Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH KESEHATAN REPRODUKSI LANSIA

PENYAKIT DEGENERATIF HIPERTENSI

Disusun Oleh:

Galila Aisyah A.
Evrilia Bayu Fista Saras
Haryati

PROGRAM PASCASARJANA KESEHATAN REPRODUKSI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2016
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1.2 Tujuan ......................................................................................

BAB II ISI ......................................................................................


2.1 Definisi
2.2 Prevalensi.
2.3 Etiologi .....................................................................................
2.4 Patofisiologi .............................................................................
2.5 Tanda dan Gejala ....................................................................
2.6 Komplikasi ...............................................................................
2.7 Faktor Resiko ...........................................................................
2.8 Terapi penyakit Hipertensi .......................................................
2.9 Aspek kesmas...........................................................................
2.10 Telaah jurnal ............................................................................

BAB III PENUTUP ........................................................................................


3.1 Kesimpulan. .....................................................................
3.2 Saran .......................................................................
DAFTAR PUSTAKA . ..................................
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan teknologi yang merubah gaya hidup dan sosial ekonomi di Indonesia dewasa
ini telah mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular
(PTM) meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases (penyakit akibat ulah manusia)
yang merupakan faktor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Pada abad ke-21 ini
diperkirakan terjadi peningkatan insiden dan prevalensi penyakit tidak menular secara cepat,
yang merupakan tantangan utama masalah kesehatan dimasa yang akan datang. Penyakit
menular telah menyumbang 3 juta kematian pada tahun 2005 dimana 60% kematian diantaranya
terjadi pada penduduk di bawah usia 70 tahun. WHO memperkirakan, pada tahun 2020 penyakit
tidak menular akan menyebabkan 73% mortalitas dan 60% morbiditas di dunia. Negara yang
paling merasakan dampaknya diperkirakan adalah negara berkembang termasuk Indonesia
(Rahajeng & Tuminah, 2009).
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius
saat ini adalah hipertensi. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi
lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg. Hipertensi disebut sebagai the silent killer atau pembunuh diam-diam karena orang
dengan hipertensi sering tidak menampakkan gejala dan tidak sadar akan kondisinya. Hipertensi
merupakan penyebab utama penyakit gagal jantung, stroke dan gagal ginjal (Smeltzer, 2004).
Hipertensi menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia karena prevalensinya yang tinggi.
Data WHO tahun 2000, hipertensi telah menjangkiti 26,4% populasi dunia dengan perbandingan
26,6% pada pria dan 26,1% pada wanita. Sebanyak 26,6% populasi dunia, negara berkembang
menyumbang 2/3 populasi yang terjangkit hipertensi, sedangkan negara maju hanya
menyumbang sepertiganya saja. Data yang dilansir oleh The Lancet tahun 2000 sebanyak 972
juta (26%) orang dewasa di dunia menderita Hipertensi. Angka ini terus meningkat tajam,
diprediksikan oleh WHO pada tahun 2025 nanti sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia yang
menderita hipertensi (Rahajeng & Tuminah, 2009).

Data di Amerika diperkirakan sebanyak 25% penduduk usia dewasa menderita hipertensi.
Apabila penyakit ini tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat menyebabkan
serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Penyakit hipertensi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar
terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung. Menurut WHO
dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita
hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap
10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat (Cheriyan, Eniery, &
Wilkinson, 2010).

Data di Indonesia menunjukkan masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei


Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita
hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004. Pada tahun 2007 prevalensinya
meningkat lagi menjadi 31,7%. Prevalensi ini jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura (27,3%),
Thailand (22,7%) dan Malaysia (20%) (Rahajeng & Tuminah, 2009; Hartono, 2011). Kelompok
Kerja Serebrokardiovaskuler FK UNPAD/RSHS tahun 1999, menemukan prevalensi hipertensi
sebesar 17,6% dan MONICA (Multinational Monitoring of Trends and Determinants in
Cardiovascular Disease) Jakarta tahun 2000 melaporkan prevalensi hipertensi di daerah urban
adalah 31,7%. Data dari FKUI menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi daerah rural
(Sukabumi), sebesar 38,7% (Rahajeng & Tuminah, 2009).
Hasil SKRT 2001, 2004, 2007 dan 2010 menunjukkan penyakit kardiovaskuler
merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia dan sekitar 2035% dari
kematian tersebut disebabkan oleh hipertensi. Hanya dalam waktu 20 tahun, penyakit
kardiovaskuler yang sangat erat kaitannya dengan hipertensi dari urutan kesebelas (SKRT 1972)
melesat ke urutan pertama (SKRT 1992) dan bertahan sampai saat ini (SKRT 2010) (Rahajeng &
Tuminah, 2009; Hartono, 2011).
Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa hipertensi berhubungan secara linier
dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Oleh sebab itu, penyakit hipertensi
harus dicegah dan diobati. Hal tersebut merupakan tantangan kita di masa yang akan datang.
Seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan hiperkolesterol
mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi. Faktor risiko tersebut pada umumnya
disebabkan pola hidup (life style) yang tidak sehat. Faktor sosial budaya masyarakat Indonesia
berbeda dengan sosial budaya masyarakat di negara maju, sehingga faktor yang berhubungan
dengan terjadinya hipertensi di Indonesia kemungkinan berbeda pula (Rahajeng & Tuminah,
2009).

