GLUKOSA DARAH
Oleh :
S1-VII.A
DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Syilfia Hasti, M. Farm., Apt
1
disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin
timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan
rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi
penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita, yang
kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita,
merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang
apoteker. Demikian pula apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu
pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
kondisi dan pengelolaan diabetes, mulai dari pengetahuan tentang etiologi dan
patofisiologi diabetes sampai dengan farmakoterapi dan pencegahan komplikasi
yang semuanya dapat diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami,
disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi penderita. Pentingnya peran
apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini menjadi lebih bermakna
karena penderita diabetes umumnya merupakan pelanggan tetap apotik, sehingga
frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan apoteker di apotik mungkin lebih
tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan pelayanan
kefarmasian yang profesional.
Adapun hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut, seperti :
a. Penyakit penyakit yang menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah
b. Penyakit penyakit yang menyebabkan penurunan kadar glukosa darah
c. Obat obat yang menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah
d. Obat obat yang menyebabkan penurunan kadar glukosa darah
e. Bagaimana metabolisme glukosa pada pasien diabetes pada kondisi
komplikasi akut dan komplikasi kronik.
2
1.3. Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Glukosa Darah
4
Autoimun.
Idiopatik.
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent),
lebih sering ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari
sel pankreas yang memproduksi insulin mengalami
kerusakan secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang
diproduksi sedikit atau tidak langsung dapat diproduksikan.
Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes
melitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada
usia dibawah 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor
lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi dapat
menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di pankreas
(Merck, 2008).
5
c. Diabetes tipe lain.
Defek genetik fungsi sel beta :
DNA mitokondria.
Defek genetik kerja insulin.
a. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja
insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010).
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel
beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-
sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).
Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di
dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh
diabetes. Terdapat 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal
akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Penderita DM di Indonesia
sebanyak 4,5 juta pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka
ini meningkat menjadi 8,4 juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada
tahun 2025 atau urutan kelima di dunia Diabetes Melitus tidak dapat
disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan melalui diet, olah raga,
dan obat-obatan. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan
pengendalian DM yang baik.
6
b. Sindroma Cushing
Sindrom Cushing adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis akibat
peningkatan kadar glukokortikoid (kortisol) dalam darah. Pada tahun 1932
Harvey Cushing pertama kali melaporkan sindrom ini dan menyimpulkan bahwa
penyebab primer sindrom ini adalah adenoma hipofisis, sehingga penyakit ini
disebut sebagai penyakit Cushing (Cushing’s disease). Beberapa tahun kemudian
dilaporkan bahwa sindrom seperti ini ternyata bisa disebabkan oleh penyebab
primer selain adenoma hipofisis, dan sindrom ini pun disebut sebagai sindrom
Cushing (Cushing syndrome).
c. Hiperglikemia nondiabetik
d. Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik
(Rochmah, 2006). Obesitas adalah gangguan dimana terdapat kelebihan lemak
tubuh yang dapat ditetapkan jika terdapat IMT ≥ 25 kg/m2.
Obesitas merupakan faktor resiko penting untuk terjadinya DM tipe 2.
Yang berperan meningkatkan resiko DM tipe 2 adalah obesitas abdominal yang
ditetapkan apabila nilai ratio lingkar pinggang ≥ 80 untuk wanita, ≥90 untuk pria.
Prevalensi obesitas pada DM tipe 2 sangat tinggi. Lebih dari 80% pasien obesitas
dengan DM tipe 2 adalah obesitas, tetapi hanya 10% dari subjek yang mengalami
obesitas menjadi DM (Kriska, 2003).
Secara epidemologis, obesitas sentral merupakan faktor resiko DM tipe 2.
Resiko tersebut 2 kali pada obesitas ringan, 5 kali pada obesitas sedang, dan 10
kali pada obesitas berat. Besarnya pertumbuhan berat badan dan lamanya obesitas
menentukan besarnya resiko DM tipe 2. Secara pathogenesis, obesitas sentral
berkaitan erat dengan berbagai faktor yang secara bersamaan mengakibatkan
gangguan homeostatis glukosa. Diperkirakan bahwa hubungan obesitas dengan
DM tipe 2 terjadi malalui reistensi insulin. Jumlah lemak visceral mempunyai
7
korelasi poditif dengan hiperinsulin dan berkolerasi negatif dengan seneitivitas
insulin (Kriska, 2003).
