Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI
DYSPEPSIA
TB PARU
IKAKOM 1
PUSKESMAS KECAMATAN SETIABUDI

Rifa Imaroh
2010730092
Pembimbing: dr. Tri Murti

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan selalu
dekat dengan hamba-Nya. Syukur senantiasa terucapkan atas segala nikmat dan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan kasus Ikakom 1.
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasus ikakom 1 di
Puskesmas Kecamatan Setiabudi.
Penyusunan laporan ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis,
melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi,
dan semangat. Maka dari itu saya sangat berterima kasih kepada :
1. dr. Tri Murti yang telah memberikan kesempatan dan bekal ilmu selaku
dosen pembimbing
2. Ibu Yanti Nurdin yang telah memberikan dukungan penuh ketika menjalani
coass di Kecamatan Setiabudi
3. Para Pasien yang berkunjung di puskesmas yang telah bersedia di
wawancara.
4. Serta semua pihak yang turut membantu hingga terselesaikannya laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat terutama
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Kedokteran khususnya mengenai
kasus hipertensi, dyspepsia, dan TB Paru.
Akhir kata, saya sangat mengharapkan berbagai saran dan masukan yang
dapat membangun demi tercapainya kesempurnaan laporan kasus ini karena tiada
hal yang sempurna di dunia ini, melainkan hanya kebesaran Allah.

Jakarta, 09 April 2014

Pe
nulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR TABEL.............................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
BAB 1
: HIPERTENSI.............................................................................
1.1 Status Pasien.........................................................................
1.2 Tinjauan Pustaka..................................................................
BAB 2
: DYSPEPSIA...............................................................
2.1 Status Pasien ........................................................................
2.2 Tinjauan Pustaka..................................................................
BAB 3
: TB PARU...................................................................................
3.1 Status Pasien.........................................................................
3.2 Tinjauan Pustaka..................................................................
BAB 4
: PENUTUP..................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................

DAFTAR TABEL

Tabel 1 :
Tabel 2 :
Tabel 3 :
Tabel 4 :

Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO-ISH tahun 1999.............


Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7................................
Komplikasi Hipertensi................................................................
Alarm Symptoms Sakit Perut Berulang Disebabkan Kelainan

8
9
11
19

i
ii
iii
iv
iv
1
1
7
13
13
15
23
23
25
33
34

Tabel 5 :
Tabel 6 :

Organik........................................................................................
Jenis dan Sifat OAT.................................................................... 31
Efek Samping OAT..................................................................... 31

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 :

Mekanisme Dyspepsia Akibat Stress.......................................

BAB 1
HIPERTENSI

1.1 Status Pasien

18

1.1.1 Identitas
Nama
: Tn. Tugino
Umur
: 64 tahun
Alamat
: Ciputat
Pekerjaan : Kurir
1.1.2 Anamnesis
Anamnesis pada tanggal 03 April 2014, pukul 10.30 WIB, Autoanamnesa
1. Keluhan Utama:
Tn. OS mengaku pusing sejak dua hari yang lalu
2. Keluhan Tambahan:
sakit kepala, kadang nyeri dada dan agak sesak jika terlalu capek, pegalpegal.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pusing sejak dua hari yang lalu, pusing dirasakan seperti terikat dibawah
leher dan merasakan sakit kepala, kadang nyeri dada dan agak sesak jika
terlalu capek serta pegal-pegal. Selain itu, tidak ada keluhan lain.
4. Riwayat pengobatan:
Keluhan sekarang belum pernah diobati
5. Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada
6. Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada
7. Riwayat Alergi
Tidak ada
8. Riwayat Psikososial:
Tn. OS mengaku sering mengonsumsi makanan bersantan seperti lontong,
gurih-gurih, kecap manis, supermi dan sering mengonsumsi minuman
kopi, ekstra joss, serta merokok.
1.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalisata
OS tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis
BB: 66 kg
2. Tanda Vital
Nadi : 98 x/menit
Temperatur
: 36oC
RR
: 22 x/menit
Tekanan Darah
: 160/110 mmHg
3. Kepala :
Dalam batas normal
4. Thorax
Dalam batas normal
5. Abdomen
Dalam batas normal
6. Ektremitas

