Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PATOFISIOLOGI

Epidemiologi, Faktor Resiko/Faktor Penyebab, Patofisiologi, Prognosis, dan Komplikasi dari


Penyakit Hipertensi

Disusun oleh:

Kelompok 1
Bianca Levie Tania 188114049
Abtyastuti Fileanita 188114050
Claris Fransiskan Bulu Kian 188114052
Maria Agatha Febriani 188114053
Yobelin L. Somalinggi 188114055
Enjeliberty Y Selan 188114074
Yoanes Fransiskus R. W. U 188114076

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan gejala penyakit degeneratif kardiovaskuler
yang paling banyak dialami oleh lansia yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dengan
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi terjadi karena memompa darah
yang melalui pembuluh darah secara konstan dengan kekuatan yang berlebih. Tekanan darah
sistolik terjadi saat jantung memompakan darah ke sirkulasi sistemik, sedangkan tekanan darah
diastolik terjadi saat pengisian darah ke jantung (Sriani, 2016).
Secara umum penyebab terjadinya hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistol
maupun diastol. Tekanan sistolik meningkat ketika ada ejeksi secara cepat dari stroke volume
dalam jumlah besar atau ketika stroke volume dikeluarkan melalui aorta. Dinding elastis aorta
biasanya meregang untuk mengakomodasi berbagai jumlah darah yang dikeluarkan ke aorta, untuk
mencegah tekanan dari kenaikan berlebihan selama sistol dan mempertahankan tekanan selama
diastol (Susetyowati dkk, 2019).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara antara lain
jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya, atau
dapat pula terjadi kondisi arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga tidak
dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah
pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah
menebal dan kaku karena atherosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat
pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut
karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah (Saputra dan Anam, 2016). Kontrol
tekanan darah meliputi interaksi yang komplek dari ginjal, susunan saraf pusat dan sistem saraf
perifer dan endotel vaskuler, adrenal dan kelenjar pituitari. Jumlah nefron yang sedikit
memungkinkan terjadinya hipertensi seperti pada berat badan lahir rendah atau gangguan anatomi,
jantung merupakan organ yang merespon terhadap sistem ini. Sekresi hormon baik lokal maupun
sistemik membantu regulasi tekanan darah (Suherman, 2018).

i
1.2 Tujuan
1. Mengetahui epidemiologi dari penyakit hipertensi
2. Mengidentifikasi faktor-faktor resiko atau faktor penyebab penyakit hipertensi
3. Memahami patofisiologi dari penyakit hipertensi
4. Mengetahui prognosis dari penyakit hipertensi
5. Mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana epidemiologi dari penyakit hipertensi?
2. Apa saja faktor-faktor resiko dari penyakit hipertensi?
3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit hipertensi?
4. Bagaimana prognosis pada penyakit hipertensi?
5. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hipertensi?

ii
BAB II
ISI

Hakikatnya tekaan darah (TD) arteri adalah tekanan di dinding arteri yang diukur dalam
milimeter merkuri (mm Hg). Dua nilai tekanan arteri yang khas adalah tekanan darah sistolik
(SBP) dan tekanan darah diastolik (DBP). SBP mewakili nilai puncak, yang dicapai selama
kontraksi jantung sedangkan DBP dicapai setelah kontraksi atau saat jantung sedang berelaksasi
atau beristirahat. Tekanan arteri rata-rata (MAP/ Mean Arterial Pressure) adalah tekanan rata-rata
sepanjang siklus kontraksi jantung. Terkadang digunakan secara klinis untuk mewakili tekanan
darah arteri secara keseluruhan, terutama pada hipertensi keadaan darurat. Selama siklus jantung,
dua pertiga waktu dihabiskan diastol dan sepertiga di sistol. Oleh karena itu, MAP dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
MAP = (SBP × 1/3) + (DBP × 2/3)
TD arteri secara hemodinamik dihasilkan oleh interaksi tersebut antara aliran darah dan
resistensi terhadap aliran darah. ini secara matematis didefinisikan sebagai produk dari curah
jantung (CO) dan hambatan perifer total (TPR) menurut berikut ini
persamaan:
BP = CO × TPR
Selanjutnya, CO adalah fungsi dari stroke volume, detak jantung, dan kapasitansi vena.

(Dipiro et al, 2011).


