Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ILMU RESEP

KASUS B

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II
KELAS B3

• IGA APRILIA SUPU


• SUSI SUYANTI
• DESWITA MAHARANI
• SITI NURHALIMAH
• YELIS
• ANDI ARDIANNINGSIH
• WULAN AYU LESTARI

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PENYELESAIAN
KASUS” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ilmu
resep. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang kasus pasien
kombinasi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah “ILMU
RESEP” yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Kendari 11 November 2020

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 6

1.3 Tujuan .................................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 7

2.1 Patofisiologi penyakit.............................................................................................. 7

2.2 Terapi Penyakit ..................................................................................................... 11

2.3 Pemasalahan Pasien (Analisa SOAP) .................................................................... 12

2.4 Kategori DRP........................................................................................................ 18

2.5 Tujuan akhir (gool therapy) ................................................................................... 21

2.6 Penjelasan terapi yang tepat, alternatif, rencana optimal tatalaksana dan strategi
pengobatan serta evaluasi outcome terapinya. .................................................................. 22

2.7 Saran-saran anda (sebagai apoteker) untuk edukasi pasien..................................... 23

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 24

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 25

3
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan


peningkatan kadar gula yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin (Amin
& Hardhi, 2013). Diabetes mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang
disebabkan karenan ketiadaan absolut insulin (Corwin, 2009). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam plasma yang disebabkan oleh produksi insulin
yang menurun atau tidak adanya insulin (Corwin, 2009).
Diabetes melitus tipe II disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan
resistensi insulin. Resistensi insulin ini berarti penurunan kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati (Amin & Hardhi 2013).
Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air
besar, dengan kondisi tinja yang encer. Pada umumnya, diare terjadi akibat makanan
dan minuman yang terpapar virus, bakteri, atau parasit. Biasanya diare hanya
berlangsung beberapa hari (akut), namun pada sebagian kasus dapat memanjang
hingga berminggu-minggu (kronis). Pada umumnya, diare tidak berbahaya jika
tidak terjadi dehidrasi. Namun, jika disertai dehidrasi, penyakit ini bisa menjadi
fatal, dan penderitanya perlu segera mendapat pertolongan medis. Gejala dan
Penyebab Diare Gejala diare bervariasi. Penderita bisa merasakan satu atau lebih
gejala. Namun, gejala yang paling sering dirasakan penderita diare antara lain :
Perut terasa mulas, Tinja encer (buang air besar cair) atau bahkan berdarah,
Mengalami dehidrasi, Pusing, lemas, dan kulit kering.Pengobatan dan
Pencegahan Diare Penderita diare dapat meminum cairan elektrolit, guna
mengganti cairan tubuh yang hilang akibat diare. Selama terjadi diare,
konsumsi makanan yang lunak dan antibiotik atau obat anti diare. Untuk kondisi
yang lebih serius, dokter mungkin akan memberikan obat-obatan, seperti: Obat
antibiotic, Obat pereda nyeri, Obat yang dapat memperlambat gerakan usus.
Diabetes dikenal juga oleh masyarakat sebagai ‘penyakit gula’ atau
‘kencing manis’. Diabetes terbagi menjadi 2 jenis, yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2.
Meski memiliki gejala yang sama, ada perbedaan di antara keduanya. Tidak hanya
dari penyebab, tapi juga pengobatannya.
Pada diabetes tipe 1, tubuh tidak dapat memproduksi hormon insulin.
Sedangkan pada diabetes tipe 2, sel-sel tubuh menjadi kurang sensitif terhadap
hormon insulin, meskipun produksi dan kadar hormon insulin normal.

4
Penderita diabetes tipe 1 tidak dapat menghasilkan hormon insulin. Hal ini
menyebabkan penderita diabetes tipe 1 bergantung mutlak pada pemberian insulin
dari luar. Penderita diabetes tipe 1 perlu menyuntikkan insulin ke tubuhnya
beberapa kali sehari dan memantau kadar gula darahnya secara ketat.
Sementara penderita diabetes tipe 2 biasanya tidak membutuhkan insulin
di tahap awal penyakit, karena tubuhnya masih menghasilkan insulin.
Diabetes tipe 2 yang masih berada dalam tahap awal dapat diatasi dengan
perubahan gaya hidup, seperti menghindari konsumsi makanan yang tinggi
kalori, rutin berolahraga, serta menjaga berat badan ideal. Apabila tidak ada
perbaikan, barulah dokter akan memberikan obat-obatan atau insulin.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi penyakit?


