Anda di halaman 1dari 45

REFERAT

DIABETES MELITUS
(Konsensus Pengelolaan dan pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015)

Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di stase Ilmu
Penyakit Dalam (IPD) di RSUP Fatmawati

Disusun oleh:
Abqariyatuzzahra Munasib (1112103000090)
Adlina Zahra (1112103000021)

Pembimbing :
dr. Marina

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga referat yang berjudul Diabetes
Melitus ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi
panutan kehidupan.
Penulis menyadari Laporan penelitian ini tidak dapat tersusun sedemikian
rupa tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Marina selaku pembimbing
dan rekan-rekan sejawat yang ikut berkontribusi dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan.
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang
Ilmu Penyakit Dalam khususnya dan bidang kedokteran pada umumnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, Februari 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.............................................................................................1
KATA PENGANTAR........................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................5
Definisi DM......................................................................................................5
Epidemiologi DM.............................................................................................5
Klasifikasi DM.................................................................................................5
Patogenesis DM................................................................................................6
Gejala Klinis DM ............................................................................................8
Diagnosis DM...................................................................................................9
Faktor-Faktor yang berkaitan dengan DM.....................................................11
Komplikasi DM..............................................................................................15
Tatalaksana DM..............................................................................................17
Target Pengendalian DM................................................................................33
Pencegahan DM..............................................................................................34
Masalah Khusus pada DM..............................................................................37
BAB III KESIMPULAN.................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................44

3
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Secara garis besar penyebab DM adalah kegagalan sel beta
pankreas untuk mensekresikan insulin atau sensitivitas kerja insulin yang mulai
menurun. Penyebab DM tersebut dapat dipengaruhi oleh interaksi beberapa hal
seperti faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup. 1,2
Berdasarkan klasifikasinya DM dibagi menjadi DM tipe 1 (tergantung-
insulin, insulin-dependent atau juvenile-onset), DM tipe 2 (tidak tergantung-
insulin, non-insulin-dependent atau maturity-onset), DM tipe lain yang
etiologinya bermacam-macam selain dari DM tipe 1 dan 2 seperti diabetes
gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi
4% dari semua kehamilan. Terjadinya GDM dapat dipengaruhi oleh usia tua,
etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat GDM terdahulu.1,3
Penegakan diagnosis DM tidak hanya berdasarkan gejala klasik yang
kebanyakan ditemukan pada penderita DM seperti poliuria, polifagia atau
polidipsi dan disertai dengan adanya penurunan berat badan. Namun, dapat
dibuktikan dengan kadar glukosa darah plasma puasa, glukosa darah 2 jam
prandial, atau glukosa darah sewaktu. Pada penderita DM dapat juga ditemukan
adanya peningkatan HbA1c maupun glukosuria.1,2
Kadar glukosa darah yang terus menerus tinggi dapat menyebabkan
berbagai komplikasi dan mengganggu fungsi beberapa sistem tubuh. Secara garis
besar komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi adalah penyakit
serebrovaskuler ataupun kardiovaskuler yang didasari oleh adanya disfungsi
vaskular, gangguan ginjal, retinopati, dan lain lain.1,2,3
Riskesdas Indonesia 2013 melaporkan bahwa terdapat peningkatan
penderita DM dari tahun 2007 sebesar 1,1% menjadi 2,1% dari seluruh penduduk
Indonesia yang berusia di atas 15 tahun. Akibat kejadian peningkatan penderita
DM ini sangat memungkinkan dapat meningkatkan jumlah penderita penyakit-
penyakit lain yang menjadi komplikasi dari DM tersebut.4

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi DM
Menurut WHO (2015) Diabetes Melitus (DM) adalah sebuah penyakit
kronik yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang
adekuat atau ketika tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang
diproduksi secara efektif. Gangguan sekresi atau kerja insulin menyebabkan
gangguan intake glukosa dari sirkulasi ke dalam sel target insulin untuk
selanjutnya dimetabolisme. Akibatnya, glukosa menumpuk di sirkulasi dalam
jumlah yang banyak. Penumpukan glukosa di dalam sirkulasi yang banyak
inilah yang menyebabkan munculnya gejala-gejala Diabetes Melitus.3,5

2. Epidemiologi DM
Riskesdas 2013 menyebutkan sebanyak 1,5% penduduk Indonesia
terdeteksi menderita DM dari hasil anamnesis dan 2,1% terdeteksi DM tidak
hanya dari anamnesis namun adanya gejala atau tanda yang ditemukan.
Kejadian DM semakin meningkat seiring bertambahnya umur, namun
prevalensi kejadian DM menurun pada kelompok umur diatas 65 tahun.4

3. Klasifikasi DM
Terdapat beberapa tipe DM, yaitu DM Tipe 1 (DMT1), DM Tipe 2
(DMT2), DM tipe lain dan DM gestasional. Pada diabetes tipe 1, terjadi
gangguan sekresi insulin oleh sel-sel beta pankreas. Oleh karena itu,
substitusi insulin mutlak diperlukan untuk terapi DMT1, sehingga tipe 1 ini
sering disebut sebagai DM tergantung insulin. Sedangkan DMT2 terjadi
akibat resistensi insulin, yaitu kegagalan sel target insulin untuk memberikan
respon terhadap insulin. Seiring progresivitasnya, resistensi insulin ini pun
bisa menyebabkan kerusakan pada sel beta pankreas yang berakhir pada
gangguan sekresi insulin seperti terjadi pada DMT1. Kejadian DMT2
menempati 90% dari seluruh kasus diabetes yang terjadi.6

Tabel 1. Klasifikasi DM2

5
4. Patogenesis DM
a. Patogenesis DMT1
DMT1 adalah tipe DM yang bersifat autoimun dan kronik. DMT1
berhubungan dengan adanya proses destruksi selektif sel B pankreas yang
memproduksi insulin. Onset dari DMT1 menggambarkan proses akhir dari
terjadinya destruksi sel B pankreas. Gambar 1 memperlihatkan bagan
patogenesis terjadinya DMT1. Al Homsi dan Lukic (1992) memberikan
gambaran karakteristik DMT1 sebagai sebuah penyakit autoimun sebagai
berikut:7
1. Adanya sel-sel yang imunokompeten di pulau-pulau pankreas yang
terinfiltrasi.
2. Adanya autoantibodi spesifik sel-sel pulau langerhans.
3. Adanya perubahan imunoregulasi yang diperantarai sel T CD4+.
4. Adanya keterlibatan Sel TH1 yang memproduksi Interleukin pada
proses destruksi.
5. Adanya respon terhadap imunoterapi.
6. Pasien atau anggota keluarga pasien mengalami rekurensi penyakit
autoimun.6

6
Gambar 1. Patogenesis DMT14 Sumber: Ozougwu dkk, 2013

Pada keadaan fisiologis, kadar glukosa darah diatur secara cukup


ketat oleh interaksi antara sel B pankreas yang menyekresikan insulin dan
jaringan tubuh yang sensitif terhadap insulin, khususnya hepar. Pada
diabetes tipe 2, kedua proses yang meregulasi kadar glukosa darah tadi
mengalami gangguan, yaitu sel B pankreas mengalami disfungsi sehingga
tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup, disertai insulin yang
dihasilkan yang dihasilkan ternyata tidak bisa bekerja secara efektif karena
jaringan target insulin telah mengalami resistensi terhadap insulin. Defek
yang pertama kali terjadi adalah resistensi insulin kemudian diikuti dengan
kerusakan/ disfungsi sel B pankreas untuk menghasilkan insulin.
Walaupun begitu, gejala klinis pada DMT2 baru muncul ketika pankreas
sudah tidak mensekresikan insulin secara adekuat.6

7
Gambar 2. Patogenesis DM Tipe 2.7 Sumber: Ozougwu dkk, 2013

Pada patogenesis DMT2, 2 faktor utama penyebab terjadinya DM


adalah lingkungan dan genetik. Namun ternyata faktor genetik lebih
dominan dibandingkan faktor lingkungan dalam patogenesis DM.4
Kejadian DMT2 pada kembar identik berkisar antara 70-90%. Jika kedua
orang tua memiliki DM maka kemungkinan anaknya menderita DM bisa
mencapai 40%. Diduga keberadaan gen- gen tertentu menyebabkan
perubahan fungsi atau perkembangan atau sekresi insulin. Dikarenakan
keterlibatan gen pada proses patogenesis DMT2 masih dalam proses
investigasi, maka masih belum memungkinkan untuk memprediksi DMT2
hanya dengan loki gen yang baru diketahui.6