2.1 Epidemiologi Hipertensi

1
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum dan paling
banyak disandang masyarakat. Berdasarkan data tahun 2015 oleh WHO, terdapat 1,13 miliar orang
di dunia menyandang hipertensi dan secara keseluruhan hipertensi lebih banyak terjadi pada
penduduk negara berkembang dibandingkan negara maju, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada
1,5 miliar penduduk dunia yang mengalami hipertensi serta 9,4 juta orang tiap tahunnya akan
meninggal. Di Amerika, 1 dari 3 orang dewasa (20 tahun keatas) mengalami peningkatan tekanan
darah. Persentasenya tekanan darah untuk laki-laki usia dibawah 55 tahun lebih tinggi sedangkan
untuk perempuan persentasenya lebih tinggi pada usia 64 tahun keatas. Angka prevalensi tertinggi
adalah pada orang berkulit hitam non-hepatik (46% perempuan dan 45 laki-laki), kemudian
berkulit putih non-hepatik (30% perempuan dan 33% laki-laki) setelah itu orang Meksiko Amerika
yaitu 30% untuk perempuan dan laki-laki. Nilai tekanan darah meningkat seiring bertambahnya
usia, hipertensi sangat umum terjadi pada orang yang lebih tua (DiPiro, 2016).
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) 2018, prevalensi hipertensi
pada penduduk usia 18-33 tahun sebesar 34,1% (tertinggi di Kalimantan Selatan 44,1% dan
terendah di Papua 22,2%), pada kelompok usia 33-44 tahun sebesar 31,6%, usia 45-54 tahun
sebesar 45,3%, dan usia 55-64 tahun sebesar 55,2%. Perkiraan jumlah kasus hipertensi adalah 63
juta lebih orang dan angka kematian akibat hipertensi di Indonesia adalah sebesar 427.218
kematian.

(Riskesdas, 2018).
2.3 Faktor Resiko
Ada beberapa hal yang dapat menimbulkan atau memperburuk hipertensi, antara lain:

2
1. Usia
Semakin tua seseorang maka elastisitas dari pembuluh darahnya akan semakin menurun.
Saat usia melebihi 40 tahun, seseorang makin rentan mengalami penyempitan pembuluh
darah yang kemudian menimbulkan atau memperburuk hipertensi. (Artyaningrum &
Azam, 2016)
2. Jenis Kelamin
Laki laki cenderung lebih mudah terkena hipertensi dibandingkan dengan wanita dan
mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi pada usia serta resiko lebih besar
terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Sedangkan di atas umur 50 tahun
hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini dikarenakan wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi
merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia
premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon
estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan (Nuraini, 2015).
3. Genetik
Jika salah satu atau kedua orang tua memiliki riwayat hipertensi, ada kemungkinan besar
akan menurun ke anak cucunya. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium
intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang
tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Nuraini,
2015).
4. Merokok
Nikotin dalam tembakau dapat menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Zat-zat dalam
asap rokok akan diserap kemudian diedarkan ke aliran darah dan dengan cepat sampai ke
otak. Otak akan memberi sinyal ke kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin)
yang kemudian akan menyempitkan pembuluh darah serta jantung akan bekerja dengan
keras karena ada tekanan yang lebih tinggi (Sartik, 2017).
5. Dislipidemia

3
Dislipidemia merupakan faktor risiko terbentuknya aterosklerosis. Aterosklerosis akan
mengakibatkan penyumbatan dan penimbunan lemak atau bekuan darah. Hal tersebut
mengakibatkan tingginya resistensi vaskular sistemik dan memicu peningkatan tekanan
darah (Kamajaya dkk, 2016).
6. Konsumsi garam berlebih
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan di luar sel
agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Artyaningrum
& Azam, 2016).
7. Kurang aktivitas fisik (kurang olahraga)
olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa
apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi
tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung
mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras
pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar
pula kekuatan yang mendesak arteri (Nuraini, 2015).
8. Stress
Stres dapat meningkatkan tekanan darah sewaktu karena hormon adrenalin akan meningkat
sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat
sehingga tekanan darah pun meningkat (Nuraini, 2015).
9. Obesitas
Terlalu banyaknya massa lemak dalam tubuh mengakibatkan keterbatasan ruang bagi
pembuluh darah untuk bergerak secara fleksibel. Selain itu, tekanan dari massa lemak itu
sendiri menyebabkan pembuluh darah menyempit sehingga tekanannya menjadi naik.
(Artyaningrum & Azam, 2016).

