“RETINOPATI DIABETIK”
STASE MATA
NIM : 018.06.0002
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan Laporan CBD dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam menyelesaikan Laporan CBD ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan, petunjuk, dan dukungan dari berbagai pihak. Penyusunan laporan ini
tidak dapat berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam
kesempatan ini, izinkan penulis untuk mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. H. Samsul Rizal Ziaulhaq, Sp.M. Sebagai pembimbing yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam penyusunan laporan CBD.
2. Sumber literatur dan jurnal-jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi
dalam penyusunan laporan CBD.
3. Keluarga yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
4. Serta berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang
ikut serta membantu dalam penyelesaian penyusunan laporan ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
JUDUL HALAMAN.......................................................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
2.1 Anamnesa.....................................................................................................................2
2.2 Pemeriksaan Oftalmologi............................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Lain........................................................................................................5
2.4 Diagnosis Kerja...........................................................................................................6
2.5 Diagnosis Banding.......................................................................................................6
2.6 Penatalaksanaan............................................................................................................6
2.7 Prognosis......................................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................7
3.5 Etiologi.......................................................................................................................11
3.6 Manifestasi Klinis......................................................................................................12
3.7 Klasifikasi...................................................................................................................13
3.8 Faktor Risiko.............................................................................................................15
3.9 Patofisiologi................................................................................................................15
3.10 Diagnosis....................................................................................................................17
3.11 Tatalaksana.................................................................................................................19
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................................21
BAB V PENUTUP................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Umur : 51 Tahun
Agama : Hindu
2.1 Anamnesa
a. Keluhan Utama: Mata Kabur
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh keluarganya ke poli mata Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kota Mataram dengan keluhan kedua mata kabur. Keluhan mata
kabur sudah dirasakan sejak awal bulan juli tahun 2023 (2 bulan yang lalu).
Keluhan mata kabur yang dirasakan timbul secara perlahan dan semakin lama
dirasakan semakin memberat, dan saat ini dirasakan yang paling memberat.
Riwayat trauma pada mata disangkal. Pasien mengeluhkan silau setiap melihat
cahaya lampu. Keluhan nyeri, gatal, terasa mengganjal, dan penglihatan ganda
pada kedua mata disangkal. Penglihatan kabur seperti melihat awan, ataupun
seperti dalam terowongan disangkal. Pasien mengatakan keluhan mata kabur
seperti melihat bayangan asap. Sekitar 3 bulan yang lalu, pasien pernah
menggunakan obat tetes mata (Insto) kurang lebih 1 tetes saat matanya terasa
agak perih akibat kemasukan debu, dan setelahnya pasien sudah tidak
menggunakannya lagi karena pasien sudah tidak merasakan perih pada matanya.
2
Berdasarkan pernyataan pasien dan keluarganya, pasien baru mengetahui
memiliki penyakit diabetes melitus pada tanggal 5 januari tahun 2023.
Sebelumnya pasien sering merokok dan minum alkohol. Namun semenjak pasien
mengetahui memiliki penyakit diabetes melitus, pasien sudah tidak lagi
merokok. Namun untuk konsumsi alkohol nya masih dilakukan setiap ada waktu
luang sebanyak 2-3 gelas. Sebelumnya hasil pemeriksaan GDS pasien pada
tanggal 5 Januari didapatkan hasil 450, kemudian pemeriksaan GDS pasien pada
tanggal 5 Agustus tahun 2023 didapatkan 250, dan pemeriksaan pada tanggal 19
September 2023 didapatkan nilai GDS 336. Berdasarkan penyataan pasien dan
keluarganya, sebelumnya pasien tidak pernah menggunakan kacamata ataupun
melakukan pengobatan berupa operasi pada matanya, riwayat trauma pada mata
juga disangkal.
