Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DEFISIENSI MINERAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2


DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN METABOLIK PASIEN
DM TIPE 2

PEMBIMBING

DR. dr. Rina Amelia, MARS

OLEH

Cut Putri Astritd Adelina

130100459

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DEFISIENSI MINERAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2


DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN METABOLIK PASIEN
DM TIPE 2

PEMBIMBING

DR. dr. Rina Amelia, MARS

OLEH

Cut Putri Astritd Adelina

130100459

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
DEFISIENSI MINERAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN METABOLIK PASIEN
DM TIPE 2
“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan dalam

mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.”

OLEH
Cut Putri Astritd Adelina
130100459

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : DEFISIENSI MINERAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS


TIPE 2 DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN METABOLIK PASIEN
DM TIPE 2

Nama : Cut Putri Astritd Adelina


NIM : 130100459

Medan, Januari 2019

Pembimbing

Dr. dr. Rina Amelia, MARS

NIP. 197604202003122002
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalahyang berjudul “Defisiensi Mineral Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dan
Hubungannya Dengan Gangguan Metabolik Pasien Dm Tipe 2”.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan


Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan


arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.
Ivana Alona, MPH atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini di kemudian
hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu kesehatan.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral
maupun material, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2019


Penulis,

DAFTAR ISI

LembarPengesahan ............................................................................................. ii
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................. iv
BAB 1 Pendahuluan ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Tujuan Makalah ........................................................................... 2
1.3. Manfaat Makalah ......................................................................... 2
BAB 2 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 4
2.1. Definisi ........................................................................................ 4
2.2. Klasifikasi ................................................................................... 4
2.3. Patofisiologi ................................................................................. 5
2.4. Etiologi ........................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 12
2.6 Diagnosis ......................................................................................... 12
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................... 17
2.8 Komplikasi....................................................................................... 20
2.9.Defisiensi Mineral Pada Pasien DM Tipe 2 .................................... 21
2.10. Hubungan Gangguan Metabolik Terhadap DM Tipe 2 ................ 26
BAB 3 Kesimpulan ............................................................................................. 32
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 33
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu penyakit degeneratif dengan sifat kronis adalah DM yang dalam
perjalanannya akan terus meningkat baik prevalensinya maupun keadaan penyakit itu
mulai dari tingkat awal atau yang berisiko DM sampai pada tingkat lanjut atau terjadi
komplikasi. DM dapat menimbulkan kerusakan pada semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai keluhan atau komplikasi, seperti komplikasi kronik pada
mata, ginjal, pembuluh darah dan lain-lain. Masalah kesehatan akibat DM dapat
menurunkan kualitas hidup sehingga penyakit DM merupakan masalah kesehatan
nasional dan dunia (Depkes, 2008).
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada
masyarakat yang mempunyai komplikasi jangka panjang dan pendek . Terdapat dua
jenis penyakit diabetes, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2 (American Diabetes
Association, 2017).
Menurut International Diabetes Federation (IDF), DM adalah salah satu
masalah kesehatan yang serius pada masa sekarang. Setiap tahunnya, jumlah
penderita DM terus bertambah dan semakin berdampak pada peningkatan masalah
kesehatan apabila terjadi komplikasi pada penderitanya. IDF menemukan 85-95%
kasus diabetes dari seluruh penderita di seluruh dunia adalah DM tipe 2. Selain itu,
prevalensi orang dewasa yang mengalami gangguan toleransi glukosa berhubungan
erat dengan DM tipe 2 (Bilous, 2014).
IDF membagi wilayah dunia menjadi 7 wilayah dengan kejadian diabetes.
Western Pasific adalah salah satu wilayah dengan angka kematian tertinggi yang
disebabkan oleh DM diantara wilayah pembagian IDF lainnya yaitu sebanyak 44,9 %
kematian akibat DM terjadi pada usia dibawah usia 60 tahun. Negara Cina adalah
bagian dari Western Pasific yang mencapai 40,8% kematian dibawah usia 60 tahun.
Angka ini menjadikan negara Cina menjadi posisi teratas sebagai 10 negara dengan
penderita diabetes usia dewasa terbanyak dengan 39,4% penduduk penderita DM dan
Bangladesh pada posisi kesepuluh 2,5% penduduk. Negara Indonesia adalah bagian
dari wilayah Western Pasific dengan 39 negara lainnya. Negara Indonesia menduduki
posisi ketujuh dari 10 negara dengan predikat penderita diabetes terbanyak, yaitu
sebanyak 3,6% penduduk (IDF, 2015).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 4% pada tahun
2000 menjadi sekitar 6.2% pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 3,6% pada tahun 2014 menjadi 4,6% pada
tahun 2035 (Perkeni, 2015).
Menurut data Riskesdas 2013, proporsi DM di Indonesia adalah 6,9 %.
Prevalensi diabetes di Indonesia tahun 2013 adalah 2,1%. Angka tersebut lebih tinggi
dibanding dengan tahun 2007 (1,1%). Sebanyak 31 provinsi yang ada di Indonesia
(93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Sulawesi
Tengah (3,7%), provinsi terendah adalah Bengkulu dan Kalimantan Barat (1%).
Provinsi Sumatera Utara memiliki prevalensi DM dengan komplikasi (1,8%) dan
proporsi penderita DM dengan komplikasi 2,3%. Hasil Riset Kesehatan Dasar khusus
Provinsi Sumatera Utara tahun 2013, prevalensi DM tertinggi di Deli Serdang 2,9%,
di daerah Karo 1,9% dan terendah di Mandailing Natal 0.3% (Kemenkes, 2014).
Tingginya prevalensi DM sejalan dengan tingginya komplikasi dari DM itu
sendiri. Di Indonesia sendiri komplikasi kronik dari DM ini terdiri atas neuropati
(60%), penyakit jantung koroner (20,5%), ulkus diabetik (15%), retinopati diabetik
(10%), dan nefropati (7,1%) (Hastuti, 2008).
Berdasarkan penelitian Tarigan (2011) di RSU Herna Medan tahun 2009 –
2010 terdapat 134 penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap. Proporsi
penderita DM yang mengalami komplikasi yaitu yang mengalami ulkus diabetik
(26,1%), hipertensi (15,7%), nefropati diabetik (13,4%), TB paru (12,8%),
hipoglikemia (6,7%), stroke (6,7%), neuropati diabetik (5,2%), hiperglikemia (4,5%),
PJK (3,7%), dyspepsia (3,7%), dan retinopati diabetik (1,5%) (Tarigan, 2011).

1.2 Tujuan Makalah


Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai media penyaluran informasi
terhadap pengetahuan defisiensi mineral pada pasien DM Tipe II dan hubungannya
dengan gangguan metabolik pada pasien DM Tipe II. Penyusunan makalah ini juga
sekaligus sebagai salah satu bentuk pemenuhan persyaratan selama mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Makalah


Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca
khususnya peserta KKS dan sasaran terkait.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Menurut
American Diabetes Asosiation (ADA) (2017), Diabetes melitus merupakan salah satu
kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan
kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

2.2 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2017, klasifikasi DM
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Diabetes Melitus tipe 1
Akibat kerusakan sel beta pankreas, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
insulin.
2. Diabetes Melitus tipe 2
Akibat adanya gangguan sekresi insulin yang dapat menyebabkan resistensi
insulin. Pada kebanyakan kasus, DM ini terjadi pada usia >30 tahun dan
timbul secara perlahan (Guyton, 2006). Menurut Perkeni (2011) untuk kadar
gula darah puasa normal adalah ≤ 126 mg/dl, sedangkan untuk kadar gula
darah 2 jam setelah makan yang normal adalah ≤ 200 mg/dl.
3. Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Timbul pada saat kehamilan. Didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga
kehamilan.
4. Diabetes karena penyebab lain
a. Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes, dan maturity-
onset diabetes of the young (MODY).
b. Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik.
c. Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam penggunaan
glukokortikoid, pengobatan HIV/AIDS atau paska transplantasi organ.