2.4 Patofisiologi Hipertensi


Hakikatnya hipertensi dapat terjadi karena penyebab tertentu yakni:

4
a. Hipertensi sekunder, yakni hipertensi yang berasal dari etiologi yang diketahui. Hipertensi
sekunder (<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (CKD) atau
penyakit renovaskular. Kondisi lain adalah sindrom Cushing, koarktasio aorta, obstruktif
apnea tidur, hiperparatiroidisme, feokromositoma, aldosteronisme primer, dan
hipertiroidisme. Beberapa obat yang dapat meningkatkan TD termasuk kortikosteroid,
estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklosporin,
takrolimus, eritropoietin, dan venlafaxine.
b. Hipertensi primer atau esensial, yakni hipertensi yang berasal dari etiologi yang tidak
diketahui. Pada hipertensi esensial, peningkatan tekanan darah berkaitan dengan perubahan
fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-angiotensin-aldosteron yang
menyebabkan peningkatan resistensi perifer. Bukti epidemiologis melaporkan bahwa
penyebab hipertensi esensial ini bersifat multifaktorial (kombinasi antara genetik, stres
psikologis, lingkungan dan faktor diet (peningkatan intake garam/natrium, penurunan
asupan kalsium atau kalium) (Mayangsari dkk, 2019).
Faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer meliputi:
1. Kelainan humoral yang melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS),
hormon natriuretik, atau resistensi insulin dan hiperinsulinemia;
2. Gangguan pada SSP, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik, atau baroreseptor;
3. Kelainan pada proses autoregulasi ginjal atau jaringan untuk ekskresi natrium, volume
plasma, dan penyempitan arteriol;
4. Kekurangan sintesis zat vasodilatasi di endotel vascular (prostasiklin, bradikinin, dan
oksida nitrat) atau zat vasokonstriksi berlebih (angiotensin II, endothelin I);
5. Asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium makanan.
(Dipiro et al, 2015).
• Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS)
RAAS adalah sistem endogen kompleks yang terlibat dengan sebagian besar
komponen regulasi Blood Pressure arteri. Aktivasi dan regulasi terutama diatur oleh ginjal.
RAAS berperan dalam mengatur natrium, kalium, dan volume darah. Oleh karena itu,
sistem ini secara signifikan mempengaruhi tonus vaskular dan aktivitas simpatis sistem
saraf dan merupakan hal yang paling berpengaruh dalam regulasi homeostasis Blood
Pressure.

5
a. Gambar di atas merupakan penggambaran RAAS dimana dalam sel juxtaglomerular (sel
yang berperan sebagai baroreceptor-sensing device) yang terdapat pada dinding arteriol
afferen ginjal, sebagai kesatuan dari bagian macula densa satu unit nefron. Enzim renin
adalah enzim yang disimpan di dalam sel yang terletak di arteriol aferen ginjal. pengeluaran
renin dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis (pengaktifannya melalui β1-adrenoceptor),
penurunan tekanan arteri ginjal (disebabkan oleh penurunan tekanan sistemik atau stenosis
arteri ginjal), dan penurunan asupan garam (penurunan natrium dan klorida ke tubulus
distal) akan merangsang pelepasan renin (Yonata dan Pratama, 2016). Pelepasan renin
akan dimodulasi oleh beberapa faktor yakni faktor intrarenal (misalnya, tekanan perfusi
ginjal, katekolamin, angiotensin II) dan faktor ekstrarenal (misalnya, natrium, klorida, dan
kalium). Aparatus juxtaglomerular juga mencakup sekelompok khusus sel tubulus distal
disebut secara kolektif sebagai makula densa. Katekolamin meningkatkan pelepasan renin
sehingga secara langsung akan merangsang saraf simpatis di aferen arteriol yang pada
gilirannya akan mengaktifkan sel juxtaglomerular.

