Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus

TETANUS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2


DENGAN KOMPLIKASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Elisa Hairani, S.Ked


150611018

Preseptor :
dr. Sri Meutia, Sp. PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA

LHOKSEUMAWE

SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada
Allah SWT yang maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Tetanus pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan Komplikasi”.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi Penulis untuk menyelesaikan laporan kasus ini, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Sri Meutia, Sp. PD selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior pada bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan
motivasi bagi penulis sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan.
2. Teman-teman sejawat pada kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Dalam yang
telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Lhokseumawe, September 2021

Elisa Hirani,S.Ked
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI………............................................................................................ii
DAFTAR Gambar………...................................................................................iii
DAFTAR Tabel………........................................................................................iv
DAFTAR Singkatan………................................................................................v

BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................ 1

BAB 2. LAPORAN KASUS............................................................................. 3


2.1 Identitas Pasien................................................................................ 3
2.2 Anamnesis Pasien............................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik............................................................................ 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................... 9
2.5 Resume............................................................................................ 10
2.6 Diagnosis Banding........................................................................... 11
2.7 Diagnosis Kerja............................................................................... 11
2.8 Penatalaksanaan............................................................................... 11
2.9 Prognosis......................................................................................... 13
2.10 Follow Up Pasien........................................................................... 14

BAB 3. PEMBAHASAN….............................................................................. 24

BAB 4. KESIMPULAN…............................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 46

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Ikhtisar Keluarga Pasien........................................................5
Gambar 3.1 Bakteri Clostridium Tetani..............................................................23
Gambar 3.2 Patofisiologi Tetanus.......................................................................27
Gambar 3.3 Patofisiologi DM tipe 2....................................................................35
Gambar 3.4 Target Obat yang Digunakan...........................................................35

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skor Dakar...........................................................................................30


Tabel 3.2 Skor Philips..........................................................................................31
Tabel 3.3 Komplikasi Tetanus.............................................................................31
Tabel 3.4 Diagnosis Diabetes..............................................................................38
Tabel 3.5 Obat Antihiperglikemi.........................................................................39
Tabel 3.6 Basal Insulin dan Bolus Insulin.............................................................41

iv
DAFTAR SINGKATAN
CDC : Center For Disease Control And Prevention

DM : Diabetes Mellitus

IFG : Impaired Fasting Glucose

IGT : Impaired Glucose Tolerance

i
BAB 1
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit pada susunan saraf yang ditandai dengan spasme
tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Penyakit ini
merupakan toksemia akut akibat neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani dan ditandai dengan nyeri pada rahang bawah dan leher serta kekakuan
secara keseluruhan dan kekejangan otot rangka 12,3. Bakteri penyebab tetanus yaitu
Clostridium tetani biasanya terdapat di lingkungan bebas, debu, benda berkarat,
ataupun peralatan operasi yang tidak steril4.
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa yang menjadi
masalah kesehatan dunia terutama di negara yang berkembang dengan angka
kejadian 1.000.000 pasien setiap tahunnya di dunia 5. Di Indonesia, insidensi
6,7
berkisar 0.2/100.000 populasi . Tetanus memiliki tingkat mortalitas sebesar 6-
60%8. Berdasarkan data dari Center For Disease Control And Prevention (CDC),
Angka kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibangdingkan sejak
pertama kali penyakit ini ditemukan pada tahun 1947 dan angka kematian telah
menurun 99%9,10.
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala 11. Diagnosis
tetanus ditegakkan dengan mengeksklusi penyakit penyebab kejang lainnya dan
adanya luka yang menjadi tempat masuknya kuman tetanus 12. Selain itu, tetanus
juga dapat dialami oleh Kelompok masyarakat dengan usia usia lebih dari 65
tahun dan penderita diabetes. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap resiko
infeksi tetanus yang disebabkan oleh luka juga menjadi salah satu faktor risiko
masih maraknya terjadi tetanus13.
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat dari defek sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya14. International Diabetes Federation mengungkapkan pada

1
2

2015 orang yang terkena DM menyentuh 415 juta jiwa dan diantara jumlah
tersebut 98% nya adalah pengidap DM Tipe 215.
Komplikasi penyakit Diabetes Melitus yang paling rentan terkena dari
keseluruhan organ tubuh adalah Kaki. Lama sakit pada penderita Diabetes Melitus
berpotensi menimbulkan munculnya luka. Kerusakan saraf pada kaki akibat
komplikasi Diabetes Melitus dapat menyebabkan tidak bisa merasakan rasa sakit,
perih, nyeri, di bagian kaki sehingga tidak bisa merasakan sesuatu ketika kaki
terluka16.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 Tahun
Alamat : Desa Alue Buket, Lhoksukon
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan : Wiraswasta
Nomor RM : 17.04.00
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 03 September 2021
Tanggal Pemeriksaan : 05 September 2021
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Pasien :
 Keluhan utama : Kaku mulut dan rahang
 Keluhan tambahan : Kaku pada leher, bahu dan tangan, Kejang, lemas,
tidak sanggup melihat cahaya, batuk sesekali, luka pada telapak kaki
kanan, badan terasa sakit, tidak dapat merasakan sensasi perabaan,
demam dan sesak nafas .
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
Pasien merupakan rujukan dari RS Kasih Ibu datang ke IGD RS Cut Meutia
dengan keluhan kaku pada mulut dan rahang sejak 4 hari SMRS. Kaku dialami
sehingga mulut tidak dapat dibuka, nyeri nyeri tidak dijumpai, kemerahan tidak
dijumpai, bengkak tidak dijumpai, dijumpai adanya demam dan sesak nafas. ± 2
minggu sebelum masuk rumah sakit pasien terkena paku saat membersihkan
gudang belakang rumah pada pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB. Sesaat setelah
kejadian pasien tidak merasakan keluhan sakit pada kaki kanan yang terkena
paku. Pada pukul 12.50 Wib saat pasien hendak mengambil wudu pasien
mengeluhkan nyeri pada kaki dan terlihat luka, dan keluarga pasien menemukan

3
4

paku yang sudah berkarat yang tertancap pada sandal pasien. Selanjutnya pasien
dibawa ke mantri untuk mengobati keluhannya. Keluarga pasien mengatakan
ketika dirumah mantri luka dibersihkan diluarnya saja dan disuntik obat di bagian
bokong pasien, akan tetapi keluarga tidak tahu obat apa yang disuntikan. Selama 2
minggu pasien rutin setiap hari pergi sendiri untuk mengganti perban ke tempat
mantra menggunakan sepeda motor pribadi miliknya dan pasien tetap melakukan
aktivitas sehari-hari dirumah.
Pada malam hari tanggal 30 Agustus 2021 pasien mulai merasakan sakit
pada seluruh badan terutama pada bagian mulut dan leher kemudian pasien
merasakan kaku pada mulut dan rahang. Selain itu pasien juga mengelukan sulit
menelan makanan padat dan cair. Keesokan harinya saat pasien hendak pergi
mengganti perban pasien terjatuh dari sepeda motor yang dikendarai nya
dikarenakan tidak mampu menjaga keseimbangan saat berbelok, pada saat itu
pasien sudah mulai merasakan kaku pada tangan, leher dan bahu pasien. Tidak
ada luka-luka pada pasien saat terjatuh dari sepeda motornya.
Pada sore harinya pasien pergi berobat ke dokter untuk keluhannya dan
dianjurkan untuk dirawat di RS. Pada malam hari nya keluhan pasien semakin
memberat mulut pasien terkunci rapat, leher dan bahu pasien kaku serta tangan
yang susah digerakkan, pasien juga tidak dapat melihat cahaya, saat pasien
melihat cahaya keluarga pasien mengatakan pasien langsung kejang.
Pasien dirawat di RS Kasih ibu selama 3 hari. pada hari rawatan ke 3 pasien
dilakukan tindakan debridement. Dari anamnesis dengan dokter yang menangani
pasien disampaikan bahwa luka pada pasien telah menghitam. Keluarga pasien
juga mengatakan selama di Rs kasih ibu pasien mengalami kejang dengan durasi
< 5 mnt 4 kali dalam sehari.
Selama rawatan di Rs kasih ibu pasien tidak dapat berbicara dan membuka
mulut serta tidak dapat menggerakan tangan dan duduk. Pasien tidak mengingat
sejak kapan timbul keluhan menurunnya sensasi perabaan pada kaki pasien.
3. Riwayat Penyakit terdahulu (RPD) :
- DM Tipe 2 sejak 10 tahun yang lalu.
- Riwayat Hipertensi tidak dijumpai
5

-Riwayat kejang sebelumnya Tidak dijumpai


-Riwayat trauma kepala dan leher tidak dijumpai
-Riwayat digigit/dicakar/ dijilat binatang tidak dijumpai
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK):
Pasien memiliki kakak dan adik yang menderita diabetes mellitus. Riwayat
hipertensi (-). Riwayat Dislipidemia (-).

Tn. I, (Ayah Pasien) Ny. A, (Ibu Pasien)

P L P L P

Tn. K, (Pasien) Ny. H, (Istri


Pasien)

An. MH An. An. SF An. SN An.


