Anda di halaman 1dari 35

TUGAS KEPERAWATAN ENDOKRIN II

“Evidence Based Nursing Terkait Intervensi dan Implikasi Keperawatan serta Skrining
atau Deteksi Dini pada Diabetes Mellitus Type 2”

Fasilitator:
Ika Nur Pratiwi, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun Oleh:
Kelompok 4 Kelas A2 2015
Dinda Salmahella 131511133039
Rizka Maudy Julianti 131511133051
Umi Nafiatul Hasanah 131511133053
Nensi Nur Asipah 131511133055
Ika Septiana Arum P. D. 131511133065
Rahmadanti Nur Fadilla 131511133074
Rifki Fauzi Maulida 131511133126

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas yang berjudul “Evidence Based Nursing
Terkait Intervensi dan Implikasi Keperawatan serta Skrining atau Deteksi Dini pada Diabetes
Mellitus Type 2”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Keperawatan Endokrin II di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga,
Surabaya.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini banyak mengalami
kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari
Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Selanjutnya
ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:

1. Ika Nur Pratiwi, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku fasilitator mata kuliah Keperawatan
Endokrin II Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga;
2. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.

Dalam penulisan makalah, penulis merasa masih ada kekurangan baik pada penulisan
maupun isi materi makalah ini. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari
semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini.

Surabaya, 2 Desember 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri
hiperglikemi dengan patofisiologi dasar mencakup skresi insulin yang terganggu,
resistensi insulin perifer dan pembentukkan glukosa yang berlebihan oleh hepar. Menurut
American Association of Clinical Endocrinologist tahun 2011, kriteria diagnosis dari
diabetes mellitus meliputi glukosa darah puasa 8 jam lebih dari atau sama dengan 126
mg/dL, glukosa darah plasma 2 jam setelah administrasi 75 gr glukosa oral lebih dari atau
sama dengan 200 mg/dL, terdapat gejala hiperglikemi tidak terkontrol, polidipsi, polifagia
dan poliuria ditambah glukosa darah plasma sewaktu lebih dari atau sama dengan 200
mg/dL dan kadar HbA1c 6,5% atau lebih (AACE, 2011).
Prevalensi penyakit ini meningkat di setiap negara dan meningkat dua kali lipat
dalam waktu 25 tahun berdasarkan survey International Diabetes Federation (IDF) tahun
2013. Terdapat 382 juta (8,3%) orang dewasa di seluruh dunia yang menderita diabetes.
Diperkirakan 80% penderita DM tinggal di negara dengan penghasilan rendah dan
menengah. Perkembangan diabetes di Asia Tenggara terlihat pesat dibanding daerah
lainnya. Asia Tenggara dan Afrika merupakan kawasan dengan pengeluaran biaya
kesehatan DM paling sedikit yaitu kurang dari 1% dari seluruh biaya kesehatan total di
dunia (IDF, 2013). Prevalensi DM di Indonesia sebesar 8,5 juta penderita pada tahun
2013. Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi prevalensi dengan
penderita DM (Riskesdas, 2013).
Diabetes mellitus tipe 2 dapat berkembang tanpa disadari dan tanpa terdiagnosis
selama bertahun-tahun sehingga penderita tidak menyadari komplikasi jangka panjang
dari penyakit yang dideritanya. Abbas et al. (2013) menyatakan bahwa patogenesis
komplikasi jangka panjang DM adalah multifaktorial, walaupun hiperglikemia persisten
(glukotoksisitas) tampaknya menjadi mediator utama. Komplikasi DM meliputi
kerusakan di berbagai organ salah satunya sistem saraf pusat. Gula darah tinggi
menyebabkan penyakit serebrovaskuler. Salah satu dampaknya berupa penurunan fungsi
kognitif. Gangguan fungsi kognitif dapat berkembang menjadi demensia. Biessels et al.
(2006) menjelaskan risiko demensia meningkat pada pasien DM baik tipe Alzheimer
Disease maupun Vascular Dementia. Gangguan fungsi kognitif berkembang secara
progresif yaitu kehilangan memori dan fungsi intelektual. Efek 3 jangka panjang
komplikasi ini mempengaruhi kualitas hidup (quality of life), aktivitas sehari-hari akan
terganggu sehingga menurunkan produktivitas kerja dan menimbulkan ketergantungan
kepada orang lain.
Oleh karena itu, kami ingin membahas mengenai tatalaksana berdasarkan
Evidence Based Nursing terkait intervensi dan implikasi keperawatan serta skrining atau
deteksi dini yang dapat dilakukan pada pasien Diabetes Mellitus Type 2 dengan tepat.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana konsep dasar secara keseluruhan dari Diabetes Mellitus Type 2?
1.2.2 Bagaimana intervensi, implikasi keperawatan dan skrining atau deteksi dini yang
dapat dilakukan perawat untuk melakukan penatalaksanaan dengan tepat pada
pasien DM Type 2 berdasarkan Evidence Based Nursing yang didapatkan dari
jurnal-jurnal terkini?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar secara keseluruhan dari Diabetes Mellitus Type
2.
1.3.2 Untuk mengetahui intervensi, implikasi keperawatan dan skrining atau deteksi
dini yang dapat dilakukan perawat untuk penatalaksanaan pasien DM Type 2
berdasarkan Evidence Based Nursing yang didapatkan dari jurnal-jurnal terkini.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Praktis
1. Makalah ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara mendalam
tentang konsep dasar Diabetes Mellitus Type 2.
2. Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi bagi
para pembaca khususnya mengenai intervensi, implikasi keperawatan dan
deteksi dini yang tepat dilakukan oleh perawat dalam menangani klien dengan
Diabetes Mellitus Type 2.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Diabetes mellitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta. Diabetes mellitus tipe
2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar
insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 disebut sebagai Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Diabetes mellitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merepon insulin secara normal,
keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi
akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2
dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.

2.2 Etiologi
Diabetes mellitus tipe 2 disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun
absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.

2.3 Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi DM Tipe 2, antara lain :
a. Kelainan genetik
b. Usia
DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat
badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis untuk
meningkatkan kadar lemak serotonin otak. Serotonin ini mempunyai efek penenang
sementara untuk meredakan stressnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagi mereka
yang beresiko mempunyai penyakit DM tipe 2.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe 2 terjadi obesitas yang dapat mengakibatkan gangguan kerja
insulin (resistensi insulin). Obesitas menunjukkan gula darah yang disimpan didalam
tubuh sangat berlebihan.

2.4 Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan, yaitu resistensi
insulin dan disfungsi sel B pankreas. Resistensi insulin menyebabkan turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan
untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsan sekresi insulin lain, yang
artinya sel beta pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala pada pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dibedakan menjadi :
a. Gejala akut : poliphagia, polidipsia, poliuria, nafsu makan bertambah namun berat
badan turun dengan cepat, mudah lelah.
b. Gejala kronik : kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk jarum, kebas di
kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan kabur, gigi mudah goyah dan
lepas, kemampuan seksual menurun, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau
kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksaan pada diabetes mellitus tipe 2 adalah untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas DM. untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%.
2. Exercise (latihan fisik atau olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah
raga ringan jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang
gerak atau bermalasmalasan.
3. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan kesehatan
pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi.
Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
4. Obat-obatan Diabetes Mellitus
a. Antidiabetik Oral
Obat ini diberikan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olahraga dilakukan,
kadar gula darah tetap diatas 200 mg% dan HbA1c diatas 8%. Pemilihan terapi
menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau
kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan
harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan
pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea,
biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.
b. Insulin
Diberikan untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian
hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin
kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada
pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan.
Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun
metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan
pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan
penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati
dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein
dan lemak dari glukosa.