3
2.2 Pemeriksaan Oftalmologi
4
Kripti Normal Kripti Normal
Sinekia anterior (-) Iris Sinekia anterior (-)
Sinekia Posterior (-) Sinekia Posterior (-)
Bulat Bulat
Isokor Pupil Isokor
Refleks Cahaya (+) Refleks Cahaya (+)
Jernih Lensa Jernih
OD (R)
OS (L)
5
6
2.4 Diagnosis Kerja : Retinopati Diabetik (Proliferatif)
2.6 Penatalaksanaan
1) Asam Traneksamat (3 x 500 mg)
2) ROB 1 x 1
3) Rujuk RSUP Pro Laser
2.7 Prognosis
1) Ad vitam : Dubia ad bonam
2) Ad Fungsionam : Dubia ad malam
3) Ad Sanationam : Dubia ad malam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Retina merupakan lapisan terdalam dari bola mata. Retina merupakan 2/3
bagian dari dinding dalam bola mata, lapisannya transparan, dan tebalnya kira-kira
1 mm. Retina merupakan membran tipis, bening, berbentuk seperti jaring (karenanya
disebut juga sebagai selaput jala), dan metabolisme oksigen-nya sangat tinggi. Retina
atau selaput jala ini merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya.
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm,
yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang
pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area
centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel
ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai
daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea
yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina pada angiografi
fluoresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami
penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim Iain. Hal ini terjadi
karena akson-akson sel
8
fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang
lebih dekat dengan permukaan-dalam retina lepas secara sentrifugal. Di tengah
makula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm,
yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang
menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis
(0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran histologis fovea
dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang tajam; foveola memberikan
ketajaman visual yang optimal. Ruang ekstraselular retina yang normalnya kosong
cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan
ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan daerah ini (edema makula).
Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri
atas beberapa lapisan. Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai
berikut: (1) membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung
akson- akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus opticus; (3) lapisan sel
ganglion;
(4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel
amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan
horisontal; (6) lapisan pleskiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan
sel horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8) membran
limitans eksterna: (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut;
dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan-dalam membran Bruch sebenarnya merupakan
membran basalis epitel pigmen retina.
9
10
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di
luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen
retina; serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga
dalam retina, seperti pada gambar berikut:
11
musculi recti. Arteri ini
12
memasok darah ke sklera, episklera, limbus, dan konjungtiva, serta ikut membentuk
circulus arterialis major iris. Cabang-cabang arteria ophthalmica yang paling anterior
ikut membentuk aliran-aliran arteri yang berkelok-kelok di kelopak mata, yang
membuat anastomosis dengan sirkulasi karotis eksterna melalui arteria facialis.
Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena ophthalmica superior dan inferior,
yang juga menampung darah dari venae vorticosae, vena ciliaris anterior, dan vena
centralis retinae. Vena ophthalmica berhubungan dengan sinus cavernosus melalui
fissura orbitalis superior, dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fissura
orbitalis inferior. Vena ophthalmica superior mula-mula terbentuk dari vena
supraorbitalis dan supratrochlearis serta dari satu cabang vena angularis; ketiga vena
tersebut mengalirkan darah dari kulit di daerah periorbita. Vena ini rnembentuk
hubungan langsung antara kulit wajah dan sinus cavernosus sehingga ciapat
menimbulkan trombosis sinus cavernosus yang fatal pada infeksi superfisial di kulit
periorbita.
Fovea seluruhnya diperdarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar
darah- retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah-retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
3.3 Definisi
Diabetic Retinopathy atau retinopati diabetic (RD) adalah suatu kelainan retina
(retinopati) yang ditemukan pada penderita diabetes melitus. Retinopati diabetik
merupakan suatu komplikasi kronis pada mikrovaskular retina mata yang muncul
akibat penyakit diabetes melitus sehingga menyebabkan penyumbatan pada pembuluh
darah kecil yang terdapat pada organ mata.
3.4 Epidemiologi
Pasien DM yang terus meningkat setiap tahunnya akan berdampak pada
peningkatan retinopati diabetik sebagai komplikasi dari penyakit DM. Sekitar 20-50%
penderita diabetes, terdiagnosis mengalami retinopati diabetik dengan prognosis
buruk karena dapat mengancam terjadinya kebutaan (Maynanda, 2017). Menurut
WHO, kebutaan yang terjadi di dunia sebesar 39 juta dan 4,8% diantaranya
disebabkan oleh
13
retinopati diabetik (PERDAMI, 2018).Angka kejadian RD pada semua populasi
diabetes meningkat seiring durasi penyakit dan usia pasien. RD jarang terjadi pada
anak usia kurang dari 10 tahun, namun risiko meningkat setelah usia puberitas.
