PEMBIMBING
OLEH
130100459
PEMBIMBING
OLEH
130100459
OLEH
Cut Putri Astritd Adelina
130100459
Pembimbing
NIP. 197604202003122002
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalahyang berjudul “Defisiensi Mineral Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dan
Hubungannya Dengan Gangguan Metabolik Pasien Dm Tipe 2”.
DAFTAR ISI
LembarPengesahan ............................................................................................. ii
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................. iv
BAB 1 Pendahuluan ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Tujuan Makalah ........................................................................... 2
1.3. Manfaat Makalah ......................................................................... 2
BAB 2 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 4
2.1. Definisi ........................................................................................ 4
2.2. Klasifikasi ................................................................................... 4
2.3. Patofisiologi ................................................................................. 5
2.4. Etiologi ........................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 12
2.6 Diagnosis ......................................................................................... 12
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................... 17
2.8 Komplikasi....................................................................................... 20
2.9.Defisiensi Mineral Pada Pasien DM Tipe 2 .................................... 21
2.10. Hubungan Gangguan Metabolik Terhadap DM Tipe 2 ................ 26
BAB 3 Kesimpulan ............................................................................................. 32
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 33
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2017, klasifikasi DM
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Diabetes Melitus tipe 1
Akibat kerusakan sel beta pankreas, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
insulin.
2. Diabetes Melitus tipe 2
Akibat adanya gangguan sekresi insulin yang dapat menyebabkan resistensi
insulin. Pada kebanyakan kasus, DM ini terjadi pada usia >30 tahun dan
timbul secara perlahan (Guyton, 2006). Menurut Perkeni (2011) untuk kadar
gula darah puasa normal adalah ≤ 126 mg/dl, sedangkan untuk kadar gula
darah 2 jam setelah makan yang normal adalah ≤ 200 mg/dl.
3. Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Timbul pada saat kehamilan. Didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga
kehamilan.
4. Diabetes karena penyebab lain
a. Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes, dan maturity-
onset diabetes of the young (MODY).
b. Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik.
c. Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam penggunaan
glukokortikoid, pengobatan HIV/AIDS atau paska transplantasi organ.
2.6 Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko
DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif
(Sudoyo Aru, 2006).
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM,
maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM
juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(Purnamasari, D. 2009)
Tabel 2.
Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum pasti DM
DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
Tabel 3.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl
2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang
lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat
badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik
kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM
gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah
normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Menurut Konsensus Perkeni 2011, ada empat pilar penatalaksanaan DM.
2.7.1 Edukasi
Pengelolaan mandiri DM secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien
dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup.
Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi,
pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.
2.7.2 Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori masing masing individu. Perlu ditekankan
pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan
insulin. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tujuan utama terapi DM adalah
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal
(euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Salah satu penalaksanaan DM antara lain dengan diet dan
apabila DM telah terjadi komplikasi Chronic kidney disease (CKD) pada
stadium 3 maka penatalaksaan diet DM tidak tepat untuk digunakan.
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
DM. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan
sebagai berikut:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis
e. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat (Perkeni, 2011).
Syarat diet penyakit DM menurut Perkeni 2011 adalah :
a. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan kriteria Asia
Pasifik dapat dihitung dengan rumus IMT = BB(kg)/ TB(m2).
b. Kebutuhan protein sebesar 10-20 % dari total asupan energy
c. Kebutuhan lemak dianjurkan sekitar 20-25% dari kebutuhan energi
total, dalam bentuk <7% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak
jenuh, 10% dari lemak tak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak
jenuh tunggal. Asupan kolesterol dibatasi, yaitu < 200 mg hari.
d. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
e. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang DM dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Buahbuahan tidak
secara berlebihan dari 5% total asupan energy.
f. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
2.8 Komplikasi
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) komplikasi DM
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia adalah kadar gula darah <50 mg/dl. Kadar gula yang rendah dapat
menyebabkan kerusakan pada sel–sel otak karena tidak mendapat pasokan
energi.
b. Hiperglikemia adalah kadar gula darah tiba–tiba tinggi. Keadaan ini dapat
menyebabkan ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik (KHNK)
dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi kronis
a. Komplikasi makrovaskular yang biasanya terjadi adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), dan mengalami penyakit jantung
koroner (PJK).
b. Komplikasi mikrovaskular, seperti nefropati, diabetik retinopati, dan neuropati
(ADA, 2011).
