Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MATA AJAR KEPERAWATAN IMUN DAN HEMATOLOGI I

“Regulasi Sistem Imun”

Fasilitator :
Iqlima Dwi Kurnia S.Kep., Ns.M.Kep

Disusun Oleh :
Alfi Rahmawati Mufidah (131511133041)
Khulasotun Nuriyah (131511133042)
Dyah Rohmatussolichah (131511133043)
Nurul Fauziyah (131511133044)
Erna Yunita (131511133045)
Agi Putri Alfiyanti (131511133046)
Kifayatus Sa’adah (131511133047)
Sri Wulandari (131511133048)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1

i
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................3

2.1 Regulasi Sistem Imun.......................................................................................................3


2.2 Pengaturan Sel B..............................................................................................................4
2.3 Pengaturan Sel T...............................................................................................................6
2.4 Efek Radang Pada Sistem Imun.....................................................................................10
2.5 Efek Hipersensitivitas.....................................................................................................12
2.6 Stress Dan Sistem Imun..................................................................................................16
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................22

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunologi adalah cabang ilmu biomedis yang berkaitan dengan respons organisme
terhadap penolakan antigenic, pengenalan diri sendiri dan bukan dirinya, serta semua efek
biologis, serologis dan kimia fisika fenomena imun.
Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan, sehingga
tubuh dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar
maupun dari dalam tubuh. Sistem imun dirancang untuk melindungi inang (host) dari
patogen-patogen penginvasi dan untuk menghilangkan penyakit. Sistem imun
diklasifikasikan sebagai sistem imun bawaan (innate immunity system) atau sering juga
disebut respon/sistem nonspesifik serta sistem imun adaptif (adaptive immunity system)
atau respon/sistem spesifik, bergantung pada derajat selektivitas mekanisme pertahanan.
Sistem imun terbagi menjadi dua cabang yaitu, imunitas humoral yang merupakan fungsi
protektif imunisasi dapat ditemukan pada humor dan imunitas selular yang fungsi
protektifnya berkaitan dengan sel.
Dalam menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau
kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya.
Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini,
merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spekt rum luas, yang artinya tidak hanya
ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga
ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkit kan
karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat dikelompokkan
manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara pasif.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud regulasi sistem imun ?
2. Bagaimanakah pengaturan sel B ?
3. Bagaimanakah pengaturan sel T ?
4. Apa yang dimaksud efek radang pada sistem imun ?
5. Apa yang dimaksud efek hipersensitivitas ?
6. Bagaimana hubungan antara stress dan sistem imun ?

1
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan regulasi sistem imun
2. Menjelaskan pengaturan sel B
3. Menjelaskan pengaturan sel T
4. Menjelaskan efek radang pada sistem imun
5. Menjelaskan efek hipersensitivitas
6. Menjelaskan hubungan antara stress dan sistem imun

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Regulasi Sistem Imun


Regulasi sistem imun atau imunoregulasi adalah pengendalian respon dan interaksi
imun spesifik antara limfosit B dan T serta makrofag. Pada dasarnya keutuhan tubuh
dipertahankan oleh dua sistem pertahanan yaitu sistem pertahan tubuh non spesifik
(natural) dan spesifik (adaptive).
2.1.1 Sistem Imun Non Spesifik
Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik
memerlukan waktu sebelum memberikan responnya. Sistem imun tersebut disebut
non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertenntu. Sistem
pertahanan nonspesifik terdiri dari pertahanan fisik,pertahanan larut (biokimia) dan
pertahanan seluler.Pertahanan fisik terdiri darikulit,selaput lendir ,silia saluran
napas,batuk dan bersin dapat mencegah berbagai kuman patogen yang masuk
kedalam tubuh. Pertahanan larut terdiri dari bahan-bahan yang disekresi mukosa
saluran napas,kelenjar sebasea kuliit,kelenjar kulit,telinga,spermin dalam
semen,lisozim yang dilepas makrofag dan laktoferin merupakan bahan yang
berperan dalam pertahanan tubuh.Pertahanan seluler terdiri dari makrofag,sel NK
dan sel mast.
2.1.2 Sistem Imun Spesifik
Sistem imun mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap
asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera
dikenal sistem imun spesifik,akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila
sel sistem tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama yang akhir akan
dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut
spesifik.Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda
asing yang berbahaya bagi badan tetapi umunya terjalin kerja sama yang baik
antara antibodi,komplemen,fagosit dan antara sel T makrofag. Komplemen turut
diaktifkan dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada
respon imun. Sistem imun spesifik terdiri dari spesifik humoral dan spesifik seluler.
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B

