Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ILMU RESEP

KASUS HIPERTENSI

KELOMPOK 3

Theresia Fika Angreani F201801121


Siti Nur Halimah F201801122
Icha Yastri F201801120
Susi Suyanti F201801154
Ismayati F201801151
Ersty Piter Sele F201801125
Andi Dian Hardianingsih F201801126

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan kehendak-Nyalah Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik
tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaiaan Makalah ini saya banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang saya miliki.
Namun berkat bimbingan dari Dosen yang bersangkutan, Makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya, walaupun tentu saja masih banyak terdapat
kekurangan di dalamnya.
Saya menyadari bahwa Makalah ini belum sempurna dan masih
banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, saya berharap adanya kritikan
dan saran yang membangun agar Makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya
guna di masa mendatang, serta dapat menjadi bahan pembelajaran bagi siapa
saja yang membacanya.
Akhirnya, saya mengucapkan banyak terimakasih, kepada semua
pihak yang telah banyak membantu dan selalu mengarahkan kami dalam
penyelesaian Makalah ini.

Kendari, 19 Januari 2021

Kelompok 3
BAB 1
PENDAHULUAN
I.3 Latar Belakang
Hipertensi adalah factor penyebab  utama kematian karena stroke dan
factor yang memperberat infark miokard(serangan jantung). Kondisi tersebut
merupakan gangguan yang paling umum pada tekanan darah. Hiper
merupakan  gangguan asimptomatik yang sering terjadi dengan peningkatan
tekanan darah secra persisten.diagnosa hipertensi pada orang dewasa  dibuat
saat bacaan diastolic rata-rata dua atau lebih,paling sedikit dua kunjungan
berikut adalah 90mmHg atau lebih tinggi  atau bila tekanan darah multiple
sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikutnya secara konsisten lebih
tinggi dari 140mmHg.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.Hipertensi primer
meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien hipertensi dan 10% lainnya
disebabkan oleh disebabkan oleh hipertensi sekunder. Hanya 50% dari
golongan hipertensi sekunder dapat di ketahui penyebabnya dan dari golongan
ini hanya beberapa persen yang dapat diperbaiki kelainannya. Oleh karena itu
upaya penaggulanan hipertensi terhadap hipertensi primer baik menggenai
pathogenesis maupun tentang penggobatannya. Saat ini banyak penderita
hipertensi  yang tidak tahu/tidak mengerti penyakitnya bahkan banyak yang
tidak tahu resiko dari penderita hipertensi apabila tidak di atasi. Beberapa
komplikasi penyakit yang sering terjadi akibat penyakit hipertensi yang tidak
cepat di atasi adalah stroke, insomnia, fertigo.
Mengingat berbagai masalah yang bisa terjadi kepada penderita
hipertensi, maka penulis menggambarkan studi kasus pada penderita
hipertensi. Sehingga dapat membantu para pelaksana kesehatan dalam
menangani kasus hipertensi yang di harapkan nantinya dapat berguna bagi
seluruh masyarakat maupun para penderita hipertensi.
I.2 Rumusan masalah
1. Definisi Hipertensi ?
2. Klasifikisasi hipertensi ?
3. Patofisiologi hipertensi ?
4. Manifestasi klinik hipertensi ?
5. Subjek/objek hipertensi ?
6. Manajemen hipertensin ?
I.3 Manfaat penulisan
1. Untuk mengetahui Definisi Hipertensi
2. Untuk mengetahui Klasifikisasi hipertensi
3. Untuk mengetahui Patofisiologi hipertensi
4. Untuk mengetahui Manifestasi klinik hipertensi
5. Untuk menegathui Subjek/objek hipertensi
6. Untuk mengetahui Manajemen hipertensin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
lI.1 Definisi hipertensi
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal
dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang
dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari
140/90 mmHg (Elizabeth dalam Ardiansyah M., 2012).
Menurut Price (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016),
Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak
hanya beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita
penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah dan makin
tinggi tekanan darah, makin besar resikonya.Sedangkan menurut Hananta
I.P.Y., & Freitag H. (2011), Hipertensi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari
suatu periode. Hipertensi dipengaruhi oleh faktor risiko ganda, baik yang
bersifat endogen seperti usia, jenis kelamin dan genetik/keturunan, maupun
yang bersifat eksogen seperti obesitas, konsumsi garam, rokok dan kopi.
Menurut American Heart Association atau AHA dalam Kemenkes
(2018), hipertensi merupakan silent killer dimana gejalanya sangat
bermacam-macam pada setiap individu dan hampir sama dengan penyakit
lain. Gejala-gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa berat ditengkuk.
Vertigo, jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga
berdenging atau tinnitus dan mimisan.