2. Apa saja terapi penyakit yang diberikan?
3. Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan pasien dengan
(identifikasi problem terapi pasien, informasi yang ada dan
informasi tambahan lain jika ada 0 berdasarkan analisa SOAP?
4. Bagaimana cara menentukan DRP?
5. Apa saja tujuan akhir (gool therapy) farmakoterapi untuk pasien pada
kasus ini?
6. Apa penjelasan terapi yang tepat, alternatif, rencana optimal
tatalaksana dan strategi pengobatan serta evaluasi outcome
terapinya?
7. Apa saja saran-saran anda (sebagai apoteker) untuk edukasi pasien
pada ini?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui menyelesaikan kasus pasien dengan riwayat


penyakit. Diare dan DM 2 tipe 2.

5
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Patofisiologi penyakit


A. Patofisiologi DM Tipe 2
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8
Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik
serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi
glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B
langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak
absolut.
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan
sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

6
B. Patofisiologi Diare akut
Dalam keadaan normal, dinding intestinal memiliki fungsi absorbsi dan
sekresi yang dikontrol oleh regulatorregulator sehingga didominasi oleh fungsi
absorbsi yang akan menghasilkan tinja normal.9,10 Kedua mekanismetersebut
memerlukan pemecahan nutrisi yang baik dalam membentuk molekul-molekul
yang diperlukan untuk membentuk ikatan dengan air dan elektrolit saat proses
absorbsi (misalnya, glukosa, galaktosa dan asam amino) dan mencegah
terdapatnya substansi aktif yang tidak dapat diabsorbsi secara aktif melalui proses
osmotikdi dalam lumen usus. Selain itu, proses absorpsi dan sekresi juga
ditunjang oleh kerja enzim Na+-K+-ATP-ase pada membran basolateral dan dua
antiport di brush border. 9,10 Saat diare keseimbangan transport elektrolit dan air
terganggu, terjadi penurunan fungsi absorbsi dan dominasi fungsi sekresi elektrolit
dan nutrien (sekresi aktif anion terutama di sel kriptus), sehingga terjadi
pengeluaran airyang berlebihan kelumen usus. Duamekanisme utama yaitu diare
osmotik dan sekretorik, kedua mekanisme tersebut kadang terjadi secara
bersamaan.

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi


insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas
fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi
produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-
sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan
tidak absolut (Restyana Noor Fatimah, 2015 ,Diabetes Melitus Tipe 2, Medical
Faculty, Lampung Universi.

7
II.2 Terapi Penyakit
A. Terapi farmakologi DM tipe 2
1. Terapi insulin untuk pasien rawat inap
Pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dibagi ke dalam dua kelompok :
Kelompok pertama pasien yang memerlukan perawatan di ruang
intensif, misalnya pasien ketoasidosis, pasca operasi, atau pasien penyakit
gawat seperti sepsis. Kelompok kedua adalah pasien yang tidak
memerlukan perawatan di ruang intensif, misalnya pasien praoperatif atau
pasien dengan penyakit yang tidak gawat.Secara umum, cara pemberian
terapi insulin bagi kedua kelompok di atas memiliki perbedaan. Pasien
yang dirawat di ruang intensif umumnya memerlukan terapi intensif
dengan cara pemberian insulin infus (drip) intravena atau secara
intramuskular. Cara intramuskular jarang dilakukan dan hanya dilakukan
bila fasilitas insulin drip intravena tidak tersedia. Pasien yang dirawat di
ruang biasa umumnya tidak memerlukan terapi insulin infus intravena.
Terapi untuk pasien ini cukup dengan pemberian subkutan atau dengan
pompa insulin (CSII). Bahkan pada kasus yang ringan, terapi dengan obat
antidiabetik oral masih dapat diberikan untuk pasien DM, terutama pasien
DM tipe 2 (PERKENI, 2007).
2. Obat yang di gunakan obat Novorapid
Novorapid merupakan tipe insulin yang bekerja cepat (rapid
acting), insulin ini memungkinkan penggantian insulin pada waktu makan
secara fisiologis karena mula kerjanya yang cepat, keuntungan lainnya
yaitu karena insulin ini dapat diberikan segera sebelum makan tanpa
mengganggu kontrol glukosa (Katzung, 2010).
a) Dosis obat
o Dosis bersifat individual dan ditentukan berdasarkan saran dokter
sesuai dengan kebutuhan pasien.
o Dosis lazim: 0,5-1 u/kg BB/hari.
Dihitung dengan mengalikan berat badan pasien
b) Efek samping
o Efek samping, terkait dengan efek pada metabolisme karbohidrat
:gipoglikemiâ (desudation, kulit pucat, kegugupan atau tremor,
kegelisahan, kelelahan yang tidak biasa atau kelemahan,
disorientasi, gangguan konsentrasi, pusing, diucapkan kelaparan,
penglihatan kabur sementara, sakit kepala, mual, takikardia).
Hipoglikemia berat dapat menyebabkan ketidaksadaran dan / atau
kejang, gangguansementara atau permanen dari otak dan
kematian.Menentukan frekuensi efek samping: kadang-kadang