23 Thn MK 19 Thn 16 Thn NK

Gambar 2.1 Skema Ikhtisar Keluarga Pasien

5. Riwayat Pemakaian Obat


Pasien mengkonsumsi obat DM tetapi tidak mengingat merek obatnya
apa. Obat DM didapat dari RS Cut Meutia, tetapi pasien tidak rutin kontrol.
6. Riwayat Imunisasi
pasien mengatakan sudah diimunisasi Tetanus waktu kecil.
2.3 Pemeriksaan Fisik (Vital Sign) - tanggal 05 September 2021
Keadaan umum : Sakit sedang
6

Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 105 x/menit, regular, isi dan tekanan cukup
Frekuensi napas : 23 x/menit, reguler
Suhu : 36,9 °C
SpO2 : 97%
Status Gizi : BBS: 80kg BBD: 85kg TB: 171cm
IMT Sekarang : 27,35 kg/m2 (Overweight)

Status General
 Status Generalis
Kepala:
• Bentuk : bulat lonjong, Ukuran: Normocephali, Kelainan yang ada:
(-), rambut berwarna hitam dan beruban serta tidak mudah dicabut
• Mata : konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-) mata cekung (-/-), sensitifitas
terhadap cahaya meningkat.
• Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-), kaku (+), mulut tidak
dapat dibuka (+)
• Hidung : pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum nasi (-),
sekret (-), rhinorhea (-)
• Telinga : simetris, sekret (-), otorrhea (-)
 Leher :
pembesaran KGB
Submandibula : tidak teraba membesar
Leher : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Ketiak : tidak teraba membesar
 Thorax :
Thorax depan
Pulmo
7

• Inspeksi : bentuk thorak simetris dan dinamis, pergerakan


dinding dada simetris, deformitas (-), ictus cordis tidak terlihat,
ketinggalan bernafas (-)
• Palpasi : stem fremitus
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Sulit dinilai Sulit dinilai
Lap. Paru Tengah Sulit dinilai Sulit dinilai
Lap. Paru Bawah Sulit dinilai Sulit dinilai

• Perkusi :
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Sonor Sonor
Lap. Paru Tengah Sonor Sonor
Lap. Paru Bawah Sonor Sonor

• Auskultasi :
Suara Dasar Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru Atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Bawah Vesikuler Vesikuler

Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri


Lap. Paru Atas Rh(-/-), Wh (-/-) Rh(-/-), Wh (-/-)
Lap. Paru Tengah Rh(+/-), Wh (-/-) Rh(-/-), Wh (-/-)
Lap. Paru Bawah Rh(+/-), Wh (-/-) Rh(-/-), Wh (-/-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V.
Perkusi :
batas kanan jantung : ICS II linea parasternalis dextra.
batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), Perubahan warna kulit (-), massa (-)
8

Palpasi : Soepel (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular(-),
nyeri seluruh abdomen (-). Opistotonus (-)
Perkusi : Tympany (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)

 Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal, hiperemis (-)
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang
- Kaku :+/+
- Kejang Rangsang (+/+)
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal, hiperemis (-)
- Edema : -/-
- Gangren : -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
- Sensasi Raba -/-
- Sensasi Nyeri Menurun
- Ulkus diabetikum a/r plantar pedis dextra
- Kejang Rangsang (-/-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Jenis Rabu, Jum’at, Sabtu,
9

Pemeriksaan 01/09/2021 03/09/2021 11/09.2021


HEMATOLOGI
Hematologi
Rutin
Hemoglobin 12.03 g/dL 11.92 g/dL 8.39 g/dL
Eritrosit 4.7 juta/uL 4.48 juta/uL 3.26 juta/uL
Leukosit 22.09 ribu/uL 15.84 ribu/uL 12.27 ribu/uL
Hematokrit 36.68% 34.47 25.02%
483 ribu?uL 3 3 361 ribu/uL
Trombosit 353 x 10 /mm
Indeks Eritrosit
MCV 77.0 fl 76.97 fl 76.63 fl
MCH 26. 0pg 26.62 pg 25. 71pg
MCHC 34.00 g% 34.59 g% 33.55 g%
RDW-CV 14.7 11.73% 11.85
3 3 3 3
Trombosit 307 x 10 /mm 361 x 10 /mm
Hitung Jenis
Leukosit
Basophil 0.51%
Eosinophil 0.40%
Neutrofil
segmen 87.51%
Limfosit 6.37%
Monosit 5.12%
Golda AB
Kimia Darah
Glukosa stik 401 mg/dl 257 mg/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 73 mg/dl
Kreatinin 1.31 mg/dl
Asam Urat 6.6 mg/dl

Photo Thorax pada tanggal 03 September 2021


10

Interpretasi:

- Susp. Cardiomegali

- Bronchopneumonia (Infiltrat paracardiac kanan)

2.5 Resume

Pasien Laki-laki 54 tahun datang ke IGD RS Cut Meutia pada jum’at, 03

September 2021 pkl 21.30 WIB dengan keluhan kaku pada mulut dan rahang

yang dirasakan sejak 4 hari SMRS. Kaku membuat pasien tidak dapat membuka

mulut, nyeri tidak dijumpai, bengkak tidak dijumpai, kemerahan tidak dijumpai.

Pasien juga mengeluhkan Kaku pada leher, bahu dan tangan, gigi terkunci rapat,

Kejang, lemas, tidak sanggup melihat cahaya, batuk sesekali, luka pada telapak

kaki kanan, badan terasa sakit dan kaki yang tidak terasa jika disentuh serta

kesulitan menelan makanan padat/cair.

Pasien memiliki riwayat terkena paku berkarat ± 2 minggu sebelum timbul

keluhan, riwayat DM Tipe 2 yang tidak terkontrol sejak ± 10 tahun yang lalu,

riwayat trauma kepala dan digigit/dicakar/dijilat binatang tidak ada, riwayat

imunisasi tetanus ada waktu kecil.


11

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran komposmentis, tampak sakit

sedang, tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi nadi 105x/menit, regular, isi dan

tekanan cukup, frekuensi napas 23x/menit, regular, suhu 36,9ºC status gizi yaitu

gizi Overweight. Pada pemeriksaan didapatkan trismus, spasme dan luka pada

kaki sebelah kanan yang telah diperban. Epistotonus tidak dijumpai.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil adanya anemia,

Leukositosis dan Hiperglikemia. Pada pemeriksaan rontgen dikesankan

bronchopneumonia.

2.6 Diagnosis Banding

1. Tetanus + DM tipe 2 + Ulkus Diabetikus a/r plantar Dextra + Neuropati

diabetika + post Debridement + Anemia + Bronchopneumonia

2. Meningoencephalitis + DM tipe 2 + Ulkus Diabetikus a/r plantar Dextra +

Neuropati diabetika + post Debridement+ Anemia + Bronchopneumonia

3. Status Epileptikus + DM tipe 2 + Ulkus Diabetikus a/r plantar Dextra +

Neuropati diabetika + post Debridement+ Anemia + Bronchopneumonia

4. Rabies + DM tipe 2 + Ulkus Diabetikus a/r plantar Dextra + Neuropati

diabetika + post Debridement+ Anemia + Bronchopneumonia

2.7 Diagnosis Kerja

Tetanus + DM tipe 2 + Ulkus Diabetikus a/r plantar Dextra + Neuropati diabetika

+ Post Debridement + Anemia + Bronchopneumonia

2.8 Penatalaksanaan

Non Medikamentosa

1. Rawat Ruang Isolasi (HCU)


12

2. Hindari Terkena Cahaya

3. Hindari Suara Bising

4. Pemasangan Kateter

5. Pemasangan NGT

Medikamentosa

1. IVFD NaCl 0,9% + 4 Amp Diazepam 20gtt/I tapering secara berkala

2. IVFD Metronidazol 500mg/8jam

3. IVFD Ciprofloxacin 200 mg/12jam

4. Drip Neurosanbe/Hari

5. Transfusi PRC 1 BAG, Premed inj. Furosemide 1 Amp Extra

6. Inj. Omeprazole 40 mg/12jam

7. Inj. Ondansetron/12 jam

8. Inj. Citicolin 500 mg/ 12jam

9. ATS 2 Amp IM

10. Injeksi insulin Novorapid 6 unit-6 unit-6 unit subkutan, 15 mnt sebelum

makan

11. Injeksi Insulin Levemir 0-0-0-8unit subkutan sebelum pkl 22.00 wib

12. Gabapentin 1 x 300 mg

13. Eperison HCL 2 x 50 mg

2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad fungsionam : bonam
- Quo ad sanationam : bonam
13

2.10 Follow Up Pasien

Hari rawatan SOAP Terapi

Jum’at S : Kaku mulut, rahang, leher, - O2 2-4 l/i


03 September 2021 rahang dan tangan (+), gigi - IVFD RL + Diazepam
H+1 terkunci(+), kejang 3 amp 20 gtt/i
spontan(+), kejang Rangsang -IVFD Ciprofloxasin
(Ruang ICU) (+),tidak dapat berbicara dan 200 mg/12jam
menggerakan tangan (+), - IVFD Metronidazol
tidak dapat melihat cahaya(+), 500 mg/12jam
luka pada kaki kanan (+), - Inj. Ketorolac 1 amp/8
nyeri pada luka (+) jam
- Inj. Ranitidine 1 Amp/
8 jam
- ATS (+)
O : TD : 170/90 mmHg
HR : 108x/i
RR : 18x/i
T : 37,5ºC
SpO2 : 99%
Spasme (+)
Trismus (+)

A : Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + post debridement

P : Perbaiki KU, Check DR,


KGDs, dan Golda

Sabtu S : Kaku mulut, rahang, leher, - O2 2-4 l/i


rahang dan tangan (+), gigi - IVFD RL + Diazepam
04 September 2021 terkunci (+), kejang 3 amp 20 gtt/i
spontan(+), kejang Rangsang -IVFD Ciprofloxasin
H+2
(+),tidak dapat berbicara dan 200 mg/12jam
(Ruang ICU) menggerakan tangan (+), - IVFD Metronidazol
tidak dapat melihat cahaya(+), 500 mg/12jam
luka pada kaki kanan (+), - Inj. Ketorolac 1 amp/8
nyeri pada luka (+) jam
14

- Inj. Ranitidine 1 Amp/


8 jam
O : TD : 120/60 mmHg - ATS (+)
Spasme (+)
Trismus (+)
A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + post debridement

P: Terapi diteruskan

Minggu S : Kaku mulut, rahang, leher, - O2 2-4 l/i


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
05 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci 3 amp 20 gtt/i
(berkurang), kejang -IVFD Ciprofloxasin
H+3
spontan(-), kejang Rangsang 200 mg/12jam
(Ruang ICU) (-),tidak dapat berbicara dan - IVFD Metronidazol
menggerakan tangan (+), 500 mg/12jam
tidak dapat melihat cahaya(+), - Inj. Ketorolac 1 amp/8
luka pada kaki kanan (+), jam
nyeri pada luka (+). - Inj. Ranitidine 1 Amp/
Penurunan sensasi raba dan 8 jam
nyeri (+) - ATS (+)
O : TD: 140/90 mmhg
HR : 105x/i
RR : 23x/i
T : 36.9°C
SpO2 : 97%
KGDS: 207 mg/dl
Spasme (+)
Trismus (+)
A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement
15

P: - Rawat Luka
- Cek KGD sebelum makan

Senin S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/i


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
06 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci 3 amp 20 gtt/i
-IVFD Ciprofloxasin
H+4 (berkurang), kejang
200 mg/12jam
spontan(-), kejang Rangsang - IVFD Metronidazol
(Ruang HCU (-),tidak dapat berbicara dan 500 mg/12jam
Marwah) menggerakan tangan (+), - Inj. Ketorolac 1 amp/8
tidak dapat melihat cahaya(+), jam
luka pada kaki kanan (+), - Inj. Ranitidine 1 Amp/
nyeri pada luka (berkurang) 8 jam
- ATS (+)
O : TD : 140/90 mmHg

HR : 104x/i

RR : 21x/i

T : 37.0°C

SpO2 : 99%

KGDs : 229 mg/dl

Spasme (+)

Trismus (+)

A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement

P: - Cek KGD sebelum


makan/ sebelum inj.
Novorapid

-Injeksi insulin Novorapid 6


unit-6 unit-6 unit subkutan,
15 mnt sebelum makan

Selasa S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/i


16

07 September 2021 rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam


(Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i
H+5 kejang spontan(-), kejang -IVFD Ciprofloxasin
200 mg/12jam
(Ruang HCU Rangsang (-),tidak dapat
- IVFD Metronidazol
Marwah) berbicara dan menggerakan 500 mg/12jam
tangan (+), tidak dapat - Inj. Ketorolac 1 amp/8
melihat cahaya(+), luka pada jam
kaki kanan (+), nyeri pada - Inj. Ranitidine 1 Amp/
luka (berkurang), BAB tidak 8 jam
ada 6 hari ini - ATS (+)

O : TD : 130/90 mmHg - Injeksi insulin

HR : 93x/i Novorapid 6 unit-6

RR : 21x/i unit-6 unit subkutan, 15

T : 36.7°C mnt sebelum makan


SpO2 : 95%

KGDs : 240 mg/dl

Spasme (+)

Trismus (+)

A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement

P: - Konsul Saraf

-Terapi Tambahan Dulcolax


supp

- Injeksi Insulin Levemir 0-0-


0-8unit subkutan sebelum pkl
22.00 wib

- Drip Metronidazol 500 mg /


8jam
17

Rabu S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/i


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
08 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i
-IVFD Ciprofloxasin
H+6 kejang spontan(-), kejang
200 mg/12jam
Rangsang (-),sudah dapat - IVFD Metronidazol
(Ruang HCU berbicara dan menggerakan 500 mg/8jam
Marwah) tangan, tidak dapat melihat - Inj. Ketorolac 1 amp/8
cahaya(+), luka pada kaki jam
kanan (+), nyeri pada luka - Inj. Ranitidine 1 Amp/
(berkurang), BAB tidak ada 7 8 jam
- ATS (+)
hari ini, pasien tidak mau
memakai obat dulcolax supp, – Injeksi insulin
sudah dapat duduk sebentar
Novorapid 6 unit-6
O : TD : 130/90 mmHg
unit-6 unit subkutan, 15
HR : 101x/i

RR : 22x/i mnt sebelum makan

T : 36.8°C – Injeksi Insulin

SpO2 : 97% Levemir 0-0-0-8unit

KGDs : 157 mg/dl subkutan sebelum pkl

A: Tetanus + DM Tipe 2 + 22.00 wib


Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement

P: - Konsul Saraf dijawab:

1. Inj. Citicolin 500 mg/12jam

2. Neurosande/hari

-Terapi Tambahan

1. Gabapentin 1 x 300 mg

2. Eperison HCL 2 X 50 mg

Kamis S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/i


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
09 September 2021
18

H+6 (Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i


kejang spontan(-), kejang -IVFD Ciprofloxasin
(Ruang HCU Rangsang (-),sudah dapat 200 mg/12jam
Marwah) - IVFD Metronidazol
berbicara dan menggerakan
500 mg/8jam
tangan, tidak dapat melihat - Inj. Ketorolac 1 amp/8
cahaya(-), luka pada kaki jam
kanan (+), nyeri pada luka - Inj. Ranitidine 1 Amp/
(berkurang), BAB ada, sudah 8 jam
dapat duduk - Inj. Citicollin 500
mg/12jam
O : TD : 120/80 mmHg - Neurosande? Hari
- ATS (+)
HR : 86x/i
- Injeksi insulin
RR : 20x/i
Novorapid 6 unit-6
T : 36.3°C
unit-6 unit subkutan, 15
SpO2 : 98%

KGDs : 141 mg/dl mnt sebelum makan

A: Tetanus + DM Tipe 2 + – Injeksi Insulin


Ulkus Diabetikum a/r plantar
Levemir 0-0-0-8unit
dextra + neuropati diabetika +
post debridement subkutan sebelum pkl
P: - Diazepam jadikan 3 22.00 wib
amp/fls NaCl
- Gabapentin 1 x 300
- Aff kateter
- Aff ATS mg
- Bladder Training
- Eperison HCL 2 X 50

mg

Jum’at S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/i


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
10 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i
-IVFD Ciprofloxasin
H+6 kejang spontan(-), kejang
200 mg/12jam
Rangsang (-),sudah dapat - IVFD Metronidazol
(Ruang HCU berbicara dan menggerakan 500 mg/8jam
19

Marwah) tangan, tidak dapat melihat - Inj. Ketorolac 1 amp/8


cahaya(-), luka pada kaki jam
kanan (+), nyeri pada luka - Inj. Ranitidine 1 Amp/
8 jam
(berkurang), BAB ada, sudah
- Inj. Citicollin 500
dapat duduk mg/12jam
- Neurosande? Hari
O : TD : 120/80 mmHg
- ATS (+)
HR : 88x/i - Gabapentin 1 x 300
mg
RR : 19x/i - Eperison HCL 2 X 50
mg
T : 36.3°C - Injeksi insulin

SpO2 : 95% Novorapid 6 unit-6

KGDs : 201 mg/dl unit-6 unit subkutan, 15


A: Tetanus + DM Tipe 2 + mnt sebelum makan
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika + – Injeksi Insulin
post debridement
Levemir 0-0-0-8unit
P:- Pindah Ruang Shafa
subkutan sebelum pkl
- Diazepam jadikan 1
amp/fls NaCl 22.00 wib

Sabtu S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/I


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
11 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i
-IVFD Ciprofloxasin
H+7 kejang spontan(-), kejang
200 mg/12jam
Rangsang (-),sudah dapat - IVFD Metronidazol
(Ruang Shafa) berbicara dan menggerakan 500 mg/8jam
tangan, tidak dapat melihat - IFVD Paracetamol
cahaya(-), luka pada kaki 500 mg/12jam
kanan (+), nyeri pada luka - Inj. Ketorolac 1 amp/8
(berkurang), BAB ada, sudah jam
- Inj. Ranitidine 1 Amp/
dapat duduk
8 jam
O : TD : 90/60 mmHg - Inj. Citicollin 500
mg/12jam
20

HR : 87x/i - Neurosanbe/ Hari


- ATS (+)
RR : 20x/i - Gabapentin 1 x 300
mg
T : 36.4°C - Eperison HCL 2 X 50
mg
SpO2 : 97% - Injeksi insulin
KGDs : - mg/dl
Novorapid 6 unit-6
A: Tetanus + DM Tipe 2 +
unit-6 unit subkutan, 15
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika + mnt sebelum makan
post debridement + Anemia +
Bronchopneumonia – Injeksi Insulin

