Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MARET 2023


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“KOMPLIKASI DIABETES MELITUS”

OLEH
HAFIDAH AULIAH
105501101322

PEMBIMBING
dr. Zakaria Mustari, Sp.PD

Dibawakan Dalam Rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Hafidah Auliah


NIM : 105501101322
Judul Referat : Komplikasi Diabetes Melitus

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Maret 2023


Pembimbing,

dr. Zakaria Mustari, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Karena beliaulah sebagai suritauladan
dalam kehidupan dunia ini.

Referat dengan judul “Komplikasi Diabetes Melitus” ini dapat terselesaikan dengan baik
dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam
kepada dr. Zakaria Mustari, Sp.PD selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu
dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses
penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan memiliki
keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga dapat berjalan
dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua
orang.

Makassar, Maret 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................2

KATA PENGANTAR.......................................................................................................3

DAFTAR ISI.....................................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................6

A Definisi................................................................................................................6

B Epidemiologi.......................................................................................................6

C Etiologi dan Faktor Risiko..................................................................................6

D Pedoman Diagnosis...........................................................................................10

E Kriteria Diagnosis.............................................................................................15

F Tatalaksana.......................................................................................................18

G Pencegahan.......................................................................................................24

H Prognosis...........................................................................................................24

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27

4
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia
(kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya hormon insulin, menurunnya efek insulin
atau keduanya.

Menurut konsensus 2015 Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 240
juta. Dan menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia untuk usia di
atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasar data IDF 2014, saat ini diperkiraan 9,1 juta orang
penduduk didiagnosis sebagai penyandang DM Dengan angka tersebut Indonesia menempati
peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF tahun 2013 yang
menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang penyandang DM.

Peningkatan insidensi Diabetes Melitus ( DM ) di Indonesia tentu akan diikuti oleh


meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik Diabetes Melitus. Berbagai
penelitian prospektif menunjukan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah,
baik mikrovasskuler seperti retinopati, nefropati maupun mikrovaskuler seperti penyakit
pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tingkat bawah. Dengan demikian,
pengetahuan Diabetes Melitus dan komplikasi vaskulernya menjadi penting untuk diketahui
dan dimengerti.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya hormon insulin,
menurunnya efek insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). Insulin
adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi
peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (Hiperglikemi) (Depkes, 2014).

B. EPIDEMIOLOGI
Proporsi penderita DM meningkat seiring meningkatnya usia. Proporsi TGT
meningkat seiring usia hingga tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun kemudian sedikit
menurun. Sedangkan proporsi GDP terganggu meningkat seiring usia hingga tertinggi pada
kelompok usia 55-64 tahun kemudian sedikit menurun pada kelompok usia selanjutnya
(Kemenkes, 2014).

C. FAKTOR DEPRESI
Faktor risiko diabetes mellitus bisa dikelompokkan menjadi dua:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Ras atau etnik
Resiko Diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispani, kulit hitam, penduduk asli
amerika dan Asia.
b. Umur
Usia > 45 tahun
Resistensi insulin biasanya meningkat pada usia diatas 65 tahun.
c. Jenis kelamin
d. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus
Seseorang dapat mewarisi gen penyebab diabetes melitus dari orang tua. Biasanya,
seseorang yang mengalami diabetes melitus mempunyai anggota keluarga yang
juga terkena diabetes melitus.
e. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram
f. Riwayat lahir dengan berat badan < 2500 gram
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
6
a. Berat badan lebih
b. Obesitas abdominal/sentral
c. Kurangnya aktivitas fisik
d. Hipertensi
(≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
e. Dislipidemia
HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
f. Diet tidak sehat
g. Merokok
h. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
i. Riwayat Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDP Terganggu)

Proporsi / persentase penduduk Indonesia dengan Faktor Risiko Diabetes Mellitus.

7
D. KLASIFIKASI DIABETES MELITUS
Klasifikasi menurut etiologi:
1. Diabetes Mellitus tipe 1:
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut auto imun dan
idiopatik.
8
2. Diabetes Mellitus tipe 2:
Bervariasi, mulai yang dominan resisten insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi insulin disertai resisten insulin.
3. Tipe lain:
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2, 2015)
4. Diabetes mellitus gestational
Yaitu, DM yang terjadi pada ibu hamil.
(Gustaviani, 2016)

E. PATOGENESIS
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) (Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2, 2015).
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel
beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi
terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet.