2.3 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Transporter glukosa yang paling utama dan berperan pada jaringan otot dan
jaringan lemak adalah Glucose transporter type 4 (GLUT-4). GLUT-4 normalnya
didaur ulang diantara membran plasma sel dan simpanan intraselular. Translokasi
GLUT-4 intraselular dirangsang oleh insulin, sebenarnya 8 dimulai dari ikatan insulin
kepada reseptor di bagian ekstraselular. Bila ada insulin, akan terjadi translokasi
reseptor ke membran plasma yang akan menyebabkan peningkatan glukosa masuk ke
dalam sel. Insulin akan berikatan dengan reseptor di ekstraseluler yang akan
menyebabkan reaksi fosforilasi. Reaksi tersebut akan memfosforilasi protein
intraseluler yaitu Insulin Reseptor Substrate-1 (IRS-1). IRS-1 memicu transpor
glukosa transmembran. Tingginya kadar glukosa darah pada seseorang yang
mengalami resistensi insulin maka akan menyebabkan terganggunya translokasi
GLUT-4 dari intraseluler ke membran plasma (Raymond RT, 2016).
Mekanisme utama patofisiologi DM tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin dan
insufisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin berhubungan erat dengan kondisi
obesitas, dimana obesitas akan menyebabkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi
sistemik, menyebabkan sel-sel tidak peka terhadap insulin. Mekanisme persisnya
yang menyebabkan sitokin proinflamasi dapat menyebabkan penurunan kepekaan sel
terhadap insulin masih belum dapat diketahui pasti (Ozougwu et al, 2013).
Karena resistensi insulin, maka sel beta pankreas akan meningkatkan produksi
insulin untuk menyesuaikan keadaan glukosa darah dan kebutuhan relatif sel akan
insulin dimana kepekaannya telah berkurang. Oleh karena itu, pada keadaan
prediabetik, akan ditemukan keadaan hiperinsulinemia dengan kadar glukosa darah
yang masih normal. Namun kemampuan pankreas untuk mempertahankan sekresi
insulin yang tinggi tersebut terbatas, dan semakin lama resistensi insulin yang
semakin meningkat akan meningkatkan stres sel beta pankreas memproduksi insulin,
sehingga pelan-pelan sel-sel beta akan mengalami kemunduran produksi insulin, dan
terjadilah keadaan insufisiensi sekresi insulin (Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson,
2003).
Saat resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin terjadi, maka terjadilah
keadaan diabetes. Gula darah akan meningkat, dan mekanisme lain untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap dalam kadar normal diambil alih
oleh ginjal. Ginjal akan mengekskresikan glukosa, sehingga akan timbul glikosuria.
Kadar glukosa yang tinggi di urin inilah yang menjadi alasan diabetes mellitus juga
disebut penyakit “kencing manis” (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Glikosuria akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik urin. Hal ini akan
menyebabkan plasma darah yang melewati ginjal akan ditarik ke nefron sehingga
kadar air yang diekskresikan ginjal bertambah, menyebabkan poliuria. Poliuria
kemudian akan menyebabkan kadar cairan tubuh berkurang, sehingga mekanisme
fisiologis akan dehidrasi bekerja, menyebabkan rasa haus dan polidipsia. Glikosuria
menyebabkan sumber energi tubuh (glukosa) terbuang, ditambah dengan
ketidakmampuan relatif sel-sel tubuh mengonsumsi glukosa karena resistensi insulin
dan insufisiensi sekresi insulin, menyebabkan rasa lapar, polifagia, mudah lelah, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada pasien DM tipe
2. Oleh karena itu, poliuria, polidipsia, dan polifagia adalah gejala klasik DM yang
paling awal (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003)
Ginjal tidak dapat menyekresikan glukosa hingga pada kadar yang normal,
sehingga walaupun sudah terjadi glikosuria dan poliuria, kadar glukosa darah tetap
tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi ini akan menyebabkan gangguan metabolik
dan penumpukan “produk glukosa” sistemik, yang terutama akan menumpuk pada
pembuluh darah dan neuron. Apabila keadaan hiperglikemia tetap dibiarkan kronis,
maka komplikasi metabolik akut, vaskular, dan neurologis DM akan terjadi (Romesh,
2014; Ozougwu et al, 2013).
Komplikasi metabolik akut lebih dikarenakan oleh disfungsi kontrol
metabolik insulin, terutama pada hati, dibandingkan hiperglikemia itu sendiri. Insulin
tidak hanya menyebabkan glukosa darah dapat dikonsumsi oleh sel, namun insulin
juga mengontrol fungsi glikogenesis, lipogenesis, glukoneogenesis, lipolisis, dan
pembentukan badan keton. Ketosis adalah keadaan metabolik akut yang dapat terjadi
pada keadaan DM dengan insufisiensi sekresi insulin yang nyata, menyebabkan
keadaan yang disebut sebagai ketoasidosis metabolik (KAD). Namun KAD lebih
sering ditemui pada pasien dengan DM tipe 1. Keadaan ini ditandai dengan terjadinya
gejala-gejala asidosis, seperti takipnea, penurunan pH darah, dan penurunan kadar
bikarbonat darah (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Pada pasien dengan DM tipe 2, gangguan metabolik akut yang lebih sering
terjadi adalah hyperglicemic hyperosmolar state (HHS). Karena pada DM tipe 2
hanya terjadi (walau hanya pada awalnya) insufisiensi sekresi insulin relatif, maka
insulin yang ada masih cukup untuk mengontrol fungsi metabolik hati untuk
memproduksi badan keton, sehingga kadar badan keton pada tubuh dapat ditekan, dan
tidak terjadi ketosis. Namun, hiperglikemia akut, yang biasanya terjadi apabila
glukosa darah lebih dari 600 mg/dL dan terutama pada pasien tua, akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan osmotik plasma yang drastis, menyebabkan
pengeluaran urin masif yang menyebabkan dehidrasi. Kadar glukosa yang tinggi
tersebut juga menyebabkan kadar pH darah menurun, sehingga terjadi asidosis
nonketotik. Keadaan asidosis dan dehidrasi pada HHS ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran dan kematian apabila tidak segera ditangani dengan rehidrasi
dan pengontrolan hiperglikemia dengan insulin (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
Selain komplikasi metabolik akut, dapat terjadi juga komplikasi jangka
panjang yang menyerang vaskular dan saraf. Hiperglikemia kronis menyebabkan
peningkatan kadar glikoprotein, dan glikoprotein tersebut akan menumpuk di
vaskular dan neuron. Pada vaskular, komplikasi penumpukan glikoprotein ini dibagi
menjadi lesi mikrovaskular dan lesi makrovaskular (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
Lesi mikrovaskular akan menyebabkan komplikasi seperti retinopati diabetik
dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik ditandai dengan mikroaneurisma,
neovaskularisasi, dan perdarahan sehingga menyebabkan kebutaan. Sedangkan pada
nefropati diabetik, kadar glukosa masif darah yang melewati ginjal akan
menyebabkan lesi pada struktur nefron, sehingga dapat menyebabkan
glomerulosklerosis, yang kemudian akan meluas ke seluruh struktur nefron dan
menyebabkan gagal ginjal (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Lesi makrovaskular akan menyebabkan aterosklerosis pada pembuluh-
pembuluh darah, terutama pada pembuluh darah perifer, pembuluh darah koroner,
dan pembuluh darah serebral. Lesi aterosklerotik pada pembuluh darah perifer lebih
sering nyata terjadi pada pembuluh darah telapak kaki, dimana disertai dengan
menurunnya sensitivitas sensorik terhadap trauma saat berjalan (neuropati), maka lesi
aterosklerotik pada pembuluh darah perifer tersebut akan menyebabkan darah sulit
untuk mengalir dan terjadi luka yang berulang pada daerah kaki. Hambatan aliran
darah pada daerah luka akan menyebabkan sel-sel imun yang berfungsi untuk
regenerasi dan peradangan tidak dapat sampai pada daerah lesi, sehingga
penyembuhan luka tidak terjadi dan terjadi infeksi pada daerah luka. Mekanisme
inilah yang menyebabkan ulkus diabetik pada penderita DM tipe 2 (Romesh, 2014;
Rowe, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Lesi aterosklerotik pada pembuluh darah koroner akan menyebabkan
penderita DM tipe 2 untuk lebih beresiko mengalami penyakit jantung koroner (PJK).
Lesi pada pembuluh darah serebral dapat meningkatkan resiko penderita DM tipe 2
untuk mengalami penyakit serebrovaskular (Cerebrovascular Disease; CVD)
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Mekanisme lain yang terjadi pada penderita DM tipe 2 adalah gangguan
metabolisme jalur poliol (glukosa, sorbitol, fruktosa) dikarenakan insufisiensi insulin
relatif menyebabkan kadar insulin yang kurang tidak dapat mengatur jalannya
metabolisme ini. Akibatnya, akan terjadi penumpukan sorbitol pada lensa mata, yang
akan menyebabkan elastisitas lensa berkurang, dan terjadilah katarak diabetika
(Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003).
Penumpukan sorbitol juga terjadi pada serabut mielin, dimana sorbitol akan
merusak serabut mielin dan akson akan mengalami degenerasi. Penurunan
kemampuan akson ini akan menyebabkan neuropati diabetik, yang akan berakibat
luas kepada sistem saraf sensorik, sistem saraf motorik, dan sistem saraf otonom
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Kerusakan sistem saraf sensorik akan menyebabkan parestesia, anestesia, dan
penurunan kepekaan akan rangsang nosiseptif, sehingga penderita DM tipe 2 dapat
mengalami kecenderungan untuk mengalami luka tanpa disadari, terutama pada
daerah kaki. Sedangkan pada sistem saraf motorik, dapat terjadi kelemahan otot.
Kerusakan pada sistem otonom dapat menyebabkan impotensi (Price & Wilson,
2003).

