Anda di halaman 1dari 74

Henny Kasmawati dkk.

PEDOMAN TERAPI DIABETES MELITUS TIPE 2

GAMBAR

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALUN OLEO

2017

i
Henny Kasmawati dkk.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan modul ini. Modul ini disusun untuk
pedoman penggunaan obat secara rasional, agar mampu
melakukan pelayanan kefarmasian dengan baik, termasuk
mampu memecahkan berbagai permasalahan terkait obat.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa modul ini tentu
punya banyak kekurangan. Untuk itu penulis dengan berlapang
dada menerima masukan dan kritikan konstruktif dari berbagai
pihak demi kesempurnaannya di masa yang akan datang.
Akhirnya kepada Allah jualah penulis bermohon semoga semua
ini menjadi amal saleh bagi penulis dan bermanfaat bagi
pembaca.

iii
Henny Kasmawati dkk.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I Pendahuluan 1
Epidemologi 1
Defenisi Diabetes Melitus 3
Klasifikasi 5
BAB 2 Patofisiologi dan Faktor Resiko 8
BAB 3 Tanda dan Gejala Klinis 18
BAB 4 Penatalaksanaan Terapi 21
BAB 5 Pengobatan Diabetes Melius Tipe 2 24
BAB 6 Komplikasi 63
DAFTAR PUSTAKA 72

iv
Henny Kasmawati dkk.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Epidemologi
Diabetes Melitus menurut WHO pada Tahun 2011
berada diperingkat ke-9 penyebab kematian tertinggi di dunia.
Jumlah kematian 1,26 juta orang atau sekitar 2,2 % dari sekitar
57 juta kematian di dunia dalam setahun, jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat dan
sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di negara-negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia. Dengan jumlah
penduduk sekitar 200 juta jiwa, yang artinya kurang lebih 3-5
juta penduduk Indonesia menderita diabetes (Depkes RI, 2005).
Kejadian DM terus meningkat setiap tahun, International
Diabetes Federation (IDF) tahun 2015 menyebutkan bahwa
prevalensi kejadian DM di dunia tahun 2012 sebanyak 371 jiwa
penduduk, sedangkan tahun 2013 terdapat 382 jiwa penduduk
dan tahun 2015 terjadi peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 415 juta jiwa penduduk dan telah menjadikan DM
sebagai penyebab kematian urutan ke-7 di dunia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) prevalensi DM di
wilayah Pasifik Barat termasuk Indonesia adanya peningkatan

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 1


Henny Kasmawati dkk.

angka kejadian dari 1,1% pada tahun 2007 dan 2,1% tahun
2013, sedangkan prevalensi DM menurut (IDF) International
Diabetes Federation tahun 2015 terjadi peningkatan menjadi
153,2 juta jiwa (37%) dengan diagnosis DM dan Indonesia
menempati peringkat ke-7 dari 10 negara dengan penyandang
DM dengan jumlah sekitar 10 juta jiwa. Berdasarkan laporan
tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara pada
tahun 2015 yaitu 3.206 kasus dan menempati urautan ke-5 dari
10 penyakit terbesar di Sulawesi Tenggara yang sebelumnya
pada tahun 2014 populasi DM berada di urutan ke-9 dengan
jumlah kasus 2.768 kasus (Dinkes, 2016). Sekitar 90% dari
seluruh penderita DM adalah DM tipe 2 (Badan Pusat Statistik
Sultra, 2013).
B. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan
protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi
fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas,

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 2


Henny Kasmawati dkk.

atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap


insulin (Depkes RI, 2005).
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme
yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan
sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi
kronis mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati (Dipiro
dkk., 2008).
Diabetes Melitus (DM) menurut American Diabetes
Association tahun 2010, merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-
duanya. Hiperhlikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa
puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl. Kadar glukosa serum
puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dl (ADA, 2010).
Merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
(hiperglikemia) dan disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan olehkelainan
sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduanya sehingga
menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular,

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 3


Henny Kasmawati dkk.

dan neuropati. Hiperglikemia yang dimaksudkan adalah kadar


glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl. Kadar glukosa
serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dl.
C. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA), DM
diklasifikasikan dalam 4 kategori:
a) Diabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 disebut juga dengan istilah diabetes yang
tergantung insulin atau diabetes yang muncul sejak anak-anak
atau remaja (juvenile diabetes). Kasus DM tipe 1 berkisar antara
5-10% dari seluruh populasi penderita DM. DM tipe 1
dikarakterisasi oleh defisiensi produksi insulin absolut akibat
destruksi sel β pankreas sehingga membutuhkan pemberian
insulin eksogen setiap harinya. Destruksi sel β pankreas dapat
disebabkan karena reaksi autoimun, seperti autoantibodi sel
islet, autoantibodi terhadap insulin dan autoantibodi terhadap
dekarboksilase asam glutamat (ADA, 2015).
b) Diabetes melitus tipe 2
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe
2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat
dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 4


Henny Kasmawati dkk.

patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya


sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau
tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
disebut sebagai resistensi insulin (Depkes RI, 2005).
Terdapat banyak faktor penyebab diabetes tipe 2.
Selain resistensi insulin, mekanisme lain yang mendasari antara
lain berkurangnya sekresi insulin dan kerusakan sel islet yang
bukan disebabkan oleh autoimun, peningkatan resistensi perifer
untuk aksi insulin yang mengakibatkan penurunan penyerapan
glukosa perifer, atau peningkatan pengeluaran glukosa hepatik
(ADA, 2012).Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya
hidup yang buruk, seperti kurangnya olahraga, obesitas, dan diet
tinggi lemak dan rendah serat.
c) Diabetes melitus gestasional (Gestational Diabetes
Mellitus/GDM)
Diabetes melitus gestasional adalah hiperglikemia yang
timbul selama masa kehamilan. Hiperglikemia timbul akibat
intoleransi glukosa dan biasanya berlangsung hanya sementara.
Sekitar 7% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan
umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua (ADA,
2015).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 5


Henny Kasmawati dkk.

d) Diabetes tipe lain


Diabetes yang disebabkan oleh faktor-faktor lain terjadi
sekitar 1-2% dari semua kasus diabetes. Penyebab-penyebab
lain yang dapat menimbulkan diabetes melitus jenis ini
diantaranya, yaitu defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas seperti cystic fibrosis, dan
obat atau zat kimia yang dapat menginduksi diabetes, seperti
glukokortikoid (ADA, 2015).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 6


Henny Kasmawati dkk.

BAB II
PATOFISIOLOGI
A. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat kerusakan molekul
insulin atau gangguan reseptor insulin yang mengakibatkan
kegagalan fungsi insulin untuk mengubah glukosa menjadi
energi. Pada dasarnya pada diabetes melitus tipe 2 jumlah
insulin dalam tubuh adalah normal bahkan jumlahnya bisa
meningkat, namun karena jumlah reseptor insulin pada
permukaan sel berkurang menyebabkan glukosa yang masuk
kedalam sel lebih sedikit. Hal tersebut akan terjadi kekurangan
jumlah glukosa dan kadar glukosa menjadi tinggi didalam
pembuluh darah (Ermawati, 2012).
Resistensi sel terhadap insulin pada DM tipe 2 bisa
menyebabkan penggunaan glukosa oleh sel menjadi menurun
sehingga kadar glukosa darah dalam plasma tinggi
(hiperglikemia). Jika hiperglikemi parah(>126/100 mg/dL) dan
melebihi ambang ginjal maka timbul glikosuria. Glikosuria akan
menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran
kemih (poliuri) dan timbul rasa haus (polidipsi)sehingga terjadi
dehidrasi. Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 7


Henny Kasmawati dkk.

negatif sehingga menimbulkan rasa lapar (polifagi).Pada pasien


DM penggunaan glukosa oleh sel juga menurun mengakibatkan
produksi metabolisme energi menurun sehingga tubuh menjadi
lemah (Istiqomantunnisa, 2014).
Sel-sel β pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama mensekresi insulin terjadi setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar
glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi setelah 20
menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel
β menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,
artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi sekresi insulin
(Dipiro, 2008).
Perjalanan DM tipe 2 diawali oleh resistensi insulin yang
terjadi beberapa dekade sebelum terjadi manifestasi
hiperglikemia. Resistensi insulin ditandai dengan gangguan efek
metabolik insulin di jaringan perifer yaitu hati, otot dan jaringan
lemak sehingga terjadi gangguan penekanan produksi glukosa di
hati,gangguan penggunaan glukosa di otot dan gangguan
penyimpanan glukosa di jaringan lemak. Kondisi resistensi
insulin menyebabkan hiperinsulinemia sehingga pankreas
bekerja lebih berat untuk memroduksi insulin. Seiring dengan
meningkatnya usia, hiperinsulinemia akan meningkat terutama