P: Terapi diteruskan Levemir 0-0-0-8unit

subkutan sebelum pkl

22.00 wib

Minggu S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/I


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
12 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i
-IVFD Ciprofloxasin
H+7 kejang spontan(-), kejang
200 mg/12jam
Rangsang (-),sudah dapat - IVFD Metronidazol
(Ruang Shafa) berbicara dan menggerakan 500 mg/8jam
tangan, tidak dapat melihat - Inj. Ketorolac 1 amp/8
cahaya(-), luka pada kaki jam
kanan (+), nyeri pada luka - Inj. Ranitidine 1 Amp/
(berkurang), BAB ada, sudah 8 jam
- Inj. Citicollin 500
dapat duduk
mg/12jam
O : TD : 90/70 mmHg - Neurosanbe Hari
- ATS (+)
HR : 106x/i - Gabapentin 1 x 300
mg
RR : 19x/i - Eperison HCL 2 X 50
mg
T : 37.9°C - Injeksi insulin
21

SpO2 : 954% Novorapid 6 unit-6

KGDs : 164 mg/dl unit-6 unit subkutan, 15

A: Tetanus + DM Tipe 2 + mnt sebelum makan


Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika + – Injeksi Insulin
post debridement + Anemia +
Bronchopneumonia Levemir 0-0-0-8unit

P:- Drip Paracetamol subkutan sebelum pkl


500mg/12jam
22.00 wib

Senin S : Kaku mulut, rahang, leher, O2 2-4 l/I


rahang dan tangan - IVFD RL + Diazepam
13 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci (-), 3 amp 20 gtt/i
-IVFD Ciprofloxasin
H+7 kejang spontan(-), kejang
200 mg/12jam
Rangsang (-),sudah dapat - IVFD Metronidazol
(Ruang Shafa) berbicara dan menggerakan 500 mg/8jam
tangan, tidak dapat melihat - Inj. Ketorolac 1 amp/8
cahaya(-), luka pada kaki jam
kanan (+), nyeri pada luka - Inj. Ranitidine 1 Amp/
(berkurang), BAB ada, sudah 8 jam
- Inj. Citicollin 500
dapat duduk
mg/12jam
O : TD : 90/60 mmHg - Neurosanbe Hari
- ATS (+)
HR : 87x/i - Gabapentin 1 x 300
mg
RR : 20x/i - Eperison HCL 2 X 50
mg
T : 36.4°C - Injeksi insulin

SpO2 : 97% Novorapid 6 unit-6


KGDs : 150 mg/dl unit-6 unit subkutan, 15
A: Tetanus + DM Tipe 2 + mnt sebelum makan
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika + – Injeksi Insulin
post debridement + Anemia +
22

Bronchopneumonia Levemir 0-0-0-8unit

P:- Rencana PBJ Besok subkutan sebelum pkl

22.00 wib

Selasa S : Kaku mulut, rahang, leher, Obat PBJ


rahang dan tangan – Levofloxacin 2 x 1
14 September 2021 (Berkurang), gigi terkunci (-), – Alpentin 2 x 300 mg
– Eperison 2 x 1
H+7 kejang spontan(-), kejang
– CPG 1 X 75 mg
Rangsang (-),sudah dapat
(Ruang Shafa) berbicara dan menggerakan
tangan, tidak dapat melihat
cahaya(-), luka pada kaki
kanan (+), nyeri pada luka
(berkurang), BAB ada, sudah
dapat duduk

O : TD : 100/70 mmHg

HR : 88x/i

RR : 20x/i

T : 36.5°C

SpO2 : 954%

KGDs : 170 mg/dl

A: Tetanus + DM Tipe 2 +
Ulkus Diabetikum a/r plantar
dextra + neuropati diabetika +
post debridement + Anemia +
Bronchopneumonia

P:-PBJ
23

BAB 3
PEMBAHASAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh clostridium tetani. Clostridium tetani menghasilkan dua jenis
toksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu
hemolisin dan bersifat oxygen labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen),
sedangkan tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile
(tidak tahan panas). Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam
manifestasi klinis dari tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak
dapat dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun
limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik. Toksin ini
memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B (heavy
chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan memecah
tetanospasmin menjadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah gangliosida
pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat (carbohydrate- binding
domain) pada ujung karboksi-terminal subunit B berikatan dengan reseptor asam
sialat yang spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf motorik. Toksin
akan diinternalisasi oleh vesikel endosom17.
Asidifikasi endosom akan menyebabkan perubahan konformasi ujung N-
terminal subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam membran
endosom, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus membran
endosom menuju ke sitosol. Toksin mengalami retrograde axonal transport dari
perifer kemudian menuju saraf presinaps, tempat toksin tersebut bekerja. Subunit
A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang memecah
24

vesicleassociated membrane protein-2, VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein ini


merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam endositosis
dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibitorik, yaitu glisin dan gamma-amino butyric acid (GABA).

Gambar 3.1 Bakteri Clostridium Tetani dengan bentukan khas “drumstick” pada
bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani
dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x)18.

Ada berbagai jenis tetanus yaitu tetanus generalis, tetanus lokalis, tetanus
sefalik dan tetanus neonatal. Tetanus lokal dan tetanus sefalik jarang ditemukan,
sedangkan yang paling banyak ditemukan adalah tetanus generalis dan tetanus
neonatal. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan otot yang persisten di area yang
sama dengan luka. Kekauan ini mungkin tetap ada untuk beberapa minggu hingga
menghilang perlahan.
Pada laporan kasus ini pasien berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang mendapatkan kasus terbanyak pada laki-laki (80,5%), oleh
karena laki-laki lebihbanyak terpapar faktor risiko8. Pada pasien juga didiagnosa
menderita DM, hal ini sesuai dengan penelitian Luther Theng yang memiliki
penyakit penyerta seperti diabetes mellitus (56,1%). Mekanismenya belum jelas
menurut CDC, tetapi dianjurkan agar para klinisi mencurigai lebih awal jika
pasien dengan penyerta diabetes yang datang dengan gangren19.
Transmisi tetanus bisa terjadi melalui luka tusuk, luka bakar, operasi, otitis
media, infeksi dental, gigitan binatang, kehamilan dan lain sebagainya 20.
Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan menunjukkan bahwa paling banyak
port d’entrée adalah pada kaki (69,4%) diikuti ekstremitas atas (33,3%), luka pada
kepala (20%), dan abdomen (2,2% serta tidak diketahui port d’entrée-nya
25

sebanyak 2,2%21 . Pada kasus ini, port d entry adalah melalui luka akibat tertusuk
paku berkarat pada telapak kaki kanan sejak 2 minggu SMRS yang tidak
mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Pada kasus ini, masa inkubasi
kurang lebih 14 hari yang menunjukkan waktu yang cukup panjang dengan
kemungkinan prognosa yang baik.
Masa inkubasi tetanus adalah 3 sampai 21 hari, biasanya 8 hari. Semakin
jauh letak luka dari system saraf pusat maka akan semakin lama masa
inkubasinya. Periode inkubasi juga dapat mempengaruhi prognosis pasien,
semakin pendek periode inkubasi maka akan semakin tinggi tingkat
kematiannya22. Pada laporan kasus ini masa inkubasi kurang lebih 2 minggu.
Tetanus terjadi ketika spora, yang biasa terdapat pada objek yang sudah
terkontaminasi, masuk kedalam tubuh melalui kulit yang terbuka seperti pada luka
tusuk, laserasi, luka bakar dan lain sebagainya. Kemudian spora C.tetani akan
berubah menjadi bentuk vegetatif dan akan berkembangbiak di dalam jaringan
tempat terjadinya luka dan akan menghasilkan neurotoksin yaitu tetanolisin yang
akan menghancurkan jaringan sekitar dan menyebabkan lisis dari sel darah merah
dan tetanospasmin yang akan berikatan dengan sinaptobrevin/vesicle-associated
membrane protein (VAMP) yang berhubungan dengan pelepasan neurotransmitter
dari ujung saraf sehingga terdapat gejala paralisis flaksid. Kemudian toksin akan
menyebar secara retrograde di akson lower motor neuron (LMN) dan mencapai
korda spinalis ataupun batang otak. Setelah berada di sistem saraf pusat, toksin
akan berikatan dengan inhibitor GABA atau saraf glisinergik sehingga toksin
tetanus dapat memotong VAMP dan menghambat pelepasan GABA dan glisin
sehingga menyebabkan manifestasi patognomonik berupa kontraksi, rigiditas otot
dan spasme dari otot yang hiperaktif dan nyeri. Gejala yang kurang spesifik
seperti irritable, susah menelan, kaku pada leher, rigiditas pada otot abdomen dan
thoraks23–27.
Kekakuan biasanya terjadi pada daerah otot leher yang menyebabkan
terjadinya retraksi leher, pada otot faring yang menyebabkan terjadinya disfagia,
pada otot maseter menyebabkan terjadinya trismus (lock jaw) pada sekitar 50%
pasien, otot wajah memberikan gambaran menyerupai muka meringis kesakitan
26

yang disebut dengan risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), pada otot dada dan interkostal
menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan napas, pada otot abdomen
menyebabkan rigiditas yang disebut juga sebagai perut papan, dan pada otot
punggung yang memberikan gambaran opistotonus25.

