Oleh :
Preseptor :
dr. Sri Meutia, Sp. PD
LHOKSEUMAWE
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada
Allah SWT yang maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Tetanus pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan Komplikasi”.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi Penulis untuk menyelesaikan laporan kasus ini, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Sri Meutia, Sp. PD selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior pada bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan
motivasi bagi penulis sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan.
2. Teman-teman sejawat pada kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Dalam yang
telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Elisa Hirani,S.Ked
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI………............................................................................................ii
DAFTAR Gambar………...................................................................................iii
DAFTAR Tabel………........................................................................................iv
DAFTAR Singkatan………................................................................................v
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB 3. PEMBAHASAN….............................................................................. 24
BAB 4. KESIMPULAN…............................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 46
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Ikhtisar Keluarga Pasien........................................................5
Gambar 3.1 Bakteri Clostridium Tetani..............................................................23
Gambar 3.2 Patofisiologi Tetanus.......................................................................27
Gambar 3.3 Patofisiologi DM tipe 2....................................................................35
Gambar 3.4 Target Obat yang Digunakan...........................................................35
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR SINGKATAN
CDC : Center For Disease Control And Prevention
DM : Diabetes Mellitus
i
BAB 1
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit pada susunan saraf yang ditandai dengan spasme
tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Penyakit ini
merupakan toksemia akut akibat neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani dan ditandai dengan nyeri pada rahang bawah dan leher serta kekakuan
secara keseluruhan dan kekejangan otot rangka 12,3. Bakteri penyebab tetanus yaitu
Clostridium tetani biasanya terdapat di lingkungan bebas, debu, benda berkarat,
ataupun peralatan operasi yang tidak steril4.
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa yang menjadi
masalah kesehatan dunia terutama di negara yang berkembang dengan angka
kejadian 1.000.000 pasien setiap tahunnya di dunia 5. Di Indonesia, insidensi
6,7
berkisar 0.2/100.000 populasi . Tetanus memiliki tingkat mortalitas sebesar 6-
60%8. Berdasarkan data dari Center For Disease Control And Prevention (CDC),
Angka kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibangdingkan sejak
pertama kali penyakit ini ditemukan pada tahun 1947 dan angka kematian telah
menurun 99%9,10.
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala 11. Diagnosis
tetanus ditegakkan dengan mengeksklusi penyakit penyebab kejang lainnya dan
adanya luka yang menjadi tempat masuknya kuman tetanus 12. Selain itu, tetanus
juga dapat dialami oleh Kelompok masyarakat dengan usia usia lebih dari 65
tahun dan penderita diabetes. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap resiko
infeksi tetanus yang disebabkan oleh luka juga menjadi salah satu faktor risiko
masih maraknya terjadi tetanus13.
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat dari defek sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya14. International Diabetes Federation mengungkapkan pada
1
2
2015 orang yang terkena DM menyentuh 415 juta jiwa dan diantara jumlah
tersebut 98% nya adalah pengidap DM Tipe 215.
Komplikasi penyakit Diabetes Melitus yang paling rentan terkena dari
keseluruhan organ tubuh adalah Kaki. Lama sakit pada penderita Diabetes Melitus
berpotensi menimbulkan munculnya luka. Kerusakan saraf pada kaki akibat
komplikasi Diabetes Melitus dapat menyebabkan tidak bisa merasakan rasa sakit,
perih, nyeri, di bagian kaki sehingga tidak bisa merasakan sesuatu ketika kaki
terluka16.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 Tahun
Alamat : Desa Alue Buket, Lhoksukon
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan : Wiraswasta
Nomor RM : 17.04.00
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 03 September 2021
Tanggal Pemeriksaan : 05 September 2021
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Pasien :
Keluhan utama : Kaku mulut dan rahang
Keluhan tambahan : Kaku pada leher, bahu dan tangan, Kejang, lemas,
tidak sanggup melihat cahaya, batuk sesekali, luka pada telapak kaki
kanan, badan terasa sakit, tidak dapat merasakan sensasi perabaan,
demam dan sesak nafas .