5. Gejala Klinis DM
Gejala klasik dari DM dikenal dengan 3P, yaitu poliuria, polidipsia
dan polifagia disertai berat badan yang menurun. Kebanyakan pasien datang
ke dokter setelah muncul komplikasi dari DM, seperti adanya mikroangiopati

8
ataupun neuropati, sehingga gejala yang nampak dominan adalah gejala-
gejala dari komplikasi DM. Contoh gejala yang nampak setelah terjadi
komplikasi adalah luka yang sulit sembuh, rasa baal di ekstrimitas, disfungsi
ereksi pada laki-laki dan juga gangguan penglihatan.1,6

6. Diagnosis DM4
Pada konsesnsus PERKENI tentang diabetes melitus yang dikeluarkan
pada tahun 2011, penegakan diagnosis Diabetes Melitus didasarkan atas hal
hal berikut:2

9
Gambar 3. Penegakan Diagnosis DM Sumber: PERKENI, 2011

Pada tahun 2015 PERKENI kembali mengeluarkan konsensus diabetes


melitus yang terbaru, dan di dalamnya terdapat sedikit perbedaan dalam
penegakan diagnosisnya. Kriteria penegakan diagnosis diabetes melitus
didasarkan atas beberapa poin berikut:1
1. Glukosa darah plasma puasa (GDP) 126 mg/ dL, atau
2. Glukosa darah plasma setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan
beban 75 gram 200 mg/ dL
3. GDS 200 mg/ dL disertai keluhan klasik diabetes melitus, atau
4. Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan metode High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

10
Selain dari kriteria di atas dan tidak termasuk kategori normal, maka
dapat digolongkan menjadi kelompok pre-diabetes atau intoleransi glukosa
yang terdiri dari glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yang memiliki
glukosa darah plasma puasa antara 100-125 dan toleransi glukosa terganggu
(TGT) yaitu dengan glukosa plasma setelah TTGO 140-199 dan glukosa darah
plasma puasa kurang dari 100 mg/dL. Hasil HbA1c 5,7-6,4% juga dapat
digolongkan menjadi kelompok pre-diabetes.1
Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan dengan cara
mengistirahatkan tubuh dari asupan kalori minimal 8 jam. Hasil pemeriksaan
HbA1c tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus
pada kondisi tertentu seperti anemia, riwayat transfusi 2-3 bulan terakhir atau
kondisi yang dapat mempengaruhi umur eritrosit. Pemeriksaan TTGO
dilakukan dengan cara berpuasa kurang lebih 8 jam kemudian diberikan 75
gram glukosa yang dilarutkan dalam 250 ml air untuk dewasa dan 1,75
gram /KgBB pada anak anak yang selanjutnya diminum dalam waktu 5 menit.
Selanjutnya berpuasa kembali selama 2 jam dan dilakukan pemeriksaan
glukosa darah.1,2

7. Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan DMT2


a. Riwayat DMT2 pada keluarga
Faktor genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap berkembangnya DMT2 pada individu. Risiko untuk
terjadinya DMT2 pada salah satu kembar identik apabila kembar yang
lain terkena DMT2 adalah sebesar 70 % sampai 90 %. Sedangkan
risiko pada individu dengan kedua orang tua menderita DMT2 dapat
mencapai 40%. Banyak gen yang diduga berperan pada perkembangan
DMT2 pada individu. Mekanisme gen dalam meningkatkan risiko
DMT2 diperkirakan melalui perubahan fungsi, perkembangan, dan
sekresi insulin dari pulau-pulau langerhans pada pancreas.6,8

b. Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan penumpukan lemak di jaringan

11
adiposa secara berlebihan. Kesulitan dalam pengukuran lemak tubuh
secara langsung membuat indeks massa tubuh (IMT) yang digunakan
untuk menentukan apakah individu masuk dalam kategori obes atau
tidak. Nilai IMT didapatkan dengan membagi berat badan dalam
kilogram (Kg) dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (m2).
Hubungan antara IMT dan lemak tubuh ditentukan oleh proporsi
tubuh. Terdapat perbedaan interpretasi penilain IMT pada orang-orang
berusia lanjut dan pada para atlet. Pada orang berusia lanjut,
kemungkinan proporsi lemaknya lebih banyak dibandingkan para atlet,
sedangkan proporsi otot tentu lebih banyak pada kelompok atlet.
Berdasarkan penilaian IMT, dapat ditemukan status berat badan
individu termasuk berat badan kurang, normal, lebih, berisiko, obes I
dan obes II.3,9,10 Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2. Indeks Masa Tubuh3

Berat badan individu ditentukan 40-70% oleh faktor genetik dan


dipengaruhi oleh kebiasaan makan serta aktivitas fisik. Obesitas pada
laki-laki biasanya terjadi setelah umur 30 tahun, sedangkan pada
wanita terjadi akibat obesitas pada masa kecil.3
Obesitas, terutama obesitas sentral yaitu penumpukan lemak
yang terjadi di daerah abdomen dapat meningkatkan risiko terjadinya
sindrom metabolik seperti DM, dislipidemia, dan hiperurisemia.2

12
Lemak ini terdiri dari lemak subkutan dan lemak intrabdominal yang
terdiri dari lemak omental, mesenterial, serta retroperitoneal. Lemak
subkutan abddomen inilah yang memiliki korelasi kuat terhadap
terjadinya resistensi insulin.3
Obesitas sentral dapat dinilai salah satunya dengan mengukur
lingkar perut. Menurut WHO (2009) pengukuran lingkar perut
sebaiknya dilakukan di pertengahan antara batas bawah iga dan krista
iliaka. Pengukuran dilakukan dengan meggunakan pita secara
horizontal pada saat akhir ekspirasi. Lingkar perut >90 cm pada laki-
laki dan >80 cm pada wanita berhubungan dengan peningkatan risiko
obesitas dan sindrom metabolik. Obesitas sentral dapat terjadi pada
individu walupun individu tersebut memiliki IMT < 25 Kg/m2.3,5
Resistensi insulin pada obesitas merupakan salah satu
penyebab terjadinya sindrom metabolik. Insulin merangsang
lipogenesis pada jaringan arterial dan adiposa, sehingga terjadinya
penumpukan lemak pada jaringan adipose.3
Pada Obesitas akan terjadi peningkatan asam lemak,
penumpukan lipid intrasel, dan pembentukan sitokin oleh adiposit
yang dapat menyebabkan kerusakan fungsi insulin. Selain itu,
inflamasi terkait obesitas, termasuk infiltrasi makrofag dan induksi
respon stres dapat menyebabkan resistensi insulin.3

c. Intoleransi glukosa
Intoleransi glukosa adalah keadaan homeostasis gula darah
yang abnormal. Intoleransi glukosa mendahului kejadian DMT2 dan
menjadi salah satu faktor risiko DMT2.2,6 Intoleransi glukosa terdiri
dari dua tipe yaitu gula darah puasa terganggu (GDPT) dan toleransi
glukosa terganggu (TGT). Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan
melalui tes toleransi glukosa oral (TTGO) setelah sampel berpuasa
selama minimal 8 jam dengan hasil sebagai berikut:
- Glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL, atau
- TTGO antara 140-199 mg/dL.2

13
d. Aktivitas fisik yang kurang
Aktivitas fisik adalah segala bentuk gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot-otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi.
Sedangkan olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik yang terstruktur,
terencana, dilakukan dengan repetisi, dan dengan tujuan untuk
melakukan maintenance atau peningkatan pada bagian tubuh yang
melakukannya.9,10
Aktivitas fisik yang adekuat dan reguler dapat mengurangi
risiko hipertensi, stroke, dan diabetes. Selain itu, aktivitas fisik juga
dapat meningkatkan kesehatan tulang dan kesehatan fisiologis tubuh.
Aktivitas fisik merupakan kunci pengeluaran energi, sehingga
merupakan hal yang fundamental dalam mengontrol keseimbangan
energi dalam tubuh.12

e. Usia
Penambahan usia telah diobservasi sebagai salah satu faktor
risiko utama pada perkembangan DMT2. Di Australia, 10% dari
populasi yang berusia lebih dari 65 tahun terdiagnosis menderita
DMT2. Diabetes Prevention Program merekomendasikan individu
yang tidak obes atau tidak berberat badan lebih untuk mulai melakukan
tes screening DM pada usia 45 tahun.13,14

f. Hipertensi
Hipertensi selain menjadi faktor risiko utama untuk penyakit
kardiovaskuler, juga memiliki keterkaitan dengan kejadian DMT2.9
PERKENI (2011) dan ADA (2015) memasukkan hipertensi sebagai
faktor risiko DMT2 yang dapat dimodifikasi. Diduga keterkaitan
antara hipertensi dan DMT2 ini disebabkan oleh adanya kesamaan
faktor-faktor risiko keduanya seperti obesitas, kurangnya aktivitas
fisik, dan penambahan usia.14 ADA merekomendasikan individu untuk

