Anda di halaman 1dari 41

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis buat
dengan tujuan memenuhi tugas Keperawatan Gerontik II.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :

1. Team dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik selaku dosen pembimbing


mata kuliah.
2. Teman – teman dan berbagai pihak yang telah membantu terselasaikannya
makalah ini.

Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca dapat
memahami dan mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat di
aplikasikan untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang keperawatan.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan, untuk itu penulis membuka diri menerima berbagai saran dan kritik
demi perbaikan di masa mendatang.

1
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian hipertensi pada lansia
2.2 Klasifikasi hipertensi pada lansia
2.3 Etiologi hipertensi pada lansia
2.4 Patofisiologi hipertensi pada lansia
2.5 Tanda dan gejala hipertensi pada lansia
2.6 Pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia
2.7 Komplikasi hipertensi pada lansia
2.8 Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
2.9 Asuhan keperawatan hipertensi pada lansia

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga
dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan
dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut
usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah
penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat
menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di seluruh
Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari
seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29
juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut
usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan
hidup penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada
tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun 1980 : 55.30 tahun, pada tahun
1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun, dan tahun 1995 : 60,05
tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)
Dengan makin meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia,
maka dapat diperkirakan bahwa insidensi penyakit degeneratif akan
meningkat pula. Salah satu penyakit degeneratif yang mempunyai tingkat
morbiditas dan mortalitas tinggi adalah hipertensi. Hipertensi pada usia
lanjut menjadi lebih penting lagi mengingat bahwa patogenesis, perjalanan
penyakit dan penatalaksanaannya tidak seluruhnya sama dengan hipertensi
pada usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan bertambah
tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah diastolik
akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus meningkat.
Penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami
peningkatan resiko penyebab kematian, dimana pada tahun 1990, kematian

3
penyakit tidak menular 48 % dari seluruh kematian di dunia, sedangkan
kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal dan
stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian di dunia dan meningkat pada
tahun 2000 kematian akibat penyakit tidak menular yaitu 64 % dari
seluruh kematian dimana 60% disebabkan karena penyakit jantung dan
pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan
kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian
di dunia dan sebanyak 66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh
darah, gagal ginjal dan stroke, dimana faktor resiko utama penyakit
tersebut adalah hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab
kematian dan kesakitan yang tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar The
Silent Killer karena hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi karena
disamping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di
masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasannya yang tinggi
berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak. Sehingga kehadiran
hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani
perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan
membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup. (Bahrianwar,
2009)
Di Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3% (pengkuran standart
WHO yaitu pada batas tekanan darah normal 160/90 mmHg). Pada tahun
2000 prevalensi penderita hipertensi di indonesia mencapai 21%
(pengukuran standart Depkes yaitu pada batas tekanan darah normal 139 /
89 mmHg). Selanjutnya akan diestimasi akan meningkat menjadi 37 %
pada tahun 2015 dan menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus.
Bentuk hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial.
Patogenesis pasti tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari
berbagai variabel, mungkin pula ada predisposisi genetik. Mekanisme lain

4
yang dikemukakan mencakup perubahan – perubahan berikut: (1). Eksresi
natrium dan air oleh ginjal, (2). Kepekaan baroreseptor, (3). Respon
vesikuler, dan (4). Sekresi renin. Sedangkan 5% penyakit hipertensi terjadi
sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkhim ginjal
atau aldosterronisme primer (Prince, 2005).
Beberapa organisasi dunia dan regional telah memproduksi,
bahkan memperbaharui pedoman penanggulangan hipertensi. Dari
berbagai strategi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan hipertensi
melibatkan banyak disiplin ilmu. Kunci pencegahan atau penanggulangan
perorangan adalah gaya hidup sehat. Masyarakat juga perlu tahu risiko
hipertensi agar dapat saling mendukung untuk mencegah atau
menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan
sampai mencegah terjadinya komplikasi. (Bahrianwar,2009).
Di Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI
memberi apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit
Hipertensi. Sejak tahun 2006 Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang bertugas untuk melaksanakan
pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertensi
dan penyakit degenaritaif linnya, serta gangguan akibat kecelakaan dan
cedera. (Depkes, 2007).
Untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan
beberapa langkah, yaitu mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan
Juknis pengendalian hipertensi; melaksanakan advokasi dan sosialisasi;
melaksanakan intensifikasi, akselerasi, dan inovasi program sesuai dengan
kemajuan teknologi dan kondisi daerah setempat (local area specific);
mengembangkan (investasi) sumber daya manusia dalam pengendalian
hipertensi; memperkuat jaringan kerja pengendalian hipertensi, antara lain
dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi;
memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan
surveilans epidemiologi dan sistem informasi pengendalian hipertensi;