3
sedangkan pada spesifik seluler yang beperan adalah limfosit T atau sel T. Bila
antigen spesifik melakukan kontak dengan limfosit T dan B didalam jaringan
limfoid maka limfosit T tertentu menjadi teraktivasi untuk membentuk sel T
teraktivasi dan limfosit B tertentu menjadi teraktivasi untuk membentul antibodi.
Sel T yang teraktivasi dan atibodi ini kemudian bereaksi dengan sangat spesifik
terhadap antigen tipe tertentu yang mencetuskan pembentukan sel imun tadi.
Makrofag juga sangat berperan dalam proses aktivasi sel T dan sel B. dmana
makrofag mentransfer antigen-antigen tertentu secara langsung ke limfosit dengan
cara kontak sel ke sel sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik.
Selain itu makrofag juga menyekresikan zat pengaktivasi khusus yang
meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik.zat ini disebut
Interleukin-1.

2.2 Pengaturan Sel B

Sel B adalah limfosit yang memainkan peran penting pada imunitas humoral,
sedangkan limfosit lain yaitu sel T memainkan peran penting imunitas selular. Fungsi
utama sel B adalah untuk membuat antibodi melawan antigen. Sel B adalah
komponen sistem imun adaptif.
Reseptor antigen pada sel B, biasa disebut reseptor sel B, merupakan imunoglobulin.
Pada saat sel B teraktivasi oleh antigen, sel B terdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi molekul antibodi. Antibodi yang diproduksi berupa imunoglobulin dengan
tipe :
 IgG yang mengikat mikroba dengan sangat efisien
 IgM yang mengikat bakteri
 IgA yang terdapat pada interstitium, saliva, lapisan mukosa dan saluran
pencernaan untuk mencegah infeksi oleh antigen.
 IgE yang mengikat parasit dan merupakan penyebab utama terjadinya gejala alergi
 IgD yang selalu terikat pada sel B dan memainkan peran untuk menginisiasi respon
awal sel B
Sel B terbagi menjadi dua jenis:
 Sel B-1 atau sel B CD5, merupakan sel B yang ditemukan pada
ruang peritoneal dan pleural dan memiliki kemampuan untukberproliferasi.

4
 Sel B-2 atau sel B konvensional, merupakan sel B hasil sintesis sumsum tulang yang
memenuhi plasma darah dan jaringan sistem limfatik dan tidak memiliki kemampuan
untuk berproliferasi.
Terdapat 3 jenis limfosit B, yaitu:
 Sel B plasma mensekresikan antibodi ke sistem sirkulasi tubuh Setiap antibodi
sifatnya spesifik terhadap satu antigen patogenik. Sel plasma memproduksi antibodi
dengan sangat cepat, yaitu sekitar 2000 per detik untuk tiap sel. Sel plasma yang aktif
dapat hidup selama 4-5 hari.
 Sel B memori mengingat suatu antigen yang spesifik dan akan merespon dengan

sangat cepat bila terjadi infeksi kedua. Sel ini hidup untuk waktu yang lama dalam
darah.
 Sel B pembelah menghasilkan lebih banyak lagi sel-sel limfosit B Setelah infeksi