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 8


Henny Kasmawati dkk.

bila tidak dilakukan usaha untuk mengatasinya. Kondisi tersebut


menyebabkan kelelahan sel beta pancreas sehingga produksi
insulin terganggu. Kombinasiantara resistensi insulin dan
gangguan produksi insulin menyebabkan gangguan toleransi
glukosaatau hiperglikemia. Hiperglikemia kronik juga bersifat
toksik terhadap fungsi sel beta pankreas (glukotoksik) sehingga
mempercepat penurunan fungsi sel beta pankreas. Dalam
penatalaksanaan DM tipe 2, kombinasi pengobatan yang
menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan sekresi insulin
merupakan kombinasi ideal. Selain resistensi insulin di hati, otot
dan jaringan adiposa, serta gangguan produksi insulin oleh sel
beta pankreas, terdapat beberapa jalur patofisiologi lain yang
berperan pada DM tipe 2 yaitu peningkatan glukagon oleh sel
alfa pankreas, penurunan efek hormon inkretin di saluran
cerna,peningkatan absorpsi glukosa di ginjal dan
gangguanneurotransmiter di otak (gambar 1). Adanya beberapa
jalur baru yang ditemukan pada patofisiologi DMtipe 2
membuka kesempatan pengobatan baru bagi penyandang DM
tipe 2 (Sulistianingsih, 2009)

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 9


Henny Kasmawati dkk.

Gambar 1. Delapan organ yang berperan dalam patogenesis


hiperglikemia pada DM tipe 2
Sumber: Perkeni 2015

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan


oleh delapan hal organ, yaitu sebagai berikut :
1. Kegagalan sel β-pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel
beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang
bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid,
GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin
yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi
glukosa dalamkeadaan basal oleh liver (HGP=hepatic

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 10


Henny Kasmawati dkk.

glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui


jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan
kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat
gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis
dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan
kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver
dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 11


Henny Kasmawati dkk.

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh
lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek
yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut
juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM
tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darahsetelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel α-Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 12


Henny Kasmawati dkk.

berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan


puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal
meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP-4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan
dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar
163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine.
Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-
2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah salah satu contoh obatnya.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 13


Henny Kasmawati dkk.

8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat.
Pada individu yang obes baik yang DM maupun non-DM,
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur
Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
B. Patofisiologi Diabetes Melitus dan Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya
DM. Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks,
hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin
(resisten insulin) (Mihardja, 2009). Padahal insulin berperan
meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini
juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi
resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga
dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
Pada pasien DM tipe 2, hipergilikemia sering dihubungkan
dengan hiperinsulinemia, dislipidemia, dan hipertensi yang
bersama-sama mengawali terjadinya penyakit kardiovaskuler dan
stroke. Pada DM tipe ini, kadar insulin yang rendah merupakan
prediposisi dari hiperinsulinemia, dimana untuk selanjutnya akan

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 14


Henny Kasmawati dkk.

mempengaruhi terjadinya hiperinsulinemia. Apabila


hiperinsulinemia ini tidak cukup kuat untuk mengkoreksi
hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan sebagai DM tipe 2.
Kadar insulin berlebih tersebut menimbulkan peningkatan retensi
natrium oleh tubulus ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi.
Lebih lanjut, kadar insulin yang tinggi bisa menyebabkan inisiasi
aterosklerosis, yaitu dengan stimulasi proliferasi sel-sel endotel
dan sel-sel otot pembuluh darah (Masharani dan German, 2003).
C. Patofisiologi Diabetes Melitus dengan Hiperlipidemia
Resistensi insulin pada DMT2 meningkatkan lipolisis pada
jaringan adiposa sehingga terjadi peningkatan lemak dalam darah
termasuk kolesterol dan trigliserida. Hiperkolesterolemia akan
memicu peningkatan LDL-kol dan penurunan kadar HDL-
kolesterol. Ketiga fraksi lipid tersebut disebut dengan triad lipid
yang berperan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis.
Keadaan ini dikenal sebagai dislipidemia. Selain dislipidemia,
terdapat beberapa keadaan lain yang berperan dalam terjadinya
peningkatan LDL-kol antara lain diabetes melitus dan hipertensi.
2. Faktor Resiko
a. Umur
Umur dengan kejadian Diabetes Melitus menunjukan
adanya hubungan yang signifikan. Kelompok umur <45 tahun

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 15


Henny Kasmawati dkk.

merupakan kelompok yang kurang berisiko menderita DM Tipe


2, resiko pada kelompok ini 72% lebih rendah dibanding
kelompok umur ≥45 tahun. Peningkatan resiko DM sering terjadi
dengan faktor umur, khususnya pada umur ≥40 tahun, hal ini
disebabkan karena pada umur tersebut mulai terjadi peningkatan
intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan
berkurangnya kemampuan sel beta pankreas dalam memproduksi
insulin. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat
penurunan aktivitas mitokondriadi sel-sel otot sebesar 35%, hal
ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar
30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati, 2013).
b. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT >23 dapat
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi >200
mg/dL (Fatimah, 2015).
c. Hipertensi
Pengaruh hipertensi terhadap Diabetes Melitus disebabkan
karena terjadi penebalan pembuluh darah arteri yang
menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit,
sehingga proses pengangkutan glukosa dalam darah menjadi
terganggu (Fatimah, 2015). Sehingga pada penderita hipertensi

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 16


Henny Kasmawati dkk.

harus selalu mengontrol tekanan darah <140 mmHg/90 mmHg


(Njoto, 2014).
d. Faktor Genetik
Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan
lebih besar menderita DM dibandingkan dengan anggota keluarga
yang tidak menderita Diabetes Melitus. Faktor genetik dapat
menjadi penyebab yang penting terhadap kejadian penyakit DM
karena pola keluarga yang kuat mengakibatkan terjadinya
kerusakan sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin,
sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin maupun kerja
insulin. Jika terdapat faktor genetik, maka seseorang tersebut
memiliki risiko 40% menderita DM Tipe 1, dibandingkan dengan
DM Tipe 2. Pada penelitian yang dilakukan sekitar 50% pasien
DM Tipe 1 mempunyai orang tua yang menderita Diabetes
Melitus (Nainggolan dkk, 2013).
e. Dislipidemia
Keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(LDL >250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada
pasien Diabetes Melitus (Fatimah, 2015). Pada DM untuk
pencapaian target kadar kolesterol LDL dianjurkan <100 mg/dL
(Nainggolan dkk, 2013).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 17


Henny Kasmawati dkk.

f. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan


Aktivitas fisik dan pekerjaan adalah salah satu hubungan
terjadinya kelainan metabolik Diabetes Melitus. Aktivitas dan
pekerjaan seperti (Perkeni, 2015):
1. Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik
2. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan
pada keadaan istirahat
3. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan: pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga
4. Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai
industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
5. Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani,
buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan
6. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat:
tukang becak, tukang gali dengan intensitas aktivitas fisik
g. Faktor Alkohol

Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah


terutama pada penderita Diabetes Melitus, sehingga akan
mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.
Seseorang akan akan mengalami peningkat tekanan gula darah

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 18


Henny Kasmawati dkk.

apabila mengkonsumsi alkohol >60 ml/hari dan 720 ml (Fatimah,


2015).
h. Faktor merokok
Rokok memperburuk terjadinya resistensi insulin, paparan
pada perokok pasif dapat juga menjadi resiko terjadinya sindrom
metabolik Diabetes Melitus. Nikotin yang terdapat dalam asap
rokok memiliki pengaruh terhadap terjadinya DM tipe 2,
pengaruh nikotin terhadap insulin diantaranya menyebabkan
penurunan pelepasan insulin akibat aktivasi hormon katekolamin,
mempengaruhi kerja pada insulin dan gangguan pada sel beta
pankreas (Ario, 2014).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 19


Henny Kasmawati dkk.