14
melakukan pengecekan tekanan darah setidaknya sekali dalam dua
tahun jika tekanan darahnya kurang dari 120/80 mmHg. Pengukuran
tekanan darah dilakukan setelah individu yang akan diperiksa
berisitrahat selama 5 menit.10 Adapun klasifikasi tekanan darah adalah
sebagai berikut:6

Tabel 4. Klasifikasi Tekanan Darah6

Kelompok diabetes melitus, pre-diabetes ataupun normal dapat


dikatakan memiliki resiko tinggi, apabila didapatkan adanya beberapa
faktor resiko berikut:1
1. Berat badan berlebih (IMT 23) disertai salah satu faktor yang
lain, diantaranya:
a. Kurangnya aktivitas
b. Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit diabetes
melitus
c. Perempuan yang pernah melahirkan dengan BB lebih dari 4 kg
atau pernah mengalami diabetes melitus gestational
d. Hipertensi
e. HDL 35 mg/dL dan atau Trigliserida 250
f. Riwayat polikistik ovarium
g. Penyakit kardiovaskular

2. Usia 45 tahun tidak disertai faktor resiko di atas.

8. Komplikasi DM
a. Komplikasi Akut

15
Komplikasi akut yang mungkin terjadi pada pasien DMT2 adalah
Diabetic ketoacidosis (DKA) dan HHS (Hyperglicemic hyperosmolar
state). Dua komplikasi akut ini harus segera ditangani karena akan
menimbulkan komplikasi serius jika telat ditangani.6
Gejala klinis DKA berupa mual, muntah, kehausan, poliuria, nyeri
abdomen, dan nafas yang pendek. Nyeri abdomen bisa terjadi sangat parah
sehingga menyerupai nyeri akibat peritonitis. Gejala klasik dari DKA
adalah ditemukannya pernapasan kussmaul serta tercium fruity odor yang
mengindikasikan terjadinya sidosis metabolik dan peningkatan jumlah
aseton dalam tubuh.6
DKA terjadi akibat kombinasi penurunan jumlah insulin dan
peningkatan counter regulatory hormone seperti glukogon, katekolamin
dan kortisol yang memicu terjadinya proses glukoneogenesis,
glikogenolisis, serta pembentukan ketone bodies. Marker inflamasi
meningkat pada DKA dan HHS. Peningkatan katekolamin meningkatkan
proses lipolisis yang menyebabkan asam lemak bebas dilepaskan oleh
adiposit. Asam lemak bebas ini seharusnya disimpan oleh hepar dalam
bentuk trigliserida atau VLDL, namun karena keadaan hiperglukagonemia
maka metabolisme asam lemak bergeser dan asam lemak diubah menjadi
badan keton. Hasil akhir dari proses ini adala terjadinya ketosis.6
HHS tipikal diderita oleh orang lanjut usia yang memiliki DMT2.
Terdapat riwayat poliuria, Berat badan turun, asupan makanan turun
disertai penurunan status kesadaran. Juga didapatkan dehidrasi yang berat,
hipotensi, takikardi, hiperosmolal, dan perubahan status kesadaran. HHS
biasanya timbul disertai dengan penyakit lain seperti sepsis atau
pneumonia. Pada HHS tidak ditemukan tanda-tanda ketosis seperti pada
DKA.6
Penyebab utama HHS adalah insulin defisiensi dan asupan cairan
yang kurang adekuat. Insulin defisiensi meningkatan glikogenolisis dan
glukoneogenesis yang menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia
selanjutnya menyebabkan diuresis osmotik yang menimbulkan penurunan
volume intravascular.6

16
b. Komplikasi Kronik DM
Komplikasi kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada penyakit DM. Komplikasi kronik dibedakan menjadi dua
yaitu komplikasi vaskular dan komplikasi nonvaskular. Komplikasi
vaskular dibedakan lagi menjadi dua yaitu mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular meliputi retinopati, neuropati,
dan nefropati. Komplikasi makrovaskular termasuk Penyakit Jantung
Koroner, Penyakit Arteri Perifer, Penyakit karidovaskuler. Sedangkan
komplikasi yang nonvaskular termasuk gastroparesis, infeksi, dan
perubahan kulit.6
Komplikasi DM biasanya baru nampak jelas pada dekade kedua
setelah terjadi hiperglikemia. Dikarenakan DMT2 memiliki masa
asimptomatik hiperglikemia yang panjang, maka banyak individu yang
datang dengan komplikasi pada saat diagnosis DM.6

9. Tatalaksana DM1
Terdapat 4 pilar penanganan DM, penanganan ini merupakan
penanganan yang holistic dan saling berkaitan satu sama lain. Jika keempat
pilar penatalaksanaan dijalankan dengan baik maka pengobatan DM menjadi
optimal. Keempat poin penanganan DM adalah:1
1) Edukasi
- Tingkat awal
Pengenalan tentang perjalanan penyakit DM
Pemantauan DM secara berkelanjutan
Edukasi tentang pemeriksaan pemeriksaan yang akan
dilakukan beserta deteksi dini yang diperlukan untuk
mengendalikan kadar glukosa darah penderita dan mencegah
munculnya perburukan atau komplikasi dari penyakitnya.
Penyulit DM dan risikonya
Informasi tentang penyulit DM pada keadaan akut dan
kronik perlu disampaikan kepada penderita DM. Terdapat dua

17
keadaan penyulit DM akut, yaitu hiperglikemia dan
hipoglikemia. Keadaan hiperglikemi yang dapat terjadi berupa
DKA dengan kadar glukosa darah 300-600 mg/dl diserti tanda
asidosis dan plasma keton (+) kuat atau HHS dengan kadar
glukosa darah plasma 600-1200 mg/dl tanpa tanda asidosis dan
anion gap normal atau meningkat. Sedangkan keadaan
hipoglikemia terjadi dimana kadar glukosa darah < 70 mg/dl
dengan atau tanpa adanya gejala sistem otonom, seperti
whipples triad yaitu adanya gejala hipoglikemia, kadar glukosa
darah rendah, dan berkurang dengan pengobatan.
Penyulit kronik DM yang dapat terjadi adalah makroangipati
seperti penyakit jantung koroner, ulkus iskemik pedis, atau
stroke dan mikroangipati seperti neuropati, nefropati, atau
retinopati.

Terapi non-farmakologis berupa diet nutrisi, latihan jasmani dan


farmakologis berupa obat antihiperglikemik dan insulin serta
target pengobatan
Gejala dan penanganan awal hipoglikemi
Pada keadaan hipoglikemia secepatnya penderita DM
diharuskan untuk mengkonsumsi karbohidrat atau minuman
dengan kandungan glukosa. Keadaan hipoglikemia yang terus
berlanjut dan tidak membaik dengan penanganan awal atau
disertai dengan gejala neuroglikopenia, maka harus diberikan
terapi parenteral dekstrose 20% 50 cc diikuti infus D5% atau
10%. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan glukosa darah untuk
melihat efek terapi nya, ulangi pemberian dekstrose 20% jika
kadar glukosa belum mencapai target, dan dilanjutkan dengan
monitoring kadar glukosa setiap 2 jam.
- Tingkat lanjut
Mencegah penyulit DM akut dan kronik
Penatalaksanaan DM yang bersamaan dengan penyakit lain