Obesitas sentral ditandai oleh reistensi insulin dihati, peningkatan FFA,
dan oksidasinya melalui mekanisme kompetisi substrat asam lemak bebas di
sirkulasi dan mengakibatkan peningkatan pengeluaran glukosa hati dan
mengganggu pemakaian glukosa oleh jaringan perifer. Melalui siklus glukosa
asam lemak, FFA menyebabkan gangguan metabolism glukosa baik secara
oksidatif maupun non oksidatif sehingga terjadi gangguan pemakaian glukosa.
Hal ini merupakan faktor terpenting yang mencetuskan perkembangan obesitas
menjadi DM tipe 2 (Boden, 2000).
Peningkatan FFA pada orang yang gemuk pada umumnya terjadi karena
proses liposis jaringan adipose lebih sering dari orang normal. Peningkatan FFA
akan diikuti peningkatan oksidasi lipid dan penurunan penyimpanan glukosa,
disertai gangguan penghambatan produksi glukosa di hati. Ketika terjadi TGT,
makin banyak lipid dioksidasi dan maakin sedikit glukosa dioksidasi dan
disimpan. Bersamaan dengan itu terjadi gangguan sensitivitas insulin (Kriska,
2003).
e. Depresi
Efek depresi dapat menyebabkan produksi efinefrin
meningkat,memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam nukleat. Naiknya gula
darah disebabkan meningkatnya glikogenolisis dihati oleh peningkatan glukagon,
8
terhambat, pengambilan glukosa oleh otot dan berkurangnya pembentukan insulin
pankreas. Selain itu penderita diabetes melitus sering kali mengalami kesulitan
untuk menerima diagnosa diabetes melitus terutama ketika pasien mengetahui
bahwa hidupnya diatur oleh diet, obat-obatan dan insulin, biasanya pasien berada
pada tahap kritis yang ditandai oleh ketidakseimbangan fisik, sosial dan
psikologis (Watkins, 2000).
Hal ini bisa berlanjut menjadi perasaan gelisah, takut, cemas dan depresi.
Perasaan mereka tidak adekuat lagi dapat berlebihan, timbul ketakutan, mereka
menuntut untuk dirawat orang lain dengan berlebihan, dan sikap bermusuhan
mereka dapat terjadi. Hal ini juga bisa berlanjut menjadi perasaan depresi pada
pasien. Depresi merupakan kejadian yang umum terjadi pada pasien diabetes
melitus (Watkins, 2000).
a. Hipoglikemia
9
Gejala adrenergik sering mendahului gejala neuroglikopenik dan, dengan
demikian, menyediakan sistem peringatan dini untuk pasien. Penelitian telah
menunjukkan bahwa stimulus utama untuk melepaskan katekolamin adalah
tingkat absolut glukosa plasma; laju penurunan glukosa kurang penting. Kadar
gula darah sebelumnya dapat memengaruhi respons seseorang terhadap kadar
gula darah tertentu. Namun, penting untuk dicatat bahwa pasien dengan
hipoglikemia berulang dapat hampir tidak memiliki gejala (ketidaksadaran
hipoglikemik). Ambang batas di mana seorang pasien merasakan gejala
hipoglikemik menurun dengan episode berulang hipoglikemia.
b. Anoreksia Nervosa
Merupakan sebuah gangguan makan yang ditandai dengan kelaparan
secara sukarela dan stres dari melakukan latihan. AN merupakan sebuah penyakit
kompleks yang melibatkan komponen psikologikal, sosiologikal, dan fisiologikal,
pada penderitanya ditemukan peningkatan rasio enzim hati ALT dan
GGT,[hingga disfungsi hati akut pada tingkat lanjut. Anoreksia nervosa diartikan
sebagai sebagai suatu gangguan makan yang terutama menyerang wanita muda
dan ditandai oleh penurunan berat badan yang ekstrim dan disengaja oleh diri
sendiri,. periode menstruasi yang tidak stabil pada wanita yang telah puber.
10
Tanda-tanda Anoreksia Nervosa: Berat badan turun secara drastic,Diet
berkelanjutan,Ketakutan bertambah berat badan atau menjadi gemuk, bahkan
ketika berat badannya dibawah rata rata,Gejala yang tidak semestinya pada
bentuk/ berat badan dalam eveluasi diri,Sibuk menghitung kalori makanan dan
nutrisi,Lebih memilih makan sendirian,Latihan berlebih,Rambut atau kuku pecah-
pecah dan depresi. (Dona L wong, 2008).
