OLEH:
M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK
140100011
PEMBIMBING:
Dr. dr. Rina Amelia, MARS
OLEH:
M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK
140100011
PEMBIMBING:
Dr. dr. Rina Amelia, MARS
OLEH:
M. ICHSAN AULIA SIMANJUNTAK
140100011
NIP: 197604202003012002
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai Deteksi
Komplikasi Gangguan Ginjal Pada Penderita Diabetes Mellitus tipe II . Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Rina Amelia, MARS atas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini,
pengetahuan dan pemahaman kita mengenai deteksi komplikasi gangguan ginjal
pada penderita diabetes mellitus tipe 2 semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik
secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini
dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kesehatan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 28
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR SINGKATAN
DM : Diabetes Mellitus
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
tentang deteksi komplikasi gangguan ginjal pada penderita diabetes mellitus tipe II,
serta untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umumnya agar dapat menambah wawasan tentang deteksi komplikasi gangguan
ginjal pada penderita diabetes mellitus tipe II.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Klasifikasi
a. Diabetes Tipe 1
3
b. Diabetes Tipe 2
c. Diabetes Gestational
4
2.1.3 Manifestasi Klinis DM
• Poliuria
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula
dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan
berusaha untuk mengeluarkannya melaluiurin. Gejala pengeluaran urin ini lebih
sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa
(PERKENI, 2011).
• Polidipsia
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa
oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti,
2009).
• Polifagia
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena
glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup
tinggi (PERKENI, 2011).
Terdapat beberapa gejala lain yang dapat ditemukan pada pasien diabetes
mellitus, meskipun tidak terlalu spesifik. Beberapa diantaranya adalah lemah
5
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva
pada wanita (PERKENI, 2015).
2.1.4 Diagnosis DM
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam. Atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik. Atau
6
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
2.1.5 Komplikasi DM
a. Hipoglikemia
b. Ketoasidosis diabetik
7
c. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)
Penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penyandang DM. Gejala
tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas
dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga
tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang
dapat ditemukan pada penderita (PERKENI, 2015)
Penyakit serebrovaskuler
9
2.2 Nefropati Diabetik
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Etiologi
Hiperglikemia
Kontrol metabolik yang buruk adalah salah satu etiologi yang penting bagi
terjadinya nefropati diabetik. Resiko terjadinya komplikasi mikrovaskular
(termasuk nefropati) pada pasien DM tipe 1 dan 2 didapati menurun jika HbA1c
<7% (ADA, 2011). Derajat toksisitas glukosa itu sendiri secara langsung terhadap
lesi ginjal masih diperdebatkan (Soman, 2006). Glukosa dianggap sebagai marker
yang bermanfaat dan secara klinis relevan terhadap kelainan metabolik yang
mengarah kepada nefropati, seperti ditunjukkan pada The Diabetes Control and
Complications Trial Research Group (DCCT) dan penelitian lain di mana terjadi
penurunan nefropati dengan menurunkan kadar glukosa serum (Evans, 2010).
11
Kelainan metabolik yang berhubungan dengan hiperglikemia yang ikut
berperan terhadap perkembangan nefropati antara lain advanced glycosylation end
products (AGEs) dan polyols. AGEs adalah hasil dari perlekatan kovalen
nonenzimatik glukosa dan protein. Kadar AGEs di jaringan dan sirkulasi telah
ditunjukkan berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Pasien
diabetes dengan penyakit ginjal terminal mempunyai kadar AGEs jaringan dua kali
lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa penyakit ginjal. AGEs sirkulasi meningkat
pada pasien dengan diabetes dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan kadarnya
berhubungan langsung dengan kreatinin. Perubahan melalui jalur polyol berawal
dari konversi glukosa menjadi sorbitol oleh aldose reduktase, yang dipercepat
dalam kondisi hiperglikemia. Peningkatan sorbitol di jaringan telah diketahui
berperan terhadap komplikasi mikrovaskular diabetes (Evans, 2010).
Hipertensi
12
Merokok
13
a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan
hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan
asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products).
Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal.
Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur
poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase.
Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang
mengakibatkan gangguan osmolaritas membrane basal (Sunaryanto, 2010).
Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol (Gambar 2.1), yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase
mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species)
menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan
menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase
cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stress
oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol
menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor (Brownlee, 2005).
14
Mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced
Glycation End-Product) yang terlihat pada Gambar 2.2 menyebabkan
kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh
prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular.
Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler
mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan
dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk
rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi
perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag
(Brownlee, 2005).
16
b. Alur Hemodinamik: Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada
penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel
endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon
vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan
nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-
hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi sistemik,
meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan
filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang
bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin,
aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada
penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih
banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran
hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama
pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada
awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa
hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi
mempercepat progesivitas ke arah Gagal Ginjal Terminal pada penderita yang
sudah mengalami diabetic kidney disease (Sunaryanto, 2010). Perubahan-
perubahan dini hemodinamik ini memfasilitasi kebocoran albumin dari kapiler
glomerulus dan kelebihan produksi matriks sel mesangial, sebagaimana penebalan
selaput dasar glomerulus dan injury pada podocytes. Sebagai tambahan,
peningkatan ketegangan mekanikal yang dihasilkan dari perubahan-perubahan
hemodinamik ini dapat menginduksi pelepasan lokal cytokines tertentu dan growth
factor (Sunaryanto, 2010). Kedua faktor tersebut menyebabkan terjadi peningkatan
TGF beta yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas
vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraseluler matrik yang
berperan dalam terjadinya nefropati diabetik (Sunaryanto, 2010).
17
2.2.5 Tingkatan Nefropati Diabetik
19
pada pasien usia muda dengan angka harapan hidup lebih besar tetapi juga pada
pasien lanjut usia (Evans, 2010).
Baik kontrol gula darah maupun kontrol tekanan darah secara ketat
mempunyai efek signifikan terhadap pencegahan dan progresivitas nefropati
diabetes. Penelitian pada pasien DM tipe 1 dan 2 menunjukkan bahwa penggunaan
ACE inhibitor menurunkan ekskresi albumin dan dapat menunda atau bahkan
mencegah overt nefropati. Bila sudah terjadi overt nefropati, progresivitas tidak
dapat dihentikan, hanya dapat diperlambat. Adalah lebih efektif untuk menyaring
adanya nefropati dini dengan tes yang sensitif untuk mikroalbuminuria dan
menghentikan kerusakan pada tingkat awal dengan kontrol ketat gula darah dan
tekanan darah (Fauci, 2008).
Pada DCCT keuntungan pada pasien DM tipe 1 dapat dicapai dengan rata-
rata penurunan HbA1c sebesar 20% (9.0 > 7.1%). Pada UKPDS, keuntungan
20
terlihat dengan penurunan HbA1c sebesar 11% (7.9 >7.0%). Ini memberi kesan
bahwa terdapat keuntungan yang dapat dicapai dengan penurunan hiperglikemia
pada setiap tingkatan. Lebih jauh lagi, ini memberi kesan bahwa keuntungan ini
dapat dicapai baik pada pasien DM tipe 1 maupun tipe 2 (UKPDS, 1998).
Secara umum, target untuk kontrol gula darah adalah nilai gula darah
sedekat mungkin dengan nilai normal gula darah, tanpa menimbulkan hipoglikemia
atau efek samping lain yang berbahaya. Target spesifik yang diuraikan oleh
American Diabetes Association (ADA) untuk kontrol gula darah optimal antara lain
glukosa darah puasa antara 70-130 mg/dl, glukosa puasa sewaktu antara <180
mg/dl, dan HbA1c <7% (ADA, 2011).
Tiga puluh persen pasien DM tipe 2 memiliki hipertensi pada saat diagnosis
diabetes, ketika nefropati telah terjadi hampir 70% memiliki tekanan darah tinggi.
Tekanan darah tinggi mempercepat peningkatan nilai albumin pada pasien DM tipe
2 yang awalnya memilki nilai albumin normal dan mempercepat menurunnya
fungsi ginjal pada mereka dengan overt nefropati. Kedua hal ini dapat dicegah atau
dikurangi dengan terapi anti hipertensi (Bethesda, 2008)
Ukuran tekanan darah yang ideal untuk penderita nefropati diabetik belum
jelas, tetapi berdasarkan penelitian UKPDS dan Hypertension Optimal Treatment,
target tekanan darah yang baik adalah 130/80 mmHg atau kurang, atau sama seperti
orang sehat (Hansson et al, 1998). The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure dan National Kidney
Foundation ikut merekomendasikan target ini (K/DOQI, 2004). Terdapat banyak
bukti yang menunjukkan bahwa ACE inhibitor memperlambat progresivitas
nefropati diabetes pada pasien DM tipe 1, dan juga terdapat beberapa bukti yang
menunjukkan perlambatan juga terjadi pada pasien DM tipe 2. The Reduction of
Endpoints in NIDDM with the Angiotensin II Antagonist Losartan (RENAAL) dan
Irbesartan Diabetic Nephropathy Trial menunjukkan hasil bahwa ARBs
memperlambat progresivitas nefropati diabetes secara signifikan pada pasien DM
tipe 2 (Brenner, 2001).
