Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

PENURUNAN KESADARAN SUSPECT STROKE NON


HEMORAGIK

Pembimbing :

dr. Budi Wahjono Sp.S

Disusun Oleh
Danang Galih P 031052110082

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RSAL MINTOHARDJO
PERIODE 19 DESEMBER 2022 – 21 JANUARI 2023
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

Penyusun:
Danang Galih P 031052110082

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr. Budi Wahjono Sp.S

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Penyakit Saraf di RSAL Mintohardjo periode 19 Desember – 21
Januari 2023

Jakarta, 2 Janurari 2023

Pembimbing

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus pasien pada kepaniteraan klinik bagian
Saraf di RSAL Mintohardjo.
Tugas laporan kasus ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembimbing
yang sudah meluangkan waktunya dan ilmunya yaitu dr Budi Wahjono Sp.S , serta
teman-teman coass kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit saraf yang telah
membantu dan memberi dukungan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan atas bantuannya selama ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat membantu menambah ilmu
pengetahuan dan pemahaman mengenai materi ini, serta salah satunya untuk memenuhi
tugas di kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit saraf RSAL Mintohardjo. Penulis
menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini, diharapkan
saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan penulisan ini.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.

Penulis,

Danang Galih P

II
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS .........................................................I


KATA PENGANTAR ................................................................................................. II
DAFTAR ISI ............................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB II ILUSTRASI KASUS ....................................................................................... 3
2.1 Identitas Pasien.................................................................................................... 3
2.2 Anamnesis ........................................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................... 4
2.4 Pemeriksaan Neurologis .................................................................................. 5
RESUME..................................................................................................................... 18
ASSESSMENT ........................................................................................................... 19
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 20
3.1 Anatomi dan Fisiologi Otak ........................................................................... 20
3.1.1 Vaskularisasi Otak .................................................................................. 24
3.1.2 Jaras-jaras Medula Spinalis .................................................................... 26
3.2 Stroke ............................................................................................................. 28
3.2.1 Definisi.................................................................................................... 28
3.2.2 Klasifikasi ............................................................................................... 28
3.2.3 Epidemiologi ........................................................................................... 29
3.2.4 Etiologi.................................................................................................... 29
3.2.5 Faktor Risiko........................................................................................... 30
3.2.6 Patogenesis.............................................................................................. 30
3.2.7 Manifestasi Klinis ...................................................................................... 32
3.2.8 Penegakan Diagnosis .............................................................................. 33
3.2.9 Diagnosis Banding ..................................................................................... 39
3.2.10Tatalaksana ................................................................................................ 40
3.2.11 Komplikasi............................................................................................ 51
4.1 Stroke Kardioembolik .................................................................................... 53
REFERENSI ............................................................................................................... 56

III
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit stroke merupakan penyakit mematikan kedua dan penyebab


disabilitas ketiga di dunia. Stroke menurut World Health Organization adalah suatu
keadaan dimana ditemukan tanda klinis yang berkembang cepat berupa defisit
neurologis fokal dan global, yang dapat memberat dan berlangsung lama selama 24
jam atau lebih dan atau dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang
jelas selain vaskular. Selain itu, penyakit stroke juga sebagai faktor penyebab demensia
dan depresi.(1)

Stroke terjadi apabila pembuluh darah otak mengalami penyumbatan atau


pecah yang mengakibatkan sebagian otak tidak mendapatkan pasokan darah yang
membawa oksigen yang diperlukan sehingga mengalami kematian sel/jaringan. Gejala
yang akan muncul bervariasi, bergantung kepada bagian otak yang terganggu gejala
kelemahan sampai kelumpuhan anggota gerak, bibir tidak simetris, bicara pelo atau
tidak dapat berbicara (afasia), nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan gangguan rasa
(misalnya kebas di salah satu anggota gerak). Sedangkan stroke yang menyerang
cerebellum akan memberikan gejala pusing berputar (vertigo) (Pinzon dan Laksmi,
2010).(2)

Global Burden of Disease menunjukkan secara global, risiko terkena penyakit


stroke telah meningkat menjadi 1 dari 4 orang. Hal ini mendasari World Stroke
Organization untuk mengadakan kampanye awareness stroke.(1)

Data World Stroke Organization menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada 13,7
juta kasus baru stroke, sekitar 70% penyakit stroke dan 87% kematian dan disabilitas
akibat stroke terjadi pada negara berpendapatan rendah dan menengah. Lebih dari
empat dekade terakhir, kejadian stroke pada negara berpendapatan rendah dan

1
menengah meningkat lebih dari dua kali lipat. Sementara itu, kejadian stroke
menurun sebanyak 42% pada negara berpendapatan tinggi. Selama 1 5 tahun
terakhir, rata-rata stroke terjadi dan menyebabkan kematian lebih banyak pada
negara berpendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara
berpendapatan tinggi. Stroke sebagai bagian dari penyakit
kardioserebrovaskular yang digolongkan k dalam penyakit katastropik karena
mempunyai dampak luas secara ekonomi dan sosial. Penyakit stroke dapat
menyebabkan kecacatan permanen yang tentunya dapat mempengaruhi
produktivitas penderitanya.(1)

2
BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 1 Februari 1965
Alamat : Bendungan Hilir
Status Pernikahan : Menikah

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada Rabu, 28 Desember
2022
a. Keluhan Utama:
Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan tiba-tiba tidak sadaarkan
diri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mendadak tidak sadarkan diri
saat sedang menonton TV, tidak ada keluhan sebelum pasien pingsan.
Pasien langsung dibawa ke IGD RSAL mintohardjo dan setelah 3 jam tidak
sadarkan diri pasien baru sadar. Setelah sadar pasien lemas. Mual (-)
muntah (-) demam (-)
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Asma (-), Riwayat Hipertensi (+), Diabetes Melitus (+), Alergi
obat (-), Alergi makanan (-), sakit jantung (-), sakit paru (-), sakit hati (-),
sakit ginjal (-) disangkal oleh pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada data

3
e. Riwayat Kebiasaan :
Tidak ada data

f. Riwayat Operasi :
Pasien pernah menjalani operasi amputasi pada kaki kiri nya

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis)
Status Gizi :-
Berat badan :-
Tinggi badan :-

Tanda Vital
Tekanan Darah : 127/66 mmHg
Nadi : 81x/menit
Suhu : 36,4
Pernapasan : 20x/menit
Saturasi O2 : 99%

Status Generalis
Kepala : Normocephali, tidak ada deformitas pada kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Mulut : Bibir sianosis (-), pucat (-), tonsil T1-T1, Mallampati I
Leher : KGB leher tidak membesar, tidak teraba masa,
tidak terdapat deviasi trakea
Thorax
Paru : SNV (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-)

4
Jantung : BJ I/II Regular, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (-) Supel, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas Atas : Akral hangat (+/+) Oedem (-/-) CRT >2 detik
Ekstremitas Bawah : Akral hangat (+/+) Oedem (-/-) terdapat luka post
amputasi pedis sinistra

