Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

FARMAKOTERAPI IV
DIABETES MELITUS
(Diabetic Nephropathy)

Disusun Oleh :

Nama : Nur Syafitri 180500147


Rachmad Bagas S 180500148
Rahma Sakti Oktavia 180500149
Rahmatuti 180500150
Kelompok : E
Tanggal Praktikum : 01 Maret 2021
Dosen Praktikum : apt. Ari Susiana Wulandari, M.,Sc.

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul DIABETES MELITUS (DM) ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ibu
apt. Ari Susiana Wulandari M.,Sc. pada Praktikum Mata Kuliah
Farmakoterapi IV Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang DM bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada ibu apt. Ari Susiana Wulandari


M.,Sc. selaku Dosen Pembimbing Praktikum Farmakoterapi IV yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang penyusun tekuni.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini.

Yogyakarta, 27 Februari 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A DEFINISI PENYAKIT
Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme
yang ditandai dengan hiperglikemia dan kelainan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein.(Kincade 2008). Nefropati diabetic adalah menurunnya
fungsi organ ginjal akibat tingginya gula darah. Nefropati Diabetik adalah
komplikasi mikrovaskular yang terjadi pada perjalanan penyakit Diabetes
Melitus (DM), bermula dari adanya hiperfiltrasi, mikroalbuminuria dan
hipertensi serta berkembang menjadi penyakit ginjal diabetes atau Nefropati
Diabetik.
Diabetes Melitus Tipe 1
• Gejala awal tersering adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan
berat badan, dan kelesuan disertai hiperglikemia. Individu seringkali
kurus dan cenderung mengalami ketoasidosis diabetikum jika insulin
ditahan atau dalam kondisi stres berat. Antara 20% dan 40% pasien
datang dengan ketoasidosis diabetik setelah beberapa kali hari poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.
Diabetes Melitus Tipe 2
• Pasien sering asimtomatik dan dapat didiagnosis sekunder akibat darah
yang tidak berhubungan pengujian. Gejala ditemukan lesu, poliuria,
nokturia, dan polidipsia. Penurunan berat badan yang signifikan kurang
umum; lebih sering, pasien kelebihan berat badan atau obesitas.(Kincade
2008)
Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah intoleransi glukosa, yang merupakan
deteksi dini diabetes selama kehamilan.
Diabetes Tipe Lain
Jenis diabetes lain termasuk penyakit genetik yang spesifik untuk
sekresi atau tindakan insulin, kelainan metabolik yang mengganggu sekresi
insulin, kelainan mitokondria, dan beberapa faktor patogen lain yang
mengganggu toleransi glukosa.

B EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang
akibat peningkatan angka kemakmuran di negara yang bersangkutan akhir-
akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan
gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya angka
kejadian penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit diabetes melitus.
Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak
pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya manusia.

Hiperglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2 Kejadian hiperglikemia


pada DMT2 setidaknya dikaitkan dengan beberapa kelainan pada tubuh
penderita DMT2, yang disebut omnious octet yaitu :

1. Pada sel beta pankreas terjadi kegagalan untuk mensekresikan insulin yang
cukup dalam upaya mengkompensasi peningkatan resistensi insulin.
2. Pada hepar terjadi peningkatan produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
karena resistensi insulin.
3. Pada otot terjadi gangguan kinerja insulin yaitu gangguan dalam
transportasi dan utilisasi glukosa.
4. Pada sel lemak, resistensi insulin menyebabkan lipolisis yang meningkat
dan lipogenesis yang berkurang.
5. Pada usus terjadi defisiensi GLP-1 dan increatin effect yang berkurang.
6. Pada sel alpha pancreas penderita DMT2, sintesis glukagon meningkat
dalam keadaan puasa.
7. Pada ginjal terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 sehingga reabsorpsi
glukosa meningkat.
8. Pada otak, resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan nafsu makan.

Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6% dari
jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat
cepat dalam 10 tahun terakhir.3 Di Amerika Serikat, penderita diabetes
meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di
tahun 2010.4 Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%,
kecuali di beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.
(Ndraha 2014)

C PATOFISIOLOGI
a. DM tipe 1 (5% -10% kasus) biasanya berkembang pada masa kanak-
kanak atau awal masa dewasa dan hasil dari kerusakan sel β pankreas
yang dimediasi oleh autoimun, mengakibatkan defisiensi absolut insulin.
Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan
autoantibodi ke antigen sel β (misalnya, antibodi sel pulau, antibodi
insulin).
b. DM tipe 2 (90% kasus) ditandai dengan kombinasi beberapa derajat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin
dimanifestasikan oleh peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak
bebas, peningkatan produksi glukosa hati, dan penurunan serapan glukosa
pada otot rangka.
c. Penyebab diabetes yang tidak umum (1% -2% kasus) termasuk gangguan
endokrin (misalnya, akromegali, sindrom Cushing), diabetes mellitus
gestasional (GDM), penyakit pankreas eksokrin (misalnya, pankreatitis),
dan obat-obatan (misalnya, glukokortikoid, pentamidin, niacin, α-
interferon).
d. Komplikasi mikrovaskuler meliputi retinopati, neuropati, dan nefropati.
Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke,
dan perifer penyakit vaskular (Kincade 2008)

D ETIOLOGI
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang
lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih


banyak pasiennya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Pasien DM Tipe 2
mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi pasien diabetes, umumnya
berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini pasien DM Tipe 2 di kalangan
remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2
merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas.
Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat,
serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan
bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap
obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe
2. (Hartanti et al. 2013).
DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat
dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar
glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping
resistensi insulin, pada pasien DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi
insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak
terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang
terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
pasien DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel
β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua
terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,
sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya pasien DM
Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara
progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga
akhirnya pasien memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa pada pasien DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua
faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.(Hartanti et al.
2013)

E DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DM mencakup salah satu dari yang berikut:
1. A1C 6,5% atau lebih.
2. Puasa (tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam) glukosa plasma
126 mg / dL (7.0 mmol / L) atau lebih.
3. Glukosa plasma dua jam 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih selama
oral tes toleransi glukosa (OGTT) menggunakan beban glukosa yang
mengandung ekuivalen 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.
4. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg / dL (11.1 mmol / L) atau lebih
dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik.
Dengan tidak adanya hiperglikemia tegas, kriteria 1 sampai 3 harus
dikonfirmasi dengan pengujian ulang.
• Glukosa plasma puasa normal (FPG) kurang dari 100 mg / dL (5,6 mmol /
L).
• Gangguan glukosa puasa (IFG) adalah FPG 100 sampai 125 mg / dL (5,6–
6,9 mmol / L).
• Toleransi glukosa yang terganggu (IGT) didiagnosis saat sampel pasca-
pemuatan 2 jam dari OGTT adalah 140 sampai 199 mg per dL (7,8-11,0
mmol / L).
• Wanita hamil harus menjalani penilaian risiko GDM pada kunjungan
prenatal pertama dan menjalani tes glukosa jika berisiko tinggi (misalnya,
riwayat keluarga positif, riwayat pribadi GDM, obesitas berat, atau
anggota kelompok etnis berisiko tinggi).(Kincade 2008)

Gambar 1. Kadar Gula Darah Normal


a. Tujuan glikemik yang lebih ketat mungkin sesuai jika dicapai tanpa
hipoglikemia yang signifikan atau efek samping. Sasaran yang kurang
ketat mungkin juga sesuai dalam beberapa situasi.
b. Pengukuran glukosa postprandial harus dilakukan 1 hingga 2 jam setelah
dimulainya makan, umumnya waktu puncak kadar pada penderita
diabetes.(Kincade 2008)
F FAKTOR RESIKO
Faktor Resiko:
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi;
Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan DM, umur > 45 tahun
(meningkat seiring dengan peningkatan usia), riwayat melahirkan bayi
dengan berat badan lahir bayi > 4000gram atau riwayat menderita DM
saat masa kehamilan (DM gestasional), riwayat lahir dengan berat badan
rendah (<2500 gram).
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi:
Pola hidup sehat. Faktor-faktor tersebut adalah berat badan lebih (IMT ≥
23 kg/m2 ), kurangnya aktivitas fisik, tekanan darah tinggi/hipertensi (>
140/90 mmHg), gangguan profil lemak dalam darah (HDL < 35 mg/dL,
dan atau trigliserida > 250 mg/dL), dan diet yang tidak sehat (tinggi gula
dan rendah serat).1,2 Penelitian juga menunjukkan bahwa perokok aktif
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena DM dibandingkan dengan
orang yang tidak merokok. Selain itu, seseorang yang mengalami
gangguan pada glukosa darah puasa dan toleransi glukosa, menderita
sindrom metabolik (tekanan darah tinggi, peningkatan kolesterol darah,
gula darah tinggi, obesitas) atau memiliki riwayat penyakit stroke atau
penyakit jantung koroner, dan memiliki risiko terkena diabetes melitus
lebih tinggi.(Puspita et al. 2020)
G TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi DM adalah untuk mengurangi dan menghilangkan gejala
(poliuria, polidipsia, polipagia), mengurami timbulnya komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler, mengurangi progresivitas komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler, mengurangi mortalitas dan
meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kadar glukosa darah pada
kondisi normal dan HbA1c < 7% (Dipiro et al., 2008)