Hipertensi sering tidak menampakkan gejala. Separuh penderita hipertensi diperkirakan


tidak menyadari akan kondisinya. Sekitar 40% populasi dewasa menderita hipertensi, lebih dari
90% diantara mereka menderita hipertensi esensial (primer), dimana tidak dapat ditentukan
penyebab medisnya (Brookes, 2008). Begitu penyakit ini diderita maka tekanan darah pasien
harus dipantau dengan interval teratur karena hipertensi merupakan kondisi penyakit seumur
hidup. Menyadari akan hal ini, banyak pasien hipertensi merasa tertekan secara emosional.
Tekanan emosional yang timbul biasanya karena pikiran mereka tentang kesembuhan penyakit
hipertensi yang relatif kecil, ancaman akan kematian, aturan diet yang ketat maupun penyakit
komplikasi yang akan terjadi di kemudian hari. Keadaan emosional pasien yang semakin tidak
stabil ini justru akan memperparah penyakit hipertensinya (Smeltzer, 2004).

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi penyakit hipertensi
1.2.2 Mengetahui prevalensi penyakit hipertensi pada lansia
1.2.3 Mengetahui etiologi penyakit hipertensi lansia
1.2.4 Mengetahui patofisiologi pada lansia
1.2.5 Mengetahui tanda dan gejala hipertensi pada lansia
1.2.6 Mengerahui Faktor Resiko Hipertensi
1.2.7 Mengetahui cara mendiagnosis hipertensi pada lansia
1.2.8 Mengetahui terapy hipertensi pada lansia
1.2.9 Mengetahui aspek kesmas penyakit hipertensi
1.2.10 Mengetahui hasil penelitian melalui telaah jurnal
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipertensi


Defini dari The Seventh Report of the Joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 2003 (JNC-VII 2003)
menyatakan bahwa penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah
suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah 140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau
90 mmHg (tekanan diastolik)). Nilai yang lebih tinggi (sistolik ) menunjukan fase darah yang
dipompa oleh jantung, nilai yang lebih rendah ( diastolik ) menunjukan fase darah kembali ke
dalam jantung (US Departement of Health, 2004).
2.2 Prevalensi Hipertensi
Data dari AHA (American Heart Association) penduduk Amerika berusia diatas 20 tahun
yang menderita hipertensi adalah 74,5 juta jiwa, dan 90-95% tidak diketahui penyebabnya.
Menurut WHO dan The International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta
penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta diantaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh
dari 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat.

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada umur 18 tahun
ke atas pada tahun 2007 di Indonesia sebesar 31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi
tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). Prevalensi
hipertensi mengalami menurunan pada tahun 2013 menjadi 25,8%. Provinsi dengan prevalensi
tertinggi terjadi di Bangka Belitung (30,9%) dan terendah Papua (16,8%). Hasil Riskesdas tahun
2013 mengenai prevalensi hipertensi di Indonesia adalah :

No Provinsi Jumlah % Hipertensi Absolut Hipertensi (jiwa)


Penduduk

1. Bangka Belitung 1.380.762 30,9 426.655

2. Kalimantan 3.913.908 30,8 1.205.483


Selatan

3. Kalimantan 4.115.741 29,6 1.218.259


Timur

4. Jawa Barat 46.300.543 29,4 13.612.359

5. Gorontalo 1.134.498 29,4 33.542

6. Papua 3.486.432 16,8 585.720

7. Bali 4.225.384 19,9 840.851

8. DKI Jakarta 10.135.030 20,0 2.027.006

9. Papua Barat 877.437 20,5 179.874

10. Riau 6.358.636 20,9 1.328.954

Sumber : Riskesdas tahun 2013. Berdasarkan estimasi penduduk sasaran program


pembangunan kesehatan tahun 2014, Pusdatin.