Hipoglikemia puasa: Terapi diet (lebih sering makan / cemilan disukai, terutama
di malam hari, dengan karbohidrat kompleks); Infus glukosa IV; IV octreotide
Hipoglikemia reaktif: Terapi diet (pembatasan karbohidrat olahan, penghindaran
gula sederhana, peningkatan frekuensi makan, peningkatan protein dan serat);
inhibitor alpha-glukosidase
a. GLUKAGON
Sediaan insulin komersial yang pertama digunakan menyebabkan
hiperglikemia sebelum terjadinya hipoglikemia, oleh glukagon yang tercampur
di dalamnya. Glukagon ialah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino.
Hormon ini dihasilkan oleh sel a pulau Langerhans. Suatu zat yang mempunyai
sifat biologis mirip glukagon telah berhasil diisolasi dari jaringan saluran cerna.
Glukagon menyebabkan glikogenolisis di hepar dengan jalan merangsang enzim
adenilsiklase dalam pembentukan siklik AMP, kemudian siklik AMP ini
mengaktifkan fosforilase, suatu enzim penting untuk glikogenolisis. Efek
11
glukagon ini hanya terbatas pada hepar saja dan tidak dapat dihambat dengan
pemberian penghambat adrenoseptor. Jadi berbeda dengan epinefrin yang
efeknya lebih luas serta dapat diblok dengan obat-obat penghambat .
adrenoseptor
Glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis. Efek ini mungkin sekali
diseb·abkan oleh menyusutnya simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan
berkurangnya glikogen dalam hepar proses deaminasi dan transminasi menjadi
lebih aktif . . Dengan meningkatnya proses-tersebut maka pembentukan kalori
juga makin besar. Ternyata efek · kalorigenik glukagon hanya dapat timbul bila
ada tiroksin dan adrenokortikosteroid. Sekresi glukagon pankreas meninggi
dalam keadaan hipoglikemia dan menurun dala~ keadaan hiperglikemia.
Sebagian besar glukagon endogen mengalami metabolisme di hati..
b. PIAZOKSID
Obat ini memperlihatkan efek hiperglikemia bila diberikan oral dan efek
antihipertensi bila diberikan IV. Sediaan ini meningkatkan kadar glukosa sesuai
besarnya dosis dengan menghambat langsung sekresi insulin; mungkin juga
dengan menghambat penggunaan glukosa di perifer dan merangsang
pembentukan glukosa datam hepar. Diazoksid digunakan pada hiperinsulinisme
misalnya pada fnsulinoma atau hipoglikemia yang sensitif terhadap leusin.
Diazoksid 90% teril<at plasma protein dalam darah. Masa paruh bentuk oral 24-
36 jam, tetapi mungkin memanjang pada takar lajak atau pada pasien dengan
kerusakan fungsi ginjal. Karena masa paruh yang panjang, diperlukan
pengamatan jangka panjang. Takar lajak dapat menyebabkan hiperglikemia
berat, kadang-kadang disertai ketoasidosis atau koma hiperosmolar tanpa
ketosis. Meskipun diazoksid termasuk golongan tiazid, obat ini meretensi air dan
natrium. Diuretik tiazid meninggikan efek hiperglikemi dan hiperurisemi obat
ini. Diazoksid oral menimbulkan potensiasi efek obat antihipertensi lain,
meskipun bila obat inidigunakan sendiri efeknya tidak kuat. Efek hiperglikemi
diazoksid dilawan oleh obat penghambat adrenoseptor J3. Diazoksid dapat
menimbulkan iritasi saluran cerna, trombositopeni dan netropeni. Diazoksid
12
bersifat teratogenik pada hewan (kelainan kardiovaskular dan tulang), juga
menyebabkan degenerasi sel J3 pankreas fetus sehingga obat ini tidak boleh
diberikan pada wanita hamil. Dosis pada orang dewasa ialah 3-8 mg/kgBB/ hari,
sedangkan pada anak kecil 8-15 mg/kgBB/ hari. Obat ini diberikan dalam dosis
terbagi 2-3 x sehari.