H TERAPI FARMAKOLOGI dan NON-FARMAKOLOGI


1. Terapi Non Farmakologi
a. Pengaturan diet
Diet merupakan langkah penting dalam penanganan DM pada
pasien lansia. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan DM. Penurunan berat badan terbukti dapat
mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β
terhadap glukosa. Penurunan berat badan dapat mengurangi morbiditas
pada pasien obesitas dengan penyakit DM tipe 2.
b. Olah raga
Olahraga pada lansia secara langsung dapat meningkatkan fungsi
fisiologis tubuh dengan mengurangi kadar glukosa darah,
meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan
c. Berhenti merokok Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi
penyerapan glukosa oleh sel.

2. Terapi Farmakologi
Lansia dengan DM tipe 2 tetap memiliki kemampuan
memproduksi insulin, sehingga penatalaksanaan DM dengan diet dapat
mengendalikan kontrol glukosa darah. Namun, apabila penderita tidak
melakukan pembatasan makan dengan ketat atau apabila penyakit
tidak terdeteksi dari awal maka terapi farmakologi dapat diberikan.

Gambar 2. Algoritma Terapi Diabetes Mellitus


1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a. Pemicu sekresi insulin
Golongan Sulfoniluria Golongan sulfonilurea sering disebut
insulin secretagogue. Mekanisme kerja golongan sulfonilurea
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans
pankreas .Untuk pasien lansia tidak direkomendasikan pemberian
klorpropamid dan glibenklamid karena menimbulkan efek
hipoglikemi berat. Sulfonilurea yang direkomendasikan untuk
lansia yaitu obat yang diekskresikan melalui hati dan mempunyai
masa kerja pendek misalnyaglipizid dan glikazid. Glinid
mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea
(Waspadji, 2007). Repaglinid dan nateglinid diabsorbsi dengan
cepat sehingga mencapai kadar puncak dalam waktu 1 jam dan
diekskresi dalam waktu 1 jam.

b. Penambah sensitifitas insulin


Tiazolidindion merupakan agonis Peroxsisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-) yang sangat selektif dan
poten. Peningkatan sensitifitas insulin dapat merangsang transport
glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak (Suherman,
2008). Pemberian tiazolidindion untuk lansia dapat meningkatkan
HDL dan menurunkan trigliserid (Subramaniamdan Gold, 2005).
Hasil penelitian terhadap pasien dengan usia ≥ 60 tahun,
tiazolidindion dikontraindikasikan untuk pasien dengan gagal
jantung kelas 1-4.
c. Golongan penghambat glukosidase α (Acarbose)
Obat golongan ini dapat memperlambatabsorbsi polisakarida
dan disakarida di usus halus .Penghambatan enzim α-glikosidase
dapat mengurangi pencernaan karbohidrat dan absorbsinya,
sehingga mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial
pada penderita DM. Untuk mendapat efek maksimal, acarbose
diberikan pada suapan pertama.Efek samping yang paling sering
yaitu flatulen.
d. Golongan penghambat gluconeogenesis
Metformin digunakan sebagai obat pilihan pertama pada
penderita DM tipe 2 dan DM obesitas, karena keamananterhadap
kardiovaskuler. Metformin menurunkan kadar glukosa darah
melalui penurunan produksi glukosa hepar dan meningkatkan
absorbsi glukosa di otot rangka .Metformin dikontraindikasikan
untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, alkoholisme,
gagal jantung, infeksi .
2. Insulin
Insulin merupakan hormon polipeptida yang di sekresi oleh sel β
pankreas.Insulin dapat dirusak oleh enzim pencernaan sehingga
diberikan melalui injeksi. (Federation, 2011).
3. Terapi Hipertensi dengan DM

