OLEH
REINA ROMAULI TARIHORAN
140100015
PEMBIMBING
Dr. dr. Rina Amelia, MARS
OLEH
REINA ROMAULI TARIHORAN
140100015
PEMBIMBING
Dr. dr. Rina Amelia, MARS
“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan
OLEH
Reina Romauli Tarihoran
140100015
Pembimbing
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Deteksi Komplikasi Kardiovaskular Berdasarkan
Gambaran EKG pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2”. Tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk melengkapi persyaratan Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr.
dr. Rina Amelia, MARS atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral
maupun spiritual, penulis mengucapkan terima kasih.
PENDAHULUAN
1.2.Tujuan Makalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai
adanya komplikasi kardiovaskular berdasarkan gambaran EKG pada pasien
diabetes mellitus tipe 2. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2.1.2 Klasifikasi
Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori umum yaitu:
(ADA 2018)
1. Diabetes Mellitus tipe 1
Diabetes ini disebabkan karena penghancuran sel beta pankreas, biasanya berujung
pada kekurangan insulin yang absolut.
A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin desertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Tipe diabetes yang didapati pada masa mengandung. Diabetes umumnya
didiagnosa pada trimester 2 ataupun 3.
4. Diabetes Mellitus tipe spesifik oleh karena penyebab lain
A. Defek genetil fungsi sel beta
B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom
Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
C. Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati, fibro kalkulus, lainnya.
D. Endokrinopati: Akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
E. Karena obat/zat kimia: vaor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon
tiroid, diazoxid, lainnya.
F. Infeksi: rubella kongeital, CMV, lainnya.
G. Imunologi (jarang): sindrom Stiffman, antibodi anti reseptor insulin, lainnya.
H. Sindroma genetik lainnya: sindrom Down, sindrom Klinifelter, sindrom Turner,
sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence,
sindrom Prader Willi, lainnya.
2.1.4 Patogenesis
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (ominous
octet) berikut: (PERKENI,2015)
1. Kegagalan sel beta pankreas
Baik disfungsi sel beta maupun resistensi insulin memicu keadaan
hiperglikemi dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sitokin, keadaan inflamasi,
obesitas, resistensi insulin, dan konsumsi berlebihan dari free fatty acids (FFA)
akan menyebabkan disfungsi sel beta. Penurunan yang progresif dari fungsi sel beta
mengakibatkan kelelahan sel beta dan kemudian kemtian sel beta.Pada saat
diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.(PERKENI,2015)
2. Liver
Penurunan yang signifikan dari aktivitas enzim glukokinase dan peningkatan
konversi substrat menjadi glukosa tanpa adanya insulin.Oleh karena itu, pada DM
tipe 2, terjadi peningkatan glukoneogenesis dan penurunan pemakaian glukosa oleh
liver. Resistensi insulin yang berat memicu glukoneogenesis sehingga produksi
glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses glukoneogenesis.Penurunan yang signifikan dari aktivitas enzim
glukokinase dan peningkatan katalitik yang mengkonversi substrat menjadi glukosa
tanpa adanya insulin.Oleh karena itu, pada DM tipe 2, terjadi peningkata
glukoneogenesis dan penurunan pemakaian glukosa oleh liver.(PERKENI,2015)
3. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa.Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.(PERKENI,2015)
4. Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkanpeningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity.Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.(PERKENI,2015)
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena.Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide).Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
GIP.Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.(PERKENI,2015)
6. Sel Alpha Pankreas
Sel-α pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dansudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal.Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amilin.(PERKENI,2015)
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM
tipe-2.Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian konvulated tubulus proksimal. Sedangkan
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor.Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.(PERKENI,2015)
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat
yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amilin dan
bromokriptin.(PERKENI,2015)
Pada diabetes melitus tipe-2 masalah utama yang dapat dijumpai yaitu gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ
terutama otot dan hati. Mulanya resistensi belum dapat menyebabkan terjadinya
diabetes, karena sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi dengan cara
meningkatkan sekresi insulin. Namun seiring progresifitas penyakit, produksi
insulin ini akan berangsur menurun. (IPD UI 2014)
Dibandingkan dengan hati, otot merupakan pengguna glukosa paling banyak.
