Anda di halaman 1dari 36

Nama Dosen : Imelda appulembang, S.Kp,.

MSN
Mata Kuliah : Keperawatan Dewasa Sistem Endokrin, Pencernaan, Perkemihan
dan immunologi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIABETES


MELITUS

OLEH :
KELOMPOK 1

PUPUT S 21212005
RESKI PRATIWI 21212009
DEVI ANJELINA 21212029
MUH. ANDHIKA PUTRA PRATAMA 21212041

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNUNG SARI MAKASSAR S1


KEPERAWATAN T.A 2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik “
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah penulis banyak mendapat bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh
masyarakat

Makassar, 09 Maret 2023

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................. B.
Rumusan Masalah .......................................................................................
C. Tujuan .................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI ......................................................................................
A. Konsep Teori ...............................................................................................
1. Pengertian ............................................................................................. 2.
Etiologi ............................................................................................. 3.
Patofisiologi ............................................................................................. 4.
Manifestasi Klinis .................................................................................... 5.
Komplikasi .............................................................................................
6. Penatalaksanaan .......................................................................................
B. Konsep Asuhan Keperawatan ......................................................................
1. Pengkajian .............................................................................................
2. Diagnosa Keperawatan .........................................................................
3. Intervensi Keperawatan ........................................................................
4. Implementasi Keperawatan ...................................................................
5. Evaluasi Keperawatan ...........................................................................
C. Penyimpangan KDM ...................................................................................
D. Pendidikan
Kesehatan ................................................................................
E. Fungsi Advokasi ..........................................................................................
BAB III JURNAL ......................................................................................................
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................
A. Kesimpulan ................................................................................................. B.
Saran .................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang di identifikasi
denganterbentuknya hiperglikemia serta kendala metabolisme pada
karbohidrat, lemak, serta protein yang dikaitkan dengan kelainan secara
mutlak maupun relatif dari proses kerja maupun dari proses sekresi insulin.
Indikasi yang dialami oleh pengidap penyakit Diabetes Melitus ialah poliuria,
polidipsia, polifagia, pengurangan berat tubuh, dan kesemutan (Fatimah,
2015).
Data yang disajikan oleh World Health Organization (WHO) pada
tahun 2003 menampilkan sekitar 50% penderita Diabetes Melitus yang berada
di negera maju mampu mematuhi progam terapi yang diberikan. Pada
penderita Diabetes Melitus yang tidak terkontrol atau kurang mematuhi
pengobatan dapat mengakibatkan komplikasi. Munculnya komplikasi dapat
berdampak pada perubahan pola gaya hidup serta berdampak pada
perekonomian.
Prevalensi penderita penyakit Diabetes Mellitus di negara berkembang
salah satunya di indonesia sekitar tahun 2013 yaitu sebesar 2,1%. Angka
tersebut terbilang lebih besar dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sebesar
(1,1%). Sekitar 31 provinsi yang ada di indonesia (93,9%) mengindikasikan
adanya peningkatan prevalensi penderita diabetes Mellitus yang cukup
signifikan. Sedangkan jumlah kasus penderita Diabetes Melitus tipe 2 di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 sekitar 99. 646 kasus. Perihal ini
sangat berbeda dengan kejadian pada 3 tahun yang lalu. Sekitar pada tahun
2014 kasus penderita Diabetes Melitus tipe 2 sebanyak 96. 431 kasus atau
setara dengan (0,29%). Pada tahun 2013 kasus penderita diabetes mellitus tipe
2 di Provinsi Jawa Tengah ialah sebesar 142. 925 atau sekitar (0,43%) kasus,
sebaliknya pada tahun 2012 mencapai angka yang cukup fantastik yaitu
sekitar 181. 543 (0,55%) kasus (Nazriati et al., 2018).
Penyakit Diabetes Melitus suatu penyakit yang bisa menimbulkan
penyakit yang lainnya (komplikasi). Permasalahan komplikasi dari penyakit
Diabetes Melitus pada beberapa orang mungkin akan berbeda- beda.
Komplikasi dari Diabetes Melitus bisa dipecah menjadi 2 jenis mayor, ialah
komplikasi metabolik kronis serta komplikasi kronik jangka panjang
(Octaviana Wulandari, 2013).
Salah satu komplikasi dari Diabetes Melitus merupakan neuropati,
yang mengakibatkan berkurangnya sensasi di kaki (nyeri akut) serta sering
berhubungan dengan luka atau cedera pada kaki. Neuropati perifer
menimbulkan hilangnya sensasi di wilayah distal kaki yang memiliki resiko
besar akan terbentuknya ulkus kaki serta kemungkinan untuk diamputasi.
Luka atau cedera yang mencuat secara otomatis ataupun sebab trauma bisa
menimbulkan Luka terbuka yang sanggup menciptakan gas gangren yang
berdampak terbentuknya osteomielitis di sertai nyeri akut pada lokasi infeksi
(Fitria et al., 2017).
Masalah- masalah muncul yang sering dirasakan oleh penderita
Diabetes melitus tipe 2 bisa diminimalkan bila penderita mempunyai
pengetahuan serta keahlian dan upaya untuk melaksanakan pengontrolan
terhadap penyakitnya. Peran perawat selaku edukator sangat diperlukan oleh
penderita Diabetes Melitus sebab Diabetes Melitus ialah penyakit kronis yang
membutuhkan sikap atau inisiatif penanggulangan mandiri yang individual
seumur hidup (Fahra et al., 2017)
BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR PENYAKIT a. Definisi

Diabetes Melitus adalah hambatan yang terjadi pada metabolisme secara genetik
serta secara klinis tercantum heterogen dengan indikasi adanya kehilangan toleransi
karbohidrat. Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolik yang terjadi akibat
adanya ketidakmampuan dalam mengoksidasi karbohidrat, adanya hambatan pada
mekanisme insulin, dan ditandai dengan hiperglikemia, glikosuria, poliuria,
polipdisi, polifagia, asidosis yang sering menimbulkan sesak napas, lipemia,
ketonuria serta berakhir hingga koma (Sya’diyah et al., 2020).
Diabetes melitus merupakan suatu kelainan genetik atau sindroma yang dapat
diketahui dengan adanya hiperglikemia kronik serta gangguan pada proses
metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang saling berkaitan dengan
defisiensi insulin absolut ataupun relatif sehingga mempengaruhi kinerja sekresi
insulin serta aksi insulin (Nugroho, 2015).
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang menahun yang disebabkan oleh
adanya disfungsi pankreas yang tidak mampu menghasilkan insulin dalam batas
normal, ataupun pada saat tubuh tidak bisa secara efisien memanfaatkan insulin
yang dihasilkan. Hiperglikemia, ataupun glukosa dalam darah yang meningkat,
merupakan dampak universal dari diabetes yang tidak terkendali serta pada periode
tertentu yang ccukup lama akan menimbulkan kerusakan yang serius pada beberapa
sistem tubuh, kterutama pada saraf serta pembuluh darah (Setyaningrum &
Sugiyanto, 2015).
Diabetes Melitus adalah sekumpulan gejala dari hambatan metabolik yang dapat
diketahui secara spesifikasi adanya kadar gula darah di atas normal sehingga dapat
mempengaruhi metabolisme pada karbohidrat, lemak serta protein yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Diabetes Melitus adalah salah satu permasalahan
penyakit yang serius di seluruh dunia sebab penyakit diabetes melirus cenderung
mengalami kenaikan kasusnya seiring berjalannya waktu (Nurayati & Adriani,
2017).

b. Etiologi
Menurut (PB PERKENI, 2015) berlandaskan pada asal mula yang
mendasari kemunculannya, Diabetes Melitus terbagi menjadi beberapa kategori,
yakni: a. DM Tipe 1
Salah satu faktor pemicu Diabetes Melitus Tipe 1 ialah destruksi sel beta
dan defisiensi insulin absolut seperti penyakit auto-imun (tidak berfungsinya
sistem imunitas tubuh) dan idiopatik (penyebab yang tidak diketahui) yang
mengganggu proses sekresi insulin terutama sel β pada pankreas yang terjadi
secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pankreas akan kehilangan kemampuannya
dalam memproduksi serta melepaskan insulin yang dibutuhkan oleh tubuh.
b. DM Tipe 2
Diabetes Melitus tipe 2 diakibatkan oleh campuran, seperti resistensi insulin
dan disertai defisiensi insulin relatif. DM tipe 2 umumnya disebut dengan
diabetes life style sebab tidak hanya aspek genetik saja yang bisa
mempengaruhi namun bisa juga diakibatkan oleh pola gaya hidup yang tidak
sehat.
c. Tipe lain
Diabetes tipe lain diakibatkan oleh kondisi ketika glukosa dalam darah di atas
normal yang faktor pencetusnya meliputi sindrom genetik, endokrinopati,
insiufisiensi eksokrin pankreas, induksi obat ataupun zat kimia, akibat
imunologi yang kurang, infeksi dan lain sebagainya.
d. Diabetes Gestasional/Diabetes Kehamilan
Diabetes gestasional merupakan diabetes yang terjadi ketika baru mengalami
kehamilan yang pertama atau diabetes yang kemungkinan muncul pada saat
masa kehamilan. Umumnya diabetes ini dapat diketahui pada minggu ke-24
(bulan keenam). Diabetes ini biasanya akan menghilang setelah melahirkan.