BAB III
TANDA DAN GEJALA
A. Gejala Klinis
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun
demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai
isyarat kemungkinan timbulnya diabetes. Gejala tipikal yang
sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria
(seringbuang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia
(banyak makan/mudahlapar). Selain itu sering pula muncul
keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas.
Gejala dan tanda DM Tipe 2 umumnya hampir tidak ada.
DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan
baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah
berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2
umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka,
daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita
hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada
pembuluh darah dan syaraf.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 20


Henny Kasmawati dkk.

Gejala kronik diabetes mellitus yang sering terjadi


berupa kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk
jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi
impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau
kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir
lebih dari 4kg (Fatimah, 2015).
Diabetes melitus tipe 2 atau Non-Insulin
DependentDiabetes Mellitus (NIDDM) terjadi pada 90% dari
semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi
insulin perifer dan defisiensi insulin relatif oleh sel-β pankreas.
Resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan kadar asam
lemak bebas dan sitokin pro-inflamasi dalam plasma,
menyebabkan penurunan transpor glukosa ke dalam sel otot,
meningkatnya produksi glukosa hepatik dan peningkatan
pemecahan lemak. Peran kelebihan glukagon tidak dapat di
kesampingkan, pada DM tipe2 terjadi parakrinopati pada pulau
Langerhans dimana hubungan timbal balik antara sel alfa yang
mensekresi glukagon dan sel beta tidak mensekresi insulin,
menyebabkan hiperglukagonemia (Wisudanti, 2016).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 21


Henny Kasmawati dkk.

BAB IV
PENATALAKSANAAN TERAPI
A. Tujuan Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan
meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan
profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
B. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Umum
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada
pertemuan pertama, yang meliputi:
1. Riwayat Penyakit
− Usia dan karakteristik saat onset diabetes.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 22


Henny Kasmawati dkk.

− Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan


riwayat perubahan berat badan.
− Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
− Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara
lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang
telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri.
− Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang
digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.
− Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
− Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktus urogenital.
− Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada
ginjal, mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran
pencernaan, dll.
− Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
− Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
− Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 23


Henny Kasmawati dkk.

− Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status


ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
− Pengukuran tinggi dan berat badan.
− Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan
adanya hipotensi ortostatik.
− Pemeriksaan funduskopi.
− Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
− Pemeriksaan jantung.
− Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
− Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan
vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
− Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan
bekas lokasi penyuntikan insulin).
− Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe
lain.
3. Evaluasi Laboratorium
− Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah
TTGO.
− Pemeriksaan kadar HbA1c.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 24


Henny Kasmawati dkk.

C. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang
diabetes. Adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik
DM seperti di bawah ini:
1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan
adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan
beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding
dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 25


Henny Kasmawati dkk.

untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat


jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Gambar 2. Bagan Pengolaan DM

Gambar 3. Kriteria Penegakan Diagnosis

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 26


Henny Kasmawati dkk.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal


atau kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes
yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil
pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl
dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-
6,4%.

Gambar 4. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes


dan prediabetes

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 27


Henny Kasmawati dkk.

BAB V
PENGOBATAN
DIABETES MELITUS TIPE 2
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhiryang
secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu
menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran
normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan
terjadinya komplikasidiabetes. (Depkes, 2005)
Untuk mencapai tujuan ini, pada dasarnya ada dua
pendekatan dalam penatalaksanaan DM, yaitu pendekatan tanpa
obat (diet dan modifikasi gaya hidup) dan pendekatan dengan
obat (farmakoterapi). Meskipun demikian kenyataannya pada
penanganan penyakit DM seringkali tidak terkontrol
sebagaimana mestinya. Diabetes yang tidak terkontrol dengan
baik dapat menimbulkan komplikasi. Pada tahap akut,
komplikasi diabetes terjadi akibat gangguan metabolik seperti
hipoglikemia atau hiperglikemia sedangkan pada tahap lanjut,
gangguan ini terjadi akibat kerusakan mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati,
neuropati dan nefropati sedangkan komplikasi makrovaskular
berupa penyakit jantung koroner, strok dan penyakit vaskular
peripheral. (Almasdy,2015).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 28


Henny Kasmawati dkk.

A. Terapi Non Farmakologi


Resisten insulin merupakan DM tipe 2. Ketidakpatuhan
anatara resisten insulin dan sekresi insulin menyebakan fungsi
sel β menurun 2% pada saat terjadi intoleransi glukosa dan
pendekatan pengobatan DM tipe 2 harus memperbaiki resisten
insulin dan memperbaiki fungsi sel β pankreas. Hal yang
mendasar dalam pengelolahan DM tipe 2 adalah perubahan pola
hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur
berasama atau tanpa terapi farmakologi, pola makan yang
seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontra indikasi)
tetapi harus dijalankan (ADA, 2011).
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin (Fatimah, 2015).
Prinsip diet bagi penederita DM menurut Perkeni (2015),
yaitu:

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 29


Henny Kasmawati dkk.

a. Energi disesuaikan dengan kebutuhan dan faktor koreksi


umur, jenis, kelamin, aktivitas, dan berat badan.
b. Karbohidrat 45-46% dan energi total.
c. Lemak 20-25% energi total. Penggunaan lemak jenuh< 7%,
lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya lemak tidak
jenuh tunggal, dan kolestrol < 300 mg/hari.
d. Makan yang perlu dihindari yaitu, makanan yang banyak
mengandung kolestrol, lemak trans dan lemak jenuh makanan
yang banyak mengandung natrium.
e. Makanan yang dianjurkan adalah karbohidrat kompleks,
makan tinggi serat dan makanan yang diolah denga sedikit
minyak.
f. Gula untuk bumbu yang diperbolehkan hanya <5%
kebutuhan energi.
Glukosa darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain faktor resiko atau faktor pencetus misalnya, adanya infeksi
virus, kegemukan, perilaku makan yang salah, obat - obatan,
proses menua, stres dan lain - lain. Diet tetap merupakan
pengobatan yang utama pada penatalaksanaan diabetes, terutama
pada DM tipe 2. Peran diet dapat mengontrol kadar glukosa
darah pasien. Diet disini dapat diartikan sebagai perilaku gizi
pasien diabetes. Salah satu syarat diet penyakit diabetes melitus

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 30


Henny Kasmawati dkk.

adalah penggunaan gula murni dalam minuman atau makanan


tidak diperbolehkan kecuali dalam jumlah sedikit sebagai
bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali,
diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5% dari
kebutuhan energi total.Bagi orang dengan diabetes yang
memerlukan gula, dalam penggunaannya kalori gula
diperhitungkan sebagai bagian dari perencanaan makan. Satu
sendok makan gula dapat menggantikan 1 penukar buah
(misalnya 1 buah pisang). Diet tinggi karbohidrat dan rendah
lemak sangat baik untuk pasien diabetes karena dapat
mengurangi resiko aterosklerosis. Dianjurkan baik oleh ADA
(American Diabetes Association) maupun EASD (European
Association for Study of Diabetes) bahwa asupan lemak jangan
lebih dari 30 % dan kolesterol kurang dari 300 mg/hari
(syauqy,2015).
2. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga
kadar gula darah tepat normal. Latihan aerobik meningkatkan
konsitensis insulin dan glikemik pada sebagian besar individu,
mengurangi faktor risiko kardivaskuler, memberikan konstribusi
untuk pemeliharaan atau penurunan berat badan, dan
meningkatkan kesejahteraaan. (Dipiro dkk., 2008).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 31


Henny Kasmawati dkk.