6
b. Selanjutnya, renin akan mengubah substrat renin (angiotensinogen) menjadi angiotensin I.
Angiotensinogen sendiri adalah substrat renin yang mengatur tekanan darah dimana
diproduksi terus-menerus oleh hati dan disekresikan ke dalam sirkulasi darah (Suherman,
2018). Sedangkan angiotensin adalah hormon peptida jenis oligopeptida yang
menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah. Lalu, Angiotensin I yang merupakan zat fisiologis tidak aktif
akan cepat dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru maupun di sel endotel pembuluh
darah oleh angiotensin converting enzyme (ACE) yang terdapat di endotelium pembuluh
paru (Sumbono, 2019). Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat dan dengan demikian
menyebabkan peningkatan tekanan darah (Yonata dan Pratama, 2016).
c. Setelah mengikat secara spesifik pada reseptor (diklasifikasikan sebagai subtipe AT 1 atau
AT 2), angiotensin II memberikan efek biologis di beberapa jaringan. Reseptor AT 1
hakikatnya berperan sebagai vasokonstriksi sedangkan reseptor AT 2 berperan sebagai
vasodilatasi. Pada keadaan hipertensi, pengaturan antara AT 1 dan AT 2 gagal sehingga
angiotensin II lebih banyak berikatan ke AT 1. Reseptor AT 1 berada di otak, ginjal,
miokardium, pembuluh darah perifer, dan adrenal kelenjar. Reseptor ini akan memediasi
sebagian besar respons yang kritis untuk kardiovaskular dan fungsi ginjal. Sedangkan
reseptor AT 2 terletak di adrenal jaringan meduler, uterus, dan otak. Stimulasi reseptor AT
2 tidak mempengaruhi peraturan blood pressure.
d. Angiotensin II yang kemudian berikatan pada AT 1 pada jantung kemudian akan
menyebabkan terjadi peningkatan pada kontraksi jantung sehingga Cardiac Output (CO)
yang dihasilkan semakin meningkat sehingga dapat mempengaruhi peningkatan tekanan
darah.
e. Angiotensin II yang berikatan pada AT 1 pada otot polos pembuluh darah (vascular smooth
muscle) kemudian akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi atau penyempitan
pembuluh darah sehingga hal ini akan menyebabkan Total Peripheral Resistance menjadi
meningkat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah.
f. Angiotensin II juga merangsang sintesis aldosteron korteks adrenal. Hal ini menyebabkan
reabsorpsi natrium dan air yang meningkatkan volume plasma, TPR (Total Peripheral
Resistance) atau tahanan perifer dan akhirnya meningkatkan tekanan darah. Aldosteron
juga memiliki peran yang merusak dalam patofisiologi penyakit kardiovaskular lainnya

7
(gagal jantung, MI, dan penyakit ginjal) dengan mempromosikan jaringan remodeling yang
menyebabkan fibrosis miokard dan disfungsi vaskular.
g. Angiotensin II yang berikatan dengan AT 1 pada sistem saraf perifer dapat mengakibatkan
terjadinya sympathetic discharge sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya total
tahanan perifer yang berujung pada peningkatan tekanan darah.
h. Angiotensin II yang berikatan dengan AT 1 pada ginjal dan usus dapat mengakibatkan
terjadinya reabsorpsi sodium(garam) dan air dimana hal ini dapat mengakibatkan naiknya
volume darah sehingga total tahanan perifer juga meningkat dan mengakibatkan naiknya
tekanan darah
(Dipiro et al, 2011).
i. Angiotensin II yang berikatan dengan AT 1 pada CNS dapat meningkatkan sekresi
vasopresin atau hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. Vasopresin atau ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) bagian posterior pituitary lobe dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolaritas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
j. Angiotensin II yang berikatan dengan AT 1 pada korteks adrenal akan menstimulasi sekresi
aldosteron. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi
NaCl (garam) dengan cara me-reabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
(Nuraini, 2015).
• Pengaturan Sympathetic Nervous System
Hakikatnya Angiotensin II yang mempengaruhi saraf simpatik akan menyebabkan
meningkatnya sekresi norepinefrin (noradrenalin). Selanjutnya saat norepinefrin berikatan
dengan reseptor alfa-1 (α1) maka dapat menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian
menyebabkan terjadi peningkatan pada total tahanan perifer sehingga dapat menyebabkan
meningkatnya tekanan darah. Kemudian apabila norepinefrin berikatan dengan reseptor