berkahir, sel B akan mati. Serangkaian respon tersebut dinamakan respon imun
primer. Meskipun demikian, sel-sel B yang telah mengingat patogen yang
menginfeksi masih tetap hidup untuk beberapa tahun. Jika patogen yang sama
menginfeksi, sel B tersebut akan membelah menghasilkan sel B aktif dalam jumlah
besar. Respon tersebut dinamakan respon imun sekunder. (respon sekunder lebih cepat
dan efektif dibandingkan respon primer).
Sel B berasal dari sel punca yang berada pada jaringan hemopoietik di dalam sumsum
tulang.
Pertahanan Spesifik: Imunitas diperantai antibodi Untuk respon imun yang
diperantarai antibodi, limfosit B berperan dalam proses ini, dimana limfosit B akan
melalui 2 proses yaitu respon imun primer dan respon imun sekunder.Jika sel limfosit B
bertemu dengan antigen dan cocok, maka limfosit B membelah secara mitosis dan
menghasilkan beberapa sel limfosit B.
Semua Limfosit B segera melepaskan antibodi yang mereka punya dan merangsang
sel Mast untuk menghancurkan antigen atau sel yang sudah terserang antigen untuk
mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B dibiarkan tetap hidup untuk menyimpan antibodi
yang sama sebelum penyerang terjadi. Limfosit B yang tersisa ini disebut limfosit B
memori. Inilah proses respon imun primer. Jika suatu saat, antigen yang sama menyerang
kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B daripada
sebelumnya.
Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast mengeluarkan histamin
untuk membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan hidup untuk
5
menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan kenapa respon
imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun primer.
Suatu saat, jika suatu individu lama tidak terkena antigen yang sama dengan yang
menyerang sebelumnya, maka bisa saja ia akan sakit yang disebabkan oleh antigen yang
sama karena limfosit B yang mengingat antigen tersebut sudah mati. Limfosit B
memori biasanya berumur panjang dan tidak memproduksi antibodi kecuali dikenai
antigen spesifik. Jika tidak ada antigen yang sama yang menyerang dalam waktu yang
sangat lama, maka Limfosit b bisa saja mati, dan individu yang seharusnya bisa resisten
terhadap antigen tersebut bisa sakit lagi jika antogen itu menyerang, maka seluruh proses
respon imun harus diulang dari awal.

2.3 Pengaturan Sel T


Imunitas seluler dihasilkan oleh aktivitas limfosit yang disebut sel-sel T, terbentuk
didalam kelenjar timus. Berbeda dengan sel-sel B, sel-sel T jika kontak dengan anti gen
spesifik, mengadakan diferensiasi menjadi sel-sel yang mampu mengadakan interaksi
langsung dengan sel atau jaringan asing yang kemudian merusaknya, oleh karena itu
disebut pula sel T yang bersifat sitotoksik atau sel pembunuh (kiler cell). Fungsi killer
sel ini dapat disempurnakan, baik melalui kontak langsung sel-sel efektor dengan
membrana permukaan sel sasaran atau dengan pelepasan mediator yang bersifat solubel
non spesifik, non antibody yang disebut lymphokines yang dapat bertindak dalam
berbagai cara, misal dengan meracuni sel atau jaringan asing (lymhotoxin), dengan
menstimulasi aktivitas fagositik dalam makrofag, atau dengan cara menarik sel-sel
radang ketempat luka (kemotaksis). Berbagai parasit misalnya trypatosoma sp.,mampu
menghindar dari kerusakan imun (immune destruction) dengan menggangu pengaturan
sel T ini.
Pada waktu terpapar dengan antigen yang sesuai, seperti yang diperlihatkan oleh
makrofag yang berdekatan. Limfosit T dari klon jaringan limfoid spesifik akan
berproliferasi dan melepaskan banyak sel T yang teraktifasi bersamaan dengan pelepasan
antibodi oleh sel B yang teraktifasi. Perbedaan utamanya adalah bahwa bukan antibodi
yang dilepaskan, tetapi seluruh sel T yang teraktifasi yang dibentuk dan dilepaskan
kedalam cairan limfe. Dan selanjutnya sel T akan dilewatkan kedalam sirkulasi dan akan
disebarkan ke seluruh tubuh, melalui dinding kapiler masuk ke ruang jaringan. Sekali
lagi kembali masuk ke dalam cairan limfe dan darah, dan bersirkulasi bolak balik di
6
seluruh tubuh. Kadang-kadang berakhir sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun.

Sel memori limfosit T juga dibentuk melalui cara yang sama seperti sel memori B
dibentuk dalam sistem antibodi. Jadi, bila ada suatu klon limfosit T diaktifkan oleh suatu
antigen, maka banyak limfosit yang baru terbentuk ditambahkan ke dalam jaringan
limfoid untuk menjadi limfosit T tambahan terhadap klon spesifik. Dan ternyata sel-sel
memori ini bahkan menyebar ke seluruh jaringan limfoid di seluruh tubuh. Oleh karena
itu, pada paparan berikutnya terhadap antigen yang sama, pelepasan sel-sel T teraktifasi
terjadi jauh lebih cepat dan jauh lebih kuat dibandingkan pada waktu respons pertama.

Macam-macam tipe sel T dan berbagai fungsinya :

Sel-sel ini digolongkan dalam 3 kelompok utama yaitu: (1) sel T pembantu, (2) sel T
sitotoksik, (3) sel T supresor. Fungsi sel ini benar-benar berbeda.