5
melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan mengembangkan sistem
pembiayaan pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan
komplikasi, pengenalan berbagai penyakit yang juga diderita oleh orang
tersebut perlu mendapatkan perhatian oleh karena berhubungan erat
dengan penatalaksanaan secara keseluruhan. Dahulu hipertensi pada lanjut
usia dianggap tidak selalu perlu diobati, bahkan dianggap berbahaya untuk
diturunkan. Memang teori ini didukung oleh observasi yang menunjukkan
turunnya tekanan darah sering kali diikuti pada jangka pendeknya oleh
perburukan serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi akhir-akhir ini
dari penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat
antihipertensi pada lanjut usia menunjukan bahwa hipertensi pada lansia
merupakan risiko yang paling penting untuk terjadinya penyakit
kardiovaskuler, strok dan penyakit ginjal. Banyak data akhir-akhir ini
menunjukan bahwa pengobatan hipertensi pada lanjut usia dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu hipertensi pada lansia?
1.2.2 Apa saja klasifikasi hipertensi pada lansia?
1.2.3 Bagaimana etiologi hipertensi pada lansia?
1.2.4 Seperti apa patofisiologi hipertensi pada lansia?
1.2.5 Bagaimana Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia?
1.2.7 Apa saja komplikasi hipertensi pada lansia?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan hipertensi pada lansia?
1.2.9 Bagaimana Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

6
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit
hipertensi pada lansia.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian hipertensi pada lansia.
1.3.2.2 Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.3 Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.5 Untuk mengetahui Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia.
1.3.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipertensi pada
lansia.
1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada lansia.
1.3.2.9 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia.

1.4 Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik
bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Hipertensi
pada lansia.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipertensi Pada Lansia


Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO
( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)

2.2. Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia


2.2.1. Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak,
yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat
keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah
faktor pendukung. Walaupun faktor genetik sepertinya sangat
berhubungan dengan hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih
belum diketahui.

2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang
terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti
hipertensi renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing,
aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari
seluruh pasien hipertensi.

8
2.2.2. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National
Committee 7
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal 115 atau kurang 75 atau kurang
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut


dapat dibedakan:
 Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat
pada 6-12% penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita.
Insioden meningkat seiring bertambahnya umur.
 Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara
12-14% penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi
menurun seiring bertambahnya umur.
 Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di
atas 60th, lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan
bertambahnya umur.

2.3. Etiologi Hipertensi Pada Lansia


Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi
lain meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup
seperti obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak
dapat dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis
kelamin pria atau wanita pasca menopause.

9
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan
wanita.Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler
sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause
dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar
kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam
mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada
usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan
sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi
pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur
wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur
45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita
hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih
banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi
lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60%
penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan
perubahan hormon setelah menopause.

b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya,
jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang
tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia
lanjut harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia
tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang
diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus ,
hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi
pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan

10
terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter
(2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia
ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-
arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya
kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi
semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.

c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan
orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang
tuanya adalah penderita hipertensi.

b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:


1. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi
penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu
sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk
kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai
penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi.
Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan
darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat
badan lebih.

11
2. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk
hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa
apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena
adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko
tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus
memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.

3. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna
dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami
ateriosklerosis.

4. Mengkonsumsi garam berlebih


Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi
risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan
adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6
gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih
menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler
meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan

12
meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi.

5. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak
jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan
minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko
hipertensi.

6. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir
tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas
saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah
secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan
dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal
ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat
perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini
dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009)
mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf
simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan,
kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

2.4 Tanda Dan Gejala Hipertensi Pada Lansia


Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering
tidak memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar
(insidious) atau tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ),

13
manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah,
Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

2.5 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi Pada Lansia


a. Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.

b. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal


c. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
e. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
f. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya
pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
g. Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
h. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
i. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau
adanya diabetes.
j. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.

14
k. Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
l. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim
ginjal, batu ginjal / ureter.
m. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
n. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
o. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini
penyakit jantung hipertensi.

2.6 Komplikasi Hipertensi Pada Lansia


Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab
tersering kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal
ginjal sering ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.

a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler


Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan
tekanan sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan
penebalan dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel
memburuk, kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-
tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari
kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard karena penambahan massanya. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri yang
menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan
murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial,
keempat) sering terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi

15
jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin
saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda
hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi
dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh
infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga
bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh
aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan
hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.

b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan
pada retina dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya
jaringan dengan arteri dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka
dengan pemeriksaan optalmoskopik berulang memungkinkan
pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada pembuluh darah
retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien
hipertensi. Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada
pagi hari, yang merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi.
Dapat juga ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa ringan, vertigo,
tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang
lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati.
Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri terjadi
secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien
hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan
tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri
(aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial
diketahui berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat,
gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati
dengan papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi

16
kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler atau udem
serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada,
lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient
ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada
retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak
beraturan, eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina.
Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau
setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing
atau sklerosis pembuluh darah.

c. Efek pada Ginjal


Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler
glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada
hipertensi dan berakibat pada penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan
disfungsi tubuler. Proteinuria dan hematuria mikroskopik terjadi karena
lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian disebabkan oleh hipertensi
akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi terjadi tidak
hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.

2.7 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia


Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu
tidaknya pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang kontra
menyatakan bahwa penurunan tekanan darah pada hipertensi lansia justru
akan menyebabkan kemungkinan terjadinya trombosis koroner, hipotensi
postural dan penurunan kualitas hidup. Dengan penelitian-penelitian yang
diadakan dalam 10 tahun terakhir ini jelas dibuktikan bahwa menurunkan
tekanan darah pada hipertensi lansia jelas akan menurunkan komplikasi
akibat hipertensi secara bermakna.

17
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena
kebanyakan penderita hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan
mencapai target tekanan diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai,
sehingga fokus utamanya adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan
tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan
terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes
melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan
kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya
komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
mungkin seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi
dasar pengobatan hipertensi.

Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :


a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b. Interaksi obat
c. Efek samping obat.
d. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui
ginjal.

Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap


kondisi penderita adalah :
a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.

18
b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c. Organ yang rusak karena hipertensi.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan obat antihipertensi, yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi
5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6. Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat


antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di
bawah ini :
1. Ketidakpatuhan penderita
2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium,
kerusakan ginjal, dan kurangnya pemberian diuretik
3. Obesitas
4. Dosis yang tidak adekuat
5. Interaksi obat
6. Kontrasepsi oral
7. Penggunaan obat-obat steroid
8. Hipertensi sekunder

19
Klasifikasi dan Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *
BP Classification SBP DBP Lifestyle Initial Drug Therapy
(mmHg) (mmHg Modificati Without With Compelling
* )* on Compelling Indication
Indication
Normal < 120 and < 80 Encourage
Prehypertension 120-139 or 80-89 Yes No Drug(s) for
antihypertensive compelling
indicated indications. ‡
Stage I 140-159 or 90-99 Yes Thiazide-type Drug(s) for the
Hypertension diuretics for most. compelling
May consider indications. ‡
ACEI , ARB, Other
BB , CCB or antihypertensive
combination. drugs (diuretics,
Stage II ≥ 160 ≥ 100 Yes Two-drug ACEI, ARB, BB,
Hypertension combination for CCB) as needed.
most †
(usually
thiazide-type
diuretic and ACEI
or ARB or BB or
CCB)
SBP : Systolic Blood Pressure
DBP : Diastolic Blood Pressure.
Drug abbreviations : BP :
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB : Angiotensin Receptor Blocker
CCB : Calsium Channel Bloker.
BB : Beta-Bloker
* Treatment determined by highest BP category.

