematuritas, dan kematian. TBC kongenital sejati adalah
komplikasi yang jarang terjadi pada infeksi TBC in utero karena penyebaran
hematogen dari ibu. TBC kongenital sulit untuk didiagnosis karena secara klinis
sulit dibedakan dari infeksi neonatus atau kongenital lainnya. Gejala biasanya
muncul pada minggu kedua atau ketiga pascapersalinan. Hepatosplenomegali,
gangguan pernapasan, demam sering terjadi dan gambaran radiografi dada yang
abnormal serta keterlibatan liver (tempat fokus primer/Ghon) menjadi tanda utama
TBC kongenital akibat penularan melalui plasenta.
Menurut panduan yang diberikan oleh WHO, agen anti-TBC lini pertama dapat
digunakan selama kehamilan setelah mempertimbangkan risiko dan manfaat
pengobatan. WHO merekomendasikan bahwa pengobatan TBC pada wanita
22
hamil harus sama dengan pengobatan pada wanita tidak hamil, satu-satunya
pengecualian adalah bahwa streptomisin harus dihindari pada kehamilan karena
bersifat ototoksik bagi janin. Peningkatan kejadian kelainan tidak terlihat pada bayi
dari ibu yang diobati dengan fluoroquinolone. Namun, penelitian pada hewan
ciprofloxacin menunjukkan potensi risiko kerusakan tulang rawan artikular saat
terkena dosis tinggi. Secara umum, fluoroquinolones dapat digunakan dengan
aman pada wanita hamil dengan TBC yang resistan terhadap obat di mana
manfaat pengobatan jelas lebih besar daripada potensi risikonya.
Jika bayi memerlukan pengobatan untuk penyakit TBC aktif yang dideritanya atau
sebagai pengobatan profilaksis primer, dosis obat berdasar berat badan sesuai
dengan pedoman. Pemberian piridoksin tidak dianggap perlu pada bayi yang
mendapat ASI dari ibu yang menerima isoniazid kecuali bayi tersebut juga
menerima isoniazid, tetapi suplementasi multivitamin standar harus
dipertimbangkan. Menyusui tidak dianjurkan pada ibu yang belum memulai
pengobatan pada saat melahirkan dan pada mereka yang masih aktif
mengeluarkan kuman saat batuk. Bayi dari ibu dengan TBC aktif masih dapat
terinfeksi, melalui penyebaran aerosol, bahkan jika diberi susu formula. Oleh
karena itu, jika ibu yang baru didiagnosis TBC aktif dan belum diobati, harus
dipisahkan dari bayinya untuk mencegah paparan.
23
e. HIV
Pengobatan ARV dimulai dalam 8 minggu sejak pengobatan TBC dimulai (tanpa
memperhatikan jumlah CD4) atau dalam waktu 2 minggu pada pasien dengan
imunosupresi yang jelas (mis. jumlah CD4 <50 sel/mm3).
f. Gangguan Ginjal
Ekskresi etambutol dan metabolit pirazinamid terjadi di ginjal sehingga perlu
penyesuaian dosis atau interval pemberian. Dosis OAT untuk pasien gagal ginjal
dosis disesuaikan dengan kondisi pasien yang menjalani hemodialisis, klirens
kreatinin < 30 ml/menit, dan dialisis peritoneum. Bila klirens kreatinin <30 ml/menit,
dosis rifampisin tidak terpengaruh, sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis. Etambutol, pirazinamid, dan levofloksasin dosis tetap tetapi frekuensi
pemberian 3x seminggu dan OAT diberikan langsung setelah dialisis.
Ketentuan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal dapat dilihat
pada tabel 6 berikut.
24
setelah urat serum.
HD
Etambutol 15mg/kg 15mg/kg 15mg/kg 15mg/kg 15mg/kg Sebaiknya
(15mg/kg/hari) diberikan diberikan diberikan diberikan diberikan dihindari kecuali
setiap 24 setiap 48 setiap 48 3 kali per setiap 48 sangat
jam jam jam minggu jam diperlukan.
setelah Diekskresi
HD terutama
melalui ginjal.
Perlu dilakukan
pemeriksaan
mata berkala.