18
1. Dislipidemia pada DM
Kejadian dislipidemia pada penderita DM semakin
meningkatkan potensi terjadinya disfungsi vaskular yang
dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular ataupun
serebrovaskular. Oleh karena itu, setiap penderita DM harus
dilakukan pemeriksaan profil lipid (LDL < 100 mg/dL; HDL
> 50 mg/dL; Trigliserid < 150 mg/dL) pada awal
terdiagnosis DM, setiap tahun pada pasien dewasa, dan
setiap 2 tahun sekali pada penderita dengan profil lipid
normal.
Perbaikan profil lipid dapat dilakukan dengan
mengurangi asupan kolesterol dan lemak jenuh yang disertai
dengan peningkatan latihan fisik. Intervensi terapi
farmakologis dapat diberikan sedini mungkin untuk
mencegah perburukan dari komplikasi dislipidemia maupun
DM terutama pada pasien yang berusia di atas 40 tahun
disertai dengan satu atau lebih faktor resiko penyakit kardio-
serebrovaskularvaskular (riwayat keluarga dengan penyakit
kardio-serebrovaskular, merokok, hipertensi, atau
albuminuria) dapat diberikan terapi statin.
2. Hipertensi pada DM
Terapi mulai diberikan jika tekanan darah sitolik >
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg.
Terapi dimulai dengan pendekatan non-farmakologis pada
pasien dengan tekanan darah sistolik > 120 mmHg berupa
program penurunan berat badan, peningkatan aktivitas fisik,
mengurangi konsumsi garam dan menghentikan konsumsi
rokok. Sedangkan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
> 140 mmHg dapat diberikan obat obat anti hipertensi
langsung seperti Ace inhibitor yang dapat memperbaiki kerja
sistem kardiovaskular dan albuminuria, ataupun diuretik
(HCT) dosis rendah yang tidak memperburuk toleransi

19
glukosa.
3. Obesitas pada DM
Kejadian obesitas dengan DM atau DM dengan
obesitas banyak dijumpai, utamanya obesitas sentral yang
berhubungan dengan kejadian dislipidemia dan resistensi
insulin.
4. Gangguan koagulasi pada DM
Aspirin diberikan pada penderita DM pada beberapa
kondisi seperti pencegahan primer pada penderita dengan
faktor risiko penyakit kardiovaskular yaitu laki-laki > 50
tahun atau perempuan > 60 tahun yang merokok, didiagnosis
hipertensi, dyslipidemia, dan memiliki keluarga dengan
riwayat penyakit kardiovaskular. Dosis aspirin yang dapat
diberikan 75-162 mg/ hari, dan dapat digantikan dengan
Clopidogrel 75 mg/hari apabila terdapat alergi atau
kontraindikasi aspirin.
Perawatan kaki
Hal-hal yang perlu disampaikan kepada penderita DM mengenai
perawatan kaki adalah sebagai berikut:1
1. Penderita harus berjalan menggunakan alas kaki, baik di
pasir atau di air
2. Apabila terjadi luka atau kemerahan di kaki, segera
periksakan kepada dokter
3. Pastikan tidak ada benda asing di alas kaki penderita
sebelum memakainya
4. Penderita haruslah menjaga kaki agar tetap bersih, tidak
terdapat luka, dan memberikan krim pelembab pada kulit
yang kering untuk mencegah terkelupasnya kulit.
5. Kuku dipotong secara teratur
6. Kaki harus dijaga agar tidak basah dengan cara
mengeringkan kaki, dan sela sela jari secara teratur setiap
dari kamar mandi atau terkena air

20
7. Saat menggunakan kaos kaki, gunakan yang berbahan katun
untuk mencegah terjadinya lipatan pada ujung kaki
8. Tipiskan secara teratur apabila terdapat kalus atau mata ikan
pada kaki
9. Penggunaan alas kaki khusus untuk penderita yang
mengalami kelainan bentuk kaki akibat DM
10. Sepatu yang digunakan tidak boleh terlalu sempit, longgar
ataupun ber hak tinggi
11. Penderita tidak diperbolehkan menggunakan bantal atau
botol air berisi air panas yang dimaksudkan untuk
menghangatkan kaki

2) Terapi gizi medis


Terapi nutrisi pada penderita DM tidak jauh berbeda dengan masyarakat
pada umumnya, yaitu sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing
dan kebutuhan gizi seimbang. Hal yang perlu diperhatikan adalah
pengaturan jumlah kalori, jadwal makan yang teratur, dan ketepatan
waktu penggunaan obat-obat anti hiperglikemi atau insulin. Kebutuhan
kalori dibagi menjadi 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang
(30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan selingan (10-15%).
- Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori dihitung dengan melihat kebutuhan basal
masing-masing individu yaitu 25 kal/kgBB ideal pada perempuan
dan 30 kal/kgBB ideal pada laki-laki dengan penambahan atau
pengurangan faktor-faktor tertentu seperti: umur, aktivitas, berat
badan, dan stress metabolik.
Umur
1. Pasien usia 40-59 tahun, kalori dikurangi 5% dari kebutuhan
basal
2. Pasien usia 60-69, kebutuhan kalori dikurangi 10% kebutuhan
basal individu
3. Pasien usia 70 tahun atau lebih, pengurangan kalori 20%

21
kebutuhan basal masing-masing individu
Aktivitas atau pekerjaan
Berdasarkan aktivitasnya, kebutuhan kalori ditambahkan
sesuai dengan derajat aktivitas fisik individu:
1. Kondisi istirahat, kalori ditambahkan 10% kebutuhan basal
2. Aktivitas ringan seperti pegawai, guru, dan ibu rumah tangga,
kalori ditambahkan 20% kebutuhan basal
3. Aktivitas sedang seperti mahasiswa, pegawai industri
ditambahkan 30% kebutuhan basal
4. Aktivitas berat seperti petani, buruh, dan atlet, kebutuhan kalori
nya ditambahkan 40% kebutuhan basal
5. Aktivitas sangat berat seperti tukang becak, tukang batu, atau
tukang gali, kalori ditambahkan 50% kebutuhan basal
Stress Metabolik
Pasien yang sedang berada pada keadaan stress metabolik seperti
sepsis, trauma atau post operasi, kebutuhan kalorinya ditambahkan
10-30% kebutuhan kalori basal. Disesuaikan dengan perkiraan
derajat stress metabolik pada individu tersebut.
Berat Badan
Penambahan kalori 20-30% kalori basal pada penderita DM yang
memiliki berat badan kurang dari berat badan ideal, dan pada
penderita DM yang memiliki berat badan berlebih kebutuhan kalori
dikurangi 20-30% kebutuhan basal
- Kandungan Nutrisi
Karbohidrat
Kebutuhan karbohidrat untuk penderita DM sebesar 45-65% asupan
kebutuhan kalori. Penggunaan gula dalam bumbu masih
diperbolehkan, sedangkan untuk pemanis alternatif tetap dapat
digunakan asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian. Pemanis
alternatif berkalori tetap perlu diperhitungkan kebutuhan kalorinya,
terkecuali fruktosa buatan yang tidak disarankan untuk digunakan
karena dapat meningkatkan kadar LDL, sedangkan untuk pemanis

22
alternatif tidak berkalori seperti aspartam, sakarin, pottasium, dan
lain lain dapat digunakan.
Lemak
Asupan lemak yang diperbolehkan untuk penderita DM sebesar 20-
25% asupan kalori dan tidak melebihi 30% kalori total. Lemak yang
lebih dianjurkan untuk dikonsumsi adalah lemak tidak jenuh, dan
pembatasan asupan kolesterol kurang dari 200 mg/hari
Protein
Sumber protein dapat berasal dari udang, ikan, cumi, kacang-
kacangan, ayam tanpa kulit, tahu dan tempe, dengan total kebutuhan
protein penderita DM sekitar 10-20% kalori total terkecuali untuk
penderita nefropati diabetik pembatasan protein menjadi 0,8 g/kgBB
perhari atau 10% dari asupan kalori.
Natrium
Kebutuhan natrium pada penderita DM sama dengan orang pada
umumnya kurang lebih 2300 mg/hari, kecuali pada DM dengan
hipertensi dapat dilakukan pembatasan natrium.
Serat
Konsumsi serat kurang lebih 20-35 gram/hari yang dapat berasal dari
kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran

3) Latihan jasmani
Kebutuhan latihan jasmani dilakukan teratur 3-5 kali perminggu selama
30-45 menit dengan jeda istirahat tidak lebih dari 2 hari berurutan,
kecuali pada penderita nefropati diabetik dan komplikasi-komplikasi
diabetes yang lain disesuaikan dengan kemampuan harian. Latihan
jasmani dapat berupa latihan aerobik dengan intensitas sedang seperti
jogging, berenang, bersepada, dan lain lain. Selain itu dapat juga
dilakukan resistance training (latihan beban) 2-3 kali per minggu pada
penderita DM tanpa komplikasi seperti osteoarthritis, hipertensi tidak
terkontrol, retinopati, nefropati. Latihan jasmani dilakukan dengan
memantau denyut jantung maksimal pada masing-masing individu yaitu

23
mengurangi 220 dengan usia penderita. Sebaiknya sebelum melakukan
latihan jasmani, dilakukan pengukuran glukosa darah. Jika glukosa
darah < 100 mg/dL, maka penderita diwajibkan untuk mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu dan jika >250 mg/dL , maka latihan
sebaiknya ditunda. Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitivitas
insulin yang menurun terutama pada DMT2, sehingga akan
meningkatkan efektivitas pengendalian glukosa. Selain itu, latihan
jasmani diharapkan juga dapat menurunkan berat badan penderita DM
yang mayoritas merupakan kelompok obesitas

4) Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis terdiri dari obat antihiperglikemik oral dan
suntikan:
- Obat Antihiperglikemik Oral
Obat antihiperglikemik oral dibagi menjadi 5 kelompok sesuai
dengan cara kerjanya.