Dalam batas normal


1.1.4

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada

1.1.5

Diagnosa
I10: Hipertensi grade II kasus baru

1.1.6

Pengobatan
Catopril 12,5mg 3x1
Antalgin 500mg 3x1
B Complex 2x1

1.2 Tinjauan Pustaka


1.2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur
dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk
punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga
puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih
memilih istilah hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain
yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report
of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan
derajat 2.
1.2.2

Epidemiologi
Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat

yang ada di Indonesia mau pun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin
meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi
kemungkinan besar juga akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan
kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639
juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.
Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan

pendudukm saat ini (Armilawati et al, 2007). Angka- angka prevalensi hipertensi
di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan
masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik
dari segi case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih
sangat terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.
Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka
prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan
Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% s edangkan
angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8% (Wade, 2003).
1.2.3

Etiologi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti.

Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini
disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat
tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling
umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati.
Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor
risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor
yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan
etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas, dan
nutrisi.
1.2.4

Klasifikasi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua

kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan.
Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada berbagai individu.
Tetapi umumnya disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah yang sama
atau lebih besar dari 140/90 mmHg adalah khas untuk hipertensi. (WHO,1999).
Tabel 1
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO-ISH tahun 1999

Kategori
Optimal
Normal

Tekanan Sistolik
(mmHg)
<120
<130

Tekanan Diastolik
(mmHg)
<80
<85

Normal tinggi
Grade 1 Hypertension
Sub group: borderline
Grade 2 hypertension
Grade 3
Isolated systolic hypertension
Sub group: borderline

130-139
140-159
140-149
160-179
>180
>140
140-149

85-89
90-99
90-94
100-109
>110
<90
<90

Tabel 2
Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7

Kategori
Normal
Prehypertension
Stage 1 Hypertension
Stage 2 Hypertenion

Tekanan Sistolik
(mmHg)
<120
120-130
140-159
>160

Dan
Atau
Atau
Atau

Tekanan Diastolik
(mmHg)
<80
80-89
90-99
>100

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Hipertensi essensial atau primer. Jenis hipertensi yang penyebabnya masih
belum diketahui. Sekitar 90% penderita hipertensi menderita jenis hipertensi
ini. Oleh karena itu, penelitian dan pengobatan lebih banyak ditujukan bagi
penderita hipertensi essensial ini.
2. Hipertensi sekunder. Jenis hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui,
antara lain kelainan pada pembuluh darah ginjal, ganggan kelenjar tiroid, atau
penyakit kelenjar adrenal.
Hampir seluruh penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial (9099%) dan hanya sebagian kecil saja penderita hipertensi sekunder (1-4%), dari
hipertensi sekunder ini hanya 50% secara klinis dapat dibuktikkan penyebabnya.
1.2.5

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE


memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.Selanjutnya
oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru- paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin
II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon
antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar

pituitari) dan bekerja pada ginjal u ntuk mengatur osmolalitas dan volume urin.
Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting
pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan

volume

cairan

ekstraseluler

yang

pada

gilirannya

akan

meningkatkan volume dan tekanan darah.


Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat
komplek. Faktor - faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi
jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas
pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu
oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat
stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan
penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang-kadang
muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang
lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi,
dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan
susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30
tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini
pada pasien umur 20- 40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian
menjadi hipertensi pada umur 30- 50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi
dengan komplikasi pada usia 40- 60 tahun (Menurut Sharma S et al, 2008 dalam
Anggreini AD et al, 2009)

10

1.2.6

Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit

jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal.
Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan
akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10 - 20 tahun. Dengan pendekatan
sistem organ dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi,
yaitu
Tabel 3
Komplikasi Hipertensi

Sistem organ
Jantung
Sistem saraf pusat
Ginjal
Mata
Pembuluh darah perifer

Komplikasi hipertensi
Gagal jantung kongestif
Angina pektoris
Infark miokard
Ensefalopati hipertensif
Gagal ginjal kronis
Retinopati hipertensif
Penyakit pembuluh darah perifer

Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai


mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan
penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang
sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada
otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma
yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah
proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic
Attack/ TIA)
1.2.7

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko
tinggi seperti d iabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah
adalah <130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
3. Menghambat laju penyakit ginjal.
Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis

seperti penjelasan dibawah ini.