Cholecalciferol (vitamin D3) lebih disukai untuk diganti karena memiliki waktu
paruh yang lebih lama, dan pengukurannya dalam kadar serum lebih kecil
kemungkinannya untuk dipenuhi dengan ketidakpastian. Namun, formulasi dosis
tinggi cholecalciferol tidak tersedia, dan karena itu Ditanam berasal ergocalciferol
(vitamin D2) lebih sering diresepkan. (Connell, 2001).
Tingkat 25-hidroksi vitamin D serum harus diukur setelah 3 bulan suplementasi. Jika
kadar serum 25-hidroksi vitamin D dalam serum tidak dinormalisasi pada saat itu,
maka dipertimbangkanlah untuk malabsorpsi, khususnya gluten enteropati, yang harus
dipertimbangkan. (Chutia, Lynrah .2015).
B. Vanadium
Vanadium memiliki efek signifikan pada metabolisme glukosa. Namun, studi
klinis telah gagal menunjukkan bukti kemanjuran garam vanadium pada diabetes dan
telah menemukan bahwa ada potensi toksisitas. Senyawa organo-vanadium baru
dengan potensi lebih tinggi dan toksisitas lebih rendah sedang diselidiki sebagai
pengobatan potensial diabetes.(Chadede, Ali, 2009).
C. Selenium
Selenium adalah komponen penting dari selenoprotein, yang terlibat dalam
memodulasi stres oksidatif dan mengatur aktivitas hormon tiroid. Dalam lima
percobaan (empat dengan risiko bias tinggi), selenium tampaknya menunjukkan efek
menguntungkan yang signifikan pada kejadian kanker gastrointestinal (Chadede, Ali,
2009).
Ada juga beberapa data yang mendukung untuk menyarankan bahwa selenium
dapat mencegah kanker prostat. Namun, percobaan acak terkontrol plasebo baru-baru
ini pada 35.533 pria yang diberi 200 μg L-selenomethionine atau plasebo yang
dicocokkan tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada kejadian kanker
prostat. Dalam percobaan yang sama, 400 IU vitamin E per hari baik sendiri atau
dalam kombinasi dengan selenium juga tidak mencegah kanker prostat. Potensi efek
pencegahan kanker dari selenium harus diuji dalam uji coba acak yang dilakukan
secara memadai. Kekurangan selenium dapat terjadi di daerah geografis di mana tanah
pertanian habis selenium. Pada populasi ini, pencegahan selenium harus dilakukan.
Namun, kelebihan selenium dapat menyebabkan selenosis, mempengaruhi hati, kulit,
kuku, dan rambut. Selain itu, dua penelitian terbaru examin- ing hubungan antara
kadar serum selenium dan prevalensi diabetes di kalangan orang dewasa AS
menemukan bahwa kadar selenium serum tinggi yang secara positif terkait dengan
prevalensi diabetes, bahwa selenium tion suplementasi tidak mencegah diabetes tipe 2,
dan itu dapat meningkatkan risiko penyakit. Dengan demikian, penggunaan
indiscriminant suplemen selenium harus berkecil hati sampai lebih acak, percobaan
dikontrol meneliti efek mereka pada kesehatan manusia.
Selenium dapat menyebabkan selenosis, mempengaruhi hati, kulit, kuku, dan
rambut.Selain itu, dua penelitian terbaru examin- ing hubungan antara kadar serum
selenium dan prevalensi diabetes di kalangan orang dewasa AS menemukan bahwa
kadar selenium serum tinggi yang secara positif terkait dengan prevalensi diabetes,
bahwa selenium tion suplementasi tidak mencegah diabetes tipe 2, dan itu dapat
meningkatkan risiko penyakit. Dengan demikian, penggunaan indiscriminant
suplemen selenium harus berkecil hati sampai lebih acak, percobaan dikontrol
meneliti efek mereka pada kesehatan manusia ( Barbagallo, Dominguez, 2015).