24
Tabel 5. Obat Antihiperglikemik Oral1,16

Golongan Sediaan Dosis Efek


Samping
Sulfonilurea Glibenklamid 1-2 kali sehari Hipoglikemi
(Insulin (5 mg) Peningkatan
secretagogue) BB
Gliquidon 1-3 kali sehari
(30 mg)

Glimepirid 1 kali sehari


(1 mg, 2
mg, 3 mg,
4 mg)
Biguanid Metformin 1-3 kali sehari Dispepsia
(insulin (500 mg, 850
sensitizer) mg)
Tiazolidinedio Pioglitazone 1 kali sehari Retensi Cairan
n (15 mg, 30
(insulin mg)
sensitizer)
Alfa Acarbose (50- 1 kali sehari Flatulen, tinja
glukosidase 100 mg) lembek
inhibitor
(menghambat
penyerapan
glukosa di usus)
DPP IV Linagliptin (5 1 kali sehari Dispepsia
inhibitor mg)
(meningkatkan
fungsi GLP 1
atau incretin)
SGLT 2 Dapaglifozine 1 kali sehari Dehidrasi, ISK
(menghambat (5-10 mg)
reasorbsi
glukosa di
tubulus distal
ginjal)

Tabel

25
a. Insulin Secretagogue
Kerja dari obat golongan ini adalah dengan merangsang
granul-granul sel pankreas untuk mensekresikan insulin.
Sulfonilurea
Golongan obat ini merangsang sekresi insulin
melalui ikatannya dengan ATP sensitive K channel
membran sel yang akan membuka kanal Ca, sehingga ion
Ca2+ akan masuk dan mensensitisasi granul insulin untuk
eksositosis. Waktu paruh obat ini tergolong pendek sekitar
3-5 jam, namun efek hipoglikemik yang dihasilkan dapat
berlangsung 12-24 jam sehingga cukup diberikan satu kali
sehari kurang lebih 30 menit sebelum makan, berkaitan
dengan arbsorbsinya yang akan terganggu oleh makanan.15
Obat-obat dengan efek samping hipoglikemik yang
berat sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan
golongan sulfonilurea. Penggunaan propanolol atau
penghambat adrenoreseptor dengan sulfonilurea akan
menekan tanda-tanda hipoglikemik sehingga keadaan
hipoglikemik akan lebih berat tanpa diketahui. 1,16
Glinid
Cara kerja obat golongan ini hampir sama dengan
sulfonilurea yaitu dengan menutup kanal K ATP-
independent yang juga akan merangsang eksositosis granul
insulin. Golongan glinid diarbsorbsi cepat dan memiliki
waktu paruh yang cukup singkat kurang lebih 1 jam,
sehingga dibutuhkan pemberian beberapa kali dalam 1 hari.
1,16

Penggunaan obat golongan insulin secretagogue

26
dikontraindikasikan pada penderita DM yang memiliki
gangguan hepar dan ginjal, berkaitan dengan metabolisme yang
dilakukan di hepar dan seluruh ekskresinya dilakukan oleh
ginjal. 16

b. Insulin sensitizer
Golongan obat ini menurunkan keadaan hiperglikemik
tidak dengan memicu sel pankreas untuk mensekresikan insulin,
namun dengan meningkatkan sensitivitas kerja insulin. Terdapat
dua golongan obat yang temasuk dalam insulin sensitizer, yaitu:16
Biguanid
Golongan obat ini menurunkan keadaan
hiperglikemik dengan menekan produksi glukosa
(glukoneogenesis) di hepar dan meningkatkan sensitivitas
insulin pada jaringan otot dan adiposa dengan mengaktivasi
kinase di sel. Obat ini diekskresikan dalam keadaan utuh
melalui ginjal, sehingga pada penderita dengan gangguan
ginjal dosis harus diturunkan dan dikontraindikasikan pada
penderita yang memiliki GFR <30 mL/menit/1,73 m2.
Pemberian obat ini juga dapat meningkatkan kadar asam
laktat dalam darah sehingga untuk penderita yang
cenderung berpotensi mengalami keadaan hipoksemia
seperti sepsis, penyakit kardiovaskular, PPOK atau gagal
jantung tidak diperbolehkan mengkonsumsi obat golongan
ini. Selain itu efek samping gangguan pencernaan seperti
mual, muntah atau diare juga dapat muncul.
Thiazolidinidion
Obat golongan ini bekerja dengan cara
meningkatkan protein pengambil glukosa di sel-sel target
perifer yaitu sel otot dan adiposit. Obat ini menjadi agonis
Peroxisme Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma) di inti sel yang akan berikatan dengan retinoic x

27
receptor (RXR) yang bersama sama merangsang
pembentukan GLUT baru sebagai transporter glukosa ke
dalam sel target. PPAR-gamma normalnya terangsang saat
adanya insulin, sedangkan rangsangan insulin pada
penderita dengan resistensi insulin tidak dapat
mensensitisasi PPAR-gamma tersebut, sehingga pemberian
obat ini sangat efektif untuk diberikan.
Golongan obat ini juga memiliki efek meningkatkan
retensi cairan sehingga pada penderita DM dengan gagal
jantung obat ini dikontraindikasikan. Begitu juga dengan
pengguna obat golongan ini yang memiliki gangguan fungsi
hepar dan ginjal perlu dilakukan pengawasan karena dapat
memperburuk disfungsi hepar dan ginjal.

c. Penghambat enzim glukosidase


Mekanisme kerja obat golongan ini dengan cara
menghambat enzim glukosidase yang membantu mengkonversi
menjadi glukosa, sehingga arbsorbsi glukosa akan menurun dan
kadar glukosa plasma juga menurun. Oleh karena itu obat
golongan ini sangat efektif untuk menurunkan glukosa plasma
post prandial, baik pada DMT1 ataupun DMT2. Berkaitan
dengan cara kerjanya, obat ini diberikan bersamaan dengan
suapan pertama makanan. Efek samping yang dapat terjadipun
berkaitan dengan sistem pencernaan berupa diare atau bloating
(penumpukan gas dalam usus) yang akan meningkatkan flatus. 16

d. Penghambat dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV)


Usus halus distal dan colon proksimal akan mensekresikan
hormon glucose like peptide-1 (GLP-1) saat ada makanan yang
masuk yang akan merangsang sekresi insulin, menghambat
sekresi glukagon, dan memperlambat pengosongan lambung
sehingga akan muncul sensasi kenyang. Hormon ini tidak bekerja
secara terus-menerus, setelah insulin disekresi pankreas akan

28
mengirimkan enzim dipeptidyl peptidase IV yang akan
menghentikan kerja hormon GLP-1. Obat golongan ini bekerja
dengan cara menghambat enzim DPP IV yang disekresikan oleh
pankreas, sehingga hormon GLP-1 akan disekresikan dan bekerja
lebih lama. Obat ini memiliki paruh waktu sekitar 12 jam dan
tidak mempengaruhi kadar insulin plasma, sehingga diberikan
tidak bergantung pada asupan makanan. 1,16
e. Penghambat sodium glucose co-transporter 2 (SGLT-2)
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat transporter
glukosa SGLT-2 sehingga penyerapan kembali glukosa di tubulus
distal ginjal akan dihambat. 1
- Obat Antihiperglikemik Suntik
a. Insulin
Pemberian insulin diindikasikan pada beberapa kondisi,
diantaranya adalah:1
HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
Adanya penurunan berat badan yang drastis dalam waktu
yang singkat
Kondisi hiperglikemia dengan ketosis
Krisis hiperglikemia
Terapi OHO dosis optimal gagal
Adanya stress metabolik yang berat (sepsis, infark miokard,
stroke)
Diabetes gestational yang tidak terkendali dengan makanan
Gangguan fungsi hepar dan ginjal yang tidak memungkinkan
diberikan OHO
Alergi OHO
Kondisi perioperatif
Insulin terdiri dari berbagai macam jenis yang digolongkan
berdasarkan lama kerjanya, yaitu:
1. Insulin kerja cepat
2. Insulin kerja menengah

