Anda di halaman 1dari 43

REFRESHING

DIABETES MELITUS DAN


HIPERTENSI

Disusun Oleh :
Marica Hervianti
(2006730047)

KEPANITERAAN KLINIK
STASE ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011

1
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PEMBAHASAN
1. Diabetes Melitus
a. Definisi.........................................................................1
b. Klasifikasi.....................................................................2
c. Diagnosis .....................................................................3
d. Penatalaksanaan ...........................................................7
e. Farmakoterapi pada DM ..............................................15
f. Terapi insulin pada pasien DM.....................................20
2. Hipertensi
a. Definisi ........................................................................24
b. Epidemiologi................................................................24
c. Patomekanisme berdasarkan Etiologi...........................25
d. Patomekanisme berdasarkan faktor risiko ...................28
e. Gejala............................................................................30
f. Pemeriksaan untuk diagnostik .....................................30
g. Pemeriksaan untuk mencari faktor risiko ....................31
h. Pemeriksaan penunjang ...............................................32
i. Terapi ...........................................................................33
j. Komplikasi ...................................................................38
k. Prognosis ......................................................................39
DAFTAR PUSTAKA

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.


Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat refresing mengenai Diabetes Melitus dan Hipertensi.
Tujuan kami dalam membuat laporan ini untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan ilmu penyakit dalam, disamping untuk memperkaya keilmuan
kami.
Dalam laporan ini telah dipaparkan tinjauan pustaka dari berbagai sumber
mengenai diabetes melitus dan Hipertensi beserta penatalaksanaannya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing kami yang
telah mencurahkan segenap ilmunya untuk kami. Besar harapan kami semoga
laporan ini dapat bermanfaat utamanya bagi penulis pribadi dan pembaca pada
umumnya.
Kami mohon maaf karena masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan laporan ini. Kami terus berusaha memperbaiki kekurangan tersebut.
Wabillahittaufiq walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.

Cianjur, 26 Januaril 2011

Penulis

3
DIABETES MELITUS

A. Definisi

Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2005, diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban
yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problem anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin. Tampaknya terdapat pada keluarga tertentu,
berhubungan dengan aterosklerosis yang dipercepat, dan merupakan
predisposisi untuk terjadinya kelainan mikrovaskular spesifik seperti
retinopati, nefropati dan neuropati.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada
tahun 1965 oleh WHO telah terjadi pada tahun 1980 dan kemudian
diperbaharui pada 1985 dan 1994. Sedang pada tahun 1997, ADA
memperbaharuinya lagi.
Para pakar di Indonesia pun bersepakat melalui PERKENI (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar
pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian melakukan revisi konsensus
tersebut pada tahun 1998, 2002 dan 2006 dengan menyesuaikannya dengan
perkembangan baru.
Secara epidemiologik, diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak
terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi,
populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi
perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang
berubah secara epidemiologik diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih

4
banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan
beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2.

B. Klasifikasi
Tabel klasifikasi etiologis DM

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolut:
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pancreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes
melitus
gestasional

Penetapan Klasifikasi tipe 1 atau tipe 2


Suatu studi di Denmark memberikan suatu gambaran yaitu DM tipe 1
tidak jarang terjadi pada orang dewasa. Ia dapat terjadi pada semua umur dan
kekerapan akan meningkat secara kumulatif mulai dari umur 30 tahun,
sehingga resiko terjadinya DM tipe 1 berhubungan dengan umur lama hidup.

5
Seangkan I New Zealand, DM pada dewasa 14% menggunakan insulin dan
diantara mereka 83% telah memulai pemakaiannya sebagai pengobatan
permanen kurang dari 12 bulan setelah diagnosis diabetes ditegakkan. Mereka
yang menggunakan insulin selama 12 bulan ini secara bermakna mempunyai
kadar auto-antibodi terhadap GAD (Glutami Acid Decarboxilase). GAD
merupakan autoantigen terhadap sel beta pancreas dan terdapat pada 80% DM
tipe 1 baru dan juga terdapat pada 80% subyek 10 tahun sebelum terjadinya
diabetes tipe 1. Pada penelitian Inggris, orang dengan DM tipe 2 ternyata
memiliki anti GAD yang positif, dan diantara mereka setelah 6 tahun 0%
kemudian memakai insulin, sedang yang anti GAD negatif hanya 6% yang
kemudian memakai insulin.
Karakteristik yang dapat digunakan untuk memebedakan DM tipe 1 dan
DM tipe 2:
DM tipe 1 DM tipe 2
 Mudah terjadi ketoasidosis  Tidak mudah terjadi ketoasidosis
 Pengobaan harus dengan insulin  Tidak harus dengan insulin
 Onset akut  Onset lambat
 Biasanya kurus  Gemuk atau tidak gemuk
 Biasanya pada umur muda  Biasanya >45 tahun
 Berhubungan dengan HLA-DR3  Tidak berhubungan dengan HLA
&DR4  Tidak ada Islet Cell Antibody
 Didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)
(ICA)  Riwayat keluarga (+) pada 30%
 Riwayat keluarga diabetes (+) pada  +100% kembar identik terkena
10%
 30-50% kembar identik terkena

C. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan
tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan

6
glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya
(yang melakukan program pemantau kendali mutu secara teratur). Walaupun
demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnosis yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk
pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM.
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah satu resiko
DM sebagai berikut:
 Usia > 45 tahun
 Usia lebih muda, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >23 kg/m2,
 Kebiasaan tidak aktif
 Turunan pertama dari orang tua dengan DM
 Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat
DM gestasional
 Hipertensi (> 140/90)
 Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
 Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
 Adanya riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
 Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar


glukosa darah sewaktu aau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan
GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien

7
dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah
5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berubah menjadi DM, 1/3
lainnya tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering
berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya
aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering
bertkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.

Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan


Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum Pasti DM
DM
Kadar Plasma <100 100-199 > 200
Glukosa vena
Darah Darah <90 90-199 > 200
Sewaktu kapiler
Kadar Plasma <100 100-199 > 126
Glukosa vena
Darah Puasa Darah <90 90-199 >100
kapiler
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI, 2006)

Diagnosis DM ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik


ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasama puasa >200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien dan
murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga,
dengan TTGO. Meskipun TTGO engan beban glukosa 75 gram glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri, karena sulit untuk dilakukan
berulang-ulang.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang
diperoleh.

8
 TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeiksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma puasa 2 jam setelah beban antara 140-199
mg/dl.
 GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glikosa
plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.

Kriteria Diagnosis DM:


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl
atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl
atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan


toleransi glukosa
Diagnosis klinis DM akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta
pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas ada, pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
hasil pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/dl juga dijadikan patokan
untuk diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru sekali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut
dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa
>126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa
darah pasca pembebanan >200 mg/dl.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):

9
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti kebiasaan sehari-hari
dengan karbohidrat yang cukup dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-
anak) dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

D. Penatalaksanaan
Tujuan :
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan
mempertahankan rasa nyaman dan sehat.
2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati,
mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan
morbiditas dan mortilitas DM.
3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.
Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya
faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta
pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang
dapat dikoreksi  harus tercermin pada langkah pengelolaan.
4.Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan
mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.
Langkah-langkah penatalaksanaan peenyandang diabetes:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, meliputi:
 Riwayat penyakit

10
 gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratoris terdahulu
termasuk A1c, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait
DM
 pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
 riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda
 pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap
 pengobatan yang sedang dijalani
 riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi,
hipoglikemi)
 riwayat infeksi sebelumnya, terutama riwata infeksi kulit, gigi,
dan traktus urogenitalis
 gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik
 faktor resiko seperti merokok, hipertensi, PJK, obesitas dan
riwayat penyakit keluarga

 Pemeriksaan fisik
 pengukutan TB dan BB
 pengukuran tekanan darah
 pemeriksaan funduskopi
 pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 pemerksaan jantung
 evaluasi nadi secara palpasi maupun engan stetoskop
 pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah termasuk jari
 pemeriksaan kulit dan pemeriksaan neurologis
 tanda-tanda penyakit lain yang apat menimbulkan DM tipe lain

 Evaluasi laboratoris/penunjang lain


 glukosa darah puasa 2 jam post prandial (GD2PP)
 A1c

11
 profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida)
 kreatinin serum
 albuminuri
 keton, sedimen dan protein dalam urin
 eletrokardiogram
 foto sinar-x dada

 Tindakan rujukan
 ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
 konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
 konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
 konsultasi dengan edukator diabetes
 konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku atau spesialis
lain sesuai indikasi

2. Evaluasi medis secara berkala


 Dilakukan peeriksaan kadar glukosa darah puasa an 2 jam sesudah
makan sesuai dengan kebutuhan
 Pemeriksaan A1C dilakukan setiap 3-6 bulan
 Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:
 jasmani lengkap
 mikroalbuminuri
 kreatinin
 albumin/globulin dan ALT
 kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
 EKG, foto sinar-x dada, dan funduskopi
Pilar utama pengelolaan DM :
1. Edukasi
2. Perencanaan makan 