8
β1, maka akan menyebabkan peningkatan kekuatan dan kecepatan detak jantung
(peningkatan cardiac output/CO) sehingga dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan
darah.
• Resistensi Insulin dan Hiperinsulinemia
Secara hipotesis, peningkatan konsentrasi insulin dapat menyebabkan hipertensi karena
peningkatan retensi natrium ginjal dan peningkatan simpatis aktivitas sistem saraf. Selain
itu, insulin memiliki hormon pertumbuhan yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos
pembuluh darah sel. Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan
kalsium intraseluler, yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskular. Mekanisme
pastinya dimana resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada hipertensi tidak
diketahui. Namun hal ini juga menjadi kandidat kuat karena obesitas abdominal,
dislipidemia, dan peningkatan glukosa puasa sering muncul pada pasien hipertensi.
• Peripheral Autoregulatory Components
Kelainan pada sistem autoregulasi ginjal atau jaringan dapat menyebabkan hipertensi. Ada
kemungkinan kelainan ginjal pada ekskresi natrium dapat berkembang, yang kemudian
dapat menyebabkan pengaturan ulang proses autoregulasi yang menghasilkan tekanan
yang lebih tinggi. Ginjal biasanya mempertahankan tekanan darah normal melalui
mekanisme adaptif tekanan volume. Ketika tekanan darah turun, ginjal merespons dengan
meningkatkan retensi natrium dan air, yang menyebabkan ekspansi volume plasma yang
meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, saat tekanan darah naik ke atas normal, ekskresi
natrium ginjal dan air meningkat untuk mengurangi volume plasma dan cardiac output.
Apabila terjadi cacat intrinsik pada mekanisme adaptif ginjal ini, maka dapat menyebabkan
ekspansi volume plasma dan peningkatan aliran darah ke perifer jaringan, bahkan ketika
tekanan darah normal. Kemudian, proses autoregulasi jaringan lokal yang vasokonstriksi
kemudian akan diaktifkan untuk memulai peningkatan aliran darah. Efek ini akan
mengakibatkan resistensi perifer pembuluh darah meningkat dan jika dipertahankan juga
akan menyebabkan penebalan dari dinding arteriol.
• Mekanisme Endotelial Vaskuler
Endotel vaskular dan otot polos memainkan peran penting dalam mengatur tonus pembuluh
darah dan tekanan darah. Fungsi regulasi ini dimediasi oleh zat vasoaktif yang disintesis
oleh sel endotel. Kekurangan sintesis lokal zat vasodilatasi (prostasiklin dan bradikinin)

9
atau zat vasokonstriksi berlebih (angiotensin II dan endotelin I) berkontribusi pada
hipertensi esensial, aterosklerosis, dan penyakit CV lainnya. Oksida nitrat diproduksi di
endotelium, melemaskan pembuluh darah epitel, dan merupakan vasodilator yang sangat
kuat. Sistem oksida nitrat merupakan pengatur tekanan darah arteri yang penting. Penderita
hipertensi mungkin memiliki defisiensi oksida nitrat intrinsik, sehingga menghasilkan
inadekuat vasodilatasi.
(Dipiro et al, 2011).
• Elektrolit
Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa diet natrium tinggi dikaitkan dengan
prevalensi stroke yang tinggi dan hipertensi. Sebaliknya, diet rendah natrium dikaitkan
dengan prevalensi hipertensi yang rendah. Mekanisme yang tepat kelebihan natrium
menyebabkan hipertensi tidak diketahui. Namun menurut beberapa penelitian, dikatakan
bahwa asupan natrium yang tinggi mampu menyebabkan tubuh meretensi cairan yang
dapat meningkatkan volume darah dan juga dapat mengecilkan diameter dalam arteri
sehingga jantung harus mampu memompakan darah lebih keras pada ruang yang sempit,
akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan darah. Untuk asupan kalsium, menurut beberapa
penelitian dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan kalsium
dengan hipertensi. Namun, ada juga anggapan yang mengatakan bahwa asupan kalsium
yang rendah mampu memperkuat efek dari asupan garam NaCl terhadap peningkatan
tekanan darah pada orang yang rentan.
(Adyana dkk, 2016).
2.5 Prognosis Hipertensi
Hipertensi akan menimbulkan ansietas bagi individu. Ansietas merupakan pengalaman
emosional yang berlangsung singkat dan merupakan respon yang wajar, pada saat individu
menghadapi tekanan atau peristiwa yang mengancam kehidupannya. Perbedaan antara ansietas
yang dialami pada orang normal dan pada pasien hipertensi terlihat dari respon pada saat
menghadapi situasi. Penyakit hipertensi mempunyai resiko besar bukan saja terhadap penyakit
jantung, tetapi juga terhadap penyakit lain (Sofiani, 2018).
Prognosis dari hipertensi misalnya mengenal penyebab ansietas, seperti ketidaktahuan
bagaimana dalam mengelola dan merawat kondisi penyakit hipertensi, menyadari perilaku akibat
ansietas, mengajarkan pasien mengenai teknik relaksasi pengalihan situasi untuk meningkatkan