c. Patofisiologi
Dalam proses patofisiologi diabetes melitus tipe 2 ada sebagian kondisi
yang turut serta berperan yaitu : resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas.
Diabetes melitus tipe 2 tidak diakibatkan oleh terbatasnya sekresi insulin, akan
tetapi akibat sel sel target insulin gagal atau ketidakmampuan dalam merespon
insulin secara normal. Kondisi ini umum disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulin sebagian besar terjadi akibat dari obesitas dan minimnya
aktivitas fisik serta proses dari penuaan. Pada penderita diabetes melitus tipe 2
bisa saja terjadi produksi glukosa hepatik yang mungkin berlebihan tetapi tidak
terjadi kerusakan pada selsel β langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus
tipe 2. Defisiensi fungsi insulin khususnya pada penderita diabetes melitus tipe 2
hanya bersifat relatif serta tidak absolut.
Berawal pada perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menandakan
adanya gangguan pada sekresi insulin fase awal, dalam artian sekresi insulin gagal
dalam mengkompensasi resistensi insulin. Jika tidak ditanggulangi dengan baik,
pada perkembangan berikutnya dapat terjadi kerusakan sel B pankreas. Kerusakan
sel B pankreas seiring berjalannya waktu dapat menyebabkan penuruna produksi
insulin, maka dari itu penderita diabetes melitus memerlukan insulin eksogen.
Penderita diabetes melitus tipe 2 pada umumnya sering diakitkan dengan dua
faktor yang menyertainya, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah,
2015).
Kondisi awal dari diabetes tipe 2 ialah terbentuknya resistensi insulin serta
hiperinsulinemia. Tetapi dengan berjalannya waktu, mekanisme kompensasi ini
tidak lagi bisa menahan progresifitas penyakit ini, sehingga timbul diabetes tipe 2.
Tetapi pada kebanyakan pengidap diabetes tipe 2 terbentuknya suatu kondisi yang
kompleks antara sekresi insulin serta resistensi insulin dan besarnya menyerupai
derajat hiperglikemia. Apabila sel B pankreas tidak bisa memproduksi sekresi
insulin dengan kapasitas yang memadai sepadan sesuai dengan resistensi insulin
maka dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada sebagian penyandang diabetes tipe
2, timbulnya kerusakan pada sel B dapat dimanifestasikan sebagai bagian dari
permulaan terganggunya sekresi insulin. Resistensi insulin terbentuk akibat dari
gangguan pada sekresi insulin. Namun, pada kebanyakan penyandang diabetes
tipe 2, kendala sensitivitas insulin serta sekresi insulin secara bersamaan
menimbulkan intoleransi glukosa yang terjadi secara berkala (Tjandrawinata,
2016).
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan defisiensi insulin sebagai akibat dari
resistensi insulin, kurangnnya produksi insulin, dan terjadi kerusakan sel beta
pankreas. Hal ini dapat menimbulkan penurunan konsentrasi dalam pelepasan
glukosa ke hati, sel otot, serta sel lemak. Kemungkinan lain terjadi peningkatan
proses pemecahan lemak dan terjadilah hiperglikemia. Ketidak berfungsinya sel
alfa yang terjadi akibat gangguan dari kerusakan toleransi glukosa dalam darah
dikenal sebagai proses fisiologis yang mengakibatkan penyakit diabetes melitus
(B.
Olokoba et al., 2012).

d. Manifestasi Klinis
Menurut (Nugroho, 2015) secara umum ada beberapa manifestasi klinik
yang terdapat pada penderita diabetes melitus, yaitu :
a. kadar glukosa dalam darah tinggi ( Hiperglikemia).
Glukosa dalam darah yang tinggi pada penderita diabetes melitus biasanya
diatas 200 mg/dL.
b. Poliuria (sering buang air kecil)
Poliuria akan terjadi bila ginjal memproduksi air kemih dalam jumlah yang
melampaui batas normal atau berlebihan, sehingga penderita diabetes melitus
merasakan keinginan berkemih dalam frekuensi yang berlebih.
c. Polidipsi (sering haus) polidipsi biasanya ditandai dengan mulut kering yang diakibatkan oleh
adanya poliuri, sebab penderita diabetes melitus sering merasakan haus yang berlebihan sehingga
penderita akan banyak minum.
d. Polifagia (makan berlebihan)
Polifagia biasanya dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya
terjadi karena sejumlah besar kalori yang terserap ke dalam air urine, sehingga
penderita diabetes melitus akan mengalami degradasi berat badan, maka dari
itu penderita biasanya merasakanlapar yang berlebih sehingga banyak makan.
Bermacam keluhan lain bisa ditemui pada penderita diabetes melitus.
Kecurigaan terhadap adanya diabetes melitus perlu diwaspadai apabila ada
keluhan lain yang berupa : kelemahan tubuh, kesemutan, gatal, pandangan
mata kabur, penurunan berat badan yang tidak bisa dipaparkan sebabnya dan
disfungsi ereksi pada laki-laki, serta pruritus vulvae pada perempuan
(PERKENI, 2011).

e. Komplikasi
Penyakit diabetes yang tidak ditanggulangi secara baik bisa menimbulkan
hiperglikemia yang pada waktu-waktu tertentu bisa menyebabkan komplikasi
berupa kerusakan pada sistem tubuh terutama pada sistem saraf dan pembuluh
darah. Penyakit diabetes melitus adalah salah satu faktor resiko yang
mengakibatkan timbulnya penyakit lain seperti jantung, stroke, neuropati,
retinopati, dan gagal ginjal. Seseorang yang menderita diabetes melitus cenderung
beresiko mengalami kematian dua kali lebih cepat dibandingkan dengan seseorang
yang bukan menderita penyakit diabetes melitus (Israfil, 2020).
Komplikasi akut dari diabetes melitus meliputi hipoglkemia, hiperglikemia
dan ketoasidosis sedangkan untuk komplikasi kronis dari diabetes melitus secara
luas dikelompokan menjadi mikrovaskular dan makrovaskular, Komplikasi
mikrovaskuler meliputi neuropati, nefropati, dan retinopati, sedangkan komplikasi
makrovaskuler terdiri dari penyakit kardiovaskular, stroke, dan penyakit arteri
perifer (PAD). Kemudian ada komplikasi lain dari diabetes yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam dua kategori yang disebutkan di atas seperti penyakit gigi,
penurunan resistensi terhadap infeksi, dan komplikasi kelahiran pada wanita
dengan diabetes gestasional (Papatheodorou et al., 2018).
Kaki diabetik disertai ulkus meurpakan salah satu komplikasi yang sering
terjadi pada penyandang diabetes. Ulkus kaki diabetik ialah luka kronik yang
terjadi pada bagian ekstermitas bawah (kaki) yang dapat meningkatkan mordibitas
serta mortalitas dan dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes. Ulkus
kaki diabetik disebabkan oleh kerusakan saraf (neuropati perifer) yang
menghambat peredaran aliran darah atau akibat dari penyempitan pembuluh darah
yang biasa disebut arteri perifer, bahkan ulkus kaki diabetik bisa disebabkan oleh
kombinasi dari diatas (PB PERKENI, 2015).
Menurut (Lotfy et al., 2016) ada beberapa ringkasan terkait komplikasi
diabetes dengan menyebutkan indikasi akibat hiperglikemia pada berbagai jenis
sel di tubuh sebagai berikut :
1. Sistem saraf pusat dan perifer
Meliputi : Stroke otak, Neuropati otonom, Neuropati perifer
(Disfungsi motorik & sensorik)
2. Mata
Meliputi : Retinopati, Katarak, Kebutaan
3. Sistem kardiovaskular
Meliputi : Kardiomiopati, Infark miokard, Aterosklerosis,
Hipertensi, Disfungsi sel endotel
4. Rongga mulut
Meliputi : Penyakit mulut (Karies, gingivitis, kelainan periodontal,
infeksi)
5. Sistem ginjal
Meliputi : Nefropati, Proteinuria, Glukosuria, Gagal ginjal
6. Sistem pencernaan
Meliputi : Pengosongan lambung yang tertunda, Diare, Sembelit,
Dispepsia, Insufisiensi kelenjar eksokrin
7. Sistem kelamin
Meliputi : Impotensi, Disfungsi seksual, Disfungsi urogenital
8. Kulit dan jaringan lunak
Meliputi : Gangguan penyembuhan luka, Infeksi kulit
9. Tulang
Meliputi : Osteopenia, patah tulang
10. Kaki
Meliputi : Ulserasi kaki, amputasi kaki

f. Penatalaksanaan
Menurut (Soelistijo et al., 2015) penatalaksanaan baik secara medis maupun
keperawatan dilakukan untuk meningkatkan derajat kualitas hidup penderita
diabetes melitus, dalam proses penatalaksanaan secara umum mempunyai tujuan
jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek yaitu utnuk
memperbaiki kualitas hidup, meminimalisir risiko terjadinya komplikasi dan
mengurangi keluhan diabetes melitus, sedangkan tujuan jangka panjang yaitu
untuk mencegah dan menghambat progesivitas kerusakan pada pembuluh darah,
serta bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas diabetes
melitus.
Dalam penatalaksanaan terhadap pasien diabetes melitus sering di kenal
dengan istilah 4 pilar sebagai acuan untuk mencegah ataupun untuk mengontrol
proses perjalanan penyakit dan terjadinya komplikasi, 4 pilar tersebut meliputi
edukasi, terapi nutrisi, aktivitas fisik dan terapi farmakologis. Selain itu, untuk
mengukur sejauh mana keberhasilan dalam proses penatalaksanaannya maka perlu
dilakukan pengontrolan kadar glukosa darah atau kadar hemoglobin yang
terglikosilasi (HbA1c) sebagai indikator penilaiannya (Putra, I. W. A., & Berawi,
2015).