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
Pasien merupakan rujukan dari RS Kasih Ibu datang ke IGD RS Cut Meutia
dengan keluhan kaku pada mulut dan rahang sejak 4 hari SMRS. Kaku dialami
sehingga mulut tidak dapat dibuka, nyeri nyeri tidak dijumpai, kemerahan tidak
dijumpai, bengkak tidak dijumpai, dijumpai adanya demam dan sesak nafas. ± 2
minggu sebelum masuk rumah sakit pasien terkena paku saat membersihkan
gudang belakang rumah pada pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB. Sesaat setelah
kejadian pasien tidak merasakan keluhan sakit pada kaki kanan yang terkena
paku. Pada pukul 12.50 Wib saat pasien hendak mengambil wudu pasien
mengeluhkan nyeri pada kaki dan terlihat luka, dan keluarga pasien menemukan
3
4
paku yang sudah berkarat yang tertancap pada sandal pasien. Selanjutnya pasien
dibawa ke mantri untuk mengobati keluhannya. Keluarga pasien mengatakan
ketika dirumah mantri luka dibersihkan diluarnya saja dan disuntik obat di bagian
bokong pasien, akan tetapi keluarga tidak tahu obat apa yang disuntikan. Selama 2
minggu pasien rutin setiap hari pergi sendiri untuk mengganti perban ke tempat
mantra menggunakan sepeda motor pribadi miliknya dan pasien tetap melakukan
aktivitas sehari-hari dirumah.
Pada malam hari tanggal 30 Agustus 2021 pasien mulai merasakan sakit
pada seluruh badan terutama pada bagian mulut dan leher kemudian pasien
merasakan kaku pada mulut dan rahang. Selain itu pasien juga mengelukan sulit
menelan makanan padat dan cair. Keesokan harinya saat pasien hendak pergi
mengganti perban pasien terjatuh dari sepeda motor yang dikendarai nya
dikarenakan tidak mampu menjaga keseimbangan saat berbelok, pada saat itu
pasien sudah mulai merasakan kaku pada tangan, leher dan bahu pasien. Tidak
ada luka-luka pada pasien saat terjatuh dari sepeda motornya.
Pada sore harinya pasien pergi berobat ke dokter untuk keluhannya dan
dianjurkan untuk dirawat di RS. Pada malam hari nya keluhan pasien semakin
memberat mulut pasien terkunci rapat, leher dan bahu pasien kaku serta tangan
yang susah digerakkan, pasien juga tidak dapat melihat cahaya, saat pasien
melihat cahaya keluarga pasien mengatakan pasien langsung kejang.
Pasien dirawat di RS Kasih ibu selama 3 hari. pada hari rawatan ke 3 pasien
dilakukan tindakan debridement. Dari anamnesis dengan dokter yang menangani
pasien disampaikan bahwa luka pada pasien telah menghitam. Keluarga pasien
juga mengatakan selama di Rs kasih ibu pasien mengalami kejang dengan durasi
< 5 mnt 4 kali dalam sehari.
Selama rawatan di Rs kasih ibu pasien tidak dapat berbicara dan membuka
mulut serta tidak dapat menggerakan tangan dan duduk. Pasien tidak mengingat
sejak kapan timbul keluhan menurunnya sensasi perabaan pada kaki pasien.
3. Riwayat Penyakit terdahulu (RPD) :
- DM Tipe 2 sejak 10 tahun yang lalu.
- Riwayat Hipertensi tidak dijumpai
5
P L P L P
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 105 x/menit, regular, isi dan tekanan cukup
Frekuensi napas : 23 x/menit, reguler
Suhu : 36,9 °C
SpO2 : 97%
Status Gizi : BBS: 80kg BBD: 85kg TB: 171cm
IMT Sekarang : 27,35 kg/m2 (Overweight)
Status General
Status Generalis
Kepala:
• Bentuk : bulat lonjong, Ukuran: Normocephali, Kelainan yang ada:
(-), rambut berwarna hitam dan beruban serta tidak mudah dicabut
• Mata : konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-) mata cekung (-/-), sensitifitas
terhadap cahaya meningkat.
• Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-), kaku (+), mulut tidak
dapat dibuka (+)
• Hidung : pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum nasi (-),
sekret (-), rhinorhea (-)
• Telinga : simetris, sekret (-), otorrhea (-)
Leher :
pembesaran KGB
Submandibula : tidak teraba membesar
Leher : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Ketiak : tidak teraba membesar
Thorax :
Thorax depan
Pulmo
7
• Perkusi :
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Sonor Sonor
Lap. Paru Tengah Sonor Sonor
Lap. Paru Bawah Sonor Sonor
• Auskultasi :
Suara Dasar Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Bawah Vesikuler Vesikuler
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V.
Perkusi :
batas kanan jantung : ICS II linea parasternalis dextra.
batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), Perubahan warna kulit (-), massa (-)
8
Palpasi : Soepel (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular(-),
nyeri seluruh abdomen (-). Opistotonus (-)
Perkusi : Tympany (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal, hiperemis (-)
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang
- Kaku :+/+
- Kejang Rangsang (+/+)
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal, hiperemis (-)
- Edema : -/-
- Gangren : -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
- Sensasi Raba -/-
- Sensasi Nyeri Menurun
- Ulkus diabetikum a/r plantar pedis dextra
- Kejang Rangsang (-/-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Jenis Rabu, Jum’at, Sabtu,
9
Interpretasi:
- Susp. Cardiomegali
2.5 Resume
September 2021 pkl 21.30 WIB dengan keluhan kaku pada mulut dan rahang
yang dirasakan sejak 4 hari SMRS. Kaku membuat pasien tidak dapat membuka
mulut, nyeri tidak dijumpai, bengkak tidak dijumpai, kemerahan tidak dijumpai.
Pasien juga mengeluhkan Kaku pada leher, bahu dan tangan, gigi terkunci rapat,
Kejang, lemas, tidak sanggup melihat cahaya, batuk sesekali, luka pada telapak
kaki kanan, badan terasa sakit dan kaki yang tidak terasa jika disentuh serta
keluhan, riwayat DM Tipe 2 yang tidak terkontrol sejak ± 10 tahun yang lalu,
sedang, tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 105x/menit, regular, isi dan
tekanan cukup, frekuensi napas 23x/menit, regular, suhu 36,9ºC status gizi yaitu
gizi Overweight. Pada pemeriksaan didapatkan trismus, spasme dan luka pada
bronchopneumonia.
2.8 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
4. Pemasangan Kateter
5. Pemasangan NGT
Medikamentosa
4. Drip Neurosanbe/Hari
9. ATS 2 Amp IM
10. Injeksi insulin Novorapid 6 unit-6 unit-6 unit subkutan, 15 mnt sebelum
makan
11. Injeksi Insulin Levemir 0-0-0-8unit subkutan sebelum pkl 22.00 wib
2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad fungsionam : bonam
- Quo ad sanationam : bonam
13
A : Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + post debridement
P: Terapi diteruskan
P: - Rawat Luka
- Cek KGD sebelum makan
HR : 104x/i
RR : 21x/i
T : 37.0°C
SpO2 : 99%
Spasme (+)
Trismus (+)
A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement
Spasme (+)
Trismus (+)
A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement
P: - Konsul Saraf
2. Neurosande/hari
-Terapi Tambahan
1. Gabapentin 1 x 300 mg
2. Eperison HCL 2 X 50 mg
mg
22.00 wib
22.00 wib
O : TD : 100/70 mmHg
HR : 88x/i
RR : 20x/i
T : 36.5°C
SpO2 : 954%
A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement + Anemia +
Bronchopneumonia
P:-PBJ
23
BAB 3
PEMBAHASAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh clostridium tetani. Clostridium tetani menghasilkan dua jenis
toksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu
hemolisin dan bersifat oxygen labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen),
sedangkan tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile
(tidak tahan panas). Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam
manifestasi klinis dari tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak
dapat dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun
limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik. Toksin ini
memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B (heavy
chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan memecah
tetanospasmin menjadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah gangliosida
pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat (carbohydrate- binding
domain) pada ujung karboksi-terminal subunit B berikatan dengan reseptor asam
sialat yang spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf motorik. Toksin
akan diinternalisasi oleh vesikel endosom17.