2.4 Pemeriksaan Neurologis


a. Kesadaran (GCS)
Kualitatif
Compos Mentis
Kuantitatif
• Eye (E) :4
• Verbal (V) :5
• Motorik (M) : 6

b. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal


• Kaku Kuduk : (-)
• Brudzinki I : (-)
• Brudzinki II : (-)
• Kernig sign : (-)
• Laseque test : (-)

c. Pemeriksaan Nervus Kranialis


Nervus I Dextra Sinistra
Normosmia Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Anosmia - -
Parosmia - -
Hiposmia
- -
Nervus II Dextra Sinistra

5
Optikus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Nervus III Dextra Sinistra
Gerakan mata ke medial Normal Normal
Gerakan mata ke atas Normal Normal
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Bentuk pupil Isokor Isokor
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak + +
langsung
Diplopia - -
Nervus IV Dextra Sinistra
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
bawah
Nervus V Dextra Sinistra
Motorik
- Membuka dan Normal Normal
menutup mulut
- Palpasi m. Masseter & Tidak dilakukan Tidak dilakukan
temporalis Sensorik
- Kulit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Selaput Lendir Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Kornea
- Langsung Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tidak Langsung Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus VI Dextra Sinistra
Gerakan Mata ke Lateral Paresis Paresis
Nervus VII Dextra Sinistra
Motorik

6
- Menyeringai Paresis N VIICentral Normal
- Kerut kening Normal Normal
- Menutup mata Normal Normal
- Meniup Sekuatnya Normal Normal
Sensorik
- Pengecapan 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
lidah

Nervus VIII Dextra Sinistra


Auditorius
- Pendengaran Normal Normal
- Test Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Test Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Test Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vestibularis
- Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Vertigo Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tinnitus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus IX,X Dextra Sinistra
- Pallatum Mole Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Uvula Disfagia Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Pengecapan 1/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
belakang lidah
Nervus XI Dextra Sinistra
- Mengangkat bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Fungsi m. Tidak dilakukan Tidak dilakukan
sternokleidomastoideus

7
Nervus XII Dextra Sinistra
Lidah
- Menjulurkan lidah Normal Normal
- Tremor Normal Normal
- Atrofi Normal Normal
- Fasikulasi Normal Normal
Disatria

d. Pemeriksaan Motorik
• Kekuatan Otot

5555 5555
5555 5555

• Tonus Otot

Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus

• Trofi Otot

Normotrofi Normotrofi
Normotrofi Normotrofi

• Gerakan Involunteer : tidak ditemukan

8
e. Pemeriksaan Sensoris
Normal

f. Pemeriksaan Refleks
• Refleks Fisiologis
- Biceps : ++ / ++
- Triceps : ++ / ++
- Patella : ++ / ++
- Achiles : ++ / ++
• Refleks Patologis
- Hoffman/Tromner : tidak dilakukan
- Babinski : (-)
- Chaddok : (-)
- Gordon : (-)
- Scaefer : (-)

g. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium 27/12/2022

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Flag Nilai rujukan

Darah Lengkap

Leukosit 10990 /μL 5000 – 10000

Eritrosit 2,94 Juta/μ L 4,20 - 5,40


L

Hemoglobin 9,3 g/dL L 12,0 - 14,0

9
Hematokrit 27 % L 37 – 42

Trombosit 354000 /μL 150.000-

450.000

Hitung Jenis

Basofil 0 % 0–1

Eosinofil 2 % 0–3

Neutrofil 82 % H 50 – 70

Limfosit 11 % L 20 – 40

Monosit 5 % 2–8

Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 202 mg/dL A <200

AST (SGOT) 15 U/I <35

ALT (SGPT) 14 U/I <55

Ureum 90 mg/dL 17-43

Kreatinin 2,8 mg/dL 0,7-1,3

10
• Pemeriksaan Radiologi

1. CT-Scan Kepala tanpa Kontras

Kesan : fokal atrofi lobus parietalis bilateral, tidak tampak lesi


iskemik maupun perdarahan intracranial

11
2. Thoraks PA

Kesan : Kardiomegali ringan, bronchitis

12
FOLLOW UP

Hari/ Subjektif Objektif Assessment Planning


Tanggal
Rabu Lemas (+) KU : Lemah • Non convulsive • Inj Ranitidine 2x1 ampule
28/12/2022 Kejang (-) Kesadaran : seizure • Inj. Ketorolac 3x1 ampule
Pingsan (-) E4V5M6 • SNH • Drip phenytoin 3x1 ampule
Compos Mentis • DM • Asam folat 2x1 tab
• Citicoline 3x1
TD : 127/66 mmHg • B6 1x1 tab
N : 81x/menit • Clopidogrel 1x75 mg
Sh : 36,3
RR : 20x/menit
SpO2 : 99%

Nervus Kranialis :
- Paresis N VII
Dextra Sentral

13
Motorik :

5555 5555
5555 5555

Sensorik :
Tidak dilakukan

Refleks Fisiologis :

++ ++
++ ++

Refleks Patologis :
- Babinski : (-)
- Chaddock : (-)
Kamis Lemas (+) KU : Lemah • Non convulsive • Inj Ranitidine 2x1 ampule
28/12/2022 Kejang (-) Kesadaran : seizure • Phenytoin 3x1
Pingsan (-) E4V5M6 • SNH • Asam folat 2x1 tab

14
Compos Mentis • DM • Citicoline 3x1
• B6 1x1 tab
TD : 159/82 mmHg • Clopidogrel 1x75 mg
N : 78x/menit
Sh : 36,5
RR : 20x/menit
SpO2 : 99%

Nervus Kranialis :
- Paresis N VII
Dextra Sentral

Motorik :

5555 5555
5555 5555

Sensorik :
Tidak dilakukan

15
Refleks Fisiologis :

++ ++
++ ++

Refleks Patologis :
- Babinski : (-)
- Chaddock : (-)
Jumat Lemas (-) Kejang KU : Lemah • Non convulsive • Phenytoin 3x1
30/12/2022 (-) Pingsan (-) seizure • Asam folat 2x1 tab
Kesadaran : • SNH • B6 1x1 tab
E4V5M6 • DM • Clopidogrel 1x75 mg
Compos Mentis • HT • Simvastatin 1x20 mg

TD : 153/77 mmHg
N : 76x/menit
Sh : 36,6
RR : 20x/menit
SpO2 : 99%

16
Nervus Kranialis :
- Paresis N VII
Dextra Sentral
Motorik :

5555 5555
5555 5555

Sensorik :
Tidak dilakukan

Refleks Fisiologis :

++ ++
++ ++

Refleks Patologis :
- Babinski : (-)
- Chaddock : (-)

17
RESUME

Ny.R perempuan 57 tahun datang diantar oleh keluarganya ke IGD RSAL


Mintohardjo pada tanggal 27 desember 2022 pukul 19.30 WIB dengan keluhan tiba-
tiba tidak sadarkan diri. Keluarga pasien mengatakan pasien mendadak tidak sadarkan
diri saat sedang menonton TV, tidak terdapat keluhan sebelum pasien pingsan, pasien
langsung dibawa ke IGD RSAL Mintohardjo dan setelah dilakukan penanganan pasien
sadar setelah 3 jam tidak sadarkan diri. Setelah sadar pasien mengeluhkan lemas,
keluhan mual, muntah, demam disangkal. Pasien memiliki Riwayat Hipertensi, DM
dan pernah menjalankan operasi amputasi pada kaki kirinya. Pasien rutin untuk minum
obat hipertensi dan DM nya.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak lemah, dengan


kesadaran compos mentis GCS E4V5M6, tekanan darah 127/66 mmHg, nadi
81x/menit regular, saturasi oksigen 99%, pernafasan 20x/menit dan suhu 36,4C. pada
pemeriksaan status generalis terdapat luka post amputasi pada pedis sinistra.

Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan kesadaran pasien compos mentis,


kekuatan motorik ekstremitas atas 5/5, kekuatan motorik ekstremitas bawah 5/5,
refleks fisiologis ++/++ ekstremitas superior dan inferior, refleks patologis babinski -
/-, chadock -/-, hoffman -/-, tromner -/-, rangsang meningeal negatif. Nervus cranialis
yang diperiksa didapatkan paresis N.VII Dextra sentral.

18
ASSESSMENT

Diagnosis Klinis :

• Non convulsive seizure


• Paresis N. VII Dextra sentral

Diagnosis Etiologi : Vaskular

Diagnosis Topis : Intraserebri

Diagnosis Patologi : Iskemik

Diagnosis Tambahan : Hipertensi, DM

PLANNING

Medikamentosa :

• Inj Ranitidine 2x1 ampule


• Inj. Ketorolac 3x1 ampule
• Drip phenytoin 3x1 ampule
• Asam folat 2x1 tab
• Citicoline 3x1
• B6 1x1 tab
• Clopidogrel 1x75 mg
• Bisoprolol 1x2,5 mg
• Simvastatin 1x 20mg
• Bicnat 3x1 tab
• Gliquidon 3x30mg
• Paracetamol 3x500mg

19
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Otak


Sistem saraf secara umum dibagi menjadi sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak, dan medula spinalis. Sistem saraf
tepi terdiri dari saraf yang bercabang dari medula spinalis, dan sistem saraf
otonom (dibagi menjadi sistem saraf simpatik dan parasimpatis).(3)

Gambar.1 Pembagian sistem saraf(3)

Otak terletak di dalam rongga kranium. Tulang kranium melindungi


otak dari cedera eksternal. Di antara tulang dan otak terdapat lapisan yang
disebut meningen. Lapisan tersebut terdiri dari tiga bagian yang berfungsi untuk

20
menutupi dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Dari lapisan
terluar ke dalam lapisan tersebut adalah: duramater, arachnoid dan pia mater.
Secara anatomis, otak dapat dibagi secara anatomis menjadi empat bagian
utama: batang otak (terdiri dari medula, pons, dan midbrain/mesensefalon,
serebelum, diensefalon (terdiri dari talamus dan hipotalamus) dan hemisfer
cerebri (terdiri dari korteks serebral, ganglia basal, white matter, hipokampus,
dan amigdala).(3,4)

Gambar 2. Komponen-komponen otak(3)

Pada batang otak, terdapat inti dari berbagai saraf kranial mulai dari
nervus 3 hingga 12. Medula oblongata merupakan lanjutan dari medula spinalis
dan berfungsi sebagai pusat otonom dan pengatur fungsi-fungsi vital, seperti
pernapasan dan tekanan darah. Pons berfungsi dalam mempertahankan postur,
keseimbangan dan mengatur pernapasan. Mesensefalon berperan dalam fungsi
visual dan berperan dalam jaras-jaras auditorik.(3,4)

Serebelum terletak pada fossa posterior dan berfungsi dalam mengatur


gerakan kepala dan mata. Serebelum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

21
vestibuloserebelum, spinoserebelum, cerebroserebelum. V estibuloserebelum
berfungsi dalam mempertahankan keseimbangan dan pergerakan mata.
Spinoserebelum meningkatkan tonus otot dan mengkordinasikan gerakan
volunter. Sedangkan serebroserebellum berperan dalam merencanakan dan
menginisiasi aktivitas volunter dengan memberikan input ke area motorik pada
korteks. Bagian ini juga juga berperan dalam ingatan procedural.(3,4)

Talamus dan hipotalamus terletak di antara kedua hemisfer serebral dan


batang otak. Peran talamus adalah sebagai relay center jaras-jaras sensorik.
Semua input sensorik bersinaps di talamus dalam perjalanannya ke korteks.
Talamus menyaring sinyal yang tidak diperlukan dan mengarahkan impuls
sensorik yang penting ke area korteks somatosensorik yang sesuai, serta ke
bagian-bagian lain pada otak. Sedangkan hipotalamus berperan dalam
mengendalikan suhu tubuh, mengontrol rasa haus dan pengeluaran urin,
mengontrol rasa lapar, mengontrol sekresi hormon hipofisis anterior,
menghasilkan hormon hipofisis posterior, mengontrol kontraksi rahim dan
pengeluaran air susu, dan mengkoordinasi sistem saraf otonom, yang akan
mempengaruhi semua otot polos, otot jantung, dan eksokrin. Hipotalamus juga
berperan dalam pola emosi dan perilaku; dan siklus tidur-bangun.(3,4)

Ganglia basalis mencakup beberapa bagian, yaitu putamen, kaudatus,


globus palidus, ventral striatum, substansia nigra dan nukleus subtalamik.
Ganglia basalis berfungsi dengan menghambat tonus otot di seluruh tubuh,
mempertahankan aktivitas motorik oleh tubuh serta menginhibisi gerakan yang
tidak diperlukan, dan membantu mengkoordinasi kontraksi yang bersifat
lambat dan berkepanjangan, seperti yang dibutuhkan untuk mempertahankan
postur tubuh. Hipokampus berperan dalam ingatan, serta amigdala berperan
dalam memproses informasi terkait dengan emosi.(3,4)

22
Korteks serebri merupakan bagian terbesar dari otak manusia dan dibagi
menjadi 2 hemisfer; kanan dan kiri. Bangunan yang menyatukan kedua
hemisfer tersebut disebut corpus callosum, bagian yang terdiri dari sekitar 300
juta akson saraf yang menghubungkan kedua belahan otak. Corpus callosum
disebut “information superhighway, dan memungkinkan kedua hemisfer otak
untuk berkomunikasi dan bekerja bersamaan melalui pertukaran informasi
secara konstan. Setiap hemisfer terdiri dua lapisan: lapisan luar yang tipis yang
disebut gray matter yang melapisi lapisan dalam yang tebal, atau white matter.
(3,4)

Korteks dibagi menjadi empat lobus: lobus oksipital, temporal, parietal,


dan frontal. Lobus oksipital merupakan lobus yang terletak paling posterior,
dan memegang peran penting dalam memproses input visual. Lobus temporalis
berperan dalam memproses input auditorik. Lobus ini terletak pada sisi lateral
dari kepala. Lobus parietalis dan lobus frontalis terletak di bagian atas dan
anterior dari kepala, dan terbagi oleh sulkus sentralis. Lobus parietalis berfungsi
dalam menerima dan memproses input sensoris, sedangkan lobus frontalis
berperan dalam pergerakan motorik volunter, proses bicara dan persepsi.(3,4)