Kontrol glukosa dan TD paling penting untuk pencegahan nefropati,


dan TD kontrol paling penting untuk memperlambat perkembangan
nefropati
Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) dan penghambat
reseptor angiotensin (ARB) telah menunjukkan kemanjuran dalam
mencegah perkembangan klinis penyakit ginjal pada pasien dengan
diabetes. Diuretik sering diperlukan karena keadaan volume yang
membesar dan direkomendasikan sebagai terapi lini kedua.
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat
antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek
samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka morbiditas
dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah nefropati
diabetic.

Gambar 3. Rekomendasi Terapi Hipertensi Komplikasi Diabetes


4. Kolestrolemia

Gambar 4. Klasifikasi Kolestrol dalam Darah

Gambar 5. Obat-obatan yang Menginduksi Hiperlipidemia


Kontrol kadar kolestrol dalam darah penting untuk mencegah terjadinya
kolestrol berlebih yang dapat memperbutuk kondisi pasien.
5. Nefropati
1. Pengendalian hipertensi (120/80 mmHg)
2. Pengendalian Gula Darah (<7% HbA1C)
3. Diet Rendah Protein (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting
untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
4. Pengendalian Hiperlipidemia
Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi
kolesterol-LDL.
BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN

A. PEMAPARAN KASUS
Tn. EF, umur 42 tahun, berat 65 kg datang ke klinik diabetes untuk
periksa perkembangan penyakitnya. Tn EF menderita DM tipe 2 selama 10
tahun. Pada awalnya, Tn EF kurang mengontrol gula darahnya, akhir-akhir
ini lebih memperhatikan perkembangan penyakitnya ternyata menurut dokter
yang memeriksa didapatkan proteinuria dan tekanan darahnya 165/95. Pak EF
adalah seorang pengusaha makanan ringan yang sangat sibuk sehingga tidak
sempat memperhatikan kesehatanya. Walaupun beliau mengidap diabetes
selama 10 tahun tapi kurang menjaga pola makan dan kurang patuh dalam
meminum obat sehingga progesivitas penyakit penyerta seperti hipertensi dan
nefropathy sudah menyertai DMnya. Namun belakangan karena ada keluhan-
keluhan seperti sering lemas, kesemutan, dan mudah ngantuk, Pak EF mulai
memperhatikan kesehatannya terutama penyakit DMnya. Karena tidak boleh
mengkonsumsi gula berlebih maka Pak EF lebih suka mengkonsumsi
makanan yang asin-asin agar nafsu makannya tetap ada. Ternyata ini
membawa dampak pada hipertensinya.
Riwayat Penyakit : Diabetes Mellitus tipe II selama 10 tahun.
Riwayat obat sebelumnya : OHO (Glikazid + Rosiglitazon)
Pemeriksaan fisik
ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan
edema skrotum, disertai hipertensi indikasi nefropati.
Pemeriksaan Penunjang
pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (+3 sampai +4), yang dapat
disertai hematuria. pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia
(<2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat. kadar
ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
indikasi nefropati.
Data Laboratorium
TD : 165/95 mmHg
Suhu Tubuh : 36,50 C
GDP(gula darah puasa) : 140 mg/dL
GDPP(post prandial) : 190 mg/dL
HbA1C : 8,5 %
Tes Toleransi Glukosa Oral : 225 mg/dL
Kolesterol Total : 220 mg/dL
HDL : 40 mg/dL
LDL : 155 mg/dL
TG : 150 mg/dL
Protein urin : 315 mg (+++)
Kadar Kreatinin : 1200 mg/hari
AST : 33 IU/L
ALT : 27 IU/L
Albumin : 2,3 g/dL
Diagnosis : DM tipe II, hipertensi, nefropati
1. Apakah yang dimaksut dengan DM nefropati ? Sebutkan tanda dan
gejalanya?
2. Berikan rekomendasi terapi yang tepat untuk Tn. EF ?
3. Bagaimana penanganan non farmakologinya dan KIEnya serta
monitoringnya ?