Gambar 3.2 Patofisiologi Tetanus28


Menurut studi yang dilakukan oleh Amare dkk., 3 gejala tersering pada
pasien tetanus adalah trismus (100%), rigiditas (92.6%), dan spasme otot
(91.2%)29. Masa inkubasi dari tetanus umumnya sekitar 3 sampai 21 hari, namun
dapat lebih26,30,31. Pada laporan kasus ini didapatkan keluhan kaku pada mulut dan
rahang, Kaku pada leher, bahu dan tangan, Kejang, lemas, tidak sanggup melihat
cahaya, batuk sesekali, luka pada telapak kaki kanan, badan terasa sakit dan tidak
dapat merasakan sensasi perabaan. Selain itu dari anamnesa didaptkan riwayat
tertusuk paku berkarat 2 minggu sebelum keluhan timbul.
Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan
berlangsung 1−2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis yang dominan
menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Pada pasien
laporan kasus ini didapakan peningkatan Tekanan darah dan frekuensi nadi17.
27

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosa tetanus.


Pada pemeriksaan darah rutin tidak terdapat nilai yang signifikan, leukosit dapat
normal atau dapat meningkat25. Pada kasus, terdapat nilai laboratorium yang
meningkat/menurun secara signifikan, dengan leukosit 22.09/mm3.
Pada pasien ini didapatkan hasil rontgen thoraks yaitu bronchopneumonia.
ggunakan pemeriksaan laboraturium. Menurut WHO tetanus pada pasien dewasa
dapat ditegakkan apabila ditemukan trismus atau kontraksi otot yang nyeri. C.
Tetani dapat ditemukan pada luka hanya di sekitar 30% kasus dan dapat jugs
ditemukan pada pasien yang tidak memiliki tetanus. Penegakkan diagnosis segera
diperlukan untuk menghindari komplikasi seperti spasme laring, hipertensi atau
detak jantung abnormal, embolisme pulmonal, pneumonia, dan kematian.
Tatalaksana dari penyakit tetanus dibagi menjadi 3 yaitu netralisasi toksin
dengan tetanus imunogloblulin, eliminasi bakteri dengan pemberian agen
antimikroba (penisilin, metronidazole), dan tatalaksana suportif untuk
meminimalisir ketidaknyamanan dan stimulasi berlebihan26,31. Tatalaksana awal
berupa primary survey, netralisir toksin dan pemberian antibiotik. Pasien
diberikan injeksi anti tetanus serum (ATS) 2 Ampul secara IM, IVFD
Metronidazol 500 mg/6 jam, IVFD Ciprofloxasin 200 mg/12 jam, Diazepam 4
Ampul yang diturunkan dosisnya secara berkala, injeksi citicolin 500 mg/12 jam,
neurosanbe /H, Gabapentin 1 x 300 mg dan Eperison HCL 2 X 50 50 mg.
Golongan benzodiazepines dipilih untuk mengkontrol spasme otot pada tetanus,
dikenal karena memiliki agen lain seperti relaksan otot, antikonvulsan, sedatif dan
efek anxiolitik32. Pasien diberikan diet per sonde dikarenakan trismus. Pasien
dirawat di ruangan HCU, dengan tempat yang minimal rangsangan cahaya dan
suara, dan menghindari tindakan yang bersifat merangsang5.
Pasien dirawat diruang HCU sesuai dengan rekomendasi Associacao de
Medicina Intensiva Brasileira (AMIB) yang telah dilakukan yang
merekomendasikan perawatan pasien tetanus dengan derajat sedang hingga berat,
dan tetanus derajat ringan dengan faktor resiko prognosis buruk seperti waktu
inkubasi yang singkat (<10 hari), waktu progresi yang singkat (<48 jam), usia
diatas 60 tahun, komorbiditas yang berat, disertai komplikasi respiratori,
28

hemodinamik ataupun renal33. Selain itu, dikarenakan spasme pada otot maseter
yang menyebabkan terjadinya trismus, pasien diberikan diet per sonde. Pasien
dirawat di ruangan HCU. Penanganan pada pasien tetanus di ICU meliputi34:

1. Secara Umum
- Jika memungkinkan, tempatkan pasien di ruangan/lokasi yang khusus
untuk pasien tetanus. Untuk meminimalkan risiko spasme paroxysmal yang
dipresipitasi oleh stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang
gelap dan tenang. Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati untuk
mencegah pneumonia aspirasi.
- Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
ditangani di ICU,dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara
kontinu.
- Luka, harus dibersih dan atas indikasi.
- Meminimalisir efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan
memberikan terapi suportif. Khususnya di ruang terapi intensif, penatalaksanaan
tetanus berupa terapi suportif, dengan menitikberatkan pada sistem respirasi,
instabilitas otonom, dan spasme otot.

2. Immunotherapy: Tindakan awalnya adalah memberikan imunisasi pasif. Jika


memungkinkan, diberikan TIG 500 units intramuscular atau intravena, segera
mungkin. Vaksin TT menggandung 0.5 cc, di injeksikan secara im. Penyakit
tetanus tidak di pengaruhi oleh imunitas, pasien dengan riwayat menerima primer
vaksin TT, harus menerima vaksin kembali 1-2 bulan kemudian setelah
pemberian pertama dan 6-12 bulan kemudian untuk dosis yang ke tiga.

3. Antibiotic: Metronidazole 500 mg setiap 6 jam secara iv atau p.o ; Penicillin G


(100,000– 200,000 IU/kg/hari iv, dibagi dalam 2-4 dosis). Tetracyclines,
macrolides, clindamycin, cephalosporins and chloramphenicol dapat juga
diberikan.
29

4. Muscle spasm control: benzodiazepines dapat diberikan. Untuk dewasa, dapat


di berikan diazepam iv hingga 5 mg, atau lorazepam 2 mg, tirtasi sampai control
spasme tanpa sedasi yang berlebihan dan hypoventilasi (Untuk anak-anak, dimulai
dengan dosis 0.1– 0.2 mg/kg setiap 2–6 jam, dititrasi sesuai kebutuhan). Dosis
yang besar dapat dibutuhkan hingga 600 mg/hari).

5. Preparat Oral dapat digunakan, akan tetapi harus hati-hati dengan monitoring
untuk menghindari depresi nafas da henti nafas.

6. Magnesium sulphate dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan


benzodiazepine untuk control spasme dan autonomic dysfunction, dengan dosis 5
gr (atau 75mg/kg) intravenous diberikan secara loading dose, lalu 2–3 grams per
jam, hingga mencapai spasm control. Untuk menghindari overdosis, monitoring
reflek patella seperti areflexia (tidak adanya reflek patellar) dapat terjadi pada
range dosis terapi 4mmol/L. Jika areflexia terjadi, dosis harus di turunkan.

7. Agen lain yang digunakan untuk spasm control termasuk baclofen, dantrolene
(1–2 mg/kg intravenous atau p.o setiap 4 jam), barbiturates short-acting lebih baik
(100–150 mg setiap 1–4 jam untuk dewasa ; 6–10 mg/kg untuk anak-anak; dengan
segala), dan chlorpromazine (50–150 mg im, setiap 4–8 jams pada dewasa; 4–12
mg im setiap 4–8 jam untuk anak).

8. Autonomic dysfunction control: magnesium sulphate (seperti di atas) atau


morphine.
Sistem skoring yang telah diakui untuk menilai prognosa penyakit tetanus,
yang paling sering digunakan adalah skor Dakar dan skor Phillips24.
30

Tabel 3.1 Skor Dakar

Interpretasi skor: 0-1: Derajat ringan dengan mortalitas <10%


2-3 ; Derajat sedang dengan mortalitass 10-20%
4: derajat berat dengan mortalitas 20-40%
5-6 derajat sangat berat dengan mortalitas > 50%
Tabel 3.2 Skor Philips

Interpretasi: <9 : Ringan, 9-18 : sedang dan > 18 : berat

Pada pasien ini diperoleh skor Dakar :Masa inkubasi > 7 hari (0), onset >
2 hari (0), Tempat masuk luka tusuk dikaki (0), spasme ada (1), demam < 38(0),
31

takikardi ada (1) dengan total skor 2 masuk kategori derajat sedang. Skor Philips
pada pasien ini didapatkan adalah kategori sedang.
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung
dari bakteri seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi dan henti jantung atau
komplikasi akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus
dekubitus, pneumonia, stress ulcer35.
Tabel 3.3 Komplikasi Tetanus

Pada Laporan Kasus ini Pasien telah Didiagnosa mengalami DM tipe 2


sejak ± 10 tahun yang lalu dan pada pemeriksaan KGDS pasien ketika dirawat
didapatkan kesan hiperglikemia serta terdapat riwayat keluarga yang menderita
DM tipe 2.
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) 36. Disfungsi sel β
berperan dalam progresivitas penyakit DM Tipe 2, pasien DM Tipe 2 terbagi
menjadi beberapa golongan, ada yang dengan dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai dengan dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin. Kebanyakan pasien DM Tipe 2 mengalami overweight ataupun
obesitas yang kemudian akan memperburuk keadaan dari resistensi insulin
tersebut37.
Diabetes mellitus adalah penyakit degeneratif. Proporsi kejadian diabetes
mellitus paling banyak pada diabetes mellitus tipe 2 yaitu 85% - 95% dari
32

populasi dunia yang menderita diabetes mellitus. World health Organization


(WHO) memproyeksikan bahwa diabetes akan menjadi penyebab kematian
ketujuh di tahun 203038. Pada Pasien DM Tipe 2 memiliki faktor risiko yang
memungkinkan untuk timbulnya keluhan yaitu:
3.2.1 Unmodified
1. Riwayat Keluarga dengan DM
Pada pasien ini memiliki riwayat keluarga menderita DM yaitu adik
kandung pasien. Riwayat keluarga merupakan faktor risiko utama seorang akan
mengalami Diabetes Melitus. Secara genetik, pasien Diabetes Melitus akan
memengaruhi keturunannya. Individu yang memiliki orang tua, saudara laki-laki
maupun perempuan, atau anak yang menderita Diabetes Melitus tipe 2 akan
memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk menderita penyakit DM Tipe 2
dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat keluarga39.
Peran genetik riwayat keluarga dapat meningkatkan risiko kejadian DM.
Apabila keluarga ada yang menderita DM maka akan lebih beresiko mengalami
DM. Hal ini dibuktikan dengan penentu genetik diabetes ada kaitannya dengan
tipe histokompatibilitas HLA yang spesifik40.
2. Umur
Umur meningkatkan risiko mengalami diabetes. Tjekyan (2014)
mengatakan bahwa pada negara berkembang usia yang berisiko adalah usia di atas
45 tahun dan pada negara maju penduduk yang berisiko adalah usia 65 tahun ke
atas41. Pada Laporan Kasus ini pasien didiagnosa mengalami DM pada umur 44
tahun. Semakin bertambahnya umur, maka risiko menderita diabetes mellitus
akan meningkat terutama umur 45 tahun yang termasuk kelompok risiko tinggi.
WHO mengatakan, individu yang berusia setelah 30 tahun akan mengalami
kenaikan kadar glukosa dara 1-2 mg/dL/tahun pada saat puasa dan akan naik 5,6-
13mg/Ll pada 2 jam setelah makan42. Insiden DM meningkat pada umur > 45
tahun43.
3.2.2 Modified
1. Obesitas
33

Pada pasien ini memiliki IMT tergolong overweigth yaitu 27.0 Kg/M 2.
Pada individu yang memiliki berat badan berlebih atau menderita obesitas, jumlah
asam lemak non-esterifikasi, gliserol, hormon, sitokin, penanda proinflamatori,
dan substansi lain yang terlibat dalam patogenesis resistensi insulin, meningkat 44.
Obesitas ialah penumpukan lemak dalam tubuh yang sangat tinggi. Kalori yang
masuk ke tubuh lebih tinggi dibandingkan aktivitas fisik yang dilakukan untuk
membakarnya sehingga lemak menumpuk dan meningkatkan risiko DM tipe 2.
Kriteria Obesitas yakni IMT ≥25 kg/m2 atau ukuran lingkar perut ≥80cm bagi
wanita serta ≥90 cm bagi pria41. Pada laporan kasus ini pasien memiliki IMT
Yaitu > 27 kg/m2.
2. Kurang Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik yang dapat membakar kalori menaikkan risiko
DM Tipe 2. Lapisan masyarakat berpenghasilan tinggi umumnya jarang
melakukan aktivitas fisik. Strategi terbaik untuk mencegah DMT2 ialah dengan
mengendalikan berat badan serta menjalankan aktivitas fisik minimal 30 menit
perhari41.
3.Hipertensi
Menurut studi Setyaningsih 2015 ditemukan bahwa riwayat hipertensi
memiliki ikatan erat dengan kasus DM Tipe II. Risikonya menjadi 2,629 kali lebih
tinggi dibanding bukan pengidap hipertensi45.
4. Dislipidemia
Dislipidemia ialah keadaan kadar lemak darah meningkat. Hal ini dapat
berisiko menyebabkan DM tipe 2. Dislipidemia tidak menimbulkan gejala
sehingga kita harus melaksanakan pemeriksaan darah atau checkup sehingga
dapat mendeteksi dini dislipidemia. Dislipidemia sering mengiringi DM, baik
dislipidemia primer (akibat kelainan genetik) maupun dislipidemia sekunder
(akibat DM, karena resistensi maupun defisiensi insulin). Toksisitas lipid memicu
proses aterogenesis menjadi lebih progresif. Lipoprotein akan mengalami
pergantian akibat perubahan metabolik pada DM seperti proses glikasi beserta
oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan risiko resistensi insulin semakin tinggi
sehingga menjadi DM tipe 245.
34

5. Kebiasaan merokok
Merokok adalah faktor risiko yang paling sering ditemui dalam berbagai
penyakit termasuk DM Tipe 2. Penelitian mengemukakan bahwa sensitivitas
insulin dapat turun oleh nikotin dan bahan kimia berbahaya lain di dalam rokok.
Nikotin dapat meningkatkan kadar hormon katekolamin dalam tubuh, antara lain
adrenalin dan noradrenalin. Naiknya tekanan darah, denyut jantung, glukosa
darah, dan pernapasan merupakan efek yang ditimbulkan dari pelepasan adrenalin
tersebut46.
6. Pengelolaan stress
Ketika penderita DM tipe 2 mengalami stres mental, gula darah penderita
akan meningkat. Adrenalin dan kortisol adalah hormon yang akan muncul ketika
stress. Hormon tersebut berfungsi meningkatkan gula darah untuk meningkatkan
energi dalam tubuh41.
Pada tahun 2009, DeFronzo menyampaikan bahwa tidak hanya otot, liver,
dan sel β pankreas saja yang berperan dalam patogenesis DM Tipe 2
47
(Triumvirate) .Namun juga terdapat 5 organ tambahan lain yang berperan di
dalam patogenesis DM Tipe 2, yaitu: Sel lemak, usus besar, sel α pancreas, ginjal
dan otak yang kemudian disebut dengan ominous octet48. Kemudian pada tahun
2016, Schwartz, S. et al. menerbitkan skema patogenesis hiperglikemia pada DM
yang bersentral pada sel β pancreas. Ditemukan 3 jalur tambahan dalam
patogenesis hiperglikemia di DM Tipe 2, yaitu: disregulasi imun/inflamasi,
lambung/usus halus, dan incretin effect yang akhirnya berjumlah 11 jalur yang
kemudian dinamakan egregious eleven49:
35

Gambar 3.3 Patofisiologi DM tipe 2 Egregious Eleven 49

Gambar 3.4 Egregious Eleven dan Target Obat yang Digunakan494750


36

Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DMT2 secara


genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas48:
1. Resistensi insulin
Merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan
overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot,
lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk
memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas
tidak adekuat guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar
glukosa darah akan meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik pada DMT2 semakin merusak sel beta di satu sisi dan
memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit DMT2 semakin
progresif.
Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin
yang lebih tinggi dari normal yang dibutuhkan untuk mempertahankan
normoglikemia. Pada tingkat seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan
yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan
post reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam
patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein kinase B, mutasi
protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein
IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan
mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor).
2. Disfungsi sel beta pancreas
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta
pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi
hiperglikemia kronik dengan segala dampaknya. Hiperglikemia kronik juga
berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas. Sebelum diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin secukupnya untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada saat diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat
untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu
fungsi sel beta pankreas yang normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari
37

perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya
produksi insulin mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga secara klinis
DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut. Sel beta
pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya seperti sel alfa,
sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi
akibat kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel
beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan
kelangsungan hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel
beta, kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi beban
metabolik dan proses apoptosis sel
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena
dengan sistem enzimatik dengan hasil48 :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200
mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5%
Tabel 3.2 Diagnosis Diabetes50
38

Dalam mengobati pasien DMT2 tujuan yang harus dicapai adalah


meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan
penatalaksanaan jangka pendek dan jangka panjang.
1. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan
dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target
pengendalian glukosa darah.
2. Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah untuk mencegah dan
menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler,
serta neuropati diabetikum.
3. Tujuan akhir pengelolaan DMT2 adalah menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM.
Farmakoterapi pada pasien DM:
1. Obat Antihiperglikemi Oral
Tabel 3.3 Obat Antihiperglikemi Oral
39

2. Pemberian Insulin basal


Pada pasien ini diberikan terapi insulin yaitu Novorapid 16-16-16 bdan
Levemir 0-0-8. Pemberian insulin basal merupakan salah satu strategi pengobatan
untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena
glukosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar
glukosa puasa, maka diharapkan dengan menurunkan glukosa basal, kadar
glukosa darah setelah makan juga ikut turun.
a) Inisiasi terapi insulin
Insulin dapat diberikan pada semua pasien DMT2 dengan kontrol glikemik
yang buruk. Insulin juga dapat diberikan pada kasus-kasus DMT2 yang baru
dikenal dengan penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis.
Contoh regimen insulin sekali sehari:
1. Mulai dengan dosis 8 – 10 unit long acting insulin (insulin kerja panjang)
2. Teruskan pemakaian OAD (metformin)
3. Lakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi
4. Lakukan titrasi dosis untuk mengendalikan kadar glukosa darah
sebelum makan pagi
Dalam menggunakan insulin, dosis dinaikan secara bertahap. Apabila
kadar glukosa darah belum terkontrol, titrasi dosis dapat dilakukan setiap 2- 3
hari. Cara mentitrasi dosis insulin basal :
- Naikan dosis 2 unit bila glukosa darah puasanya di atas 126 mg/dl
- Naikan dosis 4 unit bila glukosa darah puasanya di atas 144 mg/dl
40

Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama sampai kadar
glukosa darah puasa mencapai kadar yang diinginkan.
b) Pemberian Insulin Basal, basal plus insulin
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar glukosa darah
puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka dibutuhkan insulin lain
untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan menambahkan insulin prandial.
Pemberian basal insulin dengan menambahkan insulin prandial disebut dengan
terapi basal plus. Jika dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil
yang optimal, maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap mau
makan. Cara pemberian insulin seperti ini disebut dengan basal bolus.
Dengan menggunakan 2 macam insulin dapat dilakukan berbagai metode
untuk mencapai kontrol glukosa darah. Basal bolus insulin merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan dalam mencapai kontrol glukosa darah48.

Tabel 3.4 Basal Insulin dan Bolus Insulin48

Komplikasi DM yaitu komplikasi fase akut dan kronik:


1. komplikasi fase akut
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan turunnya kadar glukosa di dalam darah,
menjadi < 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s
triad. Hipoglikemia iatrogenik merupakan hipoglikemia yang umum terjadi pada
pasien diabetes. Hipoglikemia iatrogenic merupakan hipoglikemia yang
berhubungan dengan pengobatan diabetes, seperti sulfonilurea dan insulin5150.
b) Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemi Hiperosmolar
(SHH)
41

Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh karena adanya resistensi


insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskular lebih disebabkan oleh hiperglikemia
kronik. Ada empat hal utama yang mendasari terjadinya komplikasi kronis DMT2
yaitu, meningkatnya HbA1c, glukosa plasma puasa, dan glukosa post prandial
serta meningkatnya variabilitas glukosa. Keempat hal ini disebut tetrad concept,
merupakan keadaan yang harus diperbaiki dalam penatalaksanaan DMT2 agar
dapat mencegah ataupun memperlambat timbulnya komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular44.
2. Komplikasi fase kronik diabetes
a) Makrovaskular
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
b) Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti
nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi 5253. Pada pasien
laporan kasus ini memiliki komplikasi neuropati perifer.
Hiperglikemia kronik dan fluktuasi kadar glukosa darah akut dari puncak
ke nadir merupakan komponen yang menyebabkan terjadinya komplikasi kronik
DM melalui dua mekanisme utama, yaitu glikasi protein yang berlebihan dan stres
oksidatif.
1.Glikasi Protein
Beberapa tahun terakhir glikasi albumin (GA) diperkenalkan pula sebagai
indeks keterkendalian diabetes jangka menengah. Glycated albumin (GA) adalah
albumin mengandung lisin yang berikatan dengan glukosa. Albumin serum
manusia merupakan protein terbanyak di sirkulasi, terdiri dari 59 lisin dan 23
arginin yang dapat terlibat dalam proses glikasi. Albumin merupakan protein kaya
lisin. Albumin memiliki waktu paruh yang lebih pendek dibanding hemoglobin
yaitu 12-19 hari sehingga dapat dijadikan sebagai marker alternatif kontrol
glikemik. GA terjadi akibat gabungan molekul glukosa dengan molekul protein
yang membentuk ketoamin melalui proses glikasi, yaitu sebuah mekanisme
42

nonenzimatik. Glikasi nonenzimatik ini disebut reaksi Maillard, yaitu reaksi


spontan antara glukosa dengan molekul yang mengandung amin.
2. Stress Oksidatif
Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara antioksidan dan pro
oksidan yang berpotensi untuk menyebabkan kerusakan. Hiperglikemia kronik
akan menyebabkan apoptosis sel endotel vaskuler melalui overproduksi
superoksida mitokondria. Metabolisme glukosa yang berlebihan akan
menghasilkan radikal bebas. Beberapa jalur metabolik yang dapat menyebabkan
stress metabolik pada penderita DMT2 adalah sebagai berikut:
a. Jalur poliol
Saat kadar glukosa intrasel meningkat, jalur poliol pada metabolisme
glukosa menjadi aktif. Enzim pertama pada jalur ini adalah aldosa reduktase yang
mereduksi glukosa menjadi sorbitol menggunakan NADPH sebagai kofaktor.
Afinitas aldosa reduktase untuk peningkatan glukosa pada kondisi hiperglikemik
menyebabkan sorbitol berakumulasi dan menggunakan lebih banyak NADPH.
Aktivasi enzim aldosa reduktase sendiri memudahkan timbulnya kerusakan sel.
Aktivasi jalur poliol akan meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa. Sorbitol dan
fruktosa merupakan agen glikosilasi yang berperan dalam pembentukan AGEs.
Penggunaan yang berlebihan NADPH akibat overaktivitas aldosa reduktase
menyebabkan berkurangnya kofaktor yang tersedia untuk proses metabolisme
seluler dan enzim. Hal ini akan mengurangi kapabilitas sel untuk merespon stres
oksidatif, sehingga terjadi peningkatan aktivitas mekanisme kompensasi seperti
aktivitas glucose monophosphate shunt, penyedia NADPH seluler. Di sisi lain,
penggunaan NAD oleh sorbitol dehidrogenase menyebabkan + peningkatan rasio
NADPH/NAD yang diartikan sebagai kondisi pseudohipoksia.
b. Jalur heksosamin
Jalur ini teraktivasi jika terjadi akumulasi berlebihan dari metabolit
glikolisis. Pada kondisi normal 1-3% glukosa memasuki jalur ini. Pada kondisi
hiperglikemia terjadi peningkatan pembentukan ROS sehingga terjadi akumulasi
metabolit teroksidasi.
c. Aktivasi protein kinase C (PKC)
43

Lingkungan yang hiperglikemik merangsang peningkatan aktivitas PKC-


β2 di sel endotelial ginjal untuk memproduksi prostaglandin E2 dan tromboksan
A2, substansi yang mengatur permeabilitas dan respon terhadap angiotensin II sel
vaskuler. Aktivasi PKC juga mempengaruhi akumulasi protein matriks
mikrovaskuler di sel mesangial. Kondisi ini disebabkan oleh inhibisi terhadap
produksi NO.
d. Advanced glycation end products (AGEs)
Pada diabetes, protein yang terglikosilasi secara nonenzimatik akan
berubah menjadi produk irreversibel yaitu AGEs. Kemudian AGEs akan berikatan
dengan reseptor AGEs pada sel mesangial dan menyebabkan kerusakan jaringan.
Pada pasien juga mengalami luka yang tidak sembuh. Penyembuhan luka
merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena merupakan suatu
kesatuan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan. Dalam
proses pemyembuhan luka terdapat faktor instrinsik dan ekstrinsik yang
mempengaruhi proses tersebut54.
Adapun faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pada diabetes
mellitus yaitu: 1) Suplai oksigen, dimana oksigen merupakan kritikal untuk
leukosit dalam menghancurkan bakteri dan untuk fibroblast dalam menstimulasi
sintesis kolagen. 2) Stres, cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi
efisiensi dari sistem imun sehingga dapat mempengaruhi proses penyembuhan. 3)
Gangguan sensasi atau gerakan, dimana aliran darah yang disebabkan oleh
tekanan dan gesekan benda asing pada pembuluh darah kapiler dapat
menyebabkan jaringan mati pada tingkat local. 4) Status nutrisi, dimana kadar
serum albumin rendah akan menurunkan difusi (penyebaran) dan membatasi
kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri55. Luka diabetic juga
dikarakteristikkan sebagai luka kronis yang memiliki waktu penyembuhan lama.
Lama waktu penyembuhan luka diabetic disebabkan oleh respon inflamasi yang
memanjang. Lama waktu penyembuhan luka diabetic dapat mencapai 12-20
minggu56.
44

BAB 4
KESIMPULAN
Tetanus merupakan suatu toksemia akut yang disebabkan oleh Bakteri
Clostridium Tetani dengan manifestasi klinis kekakuan pada tubuh. Pada laporan
kasus ini pasien laki-laki usia 54 tahun dengan keluhan kaku pada mulut, rahang,
bahu dan leher, serta nyeri pada seluruh tubuh, gigi terkunci rapat dengan riwayat
terkena paku 2 minggu yang lalu dan memiliki Riwayat penyakit DM tipe 2 sejak
10 tahun yang lalu. pasien ditatalaksana yaitu untuk toksin dengan tetanus
imunogloblulin, eliminasi bakteri dengan pemberian agen antimikroba dan
tatalaksana suportif untuk meminimalisir ketidaknyamanan dan stimulasi
berlebihan. Semakin cepat onset yang didapat saat terinfeksi tetanus makan
prognosis akan semakin buruk.
Dari kasus ini dapat kita ketahui bahwa penyakit tetanus merupakan
penyakit serius yang dapat mengancam nyawa dan merupakan masalah kesehatan
publik yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
45

DAFTAR PUSTAKA
1. Putri, S. R. Pencegahan Tetanus. J. Penelit. Perawat Prof. 2, 443–450
(2020).
2. Sudewi R. Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf: tetanus.
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; Kelompok Studi
Neuroinfeksi; 2011. h. 131-50.
3. Gelbart D. Tetanus. American Academy of Physician Assistants.
2017;30(12):46-47.
4. Utami IN, Arifin, Susilo RSB, Redhono D, Sumandjar T. Respiratory
failure in tetanic patient: maintenance of airway problem in intensive care
Earth Environ Sci. unit setting. IOP Conf Ser 2018 Mar;125:012153.
5. Clarissa Tertia, I Ketut Sumada & Ni Ketut Candra Wiratmi. Laporan
Kasus: Tetanus Tipe General pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi. Callosum
Neurol. 2, 9–10 (2019).
6. Mahieu R, Reydel T, Maamar A, Tadié J-M, Jamet A, Thille AW, et al.
Admission of tetanus patients to the ICU: a retrospective multicentre study.
Ann Intensive Care [Internet]. 2017 Nov 7 [cited 2019 May 24];7(1).
7. Sri M, Dp WW, Gb MT, Dpg S. Clinical Aspects of Tetanus in Bali,
46

Indonesia. :7.
8. Theng, L., Christin, T. & Bahar, E. Faktor - Faktor Yang Berpengaruh
Dalam Luaran Klinis. Univ. Sriwij. 35 No. 3, 215–221 (2018).
9. Mcelaney P, Iyanaga M, Monk S, Michelson E. The quick and Dirty: A
Tetanus Case Report. Clin Pract Case Emerg Med. 2019 Jan 22;3(1):55-8.
10. Hill JD. Tetanus:n A case Report Following an upper extremity injury. Clin
Med Rev Case Rep (Internet). 2016 Feb 29.
11. Satari HI, Chairulfatah A, Setiabudi D, Widhiani A, Amdani SK,
Latupeirissa D, dkk. Penatalaksanaan tetanus pada anak. Health
Technology Assessment Indonesia: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2008.
12. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s principles of
neurology: disorders caused by bacterial toxins. Edisi ke-10. Mcgraw Hill
Eduacation. 2014. h. 1215-7.
13. Alifil W, Alshahran M, Abdulbaser M, El Fakarany NB. (2015). Severe
Generalized Tetanus: A Case Report and Literature Review. Saudi J Med
SCI 3(2):167.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia. Jakarta: Perkeni; 2011.
15. Tina L, Lestika M, Yusran S. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Diabetes
Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Umum 2018. 2019;4(2):25–9.
16. Hidhayah, D. A., Kamal, S. & Hidayah, N. Hubungan lama sakit dengan
kejadian luka pada penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Magelang.
Borobudur Nurs. Rev. 1, 1–11 (2021).
17. Jaya, H. L. & Aditya, R. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care
Unit. Maj. Anest. dan Crit. Care 36, 114–121 (2018).
18. Rahmanto, D. Laporan KTL Tetanus. (2019).
19. Mootrey G, Tiwari T, Weinbaum C. Tetanus. CDC. 2013;2013:341-51.
20. Alfilfil W, Alshahrani M, Abdulbaser M, El Fakarany NB. Severe
generalized tetanus: A case report and literature review. Saudi J Med Med
47

Sci. 2015;3(2):167.
21. Gunawan D. Tetanus in adults in Bandung. Neurol J Southeast Asia.
2006;I:43-6.
22. Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Tetanus,
Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases The Pink
Book 13th edition. [accessed 21 september 2020]
https://cdc.gov/vaccines/pubs/pink book.tetanus.
23. laney P, Iyanaga M, Monks S, Michelson E. The Quick and Dirty: A
Tetanus Case Report. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019 Jan 22;3(1):55–8.
24. Surya R. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa.
2016;5.
25. Safrida W. TATA LAKSANA TETANUS GENERALISATA DENGAN
KARIES GIGI (LAPORAN KASUS).10.
26. Skuby SO, Rhee E, Thilo EH, Simões EAF. Tetanus and Occam’s Razor:
Almost Forgotten but Not Gone: A Case Report. Pediatrics. 2016
Nov;138(5):e20160298.
27. Pascapurnama DN, Murakami A, Chagan-Yasutan H, Hattori T, Sasaki H,
Egawa S. Prevention of Tetanus Outbreak Following Natural Disaster in
Indonesia: Lessons Learned from Previous Disasters. Tohoku J Exp Med.
2016;238(3):219–27.
28. Kasper, D., Fauci, A., Longo, D., Braunwald, E., Hauser, S., Jameson, J.,
2015. harrison’s principle of internal medicine. new york: McGraw-Hill.
29. Mcelaney P, Iyanaga M, Monks S, Michelson E. The Quick and Dirty: A
Tetanus Case Report. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019 Jan 22;3(1):55–8.
30. Beigmohammadi MT, Tavakoli F, Safari S, Amiri HR. Sciatic Nerve Block
in Tetanus: A Case Report. Anesthesiol Pain Med [Internet]. 2015 Nov 30
[cited 2019 May 24];5(6).
31. Collins S, White J, Ramsay M, Amirthalingam G. The importance of
tetanus risk assessment during wound management. IDCases. 2015;2(1):3–
5.
32. Chaturaka Rodrigo, Deepika Fernando, Senaka Rajapakse. (2014).
48

Pharmacological Management of Tetanus: An Evidenve Based Review.


Crit care 18(2):217 https://doi.org/10.1186/cc13797.
33. Lisboa T, Ho Y-L, Henriques Filho GT, Brauner JS, Valiatti JL dos S,
Verdeal JC, et al. Diretrizes para o manejo do tétano acidental em pacientes
adultos. Rev Bras Ter Intensiva. 2011 Dec;23(4):394–40.
34. Subagiartha, I. M. Laporan kasus tatalaksana tetanus generalitas EC vulnus
ichtum region manus dextra digitiv. 1–6 (2018).
35. Ang. 2003. Tetanus. Tersedia di :
www.chmkids.org/upload/does/imed/TETANUS.pdf. Diakses 12
September 2021.
36. Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Melitus. 2005.
37. Siregar, F. H. Tingkat pengetahuan dan tindakan pencegahan siswa sma
terhadap penyakit diabetes melitus tipe 2 di sma negeri 1 medan tahun 2020
skripsi. (2020).
38. Ramadhan, M. A. Patient Empowerment Dan Self-Management Pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. J. Ilm. Kesehat. Sandi Husada 10, 331–
335 (2019).
39. Diabetes, U.K. 2020, Diabetes Risk Factors, The British Diabetic
Association, London. Available at:
https://www.diabetes.org.uk/preventing-type-2-diabetes/diabetes-risk-
factors.
40. Salasa RA, Rahman H, Andiani. Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada Populasi Asia : A Systematic Review. 2019;1(1):95–107.
41. Nuraisyah, F. Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2. 13, 120–127 (2018).
42. Sudoyo S. 2016. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini
Dalam Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu bagi dokter maupun
Edukator Diabetes. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
43. Wicaksono. 2011. Faktor faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Diabetes Mellitus Tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah
49

Sakit Dr. Kariadi) Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.Li


Li, Chen, J. Wang, J. Cai, D. 2014. Prevalence.
44. Gosmanov, A.R., Gosmanova, E.O. and Kitabchi, A.E. 2018,
Hyperglycemic crises: diabetic ketoacidosis (DKA), and hyperglycemic
hyperosmolar state (HHS), Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279052/.
45. Setyaningrum DE, Sugiyanto Z. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Pada Usia Kurang Dari 45 Tahun di
RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal).
2015;14(2):Abstrack.
46. Kusnadi G, Fitranti DY, Murbawani EA. Faktor Risiko Diabets Melitus
pada Buruh dan Petani. Journal of Nutrition College. 2017;6(2):138–48.
47. DeFronzo, R.A. 2009, From The Triumvirate to the “Ominous octet”: a
new paradigm for the treatment of type 2 diabetes mellitus, Clinical
Diabetology, vol. 10, no. 3, pp.101-128.
48. Decroli, E. Diabetes Melitus tipe 2. (Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang, 2019).
49. Schwartz, S.S., Epstein, S., Corkey, B.E., Grant, S.F., Gavin, J.R. &
Aguilar, R.B. 2016, The time is right for a new classification system for
diabetes: rationale and implications of the β-cell–centric classification
schema. Diabetes Care, vol. 39, no. 2.
50. Perkeni 2015, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia, Pb. Perkeni, Jakarta.
51. Kalra, S., Mukherjee, J.J., Venkataraman, S., Bantwal, G., Shaikh, S.,
Saboo, B., Das, A.K. and Ramachandran, A. 2013, Hypoglycemia: The
neglected complication. Indian journal of endocrinology and metabolism,
vol. 17 no. 5, p.819.
52. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
edisi kelima. Jakarta: Interna publishing, 2009.h.1961.
53. Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita
50

Diabetes Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta


[dissertation]. Universitas Diponegoro (Semarang). 2008.
54. Rizkawati. Naskah Publikasi Hubungan Antara Kejadian Katarak dengan
Diabetes Melitus di Poli Mata RSUD DR. Soedarso Pontianak. 32 (2012).
55. Lede, M. J., Hariyanto, T. & Ardiyani, V. M. Pengaruh Kadar Gula Darah
Terhadap Penyembuhan Luka Diabetes Mellitus di Puskesmas Dinoyo
Malang. Nurs. News (Meriden). 3, 550–556 (2018).
56. Efendi, P., Heryati, K. & Buston, E. Faktor yang Mempengaruhi Lama
Penyembuhan Ganggren Pasien Diabetes Mellitus di Klinik Alfacara. 2,
286–297

Anda mungkin juga menyukai