1. Terapi nonfarmakologis

11

a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.


Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap
tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting
dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
b. Meningkatkan aktifitas fisik.
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50%
daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30- 45 menit
sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
c. Mengurangi asupan natrium.
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat
anti hipertensi oleh dokt er.
d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan
lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol
lebih dari 2 - 3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
2. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII
yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta
blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor
antagonist / blocker (ARB)

BAB 2

12

DYSPEPSIA

2.1 Status Pasien


2.1.1 Identitas
Nama
: Ny. Ramani
Umur
: 73 tahun
Alamat
: Jalan Muria
Pekerjaan : tidak bekerja
2.1.2 Anamnesis
Anamnesis pada tanggal 07 April 2014, pukul 11.30 WIB, Autoanamnesa
1. Keluhan Utama:
Ny. OS mengaku nyeri ulu hati sejak dua hari yang lalu
2. Keluhan Tambahan:
Mual pada pagi hari, pinggang terasa nyeri dan kaku.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Nyeri ulu hati sejak dua hari yang lalu, disertai mual pada pagi hari,
merasakan perutnya begah jika makan terlalu kenyang, pinggang terasa
nyeri dan kaku, nafsu makan lancar, BAB mencret apabila sedang nyeri
ulu hati, namun dapat membaik kembali
4. Riwayat pengobatan:
Dua minggu sekali berobat ke Puskesmas untuk kontrol
5. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pernah dirawat di RSCM dan RS cikini dengan keluhan yang sama
di perut
Keluhan yang sama seperti sekarang sejak lima tahun yang lalu
Hipertensi
6. Riwayat penyakit keluarga:
Anak : Hipertensi
7. Riwayat Alergi
Alergi obat warung, tapi lupa namanya. Setelah minum obat seluruh tubuh
merah-merah
8. Riwayat Psikososial:
Ny. OS mengaku sering mengkonsumsi segala jenis makanan. Menyukai
makanan yang bersantan, pedas, asam, pola makan rutin sedikit-demi
sedikit tiga kali makan dalam sehari.
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalisata
OS tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis

13

BB: 38,8 kg
2. Tanda Vital
Nadi : 80 x/menit
Temperatur
: 36oC
RR
: 20 x/menit
Tekanan Darah
: 130/80 mmHg
3. Kepala :
Dalam batas normal
4. Thorax
Dalam batas normal
5. Abdomen
Inspeksi : dinding perut nampak datar
Palpasi : ada nyeri tekan dalam pada perut atas bagian kiri, tidak teraba
massa
Perkusi : terdengar suara tymphani pada seluruh abdomen
Auskultasi : terdengar bising usus 10 x/menit
6. Ektremitas
Dalam batas normal
2.1.4

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada

2.1.5

Diagnosa
K.30: Dyspepsia

2.1.6

Pengobatan
Ranitidin 2x1
B6 3x1
Kalium diklofenax 2x1

2.2 Tinjauan Pustaka


2.2.1 Definisi Dyspepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan pepse
berarti pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau
ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis
yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan. Gejalanya

meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat

kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa
penuh setelah makan.
Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan pencernaan fungsional
yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan kelainan organik
berdasarkan pemeriksaaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi.
Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaaan tidak

14

ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut (seperti


chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy).
2.2.2

Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui.

Suatu pen elitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja
mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga
dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang
keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter. Pada anak dan remaja berusia di
atas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual
setidaknya dalam waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia
fungsional dan 35% peradangan mukosa. Seiring dengan bertambah majunya ilmu
pengetahuan dan alat- alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya
penyakit

gastroduodenum

yang

disebabkan

Helicobacter

pylori,

maka

diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi
melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada
kelompok yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4
tahun

sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di

atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.