2.7 Komplikasi
a. Komplikasi akut : hipoglikemia, hiperglikemia
b. Komplikasi kronis : makrovaskuler (pembekuan darah pada sebagian otak, PJK,
gagal jantung kongestif dan stroke), mikrovaskuler (nefropatim diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati dan amputasi).
BAB III
HASIL REVIEW JURNAL

3.1 Jurnal 1
Peningkatkan Perilaku Pasien dalam Tatalaksana Diabetes Melitus
Menggunakan Model Behavioral System (Changing the Patient’s
Judul Jurnal
Behavior in Diabetes Mellitus Management by Application Behavioral
System Model)
Penulis Nur Aini, Widati Fatmaningrum, dan Ah. Yusuf
Tahun 2011
Terbit
Penerbit Jurnal Ners (Vol. 6 No. 1 April 2011: 1–10)
Link Jurnal https://e-journal.unair.ac.id/index.php/JNERS/article/view/3960/2673
Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan, sikap, praktik serta gula darah
Tujuan puasa dan 2 jam PP pasien diabetes sebelum dan sesudah pemberian
motivasi dan edukasi.
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang
prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. World Health
Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien diabetes di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030, bahkan Indonesia menempati urutan keempat di dunia sebagai
jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak setelah India, China, dan
Amerika (Pratiwi, 2007).
Pengobatan diabetes memerlukan waktu yang lama (karena diabetes
Isi Jurnal merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup) dan
sangat kompleks (tidak hanya membutuhkan pengobatan tetapi juga
perubahan gaya hidup) sehingga seringkali pasien tidak patuh dan
cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama, kompleks
dan tidak menghasilkan kesembuhan. Menurut Asti (2006) umumnya
penderita diabetes patuh berobat kepada dokter selama ia masih menderita
gejala yang subjektif dan mengganggu hidup rutinnya sehari-hari, begitu ia
bebas dari keluhan-keluhan tersebut maka kepatuhannya untuk berobat
berkurang (Pratiwi, 2007).
Tujuan utama pengobatan segala bentuk diabetes adalah untuk
mencapai serta mempertahankan glukosa darah dalam keadaan normal
(normoglikemi) dengan harapan dapat mencegah komplikasinya. Menurut
konsensus Perkeni (2006), pilar penatalaksanan diabetes di antaranya
meliputi terapi gizi medis/pengaturan makan, latihan jasmani, intervensi
farmakologis dan edukasi. Namun itu belum cukup untuk menjamin
keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien.
Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting dalam
merubah perilaku pasien sehingga terjadi kondisi keseimbangan
(equilibrium) dalam diri pasien. Salah satu metode yang dapat digunakan
adalah dengan model asuhan keperawatan Behavioral System Model dari
Dorothy E. Johnson. Teori Behavioral System Model memandang individu
sebagai sistem perilaku yang selalu ingin mencapai keseimbangan dan
stabilitas, baik di lingkungan internal atau eksternal, juga memiliki
keinginan dalam mengatur dan menyesuaikan dari pengaruh yang
ditimbulkannya (Tommey dan Alligood, 2006).
Intervensi yang digunakan untuk merubah perilaku pasien dalam
Implikasi Behavioral System Model yaitu regulasi eksternal, misalnya dengan cara
dalam membatasi perilaku dan menghambat respons perilaku yang tidak efektif,
Keperawatan merubah elemen structure dengan tujuan untuk memotivasi pasien dengan
cara memberikan pendidikan kesehatan dan konseling dan memenuhi
kebutuhan subsistem dengan cara nurture, protect dan stimulate (Tommey
dan Alligood, 2006).
Pemberian motivasi dapat memperbaiki perilaku pasien terhadap
pengobatan karena dalam hal ini kita menanamkan kesadaran individu
untuk mentaati pengobatan didasari adanya keinginan yang timbul dari
dirinya sendiri.Pemberian motivasi dan edukasi dapat memperbaiki
perilaku pasien dalam tatalaksana diabetes mellitus melalui peningkatan
pengetahuan, sikap dan praktik. Selanjutnya apabila perilaku pasien sudah
baik maka gula darah akan stabil.
Skrining / Skrining / deteksi dini yang dapat dilakukan pada penelitian tersebut
deteksi Dini adalah dengan pemeriksaan kadar gula darah puasa dan 2 jam PP.
yang Dapat Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan glukosa yang
Dilakukan dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam, sedangkan
pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah pemeriksaan yang
dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien menyelesaikan makan.

3.2 Jurnal 2
Judul Jurnal Self Management Education (DSME) Sebagai Metode Alternatif dalam
Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus di Dalam Keluarga

Penulis Aan Sutandi


Tahun Terbit 2012
Penerbit E-Journal Widya Kopertis Wilayah 3
Link Jurnal http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/majalah-
ilmiah/article/view/64
Tujuan Untuk membahas konsep Diabetes Self Management Education (DSME)
dalam memberikan perawatan mandiri kepada pasien diabetes melitus di
rumah
Isi Jurnal Penyakit Diabetes Melitus ini dikenal juga dengan sebutan “lifelong
disease” dikarenakan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan selama
rentang hidup penderitanya. Hal ini bukan berarti semua diabetisi akan
mengalami hal serupa, melainkan risiko terjadinya komplikasi yang dapat
meningkatkan risiko kematian dapat dikurangi jika para diabetesi lebih
peduli untuk menjaga atau mengontrol kondisinya agar dapat hidup lebih
panjang dan sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, maka diperlukan
suatu program penatalaksanaan diabetes secara mandiri bagi para diabetisi
ini. Program tersebut berlandaskan pada pengaturan pola makan, aktifitas
sehari-hari dan olahraga, pengobatan yang teratur serta menghindari stress.
Sasaran program ini adalah para diabetisi yang berada dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. Diharapkan melalui program ini, penyakit
mereka dapat dikendalikan sehingga dapat menjalani kehidupannya dengan
normal.
Di Indonesia, hampir 80 % prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe
2 (hasil Riskesdas tahun 2007). Berdasarkan data tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pola hidup sehari hari atau gaya hidup (life style) yang
tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM di
Indonesia terutama di daerah perkotaan, padahal dampak dari penyakit ini
cukup besar baik bagi penderita maupun keluarga dan masyarakat.
Menurut Alasaarela dan Oliver (2009), dampak dari peningkatan kadar
glukosa darah yang tidak terkontrol akan menyebabkan komplikasi akut
dan kronis, komplikasi yang bersifat kronis dapat berupa komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler seperti neuropati, nephropati dan
penyakit kardiovaskuler.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler adalah dengan mengendalikan kadar
glukosa darah tetap dalam rentang normal (Sigudardottir K. Aru’n,2004).
Hal ini sesuai dengan rekomendasi The American Diabetes Assosiation
(ADA) bahwa semua individu dengan diabetes mellitus harus berusaha
mencapai kadar glukosa darah mendekati normal. Upaya yang dilakukan
untuk mengendalikan kadar gula darah dalam rentang normal, dipengaruhi
oleh berbagai faktor, di antaranya tingkat pengetahuan, sosial ekonomi dan
fasilitas layanan yang tersedia termasuk perawatan mandiri pasien di
rumah.
Penyakit Diabetes Melitus termasuk penyakit kronis yang memerlukan
perawatan sepanjang hidupnya, sehingga diperlukan penanganan yang
holistik, bila penanganannya tidak tepat akan memiliki dampak yang luas,
baik terhadap pasien maupun keluarganya. Konsep Diabetes Self
Management Education (DSME). DSME dapat digunakan sebagai metode
alternatif dalam peningkatan perawatan mandiri pasien dengan Diabetis
Mellitus di rumah.
Perawatan mandiri yang baik dan benar pada pasien diabetes melitus
termasuk pengendalian faktor risikonya, dapat menurunkan angka
kesakitan berulang, komplikasi dan kematian yang disebabkan oleh
penyakit tersebut. Sehingga pengendalian DM akan lebih efektif bila
diprioritaskan pada pencegahan dini melalui upaya perawatan mandiri
pasien di keluarga (Home halth care) dengan upaya promotif dan preventif
tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Selain itu, tujuan utama
dalam perawatan pasien dengan diabetes mellitus adalah adanya
peningkatan kualitas hidup, pengendalian metabolisme yang baik serta
mencegah terjadinya komplikasi, sehingga penyakit DM sangat penting
dimengerti dan dipahami oleh pasien dan keluarga termasuk kader
kesehatan di masyarakat.
Implikasi Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan, memiliki peranan yang
dalam strategis dalam memberikan kemampuan kepada keluarga dan pasien
Keperawatan dalam melakukan penanganan secara mandiri. Sejumlah penelitian
eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang
cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo
D.M.,et.al.,1974). Dengan memberikan pemahaman yang benar dan
memberdayakan keluarga dan pasien dalam berpartisipasi untuk dapat
melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care), berbagai komplikasi
yang mungkin akan muncul dapat dikendalikan dan pasien memiliki
derajat kesehatan yang optimal. Beberapa penelitian mencatat bahwa 50–
80% diabetisi memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang kurang dalam
mengelola penyakitnya (Norris, Engelgau, & Narayan,
2001;Palestin,Ermawan,& Donsu,2005)
Skrining / Pemeriksaan kadar gula darah bisa dilakukan sendiri oleh pasien di
deteksi Dini rumah dengan menggunakan alat untuk memeriksa kadar gula darah.
yang Dapat Pemeriksaan ini akan memberitahu kadar glukosa darah saat itu juga.
Dilakukan Ketika hasil pemeriksaan ini dibawa ke dokter, penderita akan memiliki
gambaran mengenai respons tubuh untuk rencana perawatan diabetes
selanjutnya.