Kegiatan lain yang perlu dilakukan adalah aktifitas fisik


seperti kegiatan jasmani dengan intensitas sedang (50-70%
denyut nadi maksimal) minimal 150 menit/minggu atau aerobik
75 menit/minggu.aktivitas juga dapat dibagi dalam tiga hari per
minggu dan tidak ada dua hari berururtan tanpa aktivitas fisik.
Jika tidak ada kontraindikasi pasien DM tipe 2 diedukasikan
latihan resistensi sekurang-kurangnya 2x/minggu. Untuk
penyandang DM dengan penyakit kardiovaskular, latihan
jasmani dimulai dengan intensitas rendah dan durasi singkat lalu
secara perlahan ditingkatkan. Aktivitas fisik sehari-hari juga
dapat dilakukan misalnya berjalan kaki ketempat kerja,
menggunakan tangga (tidak menggunakan elevator) (Tanto,
dkk., 2014)
B. Terapi Farmakologi
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
dilakukan penatalaksanaan terapi obat. Obat hipoglikemik oral
ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe 2.
Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi. Pemilihan dan penentuan regimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan DM (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 32


Henny Kasmawati dkk.

secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi


yang ada (Depkes, 2005).
Penatalaksanaan terapi diabetes melitus tipe 2 dilakukan
dengan 2 tujuan utama. Pertama tujuan jangka pendek untuk
menghilangkan (keluhan dan gejala pada pasien
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah) sementara tujuan kedua jangka
panjang untuk mencegah dan menghambat munculnya penyakit
komplikasi.
a. Penggunaan Obat Hiperglikemia Oral
Tabel 2. Penggunaan Obat Antidiabetik Oral
Generik Nama Dosis Dosis Awal Frek.
Dosis max Lama
Dagang Harian mg/hari Pembe Waktu
(mg/hari) Kerja
Muda Tua rian
Sulfonilura
Asetoheksamid Dymelor 250 500 125- 1500 16 1 sebelum
500 250 makan
Klorpropamid Diabenese 100 250 100 500 24-36 1 Sebelum
250 makan
Tolbutamid Orinase 250 1000- 500- 3000 6-12 2-3 Sebelum
500 2000 1000 makan
Glipizid Glucotrol 5, 10 5 2,5-5 40 20 1-2 Sebelum
Glucotrol 2.5, 5, 5 2,5-5 20 24 1-2 makan
XL 10, 20
Gliburid DiabBeta 1.25, 5 1,25- 20 24 1-2 Sebelum
micronase 2.5, 5 2,5 makan

Glinase 1.5, 3.6 3 12 24 1-2


1,5-3
Glimepirid Amaryl 1, 2, 4 1-2 0,5-1 8 24 1 Sebelum

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 33


Henny Kasmawati dkk.

makan
Meglitinid

Nateglinid Stralix 60-120 120 + 120+ 120 4 3 Sebelum


makan maka (3x/hari) makan
n
Repaglinid Novonorm 6 1+ 0,5-1 16 4 1-3 Sebelum
makan + makan
Prandin 0.5, 1,2 maka 16 4 1-3
0,5-1 + n
makan 0,5-1
+
maka
n
Biguanid

Metformin Glukophge 500, 500 Dinilai 2550 6-8 1-3 Bersama


850, (2x/ha fungsi /
1000 ri) ginjaln sesudah
ya makan
Metformin XR Glukophage 500, 500- Dinilai 2550 6-8 - Bersama
XR 750, 1000 fungsi /
1000 ginjaln sesudah
ya makan
Tiazolidindion

Pioglitason Actos 12, 30, 15 15 45 24 1 Tidak


45 tergantu
ng
jadwal
makan
Rosiglitason avandia 2, 4, 8 2-4 2 4-8 24 1 Tidak
(2x/hari) tergantu
ng
jadwal
makan

Inhibitor α-glukosidase

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 34


Henny Kasmawati dkk.

Akarbose Procose 25, 50 25 25 25-100 1-3 3 Bersama


(1,3x/ (1,3x/ha (3x/hari) suapan
hari) ri) pertama
Miglitol Glyset 25, 50, 25 25 25-100 1-3 3 Bersama
100 (1,3x/ (1,3x/ha (3x/hari) suapan
hari) ri) pertama
Inhibitor dipeptyl-peptidase (DPP-IV)

Sitagliptin Januvia 25, 50 100 25-100 100 24 1 Bersama


berdasar makan
kan dan /
pada sebelum
fungsi makan
ginjal
Kombinasi

Gliburid + Glucovance 1,25/25 2,5- 1,25/25 20 mg 6-24 1-4 Bersama


Metformin 0 5/250 0 glipizid, atau
2,5/500 (2x/ha Lihat 2000 mg sesudah
5/500 ri) fungsi metformin makan
ginjal
Glipizid+ Metglip 2,5/250 2,5- 2,5/500 20 mg - 2 Bersama
Metformin 2,5/500 5/500 (lihat glipizid, atau
5/500 (2x/ha fungsi 200 mg sesudah
ri) ginjal) metformin makan
Rosiglitazon + Avandamet 1/500 2,5- 2,5/500 8 mg 12 2 Bersama
Metformin 2/500 5/500 (lihat rosiglitazo atau
4/500 (2x/ha fungsi n, sesudah
ri) ginjal) 200 mg makan
metformin
Rosiglitazon + Avandaryl 4/1 4/1 4/1 8 mg 24 1 Bersama
Glimepirid 4/2 atau rosiglitazo atau
4/4 4/2 n, sesudah
8 mg makan
glimepirid pagi
Pioglitazon + ACTOplus 15/500 15/50 15/500 45 mg - - -
Metformin Met 0 (2x/hari) pioglitazo
15/85 Lihat n,

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 35


Henny Kasmawati dkk.

0 fungsi 2550 mg
(1- ginjal metformin
2x/hari)
Pioglitazon + Duetact 30/2 30/2 30/2 45 mg - - -
Glimepirid 30/4 atau Setiap pioglitazo
30/4 hari n,
untuk 8 mg
menghin glimepirid
dari
hipoglik
emi
Sitagliptin + Janumet 50/500 50/50 2x/hari 100 mg - - -
Metformin 50/1000 0 Lihat sitagliptin
50/10 fungsi
00 ginjal
sebelum
digunak
an
Glimepirid + Amaryl M Mengat 1/250 1/250 - - 1-2 Bersama
Metformin urDosis 2/500 2/500 /
max sesudah
untuk makan
masing-
masing
kompon
en

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 36


Henny Kasmawati dkk.

a) Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah obat DM derivat sulfonamide. Obat ini
telah digunakan sejak tahun 1940-an, generasi pertama
sulfonilurea antara lain klorpropamid, tolazamid dan tolbutamid
sedangkan generasi kedua adalah glibenklamid, glipizid,
gliquidon dan gliklazid. Sulfonilurea akan terikat pada reseptor
spesifik di membran sel Beta. Sulfonilurea memperbaiki kadar
glukosa postprandial. Pentingnya pengendalian glukosa
postprandial telah banyak diteliti. Hiperglikemia postprandial
berhubungan dengan meningkatnya risiko komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular diabetes. Pengendalian
glukosa postprandial memperbaiki kadar glukosa darah secara
keseluruhan yang digambarkan dengan HbA1c (Wiyono, 2004).
Menurut Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia Tahun
(2015) obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama
adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
b) Meglitinid
Meglitinid ini adalah obat yang menurunkan glukosa
darah, obat ini terdiri dari repaglinid dan nateglinid. Cara kerja

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 37


Henny Kasmawati dkk.

sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi


insulin fase pertama.Obat ini baik untuk mengatasi
hiperglikemia postprandial (Ndraha, 2014).
c) Biguanid
Senyawa biguanid terbentuk dari dua molekul guanidin
dengan kehilangan satu molekul amonia. Sediaan yang tersedia
adalah metformin dan buformin. Derivat biguanid mempunyai
mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat sulfonilurea,
obat-obat tersebut kerjanya tidak melalui perangsangan sekresi
insulin tetapi langsung terhadap organ sasaran. Pemberian
biguanid pada orang non diabetik tidak menurunkan kadar
glukosa darah, tetapi sediaan biguanid ternyata menunjukkan
efek potensiasi dengan insulin. Pemberian biguanid tidak
menimbulkan perubahan ILA (Insulin Like Activity) diplasma,
dan secara morfologis sel langerhans juga tidak mengalami
perubahan. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat
perubahan glukosa menjadi lemak. Pada penderita diabetes yang
gemuk, ternyata pemberian biguanid menurunkan berat badan
dengan mekanisme yang jelas pula, pada orang non diabetik
yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar
glukosa darah. Penyerapan biguanid oleh usus baik sekali dan

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 38


Henny Kasmawati dkk.