The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam pathogenesis hiperglikemia
pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A

9
New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-
795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut:
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

10
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindion.

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP -4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas:


Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan disbanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glucagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP- 4 inhibitor dan amylin.

7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter)
11
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui
peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini
adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

F. TATALAKSANA
Berbagai macam pengobatan yang efektif telah tersedia untuk gangguan depresi mayor.
Antidepresan dapat meringankan gejala. Psikoterapi singkat (misalnya, terapi kognitif-
perilaku, terapi interpersonal), baik sebagai pengobatan tunggal atau dikombinasi dengan
obat-obatan, juga telah terbukti efektif untuk pengobatan akut depresi ringan sampai
sedang, serta untuk mencegah kekambuhan.
Pada anak-anak dan remaja, bagaimana pun, farmakoterapi saja tidak cukup. Selain itu,
dalam semua populasi pasien, kombinasi obat dan psikoterapi umumnya memberikan
respons yang paling cepat dan paling lama bertahan. Terapi kombinasi juga diasosiasikan
dengan perbaikan gejala depresi secara signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan
kualitas hidup, kepatuhan pengobatan yang lebih baik, terutama apabila perawatan
diperlukan selama lebih dari 3 bulan.
Biasanya setelah 2-12 minggu dalam dosis terapi, respons klinis sudah dapat dinilai.
Pemilihan pengobatan haruslah berdasarkan keselamatan dan toleransi pasien agar dapat
meningkatkan kepatuhan mereka terhadap pengobatan. Keakraban dokter juga diperlukan
untuk mendidik pasien dalam mengatasi efek samping yang mungkin terjadi. Seringkali
kegagalan pengobatan disebabkan oleh ketidakpatuhan, durasi terapi yang tidak memadai,
atau dosis yang tidak memadai.

12
Berdasarkan pedoman ACP, pengobatan untuk gangguan depresi mayor harus diubah
jika pasien tidak memiliki respons yang memadai untuk farmakoterapi dalam waktu 6-8
minggu. Setelah respons yang memuaskan tercapai, pengobatan harus dilanjutkan selama 4-
9 bulan pada pasien episode depresi berat pertama yang tidak berhubungan dengan ide
bunuh diri ataupun akibat bencana. Pada mereka yang memiliki dua atau lebih episode
depresi, diperlukan waktu perawatan yang lebih lama untuk mendapatkan bukti manfaat.
a. Terapi non farmakologi
 Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi pengembangan yang digunakan untuk
menghilangkan atau mengurangi keluhan – keluhan serta mencegah kambuhnya
gangguan pola perilaku maladatif (Depkes, 2007). Teknik psikoterapi tersusun
seperti teori terapi tingkah laku, terapi interpersonal, dan terapi untuk
pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi efektif dan dapat menunda
terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi lanjutan pada depresi ringan
atau sedang. Pasien dengan menderita depresi mayor parah dan atau dengan
psikotik tidak direkomendasikan untuk menggunakan psikoterapi. Psikoterapi
merupakan terapi pilihan utama utuk pasien dengan menderita depresi ringan
atau sedang.
 Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy adalah terapi dengan mengalirkan arus listrik ke
otak. Terapi menggunakan ECT biasa digunakan untukkasus depresi berat yang
mempunyai resiko untuk bunuh diri. ECT juga diindikasikan untuk pasien
depresi yang tidak merespon terhadap obatantidepresan.
Terapi ECT terdiri dari 6 – 12 treatment dan tergantung dengan
tingkatkeparahan pasien. Terapi ini dilakukan 2 atau 3 kali seminggu, dan
sebaiknya terapi ECT dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman. Electro
Convulsive Therapy akan kontraindikasi pada pasien yang menderita epilepsi,
TBC miller, gangguan infark jantung, dan tekanan tinggi intra karsial.
 Cognitive Behaviour Theraphy (CBT)
Terapi kognitif-perilaku adalah pengobatan lini pertama untuk depresi. Hal
ini bersifat terarah dan dalam waktu yang terbatas, biasanya melibatkan antara
10 dan 20 kali perawatan. Terapi kognitif-perilaku secara khusus dirancang
untuk mengobati depresi. Penggunaannya dalam mengobati gangguan depresi
13
mayor didasarkan pada premis bahwa pasien yang mengalami depresi memiliki
pandangan yang menyimpang atas diri mereka sendiri, dunia, dan masa depan.
Distorsi kognitif ini berkontribusi terhadap depresi dan dapat diidentifikasi dan
dinetralkan dengan terapi kognitif-perilaku.
Terapi kognitif-perilaku efektif pada pasien dari segala usia. Hal ini penting
terutama untuk pasien usia lanjut, yang mungkin lebih rentan terhadap masalah
atau efek samping obat. Pada anak-anak dan remaja, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat terapi kognitif-perilaku
menampakkan kemajuan yang lebih baik daripada kelompok yang tidak
mendapat terapi tersebut. Kemajuan tersebut dapat dinilai dalam hal
pengurangan gejala depresi dan peningkatan harga diri.8
b. Terapi Farmakologi
 Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki perasaan
(mood) yaitu dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan murung
yang disebabkan oleh keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat – obatan.
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius yang
dikarenakan depresi berat. Kadar NT (nontransmiter) terutama NE
(norepinefrin) dan serotonin dalam otak sangat berpengaruh terhadap depresi
dangangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin di dalam otak inilah
yang menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi
menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat yang mampu
meningkatkan kadar NE dan serotonin di dalam otak. 2
 Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan obat terbaru dengan
batas keamanan yang lebar dan memiliki spektrum efek samping obat yang
berbeda-beda. SSRI diduga dapat meningkatkan serotonin ekstraseluler yang
semula mengaktifkan autoreseptor, aktivitas penghambat pelepasan serotonin
dan menurunkan serotonin ekstraseluler ke kadar sebelumnya. Untuk saat ini
SSRI secara umum dapat diterima sebagai obat lini pertama. Untuk gangguan
depresi mayor yang berat dengan melankolis antidepresan trisiklik memiki
efikasi yang lebih besar daripada SSRI, namun untuk gangguan depresi bipolar
SSRI lebih efektif dibandingkan antidepresan trisiklik, hal ini dikarenakan
antidepresan trisiklik dapat memicu timbulnya mania dan hipomania.1