3.3 Jurnal 3
Pengaruh Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa) terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita
Judul Jurnal
Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Palangka Raya, Kalimantan
Tengah
Penulis Dewi Apriliyanti, Maria Astrid, Wilhelmus Hary Susilo
Tahun Terbit 2013
Penerbit Jurnal Stikes Sint Carolus Jakarta (Agustus 2013)
http://ejournal.stik-
Link Jurnal
sintcarolus.ac.id/file.php?file=mahasiswa&id=508&cd=0b2173ff6ad6a6fb
09c95f6d50001df6&name=Publikasi Dewi Apriliyanti.pdf
Untuk mengetahui pengaruh efek pemberian ekstrak kelopak bunga
Tujuan rosella, dan pengaruh faktor perancu (usia, jenis kelamin, riwayat DM,
gaya hidup, berat badan) terhadap penurunan KGD pasien DM tipe 2.
Ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus Sabdariffa) adalah sejenis
tumbuhan yang memiliki kandungan kalsium, niasin, dan flavonoid
berfungsi sebagai penurunan Kadar Glukosa Darah (KGD).
Desain penelitian menggunakan Quasy Experimental Design dengan
rancangan Time Series Design. Pengambilan sampel melalui teknik simple
random sampling, diambil berdasarkan sampel frame dengan perhitungan
rumus rules of thumbs sebanyak 98 responden di 3 Puskesmas kota
Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara pre test
dan post test pada pemberian ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus
Sabdariffa) terhadap penurunan nilai KGD pada Pasien DM tipe 2, yang
telah diberikan ekstrak kelopak bunga rosella selama 28 hari dengan
frekuensi pemberian 1 kali sehari yang disajikan sebanyak 250 ml dengan
bunga rosella sebanyak 25 mg (2-3 kuntum) yang direndam di air panas
Isi Jurnal selama 3-5 menit sebelum di minum.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa pemberian ekstrak
kelopak bunga rosella (Hibiscus Sabdariffa) mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 2.
Peneliti meyakini bahwa tumbuhan Hibiscus Sabdariffa memberikan
pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kadar gula darah karena di
dalam rosella itu sendiri terdapat kandungan kimia antara lain; kandungan
kalsium, niasin, riboflavin dan besi yang cukup tinggi.
Di sini kalsium berperan dalam proses sekresi insulin. Metabolisme
glukosa yang diinduksi oleh glukokinase yang menyebabkan perubahan
rasio ATP/ADP. Hal ini menyebabkan menutupnya kanal ion kalium dan
terjadi depolarisasi sel β pankreas. Sebagai kompensasi, terjadi aktivasi
kanal ion kalsium dan ion ini akan masuk ke sel β. Selanjutnya kalsium
intrasel ini merangsang sekresi insulin dari granulanya.
Kandungan niasin juga berfungsi sebagai komponen koenzim nikotinamida
adenine dinukleotida (NAD) dan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat
(NADP) yang berada pada semua sel dan diperlukan dalam reaksi oksidasi
reduksi pada glikolisis, metabolisme protein, asam lemak, pernapasan sel
dan detoksifikasi, di mana peranannya adalah melepas dan menerima atom
hidrogen. Nikotinamida adenine dinukleotida (NAD) juga berfungsi dalam
proses glycogenesis.
Dari penelitian ini diperoleh bahwa ekstrak kelopak bunga rosella dapat
menurunkan KGD pada pasien DM tipe 2.
Pemberian ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa)
merupakan bagian dari pengobatan komplementer–alternatif. Dalam
Undang-Undang Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia mengenai penyelenggaraan pengobatan tradisional. Pemberian
ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus Sabdariffa) merupakan salah satu
bentuk terapi yang berdasarkan biologi yaitu dengan menggunakan
subtansi-subtansi yang ditemukan di alam seperti produk herbal dalam
terapi komplementer untuk pasien DM tipe 2 (Tarwoto, 2012 : 204).
Diharapkan tindakan pemberian ekstrak kelopak bunga rosella yang
dilakukan pada penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam ilmu
Implikasi
kesehatan dan dipergunakan sebagai intervensi keperawatan tradisional,
dalam
sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan komplementer
Keperawatan
atau alternatif di masyarakat sebagai salah satu intervensi keperawatan
mandiri dalam penatalaksanaan pasien DM tipe 2
Skrining / deteksi dini yang dapat dilakukan pada penelitian tersebut
Skrining /
adalah dengan pemeriksaan kadar gula darah. Cek membandingakan pre
deteksi Dini
dan post konsumsi kelopak bunga Rosella dan pengaruh faktor
yang Dapat
perancu(usia,jenis kelamin,gaya hidup)
Dilakukan

3.4 Jurnal 4
PENGARUH PROGRAM EDUKASI DENGAN METODE
Judul Jurnal KELOMPOK TERHADAP PERILAKU
PERAWATAN DIRI PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
Penulis Shinta Apriani, Ardini S Raksanagara, Citra Windani Mambang Sari
Tahun Terbit 2013
Penerbit Universitas Padjajaran
Link Jurnal http://ejournal.stikesborromeus.ac.id/file/jurnal%203.pdf
Untuk mengetahui pengaruh program edukasi dengan metode kelompok
Tujuan
terhadap perilaku perawatan diri pasien DM tipe 2
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar gula darah (hyperglykemia) yang disebabkan
oleh berkurangnya sekresi insulin, kerja insulin yang tidak adekuat, atau
keduanya yang dapat menimbulkan komplikasi pada mata, ginjal, saraf,
atau pembuluh darah. Komplikasi yang ditimbulkan akibat penyakit DM
tersebut dapat di kurangi jika penderita DM lebih peduli untuk melakukan
perawatan diri (self care) sehingga kadar gula darah dapat terkendali.
Teori Orem yaitu self care deficit nursing theory (SCDNT) digunakan
sebagai panduan untuk pendidikan diabetes dalam meningkatkan perilaku
perawatan
diri diabetes. Menurut Orem’s dalam SCDNT pasien DM harus
memperhatikan kebutuhan perawatan diri diantaranya pengaturan makan,
olahraga, penggunaan obat diabetes, pemantauan kadar gula darah,
Isi Jurnal perawatan kaki dan pemeriksaan rutin ke tempat pelayanan kesehatan.
Keberhasilan perawatan diri untuk terkendalinya kadar gula darah erat
kaitannya dengan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan metode kelompok dan diskusi dinilai lebih efektif dalam
meningkatkan pengetahuan juga mengontrol gula darah pasien dan dapat
meningkatkan derajat kesehatan mereka.

