Anda di halaman 1dari 35

PROGRAM ELEKTIF

SEMINAR ILMIAH DAN WORKSHOP

“HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS”

(Diagnosis Holistic & Penatalaksanan Komprehensif Pada Pelayanan

Kesehatan Tingkat Pertama)

Pembimbing :

Dr. dr. Meddy Setiawan, Sp. PD

Disusun Oleh :

Baiq Intan Febriyeni Putri

201910401011020

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya

penulis dapat menyelesaikan Laporan Program Elektif Seminar dan Workshop

“HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS” (Diagnosis Holistic &

Penatalaksanan Komprehensif Pada Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama).

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik elektif.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

membantu dalam penyusunan laporan kegiatan ini, terutama kepada Dr.dr. Meddy

Setiawan, Sp. PD selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan

kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kegiatan ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat.

Surabaya, 25 Agustus 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………......1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………..........2
2.1 Hipertensi...............................................................................................2
2.1.1 Definisi………………………………………………………….2
2.1.2 Epidemiologi……………………………………………………2
2.1.3 Etiologi………………………………..……………………….. 2
2.1.4 Patofisiologi……………………………………………….........3
2.1.5 Manifestasi Klinis……………………………………………....7
2.1.6 Diagnosis……………………………………………………….8
2.1.7 Tatalaksana…………………………………………………....10
2.1.8 Komplikasi………………………………………………….....13
2.1.9 Prognosis………………………………………………………13
2.2 Diabetes Mellitus..................................................................................14
2.2.1 Definisi………………………………………………………...14
2.2.2 Epidemiologi…………………………………………………..14
2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi……………………………………...15
2.2.4 Diagnosis………………………………………………………18
2.2.5 Penatalaksanaan.....……………………………………………21
2.2.6 Komplikasi…………………………………………………….23
2.2.7 Prognosis……………………………………………………...26
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

ii
iii
ii
BAB 1

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi atau yang dikenal dengan nama penyakit darah tinggi adalah

suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah di atas ambang batas

normal yaitu 120/80 mmHg. Menurut WHO (Word Health Organization), batas

tekanan darah yang dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg. Bila

tekanan darah sudah lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan hipertensi (batas

tersebut untuk orang dewasa di atas 18 tahun). Saat ini diperkirakan 1,13 milyar

orang di seluruh dunia memiliki hipertensi, hampir 2 per 3 dari kejadian hipertensi

adalah pada negara yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan jarang pada

negara yang maju. Pada tahun 2015 terdapat 1 dari 4 laki-laki dan 1 dari 5

perempuan memiliki hipertensi. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah,

prevalensi hipertensi pada penduduk Indonesia umur 18 tahun ke atas tahun 2007

sebesar 31,7%. Hipertensi menjadi hal yang perlu diperhatikan karena

berdasarkan data, keluhan utama pasien dating ke rumah sakit terbanyak adalah

akibat hipertensi, serta hipertensi merupakan salah satu faktor yang berkontribusi

menjadi penyebab mortalitas melalui risiko penyakit miokard infark, stroke, dan

penyakit vaskular lainnya1.

2
Data WHO menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit tidak menular

pada tahun 2004 yang mencapai 48,30% sedikit lebih besar dari angka kejadian

penyakit menular, yaitu sebesar 47,50%. Bahkan penyakit tidak menular menjadi

penyebab kematian nomor satu di dunia (63,50%). Sebagai bagian dari agenda

untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, negara anggota telah

menetapkan target untuk mengurangi angka kematian akibat penyakit tidak

menular (termasuk diabetes), menjadi sepertiganya, agar dapat mencapai

Universal Health Coverage (UHC) dan menyediakan akses terhadap obat-obatan

esensial yang terjangkau pada tahun 2030. Secara global, diperkirakan 422 juta

orang dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014, dibandingkan dengan 108

juta pada tahun 1980. Prevalensi diabetes di dunia (dengan usia yang

distandarisasi) telah meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980, meningkat

dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang dewasa. Hal ini mencerminkan

peningkatan faktor risiko terkait seperti kelebihan berat badan atau obesitas.