12
3. Latihan jasmani
4. Obat-obatan
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan
disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4
minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi
kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi
farmakologik dengan obat-obat anti diabetes  oral atau suntikan insulin sesuai
dengan indikasi

Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah
terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes
secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku
yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan
perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam
mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan
keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:
 Makan makanan sehat
 Kegiatan jasmani secara teratur
 Menggunakan obat-obat diabetes secara aman, teatur dan pada waktu-waktu
yang spesifik
 Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai
informasi yang ada
 Melakukan perawatan kaki secara berkala
 Mengelola diabetes dengan tepat
 Dapat menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.
Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan
penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.

13
Perencanaan makan
Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen,
sehingga tidak ada satu  cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini
secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing
individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung
dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan
karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi.
Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes
mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung
karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu
rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor
yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya
adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung
(amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan
makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak,
protein).
Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari
berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu
kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah
karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori
dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan
gizi baik sebagai berikut:
 Karbohidrat: 60-70%
 Protein: 10-15%
 Lemak: 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut,
dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
idaman.
 Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa

14
Tubuh (IMT).
IMT = BB(kg)/TB(m2)

Klasifikasi IMT (Asia Pasifik)


           Lingkar Perut 
  <90cm (Pria) >90cm  (Pria)
Klasifikasi IMT (Asia Pasific) <80cm (Wanita)  >80cm  (Wanita) 
  Risk of co-morbidities
BB Kurang       <18,5    Rendah  Rata-rata
BB Normal       18,5-22,9  Rata-rata Meningkat
BB Lebih          >23,0   :      
-  Dengan risiko : 23,0-24,9  Meningkat Sedang
-  Obes I             : 25,0-29,9  Sedang Berat
-  Obes II            : ≥ 30  Berat Sangat berat

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori,


penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman
(BBI) = (TB-100) - 10%
 Status gizi:
BB kurang bila BB < 90% BBI
BB normal bila BB 90-110% BBI
BB lebih bila BB 110-120% BBI
Gemuk bila BB >120% BBI
                              
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan
kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk
wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-
3%); untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori
yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk,
dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori yang dibutuhkan menghadapi stres
akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa

15
pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan
tersendiri.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore
(25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pembagian
porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk
kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap
pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak
berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang
terjadwal.
Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi
karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah
kandungan kolesterol <300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam
lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Jumlah kandungan
serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).
Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan
mengkonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi,
harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai
secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-kan. Pada keadaan
kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi
sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori. Untuk mendapatkan kepatuhan ter-
hadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan
penukar akan sangat membantu pasien.

Latihan jasmani
Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki
sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa  dan selain itu
dapat pula menurunkan berat badan. Di samping kegiatan jasmani sehari-hari,
dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu)

16
selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jalan
atau bersepeda santai, bermain golf atau berkebun. Bila hendak mencapai
tingkat yang lebih  baik dapat dilakukan kegiatan seperti, dansa, jogging,
berenang, bersepeda menanjak atau mencangkul tanah di kebun, atau dengan
cara melakukan kegiatan sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi sosial ekonomi,
budaya dan status kesegaran jasmaninya.
 
Obat-obatan
Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan  latihan  jasmani
yang teratur namun sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dipertimbangkan penggunaan obat-obat anti diabetes oral sesuai indikasi dan
dosis menurut petunjuk dokter. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi
kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali
baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus
secara menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid/
lemak dan A1c.

Kriteria Pengendalian DM (Asia Pasifik)


  Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-125 >126
Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-144 145-179 >180
A1c (%) <6.5 6.5 – 8 >8
Kolesterol Total (mg/dl) <200 200-239 >240
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 100-129 >130
Kolesterol HDL (mg/dl) >45  
Trigeliserida (mg/dl) <150 150-199 >200
IMT (kg/m2) 18,5-22,9  23-25   >25 
130-140/80-
Tekanan darah (mmHg) <130/80 >140/90
90

17
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah
lebih tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan < 200 mg/dl),
demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek
samping dan interaksi obat.

E. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemi DM Tipe 2


Kegagalan pengendalian glikemi pada DM setelah melakukan perubahan
gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah
terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit menghambatnya.
Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya
mempuyai latar belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin.
Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan kelainan DM secara
klinis. Pada saat tersebut sel beta pancreas masih dapat mengkompensasi
keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta
pancreas, baru akan terjadi DM secara klinis, ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria DM.
Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola
DM tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung
pada fase mana diagnosis DM ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang
terjadi pada saat tersebut seperti:
 Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
 Kenaikan produksi glukosa oleh hati
 Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas
Macam-macam obat anti hiperglikemik oral
1. Golongan insulin sensitizing
Biguanid
Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat
dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi

18
secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut,
maka metformin diberikan 2-3x/hari kecuali dalam bentuk extended
release. Pengobatan dengan dosis maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%.
Efek samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak
digunkaan apada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (creatinin >1,3
mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan
fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan dengan hati-hati pada
lansia.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah
diberikan peroral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah
setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh.
Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak
menyebabkan hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat
hipoglikemik, tapi sebagai obat anti hiperglikemik. Pada keadaan tunggal
metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% dan
konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak
menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan sulfonilurea.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan
sejak awal pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang
kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau
sulfonilurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi insulin dengan metformin dapat dipertimbangkan pada
pasien gemuk dengan kadar glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi
insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan
metformin.

19
Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal
metformin dan bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan
dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan.
Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga
berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu lipid, tekanan
darah dan plasminogen activator inhibitor (PAI-I).
Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai
monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid,
penghambat alfa glikosidase dan glitazone. Efektivitas insulin menurunkan
kadar glukosa pada orang gemuk sebanding dengan SU. Karena
kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan
berat badan dan memperbaiki profil lipid, maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan DM pada orang gemuk dengan
dislipidemi dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama.

Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat
yang juga memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas
insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral, kimiawi maupun fungsional
tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon
dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl
dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo.
Mekanisme kerja. Glitazon merupakan agonist peroxisome
proliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan
poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di dalam jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit
dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat
memperbaiki sensitivitas insulin dan memprebaiki glikemia (GLUT-1,

20
GLUT-4, dll) selain itu dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan
mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin, dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi
setelah 1-2 jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik
obat ini.
Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat
digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan
sekretagok insulin.

2. Golongan sekretagok insulin


Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi
sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan DM dimulai. Terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut, maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan
membuka channel Ca tergantung voltase, dan penyebabkan peningkatan
Ca intrasel, ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan
eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongna ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersmpan. Karena itu hanay bermanfaat pada
pasien yang masih dapat mengeluarkan insulin.
Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat
yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja

21
panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua,
hipoglikemi juga sering terjadi pada pasien gagal ginjal, gangguan fungsi
hati berat dan pasien dengan asupan makanan yang kurang dan jika
digunakan bersama obat sulfa.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%)
daripada glukosa setelah makan (21%).
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea umumnya
selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemi.
Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila
konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan dosis
kecil dan dititrasi bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai kadar
GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl bisa diberikan dosis awal yang
lebih besar. Obat sebaiknya diberikan ½ jam sebelum makan karena
diserap dengan baik. Pada obat yang diberikan satu kali setiap hari
sebaiknya diberikan saat makan pagi atau saat makan porsi
besar.Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada insulin
sendiri dan dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.

Glinid
Kerjanya melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur
dengan sulfonilurea namun berbeda efeknya. Repaglinid dan nateglinid
keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati hingga diberikan 2-3 x/hari.
Repaglinid bisa menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk masa
paruhnya singkat karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid
mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak menurunkan kadar
glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok yang khusus
menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang
minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat.

22
3. Penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna
sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurukan
hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak
menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang
terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus
halus. Sebagai monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak
menyebabkan hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti
meteorismus, flatulence dan diare.
Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasidengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk
efek maksimal, obat harus diberikan segera saat makan utama. Monoterapi
dengan acarbose menurunkan rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl
dan GDP10-20 mg/dl, A1c sebesar 0,5-1%. Dengan terapi kombinasi
dengan sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose bisa menurunkan
lebih banyak A1c sebesar 0,3-0,5% dan rata-rata glukosa post prandial
20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

F. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus


Pengaruh fisiologis insulin dan indikasi penggunaannya
a. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
langerhans pankreas. Isulin dibentuk dari proinsulin yang kemudian
distimulasi terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah.
b. Insulin memiliki beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh yaitu
menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan
lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin
juga menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel ntuk digunakan
sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam
sel otot dan hati.

23
c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas
sedangkan insulin eksogen adalah insulin yang disuntikka dan
merupakan suatu produk farmasi.

