Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DETEKSI KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR


BERDASARKAN GAMBARAN EKG PADA PASIEN
DIABETES MELLITUS TIPE 2

OLEH
REINA ROMAULI TARIHORAN
140100015

PEMBIMBING
Dr. dr. Rina Amelia, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
DETEKSI KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
BERDASARKAN GAMBARAN EKG PADA PASIEN
DIABETES MELLITUS TIPE 2

OLEH
REINA ROMAULI TARIHORAN
140100015

PEMBIMBING
Dr. dr. Rina Amelia, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ALUR DOKTER KLINIS DI INDONESIA

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan

dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.”

OLEH
Reina Romauli Tarihoran
140100015

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : DETEKSI KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR


BERDASARKAN GAMBARAN EKG PADA PASIEN DIABETES
MELLITUS TIPE 2
Nama : REINA ROMAULI TARIHORAN
NIM : 140100015

Medan, 15 Februari 2019

Pembimbing

Dr. dr. Rina Amelia, MARS


NIP: 197604202003012002
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Deteksi Komplikasi Kardiovaskular Berdasarkan
Gambaran EKG pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2”. Tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk melengkapi persyaratan Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr.
dr. Rina Amelia, MARS atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral
maupun spiritual, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 15 Februari 2019


Penulis

Reina Romauli Tarihoran


DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ......................................................................................... i


Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii

BAB 1 Pendahuluan ......................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Tujuan Makalah .......................................................................... 2
1.3. Manfaat Makalah ........................................................................ 2
BAB 2 Tinjauan Pustaka .................................................................................. 3
2.1. Diabetes Melitus ......................................................................... 3
2.1.1 Definisi ............................................................................... 3
2.1.2 Klasifikasi ........................................................................... 3
2.1.3 Faktor Resiko ...................................................................... 4
2.1.4 Patogenesis ......................................................................... 5
2.1.5 Diagnosis ............................................................................ 9
2.2. Mekanisme dalam Komplikasi Kardiovaskular .......................... 11
2.3. Pemeriksaan Elektrokardigram ................................................... 20
2.4. Pemeriksaan EKG pada Pasien Diabetes .................................... 22
BAB 3 Kesimpulan ........................................................................................... 24
Daftar Pustaka ................................................................................................. 27
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang mengganggu metabolik yang
bersifat hiperglikemia yang diakibatkan defek pada sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenali sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2.
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
daripada yang diperkirakan sebelumnya. (ADA, 2018)
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit endokrin yang paling sering di
dunia. Sekitar 382 juta orang penderita DM di dunia pada tahun 2013 dan 90-95 %
diantaranya adalah DM tipe-2.(Alam F et al,2016) Prevalensi DM di Indonesia pada
tahun 2013 adalah 2,1%. Angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007
(1,1%). Sebanyak 31 provinsi (93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang
cukup berarti. Prevalensi tertinggi DM pada umur 15 tahun dan lebih menurut
diagnosis dokter atau gejala hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
adalah di Provinsi Sulawesi Tengah (3,7%). Kemudian disusul Sulawesi Utara
(3,6%) dan Sulawesi Selatan (3,4%). Sedangkan yang terendah adalah di Provinsi
Lampung (0,8%) kemudian Bengkulu dan Kalimantan Barat (1,0%). (Kemenkes,
2013)
Diabetes Melitus dikenal sebagai silent killer oleh karena sering tidak disadari
dan setelah didiagnosa umumnya sudah terjadi komplikasi. Komplikasi diabetes
yang berkepanjangan mampu menyebabkan kerusakan akibat penyempitan
pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun
makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah
tungkai bawah. Disamping kerusakan pembuluh darah, komplikasi paling sering
dari diabetes melitus yaitu diabetik neuropati.(IPD UI, 2015)
Diabetes yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronis termasuk penyakit kardiovaskular seperti penyakit
jantung koroner dam stroke. Penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada pasien
DM tipe 2 adalah penyakit jantung bawaan koroner (PJK). Menurut American
Hearth Association, paling kurang 65% penderitaa DM meninggal akibat penyakit
jantung dan stroke. (Yuliani F et al, 2015) Selain itu orang dewasa yang menderita
DM akan memiliki faktor resiko 2-4 kali lebih besar dibandingkan yang tidak
DM.(Garabdien M, 2017)
Mekanisme terjadinya Kardiovaskular pada DM tipe 2 sangat kompleks dan
dikaitkan dengan adannya aterosklerosis yang mempengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia dan obesitas.(Yuliani F et al,
2015)
Melihat besarnya kasus DM tipe 2 di Indonesia dan melihat adanya hubungan
kuat antara DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskular, maka penulis merasa sangat
perlu dalam menulis makalah ini.