Levofloksasin 750-1000 mg/kali, 3x seminggu
25
Apabila uji kepekaan menunjukkan adanya resistansi terhadap INH namun sensitif
terhadap levofloksasin, maka status pengobatan TBC di SITB ditutup dan dicatat sebagai
“Gagal karena perubahan diagnosis”. Pasien didaftarkan kembali sebagai pasien TBC
Monoresistan INH dan pengobatan R-H-Z-E-Lfx dimulai dari awal. Obat levofloksasin
tidak dapat diberikan sampai hasil uji kepekaan (LPA) tersedia dan diketahui sensitif.
Apabila hasil LPA lini satu menunjukan rifampisin resistan, meskipun hasil TCM
menunjukan rifampisin sensitif maka pasien ditatalaksana sebagai pasien TBC RR/MDR.
Diskordan antara LPA lini satu dan TCM dapat terjadi karena perbedaan target gen yang
diperiksa.
Bila diagnosis pasien berdasarkan dugaan kuat TBC Monoresistan INH, yaitu pada
kontak erat pasien terkonfirmasi TBC Monoresistan INH, pengobatan TBC Monoresistan
INH dengan paduan R-H-Z-E-Lfx dapat langsung dimulai meskipun hasil uji kepekaan
INH dan Lfx belum tersedia. Pengobatan dapat disesuaikan bila hasil uji kepekaan
tersedia.
26
Ketentuan pemeriksaan awal bagi pasien TBC Monoresistan INH sesuai tabel 7.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan Awal
5. Pemantauan Pengobatan
Pemantauan klinis untuk pasien TBC Monoresistan INH mengikuti prinsip yang sama
dengan pengobatan TBC sensitif obat (TBC SO). Pemantauan bakteriologis juga
mengikuti jadwal yang sama dengan TBC SO, dimana pemeriksaan BTA dilakukan pada
akhir bulan ke-2, akhir bulan ke-5 dan akhir pengobatan. Pada pasien yang tidak respon
terhadap pengobatan (bila hasil BTA masih positif pada bulan ke-2, 5, 6), maka perlu
dilakukan pemeriksaan TCM MTB/RIF ulang.
27
Pemeriksaan penunjang untuk pemantauan pengobatan pasien TBC Monoresistan
INH berbeda dengan pasien TBC SO. Pada pasien TBC Monoresistan INH dilakukan
pemantauan yang lebih ketat untuk pemeriksaan berikut:
• Pemantauan fungsi penglihatan, karena risiko efek toksik obat etambutol seperti
neuritis retrobulbar (dapat diperiksa tes buta warna merah-hijau yang merupakan
tanda awal terjadinya toksisitas obat).
• Pemeriksaan fungsi hepar: dapat dilakukan sesuai indikasi dan mengikuti alur jejaring
BPJS Kesehatan.
• Pemeriksaaan fungsi ginjal: dapat dilakukan sesuai indikasi dan mengikuti alur
jejaring BPJS Kesehatan.
• Pemeriksaan EKG dilakukan sesuai indikasi dan mengikuti alur jejaring BPJS
Kesehatan.
Pemantauan pengobatan pasien TBC Monoresistan INH dapat dilihat pada tabel 8
berikut:
Tabel 8. Pemantauan Pengobatan Pasien TBC Monoresistan INH
28
Pemeriksaan Penunjang
b. Jika pada proses reintroduksi ditemukan obat yang menyebabkan alergi, maka
obat tersebut harus dihentikan. Proses desensitisasi obat merupakan pilihan yang
dapat diambil terutama jika pasien alergi terhadap obat lini pertama dan lini kedua
atau jika tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Desensitisasi obat
dikontraindikasikan pada reaksi hipersentivitas yang tidak dimediasi oleh IgE,
misalnya pada reaksi Sindrom Steven-Johnson.
29
c. Proses desensitisasi obat dilakukan tergantung pada derajat berat-ringannya
reaksi alergi yang terjadi. Jika reaksi alergi yang terjadi derajat ringan, maka dapat
dilakukan desensitisasi dengan eskalasi dosis per hari (single step daily
escalation).
d. Jika reaksi alergi yang dialami berat, maka dapat dimulai dengan dosis yang jauh
lebih kecil dan dinaikkan bertahap beberapa kali dalam satu hari (multistep daily
dose escalation).