8
(>1/1000, <1/100), jarang (>1/10 000,<1/1000); jarang ( <1/10
000), termasuk kasus-kasus individual.
o Reaksi alergi : kadang-kadang – gatal-gatal, ruam kulit; jarang –
reaksi anafilaksis. Reaksi alergiumum mungkin termasuk ruam
kulit, kulit gatal, meningkat berkeringat, gangguan saluran
cerna,angioedema, kesulitan bernapas, taxikardiju, penurunan
tekanan darah.
o Reaksi local : Reaksi alergi lokal (kemerahan, keadaan bengkak,
gatal di tempat suntikan), biasanya bersifat sementara dan melewati
sebagai pengobatan lebih lanjut; kadang-kadang– lipodistrofi.
o Lain : pada awal terapi jarang– pembengkakan, kadang-kadang –
pelanggaran bias. Efek samping ini biasanya bersifat
sementara.Reaksi yang merugikan, diamati pada pasien.
c) Mekanisme obat
Obat ini bekerja dengan menggantikan insulin yang diproduksi
secara alami di dalam tubuh dan dapat diserap cepat. Selain itu, ia juga
membantu memindahkan gula dalam darah menuju jaringan tubuh
lainnya sehingga bisa digunakan sebagai sumber energi. Obat ini
digunakan untuk mengobati diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2.
d) Interaksi obat
Berinteraksi dengan membran sel luar sitoplasma reseptor
khusus untuk membentuk kompleksreseptor insulin, merangsang
proses intraseluler, termasuk. Beberapa enzim kunci (geksokinaza,
piruvat, glikogensintetaza). Penurunan glukosa darah akibat
peningkatan transportasi intraseluler,meningkatkan jaringan asimilasi,
stimulasi lipogenesis, glikogenogeneza, mengurangi tingkat produksi
glukosa hepatik.

B. Terapi Non Farmakologi Dm Tipe 2


a) Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah
kaloridisesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan
kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon
sel-sel beta terhadap stimulus glukosa (PERKENI, 2007).
b) Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat
Continuous, Rhymical,Interval, Progressive, Endurance Training dan

9
disesuaikandengan kemampuan serta kondisi penderita. Beberapa olahraga
yang disarankan antara lain jalan, lari, bersepeda dan berenang, dengan
latihan ringan teratur setiap hari, dapat memperbaiki metabolisme glukosa,
asam lemak, ketone bodies, dan merangsang sintesis glikogen .(PERKENI,
2007).