14
Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI seperti Citalopram,
Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan Sertraline. Fluoxetine
merupakan antidepresan golongan SSRI yang memiliki waktu paruh yang lebih
panjang dibandingkan dengan anidepresan golongan SSRI yang lain, sehingga
fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari. Efek samping yang ditimbulkan
Antidepresan SSRI yaitu gejala gastrointestinal (mual, muntah, dan diare),
disfungsi sexsual pada pria dan wanita, pusing, dan gangguan tidur. Efek
samping ini hanya bersifat sementara.
 Trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang mekanisme kerjanya
menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti norepinerin (NE),
Serotonin ( 5 – HT) dan dopamin didalam otak, karena menghambat ambilan
kembali neurotransmitter yang tidak selektif, sehingga menyebabkan efek
samping yang besar. Efek samping yang sering ditimbulkan TCA yaitu efek
kolinergik seperti mulut kering, sembelit, penglihatan kabur, pusing, takikardi,
ingatan menurun, dan retensi urin. Obat – obat yang termasuk golongan TCA
antara lain Amitripilin, Clomipramine, Doxepin, Imipramine, Desipiramine,
Nortriptyline.
 Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI) mekanisme kerjanya
mengeblok monoamin dengan lebih selektif daripada antidepresan trisiklik,
serta tidak menimbulkan efek yang tidak ditimbulkan antidepresan trisiklik.
Antidepresan golongan SNRI memiliki aksi ganda dan efikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam mengatasi remisi pada depresi
parah. Obat yang termasuk golongan SNRI yaitu Venlafaxine dan Duloxetine.
Efek samping yang biasa muncul pada obat Venlafaxine yaitu mual, disfungsi
sexual. Efek samping yang muncul dari Duloxetine yaitu mual, mulut kering,
konstipasi, dan insomnia.
 Mono Amin Oxidase Inhibitor ( MAOI ) adalah suatu enzim komplek yang
terdistribusi didalam tubuh, yang digunakan dalam dekomposisi amin biogenik
(norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan serotoninMAOI memiliki efikasi yang
mirip dengan antidepresan trisiklik. MAOI juga dipakai untuk pasien yang tidak
merespon terhadap antidepresan trisiklik. Enzim pada MAOI memiliki dua tipe
yaitu MAO – A dan MAO – B. Kedua obat hanya akan digunakan apabila obat
– obat antidepresan yang lain sudah tidak bisa mengobati depresi (tidak
15
manjur ). Moclobomida merupakan suatu obat baru yang menginhibisi MAO –
A secara ireversibel, tetapi apabila pada keadaan overdosis selektivitasnya akan
hilang. Selegin secara selektif memblokir MAO – B dan dapat digunakan
sebagai antidepresan pada dosis yang tinggi dan beresiko efek samping. MAO –
B sekarang sudah tidak digunakan lagi sebagai antidepresan. Obat – obat yang
tergolong dalam MAOI yaitu Phenelzine, Tranylcypromine, dan Selegiline.
Efek samping yang sering muncul yaitu postural hipotensi (efek samping
tersebut lebih sering muncul pada pengguna phenelzine dan Tranylcypromine),
penambahan berat badan, gangguan sexual (penurunan libido, anorgasmia).15
c. Terapi Tambahan
Digunakannya terapi tambahan yang untuk meningkatkan efek antidepresan serta
mencegah terjadinya mania.
 Mood Stabilizer
Lithium dan Lomotrigin biasa digunakan sebagai mood stabilizer. Litium
adalah suatu terapi tambahan yang efektif pada pasien yang tidak memberikan
respon terhadap pemberian monoterapi antidepresan. Lomotrigin adalah
antikonvulsan yang mereduksi glutamateric dan juga digunakan sebagai agen
terapi tambahan pada depresi mayor dan juga digunakan untuk terapi dan
pencegahan relapse pada depresi bipolar. Beberapa mood stabilizer yang lain
yaitu Valproic acid, divalproex dan Carbamazepin ini semua digunakan untuk
terapi mania pada bipolar disorder. Divalproex dan Valproate digunakan untuk
mencegah kekambuhan Kembali.14