Asidifikasi endosom akan menyebabkan perubahan konformasi ujung N-
terminal subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam membran
endosom, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus membran
endosom menuju ke sitosol. Toksin mengalami retrograde axonal transport dari
perifer kemudian menuju saraf presinaps, tempat toksin tersebut bekerja. Subunit
A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang memecah
24
Gambar 3.1 Bakteri Clostridium Tetani dengan bentukan khas “drumstick” pada
bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani
dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x)18.
Ada berbagai jenis tetanus yaitu tetanus generalis, tetanus lokalis, tetanus
sefalik dan tetanus neonatal. Tetanus lokal dan tetanus sefalik jarang ditemukan,
sedangkan yang paling banyak ditemukan adalah tetanus generalis dan tetanus
neonatal. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan otot yang persisten di area yang
sama dengan luka. Kekauan ini mungkin tetap ada untuk beberapa minggu hingga
menghilang perlahan.
Pada laporan kasus ini pasien berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang mendapatkan kasus terbanyak pada laki-laki (80,5%), oleh
karena laki-laki lebihbanyak terpapar faktor risiko8. Pada pasien juga didiagnosa
menderita DM, hal ini sesuai dengan penelitian Luther Theng yang memiliki
penyakit penyerta seperti diabetes mellitus (56,1%). Mekanismenya belum jelas
menurut CDC, tetapi dianjurkan agar para klinisi mencurigai lebih awal jika
pasien dengan penyerta diabetes yang datang dengan gangren19.
Transmisi tetanus bisa terjadi melalui luka tusuk, luka bakar, operasi, otitis
media, infeksi dental, gigitan binatang, kehamilan dan lain sebagainya 20.
Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan menunjukkan bahwa paling banyak
port d’entrée adalah pada kaki (69,4%) diikuti ekstremitas atas (33,3%), luka pada
kepala (20%), dan abdomen (2,2% serta tidak diketahui port d’entrée-nya
25
sebanyak 2,2%21 . Pada kasus ini, port d entry adalah melalui luka akibat tertusuk
paku berkarat pada telapak kaki kanan sejak 2 minggu SMRS yang tidak
mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Pada kasus ini, masa inkubasi
kurang lebih 14 hari yang menunjukkan waktu yang cukup panjang dengan
kemungkinan prognosa yang baik.
Masa inkubasi tetanus adalah 3 sampai 21 hari, biasanya 8 hari. Semakin
jauh letak luka dari system saraf pusat maka akan semakin lama masa
inkubasinya. Periode inkubasi juga dapat mempengaruhi prognosis pasien,
semakin pendek periode inkubasi maka akan semakin tinggi tingkat
kematiannya22. Pada laporan kasus ini masa inkubasi kurang lebih 2 minggu.