Indikasi terapi insulin


a. Semua orang dengan DM tipe 1.
b. Orang dengan DM tipe 2 tertentu mungkin memerlukan insulin bila
terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah atau
bila mengalami stres fisiologis seperti pada tindakan pembedahan.
c. Orang dengan DM gestasi membutuhkan insulin bila diet saja tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
d. Pada DM dengan ketoasidosis.
e. Pasien DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama
periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan
insulin
f. Pada pasien DM dengan komplikasi akut berupa koma hiperosmolar
non ketotik

Tipe-tipe insulin
4 tipe insulin yang diproduksi dikategorikan berdasarkan awal kerja,
puncak kerja dan lama kerjanya:
Sediaan insulin Awal kerja Puncak Lama
(jam) kerja (jam) kerja
Insulin analog, kerja sangat
cepat
(ultra-rapid-acting) 0,2-0,5 0,5-2
Insulin glulisin (Apidra) 0,2-0,5 0,5-2
Insulin aspart (Novo rapid) 0,2-0,5 0,5-2

24
Insulin lispro (Humalog)
Insulin kerja menengah
(intermediate-acting)
NPH Insulatard 1,5-4 4-10
Humulin N
Insulin kerja pendek
(short-acting)
Reguler (Human) Humulin 0,5-1 2-3
R/actrapid
Insulin kerja panjang
(long-acting)
Insulin glargine (lantus) 1-3 Tanpa
Insulin detemir (levemir) 1-3 puncak
Insulin campuran
Kerja cepat dan menengah
70% NPH/30% reguler (Mixtard, 0,5-1 3-12
Humulin 70/30)
70% NPH/30% analog rapid 0,5-1 3-12
(Novomix)

Memulai alur pemberian insulin


Pada pasien DM tipe 1 terapi insulin dapat diberikan segera setelah
diagnosis ditegakkan. Pada pasien ini terapi yang dianjurkan adalah injeksi
harian multipel untuk mencapai kendali kadar glukosayang baik. Selain itu
pemberian bisa juga dilakukan dengan pompa insulin.
Menurut PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006,
sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik
(A1c>6,5%) dalam jangka awaktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah
ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan
insulin.
Penyulit DM
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun

25
 Penyulit akut:
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia
 Penyulit menahun:
1. Makroangiopati:
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner)
pembuluh darah tepi
pembuluh darah otak (stroke)
2. Mikroangiopati:
retinopati diabetik
nefropati diabetik
Neuropati
3. Rentan infeksi, misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi
saluran kemih
4. Kaki diabetik (gabungan sampai dengan 4)
5. Disfungsi Ereksi

HIPERTENSI

A. Definisi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di
dalam arteri. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial. Menurut The Seventh of The Joint national Committee on
Prevention, detection, Wvaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

26
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan derajat 2.
Klasifikasi Tekanan darah menurut JNC 7
Klasifikasi
TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Tekanan Darah
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 90
Hipertensi derajat 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140
mmHg merupakan factor resiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit
kardiovaskular daripada tekanan darah diastolic.
 Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,
meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg
 Risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen
dari factor resiko lainnya

B. Epidemiologi
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya
populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar
juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolok maupun kombinasi
hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari separuh orang yang
berusia > 65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus
meningkat, dalam decade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva
mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh
pasien hipertensi.
Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES)
menunjukkan bahwa dari tahun ke 1999 – 2000, insiden hipertensi pada orang
dewasa adalah sekitar 29 – 31%, yang berarti terdapat 58 – 65 juta orang
hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun
1988 – 1991.

27
C. Patomekanisme berdasarkan Etiologi (Penyebab)
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :
1. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum
diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh
hipertensi).
a. Hipertensi Hiperdinamik
Penyebab 1 :
↑ Frekuensi denyut jantung / volume ekstrasel

↑ Aliran balik vena

↑ Volume sekuncup (mekanisme Frank-Starling)

HIPERTENSI

Penyebab 2 :
↑ Aktivitas simpatis (dari SSP) / ↑ respon terhadap katekolamin

↑ Curah jantung

HIPERTENSI

b. Hipertensi Resistensi
Penyebab :
 ↑ Aktivitas simpatis
 ↑ Respon terhadap katekolamin
 ↑ Konsentrasi angiotensin II Vasokonstriksi perifer
 Mekanisme autoregulasi (arteriol)
 Hipertrofi otot vasokonstriktor ↓
 ↑ Viskositas darah (↑ hematokrit) → HIPERTENSI
HIPERTENSI → kerusakan vaskuler → ↑ TPR → HIPERTENSI
MENETAP
2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat
dari adanya penyakit lain.
Dibagi 3 :
 Hipertensi Renal
Stenosis arteri renalis/ penyempitan arteriol & kapiler ginjal