Selama beberapa dekade terakhir, prevalensi diabetes meningkat lebih cepat di

negara berpenghasilan rendah dan menengah daripada di negara berpenghasilan

tinggi. Diabetes menyebabkan 1,5 juta kematian pada tahun 2012. Gula darah

yang lebih tinggi dari batas maksimum mengakibatkan tambahan 2,2 juta

kematian, dengan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan lainnya.

Empat puluh tiga persen (43%) dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia 70

tahun. Persentase kematian yang disebabkan oleh diabetes yang terjadi sebelum

usia 70 tahun lebih tinggi di negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah

daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi (WHO Global Report, 2016)

Riskesdas 2013 menyebutkan sebanyak 1,5% penduduk Indonesia terdeteksi

3
menderita diabetes melitus. Peran dokter umum sebagai ujung tombak di

pelayanan kesehatan primer menjadi sangat penting. Kasus DM sederhana tanpa

penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum di pelayanan kesehatan

primer6.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi

Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada

usia 18 tahun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran

dilakukan dua kali atau lebih dengan posisi duduk, kemudian diambil

reratanya pada dua kali atau lebih kunjungan1.

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada

penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar

31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Jawa Timur

(37,4%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). 1 Sedangkanjika dibandingkan

dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi

25,8%). Penurunan ini bisa terjadi berbagai macam faktor seperti alat

pengukur tensi yang berbeda, masyarakat yang sudah mulai sadar akan

bahaya penyakit hipertensi.1

2.1.3 Etiologi

Lebih dari 95% kasus tidak memiliki penyebab primer dan disebut sebagai

“essential hypertension”. Pada kurang dari 5% pasien yang memiliki

hipertensi, terjadi akibat adanya kelainan pada renal atau adrenal. Pada

essential hypertension atau primary hypertension, hipertensi terjadi akibat

interaksi dari beberapa faktor lingkungan seperti diet, aktivitas fisik yang

5
kurang, stres, dan alkohol. Dan hal yang penting dalam kejadian hipertensi

yaitu faktor genetik1.

2.1.4 Patofisiologi

Secara umum diagnosis hipertensi harus dikonfirmasi setelah pengukuran

pertama pada kunjungan setelahnya dalam satu sampai dengan minggu

keempat. Diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan sistolik ≥140 mmHg

atau tekana diastolic ≥90 mmHg.2

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama

Karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang

mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah:1

1. Faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas,

merokok, genetis

2. Sistem saraf simpatis

3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi:

endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari

endotel, otot polos dan interstinum juga memberikan kontribusi

akhir.

4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,

angiotensin dan aldosterone.

Asupan Natrium Jumlah nefron Stress Genetik Obesitas


berkurang

Retensi Permukaan Saraf Renin – Perubahan Hiper-


Natrium di filtrasi Simpatis Angiotensin membran sel insulinemia
Ginjal

Volume cairan Vena konstriksi

6
Hipertrofi
Preload Kontraktilitas Vasokonstriksi jantung
Hipertensi = isi sekuncup x resistensi perifer

Autoregulasi

Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah

Tekanan maksimal yang ditimbulkan pada arteri sewaku darah

disemprotkan ke dalam pembuluh tersebut selama sistol disebut tekanan

sistolik dan normalnya rata-rata 120mmHg.Tekanan minimal di dalam arteri

ketika darah mengalir keluar menuju ke pembuluh yang lebih kecil di hilir

sewaktu diastol disebut tekanan diastolik, normalnya rata-rata 80 mmHg.3

Ada dua faktor utama yang mengatur tekanan darah, yaitu darah yang

mengalir dan tahanan vaskular perifer.Darah yang mengalir ditentukan oleh

volume darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan

kecepatan denyut jantung.Tahanan vaskular perifer berkaitan dengan besarnya

lumen pembuluh darah perifer dan kekentalan darah. Makin sempit pembuluh

darah, makin tinggi tahanan terhadap aliran darah; makin besar dilatasinya

makin kurang tahanan terhadap aliran darah. Makin menyempit pembuluh

darah, makin meningkatkan tekanan darah. Dilatasi dan konstriksi pembuluh-

pembuluh darah dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan sistem renin-