1.2.Tujuan Makalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai
adanya komplikasi kardiovaskular berdasarkan gambaran EKG pada pasien
diabetes mellitus tipe 2. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Makalah


Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta KKS dan menjadi suatu tolak ukur bagi penelitian
selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELLITUS


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, keja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemik kronis pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (IPD UI 2014)
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang terjadi saat pankreas tidak
sanggup menghasilkan insulin, ataupun saat tubuh tidak dapat menggunakan insulin
yang diproduksi dengan baik. Insulin merupakan suatu hormon yang dibuat oleh
pankreas, dimana insulin bekerja sebagai kunci untuk melepas glukosa dari
makanan yang kita makan melewati aliran darah menuju ke dalam sel untuk
menghasilkan energi. Semua makanan yang mengandung karbohidrat dipecah
menjadi glukosa didalam darah. Insulin membantu glukosa untuk masuk ke dalam
sel.(International Diabetes Federatiom 2015)
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. (PERKENI, 2015)

2.1.2 Klasifikasi
Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori umum yaitu:
(ADA 2018)
1. Diabetes Mellitus tipe 1
Diabetes ini disebabkan karena penghancuran sel beta pankreas, biasanya berujung
pada kekurangan insulin yang absolut.
A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin desertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Tipe diabetes yang didapati pada masa mengandung. Diabetes umumnya
didiagnosa pada trimester 2 ataupun 3.
4. Diabetes Mellitus tipe spesifik oleh karena penyebab lain
A. Defek genetil fungsi sel beta
B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom
Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
C. Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati, fibro kalkulus, lainnya.
D. Endokrinopati: Akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
E. Karena obat/zat kimia: vaor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon
tiroid, diazoxid, lainnya.
F. Infeksi: rubella kongeital, CMV, lainnya.
G. Imunologi (jarang): sindrom Stiffman, antibodi anti reseptor insulin, lainnya.
H. Sindroma genetik lainnya: sindrom Down, sindrom Klinifelter, sindrom Turner,
sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence,
sindrom Prader Willi, lainnya.

2.1.3 Faktor resiko


Faktor-faktor resiko terjadinya Diabetes Melitus yaitu:
1. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi :(PERKENI,2015)
A. Ras dan Etnik (African American, Latino, Native American, Asian American,
Pacific Islander).
B. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
C. Usia
Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia ≥ 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
D. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional (DMG).
E. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
lahir dengan BB normal.

2. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi :(PERKENI,2015)


A. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
B. Kurangnya aktivitas fisik.
C. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg).
D. Dislipidemia (HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL).
E. Diet tak sehat (unhealthy diet).
Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko menderita
prediabetes dan DM tipe-2.

3. Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes :(PERKENI,2015)


A. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinislain yang terkait
dengan resistensi insulin.
B. Penderita sindrom metabolik
C. Memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya.
D. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, PAD (Peripheral
Arterial Diseases).