Tetanus terjadi ketika spora, yang biasa terdapat pada objek yang sudah
terkontaminasi, masuk kedalam tubuh melalui kulit yang terbuka seperti pada luka
tusuk, laserasi, luka bakar dan lain sebagainya. Kemudian spora C.tetani akan
berubah menjadi bentuk vegetatif dan akan berkembangbiak di dalam jaringan
tempat terjadinya luka dan akan menghasilkan neurotoksin yaitu tetanolisin yang
akan menghancurkan jaringan sekitar dan menyebabkan lisis dari sel darah merah
dan tetanospasmin yang akan berikatan dengan sinaptobrevin/vesicle-associated
membrane protein (VAMP) yang berhubungan dengan pelepasan neurotransmitter
dari ujung saraf sehingga terdapat gejala paralisis flaksid. Kemudian toksin akan
menyebar secara retrograde di akson lower motor neuron (LMN) dan mencapai
korda spinalis ataupun batang otak. Setelah berada di sistem saraf pusat, toksin
akan berikatan dengan inhibitor GABA atau saraf glisinergik sehingga toksin
tetanus dapat memotong VAMP dan menghambat pelepasan GABA dan glisin
sehingga menyebabkan manifestasi patognomonik berupa kontraksi, rigiditas otot
dan spasme dari otot yang hiperaktif dan nyeri. Gejala yang kurang spesifik
seperti irritable, susah menelan, kaku pada leher, rigiditas pada otot abdomen dan
thoraks23–27.
Kekakuan biasanya terjadi pada daerah otot leher yang menyebabkan
terjadinya retraksi leher, pada otot faring yang menyebabkan terjadinya disfagia,
pada otot maseter menyebabkan terjadinya trismus (lock jaw) pada sekitar 50%
pasien, otot wajah memberikan gambaran menyerupai muka meringis kesakitan
26
yang disebut dengan risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), pada otot dada dan interkostal
menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan napas, pada otot abdomen
menyebabkan rigiditas yang disebut juga sebagai perut papan, dan pada otot
punggung yang memberikan gambaran opistotonus25.
hemodinamik ataupun renal33. Selain itu, dikarenakan spasme pada otot maseter
yang menyebabkan terjadinya trismus, pasien diberikan diet per sonde. Pasien
dirawat di ruangan HCU. Penanganan pada pasien tetanus di ICU meliputi34:
1. Secara Umum
- Jika memungkinkan, tempatkan pasien di ruangan/lokasi yang khusus
untuk pasien tetanus. Untuk meminimalkan risiko spasme paroxysmal yang
dipresipitasi oleh stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang
gelap dan tenang. Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati untuk
mencegah pneumonia aspirasi.
- Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
ditangani di ICU,dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara
kontinu.
- Luka, harus dibersih dan atas indikasi.
- Meminimalisir efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan
memberikan terapi suportif. Khususnya di ruang terapi intensif, penatalaksanaan
tetanus berupa terapi suportif, dengan menitikberatkan pada sistem respirasi,
instabilitas otonom, dan spasme otot.
5. Preparat Oral dapat digunakan, akan tetapi harus hati-hati dengan monitoring
untuk menghindari depresi nafas da henti nafas.
7. Agen lain yang digunakan untuk spasm control termasuk baclofen, dantrolene
(1–2 mg/kg intravenous atau p.o setiap 4 jam), barbiturates short-acting lebih baik
(100–150 mg setiap 1–4 jam untuk dewasa ; 6–10 mg/kg untuk anak-anak; dengan
segala), dan chlorpromazine (50–150 mg im, setiap 4–8 jams pada dewasa; 4–12
mg im setiap 4–8 jam untuk anak).
Pada pasien ini diperoleh skor Dakar :Masa inkubasi > 7 hari (0), onset >
2 hari (0), Tempat masuk luka tusuk dikaki (0), spasme ada (1), demam < 38(0),
31
takikardi ada (1) dengan total skor 2 masuk kategori derajat sedang. Skor Philips
pada pasien ini didapatkan adalah kategori sedang.
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung
dari bakteri seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi dan henti jantung atau
komplikasi akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus
dekubitus, pneumonia, stress ulcer35.
Tabel 3.3 Komplikasi Tetanus
Pada pasien ini memiliki IMT tergolong overweigth yaitu 27.0 Kg/M 2.