B. ANALISIS METODE SOAP


1 SUBJEKTIF
Nama : TN. EF
Usia : 42 Tahun
BB : 65 kg
Keluhan : sering lemas, kesemutan, dan mudah ngantuk
Riwayat penyakit : Diabetes Mellitus tipe II selama 10 tahun
Riwayat obat : : OHO (Glikazid + Rosiglitazon)
2 OBJEKTIF
- Didiagnosis penyakit : DM tipe II, hipertensi, nefropati
- Pemeriksaan fisik : ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau
adanya asites dan edema skrotum, disertai hipertensi indikasi nefropati.
- Pemeriksaan penunjang : pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (+3
sampai +4), yang dapat disertai hematuria. pada pemeriksaan darah
didapatkan hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat. kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal. indikasi nefropati.
- Data Laboratorium
No Pemeriksaan Hasil Nilai Keterangan
pemeriksaan Normal
1. Tekanan 165/95 mmHg 120/80 Hipertensi stage 2
darah mmHg
2 Suhu tubuh 36,5Oc 36,5-37,5oc Normal
3 Gula darah 140 mg/dL <140 Tinggi
puasa mg/dL
4 GDDP(post 190 mg/dL 140 mg/dL Tinggi
prandial
5 HbA1C 8,5% <5,7% Diabetes
6 Tes toleransi 225 mg/dL <140 Diabetes
glukosa oral mg/dL
7 Kolestrol total 220 mg/dL <200 Ambang batas
mg/dL
8 HDL 40 mg/dL 40 mg/dL Normal
9 LDL 155 mg/dL <100 Ambang Batas
mg/dL
10 TG 150 mg/dL <150 Ambang batas
mg/dL
11 Protein urin 315 mg/dL <80 mg/dL Tinggi/proteinurea
12 Kadar 1200 mg/hari 700 Tinggi
kreatinin mg/hari
13 AST 33 UI/L 5-43 UI/L Normal
14 ALT 27 UI/L 5-60 UI/L Normal
15 Albumin 2,3 g/ dL 3,5-5,9 Rendah/
g/dL hipoalbuminemia
3 ASSESMENT
No Problem Medis Terapi saat ini DRP
.
1. Diabetes Tipe II Glikazid Gol. Rosiglitazon Gol. Glitazon = Efek samping obat (adverse drug
reaction) • Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yaitu dapat
Sulfoniurea +
mengurangi fungsi ginjal
Rosiglitazon Gol.
Glitazon
2. Hipertensi - Perlu terapi obat tambahan (need for additional drug related)
3. Nefropati Diabetik - Perlu terapi obat tambahan (need for additional drug related)

4
4. PLANNING

No Problem Tujuan Terapi Planning Farmasis (Rekomendasi Terapi & Monitoring Efektifitas Terapi)
Medis

1. Diabetes Mengurangi Terapi Farmakologi :


Tipe II gejala,mengurangi
 Direkomendasikan untuk melanjutkan terapi glikazid sebelumnya secara
mortalitas,
meningkatkan kualitas rutin seumur hidup, yaitu glikazid 80 mg sebelum makan 1 kali sehari atau
hidup pasien,
setiap 24 jam dan rosiglitazone sebelumnya 4 mg diminum 1 kali sehari
mengontrol kadar gula
darah tetap normal,( < bersamaan dengan makan yaitu setelah suapan pertama saat makan
200 mg/Dl, dan HbA
1C < 7%) Mengurangi  Apabila penggunaan obat rosiglitazone dapat memperburuk kondisi ginjal
percepatan dan pasien maka pengobatan rosiglitazone, pelan-pelan di kurangi karena
progresivitas
komplikasi vaskuler rosiglitazon golongan glitazon akan memperburuk kondisi ginjal pada
dan makrovaskuler pasien, yang dapat memperburuk nefropati diabetik pasien.
 Untuk itu direkomendasikan pengobatan diabetes sama-sama golongan
sulfoniurea yaitu metformin 500 mg 3 kali sehari (setiap 8 jam sekali) pada
saat makan atau segera setelah makan.