20

Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic
hypotension.

Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80
mmHg

2.7.1 Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini


Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang
terbaru yaitu :
a. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan
darah diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan
nonfarmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup.
b. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan
penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat
golongan diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
c. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya
harus dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun
tekanan darah diastoliknya tidak.
d. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi
antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik
tiazid.
e. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih
pengobatan untuk mencapai tekanan darah ± 20/10 mmHg di atas
tekanan darah yang diinginkan.
f. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan
diuretic masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien
dengan hipertensi yang sudah mengalami komplikasi penyakit
jantung.

Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau


penyakit penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah.
Penatalaksanaan untuk hipertensi dibagi menjadi :

21
1. Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
2. Farmakologis

A. Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :


Kriteria Indeks Massa Tubuh
Kriteria IMT (kg/m2)

Kurang <18,5

Normal 18,5-24,9

Berat badan lebih 25,0-29,9

Obesitas 30,0-34,9

Obesitas berat ≥ 35,0

 Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT ≥ 27


 Membatasi alkohol.
 Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.
 Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g
NaCl/hari)
 Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari), kalsium dan
magnesium yang adekuat.
 Berhenti merokok.
 Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.

Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi *†


Modification Recommendation Approximate SBP
Reduction (Range)
Weight reduction Maintain normal body weight (BMI 5-20 mmHg / 10 kg
18,5 – 24,9 kg/m2) weight loss

22
Adopt DASH Consume a diet rich in fruits, 8-14 mmHg
eating plan vegetables and low fat dairy
products with a reduced content of
saturated and total fat
Dietary sodium Reduced dietary sodium intake to no 2-8 mmHg
reduction more than 100 mmol per day (2,4 g
sodium or 6 g sodium chloride)
Physical activity Engage in regular aerobic physical 4-9 mmHg
activity such as brisk walking (at
least 30 min per day, most days of
the week)
Moderation of Limit consumption to no more than 2-4 mmHg
alcohol 2 drinks (1 oz or 30 ml ethanol; e.g.
consumption 24 oz beer, 10 oz wine, or 3 oz 80-
proof whiskey) per day in most men
and to no more thsn 1 drink per day
in women and lighter weight persons
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
† The effects of implementing these modifications are dose and time
dependent, and could be greater for some individuals.

B. Farmakologis :
Obat-obat Antihipertensi :
1. Diuretik
 Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air
sehingga volume plasma dan cairan ekstrasel.
 Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi
resistensi perifer.
 Terdapat beberapa golongan, yaitu :

23
a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh
:
- Hidroklorotiazid (HCT) – tab 25 dan 50 mg
- Klortalidonn – tab 50 mg
- Bendroflumentiazid – tab 5 mg
- Indapamid – tab 2,5 mg
- Xipamid – tab 20 mg
b. Diuretik kuat :
a. Furosemid – tab 40 mg
c. Diuretik hemat kalium :
a. Amilorid – tab 5 mg
b. Spironolakton – tab 25 dan 100 mg
 Efek samping : hipotensi dan hipokalemia.

2. Penghambat Adrenergik
 Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta
menurunkan sekresi renin
 Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif
 Terdiri dari golongan :
- penghambat adrenoreseptor α / α –bloker : terazosin,
doxazosin, prazosin
- penghambat adrenoreseptor β / β-bloker : propanolol,
asebutolol, atenolol, bisoprolol
- penghambat adrenoreseptor α dan β : labetalol
- adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin
3. Vasodilator
 Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot
polos yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh
darah
 Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid,
hidralazin, doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.

24
 Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan
efek samping hipotensi ortostatik.

4. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin


 Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi
sintesis prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis
 Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril,
diberikan 1 jam sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi
(bila CCT > 1.5 mg%).
 Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap,
proteinuria, gagal ginjal dan agranulositosis.