22
Restriksi protein dalam diet
Pengobatan dislipidemia
23
Penghentian merokok
Sudah disepakati secara jelas dari waktu ke waktu ketika overt nephropathy
telah berkembang, pengobatan yang dapat dilakukan hanya menunda terjadinya
penyakit ginjal terminal. Sebagai konsekuensi, prioritas yang tinggi dalam
perawatan pasien DM adalah pencegahan dengan cara screening (pemeriksaan
penyaring) untuk tanda awal penyakit mikrovaskular sehingga pengukuran tersebut
dapat digunakan untuk mencegah progresivitas ke arah komplikasi (Evans, 2010).
Pemeriksaan screening mikroalbuminuria merupakan gold standard saat ini
(Moresco, 2013). Oleh karena alasan ini, screening terhadap mikroalbuminuria
seharusnya menjadi bagian rutin dari perawatan pasien diabetes (Evans, 2010).
24
mungkin telah ada. Pada pemeriksaan mikroalbuminuria, digunakan PEG enhanced
immunoturbidimetri. Pada pasien DM tipe 1, screening setiap tahun sebaiknya
dimulai setelah pubertas dan 5 tahun setelah diagnosis awal. Pada pasien DM tipe
2, karena kecenderungan diabetes telah ada selama beberapa tahun pada saat di
diagnosis, screening mikroalbuminuria setiap tahun sebaiknya dimulai pada saat
dilakukan diagnosis (Hasslacher, 2004).
26
BAB 3
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
Brenner BM, Cooper ME, de Zeeuw D, et al. Effects of Losartan on renal and
cardiovascular outcomes in patients with type 2 Diabetes and nephropathy.
N Engl J Med 2001;345:861-9.
Cohen L, Friedman E, Narva A, et al. Diabetic Kidney Disease (serial online) 2009.
Availabale at URL: http:/ /www.
diabeteseducator.org/export/sites/aade/_resources/pdf/Diabetic_Kidney_D
isease_2009.pdf
De Sensi, F., De Potter, T., Cresti, A., Severi, S. and Breithardt, G. (2015). Atrial
fibrillation in patients with diabetes: molecular mechanism and therapeutic
pespectives. Cardiovasc Diagn Ther, 5(5), pp.364-373.
28
Evans T, Capell P. Diabetic Nephro-pathy. Clinical Diabetes Vol 18 No. 1. 2010.
Available at URL: http:// journal. diabetes.org/clinicaldiabetes/v18n12010/
Pg7.htm
Hasslacher C, Bohm S. Diabetic and the Kidney. England: John Wiley and Sons,
Ltd, 2004.
King, P., Peacock, I. and Donnelly, R. (2001). The UK Prospective Diabetes Study
(UKPDS): clinical and therapeutic implications for type 2 diabetes. British
Journal of Clinical Pharmacology, 48(5), pp.643-648.
29
Molitch ME, DeFronzo RA, Franz MJ, et al. Nephropathy in diabetes. Diabetes
Care 2004;27(Suppl. 1):S79–83.
Ritz E, Orth SR. Nephropathy in pati-ents with type 2 Diabetes. New Engl J Med
341:1127-33,1999. Available at URL: http://content.nejm.org/cgi/conten
t/short/ 341/15/1127
Smeltzer, S., & Bare. (2008). Brunner & Suddarth’s Textbook of medical surgical
Nursing. Philadelpia: Lippincott.
30
Soman S, Soman A, Rao TKS. Diabetic Nephropathy. 2006 August 23. Availa-ble
at URL: http:// emedicine.medscape. com/article/238946-overview.
Soni, A. (2009). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Resiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal. Naskah Publikasi. Semarang. Hal. 1-6. (Online).
(http://eprints.undip.ac.id/Soni_Arsono.pdf, diakses 28 Mei 2012).
Wilson, P., D’Agostino, R., Levy, D., Belanger, A., Silbershatz, H. and Kannel, W.
(1998). Prediction of Coronary Heart Disease Using Risk Factor Categories.
Circulation, 97(18), pp.1837-1847.
32