2.2.3 Patofisiologi
2.2.3.1 Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi (Il-10, TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan
peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan
dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotoni serta reseptor polimorfisme
alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus.
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal

menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan

gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity


adrenal.
2.2.3.2 Faktor Psikososial

15

Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres


adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang labil
memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini akibat
dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah
gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanismeneuroendokrin.
Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa anak - anak dengan gangguan
fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan oleh karena kecemasan pada diri
mereka dan orang tuanya terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa pada stres
atau kecemasan dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus
gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.
2.2.3.3 Pengaruh Flora Bakteri
Infeksi
Helicobacter

pylori mempengaruhi terjadinya dispepsia

fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada


pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat
mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat
meru bah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan
peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin.
2.2.3.4 Gangguan Motilitas dari Saluran Penceranaan
Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien
dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol yang
sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti pada tahun 2000 menunjukkan
keterlambatan esensial dari pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia
fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure
menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi
akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada
daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi
pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang
merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal.
2.2.3.5 Hipersensitivitas Viseral
Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis
penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme

16

perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak,


dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan
dengan peningkatan sinyal dari usus. Peningkatan perangsangan pada dinding
perut menunjukkan disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya
aktivitas serabut aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala
dispepsia.
Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat
setelah rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan
penurunan motilitas duodenum.
Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme
sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang
terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang
berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan
periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral. Bagian
kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi stimuli
periperal.

Gambar 1. Mekanisme

Dyspepsia

Akibat Stress

2.2.4

Klasifikasi
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau

keluhan
a. Postpandrial Distress Syndrome
- Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi
-

makanan porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu.


Perut cepat terasa penuh sehingga tidak dapat mernghabiskan
makanan dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama

seminggu.
b. Epigastric Pain Syndrome

17

Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epig astrium dengan

tingkatkeparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu.


Nyeri interimiten.
Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus .
Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu .

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak nyaman pada
perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras
(borborigmi).
Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan
pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi
nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan

flatulensi (perut

kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa seperti adanya alarm symtoms , maka penderita harus
menjalani pemeriksaan
Tabel 4. Alarm Symptoms Sakit Perut Berulang Disebabkan Kelainan Organik

2.2.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan

organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian.


1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan

18

leukositosis berarti ada tanda - tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya
diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat dipe
riksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19- 9
(dugaan karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami
kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri
yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan
lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen,
serologi H. pylori, urea breath test, dan lain- lain dilakukan atas dasar
indikasi.
2.2.6 Penatalaksanaan
2.2.6.1 Nonfarmakologis
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,
diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah
lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang
merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di
malam hari

dan membagi

asupan makanan sehari- hari menjadi

beberapa

makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi


relaksasi dan terapi perilaku.
2.2.6.2 Farmakologis
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu
1. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir
sekresi

asam

lambung.

Antasida

biasanya

mengandung

natrium

bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian


antasida tidak dapat dilakukan terus - menerus, karena hanya bersifat
simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan

19

adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare


karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin
yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi
asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
3. Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah
simetidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Proton pump inhibitor (PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat - obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)
selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif (sile pro tective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas.
6. Golongan Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan re fluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki asam lambung.
7. Golongan antidepresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak
jarang keluhan yang mu ncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti
cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic
antidepressants (TCA) seperti amitriptilin. Pengobatan untuk dispepsia
fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung
oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan
terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti: antasida,

20

antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,antagonis reseptor H2,


misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor,
sukralfat, dan antidepresan.

BAB 3
TB Paru

3.1 Status Pasien


3.1.1 Identitas
Nama
: Tn. Supriyono
Umur
: 33 tahun
Alamat
: Jalan Diponegoro
Pekerjaan : Asisten pribadi
3.1.2 Anamnesis
Anamnesis pada tanggal 07 April 2014, pukul 10.10 WIB, Autoanamnesa

