Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

DIABETES MELITUS TIPE 1

Oleh :
Anita Paramatasari Nur, S. Ked
K1B1 21 042

Pembimbing:
dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Anita Paramatasari Nur, S. Ked

Nim : K1B1 21 042

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Judul referat : Diabetes Melitus Tipe 1

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, April 2022


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

ii
DM Tipe 1
Anita Paramatasari Nur, Hj. Musyawarah

A. Pendahuluan
Diabetes Melitus tipe-1 (DMT1) adalah kelainan sistemik akibat terjadinya
gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh proses
autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
terhenti. Sekresi insulin yang rendah mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.1
Insiden DMT1 sangat bervariasi baik antar negara maupun didalam suatu
negara. Di beberapa negara barat kasus DMT1 mencakup 5-10% dari seluruh
jumlah penderita diabetes dinegara masing-masing, dan lebih dari 90%
penderita diabetes pada anak dan remaja adalah DMT1. Data registri nasional
DMT1 pada anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia hingga tahun 2014
tercatat 1021 kasus dengan 2 puncak insiden yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11
tahun.1
Sebagian besar penderita DMT1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Poliuria, polidipsia, polifagia tetapi disertai penurunan berat badan
yang cepat dalam 2-6 minggu sebelum diagnosis ditegakkan, kadang-kadang
disertai gangguan penglihatan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dnegan
hiperglikemia maka diagnosis DM tidak diragukan lagi.1

B. DM Tipe 1
1. Definisi
DM tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolism glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan
ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh proses
autoimunmaupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
terhenti. Sekresi insulin yang rendah mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.2

1
Autoantibodi yang berkaitan dengan diabetes adalah glutamicacid
decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine phosphatase like
insulinoma antigen 2 (1A2); insulin autoantibodies (IAA); dan β-cell-
spesific zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8). Ditemukannya satu
atau lebih dari autoantibodi ini membantu konfirmasi diagnosis DM tipe-
1.2
2. Epidemiologi
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun
2018, tercatat 1220 anak penyandang DM tipe-1 di Indonesia. Insiden
DM tipe-1 pada anak dan remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari
3,88 menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2000 dan 2010.2-4
Data tahun 2003-2009 menunjukkan pada kelompok usia 10-14 tahun,
proporsi perempuan dengan DM tipe 1 (60%) lebih tinggi dibandingkan
laki-laki (28,6%). Pada tahun 2017, 71% anak dengan DM tipe-1 pertama
kali terdiagnosis dengan Ketoasidosis Diabetikum (KAD), meningkat
dari tahun 2016 dan 2015, yaitu 63%.2 Diduga masih banyak pasien DM
tipe-1 yang tidak terdiagnosis atau salah diagnosis saat pertama kali
berobat ke rumah sakit.3
Insiden DM tipe-1 pada anak di Indonesia tidak diketahui secara
pasti karena sulitnya pendataan secara nasional. Sampai saat ini, Unit
Kelompok Kerja (UKK) Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) berusaha mengumpulkan data pasien anak DM di Indonesia. Data
ini diperoleh melalui kerjasama berbagai pihak, termasuk dokter anak
endokrinologi, spesialis penyakit dalam, perawat, edukator DM, data
Ikatan Keluarga Penyandang DM Anak dan Remaja (IKADAR),
penelusuran rekam medis pasien, dan kerjasama dengan perawat
edukator National University Hospital Singapura untuk memperoleh data
penyandang DM anak Indonesia yang berobat di Singapura.3
Berdasarkan sensus penduduk 2010, total populasi penduduk
Indonesia adalah sekitar 267.556.363, dan lebih dari 83 juta adalah anak-
anak. Dengan tingginya angka penduduk anak dan remaja, data saat ini