c. Dekongestan
Jenis obat pertama yang dapat membuat gula darah naik ialah
dekongestan. Dekongestan sendiri merupakan jenis obat flu untuk meredakan
gejala hidung tersumbat serta bersin-bersin. Biasanya golongan obat ini termasuk
pseudoephedrine dan phenylephrine. Kedua obat ini memang tidak mengandung
glukosa, tetapi bisa merangsang tubuh untuk melepaskan glukosa ke dalam aliran
darah. Karena itulah dekongestan dapat menyebabkan kadar gula darah lebih
tinggi dari biasanya (Nugroho,2011).
d. Beta blocker
e. Niasin
f. Kortikosteroid
13
Obat-obatan ini digunakan sebagai antiradang dan dapat menyembuhkan
nyeri sendi, asma, dan alergi. Obat yang termasuk dalam golongan kortikosteroid
dapat merangsang produksi glukosa dalam tubuh. Selain itu, obat ini juga
mencegah protein pembawa glukosa dalam jaringan untuk mencapai membran sel
(Nugroho,2011).
a. SULFONILUREA
b. REPALGINID
c. NATEGLINID
14
Nateglinid merupkan generasi derivate D-fenilalanin yang menstimulasi
sekresi insulin dengan memblok kanak Ksensitif-ATP pada sel β pancreas.
Nateglinid memicu sekresi insulin lebih cepat, tetapi tidak bertahan lebih lama
daripada senyawa antidiabetik oral lain yang tersedia. Efek teraupetik utama obat
ini adalah mengurangi peningkatan glikemik sesudah makan pada pasien DM
tipe 2. Nateglinid disetujui oleh FDA untuk penggunaan DM tipe 2 dan paling
efektif jika diberikan pada dosis 120 mg, 1-10 menit sebelum makan. Matelginid
dimetabolisme terutama oleh hati dan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan insufiensi hepatic. Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada gagal
ginjal. Nateglinid dapat menghasilkan episode hipoglikemia yang lebih sedikit
dari pada sebagian besar senyawa pemicu sekresi insulin oral lain, termasuk
repaglinid.
d. METFORMIN
Metformin merupakan antihiperglikemik, bukan hipoglikemik. Obat ini
tidak menstimulasi pelepasan insulin dari pancreas pada dosis besar. Metformin
menurunkan kadar glukosa terutama dengan meningkatkan kerja insulin diotot
dan lemak. Kerja ini diperantarai sebagian oleh aktivasi protein kinase
teraktivase-AMP. Mekanisme metformin mengurangi produksi glukosa hepatic
ini bersifat kontroversial, tetapi sebagian besar data mendukung efek pada
penurunan gluconeogenesis.
g. TIAZOLIDINDION
Tiazolidindion, rosiglitazone, dan pioglitazone dapat menurunkan kadar
Hb A1c sebesar 1-1,5% pada pasien dengan DM tipe 2.obat-obat ini dapat
dikombinasi dengan insulin atau golongan senyawa penurun glukosa oral
lainnya.
Mekanisme kerja : tiazolidindion merupakan agonis reseptor γ teraktivase
proliferator peroksisom (peroxisome proliferator-activated receptor γ [PPARγ],
PPARγ mengaktivasi gen responsive insulin yang meregulasi metabolisme
karbohidrat dan lipid. Tizolidindion bekerja terutama dengan meningkatkan
15
sensitivitas insulin pada jaringan perifer sehingga hanya efektif jika ada insulin
tetapi juga dapat menurunkan produsi glukosa hepatic. Tiazolidndion
meningkatkan transporter glukosa.
h. INHIBITOR α-GLUKOSIDASE
Inhibitor α-glukosidase mengurangi absorpsi intestinalpati, dekstrin, dan
disakarida dengan menghambat kerja α-glukosidase pada brush border intestinal.
Akibat penundaan absorpsi karbihidrat, peningkatan glukosa plasma sesudah
makan akan berkurang pada subyek normal maupun diabetic.
Akarbose suatu oligosakarida dan miglitol, suatu derivate
desoksinojirimisin juga scara kompetitif menghambat glukoamilase dan sukrase,
tetapi memiliki efek yang lemah pada α-amilase pankreatik. Obat ini mengurangi
kadar glukosa plasma sesudah makan pada pasien DM yipe1 dan tipe 2.