Medula spinalis merupakan perpanjangan dari CNS dan berjalan ke arah


kaudal dari tubuh. Medula spinalis terbagi menjadi beberapa bagian utama,
yaitu bagian servikal, torakal dan lumbar, sakral dan koksigeus. Terdapat 8
bagian saraf spinal servikal, 12 pasang pada bagian torakal, 5 pasang pada
bagian lumbal, 5 pasang untuk bagian sakral dan 1 pasang pada bagian
koksigeal. Medula spinalis bertanggung jawab untuk mentransmisi sinyal dari
perifer ke seluruh SSP melalui jaras-jaras asendens dan desendens.(5,6)

Di dalam otak, terdapat juga sistem ventrikel dibagi menjadi empat


rongga yang dihubungkan oleh serangkaian lubang, yang disebut foramen, serta

23
salurannya. Dua ventrikel yang tertutup di dalam hemisfer disebut ventrikel
lateral (ventrikel 1 dan 2). Kedua ventrikel tersebut berhubungan dengan
ventrikel ketiga melalui lubang yang disebut Foramen Monro. Ventrikel ketiga
berada di bagian tengah otak, dan dindingnya terdiri dari dua bagian penting
yaitu talamus dan hipotalamus. Ventrikel ketiga terhubung dengan ventrikel
keempat melalui tabung panjang yang disebut aquaduktus Sylvii.(3,4)

Gambar 3. Sistem Ventrikel(3)

3.1.1 Vaskularisasi Otak

Gambar 4. Vaskularisasi Otak(7)

24
Otak mendapatkan perdarahan dari dua sumber utama: arteri
karotid interna dan arteri vertebralis. Arteri karotid interna bercabang
untuk membentuk dua arteri utama pada otak, yaitu arteri cerebral
anterior, dan arteri cerebral media. Sedangkan arteri vertebralis dekstra
dan sinistra akan bergabung setinggi pons, pada bagian ventral dari
batang otak, untuk membentuk arteri basilaris. Arteri basilaris bertemu
dengan cabang-cabang arteri karotid interna pada dasar otak (di sekitar
hipotalamus). Sistem perdarahan yang berbentuk seperti cincin ini
disebut circle of Willis, atau sirkulus Willisi. Pada titik tersebut, arteri
cerebral posterior dapat ditemukan, bersamaan dengan dua arteri kecil,
yaitu arteri communicans anterior dan posterior.(7)

Cabang-cabang dari arteri karotid interna, yaitu arteri serebral


anterior dan arteri serebral media membentuk yang disebut sirkulasi
anterior, yaitu sistem yang memberi perdarahan pada otak bagian depan.
Cabang-cabang tersebut memperdarahi korteks, ganglia basalis,
talamus, dan kapsula interna. Cabang dari arteri serebral media yaitu
arteri lentikulostriata memperdarahi ganglia basalis dan talamus.
Sirkulasi posterior memperdarahi korteks bagian posterior,
mesensefalon dan batang otal, dan terdiri dari cabang-cabang arteri
serebri posterior, arteri basilaris, dan arteri vertebralis.(7)

Kebutuhan fisiologis yang dipenuhi oleh suplai darah ke otak


sangat penting bagi fungsi otak. Sel neuron bersifat lebih sensitif
terhadap kekurangan oksigen daripada jenis sel lain dengan tingkat
metabolisme yang lebih rendah. Sebagai akibat dari tingkat
metabolisme neuron yang tinggi, jaringan otak yang kekurangan
oksigen dan glukosa akibat suplai darah yang terganggu dapat
menyebabkan kerusakan yang permanen. Kehilangan suplai darah

25
akibat iskemi dapat menyebabkan perubahan sel neuron, dan jika tidak
segera diatasi, dapat menyebabkan kematian sel.(7)

Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi


meskipun neuron-neuron telah di otak mati tidak dapat mengalami
regenerasi. Meskipun demikian, otak mempunyai kemampuan yang
disebut ‘neuroplasticity’, atau kemampuan adaptif atau plastisitas pada
sel otak yang pada situasi tertentu dapat mengambil alih fungsi dari
bagian-bagian yang telah mengalami kerusakan.(4,7)

3.1.2 Jaras-jaras Medula Spinalis

Terdapat berbagai jaras yang membawa informasi sensorik dan


motorik melalui jaras asendens dan desendens. Traktus asendens
membawa informasi sensorik dari tubuh, seperti nyeri, ke pusat-pusat
yang lebih tinggi. Sedangkan traktus desendens membawa informasi
motorik, seperti perintah untuk menggerakkan anggota gerak tubuh,
dari otak ke medulla spinalis, hingga ke efektornya.(6)

Gambar 5. Jaras medula spinalis(8)

26
a. Jaras Ascendens

Jaras kolumna dorsalis berperan dalam membawa


informasi sensoris berupa tekanan, vibrasi, dan propriosepsi.
Jaras kolumna dorsalis akan menyilang pada medula
oblongata. Jaras spinotalamikus lateralis membawa
informasi sensoris berupa nyeri dan temperatur, dan
menyilang pada komisura anterior medula spinali,
sedangkan jaras spinotalamikus anterior membawa
informasi sensorik berupa raba kasar dan tekanan, and
menyilang pada daerah yang sama. Jaras spinoserebelar
dorsal dan ventral membawa informasi propriosepsi tak-
sadar ke serebelum. Traktus spinoserebelar ventral tidak
menyilang, sedangkan traktus spinoserebelar dorsal
mengalami persilangan pada dua titik, hal ini membuat
keduanya bersifat ipsilateral.(6,8)

b. Jaras Desendens

Traktus kortikospinal dan lateral berperan dalam


pengendalian otot skelet secara volunter. Mayoritas dari
jaras kortikospinal menyilang pada bagian inferior dari
medula oblongata, sedangkan jaras kortikospinal anterior
akan menyilang pada titik segmental. Traktus kortikospinal
lateral menginervasi otot tungkai yang kontralateral,
sedangkan yang anterior menginervasi bagian proksimal
otot-otot tungkai. Traktus vestibulospinal membawa
informasi dari telinga dalam untuk mengontrol posisi kepala.
Traktus ini berperan dalam mempertahankan dan

27
memodifikasi tonus otot untuk mempertahankan postur dan
keseimbangan. Traktus ini tidak mengalami persilangan.
Traktus rubrospinal berperan dalam pergerakan otot fleksor
dan ekstensor. Traktus ini dimulai dari nukleus ruber pada
mesensefalon, dan menyilang pada awal dari jaras tersebut.
Traktus retikulospinal dimulai dari reticular formation pada
batang otak, dan membantu fungsi traktus kortikospinal.
Traktus ini juga tidak mengalami persilangan.(6,8)

3.2 Stroke
3.2.1 Definisi

Menurut WHO, stroke adalah suatu keadaan dimana ditemukan


tanda-tanda klinis yang bersifat akut berupa defisit neurologi fokal atau
global, yang dapat berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular.(3)

3.2.2 Klasifikasi

Stroke dapat dikategorikan sebagai iskemik dan hemoragik.


