Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

M.K : KEPERAWATAN GERONTIK


DOSEN PENGAMPU : SRI HANDAYANI S.Kep.Ns.,M.Kes

KELOMPOK 4 :

1. EKA FITRI YANTI (15071)


2. ENGGAR CAHYO (15072)
3. FEBY PRIHATININGSIH (15073)
4. FAJAR AYU A (15074)
5. FERNANDA FEBRI K (15075)

AKPER GIRI HUSADA WONOGIRI


2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini penulis buat dengan tujuan memenuhi tugas Keperawatan Gerontik II.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :
1. Dosen pembimbing mata kuliah.
2. Teman – teman dan berbagai pihak yang telah membantu
terselasaikannya makalah ini.
Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca
dapat memahami dan mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga
dapat di aplikasikan untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang
keperawatan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri menerima
berbagai saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian hipertensi
B. Etiologi hipertensi
C. Manifestasi Klinis
D. Patofisiologi hipertensi
E. Pemeriksaan penunjang
F. Penatalaksanaan
G. Asuhan keperawatan Lansia dengan hipertensi

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota
keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah
jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada
tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau
5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah
penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9
persen. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta
jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan
diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4
persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat
secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup
penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun
1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun 1980 : 55.30 tahun, pada tahun
1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun, dan tahun 1995 :
60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)
Dengan makin meningkatnya harapan hidup penduduk
Indonesia, maka dapat diperkirakan bahwa insidensi penyakit
degeneratif akan meningkat pula. Salah satu penyakit degeneratif
yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi adalah
hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih penting lagi
mengingat bahwa patogenesis, perjalanan penyakit dan
penatalaksanaannya tidak seluruhnya sama dengan hipertensi pada
usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan bertambah
tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah
diastolik akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus
meningkat.
Penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami
peningkatan resiko penyebab kematian, dimana pada tahun 1990,
kematian penyakit tidak menular 48 % dari seluruh kematian di
dunia, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh
darah, gagal ginjal dan stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian
di dunia dan meningkat pada tahun 2000 kematian akibat penyakit
tidak menular yaitu 64 % dari seluruh kematian dimana 60%
disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan
gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan kematian akibat
penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian di dunia
dan sebanyak 66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh
darah, gagal ginjal dan stroke, dimana faktor resiko utama penyakit
tersebut adalah hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab
kematian dan kesakitan yang tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar
The Silent Killer karena hipertensi merupakan pembunuh

4
tersembunyi karena disamping karena prevalensinya yang tinggi dan
cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat
keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian
mendadak. Sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa
muda akan sangat membebani perekonomian keluarga, karena biaya
pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang,
bahkan seumur hidup. (Bahrianwar, 2009)
Di Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3%
(pengkuran standart WHO yaitu pada batas tekanan darah normal
160/90 mmHg). Pada tahun 2000 prevalensi penderita hipertensi di
indonesia mencapai 21% (pengukuran standart Depkes yaitu pada
batas tekanan darah normal 139 / 89 mmHg). Selanjutnya akan
diestimasi akan meningkat menjadi 37 % pada tahun 2015 dan
menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus.
Bentuk hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial.
Patogenesis pasti tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari
berbagai variabel, mungkin pula ada predisposisi genetik.
Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan –
perubahan berikut: (1). Eksresi natrium dan air oleh ginjal, (2).
Kepekaan baroreseptor, (3). Respon vesikuler, dan (4). Sekresi renin.
Sedangkan 5% penyakit hipertensi terjadi sekunder akibat proses
penyakit lain seperti penyakit parenkhim ginjal atau aldosterronisme
primer (Prince, 2005).
Beberapa organisasi dunia dan regional telah memproduksi,
bahkan memperbaharui pedoman penanggulangan hipertensi. Dari
berbagai strategi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan
hipertensi melibatkan banyak disiplin ilmu. Kunci pencegahan atau
penanggulangan perorangan adalah gaya hidup sehat. Masyarakat
juga perlu tahu risiko hipertensi agar dapat saling mendukung untuk
mencegah atau menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan
yang signifikan sampai mencegah terjadinya komplikasi.
(Bahrianwar,2009).
Di Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI
memberi apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit
Hipertensi. Sejak tahun 2006 Departemen Kesehatan RI melalui
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang bertugas
untuk melaksanakan pengendalian penyakit jantung dan pembuluh
darah termasuk hipertensi dan penyakit degenaritaif linnya, serta
gangguan akibat kecelakaan dan cedera. (Depkes, 2007).
Untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan
beberapa langkah, yaitu mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan
Juknis pengendalian hipertensi; melaksanakan advokasi dan
sosialisasi; melaksanakan intensifikasi, akselerasi, dan inovasi
program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah

5
setempat (local area specific); mengembangkan (investasi) sumber
daya manusia dalam pengendalian hipertensi; memperkuat jaringan
kerja pengendalian hipertensi, antara lain dengan dibentuknya
Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi; memperkuat logistik dan
distribusi untuk deteksi dini faktor risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan surveilans
epidemiologi dan sistem informasi pengendalian hipertensi;
melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan mengembangkan sistem
pembiayaan pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan
komplikasi, pengenalan berbagai penyakit yang juga diderita oleh
orang tersebut perlu mendapatkan perhatian oleh karena
berhubungan erat dengan penatalaksanaan secara keseluruhan.
Dahulu hipertensi pada lanjut usia dianggap tidak selalu perlu
diobati, bahkan dianggap berbahaya untuk diturunkan. Memang teori
ini didukung oleh observasi yang menunjukkan turunnya tekanan
darah sering kali diikuti pada jangka pendeknya oleh perburukan
serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi akhir-akhir ini dari
penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat
antihipertensi pada lanjut usia menunjukan bahwa hipertensi pada
lansia merupakan risiko yang paling penting untuk terjadinya
penyakit kardiovaskuler, strok dan penyakit ginjal. Banyak data
akhir-akhir ini menunjukan bahwa pengobatan hipertensi pada lanjut
usia dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hipertensi pada lansia?
2. Apa saja klasifikasi hipertensi pada lansia?
3. Bagaimana etiologi hipertensi pada lansia?
4. Bagaimana manifestasi klinis hipertensi pada lansia?
5. Seperti apa patofisiologi hipertensi pada lansia?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia?
7. Bagaimana penatalaksanaan hipertensi pada lansia?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit
hipertensi pada lansia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian hipertensi pada lansia.
b. Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
c. Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis hipertensi pada
lansia.

6
e. Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada
lansia.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang
hipertensi pada lansia.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada
lansia.
h. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi
pada lansia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Disebut silent killer karena 1 ½ penderita dengan tekanan
darah tinggi tidak menyadari kondisi kesehatannya.

7
Hipertensi pada lansia didefinisikan dengan tekanan sistolik
diatas 160 mmHg atau tekanan diastolik diatas 90 mmHg (Fatimah,
2010).
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik
di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
(Smeltzer,2001)
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah
diastolik dan sistolik yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
(Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan
atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg
(Brunner & Suddarth, 1996)
Tingkat hipertensi dan anjuran kontrol (Joint National
Commitle, U.S 1992)
Tekanan Tekanan
sistolik diastolik Jadwal
Tigkat
kontrol
(mmHg) (mmHg)
90-99
Tingkat I 140-159
100-109 1 bulan sekali
Tingkat II 160-179
110-119 1 minggu
Tingkat III 180-209
sekali
120 atau
Tingkat IV 210 atau lebih
lebuh Dirawat RS

B. Etiologi Hipertensi Pada Lansia


Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko
hipertensi lain meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin
faktor gaya hidup seperti obesitas asupan garam yang tinggi alkohol
yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau
tidak dapat dikontrol, antara lain:

1. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:


Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga
(genetik kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65
tahun), jenis kelamin pria atau wanita pasca menopause.
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan
wanita.Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler

8
sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan
dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya
imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen
yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.
Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut
berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami,
yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah
penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar
56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi
pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang
wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi
adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
hormon setelah menopause.

b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan
darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai
tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda.
Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal
ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai
menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-
benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak
terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada usia pria :
> 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter (2009)
mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini
adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari
arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari
berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini
dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya
penyesuaian diri.

c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu
akanmenyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita
hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita

9
hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga
dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi.

2. Faktor resiko yang dapat dikontrol:


a. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori
mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya
aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat
memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan
pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan
darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.

b. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit
tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga
menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan
yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya
aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang
tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat
dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa
semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.

c. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok
berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden
hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal
yang mengalami ateriosklerosis.

d. Mengkonsumsi garam berlebih


Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization
(WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat
mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang
direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar
2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi

10
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya
cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan
ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan
ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume
darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.

e. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak
jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah.
Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu
faktor resiko hipertensi.

f. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir
kopi mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu
cangkir tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10
mmHg.
g. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan
tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap
tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang
tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres
akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan
curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf
simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan
pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
1. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri
oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial
tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.

2. Gejala yang lazim


Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai
hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam
kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai
kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

11
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit
kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual
Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

D. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak.
Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut
ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan
dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor
pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini
cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan
structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta
dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi
volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup)

12
mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Smeltzer, 2001).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya
“hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga
tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).

E. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi Pada Lansia


1. Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko
seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
2. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
3. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi)
dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan
hipertensi).
4. Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
5. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan
hipertensi.
6. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk /
adanya pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
7. Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan
hipertensi.
8. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
9. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan
atau adanya diabetes.
10. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
11. Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
12. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit
parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
13. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran
jantung.
14. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.

13
15. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan,
gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu
tanda dini penyakit jantung hipertensi.

F. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia


Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan
tentang perlu tidaknya pengobatan hipertensi pada usia lanjut.
Golongan yang kontra menyatakan bahwa penurunan tekanan darah
pada hipertensi lansia justru akan menyebabkan kemungkinan
terjadinya trombosis koroner, hipotensi postural dan penurunan
kualitas hidup. Dengan penelitian-penelitian yang diadakan dalam 10
tahun terakhir ini jelas dibuktikan bahwa menurunkan tekanan darah
pada hipertensi lansia jelas akan menurunkan komplikasi akibat
hipertensi secara bermakna.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan sistem
kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita hipertensi,
khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan
diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus
utamanya adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan tekanan
sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan
terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan
diabetes melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip,
yaitu :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan
kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi
timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan
obat antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
mungkin seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt)
menjadi dasar pengobatan hipertensi.

Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan


adanya :
1. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
2. Interaksi obat
3. Efek samping obat.
4. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya
melalui ginjal.

14
Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh
terhadap kondisi penderita adalah :
1. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko
kardiovaskuler.
2. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
3. Organ yang rusak karena hipertensi.
Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan obat antihipertensi, yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi
5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6. Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-


obat antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan
oleh hal-hal di bawah ini :
1. Ketidakpatuhan penderita
2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium,
kerusakan ginjal, dan kurangnya pemberian diuretik
3. Obesitas
4. Dosis yang tidak adekuat
5. Interaksi obat
6. Kontrasepsi oral
7. Penggunaan obat-obat steroid
8. Hipertensi sekunder

Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli


Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION,
EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD
PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika,
penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat
digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan
keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1: Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca
antagonis, ACE inhibitor
Step 2: Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan Diganti jenis lain dari obat pilihan
pertama
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker,
Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator.
Step 3: Alternatif yang bisa ditempuh Obat ke-2 diganti
Ditambah obat ke-3 jenis lain

15
Step 4 : Alternatif pemberian obatnya Ditambah obat ke-3 dan
ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi
dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan
( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.

G. Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Penyakit Hipertensi


1. Konsep Keperawatan
a. PENGKAJIAN
Pengkajian secara Umum:
1) Identitas Pasien
Hal -hal yang perlu dikaji pada bagian ini yaitu antara
lain: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan,
Pekerjaan, Agama, Status Mental, Suku,
Keluarga/orang terdekat, alamat, nomor registrasi.
2) Riwayat atau adanya factor resiko
a) Riwayat garis keluarga tentang hipertensi
b) Penggunaan obat yang memicu
hipertensi
3) Aktivitas / istirahat
a) Kelemahan,letih,napas pendek,gaya hidup
monoton.
b) Frekuensi jantung meningkat
c) Perubahan irama jantung
d) Takipnea
4) Integritas ego
a) Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi,
euphoria atau marah kronik.
b) Faktor faktor stress multiple (hubungan,
keuangan yang berkaitan dengan pekerjaan).
5) Makanan dan cairan
Makanan yang disukai, dapat mencakup makanan
tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol (seperti
makanan yang digoreng,keju,telur)gula-gula yang
berwarna hitam, kandungan tinggi kalori.
a) Mual, muntah.
b) Perubahan berat badan akhir-akhir ini (meningkat
atau menurun).
c) Nyeri atau ketidak nyamanan :
d) Angina (penyakit arteri koroner /keterlibatan
jantung
e) Nyeri hilang timbul pada tungkai.
f) Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah
terjadi sebelumnya.
g) Nyeri abdomen.

16
Pengkajian Persistem :
1) Sirkulasi
a) Riwayat hipertensi, ateroskleorosis, penyakit
jantung koroner atau katup dan penyakit cerebro
vaskuler.
b) Episode palpitasi,perspirasi.
2) Eleminasi : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
seperti infeksi atau obtruksi atau riwayat penyakit
ginjal masa lalu.
3) Neurosensori :
a) Keluhan pusing.
b) Berdenyut, sakit kepala subokspital (terjadi saat
bangun dan menghilang secara spontan setelah
beberapa jam).
4) Pernapasan
a) Dispnea yang berkaitan dengan aktifitas/kerja
b) Takipnea, ortopnea, dispnea noroktunal
paroksimal.
c) Batuk dengan/tanpa pembentukan sputum.
d) Riwayat merokok