PROSES KELOMPOK DALAM PROGRAM EDUKASI DM


Kelompok adalah sebuah pertemuan beberapa orang yang memiliki
kepentingan yang sama (Mensing dan Norris, 2009). Ukuran kelompok
bergantung pada kepentingan pembelajaran, topik, dan metode
pembelajaran, anggota kelompok yang efektif antara 5-8 orang.
Kelompok dapat digunakan sebagai sarana untuk belajar bersama.Proses
kelompok merupakan salah satu strategi intervensi keperawatan yang
dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui pembentukan suatu
kelompok. Beberapa kelompok di masyarakat dikembangkan sesuai
dengan inisiatif dan kebutuhan masyarakat setempat. Kegiatan pada
kelompok ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai
pada kelompok tersebut.
Program edukasi dengan metode kelompok memiliki beberapa kelebihan
bila dibandingkan dengan pendekatan secara individu, kelebihan tersebut
diantaranya pendidikan lebih aktif, interaksi lebih dinamis, terciptanya
sosial model dan pembelajaran berorientasi pada masalah(Mensing dan
Noris, 2009).
Efektivitas pendidikan kesehatan yang dilakukan di area klinis
menemukan bahwa terdapatnya dukungan emosional, pengembangan
adaptasi dan keterampilan serta pengurangan gejala. Program pendidikan
kesehatan dengan menggunakan kelompok menyebabkan peningkatan
status fisik maupun psikososial. Adanya kelompok tertentu diperlukan
untuk pengembangan strategi untuk perbaikan kesehatan jangka panjang.
Sejumlah studi telah meneliti efektifitas pendidikan kelompok. Intervensi
pada pendidikan kelompok berfokus pada penyelesaian masalah dan
majemen diri, terdapat banyak ide yang muncul serta sharing pengalaman,
berlatih keterampilan berkomunikasi dan memberikan dukungan sosial.
Bila dibandingkan dengan pendidikan secara individu, pendidikan secara
kelompok memberikan dampak yang lebih baik dalam kapasitas
psikososial.
Program pendidikan kesehatan DM belum banyak dikembangkan di
wilayah komunitas. Padahal pasien DM banyak berada di lingkungan
komunitas. Program yang ada di Indonesia adalah dengan memberikan
pendidikan khusus pada diabetes educatoryang terdiri dari dokter, perawat,
ahli gizi, atau pekerja sosial dengan setting klinik endokrinologis. Tugas
dari diabetes educator adalah sebagai perpanjangan tangan dokter
endokrinologis dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada penderita
DM (Suyono, 2009).
Implikasi Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan, memiliki peranan yang
dalam strategis dalam memberikan kemampuan kepada keluarga dan pasien
Keperawatan dalam melakukan penanganan penyakit. Dalam penelitian ini perawat
bertugas sebagai educator jalannya terapi aktivitas kelompok pada pasien
DM tipe 2, dalam konteks tata laksana seperti : diet, olahraga, edukasi
penyakit dan pengobatan. Dalam sudut pandang psikologis strategi edukasi
kelompok ternyata lebih efektif daripada individu karena menambah
dukungan mental bagi klien. Serta diharapkan dari jurnal ini semakin
menambah wawasan bagi ilmu kesehatan bagi perawat dalam melakukan
intervensi keperawatan.
Skrining / Pemeriksaan kadar gula darah oleh tenaga kesehatan agar mengetahui
deteksi Dini status/kondisi kesehatan, serta sedini mungkin mendapat
yang Dapat edukasi/pengetahuan mengenai penyakit, agar mendapat tatalaksana yang
Dilakukan tepat guna.

3.5 Jurnal 5
The effect of progressive muscle relaxation on glycated hemoglobin
Judul and health-related quality of life in patients with type 2 diabetes
mellitus
Tahun 2017
Tahereh Najafi Ghezeljeh, Maryam Kohandany, Fateme Hagdoost
Penulis
Oskouei, Mojtaba Malek
Jurnal Applied Nursing Research Vol 33
Fluktuasi utama dalam glukosa darah, diet dan pembatasan olahraga, cacat
fisik dan perkembangan gangguan vaskular dikenal sebagai faktor yang
mempengaruhi diabetes, yang mengindikasikan bahwa penyakit ini
berkaitan erat dengan stress. Manajemen harian DM dapat menyebabkan
tingkat stres yang tinggi, dan stres terus menerus dapat menyebabkan
kecemasan dan depresi pada pasien. Beberapa penelitian telah melaporkan
penurunan kualitas kesehatan pada pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan
orang sehat. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kualitas
Isi Jurnal kesehatan pada pasien DM tipe 2 adalah tekanan psikologis karena
manajemen diri yang berlangsung konstan. Oleh karena itu, mengurangi
stres terkait diabetes merupakan faktor prediksi penting untuk
meningkatkan kualitas hidup pada pasien DM tipe 2.
Salah satu tugas perawat adalah memperbaiki respons stres pada pasien ini
melalui intervensi yang tepat dan efektif. Pemberian terapi komplementer
dan penerapan teknik relaksasi merupakan bagian dari asuhan
keperawatan yang komprehensif, dimana semua perawat harus dilatih dan
dididik. Ada berbagai teknik relaksasi untuk mengurangi ketegangan otot
dalam tubuh. Teknik relaksasi untuk diabetes didasarkan pada fakta
bahwa stres merangsang sel hati untuk melepaskan glukosa yang
menyebabkan peningkatan resistensi insulin, sehingga metode ini dapat
mengurangi stres dan menciptakan keadaan relaksasi pada diabetes.
Salah satu tekniknya adalah PMR atau Progressive Muscle Relaxation.
PMR adalah teknik pengetatan dan relaksasi dari 16 kelompok otot tubuh
bersamaan dengan pernapasan dalam saat otot rileks. Teknik ini secara
bergantian mengencangkan dan melemaskan kelompok otot berikut: (1,2)
otot lengan bawah, (3,4) otot lengan, (6,5) otot kaki bagian bawah, (7,8)
otot kaki bagian atas, (9) otot perut, (10) otot dada, (11) otot pundak, (12)
otot leher, (13) otot pada bagian mulut, rahang dan tenggorokan, (14) otot
mata, (15) otot dahi bagian bawah dan (16) otot dahi bagian atas
Dari penelitian dapat diketahui bahwa, pasien tidak hanya mengalami
permasalahan fisik namun juga mengalami permasalahan pada
psikologisnya berupa stress. Stress yang dialami dapat berakibat pada
kondisi penyakitnya sehingga perlu adanya manajemen relaksasi untuk
Implikasi
menunjang kondisi pasien. Memberikan relaksasi otot bagi pasien dapat
bagi perawat
mengurangi stress yang dirasakan. Perawat sebagai caregiver perlu
memberikan inovasi-inovasi lain dalam memberikan perawatan agar
pasien tidak merasa down dengan kondisi yang dialami serta
meningkatkan output dalam kondisinya.

3.6 Jurnal 6
Pengembangan Model Peningkatan Pemberdayaan Diri dan Kualitas
Judul jurnal
Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Penulis Nian Afriani Nuari
Tahun Terbit 2 September 2016
Penerbit -
Link jurnal -
Kemampuan individu untuk mempunyai kontrol atas hidup mereka sendiri
Tujuan
dan menentukan pilihan mengenai kesehatan
Diabetes mellitus adalah penyakit yang terjadi karena gula darah tidak
terkontrol dan dapat menimbulkan kematian. Jumlah penderita DM tipe 2
dari tahun ketahun cenderung mengalami peningkatan. Bahan dan metode
jenis penelitian ini adalah penelitian quasy experiment dengan design
penelitian non randomized control group pretest posttest design. Subyek
terdiri 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan perlakuan yang dilakukan
pengukuran pre test dan post test tentang self empowerment dan quality of
Isi Jurnal
life setelah diberikan Self Instructional Training.
Self empowerment diukur menggunakan kuesioner Diabetes Empowerment
Scale (DES) sedangkan kualitas hidup diukur dengan kuesioner Diabetes
Quality of Life (DQoL) yang dimodifikasi sesuai dengan karakteristik
subyek penelitian.
Smeltzer & Bare (2004) menyatakan DM tipe 2 merupakan jenis DM
yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 90-95% dari seluruh penderita
DM dan banyak dialami oleh usia dewasa diatas 40
tahun. Hal ini disebabkan resistensi insulin pada DM tipe 2 cenderung
meningkat pada usia lansia (40-65 tahun), disamping adanya riwayat
obesitas dan adanya factor keturunan. Umur mempengaruhi risiko dan
kejadian DM tipe 2. Umur sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar
gula darah, sehingga semakin meningkat umur maka prevalensi DM tipe 2
semakin tinggi
penelitian Mier et al., (2008) dalam cross sectional
study pada pasien DM tipe 2 menemukan sebagian respondennya
memiliki pendidikan rendah. Begitu juga pada penelitian Goz et al.,
(2006), pada penelitian di poliklinik Diabetes Rumah sakit Turki, dimana
sebagian besar respondennya berpendidikan rendah. Hasil penelitian ini
dapat diasumsikan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku
seseorang dalam mencari perawatan dan pengobatan penyakit yang
dideritanya, serta memilih dan memutuskan tindakan atau terapi yang akan
dijalani untuk mengatasi masalah kesehatannya
Self Instructional Training adalah suatu pelatihan yang dilakukan untuk
mengubah kognitif seseorang dengan memberikan edukasi sehingga
seseorang mampu mengontrol atau memberi instruksi pada dirinya sendiri
untuk melakukan perubahan perilaku yang terdiri atas Tahap Cognitive
Modelling dan tahap Cognitive Behavioral Rehearseal Of Self Instruction
(Burns, Costance Irene, 1984).
Peran perawat sendiri dalam Self Instructional Training memberikan
edukasi pada pasien lansia dengan umur diatas 40 tahun, agar dapat
mengontrol penyakit yang diderita.
Pendidikan merupakan faktor penting dalam memahami penyakit,
perawatan diri, pengelolaan DM serta pengontrolan gula darah. Pasien
dengan pendidikan tinggi akan dapat mengembangkan mekanisme koping
yang konstruktif dalam menghadapi stresor karena pemahaman yang baik
terhadap suatu informasi. Penderita DM yang telah mendapatkan Self
Implikasi Instructional Training membuat individu bersikap positif serta akan
dalam mengambil tindakan yang tepat dan bermanfaat bagi dirinya sehingga
keperawatan kualitas hidup meningkat.
Sebagai perawat setelah dilakukannya Self Instructional Training pada
penderita DM dapat membuat individu bersikap positif serta akan
mengambil tindakan yang tepat dan bermanfaat bagi dirinya sehingga
kualitas hidup meningkat

