Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DETEKSI KOMPLIKASI GANGGUAN GINJAL PADA PENDERITA


DIABETES MELLITUS TIPE II

OLEH:
M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK
140100011

PEMBIMBING:
Dr. dr. Rina Amelia, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/


ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
DETEKSI KOMPLIKASI GANGGUAN GINJAL PADA PENDERITA
DIABETES MELLITUS TIPE II

OLEH:
M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK
140100011

PEMBIMBING:
Dr. dr. Rina Amelia, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/


ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
DETEKSI KOMPLIKASI GANGGUAN GINJAL PADA PENDERITA
DIABETES MELLITUS TIPE II

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi


persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara”

OLEH:
M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK
140100011

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/


ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : DETEKSI KOMPLIKASI GANGGUAN GINJAL PADA


PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II

Nama : M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK


NIM : 140100011

Medan, Desember 2019


Pembimbing

Dr. dr. Rina Amelia, MARS

NIP: 197604202003012002

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai Deteksi
Komplikasi Gangguan Ginjal Pada Penderita Diabetes Mellitus tipe II . Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Rina Amelia, MARS atas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini,
pengetahuan dan pemahaman kita mengenai deteksi komplikasi gangguan ginjal
pada penderita diabetes mellitus tipe 2 semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik
secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini
dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kesehatan.

Medan, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ v
DAFTAR TABEL .................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................ 2
1.3. Manfaat .............................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
2.1 Diabetes Mellitus (DM) ..................................................... 3
2.1.1 Definisi ..................................................................... 3
2.1.2 Klasifikasi ................................................................. 3
2.1.3 Manifestasi klinis ...................................................... 5
2.1.4 Diagnosis .................................................................. 5
2.1.5 Komplikasi ................................................................ 7

2.2 Nefropati Diabetik ............................................................. 10


2.2.1 Definisi ..................................................................... 10
2.2.2 Epidemiologi............................................................. 10
2.2.3 Etiologi ..................................................................... 10
2.2.4 Patofisiologi .............................................................. 13
2.2.5 Tingkatan Nefropati Diabetik ................................... 18
2.2.6 Strategi Pencegahan .................................................. 19
2.3 Deteksi komplikasi gangguan ginjal ................................. 24

iii
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 28

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1 Mekanisme polyol pathway ......................................................... 14

2.2 Mekanisme AGE pathway ........................................................... 15

2.3 Mekanisme Hexosamine Pathway ............................................... 16

v
DAFTAR SINGKATAN

DM : Diabetes Mellitus

GGT : Gagal Ginjal Terminal

MAPS : Microalbuminuria Prevalence Study

RENAAL : The Reduction of Endpoints in NIIDDM with Angiotensin II


Antagonist Losartan

DCCT : The Diabetes Control and Complications Trial Research Group

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu


penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel
beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-
sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).

Salah satu komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh DM adalah terjadinya


nefropati diabetik yang dapat menyebabkan gagal ginjal terminal. Nefropati
diabetik adalah komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir pada gagal ginjal.
Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45% penderita DM terutama pada DM tipe II.
Pada tahun 1981 nefropati diabetik ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6
di Negara barat dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis
disebabkan oleh DM terutama tipe 2 karena DM tipe ini lebih sering dijumpai.
Dibandingkan DM tipe 1 maka nefropati diabetik pada DM tipe 2 jauh lebih
progresif. Dengan membiarkan penyakit DM tanpa dikontrol dengan baik selama
bertahun-tahun maka bisa menyebabkan komplikasi pada ginjal yaitu nefropati
diabetik. Berdasarkan studi prevalensi mikroalbuminuria (MAPS), hampir 60%
dari penderita diabetes di Asia menderita nefropati diabetik. Presentasi tersebut
terdiri atas 18,8% dengan makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria
(Yuyun, 2008).

Nefropati diabetik seringkali tidak disadari oleh para penderitanya hingga


sudah sampai menyebabkan gagal ginjal. Oleh karena itu, melalui deteksi dini serta
1
penanganan klinis yang baik, angka terjadinya komplikasi nefropati diabetik pada
pasien DM dapat menurun meskipun mungkin banyak faktor lain yang
mempengaruhi (Gross, 2005).

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
tentang deteksi komplikasi gangguan ginjal pada penderita diabetes mellitus tipe II,
serta untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umumnya agar dapat menambah wawasan tentang deteksi komplikasi gangguan
ginjal pada penderita diabetes mellitus tipe II.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja
insulin atau kedua-duanya (ADA, 2011).

Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu


penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel
beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-
sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).

2.1.2 Klasifikasi

a. Diabetes Tipe 1

Diabetes tipe 1 (sebelumnya dikenal sebagai diabetes yang bergantung pada


insulin, juvenile atau onset masa kanak-kanak) ditandai dengan kekurangan
produksi insulin dalam tubuh, sehingga memerlukan pemberian insulin setiap hari
untuk mengatur jumlah glukosa dalam darah mereka. Penyandang diabetes tipe 1
tidak dapat bertahan hidup tanpa ada pemberian insulin (WHO, 2016). Penyebab
diabetes tipe 1 tidak diketahui secara pasti. Kerusakan pada sel β (beta) pankreas
akibat proses autoimun diduga menjadi penyebabnya (WHO, 2014).