2.3 Etiologi Penyakit Hipertensi


Klasifikasi Hipertensi
Penyakit hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu
(Smeltzer, 2004; DEPKES RI, 2006) :

a. Hipertensi Essensial atau Primer


Penyebab dari hipertensi essensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui. Kurang
lebih 90 % penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial sedangkan 10 % nya
tergolong hipertensi sekunder.

b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui antara lain
kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar
adrenal (hiperaldosteronisme) dan lain-lain.
Pada tahun 2003, JNC-VII 2003 membuat pembagian hipertensi. Berikut anjuran frekuensi
pemeriksaan tekanan darah sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini (US
Departement of Health, 2004) :
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal 120 80
Prehipertensi 120 139 80 - 89
Hipertensi derajat 1 140 159 90 - 99
Hipertensi derajat 2 160 100

2.4 Patofisiologi Hipertensi


Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal
ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus - kasus hipertensi tersebut
bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation
dari aorta, pheochromocytoma, cushings disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan.
Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi
esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus kasus hipertensi (Smeltzer, 2004).
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan
aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada
keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer
(systemic vascular resistance (SVR)) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab
hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. Pola perkembangan terjadinya hipertensi,
awalnya cardiac output meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi
semakin progresif, cardiac output kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal.
Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy)
dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral
blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi.
Tekanan darah (blood pressure (BP)) berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana
persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu (Wiryana, 2008) :

BP = CO x SVR

Secara fisiologis tekanan darah individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi,
dipertahankan pada cardiac output atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang
mempengaruhi tekanan darah ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan
jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan
intravaskuler. Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas
saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem renin-angiotensin-
aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan
hormon - hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan
SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek
vasokonstriksi (Wiryana, 2008).
Pada pasien hipertensi penting sekali untuk menjaga kestabilan emosional. Telah
diketahui bahwa ketidakstabilan emosional akan memicu rangsangan di area pusat vasomotor
yang terletak pada medula otak. Rangsangan area ini akan mengaktivasi sistem saraf simpatis
yang selanjutnya akan mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokonstriktor yang pada akhirnya akan terjadi peningkatan tekanan darah (Smeltzer, 2004).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sehingga
tekanan darah meningkat, sebagai akibat dari respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
tereksitasi, mengakibatkan tambahan aktifitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi
epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi dapat
menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensi II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan
volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi
(Smeltzer, 2004).
2.5 Tanda dan Gejala Hipertensi pada Lansia
2.6 Komplikasi Hipertensi
2.7 Faktor Resiko Hipertensi

2.8 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia


Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan
kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan
terhadap kualitas hidup penderita.

a. Pengendalian Faktor Risiko


Pengendalian faktor risiko hipertensi hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah,
dengan usaha - usaha sebagai berikut :
1) Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan.
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-
orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya
normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20% - 33%
memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian obesitas harus
dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Harvard school of public health,
2009).
2) Mengurangi asupan garam di dalam tubuh
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan kebiasaan makan penderita.
Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan. Batasi sampai
dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) perhari pada saat memasak (Whelton &
Appel, 1992).
3) Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol
sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah (Sumiati, 2010;
Richman, Pek, Pascoe, & Bauer, 2010).
4) Melakukan olah raga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30 - 45 menit sebanyak
3 4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan
memperbaiki metabolisme tubuh yang ujungnya dapat mengontrol tekanan darah
(Tedjasukmana, 2008).
5) Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat
memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat
merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses
artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan
erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada seluruh
pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan
oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung (Moser & Riegel, 2008).

b. Obat Antihipertensi
Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal , masa kerja yang panjang sekali sehari
dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditarnbahkan selama beberapa bulan
pertama perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada
keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat anti hipertensi (DEPKES RI, 2006).
Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut (DEPKES RI, 2006) :
1) Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi
2) Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3) Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti
hipertensi.
4) Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan
seumur hidup.
Jenis-Jenis Obat Antihipertensi (DEPKES RI, 2006; Moser & Riegel, 2008; Black & Hawks,
2009)
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (lewat
urin), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa
jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan
sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya.
2) Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis (saraf yang
bekerja pada saat kita beraktifitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan
penghambat simpatetik adalah : metildopa, klonodin dan reserpin. Efek samping
yang dijumpai adalah : anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah kerena
pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan kadang-kadang dapat
menyebabkan penyakit hati kronis. Saat ini golongan ini jarang digunakan.
3) Beta Bloker
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkhial. Contoh obat golongan
beta adalah metoprolol, propanolol, atenolol dan bisoprolol. Pemakaian pada
penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia
(dimana kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga dapat
membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita bronkospasme
(penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hati-hati.