angiotensin.3

7
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis diaktivasi oleh baroreseptor yang

ada di sinus karotis dan arkus aorta.Baroreseptor ini sangat peka terhadap

perubahan dari tekanan darah.Oleh karena itu, baroreseptor merupakan sistem

terpenting dalam regulasi tekanan darah.Refleks baroreseptor ini berperan

dalam aktivasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Pada saat terjadi

penurunan tekanan darah, refleks baroreseptor akan menyebabkan aktivasi

sistem saraf simpatis untuk meningkatkan output jantung dan resistensi

vaskular dengan cara vasokontriksi. Sebaliknya, jika tekanan darah

meningkat, baroreseptor akan merangsang sistem saraf parasimpatis yang

mengakibatkan penurunan output jantung (meliputi isi sekuncup dan denyut

jantung) dan vasodilatasi pembuluh darah.3

Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam

pengontrolan tekanan darah.Renin disekresi oleh aparatus juxtaglomerulus

ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan

garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatik.Mekanisme terjadinya

hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh

angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis

penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen

yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan

diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II berpotensi besar

meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui

dua jalur, yaitu:3

8
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.

ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal

untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,

sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga

urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume

cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan

tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk

mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi

NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya

konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume

cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan

tekanan darah.

Secara umum, aktivasi sistem renin-angiotensin meningkatkan reabsorpsi

natrium di tubulus, dan mengakibatkan penurunan ekskresi natrium

urin.Dalam keadaan perluasan volume ekstraseluler atau kelebihan natrium

plasma, sistem renin-angiotensin ditekan dan eksresi natrium urin

meningkat.Peptida natriuretik atrium (PNA) adalah suatu hormon peptida

diuretik dan natriuretik kuat yang diproduksi dan disimpan dalam miosit

atrium. Organ sasaran PNA adalah ginjal, yaitu dengan meningkatkan

ekskresi air dan natrium. Peptida dilepaskan ke sirkulasi dari tempat asalnya

9
di jantung pada keadaan ekspansi volume cairan ekstraseluler dan akibat

peregangan atrium jantung. Peptida natriuretik atrium merupakan pengatur

penting perubahan volume cairan ekstraseluler akut atau jangka pendek.3

Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron

10
2.15 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga,

kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah

intrakranial. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.

Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.

Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.

Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,

muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,

tengkuk terasa pegal dan lain-lain1.

2.1.6 Diagnosis1

1. Anamnesis

Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat

asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala,

rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang

kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-

obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun

NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi serta adanya

riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali

mengenai faktor risiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas

fisik yang kurang, dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria,

penurunan laju GFR, dan riwayat keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik

11
Nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua kali pengukuran pada

setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg

pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan.

Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik,

ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta

teknik yang benar.

3. Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi

seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum,

kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis.

Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa

elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan

ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat

dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat.

Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4,

FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer

berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen,

peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam

12
urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan

kadar metanefrin, CT Scan/ MRI abdomen. Pada sindrom cushing,

dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat

dilakukan CT angiografi arteri renalis, USG ginjal, doppler Sonografi.

2.1.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi

antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan

penyerta dan hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap

disertai dengan modifikasi gaya hidup. Kedua sistem mayor yang menjadi

target terapi obat adalah simpatetik nervous sistem dan renin angiotensin

aldosteron system yang pada akhirnya menargetkan RAAS memiliki lebih

banyak keuntungan dibandingkan SNS1.

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor risiko atau

kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus

dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi.