5. Antagonis Kalsium
 Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara
menyebabkan vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks
takikardi yang kurang nyata dan retensi cairan yang kurang
daripada vasodilator lainnya.
 Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin,
felodipin, amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6. Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)
 Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak
mempengaruhi produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat
kerja pada organ target.
 Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak
mempengaruhi metabolisme bradikinin.
 Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung
karena reseptor tidak dipengaruhi.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :


 Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO
SLOW)

25
 Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
 Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
 Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
 Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
 Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali
untuk maintenance (Gambar 2)

Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila


terdapat kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan
terdapat gangguan metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan
dosis yang lebih rendah. Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik
dosis rendah (HCT 12,5 – 25 mg atau setara) yang dikombinasi dengan
diuretik hemat kalium dapat diberi sebagai pengobatan awal. Obat anti
hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan
diuretik merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika
sering menimbulkan efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua
mineral tadi ikut terbuang bersama urine.
Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat β yang
kardioselektif dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat
β tidak begitu disukai oleh karena menimbulkan perburukan penyakit
vaskuler perifer dan bronkospastik. Penghambat α merupakan pilihan pada
pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi prostat, akan tetapi harus hati-hati
terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini dapat menyebabkan lansia
jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena
mempunyai efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit
jantung koroner. Pada pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan
pemakaian obat penghambat ACE.

26
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin
walaupun efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena
efek samping sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat
yang mempunyai pengaruh pada susunan saraf pusat, α dan ß bloker dapat
mengakibatkan depresi serta penurunan kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia
terdapat :
 Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi
ortostatik.
 Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi
dengan hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
 Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
 Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi
cairan.
 Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan
kelemahan otot.
 Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang
ada pada lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri
mempunyai efek samping yang dapat memperberat gejala penyakit
komorbid.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat


menyebabkan hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker
dan labetolol sebaiknya dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati,
tekanan darah diturunkan perlahan-lahan dengan cara memberi dosis awal
yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang lebih kecil dengan interval
yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang lebih muda, dan
pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada kondisi
penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil
adalah :

27
1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali
dan kalau perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya
hipertensi dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat
dinormalkan.
3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan
maupun masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi
hipertensi.
4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan
darah pasien hipertensi.
6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik
dan yang dapat dimakan sekali sehari.

Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai
sasaran, maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan
tidak meningkatkan dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk
memaksimalkan efek penurunan tekanan darah dengan efek samping
seminimal mungkin. Pada penelitian HOT, terapi kombinasi diperlukan
pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII, para ahli bahkan
menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada penderita yang
ada pada stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak disediakan
oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih
baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut oleh para ahli hipertensi di
Inggris yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension Square.

28
The Birmingham Hypertension Square

ACE Inhibitor atau Diuretik


Bloker Reseptor
Angiotensin II

Nasihat nonfarmakologik :
garam, berat badan, alkohol,
olahraga, rokok

Bloker Kanal Kalsium


golongan
dihidropiridine β-Bloker

Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan


dengan obat yang ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang
berdekatan memiliki efek antihipertensi tambahan, aksi yang saling
melengkapi dan biasanya ditoleransi dengan baik.

2.8 Asuhan Keperawatan Hipertensi Pada Lansia

No DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL


1 Gangguan rasa Tujuan: Intervensi :
nyaman nyeri Menghilangkan  Pertahankan  Meminimalka
b.d rasa nyeri tirah baring n stimulasi
peningkatan Kriteria hasil : selama fase dan
tekanan intra  Melaporkan akut. meningkatkan
kranial ketidakyam relaksasi.

29
anan hilang
atau  Berikan  Tindakan yang
terkontrol. tindakan menurunkan
 Mengikuti nonfarmakolog tekanan
regimen i untuk vaskuler
farmakologi menghilangkan serebral,efektif
yang sakit kepala, dalam
diresepkan. misalnya menghilangkan
kompres dingin sakit kepala dan
pada dahi, pijat komplikasinya.
punggung dan
leher.