obat ini dapat digunakan bersama insulin atau sulfonirurea


(Misnadiarly, 2006).
Berdasarkan penelitian Ndraha (2014) golongan biguanid
pada sediaan metformin memiliki mekanisme kerja
a. Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati.
b. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati,
serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada
sepsis
c. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonilurea.
d. Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna
seperti mual namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah
makan
d) Tiazolidindion
Tiazolidindion sering juga disebut TZDs atau glitazon,
berfungi memperbaiki sensitivitas insulin dengan mengaktifkan
gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa lemak dan
metabolisme karbohidrat. Tiazolidindion tidak menyebabkan
hipoglikemia jika digunakan sebagai terapi tunggal. Meskipun
mereka sering kali diberikan secara kombinasi dengan

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 39


Henny Kasmawati dkk.

sulfonilurea, insulin, atau metformin, jenis sediaan golongan


obat ini adalah pioglitazon dan roziglitazon. Namun,
roziglitazon merupakan antidiabetika oral yang baru-baru ini
dibekukan ijin edarnya baik sediaan tunggal maupun kombinasi,
dengan nama dagang avandia, avandaryl, dan avandamet.
Pembekuan ijin edar ini dilakukan karena obat tersebut
menyebabkan efek samping kardivaskuler berupa gagal jantung
sehingga resiko roziglitazon jauh lebih besar dari pada
manfaatnya (BPOM, 2010).
e) Penghambat dipeptidil peptidase-IV
Penghambat dipeptidyl peptidase-IV (DPP-IV) dan glukagon
like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila
ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat
bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara
cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim
DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan pelepasan
insulin dan menghambat pelepasan glukagon (Ndraha,
2014).Yang termasuk golongan obat ini adalah sitagliptin dan
vildagliptin. Sitagliptin telah disetujui oleh FDA (food and drug
administration), sedangkan vildagliptin saat ini dalam tahap uji
klinis dan akan termasuk sebagai pilihan terapi.Obat golongan

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 40


Henny Kasmawati dkk.

ini merupakan obat baru yang diindikasikan sebagai terapi


tambahan pada diet dan olahraga untuk meningkatkan control
gula darah pada pasien DM tipe 2. Obat ini di indikasikan untuk
penggunaan monoterapi atau kombinasi dengan metformin,
sulfonilerea, tiazolidinedion (Dipiro, 2008).
f) Penghambat glukosidase alfa
Acarbose adalah zat-zat yang bekerja atas dasar
persaingan merintangi enzim glukosidase alfa dimukosa
duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi
monosakarida terhambat, dengan demikian glukosa dilepaskan
lebih lambat dan absorbsinya kedalam darah juga kurang cepat,
lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar gula darah
dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang
kaya akan serat gizi (Tjay, 2007). Selain itu acarbose ini juga
tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonilurea, tetapi acarbose mempunyai efek samping pada
saluran cerna yaitu kembung dan flatulens (Ndraha, 2014). Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose (Perkeni,
2015).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 41


Henny Kasmawati dkk.

b. Penggunaan Insulin
Selain penggunaan obat oral, untuk terapi pada pasien
DM tipe 2 juga digunakan insulin. . Menurut Perkeni (2015) bila
penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥ 10,0% atau
glukosa darah sewaktu ≥ 300 mg/dl maka pengobatan langsung
dengan kombinasi metformin dengan insulin.Ada berbagai jenis
sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam hal
mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).
Respon individual terhadap terapi insulin cukup
beragam, oleh sebab itu jenis sediaan insulin mana yang
diberikan kepada seorang penderita dan berapa frekuensi

Jenis Sediaan Insulin Mulai Punyak Masa


Kerja (Jam) Kerja
(Jam) (Jam)
Masa kerja Singkat(Short- 0,5 1-4 6-8
acting/Insulin), disebut juga insulin
Regular
Masa kerja Sedang 1-2 6-12 18-24

Masa kerja Sedang, Mula kerja 0,5 4-15 18-24


cepat

Masa kerja panjang 4-6 14-20 24-36

penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan seringkali


memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu. Umumnya, pada

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 42


Henny Kasmawati dkk.

tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang,


kemudian ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk
mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin kerja singkat
diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang
umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk
suntikan subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi
penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan
campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin
kerja sedang (NPH). Waktu paruh insulin pada orang normal
sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang pada penderita diabetes
yang membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin
dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan
fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di
dalam darah (IONI, 2000).
Tabel 4. Profil beberapa sediaan insulin yang beredar di Indonesia
Nama Sedian Golongan Mula Kerja Puncak Masa Kerja Sediaan
(Jam) (Jam) (Jam)
Actrapid HM Masa 0,5 1-3 8 4 UI/ml
Kerja
singkat
Actrapid HM Masa 0,5 2-4 6-8 100
Penfill kerja UI/ml
singkat
Insulatard HM Masa 0,5 4-12 24 40
kerja UI/ml
sedang,
mula kerja
cepat

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 43


Henny Kasmawati dkk.

Insulatard HM Masa 0,5 4-12 24 100


penfil kerja UI/ml
sedang,
mula kerja
cepat
Monotard HM Masa 2,5 7-15 24 4 UI/ml
kerja dan 100
sedang, UI/ml
mula kerja
cepat
Portamin Zinc Kerja 4-6 14-20 24-36
Sulfat lama

c. Efek Samping Penggunaan Obat Hiperglikemia Oral


Tabel 5. Efek samping Antidiabetik (Kemenkes RI, 2012; Depkes
RI, 2005)
Obat Efek Samping
Antidiabetes
Metformin Dispepsia, diare, asidosis laktat, anoreksia, mual,
sakit perut, azotemia, muntah, sakit perut, gatal,
hepatitis, uritakaria, eritema
Glibenklamid Berat badan naik, hipoglikemik, mual, muntah,
sakit kepala, demam reaksi alergi, nyeri
epigastrium
Tiazololidindion Edema, gagal jantung
Acarbose Muntah, kembung, flatulens, kentut, kejang usus,

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 44


Henny Kasmawati dkk.

diare, hepatitis, edema, reaksi kulit


Tolbutamide Dehidrasi, infeksi saluran kemih, mual, muntah,
sakit kepala, tinnitus
Klorpropamida Hipoglikemia, reaksi kulit, hiponatremia,
Glimepirid Gangguan penglihatan sementara , mual, muntah,
perasaan penuh pada ulu hati, sakit perut, diare,
peningkatan enzim hati, kolestatis, jaundice,
hepatitis, gangguan hati, trombosittopenia,
leucopenia, anemia hemolitik, eritropenia,
granulositopenia, agranulositosis, pansitopenia,
reaksi alergi atau pseudoalergi
Glipizid Pusing, mengantuk, mual, muntah, sakit kepala,
alergi, diare, sembelit
Repaglinid Kejang, mual, muntah, demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, batuk, flu, penglihatan kabur
Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian obat
antidiabetes oral atau dengan obat yang lain maupun insulin.
Interaksi obat yang paling umum dengan obat antidiabetes oral
adalah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia sehingga
mengganggu kontrol diabetes (Baxter, 2008). Ada beberapa
contoh obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah
(hiperglikemia) dan menurunkan kadar glukosa darah
(hipoglikemia) sehingga memungkinkan adanya kebutuhan

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 45


Henny Kasmawati dkk.

peningkatan dosis obat antidiabetes oral yang diberikan.


Contoh-contoh obat tersebut dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.
Tabel 6. obat-obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia
(Depkes RI,2005)
Alkohol Kontrasepsi oral
Amidaron Fenotiazin
Asparaginase
Antipsikotik atipikal Preparat tiroid
Beta agonis Antidepresan trisiklik
Kafein Fentanil
Calcium chanel bloker Diuretika tiazid
Kortikosteroid Niasin dan asam nikotinat
Siklosporin Estrogen

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 46


Henny Kasmawati dkk.