16
 Antipsikotik
Antipsikotik digunakan untuk meningkatkan efek antidepresan. Ada 2
macam antipsikotik yaitu typical antipsikotik dan atypical antipsikotik. Obat –
obat yang termasuk typical antipsikotik yaitu Chorpromazine, Fluphenazine, dan
Haloperidol. Antipsikotik typical bekerja memblok dopamine D2 reseptor.
Atypical antipsikotik hanya digunakan untuk terapi pada depresi mayor resisten
dan bipolar depresi. Obat-obat yang termasuk dalam Atypical antipsikotik
clozapine, olanzapine, dan aripripazole.1,2

G. PENCEGAHAN
Pencegahan depresi dapat dilakukan dengan membangun suasana perasaan yang baik,
nyaman, dan menyenangkan bagi pasien. Beberapa macam kegiatan yang dapat dilakukan
sebagai pencegahan, antara lain:
- Membangun hubungan yang mendukung (keluarga, saudara, teman)
- Ikut kegiatan sosial atau komunitas atau organisasi
- Berpikir positif
- Melakukan hal-hal yang disukai
- Mengembangkan hobi yang disenangi seperti bermain musik dan menulis
- Olahraga
- Makan makanan sehat10

H. PROGNOSIS
Dalam sebuah studi terhadap pasien yang telah 1 tahun terdiagnosis depresi, 40%
mengalami kesembuhan tanpa gejala. Sebanyak 20% pasien akan terus mengalami gejala
depresi, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi mayor. Sebanyak 40%
pasien sisanya tetap mengalami episode depresi mayor.

17
Beberapa indikator untuk prognosis yang kurang baik, antara lain:
• Episode depresi berat
• Durasi episode depresi yang panjang (lebih dari 6 bulan)
• Adanya penyakit komorbid, dan gejala psikotik
• Penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan terlarang
• Adanya riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya (misalnya riwayat depresi atau
gangguan cemas)
• Pernah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 3 kali
• Dukungan sosial yang kurang, fungsi keluarga yang buruk, dan lemahnya keadaan
ekonomi keluarga
• Kurangnya kemampuan kerja selama 5 tahun sebelum terserang depresi.8,9