2.1.4 Patogenesis
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (ominous
octet) berikut: (PERKENI,2015)
1. Kegagalan sel beta pankreas
Baik disfungsi sel beta maupun resistensi insulin memicu keadaan
hiperglikemi dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sitokin, keadaan inflamasi,
obesitas, resistensi insulin, dan konsumsi berlebihan dari free fatty acids (FFA)
akan menyebabkan disfungsi sel beta. Penurunan yang progresif dari fungsi sel beta
mengakibatkan kelelahan sel beta dan kemudian kemtian sel beta.Pada saat
diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.(PERKENI,2015)
2. Liver
Penurunan yang signifikan dari aktivitas enzim glukokinase dan peningkatan
konversi substrat menjadi glukosa tanpa adanya insulin.Oleh karena itu, pada DM
tipe 2, terjadi peningkatan glukoneogenesis dan penurunan pemakaian glukosa oleh
liver. Resistensi insulin yang berat memicu glukoneogenesis sehingga produksi
glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses glukoneogenesis.Penurunan yang signifikan dari aktivitas enzim
glukokinase dan peningkatan katalitik yang mengkonversi substrat menjadi glukosa
tanpa adanya insulin.Oleh karena itu, pada DM tipe 2, terjadi peningkata
glukoneogenesis dan penurunan pemakaian glukosa oleh liver.(PERKENI,2015)
3. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa.Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.(PERKENI,2015)
4. Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkanpeningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity.Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.(PERKENI,2015)
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena.Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide).Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
GIP.Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.(PERKENI,2015)
6. Sel Alpha Pankreas
Sel-α pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dansudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal.Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amilin.(PERKENI,2015)
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM
tipe-2.Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian konvulated tubulus proksimal. Sedangkan
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor.Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.(PERKENI,2015)
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat
yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amilin dan
bromokriptin.(PERKENI,2015)

Gambar 2. 1. The Ominous Octet(PERKENI,2015)

Pada diabetes melitus tipe-2 masalah utama yang dapat dijumpai yaitu gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ
terutama otot dan hati. Mulanya resistensi belum dapat menyebabkan terjadinya
diabetes, karena sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi dengan cara
meningkatkan sekresi insulin. Namun seiring progresifitas penyakit, produksi
insulin ini akan berangsur menurun. (IPD UI 2014)
Dibandingkan dengan hati, otot merupakan pengguna glukosa paling banyak.
Penurunan sekresi insulin tadi menyebabkan otot tidak mampu melakukan
pengambilan insulin secara optimal, hal inilah yang menyebabkan munculnya
hiperglikemia. Karena produksi insulin yang berkurang juga, maka terjadi
pembentukan glukosa oleh hati dan mengakibatkan meningkatnya glukosa darah
pada saat puasa. (IPD UI 2014)
Selain pada otot, resistensi insulin juga terjadi pada jaringan adiposa sehingga
merangsang proses lipolisis dan meningkatkan asam lemak bebas yang akibatnya
mengganggu proses ambilan glukosa oleh sel otot dan mengganggu sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. (IPD UI 2014)

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secaraenzimatik dengan bahan plasma darah vena.Pemantauan hasil pengobatan
dapatdilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.(PERKENI,2015)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:(PERKENI,2015)
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan beratbadan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsiereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 2.2 Kriteria diagnosis Diabetes Melitus(PERKENI,2015)


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi
glukosaterganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).(PERKENI,2015)
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosaplasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosaplasma 2jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100mg/dl.
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.

Cara pelaksanaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral):(IPD UI, 2014)


 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
 Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
 Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan : (IPD UI, 2014)
 < 140 mg/dL Normal
 140 – 199 mg/dL TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
 ≥ 200 mg/dL Diabetes
Gambar 2.2 Tabel Diagnosis Diabetes mellitus (IPD UI, 2014)

Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c


yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.(IPD UI, 2014)

2.2 Mekanisme dalam Komplikasi Kardiovaskular

Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai


dengan hiperglikemia akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. hiperglikemia kronik dari diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal,
saraf , jantung dan pembuluh darah. DM terbagi menjadi 4 tipe yang didasarkan
etiologinya yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, DM tipe spesifik lainnya.
Dimana DM tipe 2 merupakan 90-95% pada populasi.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), angka penderita yang