7. Dukungan Pengobatan
Pasien TBC Monoresistan INH memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami resistansi
tambahan dan terjadinya TBC MDR, yang dapat muncul dalam episode pengobatan
ataupun setelah pengobatan (bila terjadi kekambuhan). Untuk itu, penting dilakukan
edukasi secara rutin kepada pasien dan keluarga agar teratur menelan obat dan
menyelesaikan pengobatan TBC Monoresistan INH sesuai dengan anjuran dokter.
Pasien juga perlu diedukasi mengenai efek samping pengobatan yang dapat terjadi agar
pasien segera berkonsultasi dengan petugas kesehatan di fasyankes bila mengalami hal
tersebut dan agar pasien tidak menghentikan pengobatannya secara sepihak.
30
Dukungan pengobatan pasien TBC Monoresistan INH dapat dilihat pada tabel 9
berikut
Tabel 9. Dukungan pengobatan pasien TBC Monoresistan INH
31
8. Hasil Akhir Pengobatan
Hasil akhir pengobatan TBC Monoresistan INH sama dengan TBC SO dan dapat
dilihat pada tabel 10 berikut.
Sembuh Pasien TBC paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada
awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pengobatan lengkap Pasien TBC yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa
pengobatan; atau kapan saja dalam masa pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistansi OAT.
Meninggal Meninggal Pasien TBC yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TBC yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TBC yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui
oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
Tata laksana pasien tidak konversi dan gagal pengobatan TBC Monoresistan INH:
a. Pasien dikatakan tidak konversi bila hasil BTA pada bulan ke-2 masih positif.
b. Apabila pasien tidak konversi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TCM MTBC/Rif
pada pasien untuk mengetahui status resistansi terhadap rifampisin.
1) Apabila hasil TCM adalah Rifampisin Resistan, maka diagnosis pasien
berubah menjadi TBC MDR. Pasien ditutup status pengobatannya di SITB
sebagai gagal pengobatan. Pasien harus dirujuk ke fasyankes penyedia
32
layanan TBC RO untuk dapat segera diberikan pengobatan yang sesuai
berdasarkan pola resistansi OAT dan kondisi klinisnya.
2) Apabila hasil TCM adalah Rifampisin Sensitif, maka dapat meneruskan
pengobatannya.
c. Pasien yang dinyatakan gagal pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan TCM
MTB/RIF ulang.
1) Apabila hasil TCM menunjuk rifampisin sensitif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan molekular dan fenotipik.
2) Tatalaksana pasien yang gagal pengobatan TBC Monoresistan INH
menunggu hasil pemeriksaan LPA dan uji kepekaan fenotipik. Pasien
disarankan untuk melakukan upaya pencegahan pengendalian infeksi TBC
sambil menunggu pengobatan.
3) Apabila Rifampisin Sensitif dan Fluorokuinolon sensitif maka pengobatan bisa
dimulai kembali dengan rejimen TBC Monoresistan INH dari awal dengan
pengawasan keteraturan pengobatan yg lebih ketat, misalnya harus minum
obat didepan petugas.
33
BAB V
PENCATATAN PELAPORAN
34
Proses Pencatatan TBC Monoresistan INH melalui Form manual dan SITB oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal P2P Nomor HK. 02.02/III.I/936/2021 tentang Perubahan Alur
Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis di Indonesia, terduga TBC yang memiliki hasil pemeriksaan TCM MTB Pos
Rif sensitif dan memiliki riwayat pengobatan sebelumnya/kontak erat dengan pasien TBC RO maka harus dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan INH. Proses pencatatan TBC Monoresistan INH berdasarkan form TBC Nasional dan SITB
oleh fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Proses Pencatatan TBC Monoresistan INH berdasarkan form TBC Nasional dan SITB
No Alur Penegakkan diagnosis Form TB Pencatatan SITB
Form TBC. 06 = Menggunakan format yang sama Terduga TBC yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya/kontak erat dengan pasien TBC RO dan mempunyai hasil
Terduga TBC monoresistan INH
dengan TBC.06 dan dibuat file yang berbeda pemeriksaan TCM MTB Pos Rif Sensitif
Pemeriksaan LPA
Form TBC. 05 =
Lini 1 -Terduga yang dipilih adalah Terduga TBC RO Membuat permohonan Lab untuk pemeriksaan baseline LPA lini 1 dan LPA lini 2 untuk uji Resistansi INH dan uji Resistansi
1
-Permohonan Lab untuk pemeriksaan LPA lini 1 Levofloksasin.