2.4 Etiologi Diabetes Mellitus


Faktor-faktor penyebab DM meliputi :
2.4.1 Genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting pada DM yang dapat mempengaruhi
sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali sekretoris insulin.
Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor
lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas (Price
and Wilson, 2006).
2.4.2 Usia
Diabetes mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia
lanjut. Kejadian usia lanjut dengan gangguan toleransi glukosa mencapai 50-
92% (Rochman dalam Sudoyo, 2006). Sekitar 6% individu berusia 45-64
tahun dan 11% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita DM tipe II
(Ignativicius & Workman, 2006). Rochman W dalam Sudoyo (2006)
menyatakan bahwa usia sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan
kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi DM
dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang
berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada
tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ, yang dapat mempengaruhi
fungsi homeostasis (Price and Wilson, 2006).
2.4.3 Jenis kelamin
Penyakit DM ini sebagian besar dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-
laki karena terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya
hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal
tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM
(Soegondo, 2007). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar
antara 15-20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%.
Jadi peningkatan kadar lemak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-
laki, sehingga faktor risiko terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali lipat (Soegondo, 2007).
2.4.4 Berat badan
Obesitas adalah berat badan yang berlebih minimal 20% dari BB idaman atau
indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Soegondo (2007) menyatakan bahwa
obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.
2.4.5 Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007). Kriska (2007)
menyatakan mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat
perkembangan DM tipe II yaitu :
1) resistensi insulin
2) peningkatan toleransi glukosa
3) Penurunanlemak adipose
4) Pengurangan lemak sentral; perubahan jaringan otot. Aktivitas fisik yang
semakin jarang maka gula yang dikonsumsi juga akan semakin lama terpakai,
akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula dalam darah juga akan semakin
tinggi.
2.4.6 Pola makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan
fungsi sel beta individu yang rentan (Prince & Wilson, 2006). Individu yang
kelebihan berat badan harus melakukan diet untuk mengurangi kebutuhan
kalori sampai berat badannya turun mencapai batas ideal. Penurunan kalori
yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat
badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan
2,5-7 kg/bulan akan memperbaiki kadar glukosa darah (ADA, 2006).
2.4.7 Stress
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang
diikuti oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem
hipotalamus-pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin
releasing factor yang menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi
adenocorticotropic faktor (ACTH). Adenocorticotropic menstimulasi
produksi kortisol, kortisol adalah hormon yang dapat menaikkan kadar gula
darah (Guyton, 2006).
2.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Menurut Price and Wilson (2006), manifestasi klinis DM dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal
untuk zat ini, maka akan akan menimbulkan glukosa. Glukosa ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan
timbul rasa haus (polidipsia). Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena
pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolute namun hanya relatif. Sejumlah
insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Apabila
terjadi hiperglikemia berat dan pasien berespon terhadap terapi diet, atau terhadap
obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan
kadar darahnya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer
terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau
malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa
darah normal (Price and Wilson,2006).

2.6 Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko
DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif
(Sudoyo Aru, 2006).
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM,
maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM
juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(Purnamasari, D. 2009)

Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :


 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat
cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti yang biasa
dilakukan
 Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
15 menit
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan
tidak merokok
Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) ≥ 25 Kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat DM gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrim polikistik ovarium
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular

Tabel 2.
Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum pasti DM
DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)

Tabel 3.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena)  200 mg/dl
2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar glukosa plasma  200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang
lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat
badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik
kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM
gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah
normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Menurut Konsensus Perkeni 2011, ada empat pilar penatalaksanaan DM.
2.7.1 Edukasi
Pengelolaan mandiri DM secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien
dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup.
Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi,
pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.
2.7.2 Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori masing masing individu. Perlu ditekankan
pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan
insulin. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tujuan utama terapi DM adalah
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal
(euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Salah satu penalaksanaan DM antara lain dengan diet dan
apabila DM telah terjadi komplikasi Chronic kidney disease (CKD) pada
stadium 3 maka penatalaksaan diet DM tidak tepat untuk digunakan.
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
DM. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan
sebagai berikut:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis
e. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat (Perkeni, 2011).
Syarat diet penyakit DM menurut Perkeni 2011 adalah :
a. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan kriteria Asia
Pasifik dapat dihitung dengan rumus IMT = BB(kg)/ TB(m2).
b. Kebutuhan protein sebesar 10-20 % dari total asupan energy
c. Kebutuhan lemak dianjurkan sekitar 20-25% dari kebutuhan energi
total, dalam bentuk <7% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak
jenuh, 10% dari lemak tak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak
jenuh tunggal. Asupan kolesterol dibatasi, yaitu < 200 mg hari.
d. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
e. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang DM dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Buahbuahan tidak
secara berlebihan dari 5% total asupan energy.
f. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

2.7.3 Latihan Jasmani


Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena
efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi resiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan yang kurang gerak.
2.6.4 Terapi Farmakologis
a. Obat Anti-hiperglikemia Oral:
1. Insulin secretagogue: memacu sekresi insulin. Contohnya yaitu
sulfonilurea dan glinid.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin. Contohnya yaitu metformin
dan tiazolidindion (TZD).
3. Penghambat Glukosidase Alfa: menghambat absorbsi glukosa dalam
usus halus.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV): saat kerja DPP-IV
dihambat maka GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon.
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2):
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal. Contohnya
yaitu: canagliflozin, empagliflozin.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic: merangsang pelepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia (Eliana, 2015).

2.8 Komplikasi
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) komplikasi DM
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia adalah kadar gula darah <50 mg/dl. Kadar gula yang rendah dapat
menyebabkan kerusakan pada sel–sel otak karena tidak mendapat pasokan
energi.
b. Hiperglikemia adalah kadar gula darah tiba–tiba tinggi. Keadaan ini dapat
menyebabkan ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik (KHNK)
dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi kronis
a. Komplikasi makrovaskular yang biasanya terjadi adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), dan mengalami penyakit jantung
koroner (PJK).
b. Komplikasi mikrovaskular, seperti nefropati, diabetik retinopati, dan neuropati
(ADA, 2011).