tercatat pada tahun 2013 di seluruh dunia kurang lebih 382 juta orang hidup dengan
DM yang mana 44% belum terdiagnosis dan diperkiran pada tahun 2035 akan
meningkat sebesar 55% menjadi 592 juta orang. Populasi terbesar penderita DM
berada di bagian pasifik barat, termasuk Indonesia di populasi ini. Angka
prevalensinya berjumlah sekitar sekitar 138 juta orang. Indonesia sendiri termasuk
negara yang masuk 10 besar negara dengan penderita DM tertinggi di dunia yaitu
pada peringkat tujuh setelah Rusia dan Meksiko. Angka penderita DM tercatat 8,5
juta orang, mayoritas 382 juta orang yang menderita DM tersebut berumur kisaran
40 – 59 tahun dan 80% ada di negara dengan pendapatan menengah kebawah atau
negara berkembang terutama di daerah urban. Di tahun 2013 tercatat, DM
menyebabkan 5,1 juta meninggal. Artinya tiap enam detik satu orang meninggal
karena DM. Salah satu penyebab mortalitas tersering pada penderita DM adalah
penyakit kardiovaskular (PKV). Menurut WHO pada tahun 2008, kematian akibat
PKV pada penderita DM di Indonesia mencapai 400 per 100.000 orang pada laki-
laki dan 300 per 100.000 orang pada perempuan dan angka tersebut terus
meningkat dari tahun ke tahun.15 Data dari penelitian klinis menunjukan lebih dari
tigaperempat pasien DM dengan PKV yang meninggal penyebabnya dikaitkan
dengan aterosklerosis, sebagian besar kasus (75%) karena penyakit jantung koroner
(PJK).

Menurut beberapa hipotesis, DM tipe 2 secara garis besar melalui beberapa


mekanisme dapat memicu inflamasi pada pembuluh darah, peningkatan
pembentukan trombus, dan vasokonstriksi. Yang secara keseluruhan dapat
mendorong aterosklerosis sehingga terjadi penyakit jantung koroner, iskemik
miokard dan berujung pada gagal jantung. Namun pada pasien DM iskemia
miokard sering tanpa keluhan (silent) dan jika menunjukan manifestasi klinis
sering sudah dalam keadaan lanjut. Sehingga diagnosis untuk PKV harus ditegakan
sejak dini untuk mengurangi mortalitas serta menentukan rencana tatalaksana.
Diperlukan alat diagnosis dini PKV dengan tingkat akurasi yang baik, cepat,
nyaman untuk pasien, tersedia diberbagai pusat pelayanan kesehatan di Indonesia
dan mudah dijangkau oleh semua kalangan. Salah satunya adalah
Elektrokardiogram (EKG). EKG adalah alat penunjang diagnosis yang merekam
sebagian kecil aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot jantung selama
depolarisasi dan repolarisasi. Aktivitas listrik itu menyebar ke jaringan sekitar
jantung dan dihantarkan melalui cairan tubuh hingga mencapai permukaan tubuh
dan direkam oleh elektroda perekam dari EKG 4 sehingga dapat memberikan data
yang mendukung diagnosis serta pada beberapa kasus penting untuk
penatalaksanaan pasien. Pada komplikasi makrovaskular DM, terjadi kekurang
suplai O2 di sel otot jantung akibat penurunan aliran darah ke otot jantung sehingga
terjadi penurunan pembentukan energi kemudian gangguan pertukaran ion untuk
depolarisasi dan repolarisasi yang semuanya berujung pada gangguan kontraksi
otot jantung. karena aktivitas mekanis dipicu oleh aktivitas listrik, disinilah EKG
berperan untuk mengevaluasi dan memberikan informasi mengenai status jantung.
Kegunaan EKG pada bidang kardiologi dapat digunakan untuk mendiagnosis hal-
hal berikut ini seperti sudut kelistrikan jantung, monitoring denyut jantung, aritmia,
kelainan urutan aktivasi jantung, peningkatan ketebalan dan ukuran otot jantung
atrium dan ventrikel, iskemik dan infark miokard, efek obat, karditis, monitoring
pemacu jantung.7 Menurut sebuah literatur dikatakan bahwa EKG juga bisa
digunakan dalam mengidentifikasi PKV pada diabetes, seperti silent ischemia
miocardial, neuropati autonomi jantung, kardiomiopati diabetik. Meskipun EKG
memiliki tingkat akurasi 58,2-62% jika dibandingkan dengan angiografi koroner
dalam mendiagnosis PKV terutama PJK dan alat pemeriksaan penunjang utama
dalam kardiomiopati diabetik adalah ekokardiografi, namun jika didasarkan pada
ketersediaan alat dan jangkauan ekonomi masyarakat menengah kebawah, EKG
cukup bisa diandalkan dalam penegakan diagnosis PKV.