Pada individu yang memiliki berat badan berlebih atau menderita obesitas, jumlah
asam lemak non-esterifikasi, gliserol, hormon, sitokin, penanda proinflamatori,
dan substansi lain yang terlibat dalam patogenesis resistensi insulin, meningkat 44.
Obesitas ialah penumpukan lemak dalam tubuh yang sangat tinggi. Kalori yang
masuk ke tubuh lebih tinggi dibandingkan aktivitas fisik yang dilakukan untuk
membakarnya sehingga lemak menumpuk dan meningkatkan risiko DM tipe 2.
Kriteria Obesitas yakni IMT ≥25 kg/m2 atau ukuran lingkar perut ≥80cm bagi
wanita serta ≥90 cm bagi pria41. Pada laporan kasus ini pasien memiliki IMT
Yaitu > 27 kg/m2.
2. Kurang Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik yang dapat membakar kalori menaikkan risiko
DM Tipe 2. Lapisan masyarakat berpenghasilan tinggi umumnya jarang
melakukan aktivitas fisik. Strategi terbaik untuk mencegah DMT2 ialah dengan
mengendalikan berat badan serta menjalankan aktivitas fisik minimal 30 menit
perhari41.
3.Hipertensi
Menurut studi Setyaningsih 2015 ditemukan bahwa riwayat hipertensi
memiliki ikatan erat dengan kasus DM Tipe II. Risikonya menjadi 2,629 kali lebih
tinggi dibanding bukan pengidap hipertensi45.
4. Dislipidemia
Dislipidemia ialah keadaan kadar lemak darah meningkat. Hal ini dapat
berisiko menyebabkan DM tipe 2. Dislipidemia tidak menimbulkan gejala
sehingga kita harus melaksanakan pemeriksaan darah atau checkup sehingga
dapat mendeteksi dini dislipidemia. Dislipidemia sering mengiringi DM, baik
dislipidemia primer (akibat kelainan genetik) maupun dislipidemia sekunder
(akibat DM, karena resistensi maupun defisiensi insulin). Toksisitas lipid memicu
proses aterogenesis menjadi lebih progresif. Lipoprotein akan mengalami
pergantian akibat perubahan metabolik pada DM seperti proses glikasi beserta
oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan risiko resistensi insulin semakin tinggi
sehingga menjadi DM tipe 245.
34
5. Kebiasaan merokok
Merokok adalah faktor risiko yang paling sering ditemui dalam berbagai
penyakit termasuk DM Tipe 2. Penelitian mengemukakan bahwa sensitivitas
insulin dapat turun oleh nikotin dan bahan kimia berbahaya lain di dalam rokok.
Nikotin dapat meningkatkan kadar hormon katekolamin dalam tubuh, antara lain
adrenalin dan noradrenalin. Naiknya tekanan darah, denyut jantung, glukosa
darah, dan pernapasan merupakan efek yang ditimbulkan dari pelepasan adrenalin
tersebut46.
6. Pengelolaan stress
Ketika penderita DM tipe 2 mengalami stres mental, gula darah penderita
akan meningkat. Adrenalin dan kortisol adalah hormon yang akan muncul ketika
stress. Hormon tersebut berfungsi meningkatkan gula darah untuk meningkatkan
energi dalam tubuh41.
Pada tahun 2009, DeFronzo menyampaikan bahwa tidak hanya otot, liver,
dan sel β pankreas saja yang berperan dalam patogenesis DM Tipe 2
47
(Triumvirate) .Namun juga terdapat 5 organ tambahan lain yang berperan di
dalam patogenesis DM Tipe 2, yaitu: Sel lemak, usus besar, sel α pancreas, ginjal
dan otak yang kemudian disebut dengan ominous octet48. Kemudian pada tahun
2016, Schwartz, S. et al. menerbitkan skema patogenesis hiperglikemia pada DM
yang bersentral pada sel β pancreas. Ditemukan 3 jalur tambahan dalam
patogenesis hiperglikemia di DM Tipe 2, yaitu: disregulasi imun/inflamasi,
lambung/usus halus, dan incretin effect yang akhirnya berjumlah 11 jalur yang
kemudian dinamakan egregious eleven49:
35
perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya
produksi insulin mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga secara klinis
DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut. Sel beta
pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya seperti sel alfa,
sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi
akibat kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel
beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan
kelangsungan hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel
beta, kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi beban
metabolik dan proses apoptosis sel
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena
dengan sistem enzimatik dengan hasil48 :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200
mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5%
Tabel 3.2 Diagnosis Diabetes50
38
Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama sampai kadar
glukosa darah puasa mencapai kadar yang diinginkan.
