Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Diabetes Mellitus Tipe 2

Disusun Sebagai Bagian dari Persyaratan Menyelesaikan

Program Internship Dokter Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan

Oleh:

dr. Ahmad Zaki Hafizi

Penulis Pembantu

dr. Dewi Ayu Rinjani

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAS SELATAN

PUSKESMAS MARTAPURA TIMUR

2023

1
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL 1

2. DAFTAR ISI 2

3. BAB I: PENDAHULUAN 3

4. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 5

5. BAB III: DATA PASIEN 24

6. BAB IV: PEMBAHASAN 30

7. BAB V: PENUTUP 35

8. DAFTAR PUSTAKA 36

2
BAB I

PENDAHULUAN

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medis berupa peningkatan kadar

glukosa darah melebihi normal yang menjadi karakteristik beberapa penyakit

terutama diabetes melitus di samping berbagai kondisi lainnya. Diabetes melitus

(DM) saat ini menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Berdasarkan

penyebabnya, DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu DM tipe 1,

DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lain. Pada pedoman ini, hiperglikemia

yang dibahas adalah yang terkait dengan DM tipe 2. Berbagai penelitian

epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi

dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Organisasi WHO

memprediksi adanya peningkatan jumlah pasien DM tipe 2 yang cukup besar

pada tahun-tahun mendatang. Badan kesehatan dunia WHO memprediksi

kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000

menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi International Diabetes

Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2019 - 2030 terdapat

kenaikan jumlah pasien DM dari 10,7 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.

3
Menurut laporan terbaru milik International Diabetes Federation (IDF)

yang rilis beberapa waktu lalu, Indonesia tercatat menjadi salah satu negara

pengidap diabetes terbanyak, yaitu urutan ke-5 di dunia.

Di Indonesia, penyakit diabetes merupakan salah satu penyakit

mematikan yang cukup populer. Diketahui diabetes berada di peringkat ke- 3

sebagai penyakit yang paling banyak dialami masyarakat Indonesia. Lebih lanjut,

berdasarkan data klaim pasien Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan, diabetes juga berada dalam salah satu dari kelima penyakit paling

umum yang terjadi di Indonesia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya

hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ pancreas

untuk memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel

target tersebut. Abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein yang ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi

dikarenakan kurangnya aktivitas insulin pada sel target.1

B. Klasifikasi

Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Dekstruksi sel beta pancreas : autoimun, idiopatik
Tipe 2 Resistensi insuli, defisiensi insulin, defek sekresi
Gestasional Diabetes pada trimester 2 atau 3 kehamilan dimana
sebelumnya tidak ada diabetes
Tipe spesifik Penyakit eksokrin pancreas ( fibrosis kistik, pancreatitis
Penggunaan obat atau zat kimia (glukokortikoid)
C. Faktor Risiko terjadinya Stroke

1. Keturunan (Genetik)

Faktor keturunan atau genetik punya kontribusi yang besar dalam

meningkatnya resiko diabetes mellitus. Diabetes dapat diturunkan oleh

keluarga sebelumnya yang memiliki riwayat penyakit yang sama. Kelainan

pada gen ini dapat mengakibatkan tubuh tidak dapat memproduksi

insulin.2

2. Obesitas

Obesitas dan peningkatan berat badan pada orang dewasa dianggap

menjadi salah satu faktor risiko yang paling penting untuk diabetes

mellitus tipe-2. Obesitas menyebabkan terjadinya peningkatan masa

5
adipose yang dihubungkan dengan resistensi insulin yang akan

mengakibatkan terganggunya proses penyimpanan lemak dan sintesa

lemak.3

3. Usia

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi diabetes

mellitus meningkat seiring dengan pertambahan usia. Sekitar 50% lansia

mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal.

Diabetes mellitus sering muncul pada usia lanjut pada usia lebih dari 45

tahun dimana sensitifitas insulin berkurang.2

4. Hipertensi (Tekanan darah tinggi)

Hipertensi telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama untuk

pengembangan diabetes. Penderita hipertensi memiliki risiko 2-3 kali lebih

tinggi terkena diabetes dibandingkan pasien dengan tekanan darah

normal.Hipertensi adalah kondisi umum yang biasanya berdampingan

dengan diabetes mellitus dan memperburuk komplikasi diabetes mellitus

dan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.4

5. Merokok

Merokok dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam

risiko diabetes. Merokok merupakan faktor risiko independen dan

dimodifikasi untuk diabetes. Berhenti merokok dikaitkan dengan

penambahan berat badan dan peningkatan berikunya dalam risiko

diabetes.2

6. Ras

6
Ada beberapa ras manusia di dunia ini yang punya potensi tinggi

untuk terserang diabetes melitus. Peningkatan penderita diabetes di

wilawah Asia jauh lebih tinggi dibanding di benua lainnya. Bahkan

diperkirakan lebih 60% penderita berasal dari Asia.2

D. Patofisiologi

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta

pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM

tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta

terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak

(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa

pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan

otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan

toleransi glukosa.5

Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,

hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis

pasien DM tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang berperan, disebut sebagai