D. Magnesium
Defisiensi Mg pada diabetes tipe 2 dapat berbentuk defisit Mg laten kronis daripada
hipomagnesemia klinis yang jelas , dan mungkin memiliki kepentingan klinis karena
ion Mg merupakan kofaktor penting bagi banyak reaksi enzimatik yang terlibat dalam
segudang proses metabolisme. Ion Mg memainkan peran penting dalam pengaturan
efek insulin dan asupan glukosa seluler yang dimediasi insulin. (Chutia, Lynrah
.2015). Mg adalah faktor pendamping yang diperlukan dalam> 300 reaksi enzimatik
yang mencakup semua penentu enzim glikolisis. Intraseluler Mg adalah kofaktor
penting untuk enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, dan khususnya
dalam proses fosforilasi tirosin-kinase dari reseptor insulin serta semua protein kinase
lainnya dalam pensinyalan insulin, dan semua ATP dan enzim terkait transfer fosfat ,
seperti CaATPases dalam membran plasma dan retikulum endoplasma (Rao, 2016).
Kekurangan Mg dapat menyebabkan gangguan aktivitas tirosin kinase dari reseptor
insulin, peristiwa yang terkait dengan perkembangan resistensi insulin pasca
reseptorial dan penurunan pemanfaatan glukosa seluler, yaitu, semakin rendah Mg
basal, semakin besar jumlah insulin yang dibutuhkan untuk memetabolisme beban
glukosa yang sama, menunjukkan penurunan sensitivitas insulin . Konsentrasi sel Mg
berada dalam kisaran 100-300nmol / L, yang dekat dengan konstanta disosiasi banyak
sistem enzim yang menggunakan ATP atau pemindahan fosfat, yang menegaskan
pentingnya klinis defisiensi Mg. Status Mg yang kurang mungkin merupakan
konsekuensi sekunder atau dapat mendahului dan menyebabkan resistensi insulin dan
mengubah toleransi glukosa, dan bahkan diabetes. Peradangan dan stres oksidatif
telah diusulkan sebagai kemungkinan hubungan antara defisit Mg dan resistensi
insulin / sindrom metabolik. Hipomagnesemia kronis dan kondisi yang umumnya
dikaitkan dengan defisiensi Mg, seperti diabetes mellitus tipe 2, sindrom metabolik
dan penuaan, dikaitkan dengan peningkatan bebas pembentukan radikaldan kerusakan
selanjutnya pada proses seluler . Penuaan sering dikaitkan dengan resistensi insulin
dan intoleransi glukosa. Penurunan yang tergantung pada usia secara terus-menerus
dari kadar Mg intraseluler dalam sel darah perifer dari subyek manula yang sehat
hadir, perubahan ini tidak dapat dibedakan dengan yang terjadi, secara independen
dari usia, pada hipertensi esensial atau diabetes tipe 2 (Rao, 2016).
Relevansi metabolisme seluler Mg yang berubah dengan sensitivitas insulin
tissutal menunjukkan kemungkinan peran Mg dalam berkontribusi pada kebetulan
klinis penurunan Mg ke kondisi klinis resistensi insulin seperti hipertensi, sindrom
metabolik, diabetes tipe 2 juga dengan peningkatan insiden masing-masing. dari
kondisi ini seiring bertambahnya usia, suatu kondisi itu sendiri ditandai oleh
kecenderungan untuk penipisan Mg. Secara keseluruhan, terlepas dari penyebab
plasma yang buruk dan konten Mg intraseluler, penipisan Mg tampaknya
berkontribusi terhadap gangguan sensitivitas insulin. Status Mg yang kurang mungkin
bukan hanya konsekuensi sekunder dari diabetes tipe 2 tetapi dapat mendahului dan
berkontribusi pada pengembangan resistensi insulin dan mengubah toleransi glukosa,
dan bahkan diabetes tipe 2. Kami telah menyarankan peran defisit Mg sebagai
mekanisme pemersatu kondisi yang mungkin terkait dengan resistensi insulin,
termasuk diabetes mellitus tipe 2, sindrom metabolik, dan hipertensi esensial. Defisit
Mg dapat mendahului dan menyebabkan resistensi insulin pasca-reseptorial dan
mengubah toleransi glukosa (Barbagallo, Dominguez, 2015).