Stroke non- hemoragik adalah jenis stroke yang terjadi akibat
penyumbatan pembuluh darah otak.(3)

Klasifikasi menurut ESO excecutive committe dan ESO writing


committee sebagai berikut :

a. TIA (Transient Ischemic Attack): gejala defisit neurologis


hanya berlangsung kurang dari 24 jam.

28
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit): gejala
defisit neurologis yang menghilang dalam waktu lebih lama
dari 24 jam, namun tidak lebih dari 7 hari.
c. Stroke evaluasi (Progressing Stroke): stroke dengan
kelainan atau defisit neurologis yang masih berlangsung
secara bertahap, mulai dari ringan hingga semakin berat.
d. Stroke komplit (Completed Stroke): stroke dengan
manifestasi neurologis yang telah menetap dan tidak
berkembang lagi.

3.2.3 Epidemiologi

Data dari Riset Kesehatan Dasar Indonesia (RISKESDAS)


Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2013 menyatakan bahwa
prevalensi stroke di Indonesia meningkat, dari 8.3% pada tahun 2007,
menjadi 12,1% pada tahun 2013. Prevalensi stroke meningkat secara
proporsional dengan bertambahnya usia. Rasio perempuan:laki-laki di
Indonesia 1:1. Menurut American Heart Association (AHA), prevalensi
stroke iskemik lebih tinggi daripada stroke hemoragik. Prevalensi
stroke iskemik sebesar 85%, dan sisanya adalah stroke hemoragik(2).
Data dari RSCM pada tahun 2014 menyatakan bahwa 71,4% pasien
stroke mengalami stroke iskemik.(3)

3.2.4 Etiologi

Stroke non-hemoragik dibagi lagi menjadi dua yaitu stroke


embolik dan stroke trombotik. Emboli terjadi bila debris dari tempat lain
pada tubuh menyumbat aliran darah otak. Emboli dapat berasal
langsung dari jantung atau aorta. Trombus terjadi bila aliran darah ke
otak terhambat di akibat disfungsi pada pembuluh setempat. Hal ini

29
dapat terjadi akibat penyakit aterosklerotik, diseksi arteri, dysplasia
fibromuskular, atau kondisi inflamasi.(3,10)

3.2.5 Faktor Risiko

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah


usia, ras, jenis kelamin, etnis, riwayat sakit kepala migrain, riwayat
keluarga stroke atau riwayat serangan iskemik transien. Sedangkan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung, kolesterol tinggi, stroke
sebelumnya, stenosis karotis, kebiasaan dan gaya hidup seperti asupan
alkohol yang berlebihan, penggunaan tembakau, penggunaan obat-
obatan terlarang, aktivitas fisik obesitas, penggunaan kontrasepsi oral.
(4,11)

3.2.6 Patogenesis

Patofisiologi stroke non-hemoragik diawali oleh adanya


sumbatan pembuluh darah otak yang diakibatkan oleh trombus atau
emboli. Trombus terbentuk sebagai akibat dari proses aterosklerotik
pada arkus aorta, arteri karotis ataupun pembuluh daerah serebral.
Proses tersebut diawali oleh adanya disfungsi endotel, dan inflamasi
stempat yang menyebabkan terbentuknya plak pada dinding pembuluh
darah. Plak akan semakin besar seiring berjalannya waktu. Sel trombosit
kemudian akan melekat pada plak, dan melepaskan faktor-faktor yang
memulai kaskade pembekuan darah. Trombus yang lepas disebut
embolus, dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh darah yang
bersifat lebih distal. Emboli sering kali berasal dari jantung, pada
kondisi-kondisi seperti atrial fibrilasi atau riwayat infark miokard.

30
Penyumbatan menyebabkan sel neuron tidak mendapatkan pasokan
darah, oksigen dan juga energi.(3)

Pada daerah yang mengalami iskemia, kadar ATP akan


menurun, hal ini menyebabkan disfungsi pompa natrium dan kalium,
dan juga peningkatan kadar laktat intraselular. Disfungsi pompa Na-K
menyebabkan depolarisasi dan meningkatkan pelepasan glutamat, yaitu
neurotransmiter eksitasitatori utama dalam otak. Depolarisasi akan
meningkatkan kadar kalsium intraseluler, dan glutamat akan berikatan
dengan reseptornya, yaitu reseptornya, yaitu reseptor N-metil-D-
aspartat (NMDA), dan reseptor α-Amino-3-Hydroxy-5-Methyl-4-
Isoxazolepropionic-acid (AMPA), yang selanjutnya juga akan
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel. Sebagai akibat dari
kedua proses tersebut, kadar kalsium intraseluler akan meningkat secara
drastis. Hal ini akan memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida
(NO), inflamasi, dan kerusakan DNA, yang akan berkontribusi pada
proses kematian sel.(3)

Area penumbra merupakan area pada sekeliling sel otak yang


mengalami infark. Daerah ini masih dapat diselamatkan dan merupakan
salah satu target pada tatalaksana stroke non-hemoragik. Namun,
apabila penumbra tidak dapat diselamatkan, area infark akan meluas.
Infark tersebut tidak hanya disebabkan oleh sumbatan, tapi juga sebagai
akibat dari proses inflamasi dan gangguan blood-brain barrier, atau
sawar darah otak.(3)

31
3.2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang muncul dari kejadian stroke tergantung


dari daerah mana yang terkena. Lokasi stroke tersebut akan memberikan
gejala dan tanda yang dapat berbeda:(3,4)

a. Anterior Cerebral Artery (ACA) Infraction

Terdapat banyak pasokan darah kolateral pada ACA,


maka dari itu stroke yang murni terjadi pada daerah ini jarang
sekali ditemukan. ACA memberi pasokan darah pada area
broca, area motorik dan area sensorik serta korteks prefontal.
Manifestasi klinis pada gangguan ini antara lain adalah
afasia, gangguan kepribadian dan kelemahan tungkai
kontralateral.

b. Middle Cerebral Artery (MCA) Infarction

MCA mempunyai satu cabang utama (M1) yang


bercabang menjadi dua arteri M2. M1 memberi pasokan
darah pada ganglia basalis, sedangkan M2 memberi pasokan
darah ke bagian frontal, Sebagian dari lobus parietal dan
lobus temporal. Manifestasi klinis yang timbul pada
kelaianan ini antara lain kelemahan lengan kontralateral,
kebas pada wajah, kelemahan, deviasi mata pada sisi yang
terdampak.

c. Posterior Cerebral Artery (PCA) Infarction

32
PCA memberi suplai darah pada lobus oksipital,
thalamus, sebagian dari lobus temporalis. Manifestasi yang
sering timbul akibat kelainan pada arteri ini adalah
hemianopsia homonim. Gangguan kesadaran, gangguan
kognitif dan kebas pada sesisi sering ditemukan pada pasien-
pasien dengan gangguan ini.

d. Infark Serebelum

Pasien dengan stroke pada bagian ini mengalami


ataksia, disartria, mual, muntah dan vertigo.