2
hanya permukaan gunung es yang belum menggambarkan kondisi
sebenarnya. Angka sesungguhnya diduga lebih tinggi.3
3. Etiologi
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh faktor genetik yaitu interaksi
banyak gen, terutama gen HLA yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan pada sel β pankreas karena paparan agen infeksi atau faktor
lingkungan, seperti virus / bahan kimia/ racun lingkungan.5
4. Pathogenesis
Diabetes mellitus tipe-1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas
akibat proses autoimun, walaupun pada sebagian kecil pasien tidak
didapatkan bukti autoimunitas atau idiopatik. Umumnya, gejala klinis
timbul ketika kerusakan sel-sel pankreas mencapai ≥90% 4. Banyak faktor
yang berkontribusi dalam patogenesis DM tipe-1, di antaranya faktor
genetik, epigenetik, lingkungan, dan imunologis.8 Namun, peran spesifik
masing-masing faktor terhadap patogenesis DM tipe-1 masih belum
diketahui secara jelas.3
Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan
kerusakan gen, saat ini diketahui lebih dari 40 lokus gen yang
berhubungan dengan kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga jarang
dijumpai, hanya 10%-15% pasien memiliki keluarga derajat pertama dan
kedua dengan DM tipe-1.3,4
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DM tipe-1, antara
lain, infeksi virus dan diet. Sindrom rubella kongenital dan infeksi human
enterovirus diketahui dapat mencetuskan DM tipe-1. Konsumsi susu sapi,
konsumsi sereal dini, dan vitamin D maternal diduga berhubungan
dengan kejadian DM tipe-1, tetapi masih dibutuhkan investigasi lebih
lanjut.3,4
Pada beberapa pasien dengan awitan baru DM tipe1, sebagian kecil
sel β belum mengalami kerusakan. Dengan pemberian insulin, fungsi sel
β yang tersisa membaik sehingga kebutuhan insulin eksogen berkurang.
Periode ini disebut sebagai periode bulan madu atau honeymoon period

3
di mana kontrol glikemik baik. Umumnya, fase ini diawali pada beberapa
minggu setelah mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya, pada beberapa
pasien dapat mencapai dua tahun.3
5. Faktor Risiko
Faktor risiko diabetes mellitus bisa dikelompokkan menjadi fator
risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimofdifikasi. Faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah ras dan etnik, umur, jenis
kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat melahirkan
bayi dnegan berat badan lebihdari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan
berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram). Sedangkan faktor
risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang
kurang sehat, yaitu berat badan lebih, obesitas abdominal/sentral,
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat/tidak
seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah
Puasa Terganggu (GDP terganggu), dan merokok.6
6. Gambaran Klinis
Dari gambaran klinis terlihat bahwa poliuria, polidipsi, polifagia
dan penurunan berat badan terjadi pada seluruh pasien DM tipe-1. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan bahwa ke empat gejala klinis ini hampir
terjadi pada seluruh pasien DM tipe-1. Gejala klinis lain cepat lelah pada
30 (75,6%) kasus. Dibanding dewasa, DM pada anak mempunyai
gambaran klinis yang lebih akut, lebih berat dan tergantung insulin.
Defisiensi insulin pada DM tipe-1 akan mengurangi ambilan glukosa
oleh otot, jaringan lunak, jaringan splanikus dan akan terjadi peningkatan
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Kadar gula darah akan meningkat
dan mengakibatkan peningkatan osmolalitas cairan ekstra selular.
Peningkatan osmolalitas yang melebihi ambang batas ginjal akan
menyebabkan glukosa dikeluarkan melalui urin. Glukosa yang ada akan
menarik air dan elektrolit lain sehingga pasien mengeluh sering kencing
atau poliuria. Dengan demikian tubuh akan selalu dalam keadaan haus
dan mengakibatkan banyak minum (polidipsia). Polifagia disebabkan

4
glukosa di dalam darah tidak dapat dipakai pada jaringan-jaringan perifer
sehingga tubuh akan kekurangan glukosa (proses kelaparan starvation)
yang menyebabkan pasien banyak makan. Selain itu defisiensi insulin
pada pasien DM tipe-1 juga mengakibatkan berkurangnya ambilan asam
amino dan sintesis protein, sehingga pemenuhan nitrogen otot kurang.
Katabolisme protein juga meningkat, sehingga secara klinis massa otot
dijaringan perifer berkurang mengakibatkan penurunan berat badan.
Glukosa yang tidak terpakai di sel atau jaringan perifer mengakibatkan
tubuh akan lemah dan kurang aktivitas. Pada keadaan seluruh kasus KAD
27 kasus mempunyai gejala sesak nafas dan penurunan kesadaran. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan bahwa pada keadaan KAD selalu
bermanisfestasi adanya penurunan kesadaran dan asidosis metabolik.
Pasien pada umumnya datang dengan ketoasidosis karena keterlambatan
diagnosis.7
7. Diagnosis
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
plasma <126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.1
a. Anamnesis5
Bentuk klasik:
1.) Polidipsi, poliuri, polifagi. Poliuria biasanya tidak diutarakan
secara langsung oleh orangtua kepada dokter, yang sering
dikeluhkan adalah anak sering mengompol,mengganti popok
tesrlalu sering, disertai infeksi jamur berulang di sekitar daerah
tertutup popok, dan anak terlihat dehidrasi.
2.) Penurunan berat badan yang nyata dalam waktu 2-6 minggu
disertai keluhan lain yang tidak spesifik.
3.) Mudah lelah.5
Pada kasus Ketoacidosis Diabetikum:
1.) Awitan gejala klasik yang cepat dalam waktu beberapa hari.