C. Terapi Farmakologi Diare Akut


Pasien diare rawat inap mendapatkan terapi awal berupa cairan
pengganti, terapi ini merupakan pertolongan pertama pada penderita yang
sudah banyak kehilangan cairan pada saat masuk dan selama perawatan.
Cairan pengganti yang diberikan seperti KAEN 3B, Ringer Lactat, dan KAEN
4B. Pemberian terapi cairan pengganti merupakan pengobatan utama pada
penyakit diare yaitu dengan menggunakan terapi cairan dan elektrolit, seperti
yang tertera pada tatalaksana penderita diare menurut Depertemen Kesehatan
RI.
Cairan pengganti yang di berikan pada terapi diare akut yaitu KAEN
3B karena diindikasikan untuk perawatan Darah dan kehilangan cairan, Kadar
kalium rendah, Ketidakseimbangan elektrolit, Cairan dan nutrisi pengganti,
Cairan dan nutrisi pengganti, Kekurangan kalium, Kadar natrium yang rendah,
Kadar magnesium yang rendah, Tingkat kalsium yang rendah, Darah dan
kehilangan cairan dan kondisi lainnya.
a) Terapi obat yang di berikan per oral yaitu obat codein (antimotilitas)
Dosis :
▪ ringan hingga nyeri sedang
Dewasa : 15-60 mg 4 jam. Maks: 360 mg/hari
Anak : umur kurang dari 12 thn 0,5-1 mg/kg setiap 4-6 jam
setiap hari
Maks : 240 mg setiap hari
▪ Diare akut
Dewasa : 30 mg, 3-4 kali sehari (antara 15-60 mg)
Anak : 12-18 tahun: 30 mg (antara 15-60 mg) 3-4 kali
sehari
(katzung et al, 2012).

b) Efek samping codeine adalah :


▪ Pusing
▪ Mengantuk
▪ Mual atau muntah
▪ Sakit perut
▪ Sembelit

10
▪ Gatal atau ruam ringan
Hubungi dokter segera jika Anda mengalami efek samping
serius dari codeine, seperti:
▪ Detak jantung lambat, denyut nadi lemah
▪ Kesulitan bernapas, atau sesak napas
▪ Merasa hendak pingsan
▪ Bertindak dan berperilaku tidak wajar
▪ Kejang-kejang
c) Mekanisme kerja
Kodein adalah opioid dan agonis reseptor opioid mu. Ini bekerja
pada sistem saraf pusat untuk memiliki efek analgesik. Ia
dimetabolisme di hati untuk menghasilkan morfin yang sepuluh kali
lebih kuat melawan reseptor mu. Reseptor opioid adalah reseptor
berpasangan G-Protein yang secara positif dan negatif mengatur
transmisi sinaptik melalui pensinyalan hilir. Pengikatan kodein atau
morfin ke reseptor opioid mu menghasilkan hiperpolarisasi neuron
yang mengarah ke penghambatan pelepasan neurotransmiter nosiseptif
yang menyebabkan efek analgesik dan peningkatan toleransi nyeri
karena berkurangnya rangsangan saraf (katzung et al, 2012).
d) Interaksi obat
interaksi pada obat mungkin akan terjadi jika mengonsumsi
beberapa obat secara bersamaan. Jika ingin menggunakannya
bersamaan obat lain, konsultasikan dengan dokter terlebih dahulu.
Sebab, dokter bisa menurunkan dosisnya apabila memang harus
digunakan bersamaan obat lain.
Mengonsumsi obat Codeine dengan obat lain secara bersamaan
dapat menyebabkan beberapa interaksi. Penggunaan codeine
bersamaan dengan anestesi dan ansiolitik dapat meningkatkan efek
depresan. Sementara itu, pemakaiannya dengan obat lain juga
berpotensi menghilangkan efek senyawa lain seperti mexiletine.
Informasi yang diberikan bukan sebagai pengganti konsultasi
medis langsung dengan dokter, atau mengarahkan pemakaian obat
dengan merek tertentu. Pemakaian obat harus dengan resep dokter.
Ketersediaan obat tergantung pada indikasi yang disetujui Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

D. Terapi Non-Farmakologi Diare Akut


Terapi non farmakologi dalam upaya pencegahan dapat dilakukan
dengan menghindari pemicu diare seperti perilaku pola hidup sehat.
Namun, upaya yang paling penting dalam penanganan diare adalah

11
mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh (dehidrasi) dengan
penggantian cairan dan elektrolit secepat mungkin (rehidrasi).