3.2.8 Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis

Gejala dari serangan stroke dapat diperoleh melalui


anamnesis yang tepat. Stroke merupakan kumpulan gejala
akibat gangguan fungsi otak fokal. Onset merupakan hal
yang harus ditanyakan pada kejadian stroke. Onset kejadian
mendadak atau secara tiba-tiba, memuncak dalam beberapa
menit. Gejala gangguan fungsi otak pada stroke tergantung
pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang
ditimbulkannya dapat bersifat fokal maupun global. Gejala
yang sering muncul pada kejadian stroke adalah kelumpuhan
sesisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan otot
penggerak bola mata, kelumpuhan otot menelan dan
gangguan bicara. Terdapat juga gangguan lain seperti fungsi
keseimbangan, penghidu, penglihatan, pendengaran,
somatik sensoris, kognitif (gangguan atensi, memori, bicara

33
verbal, pengertian pembicaraan dan pengenalan ruang)
hingga gangguan global seperti gangguan kesadaran.(3)
Gejala umum stroke dibelahan kiri dapat termasuk afasia,
hemiparesis kanan dan hemianopia kanan, sedangkan pada
stroke dibelahan kanan dapat terjadi hemispatial neglected
kiri, hemiparesis kiri dan hemianopia kiri. Mayoritas (90%)
stroke adalah supratentorial, dengan demikian dapat
dilakukan pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala
dan tanda stroke melalui singkatan FAST. F untuk facial
droop (mulut mencong/tidak simetris), A untuk arm
weakness (kelemahan pada tangan), S untuk speech
difficulties (kesulitan bicara), serta T yaitu time to seek
medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin). FAST
memiliki sensitivitas 85% dan spesifitas 68% untuk
menegakkan stroke. Sirkulasi posterior atau stroke
infratentorial memiliki banyak gejala tambahan, termasuk
diplopia, disfagia, dismetria unilateral dan inkoordinasi serta
penurunan tingkat kesadaran. Sakit kepala, nyeri wajah atau
leher merupakan gejala tambahan, walaupun stroke biasanya
tidak menimbulkan rasa sakit. (3,13) Riwayat penyakit lainnya
dan kebiasaan hidup yang menjadi faktor risiko seperti
hipertensi, diabetes, penyakit jantung, aritmia, kejang,
kebiasaan merokok dan lainnya harus digali lebih lanjut
untuk menegakkan diagnosis stroke. (12)

b. Pemeriksaan Fisik

Tanda klinis stroke didapatkan dengan cara pemeriksaan


fisik neurologi untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan

34
gejala yang didapatkan berdasarkan anamnesis. Pemeriksaan
fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasarkan
GCS, kelumpuhan saraf kranial, kelemahan motorik, defisit
sensorik, gangguan otonom dan gangguan kognitif.(1) The
National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) paling
sering digunakan untuk mengukur tingkat keparahan stroke
dan memiliki 11 kategori dan skor yang berkisar dari 0
hingga 42. 11 kategori ini termasuk tingkat kesadaran,
evaluasi penglihatan, kelumpuhan wajah, motorik lengan,
motorik kaki, ataksia ekstremitas, sensorik, kelancaran
Bahasa, disatria dan hilangnya perhatian. Interpretasi NIHSS
sebagai berikut: Skor 0-5 sebagai transient ischemic attack
atau skor 1-5 sebagai stroke minor, skor 6-10 sebagai stroke
sedang, skor 11-20 sebagai stroke sedang-berat dan stroke
(10,13)
320 sebagai stroke berat atau mengancam nyawa.

35
Gambar 6. NIHSS Score(14)

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk memastikan
diagnosis dan mengetahui etiologi dari stroke iskemik.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
elektrokardiogram, pencitraan otak: CT scan kepala non-
kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi serta
magnetic resonance angiogram. Selain itu, dapat juga
dilakukan doppler karotis dan vertebralis, doppler
transkranial, dan pemeriksaan laboratorium(3). Pemeriksaan
laboratorium yang biasa dilakukan di IGD antara lain adalah

36
hematologi rutin, glukosa darah sewaktu, dan fungsi ginjal
(ureum dan kreatinin). Di ruang perawatan, pemeriksaan
lainnya juga dilakukan, seperti gula darah puasa, gula darah
2 jam post-prandial, HbA1c, profil lipid, CRP, dan LED.
Pemeriksaan hemostasis seperti APTT dan PT dan INR, serta
enzim jantung, fungsi hati dan pemeriksaan elektrolit juga
dapat dilakukan sesuai indikasi(1). CT scan kepala atau MRI
otak direkomendasikan untuk pasien dalam waktu 20 menit
dari kejadian untuk menyingkirkan perdarahan. CT scan
kepala dapat menentukan diagnosis dengan akurasi lebih dari
95%. MRI memiliki resolusi yang lebih besar untuk
mendeteksi iskemia otak pada serangan iskemik transien
atau stroke iskemik minor dan merupakan modalitas pilihan
untuk membuat diagnosis pencitraan inklusif stroke ringan
dalam kasus di mana defisit sangat ringan.(13)
Terdapat alat bantu diagnostik klinis berupa sistem
skoring sederhana untuk menunjang dalam penegakkan
diagnosis stroke iskemik. Terdapat beberapa sistem skoring
yang dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
atau stroke iskemik yaitu skor Siriraj dan algoritma Stroke
Gadjah Mada. Untuk algortima Gadjah Mada menggunakan
variabel penurunan kesadaran ,nyeri kepala dan refleks
Babinski. Algoritma ini untuk mengatasi kelemahan dari
skoring yang memerlukan perhitungan dan pemakaian waktu
lama. (16) Pada peniliaian dari skor Siriraj, jika nilai < 1 akan
dicurigai adanya infark, jika nilai > +1 akan dicurigai adanya
perdarahan dan jika skor diantara -1 - +1 diagnosis
meragukan.(17)

37
Gambar 7. Skor Siriraj(17)

38
Gambar 8. Skor Gajahmada (18)

3.2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari stroke iskemik paling sering adalah


stroke hemoragik. Maka dari itu, pendekatan secara radiografi atau
setidaknya sistem diagnosis diperlukan untuk mendiagnosis banding hal
tersebut. Tumor (space occupying lesion) juga dapat menjadi diagnosis
banding dengan manifestasi yang muncul hampir sama dengan kejadian
stroke.(3)

39
3.2.10 Tatalaksana

Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk


menstabilkan pasien dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan
termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam
jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada
manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan
tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian
terapi trombolitik.
1. Penatalaksaan Umum(19,20,21,22)

a. Airway and breathing

Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak


adekuat atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka
pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping
dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya
herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36
mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena untuk
mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan
bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan
analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada
stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas
parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.

b. Circulation

Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan


terapi intravena dan pengawasan jantung. Pasien dengan

40
stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan
peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi
juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.

c. Pengontrolan Gula Darah

Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat


terkait dengan prognosis yang kurang baik dan menghambat
reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik
tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung
glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan
hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi.
Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan
pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai
adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini
harus dilanjutkan hingga pasien pulang untuk mengantisipasi
terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.

d. Posisi Kepala Pasien

Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi


serebral lebih maksimal jika pasien dalam pasien supinasi.
Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak
dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke
diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 20-
30 derajat.