2.) Sering disertai nyeri perut, sesak napas, dan letargi.5

5
b. Pemeriksaan fisik5
Hambatan pertumbuhan: TB dan BB diplot pada kurva pertumbuhan
Maturitas kelamin dapat terganggu pada anak yang menginjak
remaja
Tanda dehidrasi dan asidosis metabolik (pada ketoasidosis
diabetik/KAD)
Tanda infeksi, penyakit autoimun lainnya, atau sindrom genetik bila
ditemukan
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:1
1. Gejala klasik diabetes atau krisis hiperglikemi dengan kadar
plasma glukosa ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L. Atau,
2. Kadar plasma glukosa puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa
adalah tidak ada asupan kalori selama 8 jam terakhir. Atau,
3. Kadar glukosa 2 jam postprandial ≥200 mg/dL 11.1 mmol/L)
dengan Uji Toleransi Glukosa Oral. Uji Toleransi Glukosa Oral
dilakukan dengan pemberian beban glukosa setara dengan 75g
anhydrous glukosa dilarutkan dalam air atau 1.75g/kgBB
dengan maksimum 75g. atau,
4. HbA1c > 6.5% Petanda ini harus dilakukan sesuai standar
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP)
pada laboratorium yang tersertifikasi dan terstandar dengan
assay Diabetes Control and Complications Trial (DCCT).

Pada kasus-kasus yang meragukan seperti penderita yang


asimtomatis dengan hiperglikemia (>200 mg/dL) harus
dikonfirmasi untuk menentukan ada tidaknya diabetes. Konfirmasi
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan HbA1c,
kadar glukosa plasma puasa dan 2 jam postprandial atau uji
toleransi glukosa oral. Konfirmasi tidak boleh dilakukan dengan

6
pemeriksaan darah glukosa kapiler. Konfirmasi harus segera
dilakukan dengan sampel darah yang baru. Apabila HbA1C adalah
7% dan konfirmasi menghasilkan 6,8% maka diagnosis diabetes
dapat ditegakkan. Apabila menggunakan dua jenis pemeriksaan
dan keduanya menghasilkan data yang lebih tinggi dari standar
normal maka diagnosis diabetes terbukti. Tetapi, apabila kedua
pemeriksaan hasilnya tidak sesuai maka yang diulang cukup yang
menghasilkan data yang diatas standar. Diagnosis diabetes
ditentukan berdasar hasil konfirmasi tersebut.1

Penilaian glukosa plasma Puasa:1


1. Normal: < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
2. Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired Fasting Glucose =
IFG): 100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)
3. Diabetes: ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral:1
1. Normal: <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
2. Gangguan glukosa toleransi (Impaired Glucose Tolerance
=IGT): 140–200 mg/dL (7.8–<11.1 mmol/L)
3. Diabetes: ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
c. Pemeriksaan Penunjang
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
plasma <126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfi rmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.1
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
1.) Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia,
enuresis,penurunan berat badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma
sewaktu 200 mg/ dL (11.1 mmol/L). Atau
2.) Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7 mmol/L). Atau

7
3.) Kadar glukasa plasma200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-
2TTGO (Tes Tolerasansi Glukosa Oral). Atau
4.) HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT).
Pada penderita yang asimptomatis dengan peningkatan kadar
glukosa plasma sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan
kadar glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang
terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali
pemeriksaan.1

Penilaian glukosa plasma puasa :

1.) Normal : < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)


Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =IFG):

100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)

Diabetes :  126 mg/dL (7.0 mmol/L)

2.) Penilaian tes toleransi glukosa oral :

Normal : <140 mg/dL (7.8 mmol/L)

Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance =IGT)

:140–200 mg/dL (7.8–<11.1 mmol/L)

Diabetes :  200 mg/dL (11.1 mmol/L).1

8. Tatalaksana
Komponen pengelolaan DMT1 meliputi pemberian insulin,
pengaturan makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri.
a. Pemberian Insulin1
1) Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup
di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme sebagai insulin basal maupun insulin koreksi dengan
kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik makanan.