Wisconsin Epidemiology Study of Diabetic Retinopathy (WESDR) melaporkan 99%
pasien DM tipe 1 dan 60% pasien DM tipe 2 akan mengalami retinopati diabetes
dalam 20 tahun. RD proliferatif terjadi pada 50% pasien DM tipe 1 dalam 15 tahun.
Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013 menemukan sekitar 6,9% penduduk
Indonesia yang berusia di atas 15 tahun menderita DM.
Prevalensi diabetes melitus diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai
578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045 (Handono et al., 2020). Angka
kejadian retinopati diabetik pada semua populasi penderita diabetes melitus meningkat
seiring lamanya periode penyakit dan usia penderita (Teo et al., 2021). Retinopati
diabetik sering ditemukan pada usia produktif antara 20-64 tahun (Fitriani et al.,
2017). Di Amerika Serikat, prevalensi retinopati diabetik ialah sekitar 28,5% dan di
India ialah 18%. (Gulshan et al., 2016). Di sisi lain, berbagai penelitian terkait
prevalensi retinopati diabetik di berbagai wilayah di Indonesia sudah cukup banyak
dilakukan. Prevalensi kejadian retinopati diabetik di berbagai wilayah di Indonesia
pada tahun 2017 mencapai 43,1% (Sasongko et al., 2017).
3.5 Etiologi
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiper- glikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor
risiko utama. Beberapa proses blokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan diduga
berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu aktivasi jalur poliol, glikasi
nonenzimatik dan peningkatan diasilgliserol yang menyebabkan aktivasi PKC. Selain
itu, hormon pertumbuhan dan beberapa faktor pertumbuhan lain seperti VEGF diduga
juga berperan dalam progresifitas retinopati diabetik. (Setiati et al, 2014).
a) Aktivasi Jalur Poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama menyebabkan peningkatan
aktivitas enzim aldose reduktase sehingga produksi poliol yaitu suatu senyawa
gula dan alkohol meningkat dalam jaringan termasuk di lensa, pembuluh darah
dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol ialah tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di
dalam sel.
14
Penimbunan senyawa poliol dalam sel tersebut akan menyebabkan peningkatan
tekanan osmotik sehinggal menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel.
Percobaan pada hewan yang diberi inhibitor enzim aldose reduktase
(aminoguanidin) ternyata dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya
retinopati diabetik. Namun uji klinik pada pasien diabetes tipe 1 yang diberi
aminoguanidin kemudian diamati selama 3-4 tahun ternyata tidak memberi
pengaruh terhadap timbulnya maupun perlambatan progresifitas retinopati
diabetik. Sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian dengan menggunakan
inhibitor enzim aldose reduktase yang lebih kuat. (Setiati et al, 2014).
b) Glikasi Nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat
(DNA) yang terjadi selama hiperglikemia akan menghambat aktivitas enzim dan
keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan
menimbulkan perubahan fungsi sel. Penggunaan aminoguanidin, yaitu suatu bahan
yang juga bekerja menghambat pembentukan advanced glycation end product
(AGE) pada tikus diabetes dilapurkan dapat mengurangi pengaruh diabetes
terhadap aliran darah di retina, permeabilitas kapiler dan parameter mikrovaskuler
yang lain. Aminoguanidin terbukti juga dapat menghambat produksi senyawa
oksida nitrat yang merupakan vasokonstriktor kuat.
15
belum mengalami kerusakan. (PERDAMI, 2018). Retinopati diabetik yang
berkembang secara progresif akan menimbulkan berbagai gejala yang biasanya
mempengaruhi kedua mata. Adapun gejalanya sebagai berikut (American Academy of
Ophthalmology, 2021) :
1) Peningkatan jumlah floaters yaitu bayangan seperti bintik atau garis dalam
penglihatan.