 Faktor resiko hipertensi


Menurut Kaplan N.M,2002, dalam buku Pedoman teknis penemuan
dan penatalaksanaan hipertensi .Faktor resiko dapat di bagi menjadi 2
yaitu:

1. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Di Ubah


a) Umur
Umur mempengaruhi hipertensi. Dengan bertambahnya umur,
risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Menurut Riskesdas 2007
pada kelompok umur> 55 tahun prevalensi hipertensi mencapai> 55%.
Pada usia lanjut, hipertensi ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan
darah sistolik. Kejadian ini disebabkan oleh perubahan struktur pada
pembuluh darah besar.
b) Jenis kelamin
Jenis kelamin berpengaruh pada kejadian hipertensi. Pria yang
memiliki risiko sekitar 2,3 kali lebih banyak yang mengalami
peningkatan tekanan darah dibandingkan dengan perempuan, karena
pria yang diduga memiliki gaya hidup yang cenderung meningkatkan
tekanan darah. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi
hipertensi pada perempuan meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun,
hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan pria,
akibat faktor hormonal. Menurut Riskesdas 2007, prevalensi
hipertensi pada sedikit perempuan lebih tinggi dibanding pria.
c) Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi faktor
keturunan juga meningkatkan risiko hipertensi, terutama hipertensi
primer. Faktor lingkungan lain ikut berperan. Faktor genetik juga
terkait dengan pengaturan garam dan pengaturan membran sel.
Menurut Davidson bila orang tuanya menderita hipertensi, maka
sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya, dan bila salah satu orang
tuanya menderita hipertensi maka 30% akan turun ke anak- anaknya.
2. Faktor Resiko Yang Dapat Di Ubah
a. Kegemukan (obesitas )
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak
yang dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) yaitu
perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam
meter (Kaplan dan Stamler, 1991). Berat badan dan indeks masa tubuh
(IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan
darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi
prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan,
pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20 -33% memiliki berat
badan lebih (overweight). Nilai IMT dihitung menurut rumus : Berat
Badan (kg) IMT = Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m) Klasifikasi
IMT orang Indonesia berdasarkan rekomendasi WHO pada populasi
Asia Pasifik tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 2, dibawah ini :
b. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida
yang dihisap melalui rokok akan melancarkan sirkulasi darah dan
merusak lapisan endotel darah arteri, zat tersebut mengakibatkan
proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Pada otopsi studi,
dibuktikan bahwa fakta-fakta itu adalah kebiasaan antara merokok
dengan proses artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah.
Merokok juga meningkatkan denyut jantung, sehingga kebutuhan
oksigen otot-otot jantung bertambah. Merokok pada penderita tekanan
darah tinggi akan semakin meningkatkan risiko kerusakan pembuluh
darah arteri.
c. Kurang Aktifitas Fisik
Olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan
darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Dengan
melakukan olah raga aerobik yang teratur tekanan darah dapat turun,
meskipun berat badan belum turun.
d. Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena
menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus
e. Konsumsi Alkohol Berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah
dibuktikan, namun mekanismenya masih belum jelas. Diduga
peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah dan
peningkatan kekentalan darah dalam meningkatkan tekanan darah.
Beberapa studi menunjukan hubungan langsung antara tekanan darah
dan asupan alkohol. Dikatakan bahwa, efek terhadap tekanan darah
baru nampak konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap
harinya.
f. Psikososial dan Stres
Stres atau gangguan jiwa (rasa tertekan, murung, marah,
dendam, rasa takut, rasa sakit) dapat merangsang anak lebih kuat
untuk melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut
lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah meningkat. Jika
stres berlangsung lama, tubuh akan berusaha sehingga mengakibatkan
kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat
berupa hipertensi atau penyakit penyakit maag.
lI.2 Patofisiologi hipertensi
Menurut Kaplan N.M,2002, dalam buku Pedoman teknis penemuan
dan penatalaksanaan hipertensi.