Strategi ini dapat digunakan oleh perawat dalam memberikan


pendidikan kesehatan kepada pasien sehingga mampu meningkatkan
kemampuan kontrol diri pasien
Skrining / kadar gula darah, nilai Hb A1C dan daily activities pada penderita DM
deteksi Dini tipe 2, Diabetes Empowerment Scale (DES) sedangkan kualitas hidup
yang Dapat diukur dengan kuesioner Diabetes Quality of Life (DQoL)
Dilakukan

3.7 Jurnal 7
Konsumsi Tahu Kedelai Hitam untuk Memperbaiki Nilai SGOT/ SGPT
Judul jurnal
dan Aktivitas Anti Oksidan Plasma Penderita Diabetes Tipe2
Fransiska Rungkat Zakariaa, Delina Puspa Rosana Firdausb, dan Nancy
Penulis
Dewi Yuliana
Tahun Terbit 28 Juli 2016
Penerbit -
Link jurnal -
Tujuan
Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik dengan gejala
berupa tingginya kadar glukosa darah akibat tubuh tidak dapat melepaskan
atau menggunakan hormone insulin sebagaimana mestinya
(Tjokroprawiro, dkk., 2007). Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor
termasuk rusaknya sel beta pankreas sebagai penghasil insulin, penurunan
sensitivitas terhadap insulin atau terjadi penurunan jumlah produksi insulin
(Ali, 2011).
DM tipe 2 dapat diatasi dengan salah satunya, diet yang tepat mencakup
kebutuhan zat gizi yang lengkap. Penyandang diabetes melitus
Isi Jurnal dianjurkan mengonsumsi protein 10-20 persen dari total energi, yang
berasal dari ikan, daging tanpa lemak, susu rendah lemak,
kacangkacangan, tahu, dan tempe (PERKENI, 2011).
Kedelai merupakan sumber protein yang penting bagi masyarakat
Indonesia. Pemanfaatan kedelai hitam kurang mendapat perhatian dan
tidak sepopuler kedelai kuning. Xu dan Chang (2007) menyatakan bahwa
lebih banyak, dan aktivitas antioksidannya 15 kali lebih tinggi dibanding
kedelai kuning. Selain itu, total antosianin kedelai hitam juga lebih tinggi,
sebesar 365,8 µg/g, sementara tidak terdeteksi adanya antosianin pada
kedelai kuning
Peran perawat yaitu kita dapat salah satunya menganjurkan pasien DM
untuk mengkonsumsi kedelai hitam dapat berupa olahan tempe atau tahu.
Implikasi
Kandungan yang dimiliki kedelai hitam dapat meningkatkan kadar anti
dalam
oksigen dalam tubuh penderita DM. selain itu kedelai hitam juga dapat
keperawatan
digunakan untuk diet penderita dari DM guna mencegah penyakit
komplikasi pada organ lain
Skrining / Kadar serum glutamic-oxaloacetic transaminase (SGOT) dan
deteksi Dini serum glutamic-piruvic transaminase (SGPT)
yang Dapat
Dilakukan

3.8 Jurnal 8
Pengaruh Relaksasi Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada
Judul Jurnal Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Sebuah Rumah Sakit Di
Tasikmalaya
Penulis A Kuswandi, R Sitorus, D Gayatri
Tahun Terbit 2008
Penerbit Jurnal Keperawatan Indonesia
Link Jurnal http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/208/461
Untuk mengetahui perbedaan kadar gula darah pasien diabetes mellitus
Tujuan
sebelum dann sesudah relaksasi
Indonesia menempati urutan keempat kasus Diabetes Mellitus (DM)
dengan jumlah pasien terbesar di dunia menurut survei WHO,2005.
Angka prevalensi DM di Indonesia sekitr 8,6% dari total penduduk dan
diperkirakan pada tahun 1995 terdapat 4,5 juta pasien DM yang akan
terus meningkat menjadi 12,4 juta pasien pada tahun 2025. Teknik
relaksasi merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat
mengurangi kecemasan dan secara otomatis dapat menurunkan kadar
gula darah. Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur
dan menurunkan aktivitas system saraf simpatis. Stress tidak hanya
dapat meningkatakan kadar gula darah secara fisiologis. Pasien dalam
keadaan stress juga dapat mengubah pola kebiasaan dengan baik,
terutama dalam hal makan, latihan dan pengobatan (Smeltzer, Bare,
Hinkle, & Cheever, 2008)
Terapi dengan Teknik relaksasi selama ini belum pernah diberikan pada
Isi Jurnal pasien DM tipe 2. Penanganan pasien dengan DM tipe 2 di pelayanan
kesehatan umumnya hanya terapi konvensional. Perawat belum
meberikan terapi relaksasi, adahal relaksasi dapat setara maknanya
dengan obat penurun gula darah baik oral maupun insulin injeksi.
Teknik penanganan stress bila disertai dengan perawatan standar dapat
membantu menurunkan kadar glukosa darah. Penurunan yang dicapai
juga hamper sebesar hasil yang diharapkan dari obat-obatan pengendali
diabetes. Surwit Bersama timnya meneliti 108 pasien DM tipe 2 dan
penderita DM akut pada orang dewasa. Semua responden menjalani
sesi edukasi DM selama 30menit dan separuh responden juga diminta
mengikuti panduan mengatasi stress. Setelah setahun, sebanyak 32%
pasien yang mendapat pengetahuan penanganan stress tercatat
mengalami penurunan kadar gula darah. Sementara hanya 12%
responden yang mengalami penurunan kadar gula darah yang tidak
memiliki pengetahuan mengatasi stress. Surwit menyatakan bahwa
stress dapat mempengaruhi DM secara langsung (Surwit et al, 2002)
Perawat mempunya peran penting dalam pemberian perawatan secara
langsung dan mengajarkan individu dalam penanganan secara mandiri.
Implikasi dalam Dalam penelitian ini perawat dapat mengajarkan teknik relaksasi
terhadap individu untuk mengurangi stress pada penderita Diabetes
Keperawatan
Mellitus tipe 2. Teknik relaksasi ini dapat diajarkan kepada pasien agar
pasien dapat melakukan penangannan secara mandiri untuk mengontrol
stress pasien.
Skrining/deteksi dini yang dapat dilakuakn pada penelitian tersebut
Skrining/Deteksi yaitu dengan pemeriksaan glukosa darah. Dengan pemeriksaan glukosa
darah tersebut pasien dapat mengetahui kadar glukosa darahnya dan
Dini yang Dapat ketika glukosa dara klien meningkat, maka stress klien juga akan
Dilakukan meningkat. Ketika stress klien meningkat dapat dilakukan teknik
relaksasi untuk mengurangi stress pada klien sehingga tidak
memperparah keadaan Diabete Mellitus yang dideritanya.
3.9 Jurnal 9
Judul Jurnal The Early Treatment of Type 2 Diabetes
Penulis Richard E. Pratley MD
Tahun Terbit 2013
Penerbit The American Journal of Medicine
Link Jurnal http://www.amjmed.com/article/S0002-9343(13)00485-3/fulltext
Untuk membahas manfaat intervensi dini, dengan penekanan pada uji
coba pencegahan yang menunjukkan bahwa perkembangan diabetes tipe
Tujuan 2 dapat ditunda dengan menangani prediabetes, serta pedoman berbasis
bukti yang ada yang telah ditarik untuk mengoptimalkan standar
perawatan di pradiabetes dan tahap diabetes tipe 2 secara terbuka.
Prevalensi diabetes global meningkat menjadi proporsi epidemi karena
pertumbuhan populasi, penuaan, urbanisasi, dan meningkatnya
prevalensi obesitas dan gaya hidup yang buruk. Diabetes tipe 2 adalah
penyakit kompleks dan progresif yang ditandai oleh kerusakan
metabolik dan mempengaruhi banyak organ. Kerusakan utama yang
berkontribusi terhadap diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin
dan resistensi insulin pada jaringan perifer, seperti adiposa dan otot, dan
hati. Penurunan sekresi insulin ini karena penurunan bertahap fungsi sel
beta pankreas dan juga terkait dengan berkurangnya massa sel beta.
Hiperglikemia sangat kuat dan independen terkait dengan komplikasi
diabetes tipe 2, termasuk kematian terkait diabetes dan penyebabnya,
dan dari hasil dari uji coba random secara tegas menunjukkan bahwa
risiko komplikasi mikrovaskuler berkurang dengan kontrol glikemik
intensif. Prediabetes memberikan peningkatan risiko penyakit diabetes
tipe 2 sampai 7 kali lipat dibandingkan dengan individu dengan nilai
glukosa normal.
Isi Jurnal Beberapa penelitian pencegahan telah menunjukkan bahwa intervensi
dini dengan modifikasi gaya hidup atau farmakoterapi dapat
memperlambat perkembangan diabetes dengan menunda patofisiologi
penyakit yang mendasarinya. Pernyataan posisi terbaru yang
dikeluarkan oleh ADA mengenai standar perawatan medis di diabetes
dan sebuah pernyataan konsensus oleh American College of
Endocrinology (ACE) dan American Association of Clinical
Endocrinologists (AACE) merekomendasikan intervensi gaya hidup
sebagai pilihan pengobatan pradiabetes yang disukai, seperti yang telah
terbukti aman dan sangat efektif mengurangi perkembangan diabetes
tipe 2 hingga lebih dari 40%. Misalnya, dalam Program Pencegahan
Diabetes (DPP), yang mendaftarkan 3234 individu nondiabetes dengan
glukosa puasa atau IGT yang terganggu, modifikasi gaya hidup intensif,
yang bertujuan mencapai setidaknya 7% penurunan berat badan dan 150
menit aktivitas fisik per minggu, mengurangi kejadian tersebut. diabetes
tipe 2 sebesar 58% dibandingkan dengan plasebo setelah 2,8 tahun masa
tindak lanjut.
Implikasi dalam Perawat mempunya peran penting dalam pemberian perawatan secara
Keperawatan langsung dan edukasi untuk melakuakan pengobatan diabetes melitus
tipe 2 sedini mungkin. Dalam penelitian ini perawat dapat mengedukasi
pasien dengan perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup ini dapat
dilakukan dengan mengatur pola makan yang sehat, rajin berolahraga,
dan menghindari makan yang mengandung banyak gula. Perawat juga
dapat berkolaborasi dengan dokter untuk memberika terapi farmako
dengan memberika metformin sebagai kombinasi dalam melakukan
perubahan gaya hidup.
Skrining/deteksi dini yang dapat dilakuakn pada penelitian ini yaitu
dengan pengujian / tes diabetes tipe 2 pada orang dewasa dengan
Skrining/Deteksi kelebihan berat badan (BMI> 25 kg / m2) dengan satu atau lebih faktor
Dini yang Dapat risiko tambahan dan anak-anak dengan berat badan lebih tinggi
Dilakukan (persentil ke-85 BMI untuk usia dan jenis kelamin, berat badan untuk
tinggi> persentil ke 85, atau berat> 120% ideal untuk tinggi badan)
dengan 2 atau lebih faktor risiko tambahan.