b) Pemberian Insulin Basal, basal plus insulin
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar glukosa darah
puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka dibutuhkan insulin lain
untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan menambahkan insulin prandial.
Pemberian basal insulin dengan menambahkan insulin prandial disebut dengan
terapi basal plus. Jika dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil
yang optimal, maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap mau
makan. Cara pemberian insulin seperti ini disebut dengan basal bolus.
Dengan menggunakan 2 macam insulin dapat dilakukan berbagai metode
untuk mencapai kontrol glukosa darah. Basal bolus insulin merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan dalam mencapai kontrol glukosa darah48.
BAB 4
KESIMPULAN
Tetanus merupakan suatu toksemia akut yang disebabkan oleh Bakteri
Clostridium Tetani dengan manifestasi klinis kekakuan pada tubuh. Pada laporan
kasus ini pasien laki-laki usia 54 tahun dengan keluhan kaku pada mulut, rahang,
bahu dan leher, serta nyeri pada seluruh tubuh, gigi terkunci rapat dengan riwayat
terkena paku 2 minggu yang lalu dan memiliki Riwayat penyakit DM tipe 2 sejak
10 tahun yang lalu. pasien ditatalaksana yaitu untuk toksin dengan tetanus
imunogloblulin, eliminasi bakteri dengan pemberian agen antimikroba dan
tatalaksana suportif untuk meminimalisir ketidaknyamanan dan stimulasi
berlebihan. Semakin cepat onset yang didapat saat terinfeksi tetanus makan
prognosis akan semakin buruk.
Dari kasus ini dapat kita ketahui bahwa penyakit tetanus merupakan
penyakit serius yang dapat mengancam nyawa dan merupakan masalah kesehatan
publik yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Putri, S. R. Pencegahan Tetanus. J. Penelit. Perawat Prof. 2, 443–450
(2020).
2. Sudewi R. Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf: tetanus.
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; Kelompok Studi
Neuroinfeksi; 2011. h. 131-50.
3. Gelbart D. Tetanus. American Academy of Physician Assistants.
2017;30(12):46-47.
4. Utami IN, Arifin, Susilo RSB, Redhono D, Sumandjar T. Respiratory
failure in tetanic patient: maintenance of airway problem in intensive care
Earth Environ Sci. unit setting. IOP Conf Ser 2018 Mar;125:012153.
5. Clarissa Tertia, I Ketut Sumada & Ni Ketut Candra Wiratmi. Laporan
Kasus: Tetanus Tipe General pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi. Callosum
Neurol. 2, 9–10 (2019).
6. Mahieu R, Reydel T, Maamar A, Tadié J-M, Jamet A, Thille AW, et al.
Admission of tetanus patients to the ICU: a retrospective multicentre study.
Ann Intensive Care [Internet]. 2017 Nov 7 [cited 2019 May 24];7(1).
7. Sri M, Dp WW, Gb MT, Dpg S. Clinical Aspects of Tetanus in Bali,
46
Indonesia. :7.
8. Theng, L., Christin, T. & Bahar, E. Faktor - Faktor Yang Berpengaruh
Dalam Luaran Klinis. Univ. Sriwij. 35 No. 3, 215–221 (2018).