3
b. Diabetes Tipe 2

Diabetes tipe 2 (sebelumnya disebut sebagai diabetes yang tidak tergantung


insulin atau diabetes yang timbul pada orang dewasa) terjadi akibat penggunaan
insulin yang tidak efektif oleh tubuh. Sebagian besar orang dengan diabetes di dunia
tergolong ke dalam diabetes tipe 2. Pada tahap penyakit ini awal tidak akan
menunjukkan gejala sehingga sering tidak terdiagnosis selama beberapa tahun,
sampai muncul komplikasi. Selama bertahun-tahun diabetes tipe 2 hanya terlihat
pada orang dewasa tetapi sudah mulai terjadi pada anak-anak akibat dari
memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas
fisik (WHO, 2016).

c. Diabetes Gestational

Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah kondisi sementara yang terjadi


selama kehamilan, yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia. Wanita dengan
diabetes gestasional berisiko lebih tinggi mengalami beberapa komplikasi selama
kehamilan dan persalinan, serta berpotensi untuk menderita diabetes tipe 2 di masa
depan. Diabetes gestasional didiagnosis melalui skrining prenatal, bukan gejala
yang dilaporkan (WHO,2016).

d. Diabetes tipe lainnya

Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena


adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta
mengganggu sel beta pankreas, sehingga mengakibatkan kegagalan dalam
menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom
hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu
sindrom cushing, akromegali dan sindrom genetik (ADA, 2014).

4
2.1.3 Manifestasi Klinis DM

Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM


diantaranya :

• Poliuria

Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula
dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan
berusaha untuk mengeluarkannya melaluiurin. Gejala pengeluaran urin ini lebih
sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa
(PERKENI, 2011).

• Polidipsia

Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa
oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti,
2009).

• Polifagia

Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena
glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup
tinggi (PERKENI, 2011).

• Penurunan berat badan

Penurunan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa


mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).

Terdapat beberapa gejala lain yang dapat ditemukan pada pasien diabetes
mellitus, meskipun tidak terlalu spesifik. Beberapa diantaranya adalah lemah

5
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva
pada wanita (PERKENI, 2015).

2.1.4 Diagnosis DM

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria
(PERKENI, 2015).

Berikut adalah kriteria diagnosis DM tipe 2 :

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam. Atau

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik. Atau

4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi


oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI, 2015).

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;

6
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl

• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan


HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

2.1.5 Komplikasi DM

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan


berbagai macam komplikasi, antara lain :

1. Komplikasi metabolik akut

Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga


macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah
jangka pendek, diantaranya:

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) ditandai dengan


menurunnya kadar glukosa darah <70mg/dL (PERKENI, 2015). Kondisi ini
timbul sebagai komplikasi diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang
kurang tepat (Smeltzer & Bare, 2008).

b. Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar glukosa


dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga
mengakibatkan kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia,
asidosis dan ketosis (Soewondo, 2006).

7
c. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)

Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai dengan


hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari 600 mg/dl (Price
& Wilson, 2006).

2. Komplikasi Metabolik Kronik

Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut Price & Wilson


(2006) dapat berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) dan
komplikasi pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) diantaranya:

a. Komplikasi Pembuluh Darah Kecil

Komplikasi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu :

 Kerusakan retina mata (Retinopati)

Kerusakan retina mata (Retinopati) adalah suatu mikroangiopati ditandai


dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil.

 Kerusakan Ginjal (Nefropati diabetik)

Kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai dengan albuminuria menetap


(>300 mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali pemeriksaan dalam
kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik merupakan penyebab utama
terjadinya gagal ginjal terminal.

Kerusakan Syaraf (Neuropati diabetik) Neuropati diabetik merupakan


komplikasi yang paling sering ditemukan pada pasien DM. Neuropati pada
DM mengacau pada sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf
(Subekti, 2009).
8
b. Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)

Komplikasi pada pembuluh darah besar meliputi:

 Penyakit pembuluh darah jantung

Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM disebabkan karena


adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang tidak disertai dengan
nyeri dada atau disebut dengan SMI (Silent Myocardial Infarction)
(Widiastuti, 2012).

 Penyakit pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penyandang DM. Gejala
tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas
dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga
tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang
dapat ditemukan pada penderita (PERKENI, 2015)

 Penyakit serebrovaskuler

Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien non- DM untuk


terkena penyakit serebrovaskuler. Gejala yang ditimbulkan menyerupai
gejala pada komplikasi akut DM, seperti adanya keluhan pusing atau
vertigo, gangguan penglihatan, kelemahan dan bicara pelo (Smeltzer &
Bare, 2008).

9
2.2 Nefropati Diabetik

2.2.1 Definisi

Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal yang seringkali menyertai stadium


lanjut penyakit diabetes mellitus, dimulai dengan hiperfiltrasi, hipertrofi ginjal,
mikroalbuminuria, dan hipertensi, seiring waktu akan terjadi proteinuria dengan
tanda tanda lain penurunan fungsi ginjal, dan akhirnya menyebabkan penyakit
ginjal terminal (Cohen et al, 2009). Nefropati diabetik telah dianggap sebagai
penyebab tersering gagal ginjal di Eropa dan Amerika (Molitch, 2004).

2.2.2 Epidemiologi

Setiap tahun lebih dari 100.000 orang di Amerika Serikat di diagnosis


dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah sebuah kondisi serius di mana ginjal gagal
mengeluarkan zat-zat sisa dari dalam tubuh. Diabetes adalah penyebab paling
sering dari gagal ginjal, menyebabkan hampir 45% kasus baru, menjadikannya
sebagai penyebab tersering gagal ginjal dibanding penyebab lain. Orang-orang
Amerika keturunan Afrika, Indian, dan kelompok Hispanis (Latin) memiliki
kecenderungan menderita diabetes, penyakit ginjal kronis, dan gagal ginjal lebih
tinggi dibandingkan ras Kaukasian (Bethesda, 2008).

Nefropati diabetik biasanya juga disertai dengan retinopati dan penyakit


kardiovaskular. Albuminuria pada retinopati hampir pasti menunjukkan adanya
nefropati diabetes. Albuminuria tanpa disertai retinopati mungkin dapat disebabkan
oleh penyakit lain. Hal ini penting untuk diagnosis dini dan pencegahan dalam
perawatan pasien diabetes (Bethesda, 2008).