3.10 Jurnal 10
Manfaat Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai Penurun Kadar
Judul Jurnal Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus

Ike Setya Kurniasari


Penulis

Juni, 2015
Tahun

Jurnal Akademi Keperawatan, Vol. 6., No. 1


Penerbit

www.google.scholar.com
Link Jurnal

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit kronik yang


ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah, disertai berbagai
kelainan metabolik lainnya akibat gangguan hormonal. Pada Diabetes
Mellitus tipe II, sel-sel β pancreas tidak mengalami kerusakan namun
fungsinya yang terganggu, sehingga hanya mensekresi insulin dalam
jumlah sedikit dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Isi Jurnal
Berdasarkan ADA (American Diabetes Association) 1998, terdapat dua
test yang dapat dilakukan sebagai deteksi dini dalam penegakan
diagnosis terhadap Diabetes Mellitus, salah satunya pemeriksaan kadar
gula darah. Seseorang dikatakan DM bila kadar glukosa darah saat
puasa > 126 mg/dl.

Data terbaru WHO, Indonesia menempati urutan ke-4


dalam jumlah Diabetes Mellitus di dunia. Tingginya prevalensi DM
terus menjadi perhatian dan sangat penting untuk segera diatasi. Kunci
utama penatalaksanaan penyakit DM yaitu kontrol glukosa darah.
Kepatuhan proses terapi sangat diperlukan bagi penderita DM dalam
menjaga kesimbangan kondisi tubuhnya. Hal ini dikarenakan, apabila
kepatuhan proses terapi minim maka glukosa darah cenderung terjadi
peningkatan. Peningkatan glukosa darah yang tidak terkontrol akan
menimbulkan komplikasi, antara lain kelainan pembuluh darah yang
akhirnya menyebabkan serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, luka
sulit sembuh dan membusuk (Gangren). Gangguan pembuluh darah ini
juga menjadi penyebab utama terjadinya penyempitan pembuluh darah
(Aterosklerosis) hingga menimbulkan stroke. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka penderita DM harus menjaga pola makan, olahraga, dan
minum obat secara teratur.

Pada tahun 1996 di Universitas Mahidol, Bangkok,


melaporkan bahwa Lidah buaya (Aloe vera) terbukti mengurangi kadar
glukosa darah pada 72 pasien yang kadar glukosanya sangat tinggi
(Rostita,2008). Ini dapat menjadi terapi alternative untuk mengatasi
DM, khususnya bagi orang dengan perekonomian rendah. Terapi
alternative aloe vera ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ike Setya. Jurnal ini menjelaskan dari 10 penderita Diabetes
Mellitus di RW 08 Dusun Gedangsewu Kulon, Desa Gedangsewu,
Kecamatan Pare akan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 5 orang
sebagai kelompok perlakuan dan 5 orang sebagai kelompok kontrol.
Pada kelompok perlakuan akan diberikan intervensi berupa olahan
daging aloe vera yang direbus kemudian disaring dan diminum saat
hangat setelah makan 2-3 gelas (200 cc) perhari selama 5 hari berturut-
turut, dimana kelompok control tidak berikan intervensi apapun. Hasil
penelitian diketahui dengan menganalisa perbadingan hasil pre-test dan
post-test kadar gula darah kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol, dimana pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat
Nesco multicheck glucotest.
Kelompok perlakuan yang terdiri dari 3 orang perempuan
dan 2 orang laki-laki dengan rentang usia antara 41-55 tahun, serta 4
orang yang mengaku memiliki riwayat keturunan Diabetes Mellitus
pada keluarganya. Pada kelompok ini didapatkan data rata-rata kadar
gula darah saat pre-test sebesar 195.40 mg/dl. Sedangkan, kelompok
kontrol yang terdiri dari 3 orang perempuan dan 2 orang laki-laki
dengan rentang usia dan jumlah orang yang memiliki riwayat
ketutrunan DM pada keluarganya sama dengan kelompok perlakuan,
didapatkan rata-rata kadar gula darah saat pre-test sebesar 190.00
mg/dl. Setelah 5 hari, kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar
gula darah yang terakhir (post-test) dengan hasil rata-rata kadar gula
darah kelompok perlakuan menjadi 133.40 mg/dl, dan rata-rata kadar
gula darah kelompok kontrol menjadi 196.40 mg/dl.