Sindrom Metabolik
a. BMI 30 kg / m2 dan / atau rasio pinggang dengan pinggul 0,90 pada pria atau
0,85 pada wanita.
b. Trigliserida serum 50 mg / dL (1,7 mmol / L) atau kolesterol HDL 35 mg / dL
(0,9 mmol / L) pada pria dan 39 mg / dL (1,0 mmol / L) pada wanita.
c. Peningkatan tekanan darah arteri 140/90 mm Hg.
d. Tingkat ekskresi albumin urin 20 g / mnt atau rasio albumin terhadap kreatinin
30 mg / g.
Menurut NCEP III, hiperglikemia bukanlah faktor penting untuk memasuki stratifikasi
risiko untuk sindrom metabolik; sebagai gantinya, orang dewasa yang didiagnosis
dengan sindrom metabolik harus memiliki tiga atau lebih dari yang berikut:
a. Lingkar pinggang 40 in (102 cm) pada pria dan 35 in (88 cm) pada wanita.
b. Trigliserida serum 150 mg / dL (1,7 mmol / L).
c. Tekanan darah 130/85 mm Hg.
d. Kolesterol HDL 40 mg / dL (103 mmol / L) pada pria dan 50 mg / dL (1.29
mmol / L) pada wanita.
e. Glukosa puasa 110 mg / dL (6,1 mmol / L) (Alebiosu, Odusan
Sagamu, 2004).
Di sini, ada pergeseran dari rasio pinggang ke pinggul ke lingkar pinggang dan
peningkatan kadar glukosa mungkin dimasukkan tetapi tidak penting untuk diagnosis
diabetes. Dalam stratifikasi ini, faktor risiko memiliki bobot yang sama (Alebiosu,
Odusan, Sagamu, 2004).
IDF mengorganisir panel konsensus untuk membuat definisi sindrom metabolik
di seluruh dunia. Hasil kelompok konsensus dipresentasikan pada tahun 2005 di Berlin
pada Konferensi Internasional Pertama tentang pradiabetes dan sindrom metabolik.
Definisi baru sindrom metabolik ini lebih ramah pengguna bagi mereka yang berpraktik
klinis. Sementara penyebab yang mendasari sindrom metabolik masih menjadi topik
perdebatan yang intens, pernyataan konsensus IDF mengidentifikasi distribusi lemak
perut abnormal dan resistensi insulin sebagai penyebab kritis dan saling terkait. Untuk
didefinisikan sebagai memiliki sindrom metabolik, definisi IDF memerlukan yang
berikut: obesitas sentral (didefinisikan sebagai lingkar pinggang 37 in (94 cm) pada pria
Eropa dan 31,5 in (88 cm) untuk wanita Eropa dengan nilai spesifik etnis untuk
kelompok lain, ditambah dua dari empat faktor tambahan berikut:
Natrium
Kalium
Insiden hiperkalemia lebih tinggi pada diabetes untuk mengeluarkan lebih banyak K+.
Pasien dibandingkan populasi umum. Redistribusi Insulin eksogen dapat
menginduksi hipokalemia ringan menjadi kalium dari intraseluler ke ekstraseluler
yang menyebabkan masuknya K+ ke dalamotot rangka kompartemen(menggeser
hiperkalemia) dapat menginduksi hiperkale- dan sel hati dengan meningkatkan
aktivitas Na+-K+ tanpa total tubuh bersih K+ meningkat. Contoh pompa ATP.