2.9 Defisiensi Mineral pada Pasien DM tipe 2


Defisiensi mineral pada penderita hiperglikemia yang tidak terkontrol,
terutama yang menjalani terapi diuretik kronis, cenderung mengalami defisiensi pada
beberapa mineral, terutama kalium, magnesium, dan seng. Kekurangan mineral
tertentu seperti kalium, magnesium, dan kemungkinan seng dan kromium dapat
mempengaruhi seseorang untuk intoleransi karbohidrat. Kebutuhan akan penggantian
kalium atau magnesium mudah diterima karena efek dari kekurangan kalium atau
magnesium, terutama pada sistem kardiovaskular dan otot rangka sangat mudah
terdeteksi. Keadaan defisiensi kalium dan magnesium relatif mudah dideteksi
berdasarkan kadar serum yang rendah. Konsekuensi dari kekurangan seng dan
kromium lambat muncul, dan kebutuhan akan suplementasi lebih sulit dipastikan
(Chadede, Ali, 2009).
Hubungan antara kekurangan magnesium (Mg) dan diabetes mellitus tipe 2
sudah dikenal luas. Diabetes tipe 2 sering dikaitkan dengan defisit Mg ekstraseluler
dan intraseluler. Defisit Mg laten kronis atau hipomagnesemia klinis yang jelas sering
terjadi pada subjek dengan diabetes tipe 2, terutama pada mereka dengan profil
glikemik yang tidak terkontrol. Insulin dan glukosa adalah pengatur penting
metabolisme Mg. Intracellular Mg memainkan peran penting dalam mengatur aksi
insulin, penyerapan insulin-mediated-glukosa-dan nada vaskular. Berkurangnya
konsentrasi Mg intraseluler menghasilkan aktivitas tirosin-kinase yang rusak,
penurunan postreceptorial dalam aksi insulin dan memburuknya resistensi insulin
pada pasien diabetes. Asupan Mg rendah dan peningkatan kehilangan urin Mg muncul
mekanisme yang paling penting yang dapat mendukung penurunan Mg pada pasien
dengan diabetes tipe 2. Asupan Mg diet rendah telah dikaitkan dengan perkembangan
diabetes tipe 2 dan sindrom metabolik. Manfaat suplementasi Mg pada profil
metabolik pada subyek diabetes telah ditemukan di sebagian besar, tetapi tidak semua
studi klinis dan studi prospektif yang lebih besar diperlukan untuk mendukung peran
potensial dari suplementasi Mg sebagai strategi kesehatan masyarakat yang mungkin
dalam risiko diabetes (Barbagallo, Dominguez, 2015).
A. Kalsium dan Vitamin D
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kalsium dan vitamin D tidak hanya
diperlukan untuk kesehatan tulang tetapi juga mungkin memiliki peran dalam
modulasi imun dan sekresi dan aksi insulin pankreas. Asupan harian yang
direkomendasikan bervariasi sesuai dengan usia subjek dan, pada wanita, keadaan
menausea. Saat ini, tidak ada alasan untuk merekomendasikan asupan kalsium dan
vitamin D yang lebih tinggi untuk diabetisi dibandingkan dengan kohort orang-orang
non-diabetes yang cocok dengan usia. Rekomendasi Institute of Medicine untuk
asupan vitamin D harian yang memadai adalah 200 IU untuk anak-anak dan orang
dewasa ≤ 50 tahun, 400 IU untuk orang dewasa berusia 51-70 tahun, dan 600 IU
untuk orang dewasa ≥ 71 tahun. Orang yang tinggal di garis lintang utara sering
membutuhkan jumlah yang lebih tinggi (setidaknya 800 IU) (Connell, 2001).

Cholecalciferol (vitamin D3) lebih disukai untuk diganti karena memiliki waktu
paruh yang lebih lama, dan pengukurannya dalam kadar serum lebih kecil
kemungkinannya untuk dipenuhi dengan ketidakpastian. Namun, formulasi dosis
tinggi cholecalciferol tidak tersedia, dan karena itu Ditanam berasal ergocalciferol
(vitamin D2) lebih sering diresepkan. (Connell, 2001).
Tingkat 25-hidroksi vitamin D serum harus diukur setelah 3 bulan suplementasi. Jika
kadar serum 25-hidroksi vitamin D dalam serum tidak dinormalisasi pada saat itu,
maka dipertimbangkanlah untuk malabsorpsi, khususnya gluten enteropati, yang harus
dipertimbangkan. (Chutia, Lynrah .2015).
B. Vanadium
Vanadium memiliki efek signifikan pada metabolisme glukosa. Namun, studi
klinis telah gagal menunjukkan bukti kemanjuran garam vanadium pada diabetes dan
telah menemukan bahwa ada potensi toksisitas. Senyawa organo-vanadium baru
dengan potensi lebih tinggi dan toksisitas lebih rendah sedang diselidiki sebagai
pengobatan potensial diabetes.(Chadede, Ali, 2009).
C. Selenium
Selenium adalah komponen penting dari selenoprotein, yang terlibat dalam
memodulasi stres oksidatif dan mengatur aktivitas hormon tiroid. Dalam lima
percobaan (empat dengan risiko bias tinggi), selenium tampaknya menunjukkan efek
menguntungkan yang signifikan pada kejadian kanker gastrointestinal (Chadede, Ali,
2009).