Iskemia ginjal

28
Pelepasan renin dari ginjal

Renin Tumor yang
produksi renin
Angiotensinogen → Angiotensin I
↓ ACE
Angiotensin II (oktapeptida)

Lepaskan aldosteron Vasokontriktor berat


dari korteks adrenal
↓ ↓
Retensi Na & ↑ curah jantung ↑ TPR

↑ Tekanan darah
Massa ginjal fungsional ↓
Hipertensi

Hipertensi kronik

Perubahan sekunder (hipertrofi dinding vascular, aterosklerosis)

 Hipertensi Hormonal
- Sindrom Adrenogenital
Pembentukan kortisol di korteks adrenal dihambat

Pelepasan hormone adrenokortikotropik (ACTH) tidak dihambat

Prekursor mineralokortikoid aktif kotisol & aldosteron

Retensi Na

↑ Hormon ekstrasel

29

↑ Curah jantung

HIPERTENSI

- Hiperaldosteronisme (Sindrom Conn)


Tumor korteks adrenal

Lepaskan aldosteron (jumlah besar) tanpa mekanisme pengaturan

Retensi Na di ginjal

↑ Curah jantung

HIPERTENSI

- Sindrom Cushing
Pelepasan ACTH tidak adekuat

↑ Konsentrasi glukokortikoid plasma

↑ Efek katekolamin ↑ Kerja mineralokortikoid dari kortisol


↓ ↓
↑ Curah jantung Retensi Na

HIPERTENSI

- Feokromasitoma
Tumor adrenomedula

Katekolamin

↑ Kadar epinefrin tidak terkendali

↑ Curah Jantung

HIPERTENSI

30
- Pil Kontrasepsi
Retensi Na

↑ Curah jantung

HIPERTENSI

 Hipertensi Neurogenik
Ensefalitis, edema serebri, pedarahan, tumor otak

Perangsangan sentral kerja jantung berlebih

↑ Tekanan darah

HIPERTENSI

D. Patomekanisme berdasarkan Faktor Resiko


 Genetik (♀ > ♂)
 Penduduk kota > desa (Hipertensi primer)

 Stres psikologis kronis (berubungan dengan pekerjaan / kepribadian)

↑ Perangsangan jantung ↑ Absorpsi ginjal & retensi


Na
↑ Volume ekstrasel
↑ Tekanan darah (HIPERTENSI)
* Stress / ketegangan fisik (olahraga)  pelepasan adrenalin &
nor-adrenalin vasokontriktif  ↑ tekanan darah sementara

31
 Sensitif terhadap garam (Insiden ↑ jika ada riwayat keluarga)

Respon terhadap katekolamin ↑

↑ Curah Jantung

HIPERTENSI

 Asupan garam tinggi


Ion natrium
Retensi air Perkuat efek
noradrenalin
↓ ↓
Volume darah bertambah (hiperviskositas) Vasokonstriksi

Daya tahan pembuluh darah ↑
HIPERTENSI
 Konsumsi liquorice
Adalah sejenis gula-gula yang dibuat dari Succus liquiritiae yang
mengandung asam glizirinat dengan khasiat retensi air  ↑ Tekanan darah
jika dimakan dalam jumlah besar
 Merokok
Nikotin  vasokonstriksi  ↑ tekanan darah
 Pil KB
Mengandung hormon estrogen  retensi garam & air  ↑ tekanan darah
 Hormon pria & kortikosteroid
Menyebabkan retensi air  ↑ tekanan darah
 Kehamilan
Uterus direnggangkan telalu banyak oleh janin  menerima kurang
darah  dilepaskan zat yang ↑ tekanan darah

E. Gejala

32
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala;
meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya
berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit
kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang
bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan
tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala
berikut:
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Mual
 Muntah
 Sesak nafas
 Gelisah
 Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,
mata, jantung dan ginjal.

F. Pemeriksaan untuk Diagnosis


Pemeriksaan Dasar
Pengukuran tekanan darah yang sesuai standar dilakukan tidak hanya sekali,
bila perlu dapat pada lebih sekali kunjungan.