Pasien dengan DM dan komplikasi mikrovaskular yang terkait muncul terutama


pada risiko yang lebih tinggi dari percepatan aterosklerosis yang akhirnya
memuncak pada kejadian serebrovaskular dan kardiovaskular dan kematian dini.
Mikrovaskular adalah unit fungsional dasar dari sistem kardiovaskular yang terdiri
dari arteriol, kapiler, dan venula. Mereka berbeda dari makrovaskular baik dalam
arsitektur dan komponen seluler. Berbeda dengan makrovaskular memasok darah
ke organ, mikrovaskular memainkan peran penting dalam menjaga tekanan darah
dan pemberian nutrisi yang tepat. Mikrosirkulasi juga memiliki sistem regulasi
yang mengendalikan permeabilitas vaskular dan respons myogenic yang dapat
menyesuaikan aliran darah sesuai dengan kebutuhan metabolik lokal. Perubahan
fungsi mikrovaskular dapat terjadi bahkan sebelum hiperglikemia dan perubahan
patologis vaskular nyata. Diabetes menginduksi perubahan patognomonik dalam
mikrovaskulatur, mempengaruhi membran basal kapiler termasuk arteriol di
glomeruli, retina, miokardium, kulit, dan otot, dengan meningkatkan ketebalan
mereka, yang mengarah ke pengembangan mikroangiopati diabetes. Penebalan ini
akhirnya menyebabkan kelainan pada fungsi pembuluh darah, menginduksi
beberapa masalah klinis seperti hipertensi, penyembuhan luka yang tertunda, dan
hipoksia jaringan. Demikian pula, neovaskularisasi yang timbul dari vasa vasorum
dapat menghubungkan makro-dan mikroangiopati, memprediksi ruptur trombosit
dan mempromosikan atherosclerosis. Peran patologi mikrovaskuler pada
komplikasi diabetes sistemik, termasuk aterosklerosis makrovaskular, tetap
menjadi subjek perdebatan lebih lanjut.(Chawla A et al, 2016)
21

Gambar 1. Kerentanan pasien dengan diabetes- pasien dengan resiko tinggi kejadian komplikasi
kardiovaskular.
A. Kerentanan pembuluh darah

Selama berpuluh-puluh tahun, aterogenesis, yang dikarakteristik dengan


remodeling arteri dan menimbulkan akumulasi subendotel komponen lemak
(plak), telah diketahui sebagai penyakit progresif dari dinding pembuluh darah,
yang menyebabkan reduksi diameter lumen hingga pada suatu kondisi dimana
beberapa platelet aktif cukup untuk menutup pembuluh darah dan menghasilkan
infark miokard akut. Perkembangan lesi aterogenesis ini dipertimbangkan
meliputi proses inflamasi yang kompleks. Tahap awal perkembangan plak
dikenal dengan disfungsi endotel, dimana hiperglikemia merupakan salah satu
faktor resiko, selain interaksi langsung dari sitokin-peradangan jaringan, seperti
TNF-α, dan IL-6, mengaktifkan endotel. Sel-sel inflamasi akan memasuku
dinding pembuluh darah, dan tahap ini dikenal dengan pembentukan fatty streak,
dimana otot polos vaskular berproliferasi dan bermigrasi dari media kedalam lesi
yang menambah perkembangan lesi. Tahap berikutnya dikenal dengan
pembentukan inti lipid nekrotik, melalui apoptosis dan kematian sel, dan
peningkatan aktivitas proteolitik dan akumulasi lipid. Plak ini yang bersifat stabil
dapat berubah menjadi tidak stabil, yang dikarakteristik dengan inti lipid
nekrotik yang besar, infiltrasi sel inflamasi, dan kapsul fibrous yang tipis dan
rapuh.(European Heart Journal Supplement, 2012)
Gambar 2. Kerentanan pembuluh darah. Hiperglikemia, sitokin inflamasi jaringan, disertai
berbagai faktor resiko kardiovaskular mempengaruhi fase aterogenesis pasien dengan
diabetes, yang berkontribusi terhadap lesi komplikasi yang dapat rupture dan menyebabkan
kejadian koroner akut.
B. Kerentanan darah