dan LPA lini 2
35
No Alur Penegakkan diagnosis Form TB Pencatatan SITB
1. Mendaftarkan pasien
menggunakan Form
TBC.01 RO
2. Mencatat pasien di Hasil LPA lini 2 : Hasil LPA lini 2 : Hasil LPA lini 2 : Hasil LPA lini 2 :
Form Register TBC.03 Lfx Res Lfx Sen Lfx Res Lfx Sen
TBC Monoresistan INH
sebagai pasien TBC
Monoresistan INH
36
Terduga Riwayat Pengobatan TBC.06
Ulang
TBC.06 TBC.03 SO
Tindak lanjut diisikan dengan “Perubahan Pasien TBC SO dibuat hasil akhir pengobatan
• Hasil lab masuk ke TBC.06
• Hasil lab masuk ke diagnosis menjadi TBC RO” (dapat diisi sebelum dan TBC.03 SO
gagal (dapat diisi sebelum atau sesudah hasil
TBC.06 atau sesudah hasil pemeriksaan LPA lini 2) pemeriksaan LPA lini 2) • Pasien melanjutkan
• Lanjutkan tindak lanjut pengobatan SO
diagnosis
Didaftarkan menjadi terduga lagi (riwayat
Didaftarkan menjadi terduga lagi (riwayat
mengikuti terduga pengobatan ulang dan dapat
mengikuti terduga pengobatan ulang) didaftarkan sebelum atau sesudah hasil
pemeriksaan LPA lini 2)
37
Didiagnosis menjadi pasien TBC RO Didiagnosis menjadi pasien TBC RO
TBC.01 Didaftarkan menjadi pasien TBC RO Didaftarkan menjadi pasien TBC RO TBC.01
TBC. 03 TBC. 03
38
Keterangan :
1. Terduga TBC RO dan memiliki hasil TCM Rif Sen dapat mengajukan
pemeriksaan baseline LPA lini 1 dan LPA lini 2 untuk Uji Kepekaan INH dan Uji
Kepekaan Levofloksasin. Pemeriksaan LPA lini 2 untuk Uji Kepekaan
Levofloksasin dilakukan jika Uji Kepekaan INH menunjukkan hasil resistan
detected. Pemeriksaan LPA lini 1 dan LPA lini 2 dapat dilakukan sebelum pasien
memulai pengobatan lini 1 atau saat pasien sedang menjalani pengobatan lini 1.
a. Pemeriksaan LPA lini 1 dan LPA lini 2 sebelum mulai pengobatan:
- Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan
pemeriksaan laboratorium dengan alasan pemeriksaan diagnosis
baseline
- Jika hasil Uji Resistansi INH menunjukkan hasil resistan detected maka
hasil pemeriksaan LPA lini 2 untuk uji Resistansi Levofloksasin dapat
diisikan sesuai dengan hasil pemeriksaannya
1) Hasil uji Resistansi INH dan uji Resistansi Levofloksasin
menunjukkan hasil resistan detected
- Pasien tersebut dapat diisikan tindak lanjut hasil diagnosisnya
dengan perubahan diagnosis menjadi TBC RO dan dapat
diisi sebelum atau sesudah hasil pemeriksaan LPA lini 2
- Pasien tersebut dapat langsung didaftarkan kembali menjadi
terduga TBC (Riwayat mengikuti terduga pengobatan ulang)
pada link yang sudah tersedia dan dilengkapi tanggal register
terduga
- Diisikan bagian edit hasil diagnosis menjadi pasien TBC RO
- Diobati menggunakan pengobatan TBC monoresistan INH
berdasarkan hasil uji kepekaan
2) Hasil uji Resistansi INH resistan detected dan uji Resistansi
levofloksasin resistan not detected
- Pasien tersebut dapat diisikan tindak lanjut hasil diagnosisnya
dengan perubahan diagnosis menjadi TBC RO dan dapat
diisi sebelum atau sesudah hasil pemeriksaan LPA lini 2
- Pasien tersebut dapat langsung didaftarkan kembali menjadi
terduga TBC (Riwayat mengikuti terduga pengobatan ulang)
39
pada link yang sudah tersedia dan dilengkapi tanggal register
terduga
- Diisikan bagian edit hasil diagnosis menjadi pasien TBC RO
- Diobati menggunakan pengobatan TBC monoresistan INH