41
e. Pengontrolan Tekanan Darah

Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada


stroke atau peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak
memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya
bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac
output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh
karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah
dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan
semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan
bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika
pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim (sistole lebih
dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau
pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.

Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi


trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan
darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ
end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya
intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara
120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg
IV selama 1- 2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat
ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5
mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang
diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target

42
pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15
persen.

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD


sistolik lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka
dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah
selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi komplikasi
perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah
labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali).
Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5
mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam. Pengawasan
terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa
setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam
berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah
tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk
mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat
diberikan.

- TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat


diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang
selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat
infuse hingga 2-8 mg/menit.
- TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat
diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam
hingga dosis maksimal 15mg/jam.
- Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari
karena dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.

f. Pengontrolan demam

43
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang
mengalami demam karena hipertermia (utamanya pada 12-
24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal
iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa
hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai
neuroprotektor.
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan
stroke non hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-
96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian
manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan cepat.
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam
pertama setelah onset. Meskipun profilaksis kejang tidak
diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan
menggunakan preparat antiepileptik tetap
direkomendasikan.

2. Penatalaksaan Khusus
a. Terapi Trombolitik

Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang


diberikan secara intravena akan mengubah plasminogen
menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu
menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan
lainnya.(21) Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-
PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah

44
onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan
10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang
sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah
pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau
hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah
perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%.
Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat
pengakuan FDA pada tahun 1996.(21) Tetapi pada penelitian
random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg
(maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak
lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya
perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil
dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi
pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien
menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak
lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien
yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan
perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-
PA belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.(21)

Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut,


JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu
penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat
besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela
waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara
objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase.
Sedang penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-
Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan

45
streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela
waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan mortalitas.
Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik
akut tidak dianjurkan.(21)

b. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan


stroke yang mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah
antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah
terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau
infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang
memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri
basilaris, trombosis arteri karotis dan infark serebral akibat
kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu
diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena
pemberian heparin tersebut.(21)

1) Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait


dengan protein plasma. Waktu paruh plasma: 44 jam.
Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40
mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-
10 mg/hari. Reaksi yang merugikan: hemoragik,
terutama renal dan gastrointestinal.

2) Heparin

Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat


terionisir. Normal terdapat pada sel mast. Cepat

46
bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam
proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek
vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein
lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin.
Wakto paruh plasma: 50- 150 menit. Diberikan tiap
4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg
(50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti
infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau
glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood
Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level
terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit.
Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia,
osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai
dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat
dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal.
Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine
sulphute dengan intravenous lambat untuk
menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg
protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100
unit).

c. Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu


peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit,
aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan
aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan
gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat
yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki

47
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara:
meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi
trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan
demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah.
Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum
1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.

d. Antiplatelet

1) Aspirin

Obat ini menghambat siklooksigenase, dengan cara


menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa
yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin
merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis
yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari,
80 mg/hari sampai 1.300 mg/hari. Obat ini sering
dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu penelitian di
Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari
dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan
hasil yang efikasius. Dosis lain yang diakui efektif ialah:
625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus,
kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi
puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam
salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein
plasma: 50-80 persen. Waktu paruh (half time) plasma: 4
jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH.

48
Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat
urin pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri
epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.(21) Alasan mereka yang tidak
menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah
kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis
rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk
menghasilkan 12- hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil
samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid –
oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh
dosis rendah aspirin, walaupun penghambatan pada
tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-
600 mg (belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu
secara permanen merusak pembentukan agregasi
platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa
aspirin tidak efektif untuk wanita.(21)

2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel


(clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal


dengan terapi aspirin, dapat menggunakan tiklopidin
atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah
aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul
platelet, mengganggu fungsi membran platelet
dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet
yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan

49
nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10
persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk
grup aspirin. Risiko relatif berkurang 21 persen
dengan penggunaan tiklopidin. Efek samping
tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia
(2,4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel.
Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3
bulan. Komplikasi yang lebih serius, tetapi jarang,
adalah purpura trombositopenia trombotik dan
anemia aplastik.(23)

e. Terapi Neuroprotektif

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan


ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti
iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu
akibat oklusi dan reperfusi. Pemberian citicoline sampai saat
(22)
ini masih memberikan manfaat pada stroke akut.

` 2. Terapi Non-Farmakologi

a. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat


dibatasi. Jika kondisi pasien semakin buruk akibat
penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka
pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.

50
b. Pencegahan primer dilakukan dengan menerapkan pola
hidup sehat rendah lemak dan kolesterol. Makanan yang
dapat menurunkan kadar kolesterol diantaranya serat, oat
(beta glucan), konsumsi vitamin B6, vitamin B12, asam
folat, dapat membantu menurunkan risiko stroke.
c. Kurangi asupan natrium (<6gr/hari) dan menambah asupan
kalium >4,7gr/hari).
d. Istirahat cukup (6-8 jam/hari) dianjurkan bagi penderita
stroke dan mengelola stress dengan baik.
e. Berhenti merokok.
f. Rehabilitasi komunikasi dan program olahraga terapeutik.

3.2.11 Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik


meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.(24)

1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik


bisa terjadi meskipun agak jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa
kontras adalah indikator independen untuk potensi
pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain
untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat
dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke
iskemik lebih lanjut belum diketahui. Beberapa pasien
mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka.
Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik
yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik.
Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan

51
penurunan neurologis dan berkisar dari petekie kecil
sampai perdarahan hematoma yang memerlukan
evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke
periode pemulihan. Post- stroke iskemik biasanya
bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang
mengalami serangan stroke berkembang menjadi
chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke
iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti
gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat
neurologic injury.

3.2.12 Prognosis

Prognosis stroke tergantung berat stroke dan komplikasi yang


timbul. Stroke dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting
adalah sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan.
Usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan
juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80%
pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan
didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%.
Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan, mengingat usia lanjut di
mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat dari periode
akut, sekitar satu setengah sampai dua pertiga kembali fungsi
independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan
institusional.(22)

52
4.1 Stroke Kardioembolik

Emboli yang berasal dari jantung merupakan penyebab yang


paling umum yang dapat diidentifikasi pada pasien stroke iskemik.
Angka kejadiannya sekitar 15-30% dari seluruh stroke iskemik. Emboli
jantung dapat menuju ke sirkulasi otak dan menyumbat aliran darah
otak dengan mengoklusi arteri, yang mana diameter lumen arteri sama
dengan ukuran dari emboli. (27)