Empat pilar dalam penatalaksanaan penyakit diabetes melitus menurut


(Hartanti et al., 2013) meliputi :
1. Edukasi
Penyakit diabetes melitus tipe 2 biasanya sering terjadi pada orang-
orang dewasa hingga lansia, dimana dalam waktu-waktu tertentu akan
membentuk perubahan pada perilaku atau pola gaya hidup. Pengelolaan
secara mandiri sangat diperlukan bagi penderita diabetes terutama dalam
mengoptimalisasi dan berkontribusi secara aktif untuk mengubah
perilaku yang tidak sehat. Peran tenaga kesehatan sangat berpengaruh
dalam mengubah perilaku tersebut dalam mencapai keberhasilan maka
diperlukan edukasi atau pengetahuan, pengembangan ketrampilan
(skill), perubahan perilaku dan motivasi bagi penderita diabetes.
2. Terapi nutrisi
Terapi nutrisi atau manajemen dalam perencanaan pemberian makanan
sangat berpengaruh pada penyandang diabetes, dalam pemberian makan
perlu diperhatikan proporsi sesuai dengan keadaan individu yang
mengalami diabetes. Ketentuan yang harus diberikan dalam pemberian
makanan harus diperhatikan terkait keseimbangan komposisi dalam
makanan yang meliputi karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain untuk
mencukupi status gizi yang baik.
3. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik sangat berpengaruh dalam proses penatalaksanaan
diabetes melitus yang berguna untuk memperbaiki sensivitas kinerja
insulin. Aktifitas fisik sederhana yang bisa dilakukan misalnya jalan
kaki, bersepeda dan lain-lain, dalam melakukan aktifitas fisik perlu
disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu yang dapat
disesuaikan dengan umur, kondisi ekonomi, sosial dan budaya serta
kondisi fisik.
4. Terapi famakologis
Setelah menerapkan pola nutrisi dan aktifitas fisik namun kadar glukosa
dalam darah belum mencapai target yang ditentukan maka diperlukan
penggunaan obat-obatan sesusai dengan indikasi dan dosis yang sudah
direncanakan atau ditentukan oleh tenaga ahli kesehatan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian


Pengkajian ini dilakukan pada hari Senin tanggal 1 Februari 2021 pukul 08.10
WIB. Penulis mengelola kasus pada Tn. M dengan masalah penyakit Diabetes
Melitus Tipe 2 di ruang Baitul Izzah 2 Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang.
Didapatkan gambaran kasus sebagai berikut : a)
Identitas pasien
Pasien yang saya kelola bernama Tn. M, berumur 38 tahun, berjenis kelamin
laki-laki, beragama islam, pendidikan terakhir yang ditempuh SMP, pasien
bekerja sebagai seorang pedagang, tempat tinggal pasien berada di Semarang,
Jawa Tengah. Pasien dirawat di rumah sakit pada tanggal 27 Januari 2021
sekitar pukul 09.00 WIB, pasien terdiagnosa medis Diabetes Melitus Tipe 2
dengan nomor RM. 21007225.
b) Identitas penanggung jawab
Selama pasien di rumah sakit yang bertanggung jawab adalah saudara
kadungnya yaitu adik laki-lakinya yang bernama Tn. M, berummur sekitar 29
tahun, beragama islam, serta bekerja sebagai pedagang. Pendidikan terakhir
yang ditempuh oleh saudara pasien hanya tamatan SD dan bertempat tinggal
di Semarang, Jawa Tengah.
c) Keluhan utama
Pasien mengatakan nyeri pada kaki kanannya disertai dengan luka/ulkus
diabetik dan mulutnya terasa perih disertai perut kembung..
d) Riwayat penyakit sekarang dan terdahulu
Pasien mengatakan nyeri pada area kaki kanan disertai luka/ulkus dan
timbulnya nyeri sudah sekitar 1 tahun, pasien mngungkapkan sudah menderita
penyakit DM sudah sekitar 5 tahun. Pasien mengungkapkan ketika keluhannya
terasa berat ia baru pergi ke rumah sakit, riwayat kesehatan yang lalu pasien
mengatakan pernah menderita kelenjar getah bening dan pernah dioperasi
namun sudah sembuh. Pasien tidak mempunyai riwayat kecelakaan, tidak
mempunyai alergi terhadap makanan dan minuman maupun obat-obatan.
e) Pola nutrisi dan metabolic
Pasien mengatakan sebelum sakit dalam kebiasaan makannya tidak ada
masalah, makan 3 kali sehari satu porsi piring sedang dengan aneka lauk dan
pauk. Pasien menyukai semua jenis makanan, tidak mengkonsumsi obat atau
vitamin penambah nafsu makan, dan tidak mempunyai alergi terhadap
makanan. Selama pasien dirawat, pasien mengatakan nafsu makannya
berkurang karena mulutnya terasa perih dan perut terasa kembung, pasien
hanya mampu menghabiskan kurang lebih separuh porsi makanan.
f) Pola eliminasi
Pasien mengatakan sebelum sakit pola BAB 1 kali dalam sehari waktu tidak
menentu warna fese kuning dan konsistensi lembek, BAK 3-4 kali dalam
sehari warna urin kuning, bau (khas kencing). Selama pasien dirawat mengaku
frekuensi BAB tidak teratur ± 3 hari yang lalu, warna feses kuning dan
konsistensi lembek, frekuensi BAK 3-4 kali dalam sehari warna kuning, bau
(khas kencing).
g) Pola istirahat dan tidur
Pasien mengatakan waktu tidurnya tidak menentu, biasa tidur diatas jam 21.00
WIB dan durasi tidur ± 7 jam serta di siang hari pasien juga kadang-kadang
tidur ± 1 jam namun jarang dilakukan. Setelah di rawat pasien mengatakan
waktu tidurnya tidak jauh berbeda ketika sebelum sakit, tidur ± 8 jam serta di
siang hari sering tertidur dengan durasi ± 2 jam.
h) Pola aktivitas dan Latihan
Pasien mengatakan sebelum sakit mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari
(ADL) seperti mandi, berpakaian, makan, dan lain-lain dengan mandiri namun
pasien mengaku jarang/bahkan tidak pernah berolahraga. Selama di rawat
pasien mengatakan mudah lelah dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(ADL)nya sebagian di bantu oleh keluarganya seperti berpindah tempat dan
berpindah tempat.
i) Pola kognitif perseptual sensori
Pasien mengatakan ada keluhan pada penglihatannya buram untuk melihat
jarak jauh, tidak ada masalah pada pendengarannya, kemampuan daya ingat
pasien baik dan mampu mengambil keputusan secara mandiri terkadang
musyawarah dengan keluarga. Pasien mengatakan masih nyeri pada kaki
kanannya P : nyeri saat digerakan, Q : rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk, R :
lutut dan luka pada kaki kanan, S : skala nyeri 5, dan T : Nyeri muncul secara
terus-menerus.
j) Pola persepsi dan konsep diri
Pasien mengatakan segala sesuatu yang terjadi termasuk penyakit yang di
alaminya sekarang ini sebagai cobaan, pasien selalu bersabar dan berharap
agar bisa sembuh dari penyakitnya. Pasien mengatakan hanya bisa pasrah
terhadap penyakitnya, pasien merasa kurang berguna karna tak bisa lagi
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dalam kehidapan
sehari-hari pasien berperan sebagai seorang ayah yang mencari nafkah untuk
keluarganya. Pasien berharap bisa sembuh dari panyakitnya secepat mungkin
agar bisa memnuhi kebutuhan keluarganya, pasien merasa kurang percaya diri
terhadap kondisinya saat ini karena panyakit yang ia alami.

k) Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)


Berdasarkan pengkajian yang sudah dilakukan pada tanggal 1
Feburuari 2021 di dapatkan data untuk tingkat kesadaran pasien
composmentis, keadaan penampilan pasien tampak lemah dan lesu. Tanda-
tanda vital : tekanan darah 175/88 mmHg, nadi 96 x/menit, RR 20 x/menit,
suhu 360C. Pada pemeriksaan kepala pasien berbentuk meshocepal, rambut
berwarna hitam bersih, tidak rontok, tidak ada ketombe, dan tidak ada lesi
dan edema. Pada mata konjutiva anemis, miopi, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, reaksi terhadap cahaya baik. Pada hidung tidak terdapat polip, bersih,
tidak terdapat epistaksis, tidak ada nafas cuping hidung dan tidak terpasang
O2. Pada telinga bentuk simetris kanan dan kiri, ada sedikit serumen, tidak
ada masalah pendengaran, tidak ada infeksi, tidak menggunakan alat bantu
dengar. Pada mulut dan tenggorokan tidak ada kesulitan/gangguan berbicara,
tidak ada kesulitan mengunyah/menelan, tidak ada benjolan di leher, gigi
rata/rapi, warna gigi kuning, tidak ada perdarahan ataupun pembengkakan
pada gusi.
Pada pemeriksaan jantung inspeksi ictus cordis tidak tampak, palpasi
ictus cordis teraba di ICS 5, perkusi pekak, auskultasi terdengar suara Lup-
dup (S1 & S2) tidak ada suara tambahan. Pada pemeriksaan paru- paru
inspeksi pergerakan dada simetris kanan dan kiri, palapsi tidak ada

nyeri tekan, tidak ada benjolan, tidak ada edema, perkusi sonor, auskultasi
bunyi vesikuler. Pada pemeriksaan abdomen inspeksi bentuk simetris,
tidak ada lesi ataupun jejas, auskultasi terdengar suara bising usus,
perkusi tympani, palpasi tidak ada nyeri tekan.
Pada pemeriksaan genetalia tidak terpasang kateter, area genetalia
bersi, tidak terdapat hemoroid maupun luka. Pada pemeriksaan
ekstremitas atas dan bawah, pasien terpasang infus di bagian tangan kiri,
kekuatan ekstremitas atas kanan kiri bagus, terdapat luka 3 bagian pada
kaki kanan bawah, warna luka granulasi, terdapat eksudat, kekuatan
ektremitas kaki kanan bawah tidak optimal. Pada pemeriksaan kulit,
warna kulit pasien sawo matang, turgor kulit baik, kebersihan kulit baik.