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya


angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh
hormon renin akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. (Anggraini, 2009)
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut
prorenin dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) pada ginjal. Sel JG
merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak pada dinding
arteriol aferen tepat di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri menurun,
reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul protein
dalam sel JG terurai dan melepaskan renin.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki
efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Selama angiotensin II ada
dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama, yaitu vasokonstriksi, timbul
dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lemah
pada vena. Cara kedua dimana angiotensin II meningkatkan tekanan arteri
adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan ekskresi garam dan air.
Vasopresin, disebut juga antidiuretic hormone (ADH), bahkan lebih
kuat daripada angiotensin sebagai vasokonstriktor, jadi kemungkinan
merupakan bahan vasokonstriktor yang paling kuat dari ubuh. Bahan ini
dibentuk di hipotalamus tetapi diangkut menuruni pusat akson saraf ke
glandula hipofise posterior, dimana akhirnya disekresi ke dalam darah.
Aldosteron, yang disekresikan oleh sel-sel zona glomerulosa pada
korteks adrenal, adalah suatu regulator penting bagi reabsorpsi natrium (Na+ )
dan sekresi kalium (K+ ) oleh tubulus ginjal. Tempat kerja utama aldosteron
adalah pada sel-sel prinsipal di tubulus koligentes kortikalis. Mekanisme
dimana aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium sementara pada saat yang
sama meningkatkan sekresi kalium adalah dengan merangsang pompa
natriumkalium ATPase pada sisi basolateral dari membran tubulus koligentes
kortikalis. Aldosteron juga meningkatkan permeabilitas natrium pada sisi
luminal membran. (Guyton, 1997)
Sampai sekarang pengetahuan tentang patogenesis hipertensi primer
terus berkembang karena belum didapat jawaban yang memuaskan yang dapat
menerangkan terjadinya peninkatan tekanan darah. Tekanan darah
dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. (Susalit, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau primer yang tidak diketahui penyebabnya
2. Hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat ditentukan (10%), antara
lain kelainan pembuluh darah, gangguan penyakit tiroid ( hipertiroid),
penyakit kehadiran adrenal (hiperaldosteronisme) dan lain-lain. Menurut
JNC VII (2003) hipertensi klasifikasi sesuai tertera pada.

lI.3 Menifestasi Klinik


Manifestasi Klinis Hipertensi Gambaran klinis pasien hipertensi
meliputi:
 Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial.
 Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
 Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
 Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
 Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
 Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain.

lI.4 Subjek/objek
a. Subjek
DW, pria Kaukasia 78 tahun, datang ke ruang gawat darurat dengan
keluhan sakit kepala yang berlangsung selama 3 hari terakhir.
b. Objek
Melakukan pemeriksaan fisik dan tes laboratorium dengan Pengukuran
tekanan darah berulang rata-rata 200/110 mm Hg.