8
2) Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada
regimen yang seragam untuk semua penderita DMT1. Regimen
apapun yang digunakan bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi
sekresi insulin orang normal sehingga mampu menormalkan
metabolisme gula atau paling tidak mendekati normal.
3) Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor
yaitu: umur, lama menderita diabetes melitus, gaya hidup
penderita (pola makan, jadwal latihan, sekolah dsb), target kontrol
metabolik, dan kebiasaan individu maupun keluarganya.
4) Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan
pada keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit
penderita dan sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.
5) Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2
kali injeksi insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/ pendek
dengan insulin basal).
6) Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status
pubertas, lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola
olahraga, aktifitas harian, hasil monitoring glukosa darah dan
HbA1c, serta ada tidaknya komorbiditas.
7) Dosis insulin (empiris):
a) Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/kg/hari
b) Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis
0,7–1 IU/kg/hari.
c) Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2
IU/kg/hari.

9
Tabel 1. Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya

b. Penyesuaian dosis insulin 1


1) Penyesuaian dosis insulin bolus dapat dilakukan dengan
memperhitungkan rasio insulin bolus-karbohidrat, yaitu dengan
cara memperhitungkan rasio dosis insulin bolus harian dengan
total karbohidrat harian.
2) Penyesuaian dosis insulin juga dapat dilakukan dengan jalan
memperhitungkan rasio insulin-karbohidrat (menggunakan rumus
500). Angka 500 dibagi dengan dosis insulin total harian hasilnya
dinyatakan dalam gram, artinya 1 unit insulin dapat mencakup
sejumlah gram karbohidrat dalam diet penderita.
3) Koreksi hiperglikemia: dapat dilakukan dengan rumus 1800 bila
menggunakan insulin kerja cepat, dan rumus 1500 bila
menggunakan insulin kerja pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi
dengan insulin total harian hasilnya dalam mg/dL, artinya 1 unit
insulin akan menurunkan kadar glukosa darah sebesar hasil
pembagian tersebut dalam mg/dL. Hasil perhitungan dosis koreksi
ini bersifat individual dan harus mempertimbangkan faktor lain
misalnya latihan.

10
c. Pengaturan makan1
1) Pada regimen konvensional, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk kalori.
2) Pada regimen basal-bolus, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk gram karbohidrat.
3) Pemilihan jenis makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks
glikemik dan glicemic load yang rendah.
d. Olah raga1
1) Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anak dan remaja DMT1 saat
melakukan olahraga:
a) Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum
olahraga dengan dokter.
b) jika olahraga akan dilakukan pada saat puncak kerja insulin
maka dosis insulin harus diturunkan secara bermakna.
c) Pompa insulin harus dilepas atau insulin basal terakhir paling
tidak diberikan 90 menit sebelum mulai latihan.
d) Jangan suntik insulin pada bagian tubuh yang banyak
digunakan untuk latihan.
2) Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14
mmol/L) dengan ketonuria /ketonemia (> 0,5 mmol/L)
a) Olahraga atau latihan fisik harus dihindari - Berikan insulin
kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau 5% dari dosis
total harian.
b) Tunda aktivitas fisik sampai keton sudah negatif.
3) Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam
untuk olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin
yang bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak
dikurangi.
4) Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi
segera setelah latihan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia
pasca latihan fisik.

11
5) Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga.
a) Ukur kadar glukosa darah sebelum tidur dan kurangi insulin
basal sebelum tidur (atau basal pompa insulin) sebesar 10-20%
setelah olahraga di siang atau sore hari jika latihannya lebih
intensif dari biasanya atau jika aktivitasnya tidak dilakukan
secara reguler.
b) Karbohidrat ekstra setelah aktivitas biasanya merupakan
pilihan terbaik untuk mencegah hipoglikemia pasca latihan
setelah olahraga anerobik dengan intensitas tinggi.
c) Olahraga yang merupakan kombinasi antara latihan aerobik
(sepeda, lari, berenang) dan anaerobik memerlukan tambahan
ekstra karbohidrat sebelum, selama, dan setelah aktivitas.
d) Hiperglikemia setelah latihan dapat dicegah dengan
memberikan tambahan kecil dosis insulin kerja cepat saat
pertengahan atau segera setelah selesai olahraga.
6) Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup
tinggi terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125
mg/dL (<7,0 mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur
sebaiknya dikurangi.
7) Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus
menghindari olahraga yang bersifat anaerobik atau yang
membutuhkan ketahanan fisik karena dapat menyebabkan tekanan
darah tinggi.
8) Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di
sekolah.