Syarat standar pengukuran tekanan darah :


 Diukur setelah pasien duduk dan istirahat beberapa menit di ruangan yang
tenang
 Cuff standar yaitu dengan balon 12 – 13 cm lebar dan panjang 35 cm, orang
gemuk atau anak perlu alat yang sesuai dan dipasang setinggi jantung
 Tekanan sistolik = suara fase I dan tekanan diastolic = fase V
 Pengukuran pertama haarus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan
kelainan pembuluh darah perifer

33
 Harus diukur juga tekanan darah sewaktu berdiri pada manula, pasien DM,
atau keadaan yang sering timbul hipotensi ortostatik

G. Pemeriksaan Mencari Faktor Resiko


Faktor resiko penting untuk menentukan resiko hipertensi dan stratifikasi
terhadap kejadian komplikasi kardiovaskular, yaitu :
1. Resiko untuk stratifikasi
a. Derajat hipertensi
b. Wanita > 65 tahun
c. Laki-laki > 55 tahun
d. Perokok
e. Kolesterol total > 250 mg% (6,5 mmol/L)
f. Diabetes mellitus
g. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular lain
2. Resiko lain yang mempengaruhi prognosis
a. Kolesterol HDL rendah
b. Kolesterol LDL meningkat
c. Mikroalbuminaria pada diabetes mellitus
d. Toleransi glukosa terganggu
e. Obesitas
f. Tidak berolahraga (secondary lifestyle)
g. Fibrinogen meningkat
h. Kelompok resiko tinggi tertentu; sosioekonomi, ras, geografik
3. Kerusakan organ sasaran
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Proteinuria / kreatinin 1,2 – 2,0 mg%
c. Penyempitan a.retina local / umum
d. Tanda aterosklerosis pada a.karotis, a.iliaka, aorta
4. Tanda klinis kelainan dengan penyakit
a. Penyakit serebrovaskular
 Stroke iskemik

34
 Perdarahan serebral
 TIA
b. Penyakit jantung
 Infark miokard
 Angina pectoris
 Revaskularisasi koroner
 Gagal jantung kongestif
c. Retinopati hipertensi lanjut
 Perdarahan atau eksudat
 Edema papil
d. Penyakit ginjal
 Nefropati diabetic
 GGK (kreatinin > 2 mg %)
e. Penyakit lain
 Diseksi aneurisma
 Penyakit arteri (simtomatik)

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin harus dilakukan seperti :
 Tes darah rutin
 Hemoglobin dan hematokrit
 Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
 Kimia darah untuk kalium (serum), kreatinin (serum), gula darah puasa,
total kolesterol
 Elektrokardiogram
 Ekokardiogram
 Radiologi: foto toraks
 Sesuai penyakit penyerta
 Kolesterol total serum, kolesterol HDL serum, LDL serum, kolesterol
trigliserida serum (puasa)

35
 Asam urat serum
 Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
 Ekokardiografi bila diduga KOS (kerusakan organ sasaran), seperti adanya
LVH
 Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
 Ultrasonografi ginjal bila diduga adanya kelainan ginjal
 Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
 Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata

I. Terapi
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah :
 Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi
(diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
 Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
 Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap factor resiko atau kondisi


penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus
dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis.
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujian menurunkan tekanan darah dan mengendalikan factor-faktor resiko serta
penyakit penyerta lainnya.
Terapi nonfarmakologis terdiri dari :
 Menghentikan merokok
 Menurunkan berat badan berlebih
 Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
 Latihan fisik
 Menurunkan asupan garam
 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

36
Jenis – jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan JNC 7:
 Diuretika, terutama jenis Thiazie (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo
Ant)
 Beta Blocker (BB)
 Calcium Channel Blocker atau Calcium Anatagonist (CCB)
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
 Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1receptor antagonist / blocker
(ARB)

Masing – masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan


dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga
dipengaruhi beberapa factor, yaitu :
 Faktor sosio ekonomi
 Profil factor resiko kardiovaskular
 Ada tidaknya kerusakan organ target
 Ada tidaknya penyakit penyerta
 Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi

37
 Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk
penyakit lain
 Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan resiko kardiovaskular
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi
menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan
tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang
digunakan. Tetapi terdapat pula buki – bukti yang menyatakan bahwa kelas obat
antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu.
Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang
memerlukan pertimbangan khusus (Special Consederations), yaitu Kelompok
Indikasi yang Memaksa (Compelling Indications), dan Keadaan Khusus lainnya
(Special Situations).
Indikasi yang memaksa meliputi :
 Gagal jantung
 Pasca infark miokardium
 Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
 Diabetes
 Penyakit ginjal kronis
 Pencegahan stroke berulang

Keadaan khusus lainnya meliputi :


 Populasi minoritas
 Obesitas dan sindrom metabolic
 Hipertrofi ventrikel kanan
 Penyakit arteri perifer
 Hipertensi pada usia lanjut
 Hipotensi postural
 Demensia