the egregious eleven.5

Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini

(egregious eleven) perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini

memberikan konsep:5

a. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis,

bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.

b. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja

7
obat sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.

c. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau

memperlambat progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi

pada pasien gangguan toleransi glukosa.

SUMBER6 : Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification system for

diabetes rationale and implications of the cell- centric classification schema.

Diabetes Care. 2016; 39: 179 - 86

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal

(egregious eleven) yaitu: 5

1. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah

sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah

sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan

penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).

2. Disfungsi sel alfa pancreas

Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam

hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada

8
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma

akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati

(hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara

bermakna dibanding individu yang normal.

Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat

reseptor glukagon meliputi GLP-1 receptor agonist (GLP-1 RA),

penghambat DPP-4 dan amilin.

3. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas

(free fatty acid/FFA) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang

proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hepar dan

otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan

oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini

adalah tiazolidinedion.

4. Otot

Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi

tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot,

penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang

bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.

5. Hepar

Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan

memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal

9
oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja

melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.

6. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu

yang obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia

yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada

golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi

insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah

GLP-1 RA, amilin dan bromokriptin.

7. Colon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam

keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM

tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya

sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang menjadi DM.

Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani

keadaan hiperglikemia.

8. Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar

dibanding bilar diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek

inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1

(GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut

juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada pasien DM tipe 2

didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP. Hormon

inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga

10
hanya bekerja dalam beberapa menit.

Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah penghambat

DPP-4. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan

karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan memecah

polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus

sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang

bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah

acarbosa.

9. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam

patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa

sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap

kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter -2 (SGLT- 2)

pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan

diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter -1 (SGLT-1) pada

tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam

urin.

Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2,

sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal

dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang

menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali

glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin.

Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin,

empaglifozin, dan canaglifozin adalah contoh obatnya.

11
10. Lambung

Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi

kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan

percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di

usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa

postprandial.

11. Sistem Imun

Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut

(disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi

sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis

DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan

aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi

stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk

insulin.

E. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah dan HbA1c. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.

Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai

keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan adanya DM perlu

dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: 5

1. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

12
sebabnya.

2. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada

wanita.

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus5

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau
krisis hiperglikemia.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi


oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and Complications Trial assay (DCCT)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau

kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi

toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu

(GDPT). 5

1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan

glukosa plasma puasa antara 100 − 125 mg/dL dan

pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140mg/dL.

2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan

13
glukosa plasma 2- jam setelah TTGO antara 140 − 199 mg/dL

dan glukosa plasma puasa <100 mg/dL

3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.

4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7−6,4%.

Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan

Prediabetes

HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam


setelah puasa (mg/dL) TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200


Pre-Diabetes 5,7 − 6,4 100 − 125 140 − 199
Normal < 5,7 70 − 99 70 − 139
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis

DM tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak

menunjukkan gejala klasik DM yaitu

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT]

≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko

sebagai berikut:

 Aktivitas fisik yang kurang.

 First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM

dalam keluarga).

 Kelompok ras/etnis tertentu.

 Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan

BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus

gestasional (DMG).

 Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi

14
untuk hipertensi).

 HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.

 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

 Riwayat prediabetes.

 Obesitas berat, akantosis nigrikans.

 Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas. Catatan: Kelompok

risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal

sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok

prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

3. Pada keadaan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka

pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa

darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

F. Komplikasi

Secara umum komplikasi daripada diabetes mellitus dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Komplikasi Macrovaskular

Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai

pembuluh darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan

atherosklerosis. Akibat atherosklerosis antara lain timbul penyakit

jantung koroner, hipertensi, dan stroke. Komplikasi makrovaskular

yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit

jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh

darah perifer. Komplikasi makrovaskular ini sering terjadi pada

15
penderita diabetes mellitus tipe-2 yang umumnya menderita hipertensi,

dislipidemia dan atau kegemukan.7

2. Komplikasi Microvaskular

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita

diabetes mellitus tipe-1. Hiperglikemia yang persisten dan

pembentukan protein yang terglikasi menyebabkan dinding pembuluh

darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada

pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya

komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati,

dan neuropati.7

G. Penatalaksanaan

Tujuan daripada penatalaksanaan diabetes mellitus adalah untuk

meningkatkan tingkat daripada kualitas hidup pasien penderita diabetes

mellitus, mencegah terjadinya komplikasi pada penderita, dan juga

menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit diabetes mellitus.

Penatalaksanaan diabetes mellitus dibagi secara umum menjadi lima yaitu: 5

1. Edukasi

Diabetes mellitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan

perilaku telah terbentuk dengan kuat. Keberhasilan pengelolaan

diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan

masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,

dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan

dan motivasi. Edukasi merupakan bagian integral asuhan perawatan

16
diabetes. Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan

penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.

Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang

memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan

evaluasi.

Edukasi terhadap pasien diabetes mellitus merupakan pendidikan

dan pelatihan yang diberikan terhadap pasien guna menunjang

perubahan perilaku, tingkat pemahaman pasien sehingga tercipta

kesehatan yang maksimal dan optimal dan kualitas hidup pasien

meningkat.5

2. Terapi Nutrisi Medis (Diet)

Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes

memperbaiki kebiasaan aktivitas sehari-hari untuk mendapatkan kontrol

metabolik yang lebih baik, mempertahankan kadar glukosa darah

mendekati normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal,

memberikan energi yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan

berat badan yang memadai dan meningkatkan tingkat kesehatan secara

keseluruhan melalui gizi yang optimal. Standar dalam asupan nutrisi

makanan seimbang yang sesuai dengan kecukupan gizi baik adalah

sebagai berikut: 5

a. Protein : 10 – 20 % total asupan energi

b. Karbohidrat : 45 – 65 % total asupan energy

c. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori, tidak

boleh melebihi 30 % total asupan energi

17
d. Natrium : < 2300 mg perhari

e. Serat : 20 – 35 gram/hari

Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan

makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah

diagnosis, serta makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya atau

denganmakanan keluarga. Jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh

disesuaikan dengan faktor-faktor jenis kelamin, umur, aktivitas fisik,

stress metabolic, dan berat badan. Untuk penentuan status gizi, dipakai

penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai dalam

penghitungan adalah IMT = BB(kg)/TB(m2). 5

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani dilakukan

teratur sebanyak 3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 - 45 menit,

dengan total kurang lebih 150 menit perminggu. Latihan jasmani

dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap

insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan

jasmani yang dimaksud ialahjalan, bersepeda santai, jogging,

berenang.5

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status

kesegaran jasmani. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar

glukosa darah sebelum melakukan kegiatan jasmani. Jika kadar glukosa

darah <100 mg/dl pasien dianjurkan untuk menkonsumsi karbohidrat

terlebih dahulu, jika kadar glukosa darah 90-250 mg/dL, tidak

diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifitas dan respons

18
individual). dan jika >250 mg/dl dianjurkan untuk tidak melakukan

aktivitas jasmani.5

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pola pengaturan

makanan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat

hipoglikemik oral dan injeksi insulin. Pemberian obat oral atau dengan

injeksi dapat membantu pemakaian gula dalam tubuh penderita

diabetes.5

5. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Golongan sulfonilurea dapat menurunkan kadar gula darah secara

adekuat pada penderita diabetes tipe-2, tetapi tidak efektif pada diabetes

tipe-1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan

klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara

merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan

efektivitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi

pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya

sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di

dalam usus. Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada

penderita diabetes tipe-2 jika diet dan oleh raga gagal menurunkan

kadar gula darah dengan cukup.5

6. Injeksi Insulin

Terapi insulin digunakan ketika modifikasi gaya hidup dan obat

hipoglikemik oral gagal untuk mengontrol kadar gula darah pada

pasien diabetes.Pada pasien dengan diabetes tipe-1, pankreas tidak

19
dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin

pengganti.Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan,

insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan

per- oral.Ada lima jenis insulin dapat digunakan pada pasien dengan

diabetes mellitus berdasarkan pada panjang kerjanya. Ada Insulin

Kerja Cepat, Kerja Pendek, Kerja Menengah, Kerja Panjang, dan

Campuran.5

7. Pemantauan Kadar Glukosa

Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus

dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Tujuan utama dalam pengelolaan pasien diabetes adalah

kemampuan mengelola penyakitnya secara mandiri, penderita diabetes

dan keluarganya mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara

cepat dan tepat karena pemberian insulin tergantung kepada kadar

20
glukosa darah. Dari beberapa penelitian telah dibuktikan adanya

hubungan bermakna antara pemantauan mandiri dan kontrol glikemik.