lI.5 Manajemen Terapi


Menurut Kaplan N.M,2002, dalam buku Pedoman teknis penemuan
dan penatalaksanaan hipertensi
a. Terapi Farmakologi
Penanganan hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka
kesakitan, komplikasi dan kematian akibat hipertensi. Terapi farmakologis
hipertensi dapat dilakukan di pelayanan strata primer/Puskesmas, sebagai
penanganan awal. Berbagai penelitian klinik membuktikan bahwa, obat
anti-hipertensi yang diberikan tepat waktu, dapat menurunkan kejadian
stroke hingga 35-40%, infark miokard 20-25% dan gagal jantung lebih
dari 50%. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal yang
mempunyai masa kerja panjang sehingga dapat diberikan sekali sehari dan
dosisnya 30 dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan selama
beberapa bulan pertama perjalanan terapl. Pemilihan atau kombinasi obat
anti-hipertensi yang cocok bergantung pada keparahan hipertensi dan
respon penderita terhadap obat.
Beberapa prinsip pemberian obat anti- hipertensi perlu diingat, yaitu
a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan
penyebabnya
b. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi
timbulnya komplikasi.
c. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
d. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
pengobatan seumur hidup.
e. Jika tekanan darah terkontrol maka pemberian obat hipertensi di
Puskesmas dapat diberikan disaat kontrol dengan catatan obat yang
diberikan untuk pemakaian selama 30 hari bila tanpa keluhan baru.
f. Untuk Penderita hipertensi yang baru didiagnosis (Kunjungan
pertama) maka diperlukan kontrol ulang disarankan 4 kali dalam
sebulan atau seminggu sekali, apabila tekanan darah sistolik > 160
mmHg atau diastolik >100 mmHg sebaiknya diberikan terapi
kombinasi setelah kunjungan kedua (dalam dua minggu) tekanan
darah tidak dapat dikontrol.
g. Pada kasus hipertensi emergensi atau urgensi tekanan darah tidak
dapat terkontrol setelah pemberian obat pertama langsung diberikan
terapi farmakologis kombinasi, bila tidak dapat dilakukan rujukan.
 Jenis-Jenis Obat Anti-Hipertensi :
a. Diuretik Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan
cairan tubuh (lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh
berkurang, tekanan darah turun dan beban jantung lebih ringan.
Populasi lanjut usia lebih rentan mengalami dehidrasi dan hipotensi
ortostatik akibat penggunaan thiazide. Jadi pengukuran tekanan darah
posisi berdiri perlu dilakukan, disamping pemantauan kadar kalium
serum.
b. Penyekat beta (B-blockers) Mekanisme kerja obat antihipertensi ini
adalah melalui penurunan laju nadi dan daya pompa jantung. Obat
golongan B-blockers dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas
pasien hipertensi lanjut usia, menurunkan risiko penyakit jantung
koroner, prevensi terhadap serangan infark miokard ulangan dan gagal
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita asma bronkhial.
Pemakaian pada penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat
menutupi gejala hipoglikemia. Walaupun farmakokinetik dan
farmakodinamik berbagai jenis B-Blockers berbeda-beda, efikasi
antihipertensinya hampir serupa. Atenolol, metoprolol, dan bisoprolol
bersifat kardioselektif dengan kelarutan terhadap lipid yang rendah,
sehingga lebih umum dipilih bagi populasi lanjut usia. Obat B-
Blockers yang bersifat lipofilik (seperti propanolol) dapat menembus
sawar darah otak, sehingga berefek sedasi, depresi, dan disfungsi
seksual. B-Blockers terutama golongan non-selektif seperti nadolol
dan propanolol merupakan kontra-indikasi bagi pasien dengan
gangguan reaktif saluran nafas yang berat. Terutama pada populasi
lanjut usia, B-Blockers secara umum dapat menyebabkan bradikardia,
abnormalitas konduksi, dan gagal jantung, terutama bila dosis awal
terlalu tinggi atau pasien mempunyai riwayat penurunan fungsi
ventrikel kiri. Perhatian khusus harus diberikan bila B-Blockers
diberikan bersama dengan obat golongan kronotropik negatif, seperti