Dari hasil post-test tersebut diketahui bahwa kelompok


perlakuan yang diberikan olahan mengalami penurun kadar gula darah
yang signifikan, sedangkan kelompok kontrol tidak mengalami
penurunan kadar gula darah, justru mengalami kadar gula darah dari
hasil post-test. Hal ini membuktikan bahwa daging lidah buaya efektif
dapat memperbaiki fungsi pancreas dan menurunkan kadar gula darah
pada penderita Diabetes Mellitus type II. Ketika pancreas diberi olahan
daging aloe vera maka pancreas akan berfungsi baik kembali serta
insulin mampu diproduksi kembali secara maksimal. Pada daging lidah
buaya terdapat senyawa yang berperan penting dalam penurunan kadar
glukosa, yaitu Cromium, inositol (merupakan bagian dari Vitamin B
kompleks), dan Vitamin A. Selain itu, daging aloe vera juga
mengandung Mono dan polisakarida, selulosa, glukosa, mannose,
aldopentosa, rhamnosa yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh, dengan memproduksi mucopolisakarida, yang
dapat menekan kadar glukosa dan trigliserida post pandrial dan
menurunkan ratio glukosa post pandrial. Inilah yang yang
menyebabkan penurunan kadar glukosa darah yang signifikan pada
kelompok perlakuan yang diberi olahan daging aloe vera, sedangkan
pada kelompok kontrol yang tidak diberi olahan daging aloe vera tidak
mengalami penurunan kadar glukosa darah.

Ini merupakan inovasi intervensi yang bagus, kreatif,


menarik dan dapat diterapkan dalam memberikan pelayanan kesehatan,
khususnya bidang keperatawan. Inovasi tersebut dapat meningkatkan
kondisi kesehatan yang optimal bagi penderita DM type II dan
menurunkan angka kematian yang disebabkan komplikasi dari penyakit
tersebut. Selain itu, pemikiran-pemikiran inovasi intervensi seperti ini
dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang diberikan perawa dalam
bentuk asuhan keperawatan, sehingga tercipta pengakuan dan
pandangan yang baik terhadap perawat dimata masyarakat luas.

3.11 Jurnal 11
Efektifitas Perawatan Luka Diabetik Metode Modern Dressing
Judul Jurnal Menggunakan Madu Terhadap Proses Penyembuhan Luka

Edy Siswantoro
Penulis

2017
Tahun

Penerbit Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto,


Hal.112 – 116
www.google.scholar.com
Link Jurnal

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun


yang ditandai dengan kadar gula darah ≥ 200 mg/dL, dan kadar gula
darah puasa ≥ 126 mg/Dl. Gangren diabetik adalah luka pada daerah
ekstremitas bawah yang merah kehitaman dan berbau busuk akibat

Isi Jurnal sumbatan pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. Luka gangren
merupakan salah satu kornplikasi kronik DM yang paling ditakuti
setiap penderita DM. Dalam hal ini, kadar gula darah yang tinggi
menjadi tempat strategis untuk pertumbuhan kuman, sehingga kuman
mudah masuk dan berkembang dalam luka dan memperparah infeksi.
Penanganan luka yang tidak tepat mengakibatkan proses penyembuhan
luka akan semakin lama, sehingga sepsis akan menyebar ke bagian lain
bahkan berujung pada tindakan amputasi.

Perawatan luka yang tepat merupakan salah satu faktor


yang mendukung penyembuhan luka. Lingkungan yang lembab akan
memberikan dukungan pergerakan epitel dan memfasilitasi penutupan
luka. Perawatan luka dengan modern dressing memiliki tingkat
penyembuhan yang lebih cepat, dibandingkan dengan yang ditutup
kasa. Modern dressing mampu mempertahankan lingkungan lembab
yang seimbang dengan permukaan luka. Pemilihan modern dressing
yang tepat seperti films, hydrogels, hydrocolloids, foams, alginates,
and hydrofibers akan mendukung penyembuhan luka. Madu
bermanfaat 4x lebih cepat dari obat lain dalam proses penyembuhan
luka 4x. Dengan kandungan madu yang dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dan didukung dengan penggunaan metode modern
dressing, diharapkan kolaborasi kedua bahan tersebut membantu proses
penyembuhan luka diabetik lebih cepat dan optimal.

Dalam jurnal ini, peneliti melibatkan 30 responden dengan


luka diabetic grade II, III, & IV RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari.
Peneliti hanya menggunakan satu kelompok dan tidak ada kelompok
pembanding (kontrol), namun observasi luka dilakukan terlebih dahulu
(pre-test) sebelum diberikan perawatan luka metode modern dressing
menggunakan madu. Setelah dilakukan perawatan luka dengan metode
modern dressing madu, peneliti mengobservasi kembali kondisi luka
tersebut (post-test). Hasil penelitian dapat diketahui dengan
menganalisis perbedaan kondisi luka sebelum diberikan perawatan luka
(pre-test) dengan sesudah pemberian perawatan luka (post-test)

Jurnal ini membuktikan dari 14 responden dengan luka


gangrene grade III saat observasi pre-test menjadi luka gangrene grade
II, setelah diberikan perawatan luka metode modern dressing
menggunakan madu. Penurunan grade luka tersebut dikarenakan madu
mempunyai kadar osmolaritas tinggi, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan mempercepat proses penyembuhan luka.
Madu menciptakan kelembapan yang tidak dipengaruhi oleh
lingkungan luar luka sehingga madu mudah diserap oleh kulit. Hal ini
mengakibatkan nutrisi yang dibutuhkan kulit terpenuhi dan kulit
menjadi lembab. Dalam jurnal ini dapat diketahui, bahwa perawatan
luka metode modern dressing menggunakan madu efektif untuk
mempercepat proses penyembuhan luka gangrene dengan mempercepat
pertumbuhan granulasi jaringan pada luka.