b. Diagnosa Yang MungkinMuncul


1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan
vascular Cerebral
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
umum
3) Curah Jantung, resiko tinggi terhadap hipertensi
berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokontriksi
4) Nutrisi , perubahan lebih dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kebutuhan metabolic
5) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan
system pendukung yang tidak adekuat
6) Kurang pengetahuan berhubungnya dengan kurang
informasi atau keterbatasan kognitif.
c. Rencana Asuhan Keperawatan
1) Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan peningkatan
tekanan vascular Cerebral
Tujuan Kriteria Hasil : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 2 X 24 jam, diharapkan nyeri dapat
berkurang.
Intervensi :
a) Mempertahankan tirah baring selama fase akut
Rasional : Meminimalkan stimulasi/meningkatkan
relaksasi

17
b) Berikan tindakan non farmakologi untuk
menghilangkan sakit kmepala, misalnya kompres
dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, tenang,
redupkan lampu kamar, tekhnik relaksasi.
Rasional : tindakan yang menurunkan tekanan
vascular serebral dan yang memperlambat atau
memblok respons simpatis efektif dalam
menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya
c) Hilangkan atau minimalkan aktivitas fase kontriksi
yang dapat meningkatkan sakit kepala, misalnya
mengejam saat bab, batuk panjang, membungkuk
Rasional : aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi
menyebabkan sakit kepala pada adanya
peningkatan tekanan vascular cerebral
2) Diagnosa II: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan umum
Tujuan kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam, diharapkan klien dapat
melakukan aktivitasnya sesuai toleransi.
Intervensi:
a) Kaji respon pasien terhadap aktivitas,perhatikan
frequency nadi lebih dari 20 kali per menit diatas
frequency istirahat : peningkatan tekan darah yang
nyata selama atau sesudah aktivitas ( tekanan sistolik
meningkat 40 mmhg atau tekanan diastolic meningkat
20 mmhg) dispnea atau nyeri dada : kelemahan dan
keletihan yang belebihan : pusing atau pingsan.
Rasional : menyebutkan parameter membantu dalam
mengkaji respon fisiologi terhadap stress, aktivitas
bila ada merupakan indikator dari kelebihan kerja
yang berkaitan dengan tingkat aktivitas.
b) Instruksikan pasien tentang teknik penghematan
energy, misalnya menggunakan kursi saat
mandi,duduk saat menyisir rambut atau menyikat
gigi,melakukan aktivitas dengan perlahan.
Rasional : teknik memghemat energy mengurangi
penggunaan energy, juga membantu keseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.

d. Evaluasi
1) Pasien melaporkan nyeri/ketidaknyamanan hilang atau
terkontrol

18
2) Pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang
diinginkan/diperlukan
3) Pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan
tekanan darah atau beban kerja jantung.

BAB III
PENUTUP

19
A. Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia,
kejadian hipertensi pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya
tekanan darah sudah terbukti meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik hipertensi pada
usia lanjut adalah terdapatnya berbagai penyakit penyerta
(komorbid) dan komplikasi organ target, seperti kejadian penyakit
kardiovaskuler, ginjal, gangguan pada sistem saraf pusat dan mata.
Dengan menurunkan tekanan darah sampai target 140/90 mmHg
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada
usia lanjut harus juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas.
Penatalaksanaan hipertensi pada lansia tidak berbeda dengan
penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola
hidup dan pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan
obat-obat anti hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian
berbagai obat tersebut bisa disesuaikan dengan penyakit komorbid
yang menyertai keadaan hipertensi tersebut.
B. Saran
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan harus mampu
memberikan edukasi tentang upaya-upaya yang bisa dilakukan utuk
mencegah terjadinya Hipertensi. Sebagai care giver, perawat harus
mampu memberikan asuhan keperawatan secara profesional sesuai
standar operasional prosedurbdengan menyesuaikan respon setiap
individu.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific


Meeting and Exposotion of American Society of Hypertension.
New York, USA.
2. Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia
Lanjut, Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi
Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu
kesehatan usia lanjut) edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
5. Stanley, Mickey. 2007.  Buku Ajar Keperawatan Gerontik
Edisi 2. Jakarta : EGC.
6. Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric
Edisi 2. Jakarta : EGC.
7. Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan
Pustaka.
8. Nugroho, Wahjudi. 2000 . Keperawatan Gerontik . Jakarta :
EGC.
9. http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB8QFj
AA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream
%2F123456789%2F19074%2F5%2FChapter
%2520I.pdf&ei=FxSCUPTKEuciAeXsIDwAQ&usg=AFQjCN
EirKwyg_Z55lpLGGwhFxTq-efDKA

21

Anda mungkin juga menyukai