2) Penglihatan buram
3) Penglihatan yang dapat berubah-ubah secara periodik dari kabur menjadi jelas
4) Terdapat area blank atau gelap di lapang pandang
5) Penurunan penglihatan di malam hari
6) Gangguan dalam penglihatan warna
7) Penurunan atau kehilangan penglihatan
3.7 Klasifikasi
RD dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis. RD nonproliferatif
ditandai dengan perubahan vaskulerisasi intraretina, sedangkan pada RD proliferatif
ditemukan neovaskulerisasi akibat iskemi.
a) Retinopati Diabetik Nonproliferatif
Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk retinopati yang
paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi
hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara
pemeriksaan yang paling baik ialah dengan menggunakan foto warna fundus atau
dengan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda
awal yang dapat ditemukan pada RDNP. Dengan oftalmoskopi atau foto warna
fundus, mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dan sering kelihatan pada
bagian posterior. (Setiati et al, 2014).
Penyebab timbulnya mikroaneurisma masih belum jelas. Diduga ada
hubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan
dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intra
lumen kapiler. Kelainan morfologi yang lain ialah penebalan membrana basalis,
perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak warna kuning dan
eksudat lunak yang tampak sebagai bercak halus (cotton wool spot). Perdarahan
terjadi akibat kebocoran eritrosit, eksudat terjadi akibat kebocoran dan deposisi
16
lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi akibat kebocoran plasma. (Setiati et
al, 2014).
Retinopati diabetik nonproliferatif berat sering juga disebut sebagai
retinopati diabetik iskemik, retinopati obstruktif atau retinopati preproliferatif.
Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak teratur
akibat dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot, yaitu suatu daerah retina
dengan gambaran bercak warna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan.
Dalam waktu 1-3 tahun RDNP berat (retinopati reproliferatif) sering berkembang
menjadi retinopati diabetik proliferatif, baik disertai maupun tidak disertai dengan
edema makula. Pasien diabetes dengan keadaan tersebut merupakan calon untuk
mendapat terapi fotokoagulasi. (Setiati et al, 2014).
17
perdarahan, atau terdapat perdarahan di lebih dari separuh pada daerah diskus atau
vitreus. (Setiati et al, 2014).
3.9 Patofisiologi
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf.
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler
retina. Kapiler retina membentuk jejaring yang menyebar ke seluruh permukaan retina
kecuali suatu daerah yang disebut fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk
retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri
dari tiga lapisan berturut-turut dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis
dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada
membrana sel yang terletak di antara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan
jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler
perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1. (Setiati et al, 2014).
Fungsi sel perisit antara lain jalah untuk mempertahankan struktur kapiler,
mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi
18
kapiler serta mengendalikan proliferasi sel endotel. Membrana basalis kapiler
berfungsi sebagai barrier untuk mempertahankan permeabilitas agar tidak terjadi
kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan
matriks ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat selektif
terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil, termasuk bahan kontras fluoresein
yang digunakan untuk diagnosis penyakit kapiler retina. Perubahan histopatologis
kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membrana basalis
kemudian disusul dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya proliferasi sel
endotel. Pada keadaan lanjut, sel perisit tidak mampu lagi mengendalikan proliferasi
sel endotel sehingga perbandingan antara sel endotel dan sel perisit kapiler retina
meningkat sampai mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik juga melibatkan
lima proses yang terjadi di tingkat kapiler yaitu:
1) Pembentukan mikroaneurisma,
2) Peningkatan permeabilitas,
3) Penyumbatan,
4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan pembentukan jaringan fibrosis,
5) Kontraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus. (Setiati et al, 2014).
19
(Setiati
20
et al, 2014).
3.10 Diagnosis
Penegakan diagnosis retinopati diabetik memerlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang. Hasil dari pemeriksaan-pemeriksaan yang
dilakukan juga sangat penting untuk dapat menentukan tipe retinopati diabetik yang
nantinya berkaitan dengan tatalaksana yang akan diberikan, sehingga dapat
menghindari kesalahan yang dapat menyebabkan morbiditas atau bahkan mortalitas.