38
 Hipertensi pada perempuan
 Hipertensi pada anak dan dewasa muda
 Hipertensi urgensi dan emergensi
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan
target tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa minggu.
Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang
atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan
memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi
tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai
dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah
belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat
tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
 CCB dan BB
 CCB dan ACEI atau ARB
 CCB dan diuretika
 AB dan BB
 Kadang diperlukan tida atau empat kombinasi obat

Indikasi dan Kontraindikasi (KI) Kelas – kelas Utama Obat Antihipertensi


menurut ESH

Kelas Obat Indikasi KI Mutlak KI Tidak Mutlak

Gagal jantung kongestif, usia


Diuretika (Thiazide) lanjut, isolated systolic Gout Kehamilan
hypertension, ras Afrika

Diuretika (Loop) Insufisiensi ginjal, gagal

39
jantung kongestif

Gagal jantung kongestif,


Diuretika (anti aldosteron) Gagal ginjal, hiperkalemia
pasca infark miokardium

Angina pectoris, pasca infark Penyakit pembuluh darah


Asma, penyakit paru
miokardium, gagal jantung perifer, intoleransi glukosa,
Penyekat β obstruktif menahun, A-V
kongestif, kehamilan, atlit atau pasien yang aktif
block (derajat 2 atau 3)
takiaritmia secara fisik

Usia lanjut, isolated systolic


hypertension, angina
Calcium Antagonist Takiaritmia, gagal jantung
pectoris, penyakit pembuluh
(dihydopiridine) kongestif
darah perifer, aterosklerosis
karotis, kehamilan

Angina pectoris,
Calcium Antagonist A-V block (derajat 2 atau
aterosklerosis karotis,
(verapamil, diltiazem) 3), gagal jantung kongestif
takikardia supraventrikuler

Gagal jantung kongestif,


disfungsi ventrikel kiri,
Kehamilan, hiperkalemia,
pasca infark miokardium,
Penghambat ACE stenosis arteri renalis
non-diabetic nefropati,
bilateral
nefropati DM tipe 1,
proteinuria

Nefropati DM tipe 2,
mikroalbuminaria diabetic, Kehamilan, hiperkalemia,
Angiotensin II receptor
proteinuria, hipertrofi stenosis arteri renalis
antagonist (ATI-blocker)
ventrikel kiri, batuk karena bilateral
ACEI

Hyperplasia prostat (BPH),


α – Blocker Hipotensi ortostatik Gagal jantung kongestif
hiperlipidemia

Tatalaksana Hipertensi Menurut JNC 7

Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg) Perbaikan Pola Terapi Obat Awal Terapi Obat
Tekanan darah Hidup tanpa Indikasi awal dengan
Memaksa Indikasi

40
Memaksa

Normal < 120 dan < 80 Dianjurkan

Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89 Ya Tidak indikasi obat Obat-obatan


untuk indikasi
yang memaksa

Hipertensi derajat 140 – 159 atau 90 – 99 Ya Diuretika jenis Obat-obatan


1 Thiazide untuk untuk indikasi
sebagian besar yang memaksa
kasus, dapat obat
dipertimbangkan antihipertensi lain
ACEI, ARB, BB, (diuretika, ACEI,
CCB, atau ARB, BB, CCB)
kombinasi sesuai kebutuhan

Hipertensi derajat ≥ 160 atau ≥ 100 Ya Kombinasi 2 obat


2 untuk sebagian
besar kasus
umumnya diuretika
jenis Thiazide dan
ACEI atau ARB
atau BB atau CCB

J. Komplikasi
 Aterosklerosis
 Penyakit jantung koroner
 Penyakit arteri perifer atau penyakit oklusi arteri perifer
 Aneurisma
 Gagal Jantung
 Stroke
 Edema paru
 Gagal ginjal
 Kebutaan (pecahnya pembuluh darah pada mata)
 Sindrom metabolic

K. Prognosis

41
Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat.
Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan antihipertensi
biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan
kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi
serius dari hipertensi adalah untuk mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan
terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

42
Becker, Gretchen. Type 2 Diabetes: An Essential Guide for the Newly Diagnosed.
2001. Newyork: Publisher Group West
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi
FK-UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal.
FindArticles.com.
http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-diabetic_drug
Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD,
Schachter M. Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-
70. Br Med Bull 1994; 50:356-70.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 2007. Jakarta: FKUI
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
PERKENI 2006
Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. PERKENI 2007
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI.
2006.

43

Anda mungkin juga menyukai