a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui

apakah sasaran terapi telah tercapai dan untuk melakukan

penyesuaian dosis obat, bila sasaran terapi belum tercapai.

Waktu pelaksanaan glukosa darah pada saat puasa, 2 jam

setelah makan, atau secara acak berkala sesuai dengan

kebutuhan. Frekuensi pemeriksaan dilakukan setidaknya satu

bulan sekali.

b. Pemeriksaan HbA1c

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat

sebagai HbA1c), merupakan cara yang digunakan untuk

menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Jadi

untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi,

HbA1c diperiksa setiap 3 bulan.

Pada pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai

kendali glikemik yang stabil HbA1c diperiksa paling sedikit 2

kali dalam 1 tahun. HbA1c tidak dapat dipergunakan sebagai

alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia,

hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 − 3 bulan terakhir,

keadaan lain yang memengaruhi umur eritrosit dan gangguan

fungsi ginjal. Karena keterbatasan pemeriksaan HbA1c akibat

21
faktor − faktor di atas, maka terdapat cara lain seperti

pemeriksaan glycated albumin (GA) yang dapat dipergunakan

dalam pemantauan.

c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan

menggunakan darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat

pengukur kadar glukosa darah dengan menggunakan reagen

kering yang sederhana dan mudah dipakai.

PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik

insulin beberapa kali perhari atau pada pengguna obat pemacu

sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,

tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya

terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan

adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk

menilai ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk

menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk

menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa

gejala)

22
BAB III

DATA PASIEN

I. DATA PRIBADI

Nama : Tn. A

Umur : 31 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Guru

Alamat : Dalam Pagar Ulu

Tanggal Kunjungan : 11 Oktober 2022

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Pasien datang untuk meminta rujukan hasil lab

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli umum Puskesmas Martapura Timur dengan

tujuan untuk perujukan poli endokrin karena hasil lab. Pasien memang rutin

berobat DM dengan status PRB. Riwayat keluhan pasien 1 bulan terakhir,

seperti sering kencing (+), sering minum (+), sering makan disangkal, dan

pasien mengatakan makan masih dalam batas wajar dan cendrung sedikit

karena kesibukan mengajarnya. Kesemutan dirasakan terkadang apalagi saat

duduk lama, badan terasa lemah kadang-kadang. Pasien sudah dari tahun

23
2018 mengonsumsi obat diabetes berupa metformin tapi kurang patuh

minum obat, pada tahun 2019 pasien dirujuk ke poli endokrin dan mendapat

terapi insulin namun tidak diteruskan lagi.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

- Diabetes melittus (+), Hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

- Dari keluarga pasien yang menderita penyakit diabetes

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Kondisi Umum : Baik

Kesadaran : Somnolen

GCS : E4V5M6 Tensi : 100/80 mmHg

Nadi : 86 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 36,6 o‫ﹾ‬C

Antropometri : BB/TB: 38/156 BMI: 15.6

Kepala/Leher :

- Mata : Kongjungtiva anemis (-/-) , sklera tidak ikterik (-/-),

pupil bulat-isokor.

- Leher : KGB tidak membesar

Thoraks

- Paru

- inspeksi : simetris

- palpasi : fremitus vocal simetris

- perkusi : sonor

24
- auskultasi : vesikuler +/+

ronki -/-

wheezing -/-

- Jantung

- Irama : reguler

- inspeksi : iktus tak tampak

- palpasi : Iktus kordis teraba Midclavicula sinistra ICS 5

- perkusi : tidak dilakukan

- auskultasi : S1/S2 tunggal, Gallop (-), murmur (-)

Abdomen : Tampak datar, tidak teraba pembesaran hepar, lien dan

massa, bising usus normal.