Ada juga beberapa data yang mendukung untuk menyarankan bahwa selenium
dapat mencegah kanker prostat. Namun, percobaan acak terkontrol plasebo baru-baru
ini pada 35.533 pria yang diberi 200 μg L-selenomethionine atau plasebo yang
dicocokkan tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada kejadian kanker
prostat. Dalam percobaan yang sama, 400 IU vitamin E per hari baik sendiri atau
dalam kombinasi dengan selenium juga tidak mencegah kanker prostat. Potensi efek
pencegahan kanker dari selenium harus diuji dalam uji coba acak yang dilakukan
secara memadai. Kekurangan selenium dapat terjadi di daerah geografis di mana tanah
pertanian habis selenium. Pada populasi ini, pencegahan selenium harus dilakukan.
Namun, kelebihan selenium dapat menyebabkan selenosis, mempengaruhi hati, kulit,
kuku, dan rambut. Selain itu, dua penelitian terbaru examin- ing hubungan antara
kadar serum selenium dan prevalensi diabetes di kalangan orang dewasa AS
menemukan bahwa kadar selenium serum tinggi yang secara positif terkait dengan
prevalensi diabetes, bahwa selenium tion suplementasi tidak mencegah diabetes tipe 2,
dan itu dapat meningkatkan risiko penyakit. Dengan demikian, penggunaan
indiscriminant suplemen selenium harus berkecil hati sampai lebih acak, percobaan
dikontrol meneliti efek mereka pada kesehatan manusia.
Selenium dapat menyebabkan selenosis, mempengaruhi hati, kulit, kuku, dan
rambut.Selain itu, dua penelitian terbaru examin- ing hubungan antara kadar serum
selenium dan prevalensi diabetes di kalangan orang dewasa AS menemukan bahwa
kadar selenium serum tinggi yang secara positif terkait dengan prevalensi diabetes,
bahwa selenium tion suplementasi tidak mencegah diabetes tipe 2, dan itu dapat
meningkatkan risiko penyakit. Dengan demikian, penggunaan indiscriminant
suplemen selenium harus berkecil hati sampai lebih acak, percobaan dikontrol
meneliti efek mereka pada kesehatan manusia ( Barbagallo, Dominguez, 2015).
D. Magnesium
Defisiensi Mg pada diabetes tipe 2 dapat berbentuk defisit Mg laten kronis daripada
hipomagnesemia klinis yang jelas , dan mungkin memiliki kepentingan klinis karena
ion Mg merupakan kofaktor penting bagi banyak reaksi enzimatik yang terlibat dalam
segudang proses metabolisme. Ion Mg memainkan peran penting dalam pengaturan
efek insulin dan asupan glukosa seluler yang dimediasi insulin. (Chutia, Lynrah
.2015). Mg adalah faktor pendamping yang diperlukan dalam> 300 reaksi enzimatik
yang mencakup semua penentu enzim glikolisis. Intraseluler Mg adalah kofaktor
penting untuk enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, dan khususnya
dalam proses fosforilasi tirosin-kinase dari reseptor insulin serta semua protein kinase
lainnya dalam pensinyalan insulin, dan semua ATP dan enzim terkait transfer fosfat ,
seperti CaATPases dalam membran plasma dan retikulum endoplasma (Rao, 2016).
Kekurangan Mg dapat menyebabkan gangguan aktivitas tirosin kinase dari reseptor
insulin, peristiwa yang terkait dengan perkembangan resistensi insulin pasca
reseptorial dan penurunan pemanfaatan glukosa seluler, yaitu, semakin rendah Mg
basal, semakin besar jumlah insulin yang dibutuhkan untuk memetabolisme beban
glukosa yang sama, menunjukkan penurunan sensitivitas insulin . Konsentrasi sel Mg
berada dalam kisaran 100-300nmol / L, yang dekat dengan konstanta disosiasi banyak
sistem enzim yang menggunakan ATP atau pemindahan fosfat, yang menegaskan
pentingnya klinis defisiensi Mg. Status Mg yang kurang mungkin merupakan
konsekuensi sekunder atau dapat mendahului dan menyebabkan resistensi insulin dan
mengubah toleransi glukosa, dan bahkan diabetes. Peradangan dan stres oksidatif
telah diusulkan sebagai kemungkinan hubungan antara defisit Mg dan resistensi
insulin / sindrom metabolik. Hipomagnesemia kronis dan kondisi yang umumnya
dikaitkan dengan defisiensi Mg, seperti diabetes mellitus tipe 2, sindrom metabolik
dan penuaan, dikaitkan dengan peningkatan bebas pembentukan radikaldan kerusakan
selanjutnya pada proses seluler . Penuaan sering dikaitkan dengan resistensi insulin
dan intoleransi glukosa. Penurunan yang tergantung pada usia secara terus-menerus
dari kadar Mg intraseluler dalam sel darah perifer dari subyek manula yang sehat
hadir, perubahan ini tidak dapat dibedakan dengan yang terjadi, secara independen
dari usia, pada hipertensi esensial atau diabetes tipe 2 (Rao, 2016).
Relevansi metabolisme seluler Mg yang berubah dengan sensitivitas insulin
tissutal menunjukkan kemungkinan peran Mg dalam berkontribusi pada kebetulan
klinis penurunan Mg ke kondisi klinis resistensi insulin seperti hipertensi, sindrom
metabolik, diabetes tipe 2 juga dengan peningkatan insiden masing-masing. dari
kondisi ini seiring bertambahnya usia, suatu kondisi itu sendiri ditandai oleh
kecenderungan untuk penipisan Mg. Secara keseluruhan, terlepas dari penyebab
plasma yang buruk dan konten Mg intraseluler, penipisan Mg tampaknya
berkontribusi terhadap gangguan sensitivitas insulin. Status Mg yang kurang mungkin
bukan hanya konsekuensi sekunder dari diabetes tipe 2 tetapi dapat mendahului dan
berkontribusi pada pengembangan resistensi insulin dan mengubah toleransi glukosa,
dan bahkan diabetes tipe 2. Kami telah menyarankan peran defisit Mg sebagai
mekanisme pemersatu kondisi yang mungkin terkait dengan resistensi insulin,
termasuk diabetes mellitus tipe 2, sindrom metabolik, dan hipertensi esensial. Defisit
Mg dapat mendahului dan menyebabkan resistensi insulin pasca-reseptorial dan
mengubah toleransi glukosa (Barbagallo, Dominguez, 2015).

2.10 Hubungan Gangguan Metabolik Terhadap Penderi DM Tipe 2


Beda halnya dengan DM Tipe 1, DM Tipe 2 (sebelumnya disebut sebagai onset
dewasa atau diabetes yang tidak bergantung pada insulin) bukanlah kondisi autoimun.
Dari semua orang dengan diabetes, 90% hingga 95% memiliki tipe 2. Kebanyakan orang
dengan diabetes tipe 2 kelebihan berat badan dan mengembangkan hiperglikemia akibat
resistensi insulin dan defisiensi insulin. Selain kelebihan berat badan, beberapa faktor
risiko untuk mengembangkan diabetes tipe 2 termasuk aktivitas fisik, kerabat tingkat
pertama dengan diabetes, wanita yang melahirkan bayi lebih dari 9 lb (4,2 kg), atau yang
memiliki diabetes gestasional. Faktor risiko lain termasuk hipertensi, toleransi glukosa
terganggu, peningkatan trigliserida, dan kondisi lain yang terkait dengan resistensi
insulin. Selain faktor-faktor risiko, lingkungan sosial di mana seseorang dilahirkan juga
dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan ekspresi diabetes tipe 2. Penelitian
sosial mengungkapkan bahwa orang dengan status sosial ekonomi rendah lebih mungkin
untuk mengekspresikan diabetes. Ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor termasuk
kurangnya akses ke tempat-tempat yang aman untuk berolahraga, terbatasnya
pengetahuan tentang makan sehat, dan meningkatnya prevalensi obesitas. Menjadi
kelebihan berat badan dan obesitas, terutama obesitas perut pusat, di semua populasi
meningkatkan risiko diabetes. Penelitian baru telah menemukan bahwa jaringan adiposa
perut bertindak sebagai organ endokrin, mensekresi mediator kimia yang meningkatkan
resistensi dan peradangan insulin (Zhang, Cui, Wang,dkk , 2014).
Cacat Sel yang Berhubungan Dengan Diabetes Tipe 2 Diabetes tipe 2 adalah
kelompok gangguan heterogen yang dalam kombinasi menghasilkan hiperglikemia.
Gangguan ini termasuk kematian sel, resistensi insulin, pelepasan glukosa hati yang
berlebihan, dan defisiensi hormon lainnya. Penyebab kematian massal sel tidak
diketahui. Studi menunjukkan bahwa sekitar 40% dari -sel massa hilang pada individu
dengan gangguan toleransi glukosa dan 60% pada diagnosis klinis diabetes.Kehilangan
sel mulai 9 hingga 12 tahun sebelum diabetes didiagnosis. Tingkat kematian -cell jauh
lebih tinggi pada orang dengan diabetes, meskipun tingkat pembentukan sel islet baru
tidak terpengaruh. Karena uji klinis besar, seperti United Kingdom Prospective Diabetes
Study, sejarah alami diabetes tipe 2 lebih dipahami. Studi ini menunjukkan bahwa-sel
kematian pada diabetes tipe 2 adalah progresif dan berlanjut dari waktu ke waktu.
Setelah didiagnosis diabetes tipe 2, terlepas dari apakah pasien kurus atau kelebihan
berat badan, massa sel beta berkurang setengahnya. Ini sebagian menjelaskan mengapa
30% orang dengan diabetes tipe 2 akhirnya membutuhkan terapi insulin. Selain
kematian sel, ada penurunan sensitivitas pankreas dan respons sekresi insulin. Respons
yang berkurang ini disebabkan oleh paparan berlebih pada pankreas terhadap kadar
glukosa darah tinggi yang abnormal kronis (kadang-kadang disebut toksisitas glukosa).
Ketika sekresi insulin menurun, kadar glukosa darah naik di atas normal dan dengan
demikian menandai dimulainya diabetes tipe 2. Namun, lebih dari selama kematian dan
defisiensi insulin yang harus disalahkan (Zhang, Cui, Wang,dkk ,2014).