12
II.3 Pemasalahan Pasien (Analisa SOAP)
1. Uraikan dengan baik permasalahan pasien (identifikasi problem terapi
pasien, informasi yang ada dan informasi tambahan lain jika ada 0
berdasarkan analisa SOAP

Penyelesaian:
A. Subjek
Nama Pasien : Ny. Mila
Umur Pasien : 72 tahun
BB / TB : 63kg / 160 cm
Keluhan : BAB cair 5 kali sehari, bau busuk, demam
ngelemeng, nyeri perut, mual, muntah, kaki
bengkak.
1. Past medical history
• Diabetes mellitus tipe 2
2. Social History
• Seorang ibu dengan 6
• Kesulitan ekonomi
3. Medication History
• Metformin 3x850mg

B. Objek
a. Pengobatan sekarang
• RL
• KAEN 3B
• Ceftriaxone 1g
• Novorapid 200mg
• Valsartan 80mg
• Codein
• Amiodarone 200mg
• KCL 300ml
• Aspar K

13
b. Pemeriksaan Fisik Umum

Tanggal
Pemeriksaan Satuan
6/11 7/11 8/11 9/11

TD mmHg 110/60 120/80 130/70 140/70

Nadi x/menit 120 120 100 88

RR x/menit 32 28 20 20

T C 38,5 38,7 36,6 afebris

c. Data Laboratorium

Parameter Nilai normal Tanggal

6/11 7/11 8/11 9/11

GDS 74-106 mg/dL 243 246 266


250
266

HbA1C 4,0-6,5 % 7,3

CPK/CK 39-308 U/L 629 914

CKMB 7-25 U/L 34

BUN 7-20 mg/dL 28 31 33,3

Cr 0,6-1,3 mg/dL 1,42 1,49 1,3

Asam urat 2,6-7,2 mg/dL 8,0 8,9 9,4

Cl 98-107 96 97 101 98
mmol/L

K 3,5-5 mmol/L 2,4 2,3 2,3 2,5

Na 136-145 135 138 138 128


mmol/L

14
C. Assasment
Dari data yang diberikan, pasien mengalami diare akut, diare akut
adalah buang air besar melebihi 3 kali sehari, disertai dengan
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lender dan
darah yang berlangsung kurang dari seminggu (Amabel, 2001). Pasien
memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus tipe 2. Metformin 3 x
850mg digunakan untuk terapi diabetes pasien.
Dilihat dari hasil laboratorium pasien memiliki nilai asam urat
yang tinggi yaitu 8.0, 8.9, dan 9,4 selama 3 hari berurut-turut.
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar serum
asam urat (hingga di atas 7,0 mg/dl untuk pria, dan 0,6 mg/dl untuk
wanita) dalam tubuh. Nilai normal kadar asam urat 2,4 - 6,0 mg/dl
pada wanita dan 3,5 – 7,0 mg/dl pada pria (Murray, 2005).
Tekanan darah pada pasien ini mengalami peningkatan pada hari
ketiga yaitu 130/70 dan hari keempat 140/70. Menurut Dipiro (2009),
pasien memang berisiko tinggi untuk tekena penyakit diabetes melitus
tipe 2, hipertensi dan CHD.
Dikarenakan pasien ini memiliki riwayat penyakit DM tipe 2 dan juga
dipicu oleh factor usia maka penyakit yang diderita pasien ini
mengalami komplikasi. Diantaranya, hipertensi, asam urat, kolesterol.

D. Plan and Evaluation


Tujuan terapi yang ingin di capai dalam pengobatan adalah
mengurangi dehidrasi akibat kekurangan cairan, pemberian
antibiotic untung melawan bakteri yang menyerang system
kekebalan tubuh, serta menguranngi gejala diare yang di alami.
Penurunan kadar kolesterol total dan trigliserida, meningkatkan
kadar HDL-c menormalkan kadar gula darah dan tekanan darah
tinggi serta mengurangi resiko asam urat, hipertensi akibat factor
usia dan komplikasi penyakit.