29
3. Insulin kerja panjang
4. Insulin kerja ultra panjang
5. Insulin campura
Tabel 6.Jenis Insulin1
Jenis Insulin Awitan Lama Kerja
Insulin Lispro
(Humalog)
Insulin analog
Insulin Aspart
kerja cepat 5-15 menit 4-6 jam
(Novorapid)
(rapid acting)
Insulin Glulisin
(Apidra)
Insulin manusia
Humulin R
kerja pendek 30-60 menit 6-8 jam
Actrapid
(short acting)
Insulin manusia
Humulin N
kerja menengah
Insulatard 1,5-4 jam 8-12 jam
(intermediate
Insuman Basal
acting)
Insulin Glargine
Insulin analog (Lantus)
kerja panjang Insulin Detemir 1-3 jam 12-24 jam
(long acting) (Levemir)
Lantus 300
Insulin analog
Degludec
kerja ultra 30-60 menit 48 jam
(Tresiba)
panjang

Jenis insulin yang bermacam macam tersebut dimaksudkan


untuk menyeimbangkan sekresi insulin yang disekresikan oleh
pankreas yaitu insulin post prandial dan insulin basal. Insulin
post prandial disekresikan saat ada rangsangan glukosa yang
masuk, sedangkan unsulin basal merupakan insulin yang
disekresikan dalam jangka waktu yang lama untuk
mengendalikan kadar glukosa darah selama tidak ada rangsangan

30
masukan glukosa dari luar atau disebut glukosa darah puasa.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah insulin basal,
sehingga untuk substitusinya dapat digunakan insulin kerja
panjang atau menengah. Pengendalian glukosa post prandial
dapat menggunakan substitusi insulin berupa insulin kerja cepat.3
Terapi insulin basal dapat dikombinasikan dengan OHO
atau insulin kerja cepat untuk mengendalikan glukosa darah
prandial. Adapun cara pemberian insulin dengan penyuntikan
adalah sebagai berikut:1
Insulin disuntikkan pada jaringan di bawah kulit (subkutan),
dengan cara mencubit kulit pada bagian perut, lengan atas
samping, atau paha samping, kemudian menyuntikkan
dengan arah tegak lurus terhadap kulit.
Pemberian insulin dapat diberikan melalui intravena atau
intramuskular pada pemberian secara bolus atau drip
Suntikan insulin sebaiknya digunakan sekali, namun dapat
digunakan 2-3 kali untuk penderita yang sama dengan
tingkat sterilitas penyimpanan yang dapat terjaga.

b. Agonis GLP-1/ incretin mimetic


Obat ini merupakan agonis GLP-1 yang bekerja dengan
merangsang sekresi insulin, menekan glukagon, dan
menghambat pengosongan lambung. Sehingga akan menurunkan
rasa lapar dan mengurangi asupan glukosa yang masuk ke dalam
darah, efeknya dapat menurunkan berat badan penderita DM
dengan obesitas. Berkaitan dengan cara kerjanya tersebut, dapat
memunculkan efek samping berupa rasa begah, mual, ataupun
muntah. Cara pemberian obat ini tidak jauh berbeda dengan
insulin, yaitu dengan cara menyuntikkan di jaringan subkutan. 1,16

31
- Kombinasi

Gambar 4.Algoritma Pengelolaan DM tipe 2.1 Sumber: PERKENI 2015


Pada dasarnya hal pertama yang harus dilakukan pada terapi
DM adalah pengendalian diet nutrisi yang tepat dan latihan jasmani
yang sesuai. Apabila kondisi hiperglikemia tetap tidak dapat teratasi,
maka dapat diberikan terapi OHO tunggal, kombinasi dua obat,
kombinasi tiga obat atau dengan kombinasi insulin. Kombinasi obat
dilakukan dengan memberikan dua jenis obat yang memiliki cara
kerja berbeda. Pemberian OHO ataupun insulin dimulai dengan dosis
yang terendah dan terus ditingkatkan hingga target glukosa darah
puasa ataupun prandial terpenuhi.1

32
10. Target Pengendalian DM1
Terapi yang telah diberikan dalam bentuk apapun tetap harus dilakukan
pemantauan secara berkala untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah
tercapai, baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:1
- Pemeriksaan kadar glukosa darah
Glukosa darah yang dapat diperiksa yaitu glukosa darah puasa, 2 jam
setelah makan dan glukosa darah sewaktu.
- Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan HbA1c dilakukan umumnya setiap 3 bulan sekali untuk
memantau efektifitas terapi sebelumnya, dan dilakukan 1 bulan sekali
untuk kadar HbA1c yang sangat tinggi (>10%). Selanjutnya dapat
dilakukan 2 kali dalam setahun pada HbA1c yang telah terkontrol.
- Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)
Pemeriksaan ini menggunakan glukosa darah kapiler yang dapat
dilakukan mandiri oleh masing-masing individu dan berkala.
Pemeriksaan ini ditujukan kepada penderita DM yang mengkonsumsi
insulin atau obat pemicu sekresi insulin. Pengukuran dapat dilakukan
sesaat sebelum makan, 2 jam setelah makan, atau menjelang tidur.
- Glycated Albumin (GA)
Pemeriksaan ini digunakan sebagai monitoring yang tidak dipengaruhi
oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan masa hidup eritrosit.
Sasaran pengendalian DM tidak hanya didasarkan pada kadar glukosa
darah yang mencapai nilai normal, namun juga dengan memperhatikan
faktor-faktor resiko yang dapat memicu komplikasi DM. Sasaran
pengendalian DM dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Sasaran pengendalian DM1


Parameter Sasaran
IMT (Kg/m2) 18,5 - < 23
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140
Tekanan darah diastolik (mmHg) < 90

33
GD preprandial kapiler (mg/dL) 80-130
GD 1-2 jam PP kapiler (mg/dL) < 180
HbA1c (%) < 7 (atau individual)
Kolesterol LDL (mg/dL) < 100 (<70 bila risiko KV sangat
tinggi)
Kolesterol HDL (mg/dL) Laki-laki: > 40; perempuan : > 50
Trigliserida (mg/dL) < 150
11. Pencegahan DMT21
Diabetes merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
oleh adanya kerusakan regulasi glukosa di dalam tubuh. Pencegahan primer
diabetes dilakukan dengan melakukan intervensi yang bisa mengembalikan
regulasi glukosa menjadi normal. DMT2 terjadi karena 2 mekanisme utama,
yaitu adanya resistensi insulin disertai defek sekresi insulin. Strategi dari
pencegahan DM ditargetkan pada dua mekanisme utama tersebut. Penurunan
berat badan, peningkatan aktivitas fisik, serta obat golongan biguanid dan
tiazolidinedion diduga bisa meningkatkan sensitivitas insulin.9

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan pencegahan yang dilakukan agar tidak
terkena penyakit DM atau intoleransi glukosa, biasanya ditujukan kepada
kelompok orang yang memiliki faktor risiko tinggi untuk mendapatkan
DM atau intoleransi glukosa. Beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan DM antara lain:1
- Faktor risiko tidak bisa dimodifikasi
Ras dan suku
Riwayat keluarga DM
Umur
Riwayat melahirkan bayi besar dengan berat > 4 kg atau
pernah mengalami DM gestasional
Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan rendah < 2,5 kg
- Faktor risiko bisa dimodifikasi
Overweight dan obesitas (IMT 23 kg/m2)
Aktivitas fisik yang kurang

34
Hipertensi (>140/90 mmHg)
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl san atau Trigliserida > 250
mg/dl)
Diet tidak sehat yaitu diet tinggi gula dan rendah serat
- Faktor-faktor yang lain
Polycystic ovary syndrom (PCOS) atau hal-hal lain yang
terkait resistensi insulin
Sindrom metabolik dengan riwayat TGT atau GDPT
Penyakit kardiovaskular
Pencegahan primer mencakup tindakan penyuluhan, pengelolahan
dan pengendalian untuk kelompok masyarakat yang berpotensi terkena
DM ataupun intoleransi glukosa. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan
berupa:1
1) Penurunan berat badan
Penurunan berat badan adalah prediktor dominan dalam upaya
pencegahan DMT2. Penurunan berat badan bisa didapatkan dengan
pengaturan diet atau dengan olahraga. Kedua upaya tersebut bisa
dilakukan secara tunggal atau secara kombinasi karena akan
memberikan efek yang sama. Program penurunan berat badan dapat
dimulai dari diet sehat dengan komposisi makanan yang seimbang,
penghitungan asupan kalori yang sesuai untuk mencapai berat badan
ideal, dan merendahkan komposisi lemak jenuh serta memperbanyak
konsumsi serat.
Pemerintah Amerika (2010) di dalam American Dietary
Guideline memberikan batasan porsi minimal sayuran atau buah-
buahan yang dikonsumsi perhari adalah memenuhi salah satu dari
beberapa kriteria berikut:10
Tiga gelas atau lebih sayur daun-daunan mentah (seperti seledri,
kol, kangkung)
Satu setengah gelas atau lebih sayur bukan daun mentah/masak
(seperti wortel, tomat, brokoli, kacang-kacangan)
Dua gelas atau lebih jus sayur