A. Sel T Pembantu

Perannya dalam seluruh pengaturan imunitas. Sel T pembantu sejauh ini merupakan
sel T yang jumlahnya paling banyak, meliputi lebih dari tiga perempat keseluruhan.
Seperti yang ditunjukkan oleh namanya, sel-sel ini membantu untuk melakukan fungsi
sistem imun dan fungsi lainnya. Pada kenyataannya sel-sel ini bertindak sebagai
pengatur utama yang sesungguhnya bagi seluruh fungsi imun. Sel-sel ini melakukan hal
tersebut dengan membentuk serangkaian mediator protein yang disebut limfokin yang
bekerja pada sel-sel lain dari sistem imun dan pada sel sumsum tulang. Limfokin yang
penting disekresikan oleh sel-sel T pembantu adalah Interleukin 2, 3, 4, 5, 6, Faktor
perangsang koloni monosit-granulosit, interferon-γ.

Fungsi pengaturan spesifik dari limfokin.

Bila tidak terdapat limfokin yang berasal dari sel T pembantu, maka sistem imun yang
tersisa hampir seluruhnya menjadi lumpuh. Pada kenyataannya sel T pembantulah yang
diinaktifasi atau dihancurkan oleh virus sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS), yang
membuat tubuh hampir secara total tidak terlindungi terhadap penyakit infeksi. Oleh
karena itu, menimbulkan efek kematian yang cepat akibat AIDS. Beberapa fungsi
pengaturan spesifik adalah sebagai berikut:

a) Perangsangan pertumbuhan dan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T supressor.

7
Bila tidak ada sel T pembantu, klon untuk memproduksi sel T sitotoksik dan sel T
supresor diaktifkan sedikit sekali oleh sebagian besar antigen. Limfokin interleukin-2
khususnya memiliki efek perangsangan yang sangat kuat dalam menyebabkan
pertumbuhan dan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T supresor. Selain itu beberapa
limfokim lain memiliki efek potensial yang lebih sedikit, terutama interleukin 4 dan 5.

b) Perangsangan pertumbuhan dan diferensiasi sel B untuk membentuk sel plasma dan
antibodi.

Kerja langsung antigen untuk menghasilkan pertumbuhan sel B, proliferasi,


pembentukan sel plasma, dan sekresi antibodi juga bersifat lemah tanpa bantuan sel T
pembantu. Hampir semua interleukin ikut serta dalam proses sel B, tetapi khususnya
interleukin 4, 5, dan 6. Pada kenyataan ketiga interleukin ini yang memiliki efek kuat
pada sel B, sehingga mereka disebut faktor perangsang sel B atau faktor pertumbuhan sel
B.

c) Aktifasi sistem makrofag.

Limfokin juga mempengaruhi sistem makrofag. Pertama mereka memperlambat atau


menghentikan migrasi makrofag setelah mereka secara kemotaktik tertarik ke dalam area
jaringan yang meradang, dengan demikian menyebabkan pengumpulan makrofag dalam
jumlah yang banyak. Kedua, mereka mengaktifkan makrofag untuk menimbulkan
fagositosis yang jauh lebih efisien, sehingga memungkinkan makrofag untuk menyerang
dan menghancurkan organisme penyerbu dalam jumlah yang lebih banyak.

d) Umpan balik efek perangsangan pada sel pembantu sendiri.

Beberapa limfokin, khususnya interleukin 2, memiliki efek umpan balik positif langsung
yang merangsang aktifasi sel T pembantu itu sendiri. Kerja ini berlaku sebagai suatu
penguat dalam memperkuat respon sel pembantu selanjutnya, seperti yang terjadi pada
seluruh respon imun dalam melawan antigen yang menyerbu.

B. Sel T Sitotoksik

Sel ini merupakan sel penyerang langsung yang mampu membunuh mikroorganisme
dan pada suatu saat bahkan membunuh sel-sel tubuh sendiri. Dengan alasan tersebut,
maka sel ini disebut sel pembunuh. Pada permukaan sel sitotoksik ini didapati protein

8
reseptor yang menyebabkannya terikat erat dengan organisme-organisme tersebut atau
sel-sel yang mengandung antigen spesifiknya. Selanjutnya mereka membunuh sel yang
diserang tadi. Setelah berikatan, sel T sitotoksik menyekresi protein pembentuk lubang,
yang disebut perforin yang membuat lubang bulat besar pada membran dari sel yang
diserang. Kemudian cairan dari ruang interstisial akan mengalir secara sepat kedalam sel.
Selain itu, sel sitotoksik akan melepaskan substansi sitotoksiknya secara langsung
kedalam sel yang diserang. Sehingga sel yang diserang segera membengkak dan
biasanya tidak lama kemudian akan terlarut.