21

1. Keluhan Utama:
Tn. OS mengaku batuk sejak 3 minggu yang lalu
2. Keluhan Tambahan:
Batuk berdahak, nafsu makan menurun, berat badan terasa menurun,
berkeringat pada malam hari, mudah lelah, lesu, terkadang demam.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Batuk berdahak sejak 3 minggu yang lalu, mudah lelah, lesu, OS
mengakui adanya penurunan nafsu makan dan berat badan, berkeringat
pada malam hari
4. Riwayat pengobatan:
Belum pernah diobati
5. Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada
6. Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada riwayat penyakit TB pada keluarga, namun tetangga dekat
rumah terdiagnosis TB Paru
7. Riwayat Alergi
Tidak ada
8. Riwayat Psikososial:
Tn. OS mengaku sering mengkonsumsi segala jenis makanan, minum
kopi, merokok, rumahnya dekat dengan penderita TB
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalisata
OS tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis
BB: 59 kg
2. Tanda Vital
Nadi : 97 x/menit
Temperatur
: 36oC
RR
: 20 x/menit
Tekanan Darah
: 120/70 mmHg
3. Kepala :
Dalam batas normal
4. Thorax
Inspeksi : dada tampak simetris
Palpasi : vocal fremitus teraba meningkat pada lobus kanan paru
Perkusi : batas jantung paru normal, terdengar suara sonor pada kedua
lapang paru
Auskultasi : Suara nafas utama vesikuler dengan suara tambahan ronkhi
pada kedua paru
5. Abdomen
Dalam batas normal
6. Ektremitas
Dalam batas normal

22

3.1.4

Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen
o COR: CTR<50%
o Trachea ditengah, kedua hilus tidak melebar
o Tampak infiltrat di apeks dan parakardial paru kiri
o Kedua sinus costophrenicus lancip, diafragma licin
o Tulang-tulang dan jaringan lunak baik
Sputum BTA SPS
++/+/++
Darah lengkap
o Hb
: 13,1 mg/dl
o Leukosit
: 8100 ul
o Trombosit
: 514.000 ul
o Ht
:37,6

3.1.5

Diagnosa
TB Paru kasus baru

3.1.6

Pengobatan
Pengobatan TB Paru kategori 1 selama 6 bulan
Fase intensif 2 bulan (HRZE) + fase lanjutan 4 bulan H3R3

3.2 Tinjauan Pustaka


3.2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menul ar langsung yang disebabkan oleh
kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara
(droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang
mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.
3.2.2

Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan

oleh

Mycobacterium

tuberculosis.

Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada ta hun 1882. Hasil penemuan ini
diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap
tahunnya

diperingati

sebagai

hari

Tuberkulosis.

Karakteristik

kuman

Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6


mikron dengan bentuk ba tang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau
tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari
lipoid (terut ama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan

23

terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin,
bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit
atau pada pemanasan 60C selama 30 menit,

dan dengan alkohol 70-95%

selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang
lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar
matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk
mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali
pertukaran udara per jam.
3.2.3
-

Gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah:
Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Dahak bercampur darah.
Batuk berdarah.
Sesak napas.
Badan lemas.
Nafsu makan menurun.
Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment

shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak

dan/atau terus-menerus

selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah
dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala

tambahan.

Dahak penderi ta harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis.


3.2.4 Penemuan Pasien Tuberkulosis
1. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan
langka h pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis.
Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna
akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat Tuberkulosis,
penularan Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,

24

didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan


maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien
Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien T uberkulosis, terutama
mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah,
dianggap tidak cost efektif.
2. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak
Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terj adi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka
diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor yang dilakukan dokter dengan parameter : konta k Tuberkulosis, uji
tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk,
pembesaran kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi
panggul, lutut, falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008).
3.2.5 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
3.2.5.1 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak
menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA pos itif dan biakan kuman
Tuberkulosis positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA
positif.

Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus

meliputi :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.
b. Foto toraks abnormal menunjukka n gambaran Tuberkulosis.

25

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3.2.5.2 Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
a. Baru
Adalah pasien yang belum pernah dioba ti dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kambuh (Relaps )
Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
Tuberkulosis dan telah dinyatakan sem buh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Pengobatan setelah putus berobat ( Default )
Adalah pasien yang telah berobat da n putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Gagal ( Failure )
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
3.2.6

Cara Penularan
Tuberkulosis adalah penyakit menular, artinya orang yang tinggal

serumah

dengan

penderita

atau

kontak

erat

dengan

penderita yang

mempunyai risiko tinggi untuk tertular. Sumber penularannya adalah pasien


TB paru dengan BTA positip terutama pada waktu batuk atau bersin, dimana
pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dan
umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama (Depkes, 2008).
Adanya ventilasi dapat

mengurangi

jumlah

percikan,

sementara

keberadaan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat

26

bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2008).
3.2.7

Perjalanan Penyakit
Menurut Depkes RI (2002) riwayat terjadinya TB paru ada dua yaitu

infeksi primer dan pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang
terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana.
Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan
cara pembelahan diri di paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke
kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah
sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin

dari negatif menjadi positif (Depkes, 2008). Kelanjutan

setelah

infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai
dormant

(tidur).