10
kontrol, mengajarkan latihan relaksasi: tarik napas dalam dan mengerutkan atau mengendurkan
otot-otot. Angka prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 6-15 % dan telah banyak
dikumpulkan yang menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum
terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Sekitar 20% populasi dewasa mengalami hipertensi, lebih
dari 90% diantara mereka menderita hipertensi esensial (primer) dan tidak dapat ditentukan
penyebabnya (Sofiani, 2018).
Penyakit hipertensi diperkirakan mampu menyebabkan 7,5 juta kematian dan sekitar
12,8% dari seluruh angka kematian. Data WHO menunjukkan prevalensi penderita hipertensi di
usia 25 tahun dan lebih mencapai 40%. Jumlah penderita hipertensi setiap tahun di seluruh dunia
terus meningkat. Prevalensi hipertensi di Indonesia untuk penduduk berumur diatas 25 tahun
adalah 8,3%, dengan prevalensi laki-laki sebesar 12,2% dan perempuan 15,5%. Pada tahun 2012
Cardiovascular disease (CVD) membunuh 17,5 juta orang setara dengan setiap 3 dari 10 kematian,
dari 17 juta kematian ini dalam setahun lebih dari 9,4 juta disebabkan oleh komplikasi pada
hipertensi yang juga sering disebut peningkatan tekanan darah tinggi. Kawasan Asia Tenggara
termasuk Indonesia, dilaporkan bahwa 49,7% penyebab kematian adalah akibat penyakit tidak
menular, salah satu di antaranya adalah hipertensi. Prevalensi penderita hipertensi tidak hanya
terjadi di negara maju tetapi juga terjadi di negara berkembang termasuk juga Indonesia. Kasus
hipertensi di indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan 25,8% penduduk di
Indonesia penderita hipertensi, menunjukkan bahwa angka kematian yang disebabkan oleh
penyakit hipertensi sangat tinggi (Sriani, 2016).Jumlah angka hipertensi terus meningkat karena
faktor risiko diantaranya mulai dari kebiasaan merokok, mengkonsumsi garam berlebih, hingga
minimnya mengkonsumsi buah dan sayur dan kurang nya olahraga (Prasetya,2014).

2.6 Komplikasi Hipertensi


Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat tekanan darah tinggi pada pasien
hipertensi. Kejadian kardiovaskular (mis., MI, kejadian serebrovaskular, gagal ginjal) adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi.
Probabilitas kejadian kardiovaskular dan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien
dengan hipertensi berkorelasi langsung dengan keparahan peningkatan tekanan darah (Dipiro,
2017). Berikut ini merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat hipertensi:

11
1. Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh hipertensi. Stroke
timbul karena perdarahan, tekanan intrakranial yang meninggi, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau
penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-
arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau
hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke dalam ruang intertisium di
seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan
terjadi koma bahkan kematian (Nuraini, 2015).
2. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis atau apabila
terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut,
sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen
miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya
dapat menjadi infark (Nuraini, 2015).
3. Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kapiler ginjal dan glomerulus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah
mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi
hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein
keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid
plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik (Nuraini, 2015).
4. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada retina. Makin
tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut berlangsung, maka semakin berat pula
kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah
yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah
yang buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena

12
retina. Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada
akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir. Kerusakan yang lebih parah pada mata
terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba.
Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak, antara lain nyeri
kepala, double vision, dim vision, dan sudden vision loss (Nuraini, 2015).