35
Campuran jenis sayur yang jika dijumlahkan dalam satu hari
banyaknya memenuhi sala satu pilihan di atas (contoh: 1,5 gelas
sayur daun mentah + 1 gelas jus sayur)
Dua buah apel/pisang besar/jeruk /pir atau lebih
Dua potong semangka atau lebih
Enam belas buah stroberi atau lebih
Satu setengah gelas jus buah atau lebih
Campuran buah yang jika dijumlahkan dalam satu hari banyaknya
memenuhi salah satu pilihan di atas (contoh: 1 Apel + 1 gelas jus
buah)
Campuran buah dan sayur yang dimakan dalam sehari jika
digabungkan, banyaknya sama dengan salah satu pilihan di atas.

2) Latihan jasmani
WHO (2015) menyarankan orang dewasa untuk melakukan
kegiatan fisik rutin intensitas sedang minimal 3-4 kali/minggu
sebanyak 150 menit setiap minggunya atau kegiatan fisik intensitas
berat minimal 75 menit setiap minggunya. Kegiatan fisik berat adalah
kegiatan yang membuat otot bekerja kuat dan kesulitan untuk
bernapas. Contoh kegiatan fisik berat: lari, bersepeda, panjat tebing,
berenang dengan cepat, tenis, bulu tangkis, lompat tali, bermain bola,
berkebun berat (menggali misalnya), mengangkat barang berat, dan
yoga. Kegiatan fisik sedang adalah kegiatan yang membuat otot
bekerja tidak terlalu kuat dan membuat cukup sulit bernapas. Contoh
kegiatan fisik sedang: berjalan, berjalan cepat, menari, berenang
dengan santai, berkebun ringan seperti menyiram tanaman, menyapu,
mengepel, memasak, menjemur, naik turun tangga.1,12

3) Menghilangkan kebiasaan merokok

4) Intervensi farmakologis pada kelompok dengan resiko tinggi

36
Selain penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas, intervensi
farmakologis juga efektif untuk mencegah atau memperlambat onset
dari DMT2 pada individu dengan risiko tinggi. Bariatric Surgery dapat
menjadi pilihan untuk mencegah DMT2 pada individu yang sangat
obes.8,11

b. Pencegahan Sekunder
Tindakan pencegahan sekunder ditujukan kepada penderita DM
agar terhindar dari penyulit-penyulit DM dengan cara mengendalikan
kadar glukosa darah sesuai target terapi dan mengendalikan faktor risiko
pemicu penyulit DM. Pemeriksaan berkala dapat dilakukan sebagai deteksi
dini dan melihat efek terapi sesuai target pengendalian glukosa darah.1

c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan untuk mencegah penderita DM
dengan penyulit DM agar tidak terjadi kecacatan atau kerusakan organ
yang lain dan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Salah satu
yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi untuk peningkatan kualitas hidup
penderita dengan melibatkan berbagai ahli kesehatan seperti ahli jantung,
ginjal, mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehab medik,
gizi, podiatris dan yang lainnya.1

12. Masalah Khusus pada DM1


a. Diabetes dengan Infeksi
Kondisi hiperglikemia dapat memicu peningkatan kejadian infeksi
dan memperburuk infeksi yang terjadi dalam tubuh. Kadar glukosa darah
yang tinggi akan meningkatkan virulensi patogen, menekan produksi
interleukin dan sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menyebabkan
penurunan fungsi kemotaksis, neutrofil dan aktivitas fagositik. Selain itu,
kondisi infeksi juga dapat mempersulit pengendalian hiperglikemia,
sehingga menyebabkan perburukan kondisi penderita. Pemeriksaan yang
dibutuhkan tidak jauh berbeda dengan infeksi pada umumnya yaitu
pemeriksaan kultur dan resistensi antibiotik. Beberapa infeksi yang sering

37
terjadi pada penderita DM yaitu tuberkulosis, infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, infeksi saluran cerna, infeksi rongga mulut, infeksi
telinga, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) , infeksi kulit atau
jaringan lunak oleh stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif,
bakteri dan bakteri anaerob.1,2,3

b. Kaki Diabetes
Infeksi kulit atau jaringan lunak yang tersering pada pasien DM
adalah ekstrimitas bagian bawah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
kaki rutin untuk penderita DM paling tidak sedikitnya satu tahun sekali.
Pemeriksaan kaki meliputi inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis
dan tibialis posterior serta pemeriksaan neuropati sensorik.1,2
Konsensus DM menyebutkah bahwa ulkus diabetik adalah luka kronik
di bawah pergelangan kaki yang meningkatkan morbiditas mortalitas dan
kualitas hidup penderita. Terjadinya ulkus pada DM disebabkan oleh
adanya disfungsi vaskular pada jaringan-jaringan perifer yang
menyebabkan hipoperfusi pada jaringan perifer maupun saraf perifer.
Pemeriksaan kaki yang dapat dilakukan untuk menghindari adanya ulkus
diabetik yaitu dengan memperhatikan adanya risiko-risiko terjadinya luka,
antara lain:1
- Kulit atau kuku yang kering, bersisik dan retak-retak serta kaku
- Rambut kaki rontok atau menipis
- Kuku menenbal, rapuh, ingrowing nail, atau perubahan warna kuku
- Kalus (mata ikan)
- Bentuk jari-jari, telapak, dan tulang kaki yang berubah atau menonjol
- Bekas luka atau riwayat amputasi
- Rasa baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri pada kaki
- Kaki terasa dingin
- Warna kulit kaki yang berubah

c. Nefropati Diabetik

38
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi
mikroangiopati dari DM yang sering terjadi, 20-40% penderita DM
mengalami nefropati diabetik. Penegakan diagnosis nefropati diabetik
adalah dengan ditemukannya albuminuria persisten > 30 mg dalam urin
24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam 3-6 bulan dengan
menyingkirkan penyebab albuminuria yang lain. Nefropati diabetik
digolongkan menjadi dua yaitu nefropati dengan albuminuria sedang (30-
299 mg/24 jam) dan berat (> 300 mg/24 jam). Pemeriksaan lain yang
dapat digunakan adalah dengan menilai rasio albumin kreatinin sewaktu
yang normalnya < 30 mg/g. Pemeriksaan untuk deteksi dini nefropati
dilakukan setelah diagnosis DM ditegakkan dan evaluasi setiap tahun.1
Penatalaksanaan nefropati diabetik dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain:1
- Kontrol kadar glukosa dan hipertensi serta faktor-faktor risiko lain
yang dapat menyebabkan nefropati diabetik
- Pengurangan diet protein pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal
kronik tidak direkomendasikan
- Ace-inhibitor pada albuminuria sedang atau berat

d. Diabetes dengan Disfungsi Ereksi


Penegakan diagnosis disfungsi ereksi adalah dengan
mengidentifikasi fungsi ereksi, fungsi orgasme, nafsu seksual, kepuasan
hubungan seksual, dan kepuasan umum dengan menggunakan instrumen
sederhana kuisioner IIEF-5 (International Index of Erectile Function 5).
Terapi untuk pasien DM dengan disfungsi ereksi tidak jauh berbeda
dengan yang lain, kontrol glukosa darah secara optimal dan pengendalian
faktor risiko seperti merokok, dislipidemia, obesitas, dan hipertensi adalah
hal pertama yang harus dilakukan. Pengobatan lini pertama adalah terapi
psikososial dan intervensi farmakologis berupa penghambat
phosphodiesterase 5 atau injeksi prostaglandin intrakorporal,
prostaglandin intrauretral, dan penggunaan alat vakum, serta prostesis
penis pada alternatif terakhir jika terapi sebelumnya tidak berhasil.1