Tabel 7. obat-obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia


(Depkes RI,2005)
Inhibitor moniamine
Asitaminofen
oksidase
Alkohol (akut) Norfloaxain
Steroid anabolic Pentamidin
Beta-blocker Fenobarbital
Biguanid Fenotiazid
Klorokuin Prazosin
Klofibrat Propoksifen
Disopiramida Kinin
Guanetidin Salsilat

Interaksi Obat
Pada penggunaan obat diabetes melitus terdapat beberapa
interaksi-interaksi yang merugikan dengan penggunaan obat
lain, seperti :

1. Antidiabetes + Antipsikotik
Klorpromazin merupakan obat golongan antipsikotik yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah, terutama dalam
dosis harian 100 mg atau lebih, dan mengganggu kontrol
diabetes (kejadian hiperglikemia adalah sekitar 25%). Dosis

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 47


Henny Kasmawati dkk.

klorpromazin yang lebih kecil dari 50 sampai 70 mg setiap


hari tampaknya tidak menimbulkan hiperglikemia.
2. Antidiabetes + Aspirin
Penggunaan obat antidiabetes dengan Aspirin dan salisilat
lainnya dapat menurunkan kadar glukosa darah, tetapi dengan
dosis kecil biasanya tidak memiliki efek buruk pada pasien
yang memakai obat antidiabetik. Dosis besar Salisilat
mungkin memiliki efek yang lebih signifikan.
3. Flukonazol
Flukonazol biasanya tidak mempengaruhi kontrol diabetes
pada kebanyakan pasien Sulfonilurea, namun laporan
terisolasi menggambarkan koma hipoglikemik dan agresif
perilaku berikut penggunaan secara bersama.
4. Antidiabetes + Beta bloker
Pada penderita diabetes menggunakan insulin, kenaikan gula
darah normal sebagai respons terhadap hipoglikemia dapat
terganggu oleh propranolol, tapi hipoglikemia serius dan
berat (kadang kala disertai dengan peningkatan tekanan
darah) nampaknya jarang terjadi. Penghambat beta lainnya
Biasanya berinteraksi sedikit banyak atau tidak sama sekali.
Efek penurunan glukosa darah Sulfonilurea mungkin bisa
dikurangi dengan beta blocker.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 48


Henny Kasmawati dkk.

5. Antidiabetes + Bosentan
Pada penggunaan obat antidiabetes tampaknya ada
peningkatan risiko toksisitas hati jika digunakan dengan
bosentan. Glibenklamid (glyburide) secara sederhana
mengurangi plasma Tingkat bosentan, dan bosentan
mengurangi kadar glibenklamid plasma (Glyburide).
6. Antidiabetes + Penghambat saluran kalsium
Penghambat saluran kalsium diketahui memiliki efek pada
sekresi insulin dan glukosa Regulasi, namun gangguan yang
signifikan dalam pengendalian diabetes tampaknya jarang
terjadi. Tidak ada tindakan pencegahan tertentu yang
biasanya perlu dilakukan, namun tetap memiliki potensi
interaksi dalam pikiran jika pengendalian diabetes
nampaknya sangat sulit.
7. Antidiabetes + kloramfenikol.
Efek penurunan glukosa darah dari tolbutamid dan
klorpropamida mungkin terjadi. Peningkatan kloramfenikol
dan hipoglikemia akut dapat terjadi sulphonylure lainnya
Sering diprediksi untuk berinteraksi sama, tapi sepertinya
tidak ada yang langsung. Bukti ini efek penurunan glukosa
darah yang meningkat harus diharapkan jika kedua obat
tersebut. Namun hanya sedikit pasien yang mengalami efek

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 49


Henny Kasmawati dkk.

parah. Pantau penggunaan bersamaan dengan hati-hati dan


kurangi dosis sulfonilurea seperlunya.
8. Antidiabetes + Kolestiramin Acarbose
Kolesstiramin dapat meningkatkan efek acarbose, dan efek
rebound bisa terjadi jika kedua obat tersebut berhenti
bersamaan. Pentingnya klinis efek kolestiramin pada
acarbose pada penderita diabetes adalah Tidak pasti, tapi
beberapa perawatan tampaknya tepat. Mungkin perlu
meningkatkan darah. Pemantauan glukosa jika penggunaan
bersamaan dimulai atau dihentikan Glipizide. Penyerapan
glipizide dapat dikurangi sekitar 30% jika dikonsumsi pada
waktu bersamaan sebagai colestyramine. Telah disarankan
bahwa glipizide harus diambil 1 sampai 2 jam sebelumnya
Colestyramine, tapi ini mungkin hanya sebagian efektif
karena glipizide mungkin menjalani beberapa resirkulasi
enterohepatik.
9. Antidiabetes + Kontrasepsi
Beberapa wanita mungkin memerlukan sedikit peningkatan
atau penurunan dosis antidiabetes mereka saat menggunakan
kontrasepsi oral, tapi tidak biasa mengendalikan diabetes
serius terganggu pemantauan rutin harus memadai untuk
mendeteksi adanya interaksi sebagai dampaknya.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 50


Henny Kasmawati dkk.

10. Antidiabetes + Kortikosteroid


Kortikosteroid dengan aktivitas glukokortikoid
(hiperglikemik) melawan darah. Efek penurunan glukosa dari
antidiabetes, hiperglikemia yang signifikan telah terjadi.
Terlihat dengan kortikosteroid sistemik, dan pada kasus
dengan kortikosteroid inhalasi atau highpotensi
kortikosteroid topikal. Rasanya bijaksana untuk
meningkatkan pemantauan glukosa darah saat kortikosteroid
Dimulai dan menyesuaikan pengobatan antidiabetes yang
sesuai. Pemantauan rutin Kortikosteroid lokal tampak terlalu
berhati-hati, namun sadarilah bahwa kasus terisolasi
Hiperglikemia telah dilaporkan
11. Antidiabetes + Digoksin
Beberapa penelitian menemukan bahwa tingkat plasma
digoksin bisa sangat nyata dikurangi dengan acarbose hanya
mengapa ada ketidak konsistenan antara laporan ini yang
tidak dimengerti.
12. Antidiabetes + Diuretik
Pengendalian diabetes biasanya tidak terganggu secara
signifikan oleh asam etakrilat, Furosemid, atau torasemide,
walaupun ada beberapa laporan yang menunjukkan etacrynic
tersebut Asam dan furosemid kadang bisa menaikkan kadar

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 51


Henny Kasmawati dkk.

glukosa darah. Dengan menaikkan kadar glukosa darah,


thiazide dan diuretik terkait dapat mengurangi efeknya Dari
antidiabetes dan gangguan pengendalian diabetes. Namun,
efek ini nampak dosis terkait, dan kurang sering pada dosis
rendah yang sekarang umum digunakan untuk hipertensi.
Hiponatremia jarang dilaporkan dengan kombinasi
chlorpropamide dengan thiazide dan potasium hemat
diuretik. Interaksi ini hanya kepentingan praktis moderat.
Pedoman terbaru tentang Pengobatan hipertensi pada diabetes
merekomendasikan penggunaan thiazides.
13. Antidiabetes + antagonis H2-reseptor
Simetidin tampaknya mengurangi pembersihan metformin,
dan mungkin telah berkontribusi Untuk kasus asidosis laktik
terkait metformin. Telah disarankan bahwa dosis metformin
mungkin perlu dikurangi jika Simetidin digunakan,
mengingat kemungkinan asidosis laktik jika kadar Menjadi
terlalu tinggi
14. Miglitol
Miglitol menurunkan AUC dari ranitidin sebesar 60%.
Signifikansi klinis dari efek ini tidak diketahui. Mungkin
bijaksana untuk memantau untuk kemanjuran ranitidin.
Sulphonylureas Simetamin dan ranitidin umumnya tidak

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 52


Henny Kasmawati dkk.

menyebabkan perubahan penting secara klinis pada


Farmakokinetik atau farmakodinamik sulfonilurea, meskipun
terisolasi. Kasus peningkatan kadar sulfonilurea dan
hipoglikemia telah terlihat.. Bukti menunjukkan bahwa
kebanyakan penderita diabetes tidak mengalami perubahan
yang ditandai Dalam kontrol diabetes mereka jika mereka
diberi simetidin. Namun, peringatan itu Simetidin mungkin
jarang dan tidak dapat diprediksi menyebabkan hipoglikemia
dapat membantu saat simetidin pertama kali dimulai.
C. Tata Laksana Terapi
 Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Tanpa Penyakit
Penyerta
Penatalaksanaan penyakit diabetes melitus tipe 2 tanpa
adanya penyakit penyerta dilakukan dengan memberikan obat
hiperglikemia oral, baik tunggal maupun kombinasi dengan
melihat kadar glukosa darah atau HbA1C pasien.
Monoterapi obat hiperglikemia oral yang menjadi
rekomendasi untuk pilihan terapi awal bagian pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 adalah metformin. Metformin merupakan salah
satu obat hipoglikemik oral golongan biguanid yang digunakan
sebagai monoterapi apabila pasien tidak memiliki kontraindikasi
dengan metformin. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 53


Henny Kasmawati dkk.