Monitoring terapi:
 HbA 1C normal adalah ( < 7%)
 Dipantau kadar glukosa darah pasien, periksakan gula darah pasien secara
rutin gula darah puasa(sehabis bangun dar tidur/ pahi hari), gula darah
acak, gula darah sebelum makan, gula darah sesudah makan
 Pemakaian harus rutin dan teratur
 Jika gula draah pasien turun secara drastic atasi dengan memberikan
makanan ataupun minuman yang manis
 Efek samping obat
 Kadar glukosa darah pasien harus :
 1-2 jam Sesudah makan (<180 mg/dl)
 kadar glukosa plasma puasa ( < 126 mg/dl )
 Glukosa darah sewaktu ( < 200 mg/dl)
Terapi Non-Farmakologi :
 Diet rendah kalori, disarankan untuk mengatur pola makan teratur,
mengontrol makannan yang menjadi sumber karbohidrat seperti makan
nasi (mengurangi asupan nasi) dan bahan karbohidrat seperti roti,umbi
singkong, umbi-umbian dll. Disarankan untuk mengkonsumsi gandum
saja, atau mengkonsumsi nasi merah
 Olahraga teratur,1 minggu minimal 5 hari olahraga, setiap hari selama 30
menit, olahraga seperti jalan santai, jogging. setidaknya berjemur
 Mengurangi stress
 Tidak makan makanan yang manis-manis
2. Hipertensi Menurunkan tekanan Terapi Farmakologi :
darah hingga 130/80
 Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) dan penghambat reseptor
mmHg, menurunkan
morbiditas dan angiotensin (ARB) telah menunjukkan kemanjuran dalam mencegah
mortalitas ,mengindari
perkembangan klinis penyakit ginjal pada pasien dengan diabetes. Diuretik
hipotensi,menghindari
efek samping odengan sering diperlukan karena keadaan volume yang membesar dan
obat lain, mencegah
direkomendasikan sebagai terapi lini kedua.
keruskan organ lain
dan mencegah  Direkomendasikan ialah obat golongan ACE-I yaitu captopril 25 mg 3 Kali
komplikasi
sehari atau setiap 8 jam, 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan
dikombinasikan dengan antihipertensi golongan CCB non-dihidropiridin
yaitu diltiazem 30mg 2 kali sehari
Monitoring :
 Perlu monitoring terhadap kadar serum kreatinin normal dan kalium serum
tetap normal, karena mengkonsumsi ACE-I
 Tekanan darah normal yaitu (130/80 mmHg)
Terapi Non-Farmakologi :
 Menurunkan berat badan
 Olahraga teratur, tetapi sesuai aturan dokter, olahraga yang aman
 Tidak mengkonsumsi alcohol
 Mengurangi asupan garam (Na 2,4 g dan NaCl 6 g/ Hari)
 Mempertahankan asupan kalium
 Mengurangi asupan lemak (menghindari makan makanan berlemak)
3. Nefropati Memperbaiki fungsi Terapi Farmakologi :
Diabetik ginjal, mengurangi
 Mengendalikan gula darah, dengan mengkonsumsi obat gula darah secara
perburukan fungsi
ginjal rutin dan sesuai anjuran dokter, menjalankan terapi non-farmakologi yang
disarankan hingga HbA1C < 7%
 Diet Rendah Protein (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting
untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal
 Mengendalikan tekanan darah normal (130/80 mmHg) minum obat secara
rutin dan sesuai dengan anjuran dokter
 Mengendalikan atau mengontrol kadar kolestrol dalam darah dalam kedaan
normal
 Apabila kolestrol meningkat atau tinggi, rekomendasi terapi yang
diberikan adalah simvastatin 20 mg diminum rutin satu kali sehari atau
setiap 24 jam
 Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai terapi tunggal
atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat
mengurangi proteinuria disertai stabilisasi faal ginjal
Montoring :
 Monitoring terhadap kadar serum kreatinin normal dan kalium serum tetap
normal
 Protein dalam urine
 Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
 Albumin dalam urine
 Apabila serum kreatinin ≥2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut
dilibatkan
C. EDUKASI PENGOBATAN
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,
perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi
lemak.(Ndraha 2014)
a. Pengobatan dini dengan glikemia mendekati normal mengurangi risiko
penyakit mikrovaskuler komplikasi, tetapi manajemen agresif faktor risiko
kardiovaskular (yaitu, merokok penghentian, pengobatan dislipidemia,
kontrol tekanan darah [BP] intensif, dan terapi antiplatelet) diperlukan
untuk mengurangi risiko penyakit makrovaskular.
b. Perawatan yang tepat membutuhkan penetapan tujuan untuk kadar
glikemia, TD, dan lipid; reguler memantau komplikasi; modifikasi diet
dan olahraga; pemantauan mandiri yang sesuai glukosa darah (SMGD);
dan penilaian laboratorium.
c. secara fisiologis mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk
dicapai dan menjaga berat badan yang sehat. Rencana makan harus
mengandung karbohidrat dalam jumlah sedang dan rendah lemak jenuh,
dengan fokus pada makanan seimbang. Pasien dengan tipe 2 DM
seringkali membutuhkan pembatasan kalori untuk menurunkan berat
badan.
d. Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol
glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi
pada penurunan atau pemeliharaan berat badan, dan meningkatkan
kesejahteraan.(Kincade 2008)
Edukasi perawatan kaki :
Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang
dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease
(PAD):
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasirdan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar
mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkanlipatan
pada ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secarateratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat
khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak
tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.(Soelistijo et al. 2015)
BAB III
KESIMPULAN