b. Diagnosa Keperawatan
Tn. M mempunyai 3 diagnosa prioritas keperawatan yaitu yang pertama,
nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis, kemudian yang
kedua gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan neuropati
perifer, dan yang ketiga, ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan
dengan resistensi insulin.
c. Planning/intervensi
Pada hari Senin 1 Februari 2021 penyusunan intervensi atau rencana
keperawatan berdasarkan diagnosa yang muncul. Diagnosa pertama yaitu nyeri
akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis. Ditetapkannya tujuan dan
kriteria hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mampu
mengontrol nyeri menggunakan teknik non farmakologis, keluhan nyeri
menurun, penggunaan analgesik menurun. Adapun intervensi yang dapat
dilakukan identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri, skala nyeri, berikan teknik terapi musik dan teknik relaksasi
distraksi, dan kolaborasikan pemberian analgetik.
Diagnosa kedua yaitu gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan
neuropati perifer. Ditetapkannya tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan
tindakan keperwatan selama 3 x 24 jam di harapkan masalah gangguan integritas
kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mampu melindungi dan mampu
mempertahankan kelembaban kulit, tidak ada luka tambahan, integritas kulit baik
dan perfusi jaringan baik. Adapun intervensi yang dapat dilakukan perawatan luka
atau ganti balutan, memonitor karakteristik luka, pertahankan kebersihan dan
kesterilan pada luka, kolaborasikan pemberian antibiotik, anjurkan untuk minum air
yang cukup.
Diagnosa ketiga yaitu ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan
dengan resistensi insulin. Ditetapkannya tujuan dan kriteria hasil setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di harapkan kadar glukosa
darah stabil dengan kriteria hasil kadar glukosa darah pasien membaik, tingkat
kesadaran meningkat, koordinasi meningkat, perilaku membaik. Adapun
intervensi yang dapat dilakukan memonitor kadar gluksa darah, ajarkan
pengelolaan kadar diabetes seperti penggunaan insulin, obat oral, memonitor
asupan, kolaborasikan pemeberian insulin.

d. Implementasi
Pada hari Senin 1 Februari 2021 pukul 08.50 WIB melakukan
implementasi diagnosa yang pertama yaitu mengidentifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan skala nyeri, data
subjektif pasien mengatakan P : nyeri saat di gerakan, Q : nyeri seperti di
tusuktusuk, R : di bagian lutut dan luka pada kaki kanan, S : skala nyeri 6, T :
terusmenerus sedangkan untuk data objektifnya pasien tampak meringis
menahan sakit dan menunjukkan area yang nyeri. Pada pukul 09.00 WIB
mengajarkan teknik non farmakologis yaitu terapi musik (murrotal) dan teknik
relaksasi nafas dalam data subjektif pasien mengatakan mau di ajarkan
bebarapa teknik non farmakologis, sedangkan untuk data objektifnya pasien
tampak mendengarkan terapi musik yang di berikan dan mampu melakukan
teknik relaksasi nafas dalam yang telah di ajarkan.
Pada pukul 09.30 WIB melakukan implementasi diagnosa yang kedua
yaitu mengganti balutan dan memantau karakteristik luka data subjektif yang
didapatkan pasien mengatakan luka sudah ada sejak 1 bulan yang lalu dan
mengatakan lukanya tak kunjung sembuh sedangkan untuk data objektifnya
didapatkan ada 3 bagian luka di kaki kanannya, warna dasar luka granulasi
(merah), bau luka khas DM, diameter luka ± 4 cm dengan kedalam luka ± 1
cm, terdapat eksudat (pus dan darah). Pada pukul 10.00 WIB memberikan
injeksi ciprofloxacin 500 mg secara intravena data subjektif yang didapatkan
pasien mengatakan bersedia sedangkan untuk data objektifnya pasien tampak
mengangguk tanda setuju.
Pada pukul 11.05 WIB melakukan implementasi diagnosa ketiga yaitu
memberikan injeksi insulin apidra 15 ml secara subcutan data subjektif yang
didapatkan pasien mengatakan bersedia untuk di beri insulin dan untuk data
objektif yang di dapatkan pasien tampak mengangguk tanda setuju. Pada pukul
11.15 WIB menganjurkan pasien untuk mematuhi progam diit yang di
tentukan data subjektif yang didapatkan pasien mengatakan kurang nafsu
makan dan untuk data objektifnya pasien hanya menghabiskan setengah porsi
dari makannya dan pasien tampak makan-makanan dari luar RS yang tidak
termasuk dalam progam diit yang ditentukan.
Pada hari Selasa 2 Februari 2021 pukul 08.00 WIB melakukan
implementasi diagnosa yang kedua yaitu perawatan luka/ganti balut data
subjektif didapatkan pasien mengatakan bersedia untuk di ganti balut data
objektif luka masih mengandung eksudat, dan sedikit darah, bau khas DM.
pada pukul 08.30 WIB memberikan injeksi ciprofloxacin 500 mg secara
intravena data subjektif yang di dapatkan pasien mengatakan bersedia untuk
data objektif yang didapatkan pasien tampak mengangguk tanda setuju. Pada
pukul 08.45 WIB menganjurkan pasien untuk memperbanyak minum air putih
data subjektif yang di dapatkan pasien mengatakan sudah minum air putih
sedangkan untuk data objektifnya pasien tampak menunjukkan botol bekas
minumnya.
Pada pukul 09.30 WIB melakukan implementasi diagnosa yang pertama
yaitu melakukan pengakjian secara komprehensif data subjektif yang
didapatkan pasien mengatakan P : nyeri saat digerakan, Q : nyeri seperti
ditusuktusuk, R : dibagian lutut dan area luka kaki kanan, S : skala nyeri 5, T :
nyeri terasa secara terus-menerus sedangkan untuk data objektifnya pasien
tampak meringis menahan nyeri saat di gerakan. Setelah melakukan
pengkajian secara komprehensif lalu memberikan teknik non farmakologis
yaitu terapi musik (murotal) dan teknik relaksasi tarik nafas dalam data
subjektif yang didapatkan pasien mengatakan lebih rileks dan tenang untuk
data objektifnya pasien tampak memejamkan mata dan menghayati saat di
berikan terapi musik.
Pada pukul 10.50 WIB melakukan implementasi diagnosa yang ketiga
yaitu memantau kadar glukosa darah dengan data subjektif yang di dapatkan
pasien mengatakan kadar gula darahnya masih tinggi sedangkan untuk data
objektif didapatkan GDS 225 mg/dL. Setelah itu menganjurkan pasien untuk
menghabiskan porsi makanan yang sudah diprogamkan data subjektif yang
didapatkan pasien mengatakan kurang nafsu makan- makanan dari rumah sakit
sedangkan untuk data objektif yang di dapatkan pasien hanya menghabiskan
setengah porsi makanan yang sudah diprogamkan. Kemudian menganjurkan
pasien untuk meminum obatnya tepat waktu sesuai ketentuan data subjektif
yang didapatkan pasien mengatakan sudah meminum obatnya sedangkan
untuk data objektif yang didapatkan pasien tampak memperlihatkan bungkus
obat yang sudah diminumnya. Pada pukul 11.49 WIB memberikan injeksi
insulin apidra melalui subcutan data subjektif yang didapatkan pasien
mengatakan bersedia untuk diberikan insulin sedangkan data objektif yang
didaptkan pasien tampak mengangguk tanda setuju.
Pada hari Rabu 3 Februari 2021 pukul 14.45 WIB melakukan
implementasi diagnosa kedua yaitu memantau tanda-tanda infeksi pada luka
data subjektif yang didapatkan pasien mengatakan lukanya masih bisa belum
ada perubahan sedangkan data objektif yang didapatkan tidak ada tanda-tanda
infeksi disekitar luka maupun area luka. Setelah itu melakukan injeksi
ciprofloxacin 500 mg secara intravena data subjektif yang didapatkan pasien
mengatakan bersedia untuk diberikan injeksi sedangkan data objektif yang
didapatkan pasien tampak mengangguk tanda setuju.
Pada pukul 16.30 WIB melakukan implementasi diagnosa yang pertama
yaitu menganjurkan pasien untuk melakukan tindakan non farmakologis yang
sudah pernah diajarkan jika nyeri dirasakan/bertambah dan mengidentifikasi
skala nyeri data subjektif yang didapatkan pasien mengatakan masih terasa
nyeri saat digerakan sedangkan untuk data objektif yang didapatkan pasien
tampak terlihat meringis, skala nyeri : 4, TD : 156/75, RR : 20 x/menit, N : 90
x/menit, S : 36,70C. Kemudian pada pukul 18.30 WIB melakukan
implementasi diagnosa yang ketiga yaitu memantau kadar glukosa darah data
subjektif yang didapatkan pasien mengatakan kadar gulanya masih tinggi
sedangkan untuk data objektif didapatkan GDS 112 mg/dL.