berdasarkan hasil uji kepekaan
3) Laporan TBC 06 : Tarikan Laporan TBC 06 adalah terduga yang
telah didaftarkan kembali (terduga dengan hasil diagnosis TBC
SO dihapus dari TBC 06)
4) Laporan TBC 03: Jika sudah memulai pengobatan TBC
monoresistan INH maka akan masuk ke TBC.03 Monoresistan
INH
- Jika hasil uji Resistansi INH menunjukkan hasil resistan not detected
maka pemeriksaan LPA lini 2 untuk uji Resistansi Levofloksasin tidak
perlu dilakukan dan hasil pemeriksaannya akan terisi “TDL (tidak
dilakukan)/tidak dapat diisi”
i. Terduga dapat dilanjutkan tindak lanjut diagnosisnya menjadi
Pasien TBC SO
ii. Pasien TBC SO diobati menggunakan pengobatan Kategori 1
dosis harian
iii. Laporan TBC 06: Hasil Lab akan masuk ke TBC.06 SO
iv. Laporan TBC 03: Jika sudah mulai pengobatan maka akan masuk
ke TBC 03 SO
40
- Pasien tersebut dapat diisikan hasil akhir pengobatannya
menjadi gagal dan dapat diisi sebelum atau sesudah hasil
pemeriksaan LPA lini 2
- Pasien tersebut dapat langsung didaftarkan kembali menjadi
terduga TBC (Riwayat mengikuti terduga pengobatan ulang)
pada link yang sudah tersedia dan dapat didaftarkan sebelum
atau sesudah hasil pemeriksaan LPA lini 2
- Diisikan bagian edit hasil diagnosis menjadi pasien TBC RO
- Diobati menggunakan pengobatan TBC monoresistan INH
berdasarkan hasil uji kepekaan
ii. Hasil uji Resistansi INH resistan detected dan uji Resistansi
levofloksasin resistan not detected
- Pasien tersebut dapat diisikan hasil akhir pengobatannya
menjadi gagal dan dapat diisi sebelum atau sesudah hasil
pemeriksaan LPA lini 2
- Pasien tersebut dapat langsung didaftarkan kembali menjadi
terduga TBC (Riwayat mengikuti terduga pengobatan ulang)
pada link yang sudah tersedia dan dapat didaftarkan sebelum
atau sesudah hasil pemeriksaan LPA lini 2
- Diisikan bagian edit hasil diagnosis menjadi pasien TBC RO
- Diobati menggunakan pengobatan TBC monoresistan INH
berdasarkan hasil uji kepekaan
iii. Laporan TBC 06 : ada dua terduga
- Terduga yang didiagnosis TBC SO dengan hasil TCM Rif Sen
- Terduga yang didaftarkan kembali yang didiagnosis TBC RO
dengan hasil TCM Rif Sen dan memiliki hasil LPA lini 1/TCM
XDR dan LPA lini 2
iv. Laporan TBC 03 : Jika sudah memulai pengobatan TBC
Monoresistan INH maka akan masuk ke TBC.03 Monoresistan
INH
41
- Jika hasil uji Resistansi INH menunjukkan hasil resistan not detected
maka pemeriksaan LPA lini 2 untuk uji Resistansi Levofloksasin tidak
perlu dilakukan dan hasil pemeriksaannya akan terisi “TDL (tidak
dilakukan)/tidak dapat diisi”
i. Pasien tersebut dapat langsung melanjutkan pengobatannya
menggunakan pengobatan Kategori 1 dosis harian
ii. Laporan TBC 06 dan TBC 03 : Hasil Lab akan masuk ke TBC.06
dan TBC 03 SO
Catatan:
Pemeriksaan uji kepekaan dan uji resistan obat selain rifampicin secara
mandiri pada pasien yang tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya dan
memiliki hasil TCM Rif Sen dilakukan dengan cara menginputkan hasil lab
tanpa permohonan, jika hasilnya resistan maka pasien yang sudah diobati
diisikan hasil akhir pengobatannya menjadi gagal. Kemudian harus
didaftarkan kembali menjadi terduga dan didaftarkan menjadi pasien TBC RO.