Terapi farmakologi pasien :


 Direkomendasikan untuk melanjutkan terapi glikazid sebelumnya secara
rutin seumur hidup, yaitu glikazid 80 mg sebelum makan 1 kali sehari atau
setiap 24 jam dan rosiglitazone sebelumnya 4 mg diminum 1 kali sehari
bersamaan dengan makan yaitu setelah suapan pertama saat makan
 Apabila penggunaan obat rosiglitazone dapat memperburuk kondisi ginjal
pasien maka pengobatan rosiglitazone, pelan-pelan di kurangi karena
rosiglitazon golongan glitazon akan memperburuk kondisi ginjal pada
pasien, yang dapat memperburuk nefropati diabetik pasien.
 Untuk itu direkomendasikan pengobatan diabetes sama-sama golongan
sulfoniurea yaitu metformin 500 mg 3 kali sehari (setiap 8 jam sekali)
pada saat makan atau segera setelah makan.
 Captopril 25 mg diberikan untuk mengontrol tekanan darah pasien serta
nefropatik pasien 3 Kali sehari atau setiap 8 jam, 1 jam sebelum makan
atau 2 jam sesudah makan dikombinasikan dengan antihipertensi golongan
CCB non-dihidropiridin yaitu diltiazem 30mg 2 kali sehari
Kadar glukosa darah pasien harus :
 1-2 jam Sesudah makan (<180 mg/dl)
 kadar glukosa plasma puasa ( < 126 mg/dl )
 Glukosa darah sewaktu ( < 200 mg/dl)
Terapi non-farmakologi :
 Diet rendah kalori
 Olahraga teratur
 Mengurangi stress
 Tidak makan makanan yang manis-manis
DAFTAR PUSTAKA

Bhatt, H., Saklani, S., & Upadhayay, K. (2016). Anti-oxidant and anti-diabetic
activities of ethanolic extract of Primula Denticulata Flowers.
Indonesian Journal of Pharmacy, 27(2), 74–79.
https://doi.org/10.14499/indonesianjpharm27iss2pp74
Dipiro, J. T., Dipiro, C.V., Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L.
2008.Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-
Hill Company
Federation, I. D. (2011). A . Latar Belakang.halaman 1–11.
Hartanti, Jatie K. Pudjibudojo, Lisa Aditama, and Retno Pudji Rahayu. 2013.
“Pencegahan Dan Penanganan Diabetes Mellitus.” Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya: 96.
Kincade, Kathy. 2008. 44 Laser Focus World Satellite Sensors Zero in on
Resource and Disaster Planning.
Ndraha, Suzanna. 2014. “Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini.”
Medicinus 27(2): 9–16.
Puspita, Ratih, Tri sholikah agusti, Dyonisa pakha nasirochim, and Strefanus putra
erdana. 2020. “Buku Saku Diabetes Melitus.” (November): 70.
Soelistijo, Soebagijo et al. 2015. Perkeni Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe2 Di Indonesia 2015.

Anda mungkin juga menyukai