Peningkatan sekresi epinefrin hiperkalemia pada DM termasuk asidosis (untuk setiap
penurunan 0,1 karena hipoglikemia yang diinduksi insulin juga dapat memainkan pH,
kalium meningkat sekitar 0,4 mmol / L), peran kontribusinya. Pengaturan utama di
mana insulin defisiensi insulin, hipertonisitas, lisis sel (administrasi rhabdomiolisis
menyebabkan hipokalemia adalah selama perawatan ), dan obat-obatan (misalnya,
beta blocker). Berkurangnya glomerulus dari hiperglikemia berat. Sebagian besar
pasien menyaring K+ (karena cedera ginjal akut dan kronis dengan ketoasidosis
diabetik (DKA) dan HHS adalah nyata penyakit ginjal yang) dan banyak obat yang
mengganggu K+ K+ yang hilang rata-rata Defisit adalah 3-5 mEq / kg, tetapi ekskresi
dikaitkan dengan hiperkalemia. Ini termasuk dapat melebihi 10 mEq / kg dalam
beberapa kasus. Sejumlah penghambat enzim pengonversi angiotensin, faktor-faktor
angiotensin berkontribusi terhadap DKA dan HHS terkait II penghambat reseptor,
penghambat renin, penghambat beta dan penipisan kalium, termasuk muntah,
peningkatan ginjal diuretik hemat kalium. Dari catatan, kerugian sehat khas karena
diuresis osmotik dananion ketoasid diet diabetessering kaya dengan K+ dan rendahnya
ekskresi natrium, dan hilangnya K+ dari sel karena ikut berperan dalam terjadinya
hiperkalemia dalam suscepcogenolysis dan proteolysis. Pada saat masuk, namun,
individu-individu yang memiliki label[48,49]. Namun demikian, yang paling umum
serum K+ tingkat biasanya normal, atau, di sekitar satu faktor penyebab hiperkalemia
kronis pada penderita diabetes adalah sepertiga pasien, peningkatan meskipunK+
penipisan[41,43]. mengurangi sekresi tubular K+ akibat sindrom Diperkirakan bahwa
hiperosmolalitas dan defisiensi insulin hipoaldosteronisme hiporeninemik. (Liamis G,
Liberopaulos E, 2014).
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus tipe 2 adalah salah satu penyakit metabolik yang telah
menjadi pandemik di seluruh dunia, dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya ditambah dengan pemeriksaan kadar
glukosa darah (puasa > 125 mg/dL atau sewaktu > 200 mg/dL) apabila ditemukan
dapat langsung memberikan diagnosis diabetes mellitus tipe 2.
Gangguan metabolik ini memiliki beberapa faktor resiko yang sangat kuat
hubungannya dengan pola genetik, obesitas, dan gaya hidup. Interfensi terhadap
faktor resiko tersebut, terutama yang dapat diubah, secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini.
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada DM tipe 2, yaitu gangguan metabolik
akut, gangguan vaskular, neuropati, dan infeksi. Kondisi hiperglikemia kronis,
resistensi insulin, dan insufisiensi sekresi insulin relatif adalah faktor yang
menyebabkan perkembangan komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chehade Joe M, Ali Mac Sheikh, Moradin Arshag D, 2009. The Role of
Micronutrients in Managing Diabetes. From Research Practice,Diabetes
spectrum volume 22 number 4.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. 2013. The pathogenesis
and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of
Physiology and Pathophysiology ; 4(4):46-57.
Price, SA. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Raymond RT. 2016. Patogenesis diabetes tipe 2: resistensi defisiensi insulin. Dexa
Medica.
Rao Yeluri Seshagiri, V Rao Dharma, 2016. Serum Magnesium Levels in Type 2
Diabetes. Department of General Medicine , Gayatri Vidya Parishad Institute
of Health Care and MeicalTecnology. Vishakapatnam Andira Pradesh. India.
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Zhang Xiaoyan, Cui, Xiaoli, Wang Shuo, dkk, 2014. Association Between Diabetes
Mellitus with Metabolic Syndrome and Diabetic Microangiopathy.
Department of Endocrinology< First Affiliated Hospital, Lianing Medical
Collage.China.