 Hilangkan/  Aktifitas yang


minimalkan meningkatkan
aktifitas vasokontraksi
vasokontraksi menyebabkan
yang dapat sakit kepala
meningkatkan pada adanya
sakit kepala, peningkatan
misalnya batuk vaskuler
panjang, serebral.
mengejan saat
BAB.

 Bantu pasien  Meminimalka

dalam ambulasi n penggunaan

sesuai oksigen dan

kebutuhan. aktivitas yang


berlebihan

30
yang
memperberat
kondisi klien.

 Kolaborasi  Analgetik
dengan dokter menurunkan
dalam nyeri dan
pemberian obat menurunkan
analgetik, anti rangsangan
ansietas, saraf simpatis.
diazepam dll.

2 pemenuhan Tujuan: kebutuhan Intervensi:


kebutuhan nutrisi terpenuhi  Bicarakan  Kesalahan
nutrisi kurang pentingnya kebiasaan
dari kebutuhan Kriteria hasil: menurunkan makan
tubuh b.d  Klien masukan menunjang
intake nutrisi menunjukk lemak, garam terjadinya
inadekuat an dan gula sesuai atero
peningkatan indikasi. sklerosis,
berat badan kelebihan
 Menunjukk masukan
an perilaku garam
meningkatk memperbanya
an atau k volume
mempertah cairan intra
ankan berat vaskuler dan
badan ideal dapat merusak
ginjal yang
lebih
memperburuk

31
hipertensi.
 Kaji ulang
masukan kalori  Mengidentifik
harian dan asi
pilihan diet. kekuatan/kele
mahan dalam
program diit
terakhir.
 Dorong klien
untuk  Memberikan
mempertahank data dasar
an masukan tentang
makanan keadekuatan
harian nutrisi yang
termasuk kapan dimakan dan
dan kondisi emosi
dimanamakan saat makan,
dilakukan, membantu
lingkungan dan untuk
perasaan memfokuskan
sekitar saat perhatian
makanan pada factor
dimakan. mana pasien
telah/dapat
mengontrol
perubahan.
 Intruksikan dan
bantu memilih
 Menghindari
makanan yang
makanan
tepat, hindari
tinggi lemak
makanan
jenuh dan

32
dengan kolesterol
kejenuhan penting dalam
lemak tinggi mencegah
(mentega, keju, perkembanga
telur, es krim, n atero
daging dll) dan genesis.
kolesterol
(daging
berlemak,
kuning telur,
produk
kalengan,
jeroan).

 Kolaborasi
 Memberikan
dengan ahli
konseling dan
gizi sesuai
bantuan
indikasi.
dengan
memenuhi
kebutuhan
diet individual

3 Intoleransi Tujuan : tidak Intervensi :


aktifitas b.d terjadi Intoleransi  Kaji toleransi  Parameter
kelemahan aktifitas. pasien terhadap menunjukan
umum. aktivitas respon
Kriteria Hasil : dengan fisiologis
 Klien dapat menggunkan pasien
berpartisipa parameter : terhadap
si dalam frekwensi nadi stress,
aktivitas 20x/menit aktivitas dan

33
yang di diatas indikator
inginkan frekwensi derajat
atau istirahat, catat pengaruh
diperlukan peningkatan kelebihan
 Melaporkan TD, dipsnea, kerja jantung.
peningkatan atau nyeri
dalam dada, kelelahan
toleransi berat dan
aktivitas kelemahan,
yang dapat berkeringat,
diukur. pusing atau
pingsan.

 Stabilitas
 Kaji kesiapan
fisiologis
untuk
pada istirahat
meningkatkan
penting untuk
aktivitas
memajukan
contoh :
tingkat
penurunan
aktivitas
kelemahan/kele
individual.
lahan, TD
stabil,
frekwensi nadi,
peningkatan
perhatian pada
aktivitas dan
perawatan diri.
 Konsumsi
 Dorong oksigen
memajukan miokardia
aktivitas/tolera selama

34
nsi perawatan berbagai
diri. aktivitas dapat
meningkatkan
jumlah
oksigen yang
ada.
Kemajuan
aktivitas
bertahap
mencegah
peningkatan
tiba-tiba pada
kerja jantung.