9. Mcelaney P, Iyanaga M, Monk S, Michelson E. The quick and Dirty: A
Tetanus Case Report. Clin Pract Case Emerg Med. 2019 Jan 22;3(1):55-8.
10. Hill JD. Tetanus:n A case Report Following an upper extremity injury. Clin
Med Rev Case Rep (Internet). 2016 Feb 29.
11. Satari HI, Chairulfatah A, Setiabudi D, Widhiani A, Amdani SK,
Latupeirissa D, dkk. Penatalaksanaan tetanus pada anak. Health
Technology Assessment Indonesia: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2008.
12. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s principles of
neurology: disorders caused by bacterial toxins. Edisi ke-10. Mcgraw Hill
Eduacation. 2014. h. 1215-7.
13. Alifil W, Alshahran M, Abdulbaser M, El Fakarany NB. (2015). Severe
Generalized Tetanus: A Case Report and Literature Review. Saudi J Med
SCI 3(2):167.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia. Jakarta: Perkeni; 2011.
15. Tina L, Lestika M, Yusran S. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Diabetes
Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Umum 2018. 2019;4(2):25–9.
16. Hidhayah, D. A., Kamal, S. & Hidayah, N. Hubungan lama sakit dengan
kejadian luka pada penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Magelang.
Borobudur Nurs. Rev. 1, 1–11 (2021).
17. Jaya, H. L. & Aditya, R. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care
Unit. Maj. Anest. dan Crit. Care 36, 114–121 (2018).
18. Rahmanto, D. Laporan KTL Tetanus. (2019).
19. Mootrey G, Tiwari T, Weinbaum C. Tetanus. CDC. 2013;2013:341-51.
20. Alfilfil W, Alshahrani M, Abdulbaser M, El Fakarany NB. Severe
generalized tetanus: A case report and literature review. Saudi J Med Med
47
Sci. 2015;3(2):167.
21. Gunawan D. Tetanus in adults in Bandung. Neurol J Southeast Asia.
2006;I:43-6.
22. Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Tetanus,
Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases The Pink
Book 13th edition. [accessed 21 september 2020]
https://cdc.gov/vaccines/pubs/pink book.tetanus.
23. laney P, Iyanaga M, Monks S, Michelson E. The Quick and Dirty: A
Tetanus Case Report. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019 Jan 22;3(1):55–8.
24. Surya R. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa.
2016;5.
25. Safrida W. TATA LAKSANA TETANUS GENERALISATA DENGAN
KARIES GIGI (LAPORAN KASUS).10.
26. Skuby SO, Rhee E, Thilo EH, Simões EAF. Tetanus and Occam’s Razor:
Almost Forgotten but Not Gone: A Case Report. Pediatrics. 2016
Nov;138(5):e20160298.
27. Pascapurnama DN, Murakami A, Chagan-Yasutan H, Hattori T, Sasaki H,
Egawa S. Prevention of Tetanus Outbreak Following Natural Disaster in
Indonesia: Lessons Learned from Previous Disasters. Tohoku J Exp Med.
2016;238(3):219–27.
28. Kasper, D., Fauci, A., Longo, D., Braunwald, E., Hauser, S., Jameson, J.,
2015. harrison’s principle of internal medicine. new york: McGraw-Hill.
29. Mcelaney P, Iyanaga M, Monks S, Michelson E. The Quick and Dirty: A
Tetanus Case Report. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019 Jan 22;3(1):55–8.
30. Beigmohammadi MT, Tavakoli F, Safari S, Amiri HR. Sciatic Nerve Block
in Tetanus: A Case Report. Anesthesiol Pain Med [Internet]. 2015 Nov 30
[cited 2019 May 24];5(6).
31. Collins S, White J, Ramsay M, Amirthalingam G. The importance of
tetanus risk assessment during wound management. IDCases. 2015;2(1):3–
5.
32. Chaturaka Rodrigo, Deepika Fernando, Senaka Rajapakse. (2014).
48