Resistensi Insulin dan Sindrom


Resistensi insulin mengacu pada respon yang tidak memadai dari sel otot, hati,
dan lemak terhadap insulin. Akibatnya, glukosa tetap berada dalam sirkulasi alih-alih
dikonversi menjadi energi melalui metabolisme seluler. Orang yang kelebihan berat
badan dan obesitas lebih cenderung resisten insulin. Bertentangan dengan kepercayaan
umum, resistensi insulin bukan karena kekurangan atau reseptor sel insulin yang tidak
berfungsi. Studi menunjukkan bahwa penderita diabetes memiliki jumlah dan fungsi
reseptor insulin yang normal. Mekanisme pasti resistensi insulin tidak dipahami tetapi
mungkin karena mekanisme transduksi sinyal reseptor postinsulin yang rusak (Alebiosu,
Odusan, Sagamu, 2004).
Pada awal proses diabetes, pankreas menginfeksi insulin dalam upaya untuk
mengatasi resistensi insulin dan mempertahankan euklikemia. Banyak orang dengan
resistensi insulin memiliki kadar glukosa darah yang tinggi dan kadar insulin yang
tinggi yang bersirkulasi dalam darah mereka pada saat yang bersamaan. Ketika
resistensi insulin terus berlanjut dan kehilangan semakin memburuk, kadar glukosa
darah melebihi kadar normal. Kadar glukosa pagi meningkat karena tidak ada cukup
insulin untuk mencegah produksi glukosa berlebih pada malam hari oleh hati. Kadar
glukosa darah pasca-makan meningkat karena beberapa mekanisme. Pertama, karena
cacat diabetes, penyerapan glukosa oleh otot setelah makan menurun lebih dari 50%.
Kedua, glukagon yang tidak diperiksa menstimulasi hati untuk melepaskan glukosa,
bahkan dalam keadaan makan. Akhirnya, otot dan adiposit (sel lemak) resisten terhadap
insulin, yang menghasilkan FFA tingkat tinggi. Peningkatan FFA memperburuk
resistensi insulin di hati dan sel otot, meningkatkan pembentukan glukosa dan merusak
sekresi sel. Adiposit disfungsional juga menghasilkan mediator kimia yang
berkontribusi terhadap aterosklerosis dan resistensi insulin. Hiperglikemia yang tidak
terkendali ini semakin mengurangi sensitivitas insulin dan sekresi insulin pankreas
(Alebiosu, Odusan, Sagamu, 2004).
Selain menurunkan fungsi -sel dan resistensi insulin, disfungsi hormon lainnya
berkontribusi terhadap hiperglikemia. Dengan diabetes tipe 2, sel-sel ini juga
memproduksi hormon penurun glukosa, amylin. Hormon ini ditemukan pada 1980-an
disekresikan dalam rasio 1: 1 dengan insulin dan meningkatkan rasa kenyang dan
menurunkan pelepasan glukagon pasca-makan. Orang dengan diabetes tipe 2
menghasilkan kurang dari setengah jumlah normal amylin. Hormon-hormon usus GLP-1
dan GIP yang mempromosikan rasa kenyang dan mengurangi pelepasan glukagon pasca-
makan juga masih kurang diproduksi. Enzim yang memecah hormon-hormon yang
disebut dipeptidyl-peptidase-inhibitor-IV ini terlalu aktif dan menurunkan
bioavailabilitas dari hormon-hormon kritis ini menambah hiperglikemia pasca-makan
(Alebiosu, Odusan, Sagamu, 2004).

Sindrom Metabolik

Istilah sindrom metabolik (kadang-kadang disebut sindrom resisten insulin atau


sindrom kardiometabolik) mengacu pada pengelompokan faktor risiko yang meliputi
obesitas perut, dislipidemia, hiperglikemia, dan hipertensi. Sindrom ini merupakan
tantangan kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia karena dikaitkan dengan
peningkatan lima kali lipat risiko diabetes tipe 2 dan risiko CVD dua hingga tiga kali
lipat.
Tahun 1998, Reaven dijelaskan sindrom berdasarkan insulin Ance resist-, tinggi
tingkat sirkulasi insulin, hiperglikemia, peningkatan sangat- low-density lipoprotein
(VLDL), penurunan high-density lipoprotein (HDL) kolesterol dan tekanan darah tinggi.
Sejak itu, ada minat, penelitian, dan debat yang sedang berlangsung tentang definisi dan
kegunaan sindrom metabolik. ADA dan EASD mempertanyakan ketidaktepatan definisi,
kurangnya kepastian patogenesis dan nilainya dalam memprediksi CVD. Organisasi
diabetes ini menekankan pentingnya mengevaluasi dan merawat setiap faktor risiko
kardiovaskular; apakah orang tersebut memenuhi kriteria diagnostik untuk sindrom
metabolik atau tidak. Penelitian berkelanjutan diperlukan untuk menentukan manfaat
prediktif mendiagnosis seseorang dengan sindrom metabolik. Selain itu, tidak ada satu
definisi universal untuk sindrom metabolik. Definisi yang paling sering disebut adalah
definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dikembangkan pada tahun 1999,
Program Pendidikan Ahli Kolesterol Nasional, Panel III (NCEP III) pada tahun 2001 dan
yang terbaru Federasi Federasi Internasional (IDF) ) konsensus panel pada tahun 2005
yang telah de- veloped konsensus di seluruh dunia dari definisi sindrom metabolik. Pada
tahun 2003, American College of Endocrinology (ACE) menerbitkan pernyataan posisi
bekerja sama dengan American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) pada
"insulin resistance syndrome" (istilah yang lebih disukai) yang menghindari penggunaan
serangkaian kriteria untuk mendefinisikan sindrom metabolik, tetapi sebaliknya berfokus
pada kelompok kelainan yang lebih mungkin terjadi pada individu yang resisten /
hiperinsulinemik dan menekankan bahwa diagnosis harus didasarkan pada penilaian
klinis yang diinformasikan oleh evaluasi faktor risiko. Dalam makalah posisi mereka,
mereka secara khusus berusaha untuk membedakan sindrom resisten insulin dari diabetes
tipe 2 dan CVD, karena fokus klinis yang dinyatakan adalah untuk mengidentifikasi
individu yang berisiko sebelum konsekuensi tersebut terjadi. Selain ini menggambarkan
perbedaan filosofis, mereka juga menggunakan indeks massa tubuh (BMI) daripada
lingkar pinggang unntuk mengukur tingkat resiko (Alebiosu, Odusan, Sagamu, 2004).

Definisi WHO tentang sindrom metabolik mensyaratkan adanya resistensi


insulin sebagaimana diidentifikasi oleh diabetes tipe 2, gangguan glukosa puasa, atau
gangguan toleransi glukosa ditambah setidaknya dua hal berikut:

a. BMI 30 kg / m2 dan / atau rasio pinggang dengan pinggul 0,90 pada pria atau
0,85 pada wanita.
b. Trigliserida serum 50 mg / dL (1,7 mmol / L) atau kolesterol HDL 35 mg / dL
(0,9 mmol / L) pada pria dan 39 mg / dL (1,0 mmol / L) pada wanita.
c. Peningkatan tekanan darah arteri 140/90 mm Hg.
d. Tingkat ekskresi albumin urin 20 g / mnt atau rasio albumin terhadap kreatinin
30 mg / g.

Menurut NCEP III, hiperglikemia bukanlah faktor penting untuk memasuki stratifikasi
risiko untuk sindrom metabolik; sebagai gantinya, orang dewasa yang didiagnosis
dengan sindrom metabolik harus memiliki tiga atau lebih dari yang berikut:

a. Lingkar pinggang 40 in (102 cm) pada pria dan 35 in (88 cm) pada wanita.
b. Trigliserida serum 150 mg / dL (1,7 mmol / L).
c. Tekanan darah 130/85 mm Hg.
d. Kolesterol HDL 40 mg / dL (103 mmol / L) pada pria dan 50 mg / dL (1.29
mmol / L) pada wanita.
e. Glukosa puasa 110 mg / dL (6,1 mmol / L) (Alebiosu, Odusan
Sagamu, 2004).