Ekstremitas : Tidak ada atropi kanan kiri, edema(-/-)

IV. Hasil Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium ( 16 Juli 2022)

BTA sputum : negative

GDP : 210

Pemeriksaan laboratorium ( 21 september 2022)

Pemerksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


GDP 248 <100 Mg/dL
HbA1c 11 <5.7 %
Ur/cr 19/0.66 98-107 Mg/dL
Rasio 296.24 <30 ug/mg
albumin- Kreatinin
kreatinin urin
V. DIAGNOSIS

Diabetes mellitus tipe 2

E. TERAPI

25
Metformin 3 x 500 mg

Glibenclamide 5 mg 1-0-0

Vitamin B complek 1x1

Diet rendah gula

Rujuk poli endokrin

Planning: cek HbA1C per 3 bulan

F. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

G. FOLLOW UP

14/ Oktober / 2022

S) pasien datang ke RS karena rujukan

O)

TD: 102/82 mmHg N: 89 x/mnt RR:20 x/mnt

T: 36.6 OC BB/TB:38/156 IMT: 15.6


Pemeriksaan fisik:

Kepala : dbn

Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas : dbn

A) DM tipe 2

P) insulin Aspart (novorapid) 10-10-10

Insulin detemir (levemir) 0-0-14

26
Aspirin 80 mg 1x1

11/ November/ 2022

S) tidak ada keluhan

O)

TD: 110/70 mmHg N: 60 x/mnt RR:20 x/mnt

T: 36.6 OC BB/TB: 38/156 IMT: 15.6


Pemeriksaan fisik:

Kepala : dbn

Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas : dbn

GDP: 300

B) DM tipe 2

P) insulin Aspart (novorapid) 14-14-14

Insulin detemir (levemir) 0-0-16

Aspirin 80 mg 1x1

12/ Desember/ 2022

S) pasien merasakan sering lemas, pasien tidak teratur makan

O)

TD: 116/74 mmHg N: 82 x/mnt RR:20 x/mnt

T: 36.6 OC BB/TB: 39/156 IMT: 16


Pemeriksaan fisik:

Kepala : dbn

27
Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas : dbn

GDP 224

Ur/cr: 30/ 0.65

A) DM tipe 2

P) insulin Aspart (novorapid) 6-6-6

Insulin detemir (levemir) 0-0-16

Aspirin 80 mg 1x1

13 / Januari / 2022

S) tidak ada keluhan

O)

TD: 103/66 mmHg N: 99 x/mnt RR:20 x/mnt

T: 36.6 OC BB/TB: 39/156 IMT: 16


Pemeriksaan fisik:

Kepala : dbn

Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas : dbn

GDP: 102

GD2PP: 219

A) DM tipe 2

P) insulin Aspart (novorapid) 6-6-6

Insulin detemir (levemir) 0-0-16

28
Aspirin 80 mg 1x1

9/ Februari/ 2023

S) tidak ada keluhan, pasien datang untuk cek lab ulang

O)

TD: 113/66 mmHg N: 87 x/mnt RR:20 x/mnt

T: 36.6 OC BB/TB: 40/156 IMT: 16.4


Pemeriksaan fisik:

Kepala : dbn

Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas : dbn

GDP: 102

GD2PP: 219

B) DM tipe 2

P) insulin Aspart (novorapid) 6-6-6

Insulin detemir (levemir) 0-0-16

Aspirin 80 mg 1x1

Pemerksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


GDP 236 <100 Mg/dL
HbA1c 11 <5.7 %
Rasio albumin- 125.13 <30 ug/mg
kreatinin urin Kreatinin

29
BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan pada pasien di poli Umum

Martapura Timur atas nama Tn. A, usia 31 tahun, dari anamnesis didapatkan

keluhan sering kencing dan sering minum, dengan riwayat pengobatan DM sejak

tahun 2018 namun tidak teratur. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan dalam

batas normal, dan penunjang dengan hasil GDP: 248, HbA1c: 11, rasio albumin-

kreatin urin: 296.25

Menurut Perkeni, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit

metabolic dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin, atau keduanya.

Diagnosis diabetes dapat ditegakkan dengan kriteria hasil lab sebagai

berikut

30
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau
krisis hiperglikemia.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi


oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and Complications Trial assay (DCCT)

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa pasien menderita

diabetes mellitus dengan hasil pemeriksaan terdapat gejala klasik berupa sering

minum, dan sering kencing, GDP: 248, HbA1c: 11. Walaupun trias klasik DM

tidak terpenuhi dengan beracuan pada GDP dan HbA1c maka diagnosis dapat

dibuat.