diltiazem, verapamil, atau digoksin. Pemberian B-Blockers tidak boleh
langsung dihentikan, harus dititrasi perlahan untuk meminimalisasi
refleks takikardia (rebound).
c. Golongan Penghambat Anglotensin Converting Enzyme (ACE) dan
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Penghambat Angiotensin
Converting Enzyme (ACE inhibitor/ ACE) menghambat kerja ACE
sehingga perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
(vasokontriktor) terganggu. Sedangkan Angiotensin Receptor Blocker
(ARB) menghalangi ikatan zat angiotensin I pada reseptornya. [16:52,
1/19/2021] Fika: Baik ACEI maupun ARB mempunyai efek
vasodilatasi, sehingga meringankan beban jantung. ACEI dan ARB
diindikasikan terutama pada pasien hipertensi dengan gagal jantung,
diabetes mellitus, dan penyakit ginjal kronik. Menurut penelitian ON
TARGET, efektifitas ARB sama dengan ACEI. Secara umum, ACEI
dan ARB ditoleransi dengan baik dan efek sampingnya jarang. Batuk
terjadi pada 25% pasien yang mengkonsumsi ACEI dan seringkali
menjadi penyebab terapi dihentikan, pada kondisi demikian ARB
merupakan alternatif pilihan. Obat-obatan yang termasuk golongan
ACEI adalah valsartan, lisinopril, dan ramipril. Efek samping yang
mungkin timbul : sakit kepala, pusing, lemas dan mual. Lisinopril dan
ramipril terutama diindikasikan untuk pasien pasca infark miokard,
pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular dan mencegah
rekurensi stroke. Hipotensi saat obat mulai diberikan (first-dose
hypotension) harus diwaspadai pada pasien dehidrasi, gagal jantung,
dan stenosis arteri renalis bilateral. Walaupun ACEI berpotensi
menjaga fungsi ginjal, namun kadar kreatinin dapat meningkat bila
diberikan kepada pasien dengan insufisiensi renal, dehidrasi, atau
gagal jantung, kondisi demikian ini sering sekali ditemukan pada
pasien lanjut usia, maka hipotensi dan fungsi ginjal harus dipantau
ketat pada awal pemberian obat tersebut. Tidak ada ketentuan batas
nilai kreatinin yang menjadi kontraindikasi pemberian ACEI, tetapi
peningkatan akut kadar kreatinin sebesar 30% merupakan peringatan
untuk penghentian sementara atau penurunan dosis ACEI. Karena
ACEI juga dapat menyebabkan hiperkalemia, kadar elektrolit dan
kretinin harus dimonitor pula secara periodik, terutama pada pasien
yang mendapat diuretik tidak hemat kalium. Seperti halnya thiazide,
anti-inflamasi non-steroid juga dapat menurunkan efikasi
antihipertensi ACEI dan ARB.
d. Golongan Calcium Channel Blockers (CCB) Calcium channel
blocker (CCB) menghambat masuknya kalsium ke dalam sel
pembuluh darah arteri, sehingga menyebabkan dilatasi arteri koroner
dan juga arteri perifer. Ada dua kelompok obat CCB, yaitu
dihidropyridin dan nondihidropyridin,keduanya efektif untuk
pengobatan hipertensi pada lanjut usia. Secara keseluruhan, CCB
diindikasikan untuk pasien yang memiliki faktor risiko tinggi penyakit
koroner dan untuk pasien- pasien diabetes. Kelompok
nondihidropyridin (seperti diltiazem, verapamil) mempunyai efek
inotropik dan kronotropik negatif, sehingga sangat baik diberikan pada
pasien-pasien dengan fibrilasi atrial dan takikardi supraventrikuler.
Kelompok dihidropyridin (seperti amlodipine, felodipine) aman
diberikan pada pasien dengan gagal jantung, hipertensi, atau angina
stabil kronik. Calcium channel blocker dengan durasi kerja pendek
tidak direkomendasikan pada praktek klinis. Tinjauan sistematik
menyatakan bahwa CCB ekuivalen atau lebih inferior dibandingkan
dengan obat antihipertensi lain. Tetapi CCB lebih efektif pada pasien
hipertensi yang sensitif terhadap garam, seperti populasi lanjut usia.
Interaksi CCB dengan obat dan makanan lain telah. Grapefruit (di
Indonesia dikenal sebagai jeruk Bali) meningkatkan bioavabilitas
felodipin secara signifikan, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
berat. Diltiazem dapat menghambat metabolism cyclosporine yang
dikonsumsi rutin pasca transplantasi organ, sehingga dapat
menyebabkan intoksikasi cyclosporine. Kelompok dihidropyridin,