e. Evaluasi
Pada hari Senin 1 Februari 2021 pukul 14.00 WIB hasil evaluasi untuk
diagnosa yang pertama yaitu didapatkan data Subjektif pasien mengatakan
masih merasakan nyeri P : saat digerakan, Q : nyeri seperti di tusuk-tusuk, R :
di bagian lutut dan di area luka, S : 4, T : nyeri dirasakan secara terus-menerus,
untuk data Objektif didapatkan pasien tampak meringis, pasien menunjukkan
area yang nyeri, TD : 175/88 mmHg, RR : 20 x/menit, N : 96 x/menit, S :
360C, Assesment masalah belum teratasi dan Planning lanjurkan semua
intervensi. Evaluasi diagnosa yang kedua didapatkan data Subjektif pasien
mengatakan luka pada kaki sejak 1 bulan yang lalu untuk data Objektifnya
didapatkan terdapat luka dengan diameter ± 4 cm dengan kedalaman ± 1 cm,
warna dasar luka granulasi/merah, terdapat eksudat/pus dan sedikit darah,
Assesment masalah belum teratasi dan Planning lanjutkan semua intervensi.
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu didapatkan data Subjektif pasien mengatakan
menderita penyakit diabetes melitus sejak 5 tahun yang lalu untuk data
Objektif didapatkan GDS : 286 mg/dL, Assesment masalah belum teratasi dan
Planning lanjutkan semua intervensi.
Pada hari selasa 2 Februari 2021 pukul 14.00 WIB hasil evaluasi untuk
diagnosa yang kedua yaitu didapatkan data Subjektif pasien mengatakan luka
masih seperti biasanya belum ada perubahan untuk data Objektif didapatkan
warna dasar luka granulasi/merah, bau luka khas DM, ada eksudat/pus dan
sedikit darah, Assesment masalah belum teratasi dan Planning lanjutkan semua
intervensi. Evaluasi diagnosa yang pertama didapatkan pasien mengatakan
masih merasakan nyeri P : saat digerakan, Q: seperti ditusuk-tusuk, R :
dibagian lutut dan area luka, S : 4, T : terus- menerus untuk data Objektif
didapatkan pasien terbaring di atas tempat tidur dan tampak meringis,
Assesment masalah belum teratasi dan Planning lanjutkan intervensi
(identifikasi skala nyeri, menganjurkan melakukan teknik nonfarmakologis
dan kolaborasikan pemberian analgetik). Evaluasi diagnosa yang ketiga
didapatkan data Subjektif pasien mengatakan kadar glukosa darahnya masih
tinggi untuk data Objektifnya GDS : 225 mg/dL, Assesment masalah belum
teratasi dan Planning lanjutkan intervensi (monitor kadar glukosa darah,
tingkatkan pengetahuan/kesadaran pasien dan kolaborasikan pemberian
insulin).
Pada hari Rabu 3 Februari 2021 pukul 21.00 WIB hasil evaluasi untuk diagnosa yang kedua
yaitu didapatkan data Subjektif pasien mengatakan luka masih seperti biasanya belum sembuh
atau tidak ada perubahan untuk data Objektif didapatkan luka tertutup oleh balutan dan tidak
ada tanda-tanda infeksi, Assesment masalah belum teratasi dan Planning lanjutkan semua
intervensi. Evaluasi diagnosa yang pertama didapatkan pasien mengatakan masih merasakan
nyeri namun masih bisa dikontrol untuk data Objektif didapatkan pasien terbaring di atas
tempat tidur dan terlihat lebih rileks, Assesment masalah nyeri teratasi sebagian dan Planning
lanjutkan intervensi (kolaborasikan pemberian analgetik dan anjurkan melakukan teknik
nonfarmakologis jika nyeri tidak terkontrol). Evaluasi diagnosa yang ketiga didapatkan data
Subjektif pasien mengatakan kadar glukosa darahnya naik turun namun masih tinggi untuk
data Objektifnya GDS : 112 mg/dL, Assesment masalah belum teratasi dan Planning
lanjutkan intervensi (monitor kadar glukosa darah, tingkatkan kesadaran pasien, dan
kolaborasikan pemberian insulin).
C. PENYIMPANGAN KDM
D. PENDIDIKAN KESEHATAN
Pendidikan kesehatan adalah upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang
lain baik secara individu, kelompok atau masyarakat sehingga melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku/ penyedia pendidikan kesehatan. Diabetes Melitus (DM)
adalah penyakit metabolik yang jika tidak segera diobati akan menimbulkan
komplikasi sehingga perlu pendidikan kesehatan yang asertif dan efektif. Namun,
pendidikan kesehatan DM saat ini masih kurang efektif karena penderita DM lebih
banyak diberikan obat saja sehingga merasa kurang informasi mengenai pengelolaan
DM.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pendidikan kesehatan yang telah
diterima oleh diabetesi. Penelitian menggunakan survei deskriptif kuantitatif dengan
teknik convenience sampling.Kriteria inklusi penelitian adalah penderita diabetes >18
tahundan pernah mendapatkan edukasi tentang DM di Puskesmas Kedungmundu.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah modifikasi dan adaptasi dari Patient
Experiment of Diabetes Services (PEDS) Questionnairesebanyak 5 item pertanyaan,
The DaCare Diabetes Education Questionnairesebanyak 4 item pertanyaan, dan
Questionnaire For The Study Tilled Health Care In Pakistan sebanyak 19 item
pertanyaan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 132 responden yang
berpartisipasi menunjukkan hasil mayoritas responden (109 orang; 82,6%)
mempunyai aspek perawatan diabetes mellitus dalam kategori cukup. Disarankan
puskesmas untukmemberikan pendidikan kesehatan yang lebih banyak, teratur, dan
rinci terutama pada aspek monitoring kadar gula darah mandiri, efek DM pada ginjal
dan perawatan kaki pada penderita DM agar mampu mengetahui cara manajemen
yang baik.

E. FUNGSI ADVOKASI
Peran perawat sebagai advokasi pasien adalah perawat mampu memberikan
perlindungan terhadap pasien, keluarga pasien, dan orang – orang disekitar pasien.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian Umasugi (2018) bahwa perawat sebagai
pelindung, perawat mampu mempertahankan lingkungan yang aman dan nyaman dan
mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan
dari hasil pengobatan, contohnya mencegah terjadinya alergi terhadap efek
pengobatan dengan memastikan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi. Salah
satu untuk mencegah terjadinya hal – hal yang merugikan pasien perawat harus saling
berkoordinasi dengan adanya standar komunikasi yang efektif dan terintegrasi dalam
kegiatan timbang terima yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
(Alvaro et al. 2016 dalam Triwibowo & Zainuddin 2016). Peran advokasi perawat
terhadap pasien juga terlaksana dalam pemberian penjelasan tindakan prosedur dalam
informed consent berperan sebagai pemberi informasi, pelindung, mediator, pelaku
dan pendukung (Tri Sulistiyowati, 2016). Perawat memberikan perlindungan terhadap
pasien untuk mencvegah terjadinya penyimpangan/malpraktik yang pada dasarnya
setiap profesi kesehatan sudah harus memahami tanggung jawab dan integritasnya
dalam memberikan pelayanan kesehatan. Para professional kesehatan terutama
perawat harus memahami hak – hak dan kewajiban pasien sebagai penggunan layanan
kesehatan. (Kusnanto, 2004). Dalam artikelnya Nurul (2018) pasien berhak
mendapatkan pelayanan yang manusiawi dan jujur. Pasien berhak mendapatkan
pelayanan yang sama tanpa adaanya diskriminasi. Pasien berhak didampingi oleh
keluarga selama di rawat. Pasien juga berhak memilih tim medis dan rumah sakit
sesuai dengan kebutuhannya, namun pada hal ini perawat harus memberikan
informasi yang sejujurnya agar pasien tidak salah dalam memilih. Kemudian pasien
berhak mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukannya dan berhak mendapatkan
perlindungan privasi. Dalam hal ini perawat sebagai pendamping pasien selama 24
jam penuh wajib memenuhi hak pasien tersebut yang berperan sebagai advokasi bagi
pasien untuk menghindari terjadinya kesalahan asuhan keperawatan.
Perawat harus menghargai pasien yang dirawatnya sebagai manusia yang utuh
sehingga tidak menjadi beban selama menjalani perannya sebagai advokat pasien.
Namun beberapa penghambat yang dialami perawat dalam menjalankan perannya
adalah salahnya paradigma perawat sebagai pembantu atau asisten dokter (Suryani,
dkk, 2013) yang masih menjadi pencetus hilangnya kepercayaan diri perawat dalam
melaksanakan peran sebagai advokasi tersebut. Tingkatkan pendidikan juga harus
ditingkatkan agar perawat dapat meningkatan ilmu pengetahuan sehingga pada saat
pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilaksanakan bisa lebih dilakukan dengan
teliti. Kemudian hal yang terpenting untuk melaksanakan peran sebagai advokasi
pasien adalah bagaimana seorang perawat dapat berkomunikasi dengan baik dengan
pasien maupun dengan mitra sejawat. Komunikasi adalah bentuk aksi untuk
melakukan interaksi yang akan memberikan informasi silang antara pasien dan mitra
sejawat. Apabila komunikasi antar perawat dan pasien atau keluarga akan
memberikan feedback yang positif antara kedua pihak. Yang tentunya akan
membantu proses perawatan yang lebih mudah dan pasien akan merasa nyaman
dengan tindakan yang dilakukan. Sehingga peran perawat sebagai advokasi pasien
salah satunya mediator antara pasien dan tenaga kesehatan lainnya dapat tercapai
(Irfanti, 2019).

BAB III JURNAL

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN DALAM


PENGELOLAAN DIET PADA PASIEN RAWAT JALAN DIABETES MELLITUS TIPE
2 DI KOTA SEMARANG

Dita Wahyu Hestiana

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri


Semarang, Indonesia
Info Artikel Abstrak

Sejarah Latar Belakang: Pengelolaan DM tipe 2 meliputi perencanaan


Artikel: makan atau diet, aktivitas fisik, kontrol gula darah, dan minum obat.
Diterima Prevalensi kasus DM tipe 2 mencapai 85-90%. Di Puskesmas
Disetujui Tlogosari Wetan, kasus DM tipe 2 menduduki 5 besar kasus tertinggi
Dipublikas di Kota Semarang. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah
ikan cross sectional study dengan populasi seluruh penderita DM tipe 2
tahun 2016 (1 Juli – 31 Desember) dan besar sampel adalah 57
Keywords:
Compliance, responden. Pengukuran pengelolaan diet dilakukan dengan

Management of menggunakan kuesioner.