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis.

13
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi

dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor

risiko penyakit penyerta lainnya1.

Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa

tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol

diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran,

serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam

dimana konsumsi NaCl yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain

yang disarankan adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan

paling tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol.

Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga

mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan

antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau

tidaknya gagal ginjal kronis. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai,

pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga

target tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah,

LFG, dan elektrolit. Jenis obat antihipertensi adalah2:

1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh

(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan

daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya

tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah: bendroflumethiazide,

chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan indapamide.

2. ACE-Inhibitor

14
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat

yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering

timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat

yang tergolong jenis ini adalah catopril, enalapril, dan lisinopril.

3. Calsium channel blocker

Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung

dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat

yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan

nitrendipine.

4. Angiotensin reseptor blocker

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II

pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung.

Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan,

dan losartan.

5. Beta blocker

Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa

jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui

mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang

tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta

metoprolol.

15
2.1.8 Komplikasi

Beberapa komplikasi terkait organ vital antara lain1:

1. Jantung

Hipertensi kronis akan menyebabkan infark miokard, infark miokard

menyebabkan kebutuhan oksigen pada miokardium tidak terpenuhi

kemudian menyebabkan iskemia jantung serta terjadilah infark.

2. Ginjal

Tekanan tinggi kapiler glomerulus ginjal akan mengakibatkan kerusakan

progresif sehingga gagal ginjal. Kerusakan pada glomerulus menyebabkan

aliran darah ke unit fungsional juga ikut terganggu sehingga tekanan

osmotik menurun kemudian hilangnya kemampuan pemekatan urin yang

menimbulkan nokturia.

3. Otak

Tekanan tinggi di otak disebabkan oleh embolus yang terlepas dari

pembuluh darah di otak, sehingga terjadi stroke. Stroke dapat terjadi

apabila terdapat penebalan pada arteri yang memperdarahi otak, hal ini

menyebabkan aliran darah yang diperdarahi otak berkurang.

2.1.9 Prognosis

Kebanyakan orang yang didiagnosis dengan hipertensi akan memiliki

peningkatan tekanan darah seiring dengan bertambahnya usia. Hipertensi

yang tidak diobati dengan baik dapat meningkatkan risiko mortalitas dan

sering digambarkan sebagai silent killer. Hipertensi ringan sampai sedang jika

tidak diobati dengan baik dapat meningkatkan risiko penyakit aterosklerosis

16
pada 30% penderita hipertensi dan kerusakan organ pada 50% penderita

hipertensi dalam waktu 8-10 tahun.1

Kematian akibat penyakit jantung iskemik atau stroke meningkat secara

bertahap seiring dengan peningkatan tekanan darah. Setiap peningkatan 20

mmHg sistolik atau 10 mmHg diastolik pada tekanan darah > 115/75 mmHg,

angka mortalitas meningkat 2 kali lipat untuk penyakit jantung iskemik dan

stroke. Menurut JNC 7, penggunaan terapi hipertensi secara uji klinis dapat

rata-rata menurunkan 35-40% kejadian stroke, 20-25% kejadian infark

miokard, dan >50% kejadian gagal jantung.1

2.2 Diabetes Mellitus

2.2.1 Definisi

Menurut WHO (2015) Diabetes Melitus (DM) adalah sebuah penyakit

kronik yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang

adekuat atau ketika tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang

diproduksi secara efektif. Gangguan sekresi atau kerja insulin menyebabkan

gangguan intake glukosa dari sirkulasi ke dalam sel target insulin untuk

selanjutnya dimetabolisme. Akibatnya, glukosa menumpuk di sirkulasi dalam

jumlah yang banyak. Penumpukan glukosa di dalam sirkulasi yang banyak

inilah yang menyebabkan munculnya gejala-gejala Diabetes Melitus.4,5

2.2.2 Epidemiologi

Riskesdas 2013 menyebutkan sebanyak 1,5% penduduk Indonesia

terdeteksi menderita DM dari hasil anamnesis dan 2,1% terdeteksi DM tidak

hanya dari anamnesis namun adanya gejala atau tanda yang ditemukan.