4) Vasodilatator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot
pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah prazosin dan
hidralazin. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah
pusing dan sakit kapala. Penghambat enzim konversi angiotensin Kerja obat
golongan ini adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang dapat
meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah
captopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk kering, pusing, sakit
kepala dan lemas.

5) Antagonis kalsium
Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat
kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah :
nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah :
sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.
6) Penghambat reseptor angiotensin II
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan
yang termasuk golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang mungkin timbul
adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual.

Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan (DEPKES RI, 2006):

1) Diuretik : hidroclorotiazid dengan dosis 12,5 -50 mg/hari


2) Penghambat ACE/penghambat reseptor angiotensin II : Captopril 25 -100 mmHg
3) Penghambat kalsium yang bekerja panjang : nifedipin 30 - 60 mg/hari
4) Penghambat reseptor beta : propanolol 40 - 160 mg/hari
5) Agonis reseptor alpha central (penghambat simpatis}: reserpin 0,05 -0,25 mg/hari

Terapi kombinasi antara lain (DEPKES RI, 2006):

1) Penghambat ACE dengan diuretik


2) Penghambat ACE dengan penghambat kalsium
3) Penghambat reseptor beta dengan diuretik
4) Agonis reseptor alpha dengan diuretic

2.9 Aspek Kesmas Penyakit Hipertensi


Penanganan yang dapat dilakukan pada kasus hipertensi pada lansia oleh seorak praktisi
kesehatan masyarakat adalah :
1. Melakukan pendidikan kesehatan pada masyarakat untuk dapat menurunkan faktor
resiko
2. Melakukan teknik pencegahan termasuk skrining faktor resiko, memberikan nasihat
tentang menurunkan faktor resiko dan manajemen stress
3. Promosi kesehatan melalui pemberdayaan individu, keluarga dan masyarakat,
advokasi dan kemitraan penyakit hipertensi baik itu di puskesmas, posbindu ataupun
di pengajian bahkan di karang taruna

2.10 Hasil Penelitian melalui Telaah Jurnal


Artikel dengan judul Pengaruh Tambahan Asupan Kalium dari Diet terhadap Penurunan
Hipertensi Sistolik Tingkat Sedang Pada Lansia penelitian kuasi eksperimen dengan
rancangan rangkaian waktu telah dilakukan di Panti Werdha Islamic Village Tangerang,
Provinsi Banten untuk mengamati pengaruh tambahan asupan kalium dalam diet terhadap
penurunan tekanan darah sistolik. Buah-buahan yang lebih banyak ditambahkan ke dalam
diet harian untuk 12 orang lansia dan tekanan darah mereka dipantau selama 14 hari.
Hasilnya Uji t-independen dan t-dependen menunjukkan bahwa asupan tambahan kalium
yang berasal dari buah-buahan dalam diet telah berhasil menurunkan tekanan darah sistolik.
Sementara itu, tambahan buah-buahan juga telah meningkatkan asupan kalium dan
magnesium, tetapi peningkatan asupan kalsium dan magnesium serta lemak tidak
berhubungan secara statistic dengan penurunan tekanan darah sistolik.