Diet, T2DM. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara umur
(p<0,01), jenis kelamin (p< 0,01), dan peran keluarga (p: <0,01)
dengan kepatuhan dalam pengelolaan diet DM tipe 2. Tidak terdapat
hubungan antara pendidikan (p: 0,44), pekerjaan (p: 0,7),
pengetahuan (p: 0,42), dan
peran petugas kesehatan (p: 0,7).
Simpulan: Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
dalam pengelolaan diet DM tipe 2 adalah umur, jenis kelamin, dan
peran keluarga.

Abstract

Background: Type 2 DM (T2DM) management are diet, physical


activity, blood sugar control, and medication. The prevalence of
T2DM was 85-90%. In Puskesmas Tlogosari Wetan, cases of T2DM
was top five in the city of Semarang.
Methods: It was cross sectional study with the population of patients
with T2DM in 2016 (July 1 to December 31) and sample size taken
was 57 respondents. Measurement of dietary management was done
by using a questionnaire.
Results: It showed there was association between age (p<0.01), sex
(p<0.01), and the role of the family (p<0.01) with the compliance in
the management of diet among patients with T2DM. There was no
association between education (p: 0,44), occupation (p: 0.7),
knowledge (p: 0.42), and the role of health officer (p: 0.7).
Conclusion: Factors associated with the compliance in the
management of diet among patients with T2DM were age, sex, adn
the role of the family.

© 2017 Universitas Negeri


Alamat korespondensi:

Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes 4252


Semarang
ISSN 2527-
Kampus Sekaran,
Gunungpati, Semarang,
50229 E-mail:
dita.hestiana@gmail.com

PENDAHULUAN Data laporan WHO tahun 2003


menunjukkan hanya 50% pasien DM di negara
Diabetes Melitus (DM) merupakan maju mematuhi pengobatan yang diberikan.
suatu penyakit menahun yang ditandai Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi
dengan kadar glukosa darah (gula darah) komplikasi. Timbulnya komplikasi mempe-
melebihi normal yaitu kadar gula darah ngaruhi kualitas hidup dan mempengaruhi
sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, perekonomian.
dan kadar gula darah puasa di atas atau Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia
sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly, pada tahun 2013 adalah sebesar 2,1%. Angka
2006). DM dikenal sebagai silent killer tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
karena sering tidak disadari oleh 2007 (1,1%). Sebanyak 31 provinsi (93,9%)
penyandangnya dan saat diketahui sudah menunjukkan kenaikan prevalensi diabetes
terjadi komplikasi (Kemenkes RI, 2014). mellitus yang cukup berarti.
DM dapat menyerang hampir seluruh Prevalensi untuk Provinsi Jawa Tengah
sistem tubuh manusia, mulai dari kulit sebesar (1,9%) (Kemenkes RI, 2014). Jumlah
sampai jantung yang menimbulkan kasus DM tipe 2 di Jawa Tengah tahun 2015
komplikasi. sebanyak 99.646 kasus. Hal ini berbeda dengan
International Diabetes Federation tiga tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 kasus
(IDF) menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebanyak 96.431 kasus
diabetes mellitus di dunia adalah 1,9% (0,29%). Pada tahun 2013 kasus diabetes mellitus
dan telah menjadikan DM sebagai tipe 2 di Jawa Tengah yaitu sebesar 142.925
penyebab kematian urutan ke tujuh di (0,43%) kasus, sedangkan pada tahun
dunia sedangkan tahun 2013 angka 2012 sebesar 181.543 (0,55%) kasus.
kejadian diabetes di dunia adalah
sebanyak 382 juta jiwa dimana proporsi
kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia. Prevalensi kasus Diabetes
melitus tipe 2 sebanyak 85-90% (Bustan,
2015).
Kota semarang menempati ke puskesmas dengan pengelolaan meliputi diet,
urutan ketiga dari 35 kabupaten/kota di olahraga, dan obat.
Jawa Tengah (Dinas Kesehatan Jawa Menurut konsensus Perhimpunan
Tengah, 2015). Kasus DM tipe Endoktrinologi Indonesia (PERKENI,
2 di Kota Semarang pada tahun 2014 2011), pilar pengendalian DM meliputi
sebesar latihan jasmani, terapi gizi medis,
15.464 kasus, hal ini mengalami intervensi farmakologis, dan edukasi.
peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu Keberhasilan proses kontrol terhadap
tahun 2013 sebesar penyakit DM salah satunya ditentukan oleh
13.112 kasus. Pada tahun 2015, menurut kepatuhan pasien dalam mengelola pola
data Dinas Kesehatan Kota Semarang makan atau diet sehari-hari. Hal ini agar
menunjukkan bahwa kasus tertinggi mencegah timbulnya komplikasi dari
terdapat di Puskesmas Tlogosari Wetan. penyakit DM. Prinsip pengaturan makan
Dari data rekam medik Puskesmas pada penderita DM hampir sama dengan
Tlogosari Wetan didapatkan laporan data anjuran makan untuk masyarakat umum
kesakitan penyakit tidak menular, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
khususnya DM non insulin yaitu sebesar dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
530 kasus, dengan tingkat kejadian masing-masing individu. Penderita diabetes
paling banyak adalah pada usia 4565 melitus perlu ditekankan pentingnya
tahun dan pada jenis kelamin wanita. keteraturan makan dalam hal jadwal
Dari studi pendahuluan didapatkan makan, jenis dan jumlah makanan,
bahwa tingkat kepatuhan pasien diabetes terutama pada mereka yang menggunakan
belum dapat dikatakan baik, ditandai obat penurun glukosa darah atau insulin.
dengan frekuensi kedatangan pasien Menurut Di Matteo (2004) menunjukkan
untuk melakukan pengobatan DM yang bahwa populasi penderita
tidak mengalami penurunan. Selain itu DM adalah populasi yang terendah kepatuhan
petugas juga menjelaskan (67,5%) dalam tindakan medis yang dianjurkan
programprogram yang dilakukan dalam dibandingkan 16 penyakit utama lain.
penanggulangan diabetes melitus di Kendala utama pada penanganan diet DM
puskesmas Tlogosari Wetan meliputi adalah kejenuhan pasien dalam mengikuti terapi
penemuan kasus, pengobatan dan diet yang sangat diperlukan untuk mencapai
perawatan penderita, dan penyuluhan keberhasilan. Meskipun diperlukan pola makan
langsung pada penderita yang berkunjung atau diet yang sesuai dengan perintah dokter,
namun kenyataannya tingkat kepatuhan
penderita dalam menjalankan program menggunakan analisis univariat dan bivariat.
manajemen penyakit tidak cukup baik. Analisis bivariat dengan uji chi square.
Permasalahan seperti ini menjadi
tantangan dalam penanggulangan HASIL DAN PEMBAHASAN
penyakit diabetes melitus. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui Pada analisis variabel umur, responden
faktor-faktor yang berhubungan dengan dengan kategori dewasa (20-59 tahun) sebanyak
kepatuhan dalam pengelolaan diet pada 43 responden (75,4%) dan kategori lansia (≥60
penderita DM tipe 2 di Wilayah Kerja tahun) sebanyak 14 responden (24,6%). Pada
Puskesmas Tlogosari Wetan Kota variabel jenis kelamin, sebagian besar responden
Semarang. berjenis kelamin perempuan sebanyak 41
penderita (71,9%), sedangkan pada responden
METODE laki-laki sebanyak 16 penderita (28,1%).
Berdasarkan tabel 1, terdapat hubungan
Jenis penelitian ini menggunakan antara umur dengan kepatuhan dalam
rancangan penelitian cross sectional. pengelolaan diet pada pasien rawat jalan
Variabel yang diteliti adalah umur, jenis penderita DM tipe 2. Dari analisis diperoleh
kelamin, tingkat pendidikan, status nilai PR = 9,12, artinya responden yang
pekerjaan, tingkat pengetahuan, peran termasuk dalam kategori umur dewasa memiliki
keluarga, dan peran petugas kesehatan, risiko 10 kali lebih besar terhadap rendahnya
serta kepatuhan pengelolaan diet pada kepatuhan dalam pengelolaan diet. Dalam
penderita DM tipe 2. penelitian ini kategori usia dewasa lebih
Populasi pada penelitian ini adalah dominan daripada yang berusia dalam kategori
seluruh penderita DM tipe 2 yang tercatat lansia. Sehingga tabel menunjukkan bahwa
di rekam medis Puskesmas Tlogosari proporsi kepatuhan pengelolaan diet pada
Wetan Kota Semarang tahun 2016 (Juli- responden dewasa lebih tinggi dibandingkan
Desember) dengan teknik pengambilan lansia. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
data yaitu obsevasi dan wawancara. responden yang menderita DM tipe 2 berusia
Penelitian ini melibatkan 57 responden. antara 45-60 tahun atau dalam kategori dewasa.
Teknik pengambilan sampel yang Umur dewasa merupakan usia pra lansia,
digunakan adalah teknik purposive dimana fungsi dan integrasi mulai mengalami
sampling dengan menerapkan kriteria penurunan, kemampuan untuk mobilisasi dan
inklusi dan eksklusi. Instrumen penelitian aktivitas sudah mulai berkurang sehingga
menggunakan kuesioner. Teknik analisis
muncul beberapa penyakit yang Tabel 1. Faktor Berhubungan dengan Kepatuhan dalam Pen
menyebabkan status kesehatan menurun. Variabel Pengelolaan Diet