42
- Formulir permohonan pemeriksaan bakteriologis TBC (TBC.05)
- Buku Register Terduga TBC (TBC.06)
- Lembar Informasi untuk pasien TBC Resistan Obat (Informed Consent)
- Formulir rujukan/pindah pasien TBC (TBC.09)
43
Tabel 12. Jenis Formulir pada program dan tingkat penggunaannya
Dinkes Dinkes
No Formulir Keterangan Fasyankes Pusat
Kab/Kota Provinsi
Buku Register Terduga
1 TBC. 06 v
TBC
Informed Lembar Persetujuan
2 v
Consent Pengobatan TBC RO
Buku Pengobatan
3 TBC. 01 RO Tuberkulosis Resistan v
Obat
TBC. 03
Register Pasien TBC
4 Monoresistan v v v v
Monoresistan INH
INH
Buku register laboratorium
5 TBC. 04 TBC untuk fasyankes v
Mikroskopis dan Xpert
Formulir Permohonan
6 TBC. 05 Pemeriksaan Bakteriologis v
TBC
Formulir yang digunakan
sebagai keterangan pasien
7 TBC. 09 TBC RO akan melanjutkan v
pengobatan atau pindah
dari fasyankes rujukan
Laporan Triwulan
Penemuan dan
8 TBC. 07 RO v v v
Pengobatan Pasien TBC
RO
Laporan Triwulan Hasil
9 TBC. 08 RO Pengobatan Pasien TBC v v v
RO
Laporan Triwulan Haasil
10 TBC. 11 RO Pengobtan Sementara v v v
Pasien TBC RO
44
3. Indikator pelaksanaan kegiatan TBC Monoresistan INH
Indikator diperlukan untuk mempermudah analisis data sebagai alat ukur
kinerja dan kemajuan program. Indikator kegiatan TBC Monoresistan INH yang
harus dianalisa secara rutin (setiap triwulan dan tahunan) adalah sebagai berikut:
Setiap 3 bulan
Angka
Keberhasilan Contoh: Pada bulan
pengobatan Januari 2022,
4 v v v v
TBC maka yang dilaporkan
Monoresistan adalah
INH periode Oktober-
Desember 2020.
45
a. Cakupan penemuan TBC Monoresistan INH
Adalah jumlah kasus TBC monoresistan INH yang terkonfirmasi di antara
perkiraan kasus TBC monoresistan INH
Rumus:
46
c. Angka Inisiasi pengobatan TBC Monoresistan INH
Adalah jumlah kasus Monoresistan INH yang terdaftar dan memulai
pengobatan lini kedua di antara jumlah kasus monoresistan INH yang
ditemukan
Rumus:
47
BAB VI
PENGELOLAAN LOGISTIK
1. Pengelolaan Logistik
Agar pengelolaan logistik berjalan dengan baik maka kegiatan harus dimulai dari
perencanaan, pengadaan, pendistribusian, penyimpanan, monitoring dan evaluasi
penggunaan barang logistik, kesemua kegiatan tersebut merupakan suatu
manajemen yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan pengelolaan
logistik tersebut bertujuan untuk menjaga ketersediaan barang logistik, sehingga
apabila dibutuhkan dapat tersedia dan digunakan oleh pasien TBC pada waktu,
jumlah dan kualitas yang tepat, untuk keperluan proses diagnosis dan pengobatan
TBC. Pengelolaan logistik wajib dilakukan disemua tingkat mulai dari Kementerian
Kesehatan, Provinsi, Kabupaten/Kota dan di Fasilitas Layanan Kesehatan.