<7,5%maka pengobatan non farmakologis dengan


modifikasigaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C 3 bulan,
bilaHbA1C tidak mencapa target <7% maka dilanjutkan dengan
monoterapi oral.
Pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang menggunakan
terapi tunggal, apabila belum mencapai target kadar glukosa
darah (100-130 mg/dL) atau HbA1C (<7%) maka tahap
selanjutnya diberikan terapi tambahan obat hiperglikemik oral
(Depkes RI, 2005).Pasien yang melakukan pengobatan awal
dengan kadar HbA1C(>9%) atau kadar glukosa darah (>212
mg/dL) maka terapi awal yang direkomendasikan adanya
penambahan kombinasi 2 obat hiperglikemik oral, sedangkan
untuk pasien baru melakukan pengobatan awal dengan
peningkatan kadar HbA1C(>12-14 %) atau kadar glukosa darah
(>300-350 mg mg/dL) maka dimulai dengan terapi insulin
(ADA, 2015).
Pemberian kombinasi obat hiperglikemik oral dapat
diberikan dengan menggunakan tambahan sulfonilurea.
Penggunaan sulfonilurea generasi kedua lebih banyak digunakan
dibanding sulfonilurea golongan pertama karena memiliki efek
samping yang lebih rendah dan interaksi dengan obat lain yang
jarang terjadi (Katzung, 2004).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 54


Henny Kasmawati dkk.

Tabel 8. Golongan Sulfonilurea (Gunawan, 2012).


Generasi Nama obat
Generasi pertama Tolbutamid
Klorpropamid
Tolazamid
Generasi kedua Glibenkalmid
Glimepirid
Glipizid
Gliklazid

Apabila tambahan golongan sulfonilurea belum dapat


menurunkan kadar glukosa darah target maka dapat diganti
dengan obat hiperglikemik oral lainnya seperti thiazolinidion,
penghambat glukosidase alfa, pengambat DPP-IV. Pasien yang
telah menggunakan kombinasi 2 obat yang belum juga mencapai
target glukosa darah yang diharapkan maka pemberian
kombinasi 3 obat diperlukan atau bahkan sampai penambahan
insulin. Algoritma penatalaksanaan terapi dapat dilihat pada
Gambar 1.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 55


Henny Kasmawati dkk.

Gambar 1. Alogaritma pengobatan DM tipe 2

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 56


Henny Kasmawati dkk.

 Penatalaksanaan Penyakit Penyerta


Masalah utama bagi penderita DM adalah lebih dari 50
% penderita DM tidak mengetahui tentang penyakitdan
komplikasinya, sehingga tak jarangpara penderita datang lagi ke
rumahsakit dengan kadar glukosa darah tinggi disertai berbagai
penyakit penyerta lainnya seperti Hipertensi, Dislipidemia,
ulkus diabetik dan lain sebagainya.
Penyakit Hipertensi pada pasien diabetes mellitus adalah
komplikas imakroangiopati (kelainan pada pembuluh darah
besar) ini terjadi karena mengerasnya atau tidak elastisnya
pembuluh darah sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi
tinggi. Pada pengobatan pasien DM tipe 2 dengan penyakit
penyerta hipertensi sebaiknya mempertimbangkan pemberian
obat hipertensi golongan ACE Inhibitor dan menghindari
pemberian obat captopril. Pemberian obat hiperglikemia oral
dengan captopril secara bersamaan dapat mengakibatkan
peningkatkan potensi terjadinya hipoglikemi dan asidosis laktat.
Dalam hal ini terjadi interaksi obat reaksi antagonis karena
dengan diberikannya kombinasi metformin dengan captopril
tidak memberikan efek secara sinergis serta menghasilkan efek
kombinasi antara kedua obat antara metformin dengan captopril
yang lebih rendah dibandingkan efek masing-masing obat.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 57


Henny Kasmawati dkk.

Selain itu, keuntungan efek farmakologi yang dimiliki


metformin yaitu reaksi hipoglikemi yang rendah dalam
penanganan DM tipe 2 menjadi buruk dalam hal ini bila
dikombinasikan dengan captopril, metformin dapat berdampak
pada peningkatan potensi terjadinya hipoglikemi (Meryta dkk,
2015).
Selain hipertensi, penyakit lain yang menjadi penyakit
penyerta DM Tipe 2 adalah dislipidemia. Dislipidemia sering
menyertai diabetes mellitus, baik dislipidemia primer (akibat
kelainan genetik) maupun dislipidemia sekunder (akibat
diabetes mellitus, baik karena resistensi maupun defisiensi
insulin). Toksisitas lipid menyebabkan proses aterogenesis
menjadi lebih progresif. Lipoprotein akan mengalami perubahan
akibatperubahan metabolik pada diabetes mellitusseperti proses
glikasi serta oksidasi. Hal ini merupakan salah satu penyebab
penting meningkatnya risiko resistensi insulin yang kemudian
menjadi DM Tipe 2 (Setyaningrum, 2015). Pada pengobatan
pasien DM tipe 2 dengan penyakit penyerta dislipidemia
pemberian obatnya dengan menggunakan obat golongan statin.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 58


Henny Kasmawati dkk.

Tabel 8. Tatalaksana terapi penyakit penyerta


No. Keadaan Hindari Pertimbangkan
1. Fungsi ginjal - Acarbose - Glipizid
menurun - Asetohexamid - Glimepirid
- Klorpropamid - Tolazamid
- Gliburin - Tolbutamid
- Metformin - Insulin
- Repaglinid dan
Glitazon
2. Gangguan - Acarbose - Insulin
fungsi hati - Asetohexamid - Repaglinid
- Klorpropamid - Miglitol
- Gliburin
- Metformin
- Thiazolidineodion
3. Obes - Insulin - Acarbose
- Repaglinid - Miglitol
- Sulfonilurea - Metformin
- Thiazolidineodion
4. Hipoglikemi - Insulin - Acarbose
karena makan - Sulfonilurea (long - Metformin
tidak teratur acting) - Repaglinid
- thiazolidineodion
5. Hipertensi - Captopril - ACE-Inhibitor

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 59


Henny Kasmawati dkk.

BAB VI
KOMPLIKASI

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat


menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan
diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus
diwaspadai (Depkes, 2005).PERKENI (2015) menyatakan
bahwa komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis
penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-
kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat
dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang
kesadaran.apabila tidak segara ditolong dapat terjadi kerusakan
otak dan akhirnya kematian. Pada hipoglikemia, kadar glukosa
puasa.
asma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada
orang-orang tertentu yang sudah menunjukan gejala
hipoglikemia pada kadar glukosa plasma diatas 50 mg/dL.
Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 60


Henny Kasmawati dkk.

otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat


berfungsi bahkan dapat rusak. Hipoglikemia sering terjadi pada
penderita DM tipe 1, yangdapat dialami 1-2 kali perminggu.
Dari hasil suvai yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4%
kematian pada DM tipe 1 disebabkan karena serangan
hipoglikemia. Pada penderita DM tipe 2, serangan hipoglikemia
lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat
terapi insulin.
Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya
terjadi apabila penderita:
1) Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang, malam).
Makan terlalu sidikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh
dokter atau ahli gizi
2) Berolahraga terlalu berat
3) Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis yang terlalu
besar
4) Minum alkohol
5) Stress
6) Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan
resiko hipoglikemia

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 61


Henny Kasmawati dkk.

Disamping penyebab diatas pada penderita DM perlu


diperhatikan apabila mengalami hipoglikemik, kemungkinan
penyebabnya adalah:
a) dosis insulin yang berlebihan
b) saat pemberian yang tidak tepat
c) penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga
anaerobil berlebihan
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah
melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara
lain oleh stres, infeksi, dan konsumsi obat-obatan. Hiperglkemia
ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang
parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan
cepat, hiperglikemia dapat dicegah dan tidak menjadi parah.
Hiperglikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan
kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi dan infeksi
jamur pada vagina. Hperglikemia yang berlangsung lama dapat
berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berabahaya,
anatara lain ketoasidosis diabetik, (Diabetic Ketoacidosis) yang
keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian.
Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah
yang ketat.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 62


Henny Kasmawati dkk.