Hal ini sejalan Patuh Tidak Patuh

dengan penelitian Trisnawati Umur

(2013) bahwa adanya hubungan yang Dewasa 28 (65,1 %) 15 (34,9 %)

signifikan pada kelompok umur lebih dari Lansia 1 (7,1%) 13 (46,4 %)

45 tahun yang lebih beresiko menderita Jenis Kelamin


DM tipe 2. Didapatkan hasil penderita Laki-laki 14 (87,5 %) 2 (12,5 %)
DM lebih banyak pada kelompok umur Perempuan 15 (36,6 %) 26 (63,4 %)
dewasa daripada lansia. Dengan
Tingkat Pendidikan
bertambahnya usia maka terjadi
Tinggi 11 (61,1 %) 7 (38,9 %)
penurunan fungsi pendengaran,
Rendah 18 (42,6 %) 21 (53,8 %)
penglihatan dan daya ingat seorang pasien
Status Pekerjaan
sehingga pada pasien usia lanjut akan
Bekerja 13 (48,1 %) 14 (51,9 %)
lebih sulit menerima informasi dan
Tidak bekerja 16 (53,3 %) 14 (46,7 %)
akhirnya salah paham mengenai instruksi
yang diberikan oleh petugas kesehatan. Tingkat Pengetahuan
Penelitian ini tidak sejalan Baik 19 (46,3 %) 22 (53,7 %)
dengan penelitian Liu (2004) Kurang 10 (62,5 %) 6 (37,5 %)
mempelajari kemampuan orang Peran Keluarga
dewasa yang lebih tua untuk Baik 23 (79,3 %) 6 (20,7 %)
mengingat dalam memantau glukosa Kurang 6 (21,4 %) 22 (78,6 %)
mereka sebanyak empat kali dalam
Peran Petugas Kesehatan
waktu yang sudah ditentukan.
Baik 16 (53,3 %) 14 (46,7 %)
Dalam penelitiannya menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara
Kurang 13 (48,1 %) 14 (51,9 %)
usia dengan kepatuhan dalam
pengelolaan kepatuhan diet DM.
Berdasarkan tabel 1, pada diet pada pasien rawat jalan penderita DM tipe
variabel jenis kelamin, terdapat 2. Dari analisis diperoleh nilai PR = 2,39,
hubungan antara jenis kelamin artinya responden yang berjenis kelamin
dengan kepatuhan dalam perempuan memiliki risiko dua kali lebih besar
pengelolaan terhadap rendahnya kepatuhan dalam
pengelolaan diet. Dalam penelitian ini juga
dapat disimpulkan bahwa proporsi yan berhubungan langsung dengan perilaku
kepatuhan pengelolaan diet pada kepatuhan seperti yang diungkapkan dalam
responden perempuan lebih tinggi teori Health Belief Model atau model
dibandingkan laki-laki. Perbedaan jenis kepercayaan kesehatan.
kelamin dalam melakukan pengelolaan Penelitian lain yang tidak sejalan
diet tidak menjadi suatu masalah. Karena adalah menurut Nugroho (2017)
responden yang berjenis kelamin menyatakan dalam penelitiannya bahwa
perempuan maupun laki-laki sangat tidak ada hubungan yang bermaknsa antara
penting untuk melakukan pengelolaan jenis kelamin dengan kepatuhan diet
diet agar dapat mencegah timbulnya penderita DM dengan jumlah
komplikasi. Menurut Riset kesehatan laki-laki sebanyak 77% lebih patuh daripada
dasar (2013) prevalensi perempuan lebih perempuan sebanyak 50,8% patuh.
tinggi daripada laki-laki, hal ini Pada variabel pendidikan, tidak ada
dikarenakan beberapa faktor risiko hubungan antara tingkat pendidikan dengan
menyebabkan tingginya kejadian DM kepatuhan dalam pengelolaan diet pada pasien
pada perempuan. rawat jalan penderita DM tipe 2. Pada penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Wong ini menunjukkan bahwa responden dengan
(2005) menunjukkan bahwa ada pendidikan rendah lebih banyak daripada yang
hubungan antara jenis kelamin dengan berpendidikan tinggi. Sehingga dapat
kepatuhan diet pada penderita DM tipe 2. disimpulkan bahwa proporsi kepatuhan
Penelitian yang tidak sejalan adalah dalam pengelolaan diet pada responden yang
penelitian Tania (2016) menunjukkan berpendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan
persentase responden yang ikut dalam dengan responden yang memiliki latar belakang
penelitian dengan jenis kelamin laki-laki pendidikan yang tinggi. Pengelolaan diet yang
lebih banyak (51%) dibandingkan tidak dijalani dengan baik dapat disebabkan
perempuan (49%). Namun, pada uji karena kurangnya pengetahuan responden
statistik Tania (2016) menunjukkan terhadap pentingnya menjaga pola makan agar
bahwa tidak ada hubungan yang terhindar dari munculnya komplikasi dari
bermakna antara jenis kelamin dengan penyakit DM tipe 2. Pengetahuan berkaitan
kepatuhan diet pada pasien DM tipe 2. dengan pendidikan, karena pendidikan
Ketidakbermaknaan antara jenis merupakan suatu proses belajar yang mampu
kelamin dengan kepatuhan diet mengubah tingkah laku seseorang untuk
dapat disebabkan karena jenis mencapai kualitas hidup. Sehingga semakin
kelamin bukan merupakan faktor
tinggi pendidikan seseorang semakin terlihat bahwa kecenderungan kepatuhan diet
tinggi pula dalam melakukan pengelolaan lebih tinggi dilakukan oleh reposnden yang
diet. mempunyai tingkat pendidikan tinggi (61,4%)
Secara teori, seseorang dengan dibandingkan responden dengan tingkat
pendidikan yang tinggi akan mempunyai pendidikan rendah (43,3%), dengan nilai p =
kesempatan untuk berperilaku baik. 0,147 atau lebih dari 0,05.
Orang yang berpendidikan tinggi lebih Penelitian Tombokan (2015) tidak sejalan
mudah memahami dan mematuhi dengan hasil penelitian ini yaitu adanya
perilaku diet dibandingkan dengan orang perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan
yang berpendidikan rendah. Tingkat menjalani diet ditinjau dari tingkat pendidikan
pendidikan yang lebih tinggi akan yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,043,
memudahkan seseorang atau masyarakat dimana penderita dengan pendidikan yang lebih
untuk menyerap informasi dan tinggi lebih patuh dalam menjalani diet daripada
mengimplemen- tasikannya dalam penderita dengan tingkat pendidikan menengah.
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, Pada variabel pekerjaan, tidak ada
khususnya dalam mematuhi pengelolaan hubungan antara antara status pekerjaan dengan
diet DM. Menurut Heryati (2014) kepatuhan dalam pengelolaan diet pada pasien
seseorang yang berpendidikan lebih rawat jalan penderita DM tipe 2. Pada penelitian
tinggi akan mempunyai pengetahuan ini responden yang memiliki status tidak bekerja
yang lebih luas dibandingkan dengan lebih banyak daripada yang bekerja. Sedangkan
seseorang yang tingkat pendidikannya berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa
lebih rendah karena pendidikan proporsi kepatuhan pengelolaan diet pada
merupakan dasar utama untuk responden yang bekerja lebih tinggi
keberhasilan dalam pengobatan. dibandingkan dengan responden yang tidak
Beberapa penelitian di Indonesia juga bekerja.
menunjukkan hasil yang serupa dengan Menurut penelitian Witasari (2009)
penelitian ini dimana tingkat pendidikan didapatkan bahwa penderita DM lebih
tidak memiliki pengaruh yang signifikan tinggi pada orang yang bekerja, karena
dengan kepatuhan diet pada penderita DM setiap orang yang memiliki jam kerja tinggi
tipe 2. dengan jadwal yang tidak teratur menjadi
Penelitian Prabowo (2015) menunjukkan faktor penting dalam pengelolaan diet.
antara tingkat pendidikan dan kepatuhan Dalam penelitiannya juga didapatkan hasil
diet pasien DM tipe 2 pada usia dewasa bahwa ada hubungan antara status
tidak memiliki hubungan yang bermakna,
pekerjaan dengan pengelolaan diet pengetahuan kurang. Hal ini terjadi karena
pada penderita DM tipe 2. pengetahuan yang dimiliki responden mengenai
Selain itu pekerjaan juga diabetes dan dalam penatalaksanaan diet akan
mempengaruhi kepatuhan dari segi menimbulkan kesadaran bagi mereka dan
pendapatan. Dalam penelitian akhirnya akan membuat mereka berperilaku
Macgilchrist (2010) bahwa ada sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
hubungan antara status pekerjaan Penelitian ini sejalan dengan penelitian
dengan kepatuhan pengelolaan diet yang dilakukan oleh Tania (2016) pada pasien
pasien DM tipe 2. Penderita DM tipe rawat jalan DM tipe 2 di RSUP Fatmawati,
2 yang memiliki pendapatan yang menyatakan bahwa responden yang mempunyai
rendah lebih tidak patuh dalam tingkat pengetahuan baik 12,5 kali lebih patuh
mengelola diet dibandingkan dengan dalam diet dibandingkan dengan responden
orang yang memiliki pendapatan yang berpengetahuan kurang. Hasil penelitian
tinggi. Hal ini dikarenakan juga menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan
orang menjadi faktor risiko terhadap kepatuhan diet
yang mempunyai pendapatan rendah yang dijalankan pasien DM tipe 2.
lebih sedikit berpeluang untuk membeli
Tingkat pengetahuan yang kurang dapat
makanan yang sesuai dengan diet
menghambat perilaku kepatuhan dalam kesehatan
diabetes daripada yang berpendapatan
karena penderita akan sulit untuk mengikuti
tinggi.
anjuran dari petugas kesehatan, sehingga
Pada variabel pengetahuan, tidak
penderita diabetes mellitus yang mempunyai
ada hubungan antara tingkat pengetahuan
tingkat pengetahuan baik lebih paham dan
dengan kepatuhan dalam pengelolaan
mengerti mengenai anjuran dalam mengelola diet.
diet pada pasien rawat jalan penderita
Hasil penelitian Senuk (2013) tidak sejalan
DM tipe 2. Pada penelitian ini responden
dengan penelitian ini dimana penelitian senuk
yang memiliki tingkat pengetahuan baik
menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki
lebih banyak daripada responden yang
hubungan dengan kepatuhan dalam menjalani diet
tingkat pengetahuannya kurang.
diabetes mellitus dengan hasil p value sebesar
Sehingga berdasarkan tabel 1
0,023.
menunjukkan bahwa proporsi kepatuhan
Pada variabel peran keluarga, terdapat
pengelolaan diet pada responden yang
hubungan antara peran keluarga dengan
memiliki tingkat pengetahuan baik lebih
tinggi dibandingkan dengan responden
yang memiliki latar belakang tingkat
kepatuhan dalam pengelolaan diet pada memiliki hubungan terhadap kepatuhan diet
pasien rawat jalan penderita DM tipe 2. pasien.
Dapat disimpulkan bahwa responden Penelitian yang dilakukan Febriani (2016),
yang memiliki peran keluarga yang baik juga menyatakan bahwa ada hubungan antara
lebih banyak daripada yang memiliki sikap dengan pengelolaan DM. Menurutnya,
peran keluarga kurang. Sehingga untuk mencapai tujuan pengelolaan DM yang
berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa baik perlu dilakukan berbagai usaha untuk
proporsi kepatuhan pengelolaan diet pada memperbaiki kelainan metabolik yang terjadi.
responden yang memiliki peran keluarga Salah satu usahanya adalah dengan menyikapi
baik lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit yang diderita dengan baik. Sikap yang
responden yang memiliki peran keluarga baik mempengaruhi perilaku dalam mengelola
yang kurang. Karena responden yang DM. Semakin baik sikap pasien maka
memiliki dukungan keluarga yang baik pengelolaan DM pasien tersebut juga semakin
sehingga selalu mengawasi baik.
penatalaksanaan penyakit DM yang Pada variabel peran petugas
sesuai dengan saran petugas kesehatan kesehatan, tidak ada hubungan antara peran
seperti konsumsi obat secara teratur, petugas kesehatan dengan kepatuhan dalam
menjaga pola makan sehari-hari dan pengelolaan diet pada pasien rawat jalan
menjaga aktivitas fisik agar terhindar dari penderita DM tipe
komplikasi. 2. Dapat disimpulkan bahwa responden
Penelitian Senuk (2013) yang memiliki peran petugas kesehatan
menggambarkan hasil bahwa dukungan yang baik lebih banyak daripada yang
keluarga mempunyai hubungan dengan peran petugas kesehatannya kurang.
kepatuhan dalam menjalani diet DM. Sehingga berdasarkan tabel 1 menunjukkan
Hasil tersebut juga didukung oleh bahwa proporsi kepatuhan pengelolaan diet
penelitian dari Susanti (2013) yang pada responden yang memiliki dukungan
menyatakan bahwa dukungan keluarga petugas kesehatan yang baik lebih tinggi
dibandingkan dengan responden yang
memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peran petugas
kesehatan sudah baik dalam mendukung perilaku pasien DM dalam mematuhi pengelolaan diet
agar dapat mencegah timbulnya komplikasi.
Penelitian ini sejalan dengan Akmal (2012) yang menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara peran petugas kesehatan dengan kepatuhan dalam pengelolaan diet pasien DM
dengan persentase pengaruh sebesar 93,3%. Dukungan tenaga kesehatan sangat diperlukan
untuk meningkatkan kepatuhan, misalnya dengan adanya komunikasi. Hal ini sesuai dengan
teori yang ada, dimana petugas kesehatan merupakan orang pertama yang mengetahui tentang
kondisi kesehatan pasien sehingga mereka memiliki peran yang besar dalam menyampaikan
informasi mengenai kondisi kesehatan dan hal-hal yang harus dilakukan oleh pasien untuk
proses kesembuhannya. Komunikasi ini dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan berupa
penyuluhan.
Penelitian ini diperkuat dengan adanya penelitian Senuk (2013) yang menggambarkan
bahwa dukungan petugas memiliki hubungan yang signifikan sehingga disimpulkan bahwa
dukungan petugas berpengaruh terhadap kepatuhan diet pasien DM, dimana semakin baik
dukungan petugas kepada pasien maka akan semakin baik kepatuhan pasien.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Diabetes Melitus adalah hambatan yang terjadi pada metabolisme secara
genetik serta secara klinis tercantum heterogen dengan indikasi adanya
kehilangan toleransi karbohidrat. Diabetes Melitus merupakan gangguan
metabolik yang terjadi akibat adanya ketidakmampuan dalam mengoksidasi
karbohidrat, adanya hambatan pada mekanisme insulin, dan ditandai dengan
hiperglikemia, glikosuria, poliuria, polipdisi, polifagia, asidosis yang sering
menimbulkan sesak napas, lipemia, ketonuria serta berakhir hingga koma
(Sya’diyah et al., 2020).