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan gejala penyakit degeneratif kardiovaskuler
yang paling banyak dialami oleh lansia yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dengan
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau diastolik ≥ 90 mmHg. Menurut WHO, data tahun 2015 terdapat
1,13 miliar orang di dunia menyandang hipertensi dan dan diperkirakan pada tahun 2025 akan ada
1,5 miliar oyang yang mengalami hipertensi serta 9,4 juta orang tiap tahunnya akan meninggal
karena hipertensi dan komplikasinya. Beberapa faktor risiko terjadinya hipertensi diantaranya usia,
jenis kelamin (laki-laki lebih mudah terkena hipertensi), genetic, kebiasaan merokok, dislipidemia,
konsumsi garam berlebih, kurang olahraga, stress dan obesitas.
Hipertensi sendiri terdiri dari dua yakni hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Faktor
yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer adalah kelainan humoral yang
melibatkan sistem RAAS, hormon natriuretik atau resistensi insulin dan hiperinsulinemia
kemudian gangguan pada SSP, serabut saraf otonom, reseptor adregenik atau baroreseptor setelah
itu kelainan pada proses autoregulasi ginjal atau jaringan untuk ekskresi natrium, volume plasma,
dan penyempitan arteriol. Kekurangan sintesis zat vasodilatasi di endotel vaskular atau zat
vasokonstriksi berlebih serta asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium makanan juga
merupakan faktor yang berkontribusi pada hipertensi primer. Pragnosis hipertensi seperti adanya
pengalaman emosional yang belangsung singkat pada orag yang mengalami hiperensi (ansietas).
Berdasarkan WHO dikatakan bahwa penyakit hipertensi diperkirakan mampu menyebabkan 7,5
juta kematian dan sekitar 12,8% dari seluruh angka kematian. Komplikai hipertensi dapat terjadi
pada otak, kardiovaskular, ginjal dan retinopati

3.2 Saran
Penyakit hipertensi merupakan penyakit yang paling banyak dialami oleh lansia, namun
dapat terjadi juga pada orang muda sehingga beberapa hal perlu dilakukan untuk menghindari
penyakit hipertensi seperti tidak merokok, mengurangi konsumsi garam yang berlebih, serta
melakukan aktivitas fisik sehingga resiko terjadinya hipertensi berkurang

14
DAFTAR PUSTAKA

Adyana, A. W., Mintarsih, S. N., Rahmawati, A. Y., 2016. Hubungan antara Asupan Natrium,
Kalium, Kalsium dan Magnesium dengan Kejadian Hipertensi pada Remaja di SMA Negeri
10 Kota Semarang. Jurnal Riset Gizi, 4(1), 1-8.
Artiyaningrum, B., Azam, M., 2016. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi
Tidak Terkendali pada Penderita yang Melakukan Pemeriksaan Rutin. Public Health
Perspective Journal. 1(1). 12-20.
Dipiro, T.J., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey,L.M., 2011.
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach 8 th Edition., Mc Graw Hill Education,
United State, pp 101-106.
Dipiro, C.V., Dipiro, T.J., Wells, B.G., Schwinghamer, T.L., 2015. Pharmacotherapy Handbook
9th Edition.. Mc Graw Hill Education, United State, pp 87-88.
DiPiro J.T., Welss B. G., Schwinghammer T.L., DiPiro. C. V., 2017 Pharmacotherapy, ed 10.,
McGraw-Hill Education Companies, United State, pp 234-236.
Kamajaya, G., A., P., Lestari, A., W., Yasa, I., W., S., 2016. Hubungan Antara Profil Lipid dan
Hipertensi Pada Penderita Stroke Iskemik di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. E-
Journal Medika. 5 (1), 11.
Nuraini, B., 2015. Risk Factor of Hypertension. Journal Majority, 4(5), 10-19.
Prasetya A.S., 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Ansietas Klien Hipertensi.
Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, 7(1), 56-62.
Riset Kesehatan Dasar., 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI
tahun 2018, https://www.kemkes.go.id, diakses September 2020.
Sartik., Tjekyan, R. M. S., Zulkarnain., 2017. Faktor-Faktor Risiko dan Angka Kejadian Hipertensi
pada Penduduk Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 8 (3), 180-190
Sofiani Y., Anwar Wardi2 Anwar W., Andry Sartika., 2018. Perbedaan Efektivitas Progessive
Muscle Relaxation (PNMR) Dengan Slow Deep Breathing Exercise (SDBE) Terhadap
Tekanan Darah Penderita Hipertensi. Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1), 355-370.
Sriani K.I., Rudi F., Dian R., 2016. Hubungan Antara Perilaku Merokok Dan kebiasaan Olahraga
dengan Kejadian Hipertensi Pada Usia Laki-Laki 18-44 tahun Studi Observasional di

15
Wilayah Kerja Puskesmas Sunagi Besar Kecamatan Banjarbaru Selatan. Jurnal Publikasi
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 3(1), 1-4.

16

Anda mungkin juga menyukai