Kejadian DM semakin meningkat seiring bertambahnya umur, namun

17
prevalensi kejadian DM menurun pada kelompok umur diatas 65 tahun.6

2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi

a. Patogenesis DMT1

DMT1 adalah tipe DM yang bersifat autoimun dan kronik. DMT1

berhubungan dengan adanya proses destruksi selektif sel B pankreas yang

memproduksi insulin. Onset dari DMT1 menggambarkan proses akhir dari

terjadinya destruksi sel B pankreas. Gambar 1 memperlihatkan bagan

patogenesis terjadinya DMT1. Al Homsi dan Lukic (1992) memberikan

gambaran karakteristik DMT1 sebagai sebuah penyakit autoimun sebagai

berikut:7

1. Adanya sel-sel yang imunokompeten di pulau-pulau pankreas yang

terinfiltrasi.

2. Adanya autoantibodi spesifik sel-sel pulau langerhans.

3. Adanya perubahan imunoregulasi yang diperantarai sel T CD4+.

4. Adanya keterlibatan Sel TH1 yang memproduksi Interleukin pada

proses destruksi.

5. Adanya respon terhadap imunoterapi.

6. Pasien atau anggota keluarga pasien mengalami rekurensi penyakit

autoimun.8

18
Patogenesis DM Tipe 1

Pada keadaan fisiologis, kadar glukosa darah diatur secara cukup

ketat oleh interaksi antara sel B pankreas yang menyekresikan insulin dan

jaringan tubuh yang sensitif terhadap insulin, khususnya hepar. Pada

diabetes tipe 2, kedua proses yang meregulasi kadar glukosa darah tadi

mengalami gangguan, yaitu sel B pankreas mengalami disfungsi sehingga

tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup, disertai insulin yang

dihasilkan yang dihasilkan ternyata tidak bisa bekerja secara efektif karena

jaringan target insulin telah mengalami resistensi terhadap insulin. Defek

yang pertama kali terjadi adalah resistensi insulin kemudian diikuti dengan

kerusakan/ disfungsi sel B pankreas untuk menghasilkan insulin.

Walaupun begitu, gejala klinis pada DMT2 baru muncul ketika pankreas

19
sudah tidak mensekresikan insulin secara adekuat.8

Patogenesis DM Tipe 2

Pada patogenesis DMT2, 2 faktor utama penyebab terjadinya DM

adalah lingkungan dan genetik. Namun ternyata faktor genetik lebih

dominan dibandingkan faktor lingkungan dalam patogenesis DM.6

Kejadian DMT2 pada kembar identik berkisar antara 70-90%. Jika kedua

orang tua memiliki DM maka kemungkinan anaknya menderita DM bisa

mencapai 40%. Diduga keberadaan gen- gen tertentu menyebabkan

perubahan fungsi atau perkembangan atau sekresi insulin. Dikarenakan

keterlibatan gen pada proses patogenesis DMT2 masih dalam proses

investigasi, maka masih belum memungkinkan untuk memprediksi DMT2

hanya dengan loki gen yang baru diketahui.8

20
2.2.4 Diagnosis

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik8,9

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa

secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil

pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa

darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas

dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada

penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat

keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

21
2. Pemeriksaan penunjang

Pada konsesnsus PERKENI tentang diabetes melitus yang dikeluarkan

pada tahun 2011, penegakan diagnosis Diabetes Melitus didasarkan atas hal

hal berikut:10

Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus

Pada

tahun 2015

PERKENI kembali

22
mengeluarkan konsensus diabetes melitus yang terbaru, dan di dalamnya

terdapat sedikit perbedaan dalam penegakan diagnosisnya. Kriteria penegakan

diagnosis diabetes melitus didasarkan atas beberapa poin berikut:9

1. Glukosa darah plasma puasa (GDP) ≥ 126 mg/ dL, atau

2. Glukosa darah plasma setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan

beban 75 gram ≥ 200 mg/ dL

3. GDS ≥ 200 mg/ dL disertai keluhan klasik diabetes melitus, atau

4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan metode High-Performance Liquid

Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National

Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Selain dari kriteria di atas dan tidak termasuk kategori normal, maka

dapat digolongkan menjadi kelompok pre-diabetes atau intoleransi glukosa

yang terdiri dari glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yang memiliki

glukosa darah plasma puasa antara 100-125 dan toleransi glukosa terganggu

(TGT) yaitu dengan glukosa plasma setelah TTGO 140-199 dan glukosa darah

plasma puasa kurang dari 100 mg/dL. Hasil HbA1c 5,7-6,4% juga dapat

digolongkan menjadi kelompok pre-diabetes.1

Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan dengan cara

mengistirahatkan tubuh dari asupan kalori minimal 8 jam. Hasil pemeriksaan

HbA1c tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus

pada kondisi tertentu seperti anemia, riwayat transfusi 2-3 bulan terakhir atau

kondisi yang dapat mempengaruhi umur eritrosit. Pemeriksaan TTGO

dilakukan dengan cara berpuasa kurang lebih 8 jam kemudian diberikan 75

gram glukosa yang dilarutkan dalam 250 ml air untuk dewasa dan 1,75

23
gram /KgBB pada anak anak yang selanjutnya diminum dalam waktu 5 menit.

Selanjutnya berpuasa kembali selama 2 jam dan dilakukan pemeriksaan

glukosa darah.9,10

2.2.5 Penatalaksanaan9

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi

nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis

dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti

hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.

Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya:

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau

adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder

atau Tersier. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala

hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah

mendapat pelatihan khusus.

Terapi Nutrisi Medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan

DMT2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang

24
lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM

sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip

pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan

untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu

diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis

dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat

yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Ada

beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang

DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang

besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur,

aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Latihan jasmani merupakan salah satu

pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati.

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara

teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total

150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan.

25
2.2.6 Komplikasi8

a. Komplikasi Akut

26
Komplikasi akut yang mungkin terjadi pada pasien DMT2 adalah

Diabetic ketoacidosis (DKA) dan HHS (Hyperglicemic hyperosmolar

state). Dua komplikasi akut ini harus segera ditangani karena akan

menimbulkan komplikasi serius jika telat ditangani.

Gejala klinis DKA berupa mual, muntah, kehausan, poliuria, nyeri

abdomen, dan nafas yang pendek. Nyeri abdomen bisa terjadi sangat parah

sehingga menyerupai nyeri akibat peritonitis. Gejala klasik dari DKA

adalah ditemukannya pernapasan kussmaul serta tercium fruity odor yang

mengindikasikan terjadinya sidosis metabolik dan peningkatan jumlah

aseton dalam tubuh.

DKA terjadi akibat kombinasi penurunan jumlah insulin dan

peningkatan counter regulatory hormone seperti glukogon, katekolamin

dan kortisol yang memicu terjadinya proses glukoneogenesis,

glikogenolisis, serta pembentukan ketone bodies. Marker inflamasi

meningkat pada DKA dan HHS. Peningkatan katekolamin meningkatkan

proses lipolisis yang menyebabkan asam lemak bebas dilepaskan oleh

adiposit. Asam lemak bebas ini seharusnya disimpan oleh hepar dalam

bentuk trigliserida atau VLDL, namun karena keadaan hiperglukagonemia

maka metabolisme asam lemak bergeser dan asam lemak diubah menjadi

badan keton. Hasil akhir dari proses ini adala terjadinya ketosis.

HHS tipikal diderita oleh orang lanjut


usia yang memiliki DMT2.