Artikel dengan judul Kepatuhan Lansia Penderita Hipertensi dalam Pemenuhan Diet
Hipertensi Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pengejaran hipertensi
lansia di Pemenuhan diet hipertensi. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas wilayah kerja
Sidomulyo di Desa Barat Sidomulyo, Kota Pekanbaru. Responden di penelitian ini adalah 60
orang dengan metode purposive random sampling. Penelitian ini adalah desain deskriptif
dengan pendekatan Cross-Sectional. Data dikumpulkan dengan kuesioner. Suatu analisis data
dengan univariat dalam distribusi frekuensi untuk mengetahui pengejaran hipertensi lansia di
Pemenuhan diet hipertensi. Hasilnya adalah penelitian yang menemukan bahwa 26 orang
(43,3%) hipertensi lansia yang melakukan dalam diet hipertensi dan 34 orang (43,3%)
hipertensi lansia tidak melakukan dalam diet hipertensi. Rekomendasi untuk prtugas
kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang hipertensi khusus tentang diet hipertensi,
sehingga kejadian hipertensi dapat dikurangi secara signifikan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang mana dapat
dihadapi baik itu dibeberapa negara yang ada didunia maupun di Indonesia. Dengan
meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian hipertensi pada populasi ini
meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah sudah terbukti meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik hipertensi pada usia lanjut adalah
terdapatnya berbagai penyakit penyerta (komorbid) dan komplikasi organ target, seperti
kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal, gangguan pada sistem saraf pusat dan mata. Dengan
menurunkan tekanan darah sampai target 140/90 mmHg dapat menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada usia lanjut harus juga
memperhatikan kedua hal tersebut di atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia tidak
berbeda dengan penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola hidup dan
pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti hipertensi telah
beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa disesuaikan dengan penyakit
komorbid yang menyertai keadaan hipertensi tersebut.

3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dalam kasus ini adalah pentingnya melakukan pemeriksaan
dini pada seseorang terutama yang sudah mempunyai riwayat hipertensi untuk dapat
mengurangi komplikasi yang mungkin akan terjadi karena hipertensi. Untuk mengurangi
risiko hipertensi pada lansia, hendaknya mengurangi asupan garam, makanan berlemak,
jeroan, makanan yang diawetkan, minuman beralkohol dan berkafein, konsumsi rokok,
meningkatkan aktifitas olahraga, konsumsi sayur dan buah, serta memiliki pola hidup sehat
dengan sesekali menyempatkan diri untuk melakukan refreshing. Upaya sosialisasi kepada
masyarakat, terkait dengan faktor-faktor risiko hipertensi hendaknya dilakukan secara terus-
menerus baik oleh pemerintah maupun instansi terkait untuk menurunkan kejadian hipertensi
yang merupakan salah satu penyakit yang memiliki risiko kematian tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amran Yuli, Febrianty, Irawanty Lies (2010). Pengaruh tambahan asupan kalium
dari diet terhadap penurunan hipertensi sistolik tingkat sedang pada lansia. Program
Stusi Kesehatan Masyarakat FKIK Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Agrina, Rini Suwarti (2011). Kepatuhan Lansia Penderita Hipertensi dalam
Pemenuhan Diet Hipertensi. FKIK Universitas Riau.
3. Brookes, L. (2008). Blood Pressure, Diabetes, Gender, and Race : What, When, How
It Is, or Is Not, Treated. Hypertension Highlights Medscape Cardiology. Desember
20, 2012. http://www.medscape.com
4. Cheriyan, J., Eniery, C.,& Wilkinson, I. (2010). Hypertension. New York : Oxford
University Press
5. DEPKES RI. (2006). Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit
Hipertensi. Jakarta : Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular
6. Hartono, B. (2011). Hipertensi: The Silent Killer. Perhimpunan Hipertensi Indonesia
diunduh dari http://www.inash.or.id.
7. Harvard School Of Public Health. (2009). Smoking, High Blood Pressure And Being
Overweight Top 3 Preventable Causes Of Death In The US. NewsRx Health &
Science. http://search.proquest.com/docview/212086457?accountid=17242
8. Moser, D. K, & Riegel, B. (2008). Cardiac Nursing : A Companion to Braunwalds
Heart Disease. Missouri : Saunders Elsevier
9. Rahajeng, E & Tuminah, S. (2009, Desember 12). Prevalensi Hipertensi dan
Determinannya di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, 580-587
10. Smeltzer, S. C. (2004). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart.
ed. 8. Vol. 2. Jakarta : EGC
11. Sumiati. (2010). Penanganan Stress Pada Penyakit Jantung Koroner. Jakarta : Trans
Info Media
12. US Departement Of Health. (2004). The Seventh Report Of The Joint National
Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And Treatment Of High Blood
Pressure. US Departement Of Health And Human Services, National Institutes Of
Health, National Hearth, Lung And Blood Institute
13. Wiryana, M. (2008). Manajemen Perioperatif Pada Hipertensi. Jurnal Penyakit
Dalam FK UNUD, 144-153

Anda mungkin juga menyukai