1. Farmakologi
a. Terapi Diare
• RL (20 tpm), tujuannya adalah menambah elektrolit
tubuh untuk mengembalikan keseimbangan tubuh.
• KAEN3B, terapi ini bertujuan menurunkan tekanan
darah, mengatasi gangguan jantung dan ginjal.
• Ceftriaxone 1 g, bertujuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri.
• Codein bekerja dengan bertindak pada reseptor opioid
yang ditemukan pada otot-otot yang melapisi dinding
usus. Ini memperlambat kontraksi otot usus. Ini

15
mengurangi kecepatan di mana isi usus didorong
melalui usus, memungkinkan lebih banyak waktu untuk
air dan elektrolit diserap kembali dari isi usus kembali
ke dalam tubuh. Hal ini menghasilkan tinja yang lebih
kencang yang jarang lewat dan mengendalikan diare.

b. Terapi DM tipe 2
• Novarapid (antidiabetes), obat ini mengandung insulin
aspart sebagai bahan aktif utamanya. Obat ini bekerja
dengan menggantikan insulin yang di produksi secara
alami di dalam tubuh dan dapat diserap cepat.
• Valsartan (antihipertensi), bekerja dengan cara
menghambat reseptor angiotensin II. Dengan begitu,
pembuluh darah dapat melebar dan darah bisa mengalir
dengan lebih lancar. Cara kerja ini akan membuat
tekanan darah turun dan kerja jantung dalam memompa
darah dapat lebih baik.
• Amiodarone (antiaritmia), Amiodarone bekerja dengan
menghambat signal listrik tertentu di jantung yang
menyebabkan irama jantung menjadi tidak
normal. Dengan menggunakan amiodarone, denyut
jantung penderita aritmia diharapkan menjadi teratur.
• KCL (suplemen K), Kalium klorida terdiri dari ion
kalium dan ion klorida. Keduanya memiliki peran
penting dalam mengatur proses fisiologis di dalam
tubuh. Kalium berperan dalam menjaga isotonisitas
antara cairan intraseluler dan ekstraseluler,
keseimbangan cairan, dan keseimbangan asam basa.
Selain itu, kalium juga berperan dalam transmisi impuls
saraf, kontraksi otot, pemeliharaan fungsi ginjal, dan
penurunan tekanan darah.
• Aspar K, Kalium tambahan pada penyakit jantung &
hati, tetraplegia periodik yang disebabkan hipokalemia,
hipokalemia yang disebabkan pemberian antihipertensi
diuretika dalam jangka panjang, steroid adrenokortikal,
digitalis & insulin, kelainan metabolisme Kalium
lainnya (termasuk sebelum & sesudah operasi, diare,
muntah, dan lain-lain).

16
II.4 Kategori DRP
1) Pasien memerlukan tambahan terapi obat
Pasien memiliki asam urat 8,0 8,9 9,4 dimana pasien ini memiliki
asam urat yang sangat tinggi dan tidak diberikan obat asam urat
contohnya. Recorfan, allupurinol aclonac dll.

2) Pasien mendapat terapi obat yang tidak perlu


Penggunaan obat ranitidine yang seharusnya tidak perlu diberikan
kepada pasien karena pasien tidak memiliki keluhan sekresi asam
lambung yang berlebihan serta interaksi obat ranitidin dengan diabetes
melitus tidak diperbolehkan.

3) Pasien mendapatkan obat yang salah


Seharusnya pasien hanya mendapatkan obat amiodaron saja
karena dosis 2x sehari sudah tepat tapi untuk obat tyarit penggunaanya
dosis yang kurat tepat pemberian pada pasien.

4) Pasien mendapatkan dosis terlalu rendah


Pasien mendapatkan dosis yang lebih rendah dari dosis maksimum
obat karena faktor usia pasien sehingga perlu dosisnya diubah kepada
pasien yang telah lansia.

5) Pasien mengalami ROTD (reaksi yang tidak diinginkan)


Pasien tidak seharusnya diberikan obat cefriaxon karena pasien
memilki riwayat penyaki diabetes militus . Sehingga akan ada reaksi
yang tidak diinginkan misalnya hipertensi .

6) Dosis terlalu tinggi untuk pasien


Dosis yang diberikan sudah tepat tidak ada yang rendah maupun
pemberian dosis yang terlalu tinggi pada terapi pemberian obat kepda
pasien.