Kerentanan darah merupakan komponen darah, seperti mediator inflamasi,


gangguan fungsi platelet, hiperkoagulabilitas, dan hipofibrinolisis, seperti
mikropartikel (MPs) yang berkontribusi terhadap kejadian kardiovaskular.

Gambar 3. Kerentanan darah. Komponen protrombotik pada diabetes mellitus- termasuk


disfungsi platelet, pemadatan struktur fibrin dan hipofibrinolisis, peningkatan mikropartikel,
dan inflamasi- menimbulkan gangguan yang disimpulkan sebagai kerentanan darah

C. Kerentanan miokard

Miokard dapat berkontribusi terhadap baik perkembangan sindrom


koroner akut dan gagal jantung. Pada keadaan sindrom koroner akut,
penyumbatan cabang arteri anterior desendens kiri pada satu pasien dapat
menyebabkan infark miokard yang tidak bergejala, sedangkan penyumbatan
cabang sisi arteri kecil pada pasien yang lain menyebabkan kematian mendadak.
Pemahaman diatas menunjukkan bahwa terdapat penanda yang berhubungan
dengan iskemik aterosklerosis, seperi abnormalitas EKG, gangguan perfusi dan
viabilitas, seperti abnormalitas gerakan dinding jantung. Gagal jantung kronik
mempengaruhi satu dari lima pasien dengan diabetes, dan menyebabkan resiko
hingga 4 kali lebih besar. Peningkatan resiko ini berhubungan dengan beberapa
faktor resiko kardiovaskular, termasuk obesitas dan hipertensi, yang
menyebabkan penyakit jantung koroner dan iskemik kardiomiopati. .(European
Heart Journal Supplement, 2012)
Gambar 4. Kerentanan miokard. Gangguan metabolisme jantung dengan resistensi insulin sel
dan perhubahan penggunaan substrat dari glukosa menjadi oksidasi asam lemak menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen dan produksi oksigen reaktif yang mengakibatkan apoptosis
dan fibrosis kardiomiosit.

2.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.(PERKI,2015)
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (=20 menit) maupun
tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia =40 tahun adalah
=0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah =0,25 mV. Sedangkan pada perempuan
nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah =0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan
V4R adalah =0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang =0,1 mV dianggap
lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah =0,5 mV. Depresi segmen ST
yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST
elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-
anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut
adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia.(PERKI,2015)

Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST=1
mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST=1 mm di
V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan
yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik
akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS
negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan
angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST
yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar =0,05 mV di sadapan V1-V3 dan
=0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai
juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di
>2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris =0,2 mV mempunyai
spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak
sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostic dikategorikan sebagai perubahan EKG
yang nondiagnostik.(PERKI, 2015)

2.4 Gambaran EKG pada Pasien Diabetes

Perubahan fibrotik, terutama di daerah basal ventrikel kiri, telah sering


diamati pada pasien diabetes, bahkan ketika keterlibatan jantung secara klinis
belum terbukti. Contoh gambaran EKG pada pasien diabetes tanpa penyakit jantung
jelas diberikan pada Gambar 4.