Kadang-kadang

daya

tahan

kuman persister atau

tubuh

tidak

mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang


bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Kedua tuberkulosis paska primer
biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status
gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paska primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes, 2008).
3.2.8

Klasifikasi Diagnosis

27

Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit TB paru maka dilakukan


serangkaian tindakan yang dimulai anamnesa, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan

lanjutan dapat berupa pemeriksaan bakteri, radiologi dan tes tuberkulin. Penetapan
diagnosis tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak menurut
Depkes RI (2002) dikelompokkan menjadi penderita TB paru BTA positif yakni
sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, atau
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

dan

foto

rontgen

dada

menunjukkan gambaran Tuberkulosis aktif, dan penderita TB paru BTA Negatif


yakni pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif, serta penderita Tuberkulosis
Extra Paru, yakni Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru,misalnya, selaput otak,selaput jantung kelenjar limfe,tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
3.2.9 Pengobatan Penyakit Tubekulosis Paru
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien,
mencegah

kematian,

mencegah

kekambuhan, memutuskan

mata

rantai

penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis,


sifat dan dosis yang digunakan untuk TB paru sebagaimana tertera dalam Tabel.
Tabel 5.
Jenis dan Sifat OAT

Pengobatan TB
Depkes

RI

(2002)

dengan prinsip prinsip

paru menurut
dilakukan
sebagai

berikut :
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat ( PMO )

28

c. Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif)
dan lanjutan.
Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek
samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat. Tabel 6 menjelaskan efek
samping OAT dari yang ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
Tabel 6
Efek Samping OAT

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit


dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara
dapat diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.
Gatal gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi
maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan
kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjad karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis (Depkes, 2008).

29

BAB 4
PENUTUP

Berdasarkan analisis terhadap tiga kasus yang ditemukan dapat


disimpulkan bahwa kasus pertama merupakan kasus baru penderita hipertensi
grade II, kasus kedua adalah dyspepsia sesuai dengan riwayat penyakit dahulu
dyspepsia yang dikeluhkan oleh pasien. Dan kasus ketiga merupakan kasus baru
TB Paru. Umumnya prognosis dari ketiga kasus baik, asalkan pasien rutin kontrol
memeriksakan penyakitnya dan patuh minum obat, agar pasien memahami
tentang cara mengatasi penyakitnya maka pasien membutuhkan edukasi seputar
penyakit yang dideritanya.

30

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T, Y. 1994. Tuberkulosis Paru : Masalah dan Penanggulangannya.


Penerbit Universitas Indonesia (UI - Press), Jakarta: 1.
Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar- dasar Ilmu Penyakit Paru , Edisi Ke2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88- 96, 108-109.
Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru (eds)
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-993.
Buku Saku TBC Bagi Masyarakat. Penerbit Komite DOTS, Yogyakarta : 13 - 14.
Danusantoso, H. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Edisi Ke 1.
Penerbit Hipokrates, Jakarta : 97-108.
Darmojo, R. Boedhi dan H. Hadi Martono. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut) Ed. 3. Jakarta : FKUI. 2004.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.

Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan Kedua.

31

Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008.

Buku Pedoman Nasional

Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6- 7, 20-24.
Gottlieb, 2003. Faktor Resiko Dyspepsia. Diakses tanggal 07 April 2014 dari :
http://repository.usu.ac.id
Kuswardhani, Tuty. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. 2006. Diakses
tanggal 07 April 2014. 20:34.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/penat
alaksaan%20hipertensi%20pada%20lanjut%20us1a%20%28dr%20ra
%20tuty%20k%29.
Mansjoer, Arif,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid 1. Jakarta
Panchmatia, 2010. Dispepsia dan Penatalaksanaannya. Diakses tanggal 07 April
2014 pukul 20.40 WIB http://www.dispepsia.org/en/artikel/kesehatan
WHO, 2010. Penderita Dispepsia. http://www.dispepsia.org/en/artikel/kesehatan
Diakses tanggal 08 April pukul 21.10 WIB

Anda mungkin juga menyukai