B. Saran
a. Bagi institusi
Menjadikan karya tulis ilmiah yang telah penulis susun sebagai referensi
dalam dunia pendidikan untuk membantu dalam penyusunan asuhan
keperawatan dengan kasus diabetes mellitus tipe 2.
b. Bagi lahan praktek
Hasil asuhan yang sudah diberikan pada pasien sudah cukup baik dan
hendaknya lebih meningkatkan mutu pelayananan agar dapat memberikan
asuhan yang lebih baik sesuai dengan standar asuhan keperawatan serta
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan agar dapat
menerapkan setiap asuhan keperawatan sesuai dengan teori.
c. Bagi masyarakat
Diharapkan bagi masyarakat terutama orang dewasa yang memiliki
penyakit diabetes maupun riwayat keluarga yang menderita diabetes
hendaknya lebih menambah informasi melalui tenaga kesehatan, media
massa maupun media elektronik untuk mengetahui cara pencegahan dari
penyakit diabetes melitus dan mendukung sosialisasi tentang penyakit
diabetes yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
B. Olokoba, A., A. Obateru, O., & B. Olokoba, L. (2012). Type 2 Diabetes Mellitus
A Review of Currebt Trends. Oman Medical Journal, 27, 269–273.
https://doi.org/doi: 10.5001/omj.2012.68
Fahra, R. U., , Widayati, N., & , Sutawardana, J. H. (2017). Hubungan Peran Perawat
Sebagai Edukator Dengan Perawatan Diri Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poli
Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Sehat Jember. Jurnal Nurseline, 2(1), 67–72.

Fajrunni’mah, R., Lestari, D., & Purwanti, A. (2017). Faktor Pendukung dan
Penghambat Penderita Diabetes Melitus dalam Melakukan Pemeriksaan
Glukosa Darah. Global Medical & Health Communication (GMHC), 5(3), 174.
https://doi.org/10.29313/gmhc.v5i3.2181

Fatimah, R. N. (2015). DIABETES MELITUS TIPE 2. 4(5), 93–101.


https://doi.org/10.14499/indonesianjpharm27iss2pp74
Fitria, E., Nur, A., Marissa, N., & Ramadhan, N. (2017). Karakteristik Ulkus
Diabetikum pada Penderita Diabetes Mellitus di RSUD dr. Zainal Abidin dan
RSUD Meuraxa Banda Aceh Characteristics Of Ulcer Among Diabetes
Mellitus Patient In Rsud Dr. Zainal Abidin And RSUD Meuraxa Banda Aceh.
Buletin Penelitian Kesehatan, 45(3), 153–160.
Hartanti, Pudjibudojo, J. K., Aditama, L., & Rahayu, R. P. (2013). Pencegahan dan
Penanganan Diabetes Mellitus. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, 96.
http://repository.ubaya.ac.id/37477/1/Hartanti_BUKU PENCEGAHAN DAN
PENANGANAN DIABETES MELLITUS.pdf
Hutapea, F. S., Kembuan, M. A. H. N., & P.S., J. M. (2016). Gambaran klinis neuropati
pada pasien diabetes melitus di Poliklinik Neurologi RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou periode Juli 2014 – Juni 2015. E-CliniC, 4(1).
https://doi.org/10.35790/ecl.4.1.2016.12115
Israfil, I. (2020). Faktor Risiko Kejadian Komplikasi Kardiovaskuler pada Pasien
Diabetes Melitus ( DM ) Tipe 2. 04(Dm), 163–173. www.jurnal-ppni.org
Kartika, R. W., Bedah, B., Paru, J., & Luka, A. P. (2015). Perawatan Luka Kronis
dengan Modern Dressing. Perawatan Luka Kronis Dengan Modern Dressing,
42(7), 546–550.

Kartikasari, F., Yani, A., & Azidin, Y. (2020). Pengaruh Pelatihan Pengkajian
Komprehensif Terhadap Pengetahuan Dan Keterampilan Perawat Mengkaji
Kebutuhan Klien Di Puskesmas. Jurnal Keperawatan Suaka Insan (Jksi), 5(1), 79–
89. https://doi.org/10.51143/jksi.v5i1.204

Anda mungkin juga menyukai