EKG wanita 64 tahun dengan diabetes mellitus tipe 2 tanpa faktor risiko lain. Perhatikan gelombang
S dalam (panah) di LIII (19 mm) dan gelombang R tinggi di aVL
(15 mm); EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri basal.
Bahkan pada orang sehat, hipoglikemia yang diinduksi hiperinsulinemia
dapat memperpanjang interval QT dan mengurangi area gelombang-T dan
amplitudo.Studi pada the Europe and Diabetes (EURODIAB) dengan pasien diabetes
dengan QT normal di awal, jenis kelamin wanita dan nilai hemoglobin A1C yang
lebih tinggi dan tekanan darah sistolik dikaitkan dengan peningkatan risiko QT
yang berkepanjangan, sedangkan aktivitas fisik dan indeks massa tubuh normal
adalah faktor protektif. Korelasi ditemukan antara durasi QT dan jumlah kalsium
koroner; hubungan ini didorong oleh QRS dan bukan oleh durasi interval JT.
Okinawa et al5 juga menemukan bahwa baik perpanjangan QT dan depresi ST
meramalkan semua penyebab kematian pada pasien dengan diabetes tipe
2. mellitus. Varian genetik dalam gen kandidat yang sebelumnya diidentifikasi
dapat dikaitkan dengan durasi interval QT pada individu dengan diabetes mellitus.
Sawicki et al menemukan dispersi QT menjadi prediktor independen paling penting
dari total mortalitas dan juga prediktor independen mortalitas jantung dan
serebrovaskular; pengamatan ini tidak dikonfirmasi dalam penelitian selanjutnya.
The EURODIAB Insulin-Dependent Diabetes Mellitus Complications Study
(EURODIAB IDDM) menyelidiki 3250 pasien diabetes tipe 2 dengan rata-rata
durasi diabetes > 30 tahun; Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri ditemukan 3 kali
lebih besar dari yang dilaporkan pada populasi umum pada usia yang
sama.(CIRCULATIONAHA, 2009)
BAB 3

KESIMPULAN

Komplikasi DM timbul karena kadar glukosa tidak terkendali dan tidak


tertangani dengan baik sehingga menyebabkan timbulnya komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler yang umum
berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada
sebagian otak), penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongestif dan stroke,
sedangkan untuk komplikasi mikrovaskuler adalah hiperglikemia yang persisten
dan pembentukan protein terglikasi yang menyebabkan dinding pembuluh darah
semakin lemah danterjadinya penyumbatan pada pembuluh darah kecil, seperti
nefropati diabetik, retinopati (kebutaan) dan neuropati (Smeltzer and Bare, 2010).
Gambaran EKG dapat menjadi salah satu cara untuk mendeteksi komplikasi
kardiovaskular pada pasien DM Tipe 2. Pada beberapa penelitian didapatkan
gambaran EKG dengan Left Ventrikel Hipertrophy, Ischemic Miocard, dan ST-
Elevation Myocard Infark dan Non ST-elevation Myocard Infark.
Kegunaan EKG pada bidang kardiologi dapat digunakan untuk
mendiagnosis hal-hal berikut ini seperti sudut kelistrikan jantung, monitoring
denyut jantung, aritmia, kelainan urutan aktivasi jantung, peningkatan ketebalan
dan ukuran otot jantung atrium dan ventrikel, iskemik dan infark miokard, efek
obat, karditis, monitoring pemacu jantung. Menurut sebuah literatur dikatakan
bahwa EKG juga bisa digunakan dalam mengidentifikasi Penyakit
Kardiovaskular pada diabetes, seperti silent ischemia miocardial, neuropati
autonomi jantung, kardiomiopati diabetik. Meskipun EKG memiliki tingkat
akurasi 58,2-62% jika dibandingkan dengan angiografi koroner dalam
mendiagnosis Penyakit Kardiovaskular terutama PJK dan alat pemeriksaan
penunjang utama dalam kardiomiopati diabetic adalah ekokardiografi, namun jika
didasarkan pada ketersediaan alat dan jangkauan ekonomi masyarakat menengah
kebawah, EKG cukup bisa diandalkan dalam penegakan diagnosis Penyakit
Kardiovaskular.
Namun EKG tidak dapat dijadikan satu-satunya cara untuk mendeteksi
adanya komplikasi kardiovaskular pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
Pemeriksaan lain juga diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti.
Semua itu dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, faktor resiko
PJK, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pemeriksaan
enzim jantung.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetic Assosiation, 2018, Diabetes Care.