Yang penting adalah sel pembunuh sitotoksik dapat terdorong keluar dari sel korban
setelah sel itu terlubangi dan dimasuki oleh substansi sitotoksik, dan sel pembunuh
kemudian bergerak untuk membunuh lebih banyak sel lagi. Malahan setelah
menghancurkan sel-sel penyerbu, banyak sel-sel pembunuh ini yang kemudian menetap
selama berbulan-bulan dalam jaringan.

Beberapa sel T sitotoksik bersifat sangat mematikan terhadap sel-sel jaringan yang
telah diinvasi oleh virus, sebab banyak partikel virus terjebak dalam membran sel
jaringan dan menarik sel T sebagai responnya terhadap antigenisitas virus. Sel-sel
sitotoksik juga berperan penting dalam penghancuran sel kanker, sel cangkok jantung,
atau jenis-jenis sel lain yang dianggap asing oleh tubuh orang itu sendiri.

C. Sel T Supressor

Dibandingkan dengan sel-sel yang lain, sel T supressor ini masih sedikit yang
diketahui, namun sel ini mempunyai kemampuan untuk menekan fungsi sel T sitotoksin
dan sel T pembantu. Telah dianggap bahwa fungsi supressor ini menyebabkan
pengaturan aktivitas sel-sel lain, menjaganya agar jangan menyebabkan reaksi imun
yang berlebihan yang mungkin saja merusak tubuh. Dengan alasan ini, maka sel-sel
supressor bersama sel T pembantu, digolongkan sebagai sel T regulator.

2.4 Efek Radang Pada Sistem Imun


Inflamasi atau peradangan merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan
oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland,
2002). Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang
memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling

9
sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan
penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh
kerusakan sel (Robbins, 2004). Penyebab peradangan antara lain mikroorganisme,
trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika.
Respon dari reaksi inflamasi adalah sel-sel atau molekul pertahanan tubuh manusia
yang biasanya berada di dalam darah, akan dibawa ke daerah yang mengalami infeksi
atau kerusakan. Sebagai contoh, ketika terdapat luka pembuluh darah kecil pada sekitar
luka menjadi membesar dan aliran darahnya akan mengalir cepat tetapi secara berkala
kembali turun. Cairan kaya akan protein dan sel-sel darah merah serta leukosit akan
keluar dari pembuluh darah yang membesar menuju ke dalam jaringan. Kemudian
protein plasma dan fagosit akan mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen
yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses
penyembuhan (Corwin, 2008).
Proses terjadinya inflamasi

Proses terjadinya peradangan yakni pada setiap luka pada jaringan akan timbul
reaksi inflamasi atau reaksi vaskuler. Mula-mula terjadi dilatasi lokal dari arteriole dan
kapiler sehingga plasma akan merembes keluar. Selanjutnya cairan edema akan
terkumpul di daerah sekitar luka, kemudian fibrin akan membentuk semacam jala,
struktur ini akan menutupi saluran limfe sehingga penyebaran mikroorganisme dapat
dibatasi. Dalam proses inflamasi juga terjadi phagositosis, mula-mula phagosit
membungkus mikroorganisme, kemudian dimulailah digesti dalam sel. Hal ini akan
mengakibatkan perubahan pH menjadi asam. Selanjutnya akan keluar protease selluler
yang akan menyebabkan lysis leukosit. Setelah itu makrofag mononuclear besar akan
tiba di lokasi infeksi untuk membungkus sisa-sisa leukosit. Dan akhirnya terjadilah
pencairan (resolusi) hasil proses inflamasi lokal. Cairan kaya protein dan sel darah putih
yang tertimbun dalam ruang ekstravaskular sebagai akibat reaksi radang disebut eksudat.
Perbedaan antara Eksudat dan Transudat yaitu, Eksudat adalah cairan radang
ekstravaskular dengan berat jenis tinggi (diatas 1.020) dan seringkali mengandung
protein 2-4 mg % serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini
tertimbun sebagai akibat permeabilitas vascular (yang memungkinkan protein plasma
dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravascular
sebagai akibat aliran lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit
yang menyebabkan emigrasinya.