(Setiawan, 2021; Sinardja, 2019). Anamnesis yang kurang baik dapat mengakibatkan
kesalahan diagnosis.
a) Anamnesis awal harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (PERDAMI,
2018):
1) Lamanya menderita diabetes
2) Kontrol gula darah (Hemoglobin A1c)
3) Pengobatan yang telah dilakukan sebelumnya
4) Riwayat penyakit lain (misalnya obesitas, gangguan ginjal, hipertensi sistemik,
pemeriksaan serum lipid, kehamilan)
5) Riwayat penyakit mata yang pernah dialami (trauma, injeksi okular, operasi,
termasuk terapi laser dan operasi refraktif).
22
2) Optical Coherence Tomography (OCT)
Saat ini OCT merupakan alat diagnostik sangat penting dalam
mendiagnosis EMD. (21) OCT dapat menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi
yang menggambarkan potongan lintang lapisan retina secara in vivo sehingga
dapat menggambarkan ketebalan retina, melihat edema makula, serta dapat
mengidentifikasi adanya traksi vitreomakula.
4) Ultrasonography (USG)
USG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang pada pasien diabetes
dengan media yang keruh (umumnya karena katarak atau perdarahan vitreus) dan
ablasio retina traksional
3.11 Tatalaksana
Penatalaksanaan retinopati diabetik dibagi menjadi dua yaitu retinopati
diabetik non-proliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik non-proliferatif tahap
ringan-sedang umumnya tidak mempunyai tatalaksana khusus tetapi untuk
mengurangi risiko menjadi retinopati tahap lanjut dengan rutin untuk mengontrol gula
darah, tekanan darah, lemak dan dilakukan observasi setiap tahun untuk melihat
perkembangannya. Kemudian, pada tahap retinopati diabetik non-proliferatif tahap
berat dilakukan observasi setiap enam bulan sekali untuk melihat apakah ada tanda-
tanda untuk berkembang dari nonproliferatif menjadi proliferatif (Elvira &
Suryawijaya, 2019). Selain itu, untuk mencegah perkembangan dengan risiko tinggi
menjadi retinopati proliferatif dapat dilakukan terapi fotokoagulasi laser pan-retina
23
(PRP) tetapi dengan mempertimbangan kondisi pasien (PERDAMI, 2018).
Penatalaksanaan retinopati diabetik proliferatif tidak hanya dilakukan
observasi saja tetapi diberikan terapi seperti fotokoagulasi laser, pemberian
AntiVascular Endothelial Growth Factor (Anti-VEGF), steroid intravital, dan
tindakan virektomi pars plana (Elvira & Suryawijaya, 2019). Adapun penjelasannya
sebagai berikut :
1) Fotokoagulasi Laser
Tujuan dari pemberian terapi untuk meningkatkan oksigenasi, mengatasi
hipoksia pada bagian dalam retina, menurunkan stimulus faktor proliferasi
pembuluh darah, serta mengurangi neovaskularisasi (Herdana et al., 2018).
3) Steroid Intravital
Injeksi steroid intravital merupakan salah satu terapi untuk mengatasi
edema makula pada pasien retinopati diabetik. Jenis kortikosteroid yang
digunakan adalah triamcinolone acetonide, dexamethasone, dan fluocinolone
acetonide. Namun, terapi ini berbeda dengan yang lainnya karena dapat memicu
terjadinya komplikasi katarak, peningkatan tekanan intra okular dan endoftalmitis
(Yusran, 2017).
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis retinopati diabetik pada pasien ini berdasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan yang didapatkan, yaitu didapatkan keluhan utama berupa penglihatan kabur
dengan tajam penglihatan yang menurun secara perlahan. Pasien mengaku tidak ada riwayat
trauma pada mata. Pasien memiliki riwayat DM yang baru diketahui awal bulan januari tahun
2023, dengan nilai GDS yang tidak terkontrol dalam 3 kali pemeriksaan. Kemudian dari
pemeriksaan fisik pada kedua mata tidak didapatkan kelainan, hanya didapatkan penurunan
visus 5/60 dengan koreksi pinhole tetap. Dari pemeriksaan foto fundus menggunakan OCT
didapatkan gambaran abnormal dengan ditemukan adanya eksudat dan perdarahan.