Sumber paling umum dari kardioemboli trombus intrakardiak


dan mural yang dapat disebabkan oleh fibrilasi atrium, kardiomiopati
dengan pengurangan fraksi ejeksi dan abnormalitas pergerakan
dinnding yang mengikuti infark miokardium. Penyakit jantung katup
terutama akibat penyakit jantung rematik, regurgitasi atau stenosis
mitral berat, katup jantung buatan dan endokarditis, juga merupakan
salah satu penyebab yang cukup sering. Penyebab yang jarang adalah
atrial myxoma, yang mana emboli sebagian besar merupakan sel
neoplastik. Partikel lainnya dapat menuju sirkulasi vena dan
mengembolisasi melalui defek pada jantung, sebagai contoh lemak dari
fraktur tulang, udara dari trauma atau prosedur pembedahan paru, sinus
duramater, atau vena jugularis.(27)

Kardioemboli menyebabkan penyumbatan cabang arteri besar


dan kecil dari arteri serebral utama, tergantung dari ukuran partikel
emboli. Sumbatan kardioemboli biasanya mengalami rekanalisasi yang
dapat mengakibatkan transformasi hemoragik.(27)

53
a. Kelainan jantung yang dapat menyebabkan
kardioemboli : (27)

- Penyakit katup jantung

• Penyakit katup mitral


• Penyakit katup aorta
• Katup buatan
• Prolaps katup mitral (MPV)

- Gangguan pada atrium

• Fibrilasi atrium
• Aneurisma atrium
• Myxoma atrium

- Gangguan pada ventrikel

• Infark miokardium
• Aneurisma ventrikel
• Diskinesia dinding ventrikel

b. Mekanisme yang mendasari stroke kardioemboli(27)

Oklusi pembuluh darah serebral oleh debris yang berasal


dari jantung. Emboli bisa terdiri dari aggregat platelet,
thrombus, platelet-thrombi, kolesterol, kalsium, bakteri, dsb.
Sebagian besar debris emboli tersusun dari aggregat platelet.
Tidak ada mekanisme tunggal yang berperan dalam
pembentukan kardioemboli. Tiap gangguan jantung
menentukan patofisiologi dan perjalanan penyakit sehingga

54
setiap sumber kardioemboli harus ditentukan sendiri. Emboli
yang terbentuk akibat abnormalitas atrium dipicu oleh stasis
darah, sedangkan yang disebabkan oleh abnormalitas katup
disebabkan oleh abnormalitas endotel yang mengakibatkan
perlengkatan berbagai material pada sisi bebasnya. Sifat
emboli bergantung pada sumbernya, misalnya partikel
kalsifikasi pada katup jantung yang terkalsifikasi dan contoh
lainnya berupa sel-sel neoplasma pada kasus myxoma
(Gofir, 2009).

Sekali emboli mencapai sirkulasi serebral maka akan


menyebabkan obstruksi suplai darah di otak dan
menyebabkan iskemia neuron dan menjadi infark. Berbeda
dengan trombus, embolus tidak melekat kuat di dinding vasa
sehingga dapat bermigrasi hingga ke distal. Jika hal ini
terjadi, reperfusi dari kapiler di arteriole yang rusak
menyebabkan kebocoran darah ke jaringan infark
sekelilingnya. Hal ini menjelaskan mengapa frekuensi infark
hemorhagik umum terjadi pada stroke kardioembolik (Wolf,
et al., 1991).

55
REFERENSI

1. Kementerian Kesehatan Indonesia. STROKE. Info datin:2019


2. American Heart Association, 2014
3. Departmen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar
Neurologi. Jilid II. Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017.
4. Tadi P, Lui. Acute Stroke. Statpearls, 2021.
5. Sherwood L. Human Physiology: from Cells to Systems. Cengage 2013:133-
45.
6. Maldonado K, Alsayouri K. Physiology, Brain. Statpearls 2021. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551718/
7. Ludwig P, Reddy V, Varacallo M. Neuroanatomy, Central Nervous System
(CNS). Statpearls, 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK442010/
8. Harrow-Mortelliti M, Reddy V, Jimsheleishvili G. Physiology, SpinalCord.
Statpearls 2021. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544267/
9. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, et al. The Blood Supply of the Brain
and Spinal Cord. Sinauer Associates 2001. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11042/
10. Watson C, Harrison M. The location of the major ascending and descending
spinal cord tracts in all spinal cord segments in the mouse: actual and
extrapolated. Anat Rec (Hoboken). 2012 Oct;295(10):1692-7. doi:
10.1002/ar.22549.
11. Saver J. Proposal for a Universal Definition of Cerebral Infarction. 2008.
Available from: https://doi.org/10.1161/STROKEAHA.108.518415
12. Hui C, Tadi P, Patti L. Ischemic Stroke. Statpearls 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499997/

56
13. Boehme A, Esenwa C, Elkind M. Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention. Circ Res. 2017 Feb 3; 120(3): 472–495. doi:
10.1161/CIRCRESAHA.116.308398
14. Khaku AS, Tadi P. Cerebrovascular Disease. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan- .
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430927/
15. Musuka TD, Wilton SB, Traboulsi M, Hill MD. Diagnosis and management of
acute ischemic stroke: speed is critical. CMAJ. 2015;187(12):887-893.
doi:10.1503/cmaj.140355.
16. C. Denier, C. Flamand-Roze, F. Dib, et al. Aphasia in stroke patients: early
outcome following thrombolysis. Aphasiology 2014:1-15, DOI:
10.1080/02687038.2014.971220
17. Tomandl B, Klotz E, Phys D, et al. Comprehensive Imaging of Ischemic Stroke
with Multisection CT. Radiographics 2003;23(3):565-92
18. Fakhruddin H, Nurmalia L. Perbandingan Uji Diagnostik Siriraj Stroke Score
dan Algoritma Stroke Gadjah Mada sebagai Prediktor Jenis Stroke di RS Sentra
Medika Bekasi. JK Unila 2019;3(2):251-7
19. Chukwuonye I, Ohagwu K, Uche E, Chuku A, Nwanke R, Ohagwu C, Ezeani
I, Nwabuko CO, Nnoli M, Oviasu E, Ogah O. Validation of Siriraj Stroke Score
in southeast Nigeria. Int J Gen Med. 2015;8:349-353
https://doi.org/10.2147/IJGM.S87293
20. Lamsudi R. Algoritma stroke Gadjah Mada. BI Ked 1996;28(4):181-7
21. Caplan LR. Caplan’s stroke. Elsevier. Philadelphia; 2009
22. Misbach JS, Aliah A, Alfa A, et al. Guideline stroke tahun 2011.
Jakarta:PERDOSSI; 2011
23. Edward C. Ischemic Stroke Treatment & Management. Medscape; 2020

24. Chris T, Frans L, Sonia H, et al. Kapita Selekta essentials medicine 4th
ed.Media Aesculapius; 2014

57
25. Martin J, Desmond J. Ticlopidine and Clopidogrel. AHA
journal.2009;1000:1667-72
26. Sameer B, Kiranpal S, Pooja K. Drug Treatment of Acute Ischemic Stroke.Am
J Cardiovasc Drugs. 2013; 1-22
27. Gates P. Cardiogenic stroke in, Barnett H. et al. stroke pathophysiology,
diagnosis and management, vol.2 Melbourne: Churchill Livingstone,
1986:1085-

58
59

Anda mungkin juga menyukai