Di sini, ada pergeseran dari rasio pinggang ke pinggul ke lingkar pinggang dan
peningkatan kadar glukosa mungkin dimasukkan tetapi tidak penting untuk diagnosis
diabetes. Dalam stratifikasi ini, faktor risiko memiliki bobot yang sama (Alebiosu,
Odusan, Sagamu, 2004).
IDF mengorganisir panel konsensus untuk membuat definisi sindrom metabolik
di seluruh dunia. Hasil kelompok konsensus dipresentasikan pada tahun 2005 di Berlin
pada Konferensi Internasional Pertama tentang pradiabetes dan sindrom metabolik.
Definisi baru sindrom metabolik ini lebih ramah pengguna bagi mereka yang berpraktik
klinis. Sementara penyebab yang mendasari sindrom metabolik masih menjadi topik
perdebatan yang intens, pernyataan konsensus IDF mengidentifikasi distribusi lemak
perut abnormal dan resistensi insulin sebagai penyebab kritis dan saling terkait. Untuk
didefinisikan sebagai memiliki sindrom metabolik, definisi IDF memerlukan yang
berikut: obesitas sentral (didefinisikan sebagai lingkar pinggang 37 in (94 cm) pada pria
Eropa dan 31,5 in (88 cm) untuk wanita Eropa dengan nilai spesifik etnis untuk
kelompok lain, ditambah dua dari empat faktor tambahan berikut:

a. Trigliserida yang meningkat: 150 mg / dL (1,7 mmol / L) atau pengobatan


spesifik untuk kelainan lipid ini.
b. Mengurangi kolesterol HDL: 40 mg / dL (1,03 mmol / L) pada pria dan 50 mg /
dL (1,29 mmol / L) pada wanita atau pengobatan khusus untuk kelainan lipid
ini.
c. Tekanan darah meningkat: sistolik BP 130 mm Hg atau diastolik BP 85 atau
pengobatan hipertensi yang didiagnosis sebelumnya.
d. Peningkatan kadar glukosa plasma puasa FPG 100 mg / dL (5,6 mmol / L) atau
diabetes sebelumnya didiagnosis. Jika di atas 100 mg / dL atau 5,6 mmol / L,
tes toleransi glukosa sangat penting dilakukan tetapi tidak perlu untuk
menentukan kehadiran metabolik sindrom (Alebiosu, Odusan,Sagamu,2004).

Natrium

Pseudohyponatremia (ditandai hiperlipidemia) Pergerakan hiperglikemia


(hipertonisitas) yang diinduksi air keluar dari sel (dilonat hiponatremia) diuresis yang
diinduksi hipovolemik hiponatremia : agen hipoglikemik (chlorpropamide,
tolbutamide, insulin) atau obat lain (misalnya, diuretik, amitriptyline)
Pseudonormonatremia (ditandai hiperlipidemia, hipoproteinemia berat).
Hiponatremia yang diinduksi obat karena agen hipoglikemik (klorpropamid,
tolbutamid, insulin)atau obat lain (misalnya, diuretik, amitriptyline untuk pengobatan
neuropati diabetik) harus dipertimbangkan pada setiap pasien diabetes dengan
diabetes [Na+] rendah. Chlorpropamide sekarang jarang digunakan dalam pengobatan
pasien dengan DM, dapat menyebabkan hiponatremia pada sekitar 4% hingga 6%
dengan mempotensiasi efek hormon antidiuretik. Pasien usia lanjut yang secara
bersamaan menggunakan diuretik memiliki risiko lebih besar terkena hiponatremia.
Tolbutamid dapat menyebabkan hiponatremia dengan mengurangi pembersihan air
bebas ginjal[13]. Yang perlu diperhatikan, meskipun retensi cairan menjadi efek
samping yang umum dari tiazolidinediones (pioglitazone dan rosiglitazone),
hiponatremia yang terkait dengan obat ini dilaporkan hanya sekali[14]. Ada bukti
eksperimental bahwa agonis reseptor peptida 1 seperti glukagon mempengaruhi
keseimbangan air dan elektrolit. Namun, sejauh yang kami ketahui, disnatremia (atau
kelainan elektrolit lainnya) yang terkait dengan obat ini belum dilaporkan pada
manusia. Selain itu, kelas baru agen antidiabetik oral yang dikenal sebagai inhibitor
cotransporter natrium-glukosa tipe 2 (SGLT2) tampaknya tidak terkait dengan
kelainan elektrolit dalam studi klinis awal (Liamis G, Liberopaulos E, 2014).

Kalium

Pergeseran: asidosis, defisiensi insulin, hipertonisitas, rhabdomiolisis, obat-


obatan (misalnya, beta blocker) Mengurangi filtrasi glomerulus K+: penyakit ginjal
akut dan kronis Mengurangi sekresi tubular K+: hyporeninemic hypoaldosteronism,
obat (angiotensin-converting enzyme inhibitors, angiotensin II receptor blockers,
renin inhibitor, beta blocker, hemat kalium diuretik).

Insiden hiperkalemia lebih tinggi pada diabetes untuk mengeluarkan lebih banyak K+.
Pasien dibandingkan populasi umum. Redistribusi Insulin eksogen dapat
menginduksi hipokalemia ringan menjadi kalium dari intraseluler ke ekstraseluler
yang menyebabkan masuknya K+ ke dalamotot rangka kompartemen(menggeser
hiperkalemia) dapat menginduksi hiperkale- dan sel hati dengan meningkatkan
aktivitas Na+-K+ tanpa total tubuh bersih K+ meningkat. Contoh pompa ATP.
Peningkatan sekresi epinefrin hiperkalemia pada DM termasuk asidosis (untuk setiap
penurunan 0,1 karena hipoglikemia yang diinduksi insulin juga dapat memainkan pH,
kalium meningkat sekitar 0,4 mmol / L), peran kontribusinya. Pengaturan utama di
mana insulin defisiensi insulin, hipertonisitas, lisis sel (administrasi rhabdomiolisis
menyebabkan hipokalemia adalah selama perawatan ), dan obat-obatan (misalnya,
beta blocker). Berkurangnya glomerulus dari hiperglikemia berat. Sebagian besar
pasien menyaring K+ (karena cedera ginjal akut dan kronis dengan ketoasidosis
diabetik (DKA) dan HHS adalah nyata penyakit ginjal yang) dan banyak obat yang
mengganggu K+ K+ yang hilang rata-rata Defisit adalah 3-5 mEq / kg, tetapi ekskresi
dikaitkan dengan hiperkalemia. Ini termasuk dapat melebihi 10 mEq / kg dalam
beberapa kasus. Sejumlah penghambat enzim pengonversi angiotensin, faktor-faktor
angiotensin berkontribusi terhadap DKA dan HHS terkait II penghambat reseptor,
penghambat renin, penghambat beta dan penipisan kalium, termasuk muntah,
peningkatan ginjal diuretik hemat kalium. Dari catatan, kerugian sehat khas karena
diuresis osmotik dananion ketoasid diet diabetessering kaya dengan K+ dan rendahnya
ekskresi natrium, dan hilangnya K+ dari sel karena ikut berperan dalam terjadinya
hiperkalemia dalam suscepcogenolysis dan proteolysis. Pada saat masuk, namun,
individu-individu yang memiliki label[48,49]. Namun demikian, yang paling umum
serum K+ tingkat biasanya normal, atau, di sekitar satu faktor penyebab hiperkalemia
kronis pada penderita diabetes adalah sepertiga pasien, peningkatan meskipunK+
penipisan[41,43]. mengurangi sekresi tubular K+ akibat sindrom Diperkirakan bahwa
hiperosmolalitas dan defisiensi insulin hipoaldosteronisme hiporeninemik. (Liamis G,
Liberopaulos E, 2014).