10
Tipe reaksi inflamasi berkembang melalui beberapa tahapan :
(1) Agen penyebab, yang berlokasi di jaringan extraseluler berfungsi mengenali sel host
dan molekul. Leukosit dan protein plasma dibawa dari sirkulasi ke tempat dimana lokasi
agen penyebab.
(2) Leukosit dan protein kemudian diaktivasi dan bekerja bersama untuk
menghancurkan dan menghilangkan substansi penyebab.
(3) Reaksi di kontrol dan diterminasi.
(4) Kerusakan jaringan diperbaiki1.

Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai rangsangan:


(1) Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) dan toksin bakteri
(2) Nekrosis jaringan mendatangkan inflamasi tanpa memperhatikan penyebab dari
kematian sel, proses iskemik akan menurunkan aliran darah (pada kasus myocard infark)
(3) Trauma atau cedera fisik dan trauma kimia (seperti cedera kebakaran atau kerusakan
kulit akibat suhu ekstrim, radiasi (terpapar lingkungan kimia)
(4) Benda asing (serpihan, kotoran,sutura) yang mungkin menimbulkan inflamasi untuk
dirinya sendiri atau karena cedera jaringan akibat trauma atau dari mikroba
(5) Reaksi imunitas (juga disebut hipersensitivitas) dimana reaksi secara normal sistem
imun melindungi dari kerusakan pada jaringan individunya sendiri.

Pengenalan dari agen penganggu adalah tahap pertama dari seluruh reaksi inflamasi.
Sel dan reseptor akan melakukan fungsi untuk mengenali banyak agen perusak sebagai
adaptasi dari organisme multiseluler terhadap keberadaan mikroba dalam lingkungan dan
respon mereka memicu untuk pertahanan organisme. Beberapa reseptor seluler dan
protein dalam sirkulasi mampu untuk mengenali mikroba dan produk dari kerusakan sel
dan inflamasi.
(1) Reseptor seluler untuk mikroba
Reseptor cepat sel di membran plasma (untuk mikroba ekstraseluler), endosom (untuk
mencerna mikroba), dan sitosol (untuk mikroba intraseluler) yang terdapat di sel untuk
mengenali adanya benda asing pada kompartemen seluler. Reseptor ini berekspresi pada
berbagai tipe sel, meliputi sel epitel, sel dendrit, makrofag dan leukosit lainnya
(2) Sensor kerusakan sel
Semua sel memiliki reseptor sitosolik yang mengenali berbagai molekul yang
menyebabkan kerusakan sel. Reseptor ini diaktivasi oleh kompleks sitosolik multiprotein
11
yang disebut inflammasome, yang meningkatkan produksi sitokin interleukin-1 (IL-1).
IL-1 diambil oleh leukosit dan kemudian menstimulus inflamasi.
(3) Reseptor seluler lain yang terlibat pada inflamasi
Reseptor ini mengenali mikroba yang melapisi antibodi dan komplemen (proses melapisi
ini disebut opsonisasi) dan meningkatkan pencernaan dan destruksi mikroba pada
inflamasi.
(4) Protein di sirkulasi
Protein di sirkulasi disebut mannose-binding lectin mengenali gula pada mikroba dan
meningkatkan pencernaan mikroba dan aktivasi sistem komplemen. Protein lain
disebut collectin yang juga berikatan dan melawan mikroba.

2.5 Efek Hipersensitivitas


Efek Hipersensitivitas ada 4:
Tipe 1: Hipersensitivitas imediat: Anafilaksis atau Atopi

Anafilaksis mengacu pada reaksi akut yangbiasanya dihubungkan dengan tipe reaksi
kulit berupa bentol dan merah serta vasodilatasi yang dapat mencetuskan syok sirkulasi.
Atopi, yang diakibatkan oleh mekanisme yang sama, terjadi secara menahun pada respons
yang bergabtung pada antigen, frekuensi kontak, rute kontak, dan sensitivitas sistem organ
pada antigen.

Atopi adalah reaksi hipersensitivitas paling umum. Reaksi ini, umumnya disebut alergi,
terjadi pada organ yang terpanajan pada antigen lingkungan. Karenanya, saluran
pernapasan, kulit, dan sistem gastrointestinal secara khusus terkena. Banyak tipe antigen
atau alergen dapat menimbulkan status hipersensitivitas pada individu rentan. Kerentanan
terhadap alergi ditentukan oleh faktor genetik dan oleh faktor lain yang memungkinkan
pemajanan pada alergen.
Gejala yang
timbul disebabkan
oleh sel mediator

Mediator jenis Mediator jenis


pertama kedua

Histamin dan Pelepasan


faktor asam 12
kemotaktik arakidonik
histamin menyebabkan Dapat menyebabkan
bentol dan warna reaksi radang
kemerahan pada kulit

* Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.

Tipe II: Hipersensitivitas sitotoksik

Suatu antibodi sirkulasi biasanya IgG, bereaksi dengan antigen pada permukaan sel.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi
dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada
target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.

IgG bereaksi dengan senyawa


intraseluler di antara sel epidermal

Tipe
Hipersensitivitas Anemia hemolitik dipicu obat-obatan
tipe II autoimun

IgG bereaksi dengan membran


permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal

Sindrom Goodpasture
Tipe III: Penyakit kompleks imun

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi
normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang
akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus,
lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan
membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
13
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini
juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi
tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga
dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks
imun

kompleks imun kompleks imun


karena kelebihan karena kelebihan
antigen antibodi

* Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan penyakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis.

* Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama.
Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus
dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt)
dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

Tipe IV: Hipersensitivitas selular

Respon tipe IV merupakan akibat dari limfosit T yang disensitisasi secara khusus
tanpa partisipasi antibodi. Aktivasi menyebabkan respon tipe tertunda. Respon
hipersensitivitas tertunda dihubungkan dengan interaksi khusus sel-T dengan antigen. Sel-
T bereaksi dengan antigen dan melepaskan limfokin yang menarik makrofag ke dalam area
tersebut. Makrofag me;epaskan monokin. Zat ini meningkatkan respon inflamasi yang
menghancurkan benda asing. Respon tuberkulin adalah contoh paling baik dari respon

14
hipersensitivitas tertunda dan digunakan untuk meenentukan apakah seseorang terlah
tersensitisasi terhadap penyakit ini.

Tabel efek hipersensitivitas

Jenis Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan


Hipersensitivitas Patologik Jaringan dan Penyakit
Tipe I IgE Sel mast dan mediatornya
Hipersensitivitas (amin vasoaktif, mediator
cepat lipid, dan sitokin)
Tipe II IgM, IgG terhadap Opsonisasi & fagositosis
Reaksi melalui permukaan sel atau matriks sel
antibody antigen ekstraseluler Pengerahan leukosit
(neutrofil, makrofag) atas
pengaruh komplemen dan
FcR
Kelainan fungsi seluler
(misal dalam sinyal reseptor
hormone)
Tipe III Kompleks imun (antigen Pengerahan dan aktivasi
Kompleks imun dalam sirkulasi dan IgM atau leukosit atas pengaruh
IgG) komplemen dan Fc-R
Tipe IV (melalui CD4+ : DTH Aktivasi makrofag,
sel T) CD8+ : CTL inflamasi atas pengaruh
sitokin
Membunuh sel sasaran
direk, inflamasi atas pengaruh
sitokin

2.6 Stress Dan Sistem Imun


Dalam ilmu psikologi stress diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi
secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995)
mendeskripsikan stress sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi
biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.
15
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stressor. Stressor dibedakan atas 3
golongan yaitu :
a. Stressor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain. Cermin
Dunia Kedokteran No. 154, 2007 13
b. Stressor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta
dan lain-lain.
c. Stressor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stres dapat
mengenai semua orang dan semua usia

Ross dan Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat, bahwa bukan jumlah stres
maupun beratnya stres yang mempunyai efek psikologik menonjol akan tetapi apakah
stres tersebut diinginkan atau tidak diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi
besar dalam menimbulkan efek psikologik
Stres baik ringan, sedang maupun berat dapat menimbulkan perubahan fungsi fisiologis,
kognitif, emosi dan perilaku.
2.6.1 Psikoneuroimunologi
Martin (1938) mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu :

16
1. Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan, dan
2. Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma.
Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan
pada modulasi sistem imun
Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah psikoneuroimunologi; yaitu
kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan, neurologi, psikiatri, patobiologi dan
imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak digunakan pada penelitian dan banyak temuan
memperkuat keterkaitan stres terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi
dan neoplasma.
2.6.2 Interaksi Antara Stres dengan Sistem Imun
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang
terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf
otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah
perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan
fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah
menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti
HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis)
dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis).