Penurunan sekresi insulin tadi menyebabkan otot tidak mampu melakukan
pengambilan insulin secara optimal, hal inilah yang menyebabkan munculnya
hiperglikemia. Karena produksi insulin yang berkurang juga, maka terjadi
pembentukan glukosa oleh hati dan mengakibatkan meningkatnya glukosa darah
pada saat puasa. (IPD UI 2014)
Selain pada otot, resistensi insulin juga terjadi pada jaringan adiposa sehingga
merangsang proses lipolisis dan meningkatkan asam lemak bebas yang akibatnya
mengganggu proses ambilan glukosa oleh sel otot dan mengganggu sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. (IPD UI 2014)
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secaraenzimatik dengan bahan plasma darah vena.Pemantauan hasil pengobatan
dapatdilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.(PERKENI,2015)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:(PERKENI,2015)
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan beratbadan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsiereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Gambar 1. Kerentanan pasien dengan diabetes- pasien dengan resiko tinggi kejadian komplikasi
kardiovaskular.
A. Kerentanan pembuluh darah
C. Kerentanan miokard
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.(PERKI,2015)
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (=20 menit) maupun
tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia =40 tahun adalah
=0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah =0,25 mV. Sedangkan pada perempuan
nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah =0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan
V4R adalah =0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang =0,1 mV dianggap
lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah =0,5 mV. Depresi segmen ST
yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST
elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-
anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut
adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia.(PERKI,2015)
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST=1
mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST=1 mm di
V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan
yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik
akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS
negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan
angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST
yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar =0,05 mV di sadapan V1-V3 dan
=0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai
juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di
>2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris =0,2 mV mempunyai
spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak
sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostic dikategorikan sebagai perubahan EKG
yang nondiagnostik.(PERKI, 2015)
EKG wanita 64 tahun dengan diabetes mellitus tipe 2 tanpa faktor risiko lain. Perhatikan gelombang
S dalam (panah) di LIII (19 mm) dan gelombang R tinggi di aVL
(15 mm); EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri basal.
Bahkan pada orang sehat, hipoglikemia yang diinduksi hiperinsulinemia
dapat memperpanjang interval QT dan mengurangi area gelombang-T dan
amplitudo.Studi pada the Europe and Diabetes (EURODIAB) dengan pasien diabetes
dengan QT normal di awal, jenis kelamin wanita dan nilai hemoglobin A1C yang
lebih tinggi dan tekanan darah sistolik dikaitkan dengan peningkatan risiko QT
yang berkepanjangan, sedangkan aktivitas fisik dan indeks massa tubuh normal
adalah faktor protektif. Korelasi ditemukan antara durasi QT dan jumlah kalsium
koroner; hubungan ini didorong oleh QRS dan bukan oleh durasi interval JT.
Okinawa et al5 juga menemukan bahwa baik perpanjangan QT dan depresi ST
meramalkan semua penyebab kematian pada pasien dengan diabetes tipe
2. mellitus. Varian genetik dalam gen kandidat yang sebelumnya diidentifikasi
dapat dikaitkan dengan durasi interval QT pada individu dengan diabetes mellitus.
Sawicki et al menemukan dispersi QT menjadi prediktor independen paling penting
dari total mortalitas dan juga prediktor independen mortalitas jantung dan
serebrovaskular; pengamatan ini tidak dikonfirmasi dalam penelitian selanjutnya.
The EURODIAB Insulin-Dependent Diabetes Mellitus Complications Study
(EURODIAB IDDM) menyelidiki 3250 pasien diabetes tipe 2 dengan rata-rata
durasi diabetes > 30 tahun; Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri ditemukan 3 kali
lebih besar dari yang dilaporkan pada populasi umum pada usia yang
sama.(CIRCULATIONAHA, 2009)
BAB 3
KESIMPULAN
Sudoyo, Aru W et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam―Jilid II.Ed. VI.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Verges B, 2015. Pathophysiology of diabetic dyslipidaemia:where are we?, Vol.
58, p 886-889.
Wang C C L, Hess C N, Hiatt W R, Goldfine A B, 2016. Clinical Update:
Cardiovascular Disease in Diabetes Mellitus Atherosclerotic Cardiovascular
Disease and Heart Failure in Type 2 Dibaetes Mellitus-Mechanisms, Management,
and Clinical Consideration,Journal American Hearth Disease, p 1-44.
Yuliani F, Oenzil F, Iryani D, 2015. Hubungan Berbagai Faktor Resiko Terhadap
Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2, Jurnal
FK Unand, p 37-40
Zougas S, Woodward M, Li Q, Cooper M E, Hamet P, Harrap S, Heller S, et al,
2014. Impact of age, age at diagnosis and duratiom of diabetes on the risk of
macrovascular and microvascular complications and death in type 2
diabetes.Springer Nature Switzerland, Vol 57, Issue 12, p 2465-74.
Juzar D A, Danny S S, Tobing D P L, Firdaus I, 2018. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. Jakarta; Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, p: 5-7