 Berikan  Teknik
bantuan sesuai penghematan
kebutuhan dan energi
anjurkan menurunkan
penggunaan penggunaan
kursi mandi, energi dan
menyikat sehingga
gigi/rambut membantu
dengan duduk keseimbangan
dan suplai dan
sebagainya. kebutuhan
oksigen.

 Dorong pasien  Jadwal


untuk meningkatkan
berpartisipasi toleransi
dalam memilih terhadap

35
periode kemajuan
aktivitas. aktivitas dan
mencegah
kelemahan.

4 Resiko tinggi Tujuan : Tidak Intervensi:


penurunan terjadi penurunan  Observasi  Perbandingan
curah jantung curah jantung tekanan darah. dari tekanan
berhubungan darah
dengan Kriteria Hasil : memberikan
vasokontriksi  Klien gambaran
pembuluh berpartisipa yang lebih
darah. si dalam lengkap
aktivitas tentang
yang keterlibatan
menurunka vaskuler.
n tekanan
 Catat
darah/beban  Denyutan
keberadaan,
kerja karotis,
kualitas
jantung jugularis,
denyutan
 Mempertah radialis dan
sentral dan
ankan TD femoralis
perifer
dalam mungkin
rentang teramati saat
individu palpasi.
yang dapat Denyut pada
diterima, tungkai
 Memperliha mungkin
tkan normal menurun,
dan mencerminka

36
frekwensi n efek dari
jantung vasokontriksi
stabil dalam dan kongesti
rentang vena.
 Auskultasi
normal
tonus jantung  ICS4 umum
pasien.
dan bunyi terdengar
napas. pada pasien
hipertensi
berat karena
adanya
hipertropi
atrium,
perkembanga
n ICS3
menunjukan
hipertropi
ventrikel dan
kerusakan
fungsi, adanya
krakels,

 Amati warna mengidapat

kulit, mengindikasi

kelembaban, kan kongesti

suhu, dan masa paru sekunder

pengisian terhadap

kapiler. terjadinya
atau gagal
jantung
kronik.

37
 Berikan  Adanya pucat,
lingkungan dingin, kulit
yang nyaman, lembab dan
tenang, kurangi masa
aktivitas atau pengisian
keributan kapiler lambat
ligkungan, mencerminka
batasi jumlah n
pengunjung dekompensasi
dan lamanya /penurunan
tinggal. curah jantung.

 Anjurkan  Membantu
teknik untuk
relaksasi, menurunkan
panduan rangsangan
imajinasi dan simpatis,
distraksi. meningkatkan
relaksasi.

 Kolaborasi
dengan dokter
dalam  Dapat

pembrian terapi menurunkan

anti hipertensi rangsangan

dan diuretik. yang


menimbulkan
stress,

38
membuat efek
tenang,sehing
ga akan
menurunkan
tekanan darah.

 Menurunkan
tekanan darah.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian
hipertensi pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah
sudah terbukti meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut.
Salah satu karakteristik hipertensi pada usia lanjut adalah terdapatnya
berbagai penyakit penyerta (komorbid) dan komplikasi organ target,
seperti kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal, gangguan pada sistem

39
saraf pusat dan mata. Dengan menurunkan tekanan darah sampai target
140/90 mmHg dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada usia
lanjut harus juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas.
Penatalaksanaan hipertensi pada lansia tidak berbeda dengan
penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola hidup dan
pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti
hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa
disesuaikan dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific Meeting


and Exposotion of American Society of Hypertension. New York,
USA.
2. Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut,
Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI.
3. Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia
lanjut) edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

40
4. Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
5. Stanley, Mickey. 2007.  Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta : EGC.
6. Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2.
Jakarta : EGC.
7. Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan
Pustaka.
8. Nugroho, Wahjudi. 2000 . Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.
9. http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB8QFjAA&
url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream
%2F123456789%2F19074%2F5%2FChapter
%2520I.pdf&ei=FxSCUPTKEuciAeXsIDwAQ&usg=AFQjCNEirKw
yg_Z55lpLGGwhFxTq-efDKA

41

Anda mungkin juga menyukai