Terdapat beberapa faktor risiko yang ditemui pada pasien yaitu keturunan

dan ras. Orang tua dengan diabetes akan meningkatkan risiko terjadinya diabetes

pada anaknya hal ini berkaitan dengan yang diturunkan serta pola asuh yang

diberikan. Sedangkan ras asia dilaporkan menyumbangkan sekitar 60% penderita

dari total penderita seluruh dunia.

31
Pada pasien ini diterapi dengan insulin detemir (levemir) 0-0-16, insulin

aspart (novorapid) 6-6-6 dan aspirin 80 mg. Hal ini sesuai dengan teori pada kasus

diabetes mellitus akan diberikan insulin injeksi pada keadaan HbA1c >9.

32
30
31
Dosis awal insulin basal sebesar 10 unit atau 0.2 unit/KgBB/hari – 0.50

unit/KgBB/hari, jika HbA1c belum mencapai target (7%) dengan dosis insulin

basal telah mencapai >0.5 unit/KgBB/hari, maka perlu dilakukan intensifikasi

dengan insulin prandial 1 kali dosis → 2 kali dosis → 3 kali dosis (penambahan

prandial menyesuaikan nilai GD pre-prandial tertinggi dalam 1 hari).8

Pemberian dosis insulin detemir yang dinaikkan dari 14 menuju 16 didasarkan

pada perlunya menurunkan gula darah basal setelah evaluasi gula ternyata kurang

menunjukkan hasil yang diinginkan, sedangkan penyesuaian dosis insulin aspart

dari 10 menuju 14 dirasa perlu setelah evaluasi gula darah masih menunjukkan

angka 300, namun setelah evaluasi bulan selanjutnya pasien menyatakan merasa

lemas dan mengaku tidak rutin makan serta gula darah menurun menjadi 224

sehingga dosis insulin prandial diturunkan menjadi 3x6 unit.

Aspirin 80 mg diberikan sesuai teori aspirin 75-165 mg/hari perlu

diberikan sebagai strategi pencegahan sekunder terjadinya kejadian

kardiovaskular bagi pasien DM.5

Pemantauan evaluasi gula darah basal dan prandial sebaiknya dilakukan

untuk evaluasi dosis insulin yang diberikan, HbA1c setiap 3 bulan untuk

memantau hasil terapi.8

Kadar albumin-kreatinin urin 296.25 merupakan tanda dini nefropati

diabetic pada DM tipe 2, penatalaksanaan keadaan ini meliputi optimalisasi

control glukosa, optimalisasi control hipertensi, pengurangan diet protein tidak

direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik, terapi ace inhibitor

juga tidak diperlukan.8

32
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Tn. A, umur 31 tahun yang datang dengan

keluhan sering kencing, sering minum, kadar gula darah puasa 248, HbA1c 11,

albumin-kreatin urin 296.24, sebelumnya pasien sudah berobat DM sejak 2018

namun tidak terlalu patuh, sehingga datang lagi dengan kadar gula puasa yang

tinggi. Pasien dirujuk ke poli endokrin dan mendapatkan terapi insulin.

33
DAFTAR PUSAKA

1. Kerner, W. and Brückel, J. (2014). Definition, Classification and Diagnosis


of Diabetes Mellitus. Exp Clin Endocrinol Diabetes, 122(07), pp.384-386.

2. Choi, B. and Shi, F. (2001). Risk factors for diabetes mellitus by age and
sex: results of the National Population Health Survey. Diabetologia, 44(10),
pp.1221-1231.

3. Daousi, C. (2006). Prevalence of obesity in type 2 diabetes in secondary


care: association with cardiovascular risk factors. Postgraduate Medical
Journal, 82(966), pp.280-284.

4. Bays, H., Chapman, R. and Grandy, S. (2007). The relationship of body


mass index to diabetes mellitus, hypertension and dyslipidaemia:
comparison of data from two national surveys. International Journal of
Clinical Practice, 61(5), pp.737-747.

5. PERKENI, (2021). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia. Jakarta.

6. Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification system for
diabetes rationale and implications of the cell- centric classification
schema. Diabetes Care. 2016; 39: 179 - 86.

7. Fowler, M. (2011). Microvascular and Macrovascular Complications of


Diabetes. Clinical Diabetes, 29(3), pp.116-122.

8. PERKENI. Pedoman Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes


Mellitus 2021. Pb Perkeni. Published online 2021:32-39.

34

Anda mungkin juga menyukai