1) Komplikasi Kronik Jangka Panjang


Komplikasi kronik pada DM tipe 2 pada dasarnya terjadi
pada semua pembuluh darah diseluruh bagian tubuh (angiopati
diabetik). Angiopati diabetik terdiri atas makrovaskuler
(meningkatkan mortalitas) dan mikrovaskuler (meningkatkan
morbiditas) (PERKENI, 2011).
a) Makrovaskuler
1) Jantung koroner
Penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada pasien
DM tipe 2 adalah penyakit jantung koroner. Dimana
penderitanya dua sampai empat kali lebih beresiko terkena
penyakit jantung dari pada non DM. Mekanisme terjadinya
jantung koroner pada DM tipe 2 dikaitkan dengan adanya
aterosklerosis. Ateroklerosis adalah pengerasan dan
penebalan dinding pembuluh darah arteri akibat Plaque
dimulai dari lapisan inti bagian pembuluh darah paling dalam
yang kemudian meluas juga kelapisan media dari pembuluh
darah yang terjadi karena proses pengendapan lemak,
komplek karbohidrat dan produk darah, jaringan ikat dan
kalsium yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia, merokok, riwayat

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 63


Henny Kasmawati dkk.

keluarga dan penyakit jantung coroner dan obesitas (Yuliani,


2014).
2) Pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah diperifer atau ditangan dan
kaki yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD),
dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada
penderita DM daripada orang yang tidak menderita DM.
Denyut pembuluh darah dikaki terasa lemah atau tidak terasa
sama sekali. Bila DM berlangsung selama 10 tahun lebih,
sepertiga pria dan wanita dapat megalami kelainan ini.
Apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf
atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada
pembuluh darah jantung. Pada pasien yang mengalami
kerusakan pembuluh darah perifer, maka harus diajarkan
mengenai perawatan kaki yang memadai sehingga
mengurangi resiko luka dan amputasi (PERKENI, 2011).
3) Pembuluh darah otak
Penyakit pembuluh darah otak (stroke) terdapat kelainan
pada pembuluh darah otak sehingga aliran darah yang akan
menuju otak terhenti yang dpat menimbulkan kematian
sebagian jaringan otak secara medadak. Pada penderita DM

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 64


Henny Kasmawati dkk.

terjadi penghalangan pada arteri. Penghalangan ini dapat


mengakibatkan oksigen dan glukosa tidak bisa masuk ke otak
dan membuat sel-sel otak menjadi mati (Depkes, 2005).
b) Mikrovaskuler
1) Ulkus diabetikum
Penderita DM perlu memberi perhatian lebih pada
kesehatan kaki, karena DM dapat menimbulkan komplikasi
yang dikenal dengan istilah ulkus diabetikum. Terjadinya
ulkus diabetikum disebabkan beberapa faktor-faktor
timbulnya ulkus diabetikum adalah angiopati, neuropati, dan
infeksi. Neuropati merupakan faktor penting terjadinya ulkus
diabetikum. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan
terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan
sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi
nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa
terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki.
Gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi
otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan
ulsetrasi pada pada kaki pasien (Ndraha, 2014).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 65


Henny Kasmawati dkk.

2) Retinopati (Kerusakan mata)


Kerusakan pada mata terjadi karena retina tidak
mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang sangat
aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan
mengalami kerusakan progresif dalam struktur kapilernya,
membentuk mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-
bercak pendarahan. Terbentuk daerah-daerah infark yang
diikuti neovaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),
bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Pembuluh-pembuluh
baru dan tunas-tunas dari pembuluh lama berdinding tipis
menyebabkan aktivasi sistem inflamasi dan pembentukan
jaringan parut diretina yang menyebabkan kolapsnya kapiler
dan saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan (Corwin,
2009).
3) Nefropati (Kerusakan ginjal)
Kerusakan pada ginjal, bagian yang paling parah
mengalami kerusakan adalah kapiler glomerulus akibat
hipetensi dan glukosa plasma yang tinggi menyebabkan
penebalan membran basal dan pelebaran glomerulus. Lesi-
lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul kimmelstiel-
Wilson, terbentuk di glomerulus sehingga semakin
menghambat aliran darah dan akibatnya merusak nefron.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 66


Henny Kasmawati dkk.

Semakin lama seseorang terkena DM dan makin lama terkena


tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah
mengalami kerusakan ginjal (Corwin, 2009).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 67


Henny Kasmawati dkk.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2010. Diagnosis and


Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes
CareVol.33(1).
American Diabetes Association. 2011. Standard of Medical
Care in Diabetes Mellitus, Diabetes Care, Vol. 34 (1).
American Diabetes Association, 2015, Standard of Medical
Care in Diabetes Mellitus. Diabetes Care.Vol. 38(1).
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2013, Sulawesi
Tenggara.
BPOM, 2010, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor HM
04.01.1.23.09.10.9076 Tentang Pembekuan Izin Edar
Avandia, Avandaryl, dan Avandamet, Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesi, Jakarta.
Corwin, Elizabeth J., 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005,
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Jakarta.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 68


Henny Kasmawati dkk.

Dipiro, J.T., Talbert, LR. L., Yee, G. C., Matzke, G.R., Wells,
B.G., dan Posey, l.M., 2008, Pharmacoterapy: A
Phatophysiologyc Approach, 7th Edition, McGraw-Hill
Companies, Inc., USA
Fatimah R. N., 2012, Diabetes Melitus Tipe 2, J Majority, Vol.
4 (5).
Gunawan, 2012, Farmakologi dan Terapi. Jakarta
Kementrian Kesehatan RI, 2012, Formularium Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam, Jakarta
Mailangkay S., Mario K., dan Michael K., 2017, Hubungan
Motivasi Dan Dukungan Keluarga dengan Perawatan
Kaki Mandiri Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2, e-
Journal Keperawatan, Vol. 5 (1).
Meryta, Aries, dkk, 2015, Gambaran Interaksi Obat
Hipoglikemik Oral (OHO) dengan Obat Lain pada
Pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe II di Apotek
IMPHI Periode Oktober 2014 sampai Maret 2015,
Jurnal Ilmiah Manuntung¸Vol 1 (2).
Misnadiarly, 2006, Diabetes Melitus, Pustaka Populer Obor,
Jakarta.
Ndraha, S., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana
Terkini, Medicinus, Vol. 27 (2).

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 69


Henny Kasmawati dkk.

Perkeni, 2015, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan


Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Setyaningrum, Dewi Endah dan Zaenal A., 2015, Faktor Risiko
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diabetes Melitus
Tipe II Pada Usia Kurang dari 45 Tahun di RSUD
Tugurego Semarang, Jurnal Visikes, Vol 14 (2),
Semarang.
Tjay, T, H, dan Kirana, R., 2007,Obat-Obat Penting Edisi Ke Enam,
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Wiyono, P, dan Ignatia, S, M., 2004, Glimepiride Generasi Baru
Sulfonilurea, Dexa Medica, Vol. 2, No. 17.
Yuliani F., Fadil O., Detty I., 2014, Hubungan Berbagai Faktor
Risiko Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner
Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Jurnal
Kesehatan Andalas, Vol. 3(1)

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 70


Henny Kasmawati dkk.

Henny Kasmawati, S.Farm., M.Si., Apt


adalah dosen tetap pada Fakultas MIPA
Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi
Tenggara sejak tahun 2008. Dan dosen
tetap fakultas Farmasi Universitas Halu
Oleo pada tahun 2014 sampai sekarang.

Lulusan sarjana Farmasi Universitas Muslim


Indonesia tahun 2007, Lulus Profesi di Universitas Islam
Indonesia tahun 2008. Melanjutkan jenjang S2 di
Universitas InstitutTekhnologi Bandung pada tahun 2013.
Bidang yang ditekuni yaitu farmakologi, yaitu salah
satu bidang yang terkait dengan obat-obatan.
Beberapa jabatan yang telah ditekuni yaitu:
1. Pada tahun 2011, sebagai sekretaris Jurusan Farmasi
Universitas Halu Oleo
2. Pada tahun 2014-17, sebagai kepala Laboratorium
Fakultas farmasi Universitas Halu Oleo
3. Pada Tahun 2017, sebagai Wakil Dekan 2 Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo.

Pedoman Diabetes Melitus Tipe 2 71

Anda mungkin juga menyukai