Berikut ini adalah petunjuk mengenai beberapa penyesuaian diet,


insulin, dan cara monitoring gula darah agar aman berolahraga bagi
anak dan remaja DMT 1.1

1) Sebelum berolahraga

12
a) Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan
dengan pelatih/guru olah raga dan konsultasikan dengan
dokter.
b) Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
c) Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
d) Jika glukosa darah < 5 mmol/L) dan cenderung turun,
tambahkan ekstra karbohidrat
e) Jika glukosa darah 90-250 mg/dL (5-14 mmol/L) tidak
diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifitas dan
respons individual).
f) Jika glukosa darah >250 mg/dL dan keton urin/darah (+),
tunda olah raga sampai glukosa darah normal dengan insulin
g) Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan
tentukan apakah penyesuaian insulin atau tambahan
karbohidrat diperlukan
h) Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau
olahraga kompetisi sebaiknya insulin dinaikkan
i) Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250
mL pada 20 menit sebelum olahraga)
2) Selama berolah raga
a) Monitor glukosa darah tiap 30 menit.
b) Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c) Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan.
3) Setelah berolah raga
a) Monitor glukosa darah, termasuk sepanjang malam (terutama
bila tidak biasa dengan program olahraga yang sedang
dijalani).
b) Pertimbangkan mengubah terapi insulin, dengan menurunkan
dosis insulin basal.
c) Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2
jam setelah olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan

13
lambat. Hipoglikemia awitan lambat dapat terjadi dalam
interval 2 x 24 jam setelah latihan.
e. Pemantauan1
1) Tujuan pemantauan gula darah mandiri pada pasien dengan
DMT1 adalah mencapai target kontrol glikemik yang optimal,
menghindari komplikasi akut berupa hipoglikemia dan
ketoasidosis dan komplikasi kronis yaitu penyakit akibat
ganggaun mikro dan makrovaskuler, menimalisasi akibat
hipoglikemia dan hiperglikemia terhadap fungsi kognitif.
2) Pemantauan kontrol glikemik dilakukan dengan melakukan
pemantauan glukosa darah mandiri, HbA1c, keton, dan
pemantauan glukosa darah berkelanjutan.
3) Pemantauan tumbuh kembang merupakan bagian integral dari
pemantauan diabetes.
Tabel 2. Target Glukosa Darah Berdasarkan ISPAD dan IDF

f. Edukasi8
Edukasi memiliki peran penting dalam penanganan DM tipe-1
karena didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik
dan keluaran psikososial. Untuk mempertahankan terapi glikemik
yang intensif, keluarga berperan dalam membantu manajemen diri

14
dalam perubahan aktivitas sehari-hari, makanan, dan fisiologi.
Edukasi ini harus dilakukan secara bertahap dan terusmenerus sesuai
tingkat pendidikan serta status sosial pasien/keluarga. Edukasi
dilakukan oleh tim multidisiplin dengan sasaran adalah pasien dan
orang tua, serta pengasuhnya. Edukasi tahap pertama dilakukan saat
diagnosis ditegakkan atau selama perawatan di rumah sakit. Edukasi
ini meliputi pengetahuan dasar tentang DM tipe-1, pengaturan
makanan, insulin, serta pertolongan pertama pada kedaruratan medik.
Pada saat diagnosis, keluarga tidak dapat menerima edukasi karena
tekanan emosional, sehingga edukasi dirancang untuk memenuhi
kecepatan yang ditentukan oleh kesiapan keluarga untuk belajar, fokus
pada keterampilan praktis untuk mengelola diabetes di rumah, dan
mengatasi masalah langsung yang diungkapkan keluarga. Konsep
dasar harus direvisi dalam 4 minggu setelah diagnosis. Edukasi tahap
kedua berlangsung selama konsultasi di poliklinik. Pada tahap ini,
edukasi berisi penjelasan lebih terperinci tentang patofisiologi,
olahraga, komplikasi, dan pengulangan terhadap apa yang pernah
diberikan serta bagaimana menghadapi lingkungan sosial.8

9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding DM tipe 1 yaitu DM tipe 2. DM merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver
dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak

15
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.

Tabel 3. Klasifikasi etiologis DM

10. Komplikasi
DM tipe-1 dapat menimbulkan komplikasi jangka pendek dan
jangka panjang. Komplikasi jangka pendek dapat berupa hipoglikemia
dan KAD saat pertama kali terdiagnosis atau akibat pemakaian insulin
yang salah. Risiko KAD meningkat antara lain pada kontrol metabolik
buruk, riwayat KAD, masa remaja, anak dengan gangguan makan,
keadaan sosio-ekonomi kurang, dan tidak ada asuransi kesehatan.
Komplikasi jangka panjang terjadi akibat perubahan mikrovaskular
berupa retinopati, nefropati, dan neuropati. Retinopati merupakan
komplikasi yang sering didapat dan lebih sering dijumpai pada pasien
DM tipe-1 lebih dari 8 tahun. Komplikasi makrovaskular lebih jarang
didapatkan pada anak dan remaja.8,9

11. Prognosis

16
DM tipe 1 merupakan penyakit seumur hidup. Dengan kontrol gula
darah yang baik, anak dapat tumbuh dan berkembang seperti anak
normal. Penyulit jangka panjang akan timbul setelah 10-15 tahun.5
12. Kesimpulan
Diabetes melitus (DM) tipe-1 adalah kondisi yang disebabkan
kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik,
sehingga produksi insulin berkurang atau berhenti. DM tipe-1 sampai
saat ini belum dapat disembuhkan, tetapi kualitas pertumbuhan dan
perkembangan anak dan remaja DM tipe-1 dapat dipertahankan
seoptimal mungkin dengan upaya kontrol metabolik dengan baik untuk
mencegah komplikasi. Untuk itu, diperlukan pengelolaan DM tipe-1
yang terdiri dari lima pilar meliputi pemberian insulin, nutrisi, olahraga,
dan edukasi, didukung oleh pemantauan mandiri. Seluruh komponen
harus terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik yang baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Yati, N.P dan Tridjaja, B. 2017. Panduan Praktis Klinis Ikatan Dokter
Indonesia. Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak
dan Remaja. IDAI 2017.
2. Tridjaya B.,Yati, N.P., Faizi, M., Marzuki, A.N.S. Konsensus Nasional
Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja. IDAI. World Diabetes Foundation.2015. Hal. 6-85.
3. Pulungan, A.B., Annisa, D., Imada, S. Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak :
Situasi di Indonesia dan Tata Laksana. Journal of Medicine. 2019;20(6):392-
400.
4. Mayer-Davis EJ, Kahkoska AR, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Gong CX.
ISPAD clinical practice consensus guidelines 2018: Definition,
epidemiology, and classification of diabetes in children and adolescents.
Pediatric Diabetes 2018;19:7-19
5. Pudjiadi, Antonius H, Hegar, Badriul. 2009. Pedoman Palayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI. Jakarta. Hal. 51-52
6. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (INFODATIN). Situasi
dan Analisis Diabetes. 2014. Hal. 5
7. Pulungan, A.B., Mansyoer, R., Batubara, J.R.L., Tridjaja, B. Gambaran
Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus Gambaran Klinis dan Laboratoris
Diabetes Mellitus tipe-1 pada Anak tipe-1 pada Anak tipe-1 pada Anak Saat
Pertama Kali Datang ke Bagian Saat Pertama Kali Datang ke Bagian IKA-
RSCM Jakarta IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 1, Juni 2002:
26 – 30
8. Adelita, M., Arto, K,S., Deliana, M. Kontrol Metabolik pada Diabetes
Melitus Tipe-1. CDK-284. Vol.47 no. 3. 2020. 227-231

18
9. Himawan IW, Pulungan AB, Tridjaja B, Batubara JRL. Komplikasi Jangka
Pendek dan Jangka Panjang Diabetes Melitus Tipe 1. Sari Pediatri. 2009;
10:3 67-72
10. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia Tahun 2015. PB PERKENI. Hal. 6-12

19

Anda mungkin juga menyukai