Pengelolaan logistik program TBC dilakukan sesuai dengan kebijakan “One Gate
Policy” (Kebijakan Satu Pintu) yang artinya semua kegiatan dalam manajemen
pengelolaan logistik dilakukan oleh Instalasi Farmasi, khususnya proses
penyimpanan dan pendistribusian logistik, sedangkan proses perencanaan,
pengadaan dan monitoring logistik dilakukan secara bersama sama dengan pengelola
program TBC.
48
2. Manajemen Pengelolaan Logistik TBC Monoresistan INH
a. Perencanaan
Perencanaan adalah langkah pertama dalam manajemen pengelolaan
logistik. Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis,
jumlah, dan harga barang logistik khususnya obat yang sesuai dengan
kebutuhan dan anggaran. Tujuan inti dari dilakukannya perencanaan yaitu
untuk menghindari kekosongan logistik dengan menggunakan metode yang
dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain metode konsumsi, epidemiologi dan kombinasi kedua
metode tersebut. Kegiatan perencanaan kebutuhan obat ini dilakukan secara
berjenjang dimulai dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dikarenakan pengobatan
TBC Monoresistan INH ini baru pertama kalinya dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan, maka perencanaan pada awal implementasi dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan.
49
Jumlah kebutuhan kit dihitung dengan cara:
50
3) Hitung kebutuhan obat untuk konsumsi 1 bulan dengan mengalikan total
kebutuhan obat per hari dengan 30 hari.
4) Hitung kebutuhan obat untuk konsumsi 3 bulan dengan mengalikan
konsumsi 1 bulan dengan 3 bulan.
5) Hitung jumlah kebutuhan dengan menjumlahkan seluruh konsumsi 3 bulan
untuk pasien dalam pengobatan dan pasien baru 3 bulan ke ke depan
ditambah buffer stock untuk 1 bulan
6) Masukan sisa stok yang tersedia di fasyankes
7) Hitung Jumlah yang di minta dengan jumlah kebutuhan dikurangi sisa stok
yang tersedia di fasyankes.
51
c. Alur Permintaan dan Distribusi
Permintaan logistik TBC Monoresistan INH dilaksanakan setiap 3 bulan
sekali secara berjenjang menggunakan formulir standar dan jadwal yang telah
ditetapkan. Distribusi juga dilaksanakan berdasarkan permintaan secara
berjenjang untuk memenuhi kebutuhan logistik di setiap tingkat penyelenggara
program penanggulangan TBC. Proses distribusi logistik TBC Monoresistan
INH harus memperhatikan aspek keamanan, mutu, dan manfaat. Semua
transaksi permintaan dan distribusi logistik menggunakan software SITB.
52
Jadwal permintaan logistik per triwulan dapat dilihat pada tabel 14 berikut.
Kebutuhan Untuk
Jadwal Permintaan Perkiraan OAT Dikirim
Triwulan Bulan
Fasyankes ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
1 Januari s/d Maret Minggu ke-2 bulan November Minggu ke-4 bulan Desember
2 April s/d Juni Minggu ke-2 bulan Februari Minggu ke-4 bulan Maret
3 Juli s/d September Minggu ke-2 bulan Mei Minggu ke-4 bulan Juni
Minggu ke-4 bulan September
4 Oktober s/d Desember Minggu ke-2 bulan Agustus
1 Januari s/d Maret Minggu ke-3 bulan November Minggu ke-3 bulan Desember
2 April s/d Juni Minggu ke-3 bulan Februari Minggu ke-3 bulan Maret
3 Juli s/d September Minggu ke-3 bulan Mei Minggu ke-3 bulan Juni
4 Oktober s/d Desember Minggu ke-3 bulan Agustus Minggu ke-3 bulan September
1 Januari s/d Maret Minggu ke-4 bulan November Minggu ke-2 bulan Desember
2 April s/d Juni Minggu ke-4 bulan Februari Minggu ke-2 bulan Maret
3 Juli s/d September Minggu ke-4 bulan Mei Minggu ke-2 bulan Juni
4 Oktober s/d Desember Minggu ke-4 bulan Agustus Minggu ke-2 bulan September
Untuk menghindari terjadinya stok out dan over stok, maka proses relokasi
dari satu tempat ke tempat lainnya bisa dilakukan. Proses relokasi dari satu
faskes ke faskes lainnya didalam satu Kabupaten/Kota maka prosesnya
difasilitasi oleh Dinas Kesehatan setempat. Proses relokasi dari satu faskes ke
faskes lain yang berbeda Kabupaten / Kota maka proses relokasinya difasilitasi
oleh Dinas kesehatan Provinsi setempat. Proses relokasi dari satu faskes ke
faskes lain yang berbeda Provinsi maka difasilitasi oleh Pusat.