2.2.3 Etiologi

Hiperglikemia adalah faktor utama penyebab nefropati. Disamping itu


terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya nefropati antara lain
10
hipertensi, genetik, dan kebiasaan merokok juga berkontribusi. Hipertensi adalah
faktor yang penting karena dapat mempercepat onset mikroalbuminuria dan sebagai
riwayat keluarga dapat meningkatkan risiko (Remuzzi et al, 2012).

Genetis dan etnis

Faktor keturunan merupakan faktor risiko tambahan selain kontrol gula


darah yang buruk dan hipertensi bagi pasien untuk berkembang menjadi nefropati.
Saudara kandung pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal mempunyai
kecenderungan lima kali lebih besar berkembang menjadi nefropati daripada
saudara kandung pasien dengan diabetes tanpa penyakit ginjal. Pada sebuah
penelitian pada keluarga Brazil yang memiliki dua atau lebih anggota menderita
diabetes, adanya nefropati diabetik pada orangtua secara signifikan dihubungkan
dengan peningkatan risiko 3.75 kali nefropati diabetes pada saudara kandung yang
menderita diabetes (Evans, 2010).

Penyakit ginjal terminal diketahui mempunyai prevalensi yang lebih tinggi


pada etnis tertentu, Native American, Mexican American, dan African American
mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan Caucasian (Soman, 2006).

Hiperglikemia

Kontrol metabolik yang buruk adalah salah satu etiologi yang penting bagi
terjadinya nefropati diabetik. Resiko terjadinya komplikasi mikrovaskular
(termasuk nefropati) pada pasien DM tipe 1 dan 2 didapati menurun jika HbA1c
<7% (ADA, 2011). Derajat toksisitas glukosa itu sendiri secara langsung terhadap
lesi ginjal masih diperdebatkan (Soman, 2006). Glukosa dianggap sebagai marker
yang bermanfaat dan secara klinis relevan terhadap kelainan metabolik yang
mengarah kepada nefropati, seperti ditunjukkan pada The Diabetes Control and
Complications Trial Research Group (DCCT) dan penelitian lain di mana terjadi
penurunan nefropati dengan menurunkan kadar glukosa serum (Evans, 2010).
11
Kelainan metabolik yang berhubungan dengan hiperglikemia yang ikut
berperan terhadap perkembangan nefropati antara lain advanced glycosylation end
products (AGEs) dan polyols. AGEs adalah hasil dari perlekatan kovalen
nonenzimatik glukosa dan protein. Kadar AGEs di jaringan dan sirkulasi telah
ditunjukkan berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Pasien
diabetes dengan penyakit ginjal terminal mempunyai kadar AGEs jaringan dua kali
lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa penyakit ginjal. AGEs sirkulasi meningkat
pada pasien dengan diabetes dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan kadarnya
berhubungan langsung dengan kreatinin. Perubahan melalui jalur polyol berawal
dari konversi glukosa menjadi sorbitol oleh aldose reduktase, yang dipercepat
dalam kondisi hiperglikemia. Peningkatan sorbitol di jaringan telah diketahui
berperan terhadap komplikasi mikrovaskular diabetes (Evans, 2010).

Hipertensi

Hipertensi mungkin merupakan penyebab maupun efek dari nefropati


diabetes. Pada glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriol
aferen, yang berkontribusi pada hipertensi intraglomerulus, hiperfiltrasi, dan
kerusakan hemodinamis. Respon ginjal terhadap sistem renin angiotensin mungkin
tidak normal pada ginjal pasien diabetes. Oleh karena itu, agen yang menolong
memperbaiki tekanan abnormal intraglomerulus lebih dipilih untuk pengobatan
hipertensi pada pasien diabetes. ACE inhibitors secara spesifik menurunkan
tekanan arteriol eferen, dengan demikian menurunkan tekanan intraglomerulus dan
membantu melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut, seperti terlihat pada efek
menguntungkan ACE inhibitors pada mikroalbuminuria (Evans, 2010).

Hipertensi pada tahap ini meramalkan progresivitas kerusakan ginjal yang


lebih cepat. Kontrol tekanan darah menjadi lebih penting setelah terdapat lesi ginjal
dan kerusakan ginjal berlanjut (Evans, 2010).

12
Merokok

Beberapa bukti nyata menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko


dan progresivitas nefropati diabetes. Pada Appropriate Blood Pressure in Diabetes
Trial, 61% peserta adalah perokok. Analisis dari faktor risiko menunjukkan
peningkatan 1.6 kali lebih tinggi terjadi nefropati diantara perokok (Evans, 2010)

Pasien dengan DM tipe 2 yang merokok mempunyai risiko


mikroalbuminuria lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok,
dan kecepatan progresivitas ke penyakit ginjal terminal lebih cepat dua kali.
Diantara pasien DM tipe 2 terdapat bukti bahwa berkurangnya fungsi ginjal berjalan
lebih lambat pada pasien yang tidak merokok (Ritz, 1999). Dengan berhenti
merokok maka dapat menurunkan risiko progresivitas penyakit ginjal sebesar 30%
(Evans, 2010).

2.2.4 Patofisiologi Nefropati Diabetik

Patofisiologi terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat


diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada
jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan
pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan membran basal
glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo
interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan
tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang
mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor
lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran
dapat melalui 2 jalur:

13
a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan
hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan
asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products).
Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal.
Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur
poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase.
Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang
mengakibatkan gangguan osmolaritas membrane basal (Sunaryanto, 2010).

Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol (Gambar 2.1), yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase
mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species)
menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan
menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase
cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stress
oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol
menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor (Brownlee, 2005).

Gambar 2.1 Mekanisme polyol pathway (Brownlee, 2005)

14
Mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced
Glycation End-Product) yang terlihat pada Gambar 2.2 menyebabkan
kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh
prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular.
Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler
mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan
dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk
rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi
perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag
(Brownlee, 2005).

AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan selular seperti


ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuclear,
juga terjadinya hipertropi sel, sintesis matriks ekstraseluler serta
inhibisisintesis nitric oxide. Akibat kelainan rennin-angiotensin system,
Angiotensin II (AT II) meningkat pada nefropati diabetikum, sehingga
menyebabkan konstriksi arteriol eferen di glomerulus, menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hipertensi, serta menstimulasi
fibrosis dan inflamasi pada glomerulus (Soni, 2009).

Gambar 2.2 Mekanisme AGE pathway (Brownlee, 2005)


15
Keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (selanjutnya
mengaktivasi protein kinase-C utamanya pada isoform-β. Aktivasi PKC
menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya terhadap
endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular
endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor (TGF-β) dan
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H
oxidase (Brownlee, 2005).

Mekanisme hexosamine pathway (Gambar 2.3) menunjukkan terjadinya


perubahan Glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) menjadi
glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate
amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine
(GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc
transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan
threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya terjadi pada tempat
fosforilasi akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1 dan
TGF-β1, AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT (Brownlee, 2005).

Gambar 2.3 Mekanisme Hexosamine Pathway (Brownlee, 2005)

16
b. Alur Hemodinamik: Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada
penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel
endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon
vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan
nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-
hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi sistemik,
meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan
filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang
bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin,
aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada
penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih
banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran
hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama
pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada
awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa
hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi
mempercepat progesivitas ke arah Gagal Ginjal Terminal pada penderita yang
sudah mengalami diabetic kidney disease (Sunaryanto, 2010). Perubahan-
perubahan dini hemodinamik ini memfasilitasi kebocoran albumin dari kapiler
glomerulus dan kelebihan produksi matriks sel mesangial, sebagaimana penebalan
selaput dasar glomerulus dan injury pada podocytes. Sebagai tambahan,
peningkatan ketegangan mekanikal yang dihasilkan dari perubahan-perubahan
hemodinamik ini dapat menginduksi pelepasan lokal cytokines tertentu dan growth
factor (Sunaryanto, 2010). Kedua faktor tersebut menyebabkan terjadi peningkatan
TGF beta yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas
vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraseluler matrik yang
berperan dalam terjadinya nefropati diabetik (Sunaryanto, 2010).

17
2.2.5 Tingkatan Nefropati Diabetik

Sekitar 25%-40% pasien DM akan mengalami nefropati diabetes, yang


berkembang melalui lima tingkatan yang dapat diprediksi (Swierzewski, 2001).

 Tingkat I (nefropati sangat awal) – Peningkatan kebutuhan ginjal yang


ditunjukkan oleh laju filtrasi glomerulus/glomerular filtration rate (GFR) di
atas normal.
 Tingkat II (nefropati yang berkembang) – Laju filtrasi
glomerulus/glomerular filtration rate (GFR) tetap meningkat atau telah
kembali ke normal tetapi kerusakan glomerular telah berlanjut pada
signifikan mikroalbuminuria (sedikit tetapi di atas nilai normal protein
albumin di dalam urin). Pasien di tingkat II mengekskresi lebih dari 30 mg
albumin dalam urin selama periode 24 jam. Signifikan mikroalbuminuria
akan berkembang menjadi penyakit ginjal terminal (end stage renal
disease/ESRD). Oleh karena itu, semua pasien diabetes sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penyaring untuk mikroalbuminuria secara rutin (setiap tahun).
 Tingkat III (overt atau dipstick positif) – Kerusakan glomerulus telah
berlanjut menjadi albuminuria secara klinis. Urin adalah "dipstick positif,"
jika mengandung lebih dari 300 mg albumin dalam periode 24 jam.
Hipertensi secara khas berkembang selama tingkat ke-3.
 Tingkat IV (nefropati tingkat lanjut) – Kerusakan glomerulus berlanjut,
dengan peningkatan jumlah protein albumin dalam urin. Kemampuan
filtrasi ginjal mulai menurun, dan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
mulai meningkat. Laju filtrasi glomerulus menurun sekitar 10% per
tahunnya. Hampir semua pasien mengalami hipertensi pada tingkat 4.
 Tingkat V (end stage renal disease, ESRD) – Laju filtrasi glomerulus telah
menurun menjadi 10 mililiter per menit (<10 mL/min) dan terapi pengganti
18
ginjal (seperti, hemodialisis, dialisis peritoneum, transplantasi ginjal)
diperlukan.

Hiperperfusi glomerulus dan hipertrofi ginjal terjadi pada tahun pertama


setelah onset DM dan menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Selama 5 tahun pertama DM, penebalan membran basalis glomerulus, hipertrofi
glomerulus, dan ekspansi volume mesangial terjadi ketika GFR kembali ke normal.
Setelah 5–10 tahun DM tipe 1, 40% individu mulai mengekskresikan sejumlah kecil
albumin dalam urin. Adanya mikroalbuminuria pada DM adalah petunjuk penting
untuk mencegah progresivitas ke overt nephropaty. Tekanan darah dapat meningkat
sedikit pada tahap ini tetapi biasanya masih dalam batas normal. Ketika telah terjadi
overt nephropaty, terjadi penurunan GFR secara terus-menerus, dan 50% individu
mencapai penyakit ginjal terminal/ESDR dalam waktu 7–10 tahun. Perubahan
patologi awal dan kelainan ekskresi albumin masih reversible dengan menormalkan
kadar glukosa serum. Akan tetapi, ketika overt nefropati telah terjadi, perubahan
patologi menjadi irreversibel (Fauci, 2008).

Nefropati yang terjadi pada DM tipe 2 memiliki karakteristik seperti


berikut: (1) mikroalbuminuria atau nefropati yang jelas (overt nephropathy) dapat
sudah ada pada saat DM tipe 2 di diagnosis, menunjukkan periode asimptomatik
yang panjang; (2) hipertensi sering menyertai mikroalbuminuria atau overt
nephropathy pada DM tipe 2 (Fauci, 2008).