39
e. Diabetes dengan Kehamilan
Diabetes yang terjadi pada kehamilan dibedakan dengan klasifikasi
DM dengan kehamilan dan DM gestasional. Pada penderita DM yang
berencana untuk hamil harus dilakukan pengendalian faktor risiko yang
memperberat keadaan hiperglimia seperti pengehentian konsumsi rokok,
alkohol, obat-obat teratogenik, kontrol kardiovaskular dan pengendalian
glukosa darah dengan target:1
- GDP 80-110 mg/dl
- GD 1 jam post prandial 100-155 mg/dl
- HbA1c < 7% tanpa risiko hipoglikemia
Pada saat kehamilan, terapi obat anti hiperglikemia oral harus
digantikan ke insulin kecuali metformin pada kasus PCOS (polycystic
ovarium syndrome) dan target kendali glukosa tanpa kejadian
hipoglikemia adalah kadar glukosa darah puasa, sebelum tidur, atau
sebelum makan 60-99 mg/dl dan GD post prandial 100-129 mg/dl. Selain
itu pengendalian tekanan darah juga perlu dilakukan dengan TD sistolik
110-129 mmHg dan diastolik 65-79 mmHg.

f. Diabetes dengan Puasa


Risiko yang dikhawatirkan dan sering terjadi pada penderita DM
yang akan menjalani puasa adalah keadaan hipoglikemia, hiperglikemia,
DKA ataupun dehidrasi dan trombosis. Sebelum menjalani puasa
penderita DM harus menstabilkan kadar glukosa darah, tekanan darah,
dan profil lipid. Pemantauan kadar glukosa darah harus dilakukan pada
pertengahan hari dan menjelang berbuka untuk menilai adanya risiko
hiperglikemia atau hipoglikemia. Pada keadaan tubuh yang kurang sehat
dan kadar glukosa darah < 60 mg/dl atau > 300 mg/dl, maka puasa tidak
boleh dilakukan.1
Dosis obat anti hiperglikemia atau insulin harus disesuaikan,
begitupun juga dengan jadwal makan, dan aktivitas fisik. Penderita
sebaiknya mengkonsumsi karbohidrat saat sahur dan karbohidrat simple

40
saat berbuka, dengan tetap menjaga asupan serat, buah, sayur, dan cairan
serta menghindari minuman manis berlebih.1

g. Pengelolaan Perioperatif
Pemantauan pasien perioperatif dengan DM harus dilakukan untuk
menghindari keadaan yang dapat meningkatkan komorbiditas dan
mortalitas penderita. Beberapa keadaan yang sering menyebabkan
perburukan adalah hipoglikemia, hiperglikemia, komplikasi DM baik
makrovaskular atau mikrovaskular, risiko infeksi, atau pengaturan obat
dan insulin yang kompleks.1

h. Diabetes dengan Konsumsi Steroid


Konsumsi steroid dapat memberikan efek samping pemicu diabetes
dengan menurunkan ikatan insulin pada reseptornya, peningkatan lipolisis,
mengubah jalur protein pada insulin, penurunan fungsi GLUT 4, dan
gangguan distribusi selular sehingga risiko resistensi insulin akan
meningkat. Sedangkan pengendalian pasien DM yang membutuhkan terapi
steroid pada beberapa penyakit tidak jauh berbeda dengan penderita DM
pada umumnya yaitu dengan terus memantau kadar glukosa dan menjalani
terapi pada umumnya.1

i. Diabetes dengan Penyakit Kritis


Target pengendalian kadar glukosa darah pada penyakit kritis adalah 140-
180 mg/dl dengan pemberian insulin drip intravena yang dianjurkan untuk
menstabilkan kadar glukosa darah. Beberapa penyakit yang harus
diwaspadai antara lain:1
- Sindrom koroner akut (SKA)
Penderita DM dengan sindrom koroner akut sering mengalami silent
infarct yaitu gejala khas nyeri dada tidak terlihat akibat adanya
disfungsi autonomik atau neuropati yang terjadi pada DM.
Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian anti
agregasi trombosit atau early invasive angiography. Anti agregasi

41
trombosit atau antiplatelet yang dapat diberikan adalah aspirin,
clopidogrel, kombinasi keduanya yang masih dapat digunakan sampai
satu tahun pasca SKA atau prasugrel sebagai anti platelet baru yang
dapat memberikan keuntungan potensial bagi penderita DM
- Stroke
Hal utama yang perlu diperhatikan pada penderita stroke dengan
DM adalah pengendalian kadar glukosa dengan target glukosa darah
110-140 mg/dl, terapi insulin intravena, dan pengaturan gaya hidup
untuk kontrol glukosa.
- Sepsis
Potensi risiko infeksi pada penderita DM lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien tanpa DM. Pengendalian glukosa darah pada pasien
sepsis dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:5
1. Stabilisasi kondisi
2. Terapi insulin intravena
3. Pemberian glukosa kalori
4. Target pengendalian glukosa darah < 150 mg/dl
5. Pemantauan glukosa darah setiap 1-2 jam sekali sampai kadar
glukosa darah stabil dan dilakukan monitor setiap 4 jam.

BAB III
KESIMPULAN

42
1. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang dibuktikan
dengan keadaan hiperglikemia kronik akibat adanya kegagalan pada sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya.
2. DM tipe 1 merupakan keadaan hiperglikemia yang disebabkan adanya
kerusakan pada sel -pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin secara
absolut, sedangkan DM tipe 2 banyak disebabkan adanya resistensi insulin
disertai defsiensi insulin relative yang dipengaruhi oleh faktor aktivitas,
nutrisi, dan keturunan.
3.
4. Tujuan terapi DM adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan
mengusahakan kontrol metabolik yang baik dan menghindari munculnya
faktor-faktor yang dapat meningkatkan komorbiditas dan mortalitas penyakit.
5. Pilar utama terapi DM adalah edukasi, nutrisi, latihan jasmani, dan intervensi
farmakologis.
6. Komplikasi akut pada penderita DM meliputi hipoglikemia dan KAD atau
HHS dan komplikasi kronis meliputi komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan

43
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PERKENI;
2015
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI;
2011
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar ilmu
Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013
5. World Helath Organization [Internet]. Diabetes. [Place unknown]: World
Health Organization; [date unknown; cited 2016 Jan 15]. Available from:
http://www.who.int/diabetes/en/
6. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, etc.
Harrisons Principle of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill Companies
Inc.; 2012.
7. Ozougwu JK, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The Pathogenesis
and Pathophysiology of Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus. J. Physiol.
Pathophysiol. 2013 Sep; 4(4): 46-57.
8. National Institute of Health and Digestive and Kidney Disease [Internet].
Diabetes Prevention Program. [place unknown]: National Institute of Health
and Digestive and Kidney Disease; 2013 Sep 9 [cited 2016 Jan 15]. Available
from: http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/preventionprogram/
9. International Diabetes Federation [Internet]. Risk Factors. [place unknown]:
International Diabetes Federation; [date unknown] [cited 2016 Jan 16].
Available from: http://www.idf.org/about-diabetes/risk-factors
10. American Diabetes Association [Internet]. Modifiable Risk Factors. [Place
unknown]: American Diabetes Association; 2014 [cited 2016 Jan 16].
Available from:
http://professional.diabetes.org/ResourcesForProfessionals.aspx?cid=60382
11. Ahmad LA, Crandall JP. Type 2 Diabetes Prevention: A Review. Clinical
Diabetes. 2010 Nov; 28:2. NHMRC [Internet]. National Evidence Based
Guideline for the Primary Prevention of Type 2 Diabetes. Australia:
Australian Government; 2011 [cited 2016 Jan 16]. Available from:

44
https://www.nhmrc.gov.au/guidelines- publications/di21
12. World Health Organization [Internet]. Physical Activity. [place unknown]:
World Health Organization; [date unknown] [last updated 2015; cited 2016
Jan 16]. Available from: http://www.who.int/topics/physical_activity/en/
13. Rosenberg M, Lawrence A. Review of Primary Prevention of Type 2 Diabetes
in Western Australia. Australia: University of Western Australia; 2000.
14. Mengesha AY. Hypertension and related risk factors in type 2 diabetes
mellitus(DM)patientsinGaboroneCityCouncil(GCC)clinics,Gaborone,
Botswana.AfricanHealthSciences.2007Dec;7(4).
15. NHMRC [Internet]. National Evidence Based Guideline for the Primary
Prevention of Type 2 Diabetes. Australia: Australian Government; 2011
[cited2016Jan17].Availablefrom:https://www.nhmrc.gov.au/guidelines
publications/di21
16. SyarifA,EstuningtyasA,SetiawatiA,dkk.FarmakologidanTerapiEd5.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia;2012

45

Anda mungkin juga menyukai