Chawla A, Chawla R, Jaggi S, 2016. Microvascular and macrovasular
complications in Diabetes Mellitus: Distinct or continuum?, Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism, 20(4) p 546-551
Dorland N. W, 2011. Dorland Illustrated Medical Dictionary (32nd Edition).
Philadelphia: Elsevier Health Sciences
Garabedien M, 2017. Control of Atherosclerosis Regression by PRMT2 in Diabete,
New York University, p 1-8
Hooper A J, Burnett J R, Watts G F, 2015. Contemporary aspects of the Biology
and Therapeutic Regulation of the Microsomal Triglyceride transfer protein.
Circulatin research. PubMed PMID, 116, p. 193-205.
Internatiomal Diabetes Federation. [Internet]. About Diabetes. Belgium:
International Diabetes Federation; 2015 [cited September 03 2018]. Available
from: http://www.idf.org/about-diabetes
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes).2013. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2013. Jakarta.
Klein, B.E., Myers, C.E., Howard, K.P. and Klein, R., 2015. Serum lipids and
proliferative diabetic retinopathy and macular edema in persons with long-term
type 1 diabetes mellitus: the Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic
Retinopathy. JAMA ophthalmology, 133(5), pp.503-510.
Lu J, Hubner K, Nanjee M N, Brinton E A, Mazer N, 2014. An In-Silico Model of
Lipoprotein Metabolism and Kinetics for the Evaluation of Target and Biomarkers
in the Reverse Cholesterol Transport Pathway, PLOS Computational Biology, p
10-1
Ozder, A., 2014. Lipid profile abnormalities seen in T2DM patients in primary
healthcare in Turkey: a cross-sectional study. Lipids in health and disease, 13(1),
p.183.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, PERKENI, Indonesia.
Shah, A.D., Langenberg, C., Rapsomaniki, E., Denaxas, S., Pujades-Rodriguez, M.,
Gale, C.P., Deanfield, J., Smeeth, L., Timmis, A. and Hemingway, H., 2015. Type
2 diabetes and incidence of cardiovascular diseases: a cohort study in 1· 9 million
people. The lancet Diabetes & endocrinology, 3(2), pp.105-113.
Suchitra, M.M., Bitla, A.R. and Alok, S., 2017. Atherogenic dyslipidemia in
diabetic nephropathy: lipoprotein (a), lipid ratios and atherogenic index.
International Journal of Research in Medical Sciences, 1(4), pp.455-459.
Stern S, Sclarowsky S. The ECG in diabetes melitus. Circulation. 2009 [cited
2014 Sep 9];120:1633-6. Avaliable from: http://circ.ahajournals.org.

Evaluation of ECG Abnormalities in Patients with Asymptomatic Type 2 Diabetes


Mellitus
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5449835/pdf/jcdr-11-OC39.pdf

Sudoyo, Aru W et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam―Jilid II.Ed. VI.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Verges B, 2015. Pathophysiology of diabetic dyslipidaemia:where are we?, Vol.
58, p 886-889.
Wang C C L, Hess C N, Hiatt W R, Goldfine A B, 2016. Clinical Update:
Cardiovascular Disease in Diabetes Mellitus Atherosclerotic Cardiovascular
Disease and Heart Failure in Type 2 Dibaetes Mellitus-Mechanisms, Management,
and Clinical Consideration,Journal American Hearth Disease, p 1-44.
Yuliani F, Oenzil F, Iryani D, 2015. Hubungan Berbagai Faktor Resiko Terhadap
Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2, Jurnal
FK Unand, p 37-40
Zougas S, Woodward M, Li Q, Cooper M E, Hamet P, Harrap S, Heller S, et al,
2014. Impact of age, age at diagnosis and duratiom of diabetes on the risk of
macrovascular and microvascular complications and death in type 2
diabetes.Springer Nature Switzerland, Vol 57, Issue 12, p 2465-74.
Juzar D A, Danny S S, Tobing D P L, Firdaus I, 2018. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. Jakarta; Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, p: 5-7

Anda mungkin juga menyukai