Perdarahan ini dapat disebabkan oleh pecahnya neovaskularisasi pada daerah retina dan
sekitarnya. Dari gejala diagnosis mengarah ke retinopati diabetik proliferatif. (Ilyas et al,
2019).
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pasien
diabetes melitus akibat gula darah yang tidak terkontrol dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah retina. Peningkatan prevalensi retinopati
diabetik tidak terlepas dari meningkatnya pasien diabetes setiap tahunnya. Manifestasi
klinisnya berupa gangguan penglihatan mulai dari tahap ringan bahkan bisa sampai
terjadinya kebutaan sehingga prognosis retinopati diabetik ini buruk. Tatalaksana
yang dapat diberikan pada retinopati diabetik non proliferatif adalah rutin untuk
mengontrol gula darah, tekanan darah, lemak dan diobservasi setiap tahun untuk
melihat perkembangannya. Ketika sudah berkembang menjadi retinopati diabetik
proliferatif dapat diberikan tatalaksana seperti fotokoagulasi laser, steroid intravital,
tindakan virektomi pars plana, dan pemberian anti-Vascular Endothelial Growth
Factor (AntiVEGF).
26
DAFTAR PUSTAKA
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. (2014).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
Purnama, R. F., Nintyastuti, I. K., & Rizki, M. (2023). Retinopati Diabetik : Manifestasi
Klinis, Diagnosis, Tatalaksana dan Pencegahan. Lombok Medical Journal, 2(1).
Utami, D. R., Amin, R., & Zen, N. F. (2017). Karakteristik Klinis Pasien Retinopati Diabetik
Periode 1 Januari 2014–31 Desember 2015 di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 49(2).
American Academy of Ophthalmology. (2021). Retina and Vitreous in basic and clinical
science course. USA.
Herdana, N., Ansyori, A. K., & Amin, R. (2018). Management of Diabetic Retinopathy.
Sriwijaya Journal of Ophthalmology, 1(2).
Irmandha, S. (2021). Hubungan Jenis Retinopati Diabetik dengan Lama Menderita Diabetes
Melitus dan Kadar HbA1C. Wal’afiat Hospital Journal, 2(1).
Reubun, R. J. S., Tamtelahitu, C. L., & Yunita, M. (2022). Prevalensi Retinopati Diabetik
Pada Penderita Diabetes Melitus Di Klinik Utama Provinsi Maluku. Jurnal Ilmiah
Ilmu Kesehatan, 10(3).
Kemenkes. (2020). Tetap Produktif, Cegah dan Atasi Diabetes Mellitus. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Maynanda, Y. dan R. (2017). Karakteristik Retinopati Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di RSAU dr. M. Salamun. Prosiding Pendidikan Dokter, 3(2).
Mulyani, L. D., Ridwan, A. A., & Budiman. (2019). Gambaran Faktor Risiko Diabetes
Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi Retinopati Diabetik pada Pasien Rawat jalan di
RSUD Al Ihsan Tahun 2017- 2019. Prosiding Kedokteran, 300–305.
27
PERDAMI. (2018). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Retinopati Diabetika. Candi
Eye Center.
Shaniaputri, T., Iskandar, E., & Fajriansyah, A. (2022). Prevalensi Retinopati Diabetik di
Puskesmas di Bandung Raya Periode Januari 2019-Desember 2020. Bandung Raya
EJKI, 10(1).
Yusran, M. (2017). Retinopati Diabetik: Tinjauan Kasus Diagnosis dan Tatalaksana. Jurnal
Kedokteran Unila, 1(3).
Ilyas, S., & Yulianti, S. R. (2019). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Vaughan & Asbury. (2009). Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC.
Subardjo & Hartono. (2007). Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
28