Suatu inovasi intervensi yang bagus, kreatif, dan sangat


bermanfaat yang dapat dilakukan dalam memberikan perawatan luka
gangrene pada penderita DM. Dengan adanya inovasi tersebut dapat
mempercepat penyembuhan luka gangrene yang cepat & optimal,
sehingga pasien dapat beraktivitas kembali tanpa terganggu dengan
luka tersebut. Namun, selain perawatan luka yang tepat tetap perlu
untuk menjaga pola mkan, olahraga, dan cek kadar gula darah teratur,
sehingga tercipta kesehatan yang optimal. Selain itu, penemuan inovasi
seperti ini dapat memicu semangat dalam mengembangkan skill dan
kreatifitas perawat Indonesia, dalam menciptakan inovasi lain yang
bermanfaat untuk kesehatan pasien. Dengan inovasi-inovasi yang
selalu diperbarui juga akan meningkatkan pelayanan kesehatan yang
diberikan perawat dalam bentuk asuhan keperawatan, sehingga tercipta
pengakuan dan pandangan yang baik terhadap perawat dimata
masyarakat luas.
Hasil Diskusi Kelompok 4
1. Apakah efektif jika tatalaksana DM dengan menggunakan model behavioral system
seperti yang sudah dijelaskan di jurnal 1 di lakukan di Rumah Sakit ?
Jawab : Model behavioral system mengutamakan pemberian motivasi yang
mengandung edukasi dan konseling kepada klien sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan klien DM mengenai penyakitnya. Peningkatan pengetahuan ini terjadi
karena dalam pemberian motivasi ada materi edukasi tentang diabetes juga sehingga
peningkatan pengetahuan yang terjadi adalah karena pemberian edukasi.Rumah sakit
dalam memberikan penyuluhan, hendaknya lebih mengoptimalkan jadwal yang telah
ditetapkan dan membuat program penyuluhan semenarik mungkin sehingga akan lebih
banyak lagi pasien yang tertarik untuk mengikuti penyuluhan. Pasien juga perlu diberikan
motivasi karena dengan memberikan motivasi maka kita memberikan dukungan dan
menanamkan kesadaran pada pasien untuk melaksanakan tatalaksana DM. Pemberian
motivasi dan edukasi mengenai DM kepada pasien DM dapat juga dilakukan oleh dokter
maupun perawat setelah tindakan pemeriksaan. Jadi, model behavioral system juga akan
efektif jika diterapkan di lingkungan rumah sakit.
2. Jelaskan langkah-langkah teknik PMR seperti yang sudah dijelaskan dalam jurnal
5!
Jawab : PMR merupakan satu bentuk terapi relaksasi dengan gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot –otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu
untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan
melemaskan secara progresif kelompok otot ini dilakukan secara berturut-turut pada
kelompok otot utama. Latihan relaksasi ini bertujuan untuk membedakan perasaan yang
dialami saat kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi
tegang. Dengan mengetahui lokasi dan merasakan otot yang tegang, maka klien dapat
merasakan hilangnya ketegangan sebagai salah satu respon ansietas dengan lebih jelas di
mana terapi PMR dapat merangsang pengeluaran zat kimia endorphin dan enkefalin serta
merangsang signal otak yang menyebabkan otot rileks dan meningkatkan aliran darah ke
otak. Langkah-langkah PMR adalah dengan memberikan tegangan pada suatu kelompok
otot, dan kedua dengan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan
perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi relaks, merasakan sensasi relaks
secara fisik dan tegangannya meregang.
Urutan otot yg direlaksasi adalah Otot tangan (dengan membuat gerakan mengepal,
membuka), Otot tangan bagian belakang, Otot biseps, Otot bahu, Otot-otot wajah, Otot
rahang, Otot sekitar mulut, Otot leher, Otot punggung, Otot dada, Otot perut dan yang
terakhir adalah Otot kaki (paha dan betis).
3. Bagaimana faktor perancu seperti usia, jenis kelamin, gaya hidup dan berat badan
berpengaruh dalam pemberian ekstrak kelopak bunga rosella? Apakah ada batasan
karakteristik yang berpengaruh dalam keberhasilan penurunan kadar glukosa
tersebut? (Jurnal 3)
Jawab : Faktor perancu seperti usia, usia yang semakin menua mempengaruhi kadar
glukosa darah semakin meningkat. Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari
tingkat sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang
mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah
sel B pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringam target yang mneghasilkan glukosa,
sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa darah. Perubahan
anatomi, fisiologi, dan biokimia yang terjadi pada pasien DM tipe 2 ini, mempengaruhi
sel β pankreas dalam menghasilkan insulin sehingga produksi insulin berkurang,
sementara hormon counter regulasi yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah
meningkat. Mayoritas orang dengan usia lebih tua dengan kadar glukosa darah yang lebih
tinggi mempengaruhi pemberian ekstrak kelopak bunga rosella lebih banyak dibanding
yang usia muda dengan resiko lebih minim hal ini dikarenakan menyesuaikan kondisi dan
perubahan metabolisme tubuh pasien. Faktor lain yaitu gaya hidup, seperti pola makan
yang mengandung gula tidak teratur juga akan mempengaruhi pemberian dosis obat
herbal ini sebagai tatalaksana.
Batasan Karakteristik dalam penelitian ini yaitu kadar pemberian sesuai KGD pasien dan
waktu pemberian ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus Sabdariffa) ,selama 28 hari
dengan frekuensi pemberian 1 kali sehari yang disajikan sebanyak 250 ml. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, terlihat bahwa pemberian ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus
Sabdariffa) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kadar glukosa
darah pada pasien DM tipe 2. tumbuhan Hibiscus Sabdariffa memberikan pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan kadar gula darah karena di dalam rosella itu sendiri
terdapat kandungan kimia antara lain; kandungan kalsium, niasin, riboflavin dan besi
yang cukup tinggi.
4. Bagaimana mengenai waktu dan efek samping pemberian, serta kontraindikasi pemberian
intervensi dini berupa farmakoterapi (ex: metformin) seperti yang dijelaskan dalam jurnal
8?
Jawab : Waktu pemberiannya secara oral dan setelah makan. metformin
dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum lebih dari 1,5
mg/dL, gangguan fungsi hati dan pada pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti
sepsis. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonyurea, metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna seperti mual namun
bisa diatas dengan pemberian setelah makan.
5. Jelaskan kelainan genetik yang seperti apa yang dimaksud berpengaruh dalam
faktor risiko pada klien dengan DM tipe 2?
Jawab : Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes
sebelumnya, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin
dengan baik. DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental, penyakit
ini dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya
DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orangtua atau saudara kandung
yang mengalami diabetes mellitus tipe 2 ini.
6. Jelaskan zat manakah dari zat-zat yang terkadung dalam aloe vera dapat
memperbaiki fungsi produksi insulin pada pankreas? (Jurnal 10)
Jawab : Zat yang berperan penting dalam memperbaiki fungsi produksi insulin pada
pancreas adalah chromium. Chromium dibutuhkan oleh tubuh dalam metabolisme
karbohidrat dan lemak. bersama-sama dengan insulin, chromium berfungsi untuk
memudahkan masuknya glukosa kedalam tubuh. Chromium memfungsikan hormon
insulin lebih efisien menyebarkan glukosa ke aliran darah menuju ke dalam sel. Sehingga
akan menambah jumlah reseptor insulin pada membran sel akan memudahkan pengikatan
insulin pada sel. Fungsi chromium yang membantu kerja hormone insulin lebih efektif
dan efisien membuat kerja pancreas tidak terlalu diforsir (berkurang), sehingga ada waktu
untuk regenerasi sel-sel β pancreas. Hal inilah yang menyebabkan fungsi pancreas dalam
mensekresi insulin menjadi lebih optimal.
Mekanismenya adalah Chromium yang dikonsumsi oleh penderita diabetes mellitus akan
menuju ke jaringan adipose dan otot lurik yang akan mengaktifkan fosforilasi Akt yang
ada di jaringan adipose dan otot lurik. Fosforilasi Akt akan merangsang sekresi insulin
secara paten sehingga glukosa dapat masuk kedalam sel β pancreas secara difusi pasif
yang diperantarai protein membrane yang spesifik (glukosa transporter 2) sedangkan
glukosa masuk ke membran plasma melalui glukosa transporter 4 yang juga dapat
merangsang sekresi insulin. Karena adanya sekresi insulin maka produksi insulin
meningkat secara otomatis produksi glukosa oleh hati menurun dan glukosa darah juga
menurun.
7. Apabila self instructional training diterapkan pada pasien DM untuk semua umur
apakah akan efektif (pada jurnal 6)? Berapa anjuran kedelai hitam yang harus
dikonsumsi perharinya untuk terapi diet penderita DM (pada jurnal 7)?
Jawab : self instructional training efektif diberikan untuk semua umur. Self
instructional training merupakan pemberian edukasi untuk pencegahan penyakit dan juga
digunakan untuk meningkatkan pengetahuan agar terhindar dari penyakit DM. Pemberian
pengetahuan ini juga dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang untuk merubah
kebiasaan yang dapat memicu terjadinya penyakit DM.
Untuk anjuran mengkonsumsi protein dari kedelai hitam adalah sebanyak 10-20% dari
total energi. Kemudian kedelai hitam dapat dikonsumsi per harinya.
BAB IV
Kesimpulan

Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B pankreas
karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll), penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita diabetes melitus
biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia, polidipsia, poliuria, nafsu makan
bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah
lelah, dan kesemutan.
Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008 prevalensi DM di Indonesia membesar hingga 57%. Peningkatan Kejadian
Diabetes Melitus tipe 2 di timbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes melitus dalam
keluarga, umur, Obesitas, tekanan darah tinggi, dyslipidemia, toleransi glukosa terganggu,
kurang aktivitas, riwayat DM pada kehamilan.
Untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan
gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah
puasa >126 mg/dl. Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan pemilihan obat
oral hiperglikemik dan insulin serta modifikasi gaya hidup seperti diet , dan olahraga teratur
untuk menghindari komplikasi seperti ketoasidosis diabetik, koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHNK) dan kemolaktoasidosis, penyakit jantung koroner,gagal jantung kongetif, stroke,
nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan ulkus diabetikum.
Daftar Pustaka

Bennet, P. 2008. Epidemiology of Type 2 Diabetes Millitus. Philadelphia: Lippincott William


& Wilkin
Yaturu, S. 2011. Journal of Diabetes Mellitus: Obesity and Type 2 Diabetes
Aini, Nur, Widati Fatmaningrum, dan Ah. Yusuf. 2011. Peningkatan Perilaku Pasien dalam
Tatalaksana Diabetes Mellitus Menggunakan Model Behavioral System. Jurnal Ners,
Vol. 6 No.1
Syarif, Hilman., Putra, Ardia. 2014. Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi; a
Randomized Clinical Trial. Idea Nursing Journal Vol. V No. 3
Tobing, Duma Lumban. 2012. Pengaruh Progressive Muscle Relaxation dan Logoterapi
terhadap Perubahan Ansietas, Depresi, Kemampuan Relaksasi dan Kemampuan
Memaknai Hidup Klien Kanker di RS Dharmais Jakarta. Universitas Indonesia :
Jakarta.
Arisman. (2008). Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Mellitus, Dislipidemia. Jakarta:
EGC. Jakarta.
Wuliyani T. 2007. Pengaruh jus lidah buaya (Aloe vera) terhadap penurunan kadar gula
darah pada tikus putih (Rattus novergicus) strain wistar (Tesis). Malang: Universitas
Muhammadyah Malang

Anda mungkin juga menyukai