Sindrom ini terutama bertanggung jawab atas kenaikan relatif serumdalam


keadaan yang ditandai dengan konsentrasi kalium insufisiensi ginjal ringan sampai
sedangini. Seperti disebutkan, dan pasien-pasien biasanya hadir dengan
hyperglycemia asimptomatik meningkatkan osmolalitas serum yang mengakibatkan
kalemia. Perkembangan hiperkalemia jelas adalah sebagian besar pergerakan air
keluar dari sel. Hilangnya intraseluler umum pada pasien dengan faktor risiko lain
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan K+ intraseluler meningkatkan konsentrasi
efisiensi ekskresi kalium, seperti reaksi, mendukung gradien untuk K+ untuk bergerak
keluar dari sel. insufisiensi akhir, penurunan volume, atau penggunaan medica-
Secara bersamaan, gaya gesekan antara pelarut (interaksi yang mengganggu
penanganan kalium (lihat di atas). ter) dan zat terlarut dapat menyebabkan K+ dibawa
bersama dengan dapagliflozin (inhibitor SGLT2) mungkin air melalui pori-pori air di
membran sel. pelindung dari pengembangan hiperkalemia di pasien dengan gangguan
ginjal sedang karena diuresis osmotik[. Namun, pemberian SGLT2 inhibitor pada
pasien hipovolemik dapat menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum dan
penurunan laju filtrasi glomerulus karena memburuknya kontraksi volume
intravaskular. Memang, memburuknya fungsi ginjal dan hiperkalemia dapat terjadi
pada pasien yang menggunakan canagliflozin, terutama yang cenderung hiperkalemia
karena gangguan fungsi ginjal, obat-obatan atau kondisi medis lainnya.
Hipoaldosteronisme hiporeninik lebih sering diamati pada pasien diabetes dan
manula serta pada mereka dengan gangguan ginjal kronis. Akun nefropati diabetik
untuk 43% -63% dari kasus yang merupakan penyebab paling umum dari
hypoaldosteronism hyporeninemic. Penuaan normal, terutama setelah dekade
keenam, terkait dengan penurunan produksi renin. Selain itu, pasien usia lanjut
mungkin mengalami penurunan fungsi ginjal bahkan tanpa peningkatan kadar
kreatinin serum yang signifikan [<1,2 mg / dL (106 μmol / L)]. Akibatnya, penderita
diabetes (terutama orang tua) pada obat yang diketahui mengganggu K+ homeostasis
berada pada risiko yang meningkat untuk hiperkalimia. Dalam kasus seperti itu,dekat
K+ pemantauansepenuhnya dijamin. Dokter juga harus waspada bahwa hiperkalemia
pada pasien dengan DM tipe 1 mungkin karena insufisiensi adrenal bersamaan dalam
pengaturan sindrom polimikland autoimun (Liamis G, Liberopaulos E, 2014). .
Klorida

Hipoklorinemia terjadi jika pengeluaranklorida melebihi pemasukan. Penyebab


hipoklorinemiaumumnya sama dengan hiponatremia, tetapi pada alkalosis metabolik
dengan hipoklorinemia, defisit klorida tidak disertai defisit natrium. Hipoklorinemia
juga dapat terjadi pada gangguan yang berkaitandengan retensi bikarbonat, contohnya
pada asidosis respiratorik kronik dengan kompensasi ginjal. Penyebab
Hiperklorinemia terjadi jika pemasukan melebihi pengeluaran pada gangguan
mekanisme homeostasis dari klorida. Umumnya penyebab hiperklorinemia sama
dengan hipernatremia. Hiperklorinemia dapat dijumpai pada kasus dehidrasi,asidosis
tubular ginjal, gagal ginjal akut, asidosis metabolik yang disebabkan karena diare
yang lama dan kehilangan natrium bikarbonat, diabetes insipidus, hiperfungsi status
adrenokortikal dan penggunaan larutan salin yang berlebihan, alkalosis respiratorik.
Asidosis hiperklorinemia dapat menjadi petanda pada gangguan tubulus ginjal yang
luas (Liamis G, Liberopaulos E, 2014).
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes Mellitus tipe 2 adalah salah satu penyakit metabolik yang telah
menjadi pandemik di seluruh dunia, dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya ditambah dengan pemeriksaan kadar
glukosa darah (puasa > 125 mg/dL atau sewaktu > 200 mg/dL) apabila ditemukan
dapat langsung memberikan diagnosis diabetes mellitus tipe 2.
Gangguan metabolik ini memiliki beberapa faktor resiko yang sangat kuat
hubungannya dengan pola genetik, obesitas, dan gaya hidup. Interfensi terhadap
faktor resiko tersebut, terutama yang dapat diubah, secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini.
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada DM tipe 2, yaitu gangguan metabolik
akut, gangguan vaskular, neuropati, dan infeksi. Kondisi hiperglikemia kronis,
resistensi insulin, dan insufisiensi sekresi insulin relatif adalah faktor yang
menyebabkan perkembangan komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2017). “Standards of Medical Care in Diabetes


2017”. Vol. 40. USA : ADA

ADA, 2006, Complications of Diabetes in the United States, (online),


http://www.diabetes.org/diabetes-statistic/complications.jsp, diakses tanggal
21 Desember 2010

Alebiasu Christoper Outaya, oduson Olaturiae, 2009. Metabolic Syndrome in Subject


with Type-2 Diabetes Mellitus. Journal of The National Medical Association.
Vol 96 no.2.

Barbagallo Mario, Dominguez Ligia , 2015. Magnesium and Type 2 Diabetes: an


Update. International Journal of Diabetes and Clinical Research. Department
of Internal Medicine and Medical Specialities . University of Palemo. Italy

Bilous, D. 2014. Buku Pegangan Diabetes Edisi Ke 4. Bumi Medika, Jakarta

Chehade Joe M, Ali Mac Sheikh, Moradin Arshag D, 2009. The Role of
Micronutrients in Managing Diabetes. From Research Practice,Diabetes
spectrum volume 22 number 4.

Connel Bellinda S,2001. Select Vitamins and Minerals in the Management of


Diabetes.Diabetes Spectrum. Volume 14, number 3.

Chutia Happy, Lynrah Kyyshanlang G, 2015. Association of Serum Magnesium


Deficiency with Insulin Resistance in Type 2 Diabetes Melitus. Departments of
Biochemistry and General Medicine,North East India Gandhi Institute of Health
and Medical Science. Shillong, Meghalaya.India.
Depkes R.I. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Eliana F. 2015. Penatalaksanaan DM sesuai konsensus PERKENI 2015. Satelit


Simposium 6.1 DM Update Dan Hb1C: 1–7.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

IDF. 2015. Diabetes Atlas. Edisi ke 7. International Diabetes Federation, Belgia.

Kemenkes, 2014. Hasil Riskesdas 2013. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. 2013. The pathogenesis
and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of
Physiology and Pathophysiology ; 4(4):46-57.

Perkeni. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2


di Indonesia 2011. Jakarta.

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.

Price, SA. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Raymond RT. 2016. Patogenesis diabetes tipe 2: resistensi defisiensi insulin. Dexa
Medica.

Rochman W. 2006.Diabetes Melitus pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo


AW,Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta:
FK UI

Rao Yeluri Seshagiri, V Rao Dharma, 2016. Serum Magnesium Levels in Type 2
Diabetes. Department of General Medicine , Gayatri Vidya Parishad Institute
of Health Care and MeicalTecnology. Vishakapatnam Andira Pradesh. India.

Soegondo, S. 2007. Diagnosis dan klasifikasi Diabetes Melitus terkini. Dalam


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006

Tarigan, L.A., 2011. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus dengan Komplikasi


yang Dirawat Inap di RSU Herna Medan Tahun 2009-2010. Skripsi
Mahasiswa FKM USU
Thomassian, B. Diabetes Mellitus and Metabolic Syndrome. Health Promotion and
Disease Preventation. Chapter 39 Part V.

Zhang Xiaoyan, Cui, Xiaoli, Wang Shuo, dkk, 2014. Association Between Diabetes
Mellitus with Metabolic Syndrome and Diabetic Microangiopathy.
Department of Endocrinology< First Affiliated Hospital, Lianing Medical
Collage.China.

Anda mungkin juga menyukai