17
II.5 Tujuan akhir (gool therapy)
1) diabetes melitus
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas
hidup pasien. Tatalaksana DM tipe 2 memelukan pendekatan multi
disiplin, termasuk edukasi, terapi nutrisi, aktivitas fisik yang teratur, dan
obat-obatan. Tujuan akhir terapi DM tipe 2 adalah mencapai kadar gula
yang normal dan mempertahankannya, serta mencegah komplikasi
diabetes.
Diberikan obat novorapid karena novorapid merupakan tipe insulin
yang bekerja cepat (rapid acting), insulin ini memungkinkan
penggantian insulin pada waktu makan secara fisiologis karena mula
kerjanya yang cepat, keuntungan lainnya yaitu karena insulin ini dapat
diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glukosa
(Katzung, 2010). Dosis individual Subcutan. Dosis umum: 0,5-1 U / kg
setiap hari dalam kombinasi dengan insulin kerja menengah atau jangka
panjang.
Mengapa tidak diberi metformin karena Novorapid mempunyai
kontraindikasi dengan obat antidiabetik oral. Serta Metformin
berpotensi menyebabkan sejumlah efek samping salah satunya diare,
sakit perut, mual dan muntah. Sedangkan untuk keluhan pasien jelas
efek samping dari obat ini dapat memperparah riwayat penyakit pasien
yang sekarang.

2) anti diare
Obat diare yang diberikan adalah obat codein yang merupakan
golongan opioid dimana codein dapat meredakan diare akut serta
meredakan nyeri dengan cara mengurangi respons nyeri yang diterima
oleh otak. Dosis untuk dewasa 15-30 mg 3-4 kali sehari.
Mengapa tidak diberi obat kombinasi dengan new diatabs karena
pada interaksi obat codein menyatakan bahwa jika codein dikonsumsi
bersama obat golongan antikolinergik dan antidiare maka meningkatkan
risiko terjadinya konstipasi.

18
II.6 Penjelasan terapi yang tepat, alternatif, rencana optimal tatalaksana
dan strategi pengobatan serta evaluasi outcome terapinya.
A. Terapi yang tepat pada penanganan kasus diare akut yaitu farmakoteri
sebagai Penatalaksanaan terapi autcome kasus diare akut
Ada Lima langkah alternative tuntaskan diare atau yang biasa disebut
dengan lima pilar diare :
Berikan oralit, berikan tablet zinc 10 hari beturut-turut, teruskan nutrisi
baik ASI ataupun makanan, pemberian antibiotika secara selektif, dan
edukasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penanganan diare akut
dilakukan berdasarkan derajat dehidrasi.
1. Tanpa dehidrasi
Pasien dengan diare akut tanpa dehidrasi dapat dirawat di rumah, dan
dilakukan penanganan berdasarkan Rencana Terapi A (sesuai
rekomendasi Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
oleh WHO dan IDAI . misalnya diajari memberikan Cairan Rehidrasi
Oral (CRO) 5-10 mL setiap BAB cair.

2. Dehidrasi ringan-sedang
Pasien harus diberikan CRO dalam pengawasan tenaga medis di
fasilitas kesehatan yang tersedia. CRO diberikan sesuaiRencana Terapi
B yaitu sebanyak 75 ml/kgBB dalam 3 jam. Dapat memberikan CRO
sedikit-sedikit, bila muntah tunggu 10 menit, kemudian dapat diberikan

19
CRO kembali. Setelah tiga jam, tentukan kembali derajat pasien segera
diberi makanan dan minuman dan pemberian cairan lanjutan. Bila
pasien dalam keadaan stabil maka pasien dapat dirawat di rumah,
namun apabila terjadi perburukan dan atau status rehidrasi belum
tercapai, maka dipikirkan untukmerujuk pasien ke rumah sakit untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

3. Dehidrasi berat
Pasien harus segera jalur intravena sambil diberikan rehidrasi cairan
(ringer laktat / ringer asetat / NaCl 0.9%) dipasang, sambil
memasukkan CRO per oral (apabila anak masih dapat minum). Pasien
harus dirujuk secepatnya ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap.
Rehidrasi diberikan sesuai usia pasien, rehidrasi awal diberikan
sebanyak 30ml/kgBB, sedangkan rehidrasi selanjutnya dalam 70
ml/kgBB. Tatalaksana dehidrasi berat diberikan tatalaksana sesuai
Rencana Terapi C .

20
B. Terapi yang tepat pada penanganan kasus Penatalaksanaan diabetes
melitus
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah
:
1. Jangka pendek :
hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit.
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil
lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku Non farmakoterapi dan
farmakoterapi yaitu :
1. Diet Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan

21
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masingmasing individu. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%,
lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi,
dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk
mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:
IMT = BeratBadan (Kg) IMT
Tinggi Badan (m) X tinggi Badan (m)
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit, Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
3. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan sangat penting dalam
pengelolaan. Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus
diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM.
4. Obat : oral hipoglikemik, insulin Jika pasien telah melakukan
pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil
mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik.