terutama nifedipin, dapat menyebabkan efek samping: hipotensi
ortostatik, edema perifer dan hiperplasi gusi, terutama pada usia lanjut.
Sedangkan verapamil sering menyebabkan konstipasi pada populasi
usia lanjut.
e. Golongan Antihipertensi Lain Penggunaan penyekat reseptor alfa
perifer, obat-obatan yang bekerja sentral, dan obat golongan
vasodilator pada populasi lanjut usia sangat terbatas, karena efek
samping yang signifikan. Walaupun obat-obatan ini mempunyai
efektifitas yang cukup tinggi dalam menurunkan tekanan darah, tidak
ditemukan asosiasi antara obat-obatan tersebut dengan reduksi angka
mortalitas maupun morbiditas pasien-pasien hipertensi. Agonis alfa
sentral (termasuk klonidin, guanfacine, methyldopa, and reserpine)
bekerja sentral sehingga dapat menimbulkan sedasi, mulut kering, dan
depresi. Banyak pasien yang melaporkan hipotensi selain retensi air
dan natrium. Penghentian tiba-tiba obat-obatan ini dari dosis tinggi
(clonidin >1.2 mg/hari) akan menyebabkan efek rebound, sehingga
berbahaya bila diberikan kepada pasien dengan kepatuhan minum obat
yang rendah. Walaupun clonidine patch mahal, patch ini sangat
berguna bagi alternatif terapi oral anti-hipertensi pada populasi lanjut
usia. Seperti halnya agonis alfa sentral, obat golongan vasodilator
hydralazine dan minoxidil mengakibatkan retensi kalium dan air serta
refleks takikardia, sehingga tidak digunakan sebagai monoterapi.
b. Terapi Non Farmakologi
gaya hidup yang dilakukan adalah:
a. membatasi merokok
b. mengontrol diet dengan mengurangi konsumsi alcohol
c. membatasi sodium tidak lebih dari 2.400 mg/hari
d. melakukan aktivitas fisik 3-4 hari per minggu dengan rata-rata 40
menit per sesi.
e. Terapi obat-obatan dibutuhkan jika modifikasi gaya hidup tidak
mencapai target tekanan darah secara adekuat.
Pengobatan lini pertama yang digunakan dalam terapi hipertensi
adalah diuretik, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors atau
angiotensin receptor blockers (ARBs), beta bloker dan calcium channel
blockers (CCBs). Beberapa pasien membutuhkan dua atau lebih obat anti
hipertensi untuk mencapat target tekanan darah mereka.
BAB III
PEMBAHASAN
Hipertensi adalah factor penyebab  utama kematian karena stroke dan
factor yang memperberat infark miokard(serangan jantung). Kondisi tersebut
merupakan gangguan yang paling umum pada tekanan darah. Hiper
merupakan  gangguan asimptomatik yang sering terjadi dengan peningkatan
tekanan darah secra persisten.diagnosa hipertensi pada orang dewasa  dibuat
saat bacaan diastolic rata-rata dua atau lebih,paling sedikit dua kunjungan
berikut adalah 90mmHg atau lebih tinggi  atau bila tekanan darah multiple
sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikutnya secara konsisten lebih
tinggi dari 140mmHg.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.Hipertensi primer
meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien hipertensi dan 10% lainnya
disebabkan oleh disebabkan oleh hipertensi sekunder. Hanya 50% dari
golongan hipertensi sekunder dapat di ketahui penyebabnya dan dari golongan
ini hanya beberapa persen yang dapat diperbaiki kelainannya. Oleh karena itu
upaya penaggulanan hipertensi terhadap hipertensi primer baik menggenai
pathogenesis maupun tentang penggobatannya. Saat ini banyak penderita
hipertensi  yang tidak tahu/tidak mengerti penyakitnya bahkan banyak yang
tidak tahu resiko dari penderita hipertensi apabila tidak di atasi. Beberapa
komplikasi penyakit yang sering terjadi akibat penyakit hipertensi yang tidak
cepat di atasi adalah stroke, insomnia, fertigo.
Manifestasi Klinis Hipertensi Gambaran klinis pasien
hipertensi meliputi:
 Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial.
 Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
 Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
 Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
 Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
 Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain.