Perbedaan stress pria dan wanita dipengaruhi hormon. Pada kondisi stres, aksis LHPA
meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali
normal melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya
disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid dan steroid
gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi
(melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan

17
kadar steoid gonadal). Karena rasio estrogen androgen berubah maka stres menyebabkan
efek yang berbeda pada wanita dibanding pria.
Dalam menghadapi stressor, terjadi perubahan-perubahan fisiologik yang membantu
individu untuk melawan stressor tersebut. Respon terhadap stress yang berjalan kronik
melibatkan Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (HPA Axis) dan symphatetic-adrenal-
medullary axis (SAM Axis) dengan hasil akhir produksi hormon glukokortikoid dan
katekolamin yang berjalan kronis. Reseptor glukokortikoid diekspresikan oleh bermacam-
macam sel imun yang akan mengikat kortisol bekerjasama dengan fungsi NF-kB yang
mengatur produksi sitokin sel-sel imun. Reseptor adrenergik mengikat epinefrin dan
norepinefrin dan mengaktifkan respon cAMP yang akan menginduksi transkripsi gen-gen
yang mengkode bermacam-macam sitokin. Perubahan ekspresi gen diperantarai hormon-
hormon glukokortikoid sedangkan katekolamin dapat mengacaukan pengaturan fungsi
imun.
Tim peneliti dari Ohio State ini berspekulasi bahwa stres jangka panjang menyebabkan
tubuh mengeluarkan hormon stres - terutama glukokortikoid dalam jangka panjang.
Hormon-hormon ini mempengaruhi timus, tempat limfosit (salah satu sel imun)
diproduksi, dan menghambat produksi sitokin dan interleukin yang merangsang dan
mengkoordinasikan aktivitas sel darah putih.

18
Salah satu faktor yang tampaknya penting adalah kemampuan individu untuk dapat
mengendalikan stres. Persepsi pengendalian memperantarai pengaruh stres pada sistem
imun manusia. Dalam satu penelitian tentang efek perceraian, pasangan yang memiliki
kendali lebih besar terhadap masalah ini memiliki kesehatan yang lebih baik dan
menunjukkan fungsi sistem imun yang lebih baik. Demikian pula, penelitian terhadap
wanita dengan kanker payudara menemukan bahwa pasien yang pesimistik memiliki

19
kemungkinan lebih besar mengalami tumor baru dalam periode lima tahun, bahkan
setelah keparahan fisik penyakit mereka diperhitungkan.

BAB III
KESIMPULAN

20
Regulasi sistem imun atau imunoregulasi adalah pengendalian respon dan interaksi imun
spesifik antara limfosit B dan T serta makrofag. Pada dasarnya keutuhan tubuh dipertahankan
oleh dua sistem pertahanan yaitu sistem pertahan tubuh non spesifik (natural) dan spesifik
(adaptive). Sel B adalah limfosit yang memainkan peran penting pada imunitas humoral,
sedangkan limfosit lain yaitu sel T memainkan peran penting imunitas selular. Fungsi utama
sel B adalah untuk membuat antibodi melawan antigen. Sel B adalah komponen sistem imun
adaptif. Imunitas seluler dihasilkan oleh aktivitas limfosit yang disebut sel-sel T, terbentuk
didalam kelenjar timus. Berbeda dengan sel-sel B, sel-sel T jika kontak dengan anti gen
spesifik, mengadakan diferensiasi menjadi sel-sel yang mampu mengadakan interaksi
langsung dengan sel atau jaringan asing yang kemudian merusaknya, oleh karena itu disebut
pula sel T yang bersifat sitotoksik atau sel pembunuh (kiler cell).
Efek Hipersensitivitas ada 4: Tipe 1: Hipersensitivitas imediat: Anafilaksis atau Atopi.
Tipe II: Hipersensitivitas sitotoksik. Tipe III: Penyakit kompleks imun. Tipe IV:
Hipersensitivitas selular. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional
negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan
untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. Ross dan
Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat, bahwa bukan jumlah stres maupun
beratnya stres yang mempunyai efek psikologik menonjol akan tetapi apakah stres tersebut
diinginkan atau tidak diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi besar dalam
menimbulkan efek psikologik.

DAFTAR PUSTAKA

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.


Sabiston, David C.. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
21
Reece, Campbell. 1999. Biologi. Jakarta. Erlangga.
Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland (Penerjemah: Setiawan, A., Banny, A.P.,
Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk). Jakarta: EGC.
Corwin, E.J. 2008. Handbook of Pathophysiology, Third Edition, The Ohio State University.
Colombus. Hal 303.
Robbins. 2004. Buku Ajar Patofisiologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Subowo. 2010. Imunologi Klinik Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta : Balai Penerbit FK
UI.

22

Anda mungkin juga menyukai