Terdapat riwayat poliuria, Berat badan turun, asupan makanan turun

disertai penurunan status kesadaran. Juga didapatkan dehidrasi yang berat,

hipotensi, takikardi, hiperosmolal, dan perubahan status kesadaran. HHS

27
biasanya timbul disertai dengan penyakit lain seperti sepsis atau

pneumonia. Pada HHS tidak ditemukan tanda-tanda ketosis seperti pada

DKA.

Penyebab utama HHS adalah insulin defisiensi dan asupan cairan

yang kurang adekuat. Insulin defisiensi meningkatan glikogenolisis dan

glukoneogenesis yang menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia

selanjutnya menyebabkan diuresis osmotik yang menimbulkan penurunan

volume intravascular
.

b. Komplikasi Kronik DM

Komplikasi kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas pada penyakit DM. Komplikasi kronik dibedakan menjadi dua

yaitu komplikasi vaskular dan komplikasi nonvaskular. Komplikasi

vaskular dibedakan lagi menjadi dua yaitu mikrovaskular dan

makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular meliputi retinopati, neuropati,

dan nefropati. Komplikasi makrovaskular termasuk Penyakit Jantung

Koroner, Penyakit Arteri Perifer, Penyakit karidovaskuler. Sedangkan

komplikasi yang nonvaskular termasuk gastroparesis, infeksi, dan

perubahan kulit.

Komplikasi DM biasanya baru nampak jelas pada dekade kedua

setelah terjadi hiperglikemia. Dikarenakan DMT2 memiliki masa

asimptomatik hiperglikemia yang panjang, maka banyak individu yang

datang dengan komplikasi pada saat diagnosis DM.

28
2.2.7 Prognosis

Prognosis diabetes mellitus tipe 2 ditentukan oleh modifikasi gaya hidup

pasien, kontrol gula darah yang baik, dan follow up secara teratur.

Komplikasi diabetes dapat berupa komplikasi akut seperti ketoasidosis

diabetik dan komplikasi kronis, seperti neuropati dan nefropati diabetik.

Penyebab utama kematian pada diabetes mellitus tipe 2 adalah akibat

kejadian kardiovaskular

29
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan

berbagai komplikasi. Keadaan ini sangat memengaruhi kualitas hidup penyandang

DM sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Sampai saat

ini memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang dapat

menyembuhkannya diabetes secara menyeluruh. Akan tetapi DM dapat

dikendalikan dengan baik, dengan cara : diet, olahraga dan dengan menggunakan

obat antidiabetik. Pada setiap penanganan penyandang DM, harus selalu

ditetapkan target yang akan dicapai sebelum memulai pengobatan. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan dan penyesuaian

regimen terapi sesuai kebutuhan serta menghindari hasil pengobatan yang tidak

diinginkan. Pengobatan DM sangat spesifik dan individual untuk masing-masing

pasien. Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk dilakukan, tidak hanya untuk

mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secara umum, diharapkan

dapat mencegah dan menurunkan prevalensi DM, baik di Indonesia maupun di

dunia di masa yang akan datang.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Mohani, C.I. (2012). Hipertensi Esensial. Dalam Sudoyo, et al (ed). Buku


Ajar Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta, Interna Publising. pp. 2284-
2293.
2. Weber, et al. (2013). Clinical Practise Guidelines for Management of
Hypertension in The Community. The Journal of Clinical Hypertension 16
(1): 1-13.
3. Lauralee Sherwood (2011). Pembuluh Darah dan Tekanan Darah. Dalam
Yesdelita, Nella (ed). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta,
EGC : 369-413.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar ilmu
Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009
5. World Helath Organization. Diabetes. World Health Organization. Available
from: http://www.who.int/diabetes/en/
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013
7. Ozougwu JK, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. 2013. The
Pathogenesis and Pathophysiology of Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus. J.
Physiol. Pathophysiol. 2013 Sep; 4(4): 46-57.
8. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, etc.
2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill
Companies Inc.
9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PERKENI
10. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI

31

Anda mungkin juga menyukai