18
BAB III

KESIMPULAN

Depresi merupakan gangguan mental yang secara umum ditandai dengan adanya
mood/suasana perasaan yang tertekan, berkurangnya ketertarikan atau kegembiraan, berkurangnya
energi, perasaan bersalah atau rendahnya harga diri, terganggunya nafsu makan dan tidur, serta
konsentrasi yang rendah.
Untuk mendiagnosis depresi dapat mengunakan kriteria dari PPDGJ atau menggunakan DSM-
IV-TR. Menurut PPDGJ-III depresi dapat dibagi menjadi dua yaitu, episode depresi dan depresi
berulang. Episode depresi dibagi menjadi tiga derajat keparahan yaitu, episode ringan, episode
sedang, dan episode berat (dapat dengan gejala psikotik atau tanpa gejala psikotik). Depresi
berulang juga dibagi menjadi tiga derajat keparahan yaitu, gangguan depresif berulang episode kini
ringan, gangguan depresif episode kini sedang, gangguan depresif episode kini berat (dapat dengan
gejala psikotik atau tanpa gejala psikotik). Menurut DSM-IV-TR depresi dapat dibagi menjadi
depresi mayor dan depresi minor.
Terapi farmakologi SSRI secara umum dapat diterima sebagai obat lini pertama untuk
gangguan depresi. Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI seperti Citalopram,
Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan Sertraline. Fluoxetine merupakan
antidepresan golongan SSRI yang memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan dengan
anidepresan golongan SSRI yang lain, sehingga fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari.
Sedangkan Terapi kognitif-perilaku merupakan pengobatan lini pertama untuk depresi. Hal ini
bersifat terarah dan dalam waktu yang terbatas, biasanya melibatkan antara 10 dan 20 kali
perawatan. Terapi kognitif-perilaku secara khusus dirancang untuk mengobati depresi.
Penggunaannya dalam mengobati gangguan depresi mayor didasarkan pada premis bahwa pasien
yang mengalami depresi memiliki pandangan yang menyimpang atas diri mereka sendiri, dunia,
dan masa depan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Ahmad VA. Kaplan Dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta:

EGC.2004

2. Sadock BJ, Ahmad Sadock VA. Kaplan & Sadock Pocket Handbook Of Clinical Psychiatry

Sixth Edition. Philiadelphia: Wolters Kluwer. Tahun 2019.

3. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia.

Jakarta. 2019.

4. Dianovinina K. Depresi Pada Remaja: Gejala Dan Permasalahannya. J

Psikogenes.2018;6(1):69-78

5. Marcus, M. Et Al. (2012) ‘Depression, A Global Public Health Concern’, WHO Department

Of Mental Health And Substance Abuse, Pp. 1–8. Available At:

Http://Www.Who.Int/Mental_Health/Management/Depression/Who_Paper_Depression_Wfmh_

2012.Pdf.

6. Mckeever, A., Agius, M. And Mohr, P. (2017) ‘A Review Of The Epidemiology Of Major

Depressive Disorder And Of Its Consequences For Society And The Individual’, Psychiatria

Danubina, 29, Pp. S222–S231.

7. Malhi GS Dan Mann JJ. Depression. Lancet (London England) [Internet]. 2018 Nov

24;392(10161):2299-312. Terdapat Pada Https:Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/30396512

8. Santoso MB, Asiah DHS, Dan Kirana CI. Bunuh Diri Dan Depresi Dalam Perspektif

Pekerjaan Sosial. Proses Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 2018;4(3):390–8.

9. Yuliastrid Dita, Dkk. Hubungan Antara Depresi, Kecemasan Dan Stress Dengan Motivasi

Berprestasi Atlet, Putri Selama Pandemic Covid 19. Juournal Of Sport Education. 2021
20
10. Maurer Dougles, Dkk. Depression: Screening And Diagnosis.2018

11. Mandasari Linda. Tingkat Depresi Dengan Ide Bunuh Diri Pada Remaja. Indonesian Jurnal

Of Health Development Vol. 2. No 1, Februari 2020

12. Robert E. Hales, Dkk. The American Psychiatric Publishing Textbook Of Psychiatry, DSM

Sixth Edition. 2014

13. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJIII, DSM5,

ICD-11. Cetakan 3. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya,2019.

14. Elvira SD, Hadisukanto G, Editors. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ke-3. Jakarta. Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2018.

15. Marwick, Birrell. Crash Course Psikiatri. Elsevier. Jakarta: 2015

21

Anda mungkin juga menyukai