Paparan kasus 3

DW, pria Kaukasia 78 tahun, datang ke ruang gawat darurat dengan keluhan sakit kepala
yang berlangsung selama 3 hari terakhir. Pengukuran tekanan darah berulang rata-rata
200/110 mm Hg. Dia melaporkan tidak ada gejala lain dan pemeriksaan fisik dan tes
laboratorium biasa-biasa saja seperti riwayat kesehatan masa lalunya dengan pengecualian
hipertensi yang didiagnosis di awal 60-an. DW melaporkan bahwa dia berjuang untuk
mendapatkan pendapatan pensiun tetap tanpa pertanggungan resep dan mengambil "apa
yang saya mampu."

Penyakit lainnya

Tidak ada penyakit lain yang diketahui.

Pengobatan, produk alami, suplemen makanan / herbal yang diminum

- carvedilol 25 mg dua kali sehari,

- amlodipine 10 mg sekali sehari,

- torsemide (Demadex®) 10 mg sekali sehari, dan

- valsartan 320 mg sekali sehari.

Gaya hidup, profesi

Dia merokok (10-15 batang / hari selama 15 tahun). Dia suka makanan pedas. Dia rutin
minum alkohol (10-15 gelas setiap hari).

Penanganan hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka


kesakitan, komplikasi dan kematian akibat hipertensi. Terapi farmakologis
hipertensi dapat dilakukan di pelayanan strata primer/Puskesmas, sebagai
penanganan awal. Berbagai penelitian klinik membuktikan bahwa, obat
anti-hipertensi yang diberikan tepat waktu, dapat menurunkan kejadian
stroke hingga 35-40%, infark miokard 20-25% dan gagal jantung lebih
dari 50%. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal yang
mempunyai masa kerja panjang sehingga dapat diberikan sekali sehari dan
dosisnya 30 dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan selama
beberapa bulan pertama perjalanan terapl. Pemilihan atau kombinasi obat
anti-hipertensi yang cocok bergantung pada keparahan hipertensi dan
respon penderita terhadap obat.
Beberapa prinsip pemberian obat anti- hipertensi perlu diingat, yaitu
a. Diuretik Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan
tubuh (lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang, tekanan
darah turun dan beban jantung lebih ringan.
b. Penyekat beta (B-blockers) Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah
melalui penurunan laju nadi dan daya pompa jantung.
c. Golongan Penghambat Anglotensin Converting Enzyme (ACE) dan
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Penghambat Angiotensin Converting
Enzyme (ACE inhibitor/ ACE) menghambat kerja ACE sehingga perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokontriktor) terganggu
d. Golongan Calcium Channel Blockers (CCB) Calcium channel blocker (CCB)
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel pembuluh darah arteri, sehingga
menyebabkan dilatasi arteri koroner dan juga arteri perifer. Ada dua kelompok
obat CCB, yaitu dihidropyridin dan nondihidropyridin,keduanya efektif untuk
pengobatan hipertensi pada lanjut usia. Secara keseluruhan, CCB
diindikasikan untuk pasien yang memiliki faktor risiko tinggi penyakit
koroner dan untuk pasien- pasien diabetes.

Terapi Non Farmakologi


gaya hidup yang dilakukan adalah:
f. membatasi merokok
g. mengontrol diet dengan mengurangi konsumsi alcohol
h. membatasi sodium tidak lebih dari 2.400 mg/hari
i. melakukan aktivitas fisik 3-4 hari per minggu dengan rata-rata 40
menit per sesi.
j. Terapi obat-obatan dibutuhkan jika modifikasi gaya hidup tidak
mencapai target tekanan darah secara adekuat.

lII.3
BAB IV
PENUTUP

Perbaikan sosial ekonomi Indonesia berhasil meningkatkan usia


harapan hidup masyarakat, dengan kenaikan prevalensi penyakit
degeneratif. Di sisi lain, urbanisasi, modernisasi dan globalisasi, ternyata
juga mengalami hipertensi. Masyarakat cenderung pola hidup tidak sehat,
konsumsi makanan berlemak dan asin atau manis yang sering dikonsumsi,
aktifitas fisik yang lebih jarang digunakan karena adanya kendaraan dan
berbagai alat dengan kendali jarak jauh. Pendidikan masyarakat yang
rendah meningkat jumlah perokok aktif atau pasif. Program pengendalian
risiko di Indonesia, meliputi: Penyuluhan (KIE), deteksi dini, penanganan
faktor risiko, peningkatan akses akses tatalaksana, surveilans epidemiologi
(kasus dan faktor risiko). Semua ini hanya dapat terlaksana dengan baik,
didukung oleh seluruh masyarakat. Pedoman Teknis Penemuan dan
Tatalaksana Hipertensi dibuat sebagai penjabaran dari tugas dan fungsi
dan peran Direktorat PPTM, melalui Subdit Penyakit Pengendalian
Jantung dan Pembuluh Darah. Nantinya baru ini diharapkan dapat
menjadi acuan bagi petugas kesehatan yang hehehati, khususnya dan
penyakit tidak pada umumnya, untuk melaksanakan, melaksanakan, dan
melaksanakan kinerja program.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, M. (2012) .Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta: DIVA Press.

Elizabeth, C. (2009) Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction

Hananta, Y dan Freitag, H. 2011. Deteksi Dini dan Pencegahan Hipertensi dan Stroke. Media
Pressindo. Yogyakarta

Depkes, RI. (2015). Buku Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. In
Physical Review D (Vol. 42, p. 2413). Metodologi Penelitian Keperawatan : Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai