Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI PADA LANSIA

Disusun oleh:

SUKASMI 1708556
SUNARNO 1708557
WAHYU CATUR R 1708579
WOWO PRACOYO 1708587
ZAENAL ARIFIN 1708596

PROGRAM PENDIDIKAN PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG
2018

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota
masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia
harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa
atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk
lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat
di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari
seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau
11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara
konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia
berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun
1980 : 55.30 tahun, pada tahun 1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun,
dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)
Dengan makin meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia, maka dapat
diperkirakan bahwa insidensi penyakit degeneratif akan meningkat pula. Salah satu
penyakit degeneratif yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi adalah
hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih penting lagi mengingat bahwa
patogenesis, perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya tidak seluruhnya sama
dengan hipertensi pada usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan
bertambah tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah diastolik
akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus meningkat.
Penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami peningkatan
resiko penyebab kematian, dimana pada tahun 1990, kematian penyakit tidak menular
48 % dari seluruh kematian di dunia, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian di dunia
dan meningkat pada tahun 2000 kematian akibat penyakit tidak menular yaitu 64 %
dari seluruh kematian dimana 60% disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh
darah, stroke dan gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan kematian akibat
penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian di dunia dan sebanyak
66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke,
dimana faktor resiko utama penyakit tersebut adalah hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab kematian dan
kesakitan yang tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar The Silent Killer karena
hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi karena disamping karena prevalensinya
yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat
keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak.
Sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani
perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan
waktu yang panjang, bahkan seumur hidup. (Bahrianwar, 2009)
Di Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995,
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3% (pengkuran standart WHO yaitu pada
batas tekanan darah normal 160/90 mmHg). Pada tahun 2000 prevalensi penderita
hipertensi di indonesia mencapai 21% (pengukuran standart Depkes yaitu pada batas
tekanan darah normal 139 / 89 mmHg). Selanjutnya akan diestimasi akan meningkat
menjadi 37 % pada tahun 2015 dan menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus. Bentuk
hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti
tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel, mungkin pula
ada predisposisi genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan –
perubahan berikut: (1). Eksresi natrium dan air oleh ginjal, (2). Kepekaan
baroreseptor, (3). Respon vesikuler, dan (4). Sekresi renin. Sedangkan 5% penyakit
hipertensi terjadi sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkhim
ginjal atau aldosterronisme primer (Prince, 2005).
Beberapa organisasi dunia dan regional telah memproduksi, bahkan
memperbaharui pedoman penanggulangan hipertensi. Dari berbagai strategi dapat
disimpulkan bahwa penanggulangan hipertensi melibatkan banyak disiplin ilmu.
Kunci pencegahan atau penanggulangan perorangan adalah gaya hidup sehat.
Masyarakat juga perlu tahu risiko hipertensi agar dapat saling mendukung untuk
mencegah atau menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan
sampai mencegah terjadinya komplikasi. (Bahrianwar,2009).
Di Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI memberi
apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit Hipertensi. Sejak tahun
2006 Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular yang bertugas untuk melaksanakan pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah termasuk hipertensi dan penyakit degenaritaif linnya, serta gangguan
akibat kecelakaan dan cedera. (Depkes, 2007).
Untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan beberapa
langkah, yaitu mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan Juknis pengendalian
hipertensi; melaksanakan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan intensifikasi,
akselerasi, dan inovasi program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah
setempat (local area specific); mengembangkan (investasi) sumber daya manusia
dalam pengendalian hipertensi; memperkuat jaringan kerja pengendalian hipertensi,
antara lain dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi;
memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan surveilans epidemiologi dan
sistem informasi pengendalian hipertensi; melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan
mengembangkan sistem pembiayaan pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan komplikasi, pengenalan
berbagai penyakit yang juga diderita oleh orang tersebut perlu mendapatkan perhatian
oleh karena berhubungan erat dengan penatalaksanaan secara keseluruhan. Dahulu
hipertensi pada lanjut usia dianggap tidak selalu perlu diobati, bahkan dianggap
berbahaya untuk diturunkan. Memang teori ini didukung oleh observasi yang
menunjukkan turunnya tekanan darah sering kali diikuti pada jangka pendeknya oleh
perburukan serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi akhir-akhir ini dari
penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat antihipertensi pada lanjut
usia menunjukan bahwa hipertensi pada lansia merupakan risiko yang paling penting
untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler, strok dan penyakit ginjal. Banyak data
akhir-akhir ini menunjukan bahwa pengobatan hipertensi pada lanjut usia dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas.
B. Tujuan Umum Dan Khusus

Tujuan Umum
Agar kelompok dapat memahami lebih jauh tentang penyakit hipertensi pada lansia.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian hipertensi pada lansia.
2. Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
3. Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
4. Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia.
5. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia.
7. Untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada lansia.
9. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA HIPERTENSI

A. PENGERTIAN
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg. (Smeltzer,2001) Menurut WHO tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95
mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

B. ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan
perubahan pada :
1. Elastisitas dinding aorta menurun
2. Katup jantung menebal dan menjadi kaku
3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20
tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya.
4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya
hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
2. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
a. Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
b. Jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
c. Kebiasaan hidup
d. Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
e. Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
f. Kegemukan atau makan berlebihan
g. Stress
h. Merokok
i. Minum alcohol
j. Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )

Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :


1. Ginjal ; Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut dan Tumor.
2. Vascular ; Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli kolestrol,
dan Vaskulitis.
3. Kelainan endokrin ; DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidismed
4. Saraf ; Stroke, Ensepaliti.
5. Obat – obatan ; Kontrasepsi oral, Kortikosteroid

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis
ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap
rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan
vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan
darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup)
mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer,
2001). Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu”
disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff
sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
1. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan
darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti
hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri
kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang
mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni (2001), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita
hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah,
Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hemoglobin / hematocrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan
dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
2. BUN: memberikan informasi tentang perfusi ginjal
3. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan
oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi)
4. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
5. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan
plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
6. Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
7. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
8. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
Steroid urin
9. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
10. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopat
11. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
F. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan
tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai
tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi
a. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr, Diet rendah
kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
b. Penurunan berat badan
c. Menghentikan merokok
d. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,
berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-
87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan
berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan
sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perming
2. Edukasi Psikologis
a. Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi
ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar
membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
b. Pendidikan Kesehatan (Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien
tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat
mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
3. Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga
mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat
bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup
penderita.

Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT
NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF
HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika,
penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat
tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada
pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
1. Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
2. Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan, Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika, beta blocker, Ca
antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
3. Step 3
Alternatif yang bisa ditempuh
Obat ke-2 diganti Ditambah obat ke-3 jenis lain
4. Step 4
Alternatif pemberian obatnya, Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi, Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan
komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter )
dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas
1) Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
2) Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea.
b. Sirkulasi
1) Gejala : Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner/katup dan penyakit cebrovaskuler, episode palpitasi.
2) Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,
radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,
kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian
kapiler mungkin lambat/ tertunda.
c. Integritas Ego
1) Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress
multiple (hubungan,keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
2) Tanda : Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,
tangisan meledak,otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan
pola bicara.
d. Eliminasi
1) Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau
riwayatpenyakit ginjal padamasa yang lalu).
e. Makanan/cairan
2) Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam,
lemak sertakolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini
(meningkat/turun), Riwayatpenggunaan diuretic
3) Tanda: Berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.
f. Neurosensori
1) Gejala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyut, sakit kepala,
suboksipital (terjadi saatbangun dan menghilangkan secara
spontansetelah beberapa jam), Gangguan penglihatan (diplobia,
penglihatan kabur,epistakis).
2) Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi
bicara,efek, proses piker,penurunan keuatan genggaman tangan.
g. Nyeri/ ketidaknyaman
1) Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),
sakitkepala.
h. Pernafasan
1) Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja
takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum,
riwayat merokok.
2) Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan
bunyinafas tambahan(krakties/mengi), sianosis.
i. Keamanan
1) Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular
b. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral
c. Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan
dengan adanya tahanan pembuluh darah
d. Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
e. Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
f. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
g. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya
hipertensi yang diderita klien

3. Rencana Tindakan
Diagnosa Keperawatan:
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam.
Kriteria hasil :
1. Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
2. Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
3. Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil
Intervensi :
1. Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
2. Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
3. Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
4. Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
5. Catat edema umum
6. Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah
pengunjung.
7. Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
8. Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
9. Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan
kepala tempat tidur.
10. Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
11. Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
12. Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
Kolaborasi
1. Untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi

Diagnosa Keperawatan
Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
Tujuan :
Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
1. Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
2. Pasien tampak nyaman
3. TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
2. Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
3. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
4. Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
5. Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti kompres
dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik relaksasi,
bimbingan imajinasi dan distraksi
6. Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala
misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
Kolaborasi
1. Pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan,
diazepam, valium )
Diagnosa Keperawatan
Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan
adanya tahanan pembuluh darah
Tujuan :
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria Hasil :
1. Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan
dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala,
pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal, haluaran urin 30 ml/ menit
2. Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
1. Pertahankan tirah baring
2. Tinggikan kepala tempat tidur
3. Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan
pemantau tekanan arteri jika tersedia
4. Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
5. Amati adanya hipotensi mendadak
6. Ukur masukan dan pengeluaran
7. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program
8. Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai program

Diagnosa Keperawatan
Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
Tujuan :
Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2
x 24 jam
Kriteria hasil :
Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari
Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
1. Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat
ditoleransi.
2. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
3. Instruksikan pasien tentang penghematan energy
4. Kaji respon pasien terhadap aktifitas
5. Monitor adanya diaforesis, pusing
6. Observasi TTV tiap 4 jam
7. Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu
8. istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau
sore

Diagnosa Keperawatan
Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2
x 24 jam
Kriteria hasil :
1. Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 – 8 jam per hari
2. Tampak dapat istirahat dengan cukup
3. TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman
2. Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur
3. Evaluasi tingkat stress
4. Monitor keluhan nyeri kepala
5. Lengkapi jadwal tidur secara teratur
6. Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat
7. Lakukan masase punggung
8. Putarkan musik yang lembut

Diagnosa Keperawatan
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
Tujuan:
Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x
24 jam
Kriteria hasil :
1. Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
2. Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Intervensi :
1. Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
2. Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
3. Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
4. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien /
atas keberhasilannya

Diagnosa Keperawatan
Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi
yang diderita klien
Tujuan:
Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1 x 24 Jam
Kriteria hasil :
1. Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
2. Ekspresi wajah rilek
3. TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya
kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi
dalam rencana pengobatan
2. Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi,
peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi
untuk mengatasinya
4. Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi
maksimum dalam rencana pengobatan
5. Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup
6. Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
7. Observasi TTV tiap 4 jam
8. Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya
9. Berikan support mental pada klien
10. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian hipertensi
pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah sudah terbukti
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik
hipertensi pada usia lanjut adalah terdapatnya berbagai penyakit penyerta (komorbid)
dan komplikasi organ target, seperti kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal,
gangguan pada sistem saraf pusat dan mata. Dengan menurunkan tekanan darah
sampai target 140/90 mmHg dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada usia lanjut harus
juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
tidak berbeda dengan penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola
hidup dan pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti
hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa disesuaikan
dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi tersebut

B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat dikemukakan saran sebagai berikut
1. Diharapkan setiap lansia rutin memeriksakan tekanan darahnya agar dapat
mengantisipasi bila terjadi hipertensi.
2. Cara ysng psling bsik menghindari hipertensi adalah dengan mengubah ke
arah gaya hidup yang sehat, pengaturan pola makan yang baik dan akifitas
fisik yang cukup seperti aktif berolah raga. Mengatur diet atau pola makan
seperti rendah garam, rendah kolesterol dan lemak jenuh, meningktakan
konsumsi buah dan sayuran, tidak mengkonsumsi alkohol dan rokok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific Meeting and
Exposotion of American Society of Hypertension. New York, USA.

19
2. Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut, Buku Ajar
Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
3. Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia lanjut)
edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
5. Stanley, Mickey. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta :
EGC.
6. Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2. Jakarta :
EGC.
7. Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.
8. Nugroho, Wahjudi. 2000 . Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.

20
21

Anda mungkin juga menyukai