i. SOMATOSTATIN (SST)
Pada usus SST mempengaruhi fungsi sel-sel berdampingan efek parakrin
dan juga bekerja dengan cara orokrin untuk menghambat pelepasan
pankreatiknya sendiri. Sel γ merupakan sel islet terakhir yang menerima aliran
darah,sehingga SST cenderung mengtur sekresi insulin dan glukahon melalui sel
β dan α hanya melalui sirklasi sistemik. SST dilepaskan sebagai respons
terhadap banyak nutrisi dan hormone yang menstimulasi sekresi
insulin,termasuk glukosa, arginine, leuisin, glucagon, VIP, dan kolesistokinin.
j. DIAZOKSIDA
Diazoksida merupakan benotiadiazin antihipertensi dengan kerja
hiperglikemik yang kuat ketika diberikan secara oral. Diazoksida berinteraksi
dengan kanak K sensitive-ATP pada membrane sel β dan mencegahh penutupan
atau memperpanjang wsktu pembukaan untuk menghambat sekresi insulin, efek
ini berlawanan dengan sulfonylurea. Dosis oral lazim adalah 3-8 mg/kg/hari
pada orang dewasa dan 8-15 mg/kg/hari pada bayi dan balita. Obat ini dapat
16
menyebabkan mual, muntah sehingga biasanya diberikan dalam dosis terbagi
bersama makanan.
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi pada saat kadar glukosa darah plasma mengalami
perubahan yang relatif akut. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain;
hipoglikemi, ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik. Hipoglikemia
dapat terjadi seumur hidup selama program pengobatan yang disebabkan karena
efek samping pemberian obat stimulus insulin dalam tubuh maupun obat insulin
dari luar (Cryer, 2010). Ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik,
keduanya dapat terjadi karena kadar insulin yang sangat menurun, pasien
mengalami hiperglikemia dan glukosiuria berat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas (Smeltzer et al,
2010).
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik adalah peningkatan gula darah yang berlangsung
terusmenerus dan lama yang berdampak pada terjadinya angiopati diabetik yaitu
17
gangguan pada semua pembuluh darah di seluruh tubuh. Pada komplikasi kronik,
terjadi gangguan berupa: mikroangiopati (retinopati, nefropati) dan
makroangiopati (jantung koroner, luka kaki diabetik, stroke) ataupun terjadi pada
keduanya (neuropati, rentan infeksi, amputasi) (Smeltzer et al, 2010). Setiap
tahunnya lebih dari empat juta orang meninggal akibat diabetes, dan jutaan orang
mengalami efek buruk dari diabetes atau berada dalam kondisi komplikasi jangka
panjang dan komplikasi jangka pendek yang mengancam jiwa terutama kondisi
hipoglikemia (IDF, 2011).
Gejala kronis DM yang sering muncul adalah lemah badan, kesemutan,
kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering
berubah, sakit sendi dan lain-lain (Tjokroprawiro, 2007 ).
Komplikasi kronis pada DM pada umumnya terjadi gangguan pembuluh
darah atau angiopati dan kelainan pada saraf atau neuropati. Angiopati pada
pembuluh darah besar disebut makroangiopati dan bila kena pembuluh darah kecil
disebut mikroangiopati, sedangkan neuropati bisa merupakan neuropati perifer
maupun neuropati otonom.
Neuropati Diabetik ( ND ) merupakan gambaran keluhan dan gambaran
gejala fisik dari gangguan fungsi saraf tepi pada pasien DM setelah disingkirkan
penyebab lainnya.
18
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Anonima, 2015. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Anak dan
Remaja Jakarta: Penerbit UKK Endokrinologi Anak dan Remaja Ikatan Dokter Indonesia
Cryer, P.E. 2010. Textbook of diabetes (4th ed.). The Atrium, Southern Gate, Chichester, West
Sussex: Wiley-Blackwell
Decroli, E., 2019, Diabetes Mellitus 2, Padang: FK Universitas Andalas
Dipiro, T.j., Talbert, R.L., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B. & Posey, L. M., 2009.
Pharmacotheraphy: A Pathophysiology Approach 6th edition. United States: The
McGraw Hill Companies
Fatimah, R.N., 2015, Diabetes Mellitus Tipe 2. Lampung: Medical Faculty
Guyton, A, C. & Hall. J, E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Ikawati, Z., 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Neal, M. J., 2005. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga
Nugroho, A.N., 2011, Farmakologi Obat-Obat Penting dalam Pembelaran Ilmu Farmasi dan
Dunia Kesehatan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. 2010. Brunner & suddarth's textbook
of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health; Lippincott
Wiliams & Wilkins.
Soegondo, 2007. Diabetes Melitus Penatalaksaan Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
19