53
d. Pencatatan
Pencatatan pengelolaan logistik meggunakan sistem informasi yang
dipakai oleh Tim Kerja TBC & ISPA saat ini yaitu Sistem Informasi TBC (SITB),
dimana sistem informasi tersebut berbasis website yang dapat digunakan
secara online, real time, akurat, tidak perlu di install dan transparan. SITB dapat
diakses melalui alamat web http://SITB.id/app Pencatatan logistik dimulai dari
tingkat Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dan seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
memberikan pelayanan TBC (Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Rutan,
Dokter Praktek Mandiri, Klinik, BBKPM,dll) Semua hal yang berkaitan dengan
kegiatan transaksi logistik seperti permintaan, penerimaan, pengiriman,
pengeluaran stok baik OAT mapun Non OAT harus dilakukan menggunakan
SITB.
54
f. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring evaluasi logistik TBC dilakukan di semua tingkatan,
dengan menggunakan cara manual atau pun secara elektronik. Cara manual
dengan mengecek apakah jumlah stok yang tersedia di instalasi farmasi sama
dengan yang tercatat di kartu stok, mengecek apakah semua dokumen
penerimaan dan pengeluaran barang sama dengan jumlah obat yang
diterima/dikeluarkan. Setelah cara manual dilakukan maka langkah selanjutnya
adalah melakukan monitoring menggunakan SITB dengan memanfaatkan
semua fungsi laporan yang telah tersedia di software tersebut seperti dibawah
ini.
55
BAB VII
PEMBIAYAAN DAN RENCANA KEGIATAN
Pembiayaan Pasien TBC Monoresistan INH saat ini sama halnya dengan TBC
Sensitif Obat dan Resistan Obat dimana masih didukung oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia yang bersumber dari dana pemerintah dan bantuan luar negeri.
Meskipun demikian, diperkirakan masih akan terjadi kesenjangan antara total biaya
yang diperlukan dengan anggaran yang tersedia selama periode tersebut. Perlu ada
upaya sistematis untuk mendorong kemandirian program dari sisi pendanaan.
Pembiayaan dari sistem jaminan Kesehatan nasional juga dapat digunakan sesuai
mekanisme yang berlaku.
56
DAFTAR PUSTAKA
Pym AS, Diacon AH, Tang SJ, et al. Bedaquiline in the treatment of multidrug- and
extensively drugresistant tuberculosis. Eur Respir J. 2016;47(2):564-574.
doi:10.1183/ 13993003.00724-2015.
WHO. Technical manual for drug susceptibility testing of medicines used in the
treatment of tuberculosis. 2018.
WHO. Tuberculosis infection control in the era of expanding hiv care and treatment:
Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care
Facilities in Resource-Limited Settings.
57
Cepheid, 2021, Xpert MTB/RIF Package Insert, July 2021
Global Laboratory Initiative. 2018. Line Probe Assay for Drug-Resistant Tuberculosis
Detection: Interpretation and Reporting Guide for Laboratory Staff and Clinicians
58
59
LAMPIRAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
60
Hlm. 2
(1) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24)
61
Hlm. 3
Hasil Pemeriksaan Xpert (TCM) - XDR Hasil Pemeriksaan LPA (Line Probe Assay) Lini 1
(1) (25) (26) (27) (28) (29) (30) (31) (32) (33) (34) (35) (36) (37) (38) (39) (40) (41)
62
Hasil Pemeriksaan LPA (Line Probe Assay) lini 2 Hasil Pemeriksaan Paket Standar Uji Kepekaan Pemeriksaan Follow Up
63
Hlm. 5
64
Lampiran 2. Alat Bantu Formulir Permintaan Logistik
65
66