II.7 Saran-saran anda (sebagai apoteker) untuk edukasi pasien


A. Farmakologi
Perbaikan nutrisi : Dengan menjaga pola hidup sehat dengan
mengatur makanan yang bersih, makan
makanan yang tidak banyak mengandung
glukosa.
B. Monitoring
a. Gula darah

C. Non farmakologi
a. Pola hidup sehat
b. berhenti merokok
c. tidak mengkonsumsi minuman berakohol
d. rajin berolahraga
e. tidur secara teratur
f. menjaga pola makanan yang bergizi

22
BAB III
PENUT/UP

3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin Diabetes tipe 2 adalah
kondisi di mana kadar gula dalam darah melebihi nilai normal. Tingginya
kadar gula darah disebabkan tubuh tidak menggunakan hormon insulin secara
normal.
Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air
besar, dengan kondisi tinja yang encer. Pada umumnya, diare terjadi akibat makanan
dan minuman yang terpapar virus, bakteri, atau parasit.
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan
data informasi profil kesehatan Indonesia tahun 2017 dari Kemenkes RI, jumlah
kasus diare seluruh Indonesia adalah sekitar 7 juta, dan paling banyak terjadi di
provinsi Jawa Barat dengan 1,2 juta kasus.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, N. E., & Hendrati, L. Y. (2014). Hubungan Obesitas dan FaktorFaktor Pada
Individu dengan Kejadian Osteoarthritis Genu. Jurnal Berkala Epidemiologi,
2(1), 93-104.

Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Tanrutedong,
Sidenreg Rappan. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb 17.

Dennis, William dan Sharya V. Bourdet in Dipiro JT et al, 2008, Pharmacotherapy A


Pathophisiologic Approach, 7th edition, The McGraw Hill Companies, United
States of America, Chapter 29, 495-518.

Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.

GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease), Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, GOLD, 2006, www.goldcopd.org. Dikutip tgl. 23.12.2012.

Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes. A,erican Journal of
Epidemiology.2003;15(1);150-9.

Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Melitus
Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation]. Universitas
Diponegoro (Semarang). 2008.

Hughes J. Use of laboratory test data: process guide and reference for pharmacists. 2004.
Pharmaceutical Society of Australia.

Igel LI, Sinha A, Saunders KH, Apovian CM, Vojta D, Aronne LJ, 2016. Metformin: an Old
Therapy that Deserves a New Indication for the Treatment of Obesity. Curr
Atheroscler Rep. 18(16).

Kanani. 1999. Role Of Oxjdonl Slress in Endolheliol Dysfunction Produced By


Experimenlol Hyperhomoc'y4einemio in Humons. Circuloiion; 100: ll6l).

Kailis SG, Jellet LB, Chisnal W, Hancox DA. A rational approach to the interpretation of
blood and urine pathology tests. Aust J Pharm 1980 (April): 221-30.

Laheij R, Van I. Gastric acid-suppressive therapy and community-acquired respiratory


infections. Aliment Pharmacol Ther. 2003. 18: 847-5.
Michael J. Muray. 2015. Nutrition. STOELTING’S: Pharmacology & Physiology in. PDPI
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia, PDPI,
Jakarta, 2003: 4 – 6.

Sabara, S. (2013). Diet intensif dan aktifitas fisik untuk wanita lansia penderita osteoartritis
dengan obesitas. Jurnal Medula, 1(02), 115-122.

Shafer S, Rathmell J, Flood P. Stoelting's pharmacology and physiology in anesthetic


practice. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.

Stein SM. BOH’S Pharmacy practice manual: a guide to the clinical experience. 3rd ed.
2010. Lippincott Williams & Wilkins.

Yaputri, C. (2005). Hubungan Waktu Tempuh Gug Test Dengan Indeks Lequesne Pada
Penderita Osteoartritis Lutut (Correlation Between Gug Test And Lequesne
Index In Knee Osteoarthritis).Journal of pharmacist.

25

Anda mungkin juga menyukai