2.2.6 Strategi Pencegahan Nefropati Diabetik

Kemajuan yang signifikan telah dibuat dalam beberapa tahun belakangan


ini mengenai pemahaman tentang patofisiologi, pencegahan, dan pengobatan
nefropati diabetik. Median angka kelangsungan hidup setelah onset nefropati
muncul telah meningkat dari 6 menjadi 15 tahun. Keuntungan terjadi tidak hanya

19
pada pasien usia muda dengan angka harapan hidup lebih besar tetapi juga pada
pasien lanjut usia (Evans, 2010).

Baik kontrol gula darah maupun kontrol tekanan darah secara ketat
mempunyai efek signifikan terhadap pencegahan dan progresivitas nefropati
diabetes. Penelitian pada pasien DM tipe 1 dan 2 menunjukkan bahwa penggunaan
ACE inhibitor menurunkan ekskresi albumin dan dapat menunda atau bahkan
mencegah overt nefropati. Bila sudah terjadi overt nefropati, progresivitas tidak
dapat dihentikan, hanya dapat diperlambat. Adalah lebih efektif untuk menyaring
adanya nefropati dini dengan tes yang sensitif untuk mikroalbuminuria dan
menghentikan kerusakan pada tingkat awal dengan kontrol ketat gula darah dan
tekanan darah (Fauci, 2008).

Target tambahan intervensi yang potensial antara lain merokok,


hiperlipidemia, AGEs, jalur polyol, dan zat dan jalur vasoaktif sistemik dan
intrarenal (Fauci, 2008).

Kontrol gula darah

Kontrol ketat gula darah pada beberapa penelitian telah menunjukkan


penurunan risiko penyakit mikrovaskular baik pada pasien DM tipe 1 maupun tipe
2. Pada DCCT, kontrol gula darah intensif pada pasien DM tipe 2 menurunkan
insidens mikroalbuminuria sebesar 39% pada kelompok pencegahan primer dan
menurunkan progresivitas dari mikroalbuminuria ke makroalbuminuria sebesar
54% pada kelompok pencegahan sekunder. Pada United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) terdapat penurunan risiko mikroalbuminuria sebesar 34%
pada pasien DM tipe 2 yang diterapi lebih intensif untuk kontrol gula darah
(UKPDS, 1993).

Pada DCCT keuntungan pada pasien DM tipe 1 dapat dicapai dengan rata-
rata penurunan HbA1c sebesar 20% (9.0 > 7.1%). Pada UKPDS, keuntungan
20
terlihat dengan penurunan HbA1c sebesar 11% (7.9 >7.0%). Ini memberi kesan
bahwa terdapat keuntungan yang dapat dicapai dengan penurunan hiperglikemia
pada setiap tingkatan. Lebih jauh lagi, ini memberi kesan bahwa keuntungan ini
dapat dicapai baik pada pasien DM tipe 1 maupun tipe 2 (UKPDS, 1998).

Dalam sebuah penelitian secara acak yang dilakukan di Jepang, kontrol


intensif pasien DM tipe 2 dengan tiga atau lebih suntikan insulin per hari
menghasilkan penurunan timbulnya nefropati baru dan progresivitas nefropati
selama periode enam tahun dibandingkan terapi konvensional dengan satu atau dua
suntikan insulin per hari (7.7% vs 2.8%) (Remuzzi, 2012).

Secara umum, target untuk kontrol gula darah adalah nilai gula darah
sedekat mungkin dengan nilai normal gula darah, tanpa menimbulkan hipoglikemia
atau efek samping lain yang berbahaya. Target spesifik yang diuraikan oleh
American Diabetes Association (ADA) untuk kontrol gula darah optimal antara lain
glukosa darah puasa antara 70-130 mg/dl, glukosa puasa sewaktu antara <180
mg/dl, dan HbA1c <7% (ADA, 2011).

Kontrol tekanan darah

Tiga puluh persen pasien DM tipe 2 memiliki hipertensi pada saat diagnosis
diabetes, ketika nefropati telah terjadi hampir 70% memiliki tekanan darah tinggi.
Tekanan darah tinggi mempercepat peningkatan nilai albumin pada pasien DM tipe
2 yang awalnya memilki nilai albumin normal dan mempercepat menurunnya
fungsi ginjal pada mereka dengan overt nefropati. Kedua hal ini dapat dicegah atau
dikurangi dengan terapi anti hipertensi (Bethesda, 2008)

Obat yang menghambat sistem reninangiotensin tampaknya sangat efektif


dalam menurunkan risiko berkembangnya progresivitas overt nefropati. Penelitian
Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) menunjukkan bahwa pada tekanan
darah yang sama, ACE inhibitor menghasilkan penurunan 24% lebih besar laju
21
progresivitas ke overt nefropati dibandingkan dengan placebo pada pasien diabetes
tipe II dan normoalbuminuria atau mikroalbuminuria (HOPE, 2000). Pada
penelitian Irbesartan in Patients with Type II Diabetes and Microalbuminuria,
pengobatan dengan Irbesartan dosis 300 mg per hari menurunkan ekskresi albumin
urin sebesar 38% dari garis dasar, dan setelah periode tiga tahun menurunkan risiko
progresivitas ke makroalbuminuria sebesar 70% dibandingkan dengan plasebo
(Parving, 2001).

Ukuran tekanan darah yang ideal untuk penderita nefropati diabetik belum
jelas, tetapi berdasarkan penelitian UKPDS dan Hypertension Optimal Treatment,
target tekanan darah yang baik adalah 130/80 mmHg atau kurang, atau sama seperti
orang sehat (Hansson et al, 1998). The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure dan National Kidney
Foundation ikut merekomendasikan target ini (K/DOQI, 2004). Terdapat banyak
bukti yang menunjukkan bahwa ACE inhibitor memperlambat progresivitas
nefropati diabetes pada pasien DM tipe 1, dan juga terdapat beberapa bukti yang
menunjukkan perlambatan juga terjadi pada pasien DM tipe 2. The Reduction of
Endpoints in NIDDM with the Angiotensin II Antagonist Losartan (RENAAL) dan
Irbesartan Diabetic Nephropathy Trial menunjukkan hasil bahwa ARBs
memperlambat progresivitas nefropati diabetes secara signifikan pada pasien DM
tipe 2 (Brenner, 2001).

Karena ACE inhibitor dan ARBs telah menunjukkan penurunan atau


perlambatan progresivitas komplikasi pada diabetes, tampaknya masuk akal untuk
menggunakan salah satu diantara dua kelas anti hipertensi ini sebagai lini pertama
agen anti hipertensi pada pasien diabetes tanpa mikroalbuminuria (Throp, 2005).

22
Restriksi protein dalam diet

Diet tinggi protein mempunyai efek hemodinamik ke ginjal, termasuk


peningkatan laju filtrasi glomerulus, hiperfiltrasi dan peningkatan tekanan
intraglomerulus. Efek ini mungkin diperjelas dengan kontrol gula darah yang juga
buruk. Diet normal pada sebagian besar masyarakat industri mengandung lebih
banyak protein dibandingkan yang dibutuhkan untuk keseimbangan nutrisi, dan
protein dalam makanan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada pasien
DM tipe I dan II. Pada penelitian prospektif 5 tahun pasien DM tipe 1, mereka yang
protein dan fosfat dalam makanannya dibatasi menunjukkan penurunan GFR hanya
0.26 ml/menit/bulan dibandingkan 1.01 ml/menit/bulan pada mereka yang dietnya
tidak dibatasi (Evans, 2010).

Rekomendasi sekarang adalah protein dalam makanan sesuai


Recommended Dietary Allowance sebanyak 0.8 g/kg BB/hari, dihitung sebesar
10% dari total kalori. Pada beberapa pasien dengan penurunan GFR, mungkin
berguna untuk menurunkan konsumsi protein sebanyak 0.6g/kg BB/hari sesuai
dengan anjuran ahli gizi (Remuzzi, 2012).

Pengobatan dislipidemia

Dislipidemia sering menyertai pasien DM terutama pada mereka dengan


overt nefropati. Metaanalisis 13 uji coba klinis (termasuk total 362 subjek, 253
memiliki diabetes) menunjukkan bahwa statin menurunkan kemungkinan
terjadinya proteinuria dan menjaga laju filtrasi glomerulus pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis, suatu efek yang tidak semuanya dapat dijelaskan dengan
penurunan kolesterol dalam darah (Remuzzi, 2012).

23
Penghentian merokok

Merokok, selain meningkatkan risiko kardiovaskular, adalah faktor risiko


tersendiri untuk perkembangan nefropati pada pasien DM tipe 2 dan dihubungkan
dengan percepatan hilangnya fungsi ginjal. Dengan berhenti merokok dapat
menurunkan risiko progresivitas penyakit sebesar 30% (Remuzzi, 2012).

2.3 Deteksi Komplikasi Gangguan Ginjal Pada Penderita DM tipe 2

Sudah disepakati secara jelas dari waktu ke waktu ketika overt nephropathy
telah berkembang, pengobatan yang dapat dilakukan hanya menunda terjadinya
penyakit ginjal terminal. Sebagai konsekuensi, prioritas yang tinggi dalam
perawatan pasien DM adalah pencegahan dengan cara screening (pemeriksaan
penyaring) untuk tanda awal penyakit mikrovaskular sehingga pengukuran tersebut
dapat digunakan untuk mencegah progresivitas ke arah komplikasi (Evans, 2010).
Pemeriksaan screening mikroalbuminuria merupakan gold standard saat ini
(Moresco, 2013). Oleh karena alasan ini, screening terhadap mikroalbuminuria
seharusnya menjadi bagian rutin dari perawatan pasien diabetes (Evans, 2010).

Di antara perubahan paling awal yang ditunjukkan pada nefropati diabetik


adalah hiperperfusi. Hal ini disertai oleh mikroalbuminuria, yang berperan sebagai
indikator awal yang sensitif bagi efek merugikan diabetes terhadap ginjal dan
prediktor yang kuat akan kejadian berikutnya (Evans, 2010).

Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi lebih dari 30 mg albumin


per hari dalam urin. Urinalisis dipstick standar tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi jumlah albumin yang sedikit ini, sehingga tes yang lebih sensitif harus
dilakukan untuk screening yang efektif. Jika protein terdeteksi oleh urinalisis
dipstick standar, makroalbuminuria (>300 mg albumin per hari dalam urin)

24
mungkin telah ada. Pada pemeriksaan mikroalbuminuria, digunakan PEG enhanced
immunoturbidimetri. Pada pasien DM tipe 1, screening setiap tahun sebaiknya
dimulai setelah pubertas dan 5 tahun setelah diagnosis awal. Pada pasien DM tipe
2, karena kecenderungan diabetes telah ada selama beberapa tahun pada saat di
diagnosis, screening mikroalbuminuria setiap tahun sebaiknya dimulai pada saat
dilakukan diagnosis (Hasslacher, 2004).

Diagnosa nefropati diabetik ditegakkan bila didapatkan konsentrasi albumin


≥ 30 mg di dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu
3-6 bulan. Meskipun screening mikroalbuminuria penting, hal ini belum menjadi
kebiasaan rutin. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap perbedaan
antara mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Pada suatu penelitian terhadap
lebih dari 1000 dokter, 86% melakukan screening lebih dari setengah pasien DM
tipe 1 mereka dan 82% melakukan pemeriksaan penyaring lebih dari setengah
pasien DM tipe 2 mereka untuk overt makroalbuminuria sebagian besar dengan
teknik dipstick. Bagaimanapun, hanya 17% yang melakukan screening pasien DM
tipe 1 dan 12% pada pasien DM tipe 2 untuk mikroalbuminuria (Evans, 2010).

Beberapa metode tersedia untuk screening dan memberikan hasil yang


sebanding. Standar emas adalah pengumpulan urin 24 jam (ekskresi normal
albumin <30 mg per 24 jam), yang mana, jika disertai dengan kreatinin serum dan
urin, akan dapat dihitung laju klirens kreatinin/creatinine clearance rate dan
berperan sebagai referensi untuk perbandingan di masa yang akan datang. Terdapat
pula pemeriksaan yang lebih nyaman untuk pasien, yaitu rasio albumin/ kreatinin
pada urin sewaktu (normal kurang 30 mg albumin per gram kreatinin) atau laju
ekskresi albumin pada contoh urin waktu tertentu (4 jam atau satu malam, normal
kurang 20 mg albumin) (Throp, 2005).

Para klinisi sebaiknya mengingat bahwa terdapat variasi diurnal pada


ekskresi protein dalam urin, dengan kebocoran protein glomerulus lebih sedikit
25
pada malam hari dan saat berbaring. Terdapat pula variasi dari hari ke hari, sehingga
pengumpulan urin tiga kali sebaiknya dilakukan selama kurun waktu 6 bulan
dengan disebut mikroalbuminuria jika kenaikan terdapat pada dua daripada tiga
pengukuran. (Throp, 2005).

Namun baru-baru ini banyak penelitian mengenai substansi lain yang


diharapkan bermanfaat selain pemeriksaan mikroalbuminuria, yang diharapkan
mampu menjadi biomarker selain pemeriksaan mikroalbuminuria ( Matheson,
2010). Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mencari substansi lain
yang dapat digunakan sebagai biomarker dalam mendeteksi komplikasi gangguan
ginjal pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Diantaranya adalah penelitian di India
yang melaporkan bahwa substansi neutrophil gelatinase associated lipocalin
(NGAL), γ-Glutamyltransferase dan cystatin-2 pada urin ditemukan meningkat
pada penderita diabetes mellitus yang sudah menderita nefropati diabetik. Namun,
pemeriksaan ini masih sulit untuk diaplikasikan secara luas karena keterbatasan alat
dan bahan (Vijay et al, 2010). Dengan demikian pemeriksaan mikroalbuminuria
masih dianggap gold standard sebagai pemeriksaan screening terhadap penyakit
gangguan ginjal yang disebabkan oleh diabetes mellitus (Moresco, 2013).

26
BAB 3

KESIMPULAN

Salah satu penyebab tersering gagal ginjal merupakan Nefropati diabetik.


Sementara itu insidens pada DM tipe II tampaknya semakin meningkat seiring
waktu. Nefropati diabetik akan berkembang melalui lima tingkatan, dan pada
tingkat paling awal hanya ditunjukkan dengan peningkatan laju filtrasi glomerulus,
oleh karena itu sering para klinisi tidak menyadari bahwa telah terjadi nefropati.
Pada saat telah terjadi overt nefropati, kita hanya dapat memperlambat terjadinya
penyakit ginjal terminal, tetapi kita tidak dapat menghentikan proses ini. Sangat
penting untuk diperhatikan bahwa tindakan pencegahan harus dilakukan sebelum
mencapai tingkat overt nefropati tersebut, di mana perubahannya masih bersifat
reversible.

Pemeriksaan penyaring untuk mengetahui adanya nefropati pada tingkat


awal merupakan hal yang penting, yaitu pemeriksaan kadar mikroalbuminuria yang
merupakan gold standard saat ini. Pemeriksaan penyaring sebaiknya dilakukan
dengan interval rutin dengan menggunakan tes yang sensitif untuk mengetahui
adanya mikroalbuminuria. Meskipun telah dilakukan penelitian terhadap substansi
lain yang dapat menjadi biomarker munculnya nefropati diabetik, terbatasnya
persediaan alat dan bahan di fasilitas kesehatan menjadikan pemeriksaan kadar
mikroalbuminuria sebagai pilihan terbaik saat ini.

27
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). (2011). Standarts of Medical Care in


Diabetes 2011. Journal Diabetes Care, 34:511-561.

American Diabetes Association (ADA). (2014). Diagnosis and Clasification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care. Jan: 42 (suppl 1): S62-S69, doi:
10.2337/dc11-S062, PMCID: PMC3006051.

Bethesda. Kidney Disease of Diabetes. 2008. Available at URL: http://kidney.


niddk.nih.gov/kudiseases/ pubs/kdd/index.htm

Brenner BM, Cooper ME, de Zeeuw D, et al. Effects of Losartan on renal and
cardiovascular outcomes in patients with type 2 Diabetes and nephropathy.
N Engl J Med 2001;345:861-9.

Brownlee, M. (2005). The Patobiology of Diabetic Complication A Unifying


Mechanism. Diabetes Journal. 54(6): 1615-1625.

Cohen L, Friedman E, Narva A, et al. Diabetic Kidney Disease (serial online) 2009.
Availabale at URL: http:/ /www.
diabeteseducator.org/export/sites/aade/_resources/pdf/Diabetic_Kidney_D
isease_2009.pdf

De Sensi, F., De Potter, T., Cresti, A., Severi, S. and Breithardt, G. (2015). Atrial
fibrillation in patients with diabetes: molecular mechanism and therapeutic
pespectives. Cardiovasc Diagn Ther, 5(5), pp.364-373.

Depkes. 2008. Metode Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Diabetes


Melitus. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

28
Evans T, Capell P. Diabetic Nephro-pathy. Clinical Diabetes Vol 18 No. 1. 2010.
Available at URL: http:// journal. diabetes.org/clinicaldiabetes/v18n12010/
Pg7.htm

Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL et al. Harrison's Principle of Internal Medicine


17th edition. United States: Mc Graw-Hill Companies, Inc, 2008.

Hansson L, Zanchetti A, Carruther, Dahlof B, Elmfeldt D, Julius S, et al. Effects of


intensive blood pressure lowering and low-dose aspirin in patients with
hypertension: principal results of the Hypertension Optimal Treatment
(HOT) randomised trial. Lancet 1998;351:1755-62.

Hasslacher C, Bohm S. Diabetic and the Kidney. England: John Wiley and Sons,
Ltd, 2004.

Heart outcomes prevention evaluation study investigators. Effects of Ramipril on


cardiovascular and microvascular outcomes in people with diabetes
mellitus: results of the HOPE study and MICRO-HOPE substudy. Lancet
2000; 355:253-9. Available at URL: http://ww
w.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10675071

King, P., Peacock, I. and Donnelly, R. (2001). The UK Prospective Diabetes Study
(UKPDS): clinical and therapeutic implications for type 2 diabetes. British
Journal of Clinical Pharmacology, 48(5), pp.643-648.

Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI). K/DOQI clinical practice


guidelines on hypertension and antihypertensive agents in chronic kidney
disease. Am J Kidney Dis 2004;43 (5 suppl 1):S1-290.

Matheson A, Willcox MD, Flanagan J, Walsh BJ. Urinary biomarkers involved in


type 2 diabetes: a review. Diabetes Metab Res Rev 2010;26:150–71.

29
Molitch ME, DeFronzo RA, Franz MJ, et al. Nephropathy in diabetes. Diabetes
Care 2004;27(Suppl. 1):S79–83.

Parving H-H, Lehnert H, Bröchner-Mor-tensen J, Gomis R, Andersen S, Arner P.


The effect of Irbesartan on the develop-ment of diabetic nephropathy in
patients with type 2 diabetes. N Engl J Med 2001;345:870-8

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). (2011). Konsensus


pengendalian Dan pencegahan diabetes mellitus Tipe2 di Indonesia.
Jakarta: PB Perkeni.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). (2015). Konsensus


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015.
Jakarta: PB Perkeni.

Price, A. S., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi. edisi 6. Jakarta: EGC

Remuzzi G, Schieppati A, Ruggenenti P. Nephropathy in patients with type 2


Diabetes. New Engl J Med 346:1145-51,2012. Available at URL:
http://conte nt.nejm.org/cgi/content/short/346/15/1145

Ritz E, Orth SR. Nephropathy in pati-ents with type 2 Diabetes. New Engl J Med
341:1127-33,1999. Available at URL: http://content.nejm.org/cgi/conten
t/short/ 341/15/1127

Smeltzer, S., & Bare. (2008). Brunner & Suddarth’s Textbook of medical surgical
Nursing. Philadelpia: Lippincott.

Soewondo, P. (2006). Ketoasidosis diabetik.In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.


Alwi, M. S. K & S. Setiati (Eds.), Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III
edisi IV Jakarta: Penerbit FK UI

30
Soman S, Soman A, Rao TKS. Diabetic Nephropathy. 2006 August 23. Availa-ble
at URL: http:// emedicine.medscape. com/article/238946-overview.

Soni, A. (2009). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Resiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal. Naskah Publikasi. Semarang. Hal. 1-6. (Online).
(http://eprints.undip.ac.id/Soni_Arsono.pdf, diakses 28 Mei 2012).

Subekti, I. (2009). Neuropati Diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi,

Sunaryanto, A. (2010). Penatalaksanaan Penderita dengan Diabetik Nefropathy.


Tinjauan Kasus. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
(Online). http://andikunud.files.wordpress.com/.../diabetik nefropathy.pdf,
diakses 15 Oktober 2012).
Swierzewski SJ. Diabetic Nephropathy Overview. 2001 May 01. Available at URL:
http://www.nephrology channel.com/diabeticnephropathy/index.shtml
Throp ML. Diabetic Nephropathy: Common Questions. Am Fam Physician
2005;72:96-99,100. Available at URL:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html.

UK Prospective Diabetes Study Group: Intensive blood-glucose control with


sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk
of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet
352:837-53, 1998.

Vijay S, Hamide A, Senthilkumar GP, Mehalingam V, Utility of urinary biomarkers


as a diagnostic tool for early diabetic nephropathy in patients with type 2
diabetes mellitus, Diabetes and Metabolic Syndrome: Clinical Research
and Reviews (2010), https://doi.org/10.1016/j.dsx.2018.04.017

WHO. (2014). Prevention of Blindness from Diabetes Mellitus: Report of a WHO


consultation in Geneva, Switzerlan 9-11 November 2005. Jenewa: WHO.

WHO. (2016). Global report on diabetes. France: World Health Organization.


Diperoleh tanggal 10 Januari 2018 dari http://apps.who.int/iris/bitstream/
31
Widiastuti. A., Nurachmah, E., & Besral. (2012). Efektifitas Edukasi Terstruktur

Wilson, P., D’Agostino, R., Levy, D., Belanger, A., Silbershatz, H. and Kannel, W.
(1998). Prediction of Coronary Heart Disease Using Risk Factor Categories.
Circulation, 97(18), pp.1837-1847.

Wu, L., & Parhofer, K. G. (2014). Diabetic dyslipidemia. Metabolism, 63(12),


1469–1479.doi:10.1016/j.metabol.2014.08.010

Yuyun. (2008). Nefropati Diabetik. Laporan Penelitian. Surakarta: Fakultas


Kedokteran UNS. (Online).
(http://yuyunrindi.files.wordpress.com/2008/ 05/Nefropati-Diabetik.pdf,
diakses 15 Mei 2011.

32

Anda mungkin juga menyukai